• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara tingkat religiositas dengan intensitas menonton tayangan kekerasan pada remaja akhir.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara tingkat religiositas dengan intensitas menonton tayangan kekerasan pada remaja akhir."

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT RELIGIOSITAS DENGAN INTENSITAS MENONTON TAYANGAN KEKERASAN

PADA REMAJA AKHIR

Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Krisentia Ardana Riswari

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara religiositas dengan intensitas menonton tayangan kekerasan pada remaja akhir. Hipotesis dari penelitian ini adalah bahwa ada hubungan yang signifikan antara religiositas dengan intensitas menonton tayangan kekerasan pada remaja akhir. Peneliti berasumsi apabila seseorang yang memiliki religiositas tinggi sikap serta perilakunya akan dipengaruhi nilai-nilai yang bertentangan oleh kekerasan maka intensitas menonton tayangan kekerasan akan menjadi rendah. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja akhir yang memiliki rentang usia antara 17 tahun sampai 21 tahun dan beragama katolik. Alat pengumpul data yang digunakan terdiri dari dua alat ukur, skala religiositas dan skala intensitas menonton tayangan kekerasan. Skala religiositas telah melalui penyaringan sehingga diperoleh 48 item dan diperoleh koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,939 dengan rentang korelasi item total 0,306 sampai 0,736, uji reliabilitas ini dilakukan pada 50 subjek. Skala Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan disusun dengan memperhatikan durasi waktu menonton tayangan kekerasan per jam dalam seminggu dan skala ini tidak melalui uji reliabititas. Hasil penelitian pada N=100 diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,117 dengan signifikasi sebesar 0,123. Hal ini berarti terdapat hubungan yang tidak signifikan antara variabel religiositas dan intensitas menonton tayangan kekerasan. Maka hipotesis awal penelitian, yaitu ada hubungan yang signifikan antara religiositas dengan intensitas menonton tayangan kekerasan pada remaja akhir ditolak. Uji tambahan dilakukan untuk mengetahui korelasi aspek-aspek religiositas dengan intensitas menonton tayangan kekerasan, menunjukkan aspek perasaan pada religiositas berkorelasi positif dengan intensitas menonton tayangan kekerasan dengan hasil korelasi 0,180 dan nilai signifikan sebesar 0,037.

(2)

THE CORRELATION BETWEEN LEVEL TO RELIGIOSITY WITH INTENSITY OF WATCHING VIDEO VIOLENCE

ON LATE ADOLESCENTS

Study in Psychology in Sanata Dharma University Krisentia Ardana Riswari

ABSTRACT

This research aims to examine the issue of whether there is a relationship between religiositas with intensity watching video violence to adolescents. The hypothesis of this research is that there is significant relationship between religiositas on the intensity watching video violence to adolescents. Peneliti berassumption that when a person who has religiositas than the attitude and it will be influenced by the values that are contrary to violenceand intensity watching video violence will be low. Subject in this research are adolescent end which has a range of age between 17 to 21 years and was the catholic. Assessment tool that is used consists of two measurement tools, the scale religiositas and intensity scale watching video violence. 'sold religiositas has gone through screening that increased by 48 items and obtained coefficient reliability alpha of 0.939correlation with the time span item total 0.306 to 0.736, reliability test was done on 50 subject. 'stime The intensity Watching Video Violencemade based duration time watching video violence per hour in a week and this scale not through trial reliabititas. research results in N=100 by correlation coefficient of 0.117with any of 0, 123 . This means there is a relationship that does not significantly between the variable religiositas and intensity watching video violence. Thenthe hypothesis early research, namely there are significant relationship between religiositas on the intensity watching video violence in teenage end rejected.Additional test conducted to find a correlation aspects of the religiositas on the intensity watching video violence, shows the feeling positively correlated with the religiositas intensity watching video violence with the result correlation 0.180 and the value of significant 0.037.

(3)

i

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT RELIGIOSITAS DENGAN

INTENSITAS MENONTON TAYANGAN KEKERASAN

PADA REMAJA AKHIR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Program Studi Psikologi

Oleh:

Krisentia Ardana Riswari

NIM : 079114080

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

ii SKRIPSI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT RELIGIOSITAS DENGAN

INTENSITAS MENONTON TAYANGAN KEKERASAN

PADA REMAJA AKHIR

Disusun oleh:

Krisentia Ardana Riswari

079114080

Telah disetujui oleh:

Pembimbing Skripsi

(5)
(6)

iv HALAMAN MOTTO

“Ability can take you to the top,

but it takes character to keep

you there”

― Zig Ziglar

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara

hati dan pikiranmu dalam

Kristus Yesus.”

(7)

v Karya ini aku persembahkan untuk...

Tuhan Yesus Kristus kekasih jiwaku,

Orangtua, adik-adik, saudara-saudara,

(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah saya sebutkan

dalam kutipan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 2 Juli 2014

Penulis

(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT RELIGIOSITAS DENGAN INTENSITAS MENONTON TAYANGAN KEKERASAN

PADA REMAJA AKHIR

Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Krisentia Ardana Riswari

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara religiositas dengan intensitas menonton tayangan kekerasan pada remaja akhir. Hipotesis dari penelitian ini adalah bahwa ada hubungan yang signifikan antara religiositas dengan intensitas menonton tayangan kekerasan pada remaja akhir. Peneliti berasumsi apabila seseorang yang memiliki religiositas tinggi sikap serta perilakunya akan dipengaruhi nilai-nilai yang bertentangan oleh kekerasan maka intensitas menonton tayangan kekerasan akan menjadi rendah. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja akhir yang memiliki rentang usia antara 17 tahun sampai 21 tahun dan beragama katolik. Alat pengumpul data yang digunakan terdiri dari dua alat ukur, skala religiositas dan skala intensitas menonton tayangan kekerasan. Skala religiositas telah melalui penyaringan sehingga diperoleh 48 item dan diperoleh koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,939 dengan rentang korelasi item total 0,306 sampai 0,736, uji reliabilitas ini dilakukan pada 50 subjek. Skala Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan disusun dengan memperhatikan durasi waktu menonton tayangan kekerasan per jam dalam seminggu dan skala ini tidak melalui uji reliabititas. Hasil penelitian pada N=100 diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,117 dengan signifikasi sebesar 0,123. Hal ini berarti terdapat hubungan yang tidak signifikan antara variabel religiositas dan intensitas menonton tayangan kekerasan. Maka hipotesis awal penelitian, yaitu ada hubungan yang signifikan antara religiositas dengan intensitas menonton tayangan kekerasan pada remaja akhir ditolak. Uji tambahan dilakukan untuk mengetahui korelasi aspek-aspek religiositas dengan intensitas menonton tayangan kekerasan, menunjukkan aspek perasaan pada religiositas berkorelasi positif dengan intensitas menonton tayangan kekerasan dengan hasil korelasi 0,180 dan nilai signifikan sebesar 0,037.

(10)

viii

THE CORRELATION BETWEEN LEVEL TO RELIGIOSITY WITH INTENSITY OF WATCHING VIDEO VIOLENCE

ON LATE ADOLESCENTS

Study in Psychology in Sanata Dharma University

Krisentia Ardana Riswari

ABSTRACT

This research aims to examine the issue of whether there is a relationship between religiositas with intensity watching video violence to adolescents. The hypothesis of this research is that there is significant relationship between religiositas on the intensity watching video violence to adolescents. Peneliti berassumption that when a person who has religiositas than the attitude and it will be influenced by the values that are contrary to violenceand intensity watching video violence will be low. Subject in this research are adolescent end which has a range of age between 17 to 21 years and was the catholic. Assessment tool that is used consists of two measurement tools, the scale religiositas and intensity scale watching video violence. 's old religiositas has gone through screening that increased by 48 items and obtained coefficient reliability alpha of 0.939correlation with the time span item total 0.306 to 0.736, reliability test was done on 50 subject. 'stime The intensity Watching Video Violencemade based duration time watching video violence per hour in a week and this scale not through trial reliabititas. research results in N=100 by correlation coefficient of 0.1 17with any of 0, 123. This means there is a relationship that does not significantly between the variable religiositas and intensity watching video violence. Then the hypothesis early research, namely there are significant relationship between religiositas on the intensity watching video violence in teenage end rejected.Additional test conducted to find a correlation aspects of the religiositas on the intensity watching video violence, shows the feeling positively correlated with the religiositas intensity watching video violence with the result correlation 0.180 and the value of significant 0.037.

(11)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Krisentia Ardana Riswari Nomor Mahasiswa : 079114080

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT RELIGIOSITAS DENGAN INTENSITAS MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA

REMAJA AKHIR

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 2 Juli 2014

Yang menyatakan,

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Bapa Maha Kasih yang telah memberikan segala

rahmat yang saya perlukan untuk menyelesaikan karya ini. Sebuah kebahagiaan

bagi saya dapat berterimakasih kepada orang-orang yang turut berkarya dalam

hidup saya khususnya mereka yang telah membantu selesainya studi saya dan

penelitian ini:

1. Bapa di surga dan Tuhan Yesus yang memberikan keajaiban setiap hari dalam hidup saya dan semua manusia.

2. Dr. T. Priyo Widiyanto M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. V. Didik Suryo Hartoko M.Si. selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Y. Heri Widodo, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi secara klasikal.

5. Drs. Hadrianus Wahyudi M.Si. selaku dosen penguji skripsi, yang telah membimbing dan memberikan masukan hingga mempermudah pengerjaan skripsi ini

6. Ratri Sunar Astuti M.Si. selaku dosen penguji skripsi, yang telah memberikan masukan hingga mempermudah pengerjaan skripsi ini. 7. Bapak Ibu dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu dan

pengetahuannya selama penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

8. Segenap karyawan Fakultas Psikologi (Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji, Mas Doni dan Pak Gie), terimakasih atas segala kerjasama yang diberikan untuk kelancaran studi penulis di Fakultas Psikologi. 9. Bapak, Ibu, Aan, Tesa, Pandji, Mami, Made Tut, Made Rini (alm),

(13)

xi

10.Kekasihku yang paling baik Ko2 yang selalu mendampingi walau kadang cuek bgt. Makasih buat penghiburannya...

11.Sahabat-sahabatku, Uchy, Tik2, Puri, Dhita, Tina, yang tak henti-hentinya meneriakan jangan pernah menyerah dan mendampingi selalu dalam pengerjaan karya ini.

12.Teman-teman di Psikologi (Oi’, Putri Batam, Putri, Gallo, Linda, Erin, Katy, Krisna, dll), yang selalu memberikan semangat dan tempat untuk mengaduh serta yang selalu memberikan keceriaan kepadaku. 13.Teman-teman buletin (mas Kemin, Yogi, mas Fibra, Yoan, Mas Kus,

Nanang, Siska, dll) yang selalu ngajakin dolan dan makan-makan. 14.Teman-teman yang pernah datang dan pergi sesuka hati, terimakasih

telah memberikan pelajaran hidup yang berharga.

15.Semua pihak yang tidak bisa penulis tulis satu persatu. Terimakasih semuanya.

Semoga kasih Bapa selalu menyertai kalian semua...

Penulis,

(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH...vi

ABSTRAK ...vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...ix

KATA PENGANTAR...x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL...xvi

DAFTAR GAMBAR...xvii

DAFTAR LAMPIRAN...xviii

(15)

xiii

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II : LANDASAN TEORI ... 9

A. Remaja ... 9

B. Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan ... 12

1 Tayangan Kekerasan ... 12

2 Faktor Yang Mempengaruhi Kebiasaan Menonton Tayangan ... 13

3 Dampak Tayangan Kekerasan ... 15

C. Religiositas ... 18

1. Pengertian Religiositas...18

2. Aspek-aspek Religiositas...20

3. Fungsi Religiositas...22

D. Dinamika Penelitian ... 23

E. Hipotesis Inferensial ... 25

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 26

A. Jenis Penelitian ... .26

(16)

xiv

C. Definisi Operasional ... .26

D. Subyek Penelitian ... .27

E. Sampling ... .28

F. Metode dan Alat Pengukuran Data ... .28

G. Kredibilitas Alat Ukur ... .32

1 Estimasi Validitas...32

2 Seleksi Item ... .33

3 Estimasi Reliabilitas ... .33

H. Skala setelah Tryout ... .34

I. Metode Analisis Data ... .34

1 Uji Asumsi ...34

2 Uji Hipotesis ... .35

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... .36

A. Pelaksanaan Penelitian ... .36

B. Data Demografi Subjek Penelitian...36

C. Uji Asumsi ... .36

1 Uji Normalitas ...36

2 Uji Linearitas ...38

(17)

xv

E. Uji Tambahan ... .39

F. Pembahasan ... .43

BABV KESIMPULAN DAN SARAN ... .45

A. Kesimpulan ... .45

B. Saran ... .45

DAFTAR PUSTAKA ... .46

(18)

xvi

DAFTAR TABEL

1. Tabel spesifikasi item-item Skala Religiosiatas ... 30

2. Tabel spesifikasi item-item Skala Religiositas Setelah Uji Coba ... 34

3. Hasil Uji Normalitas ... 37

4. Hasil Uji Normalitas Setelah di Log10...37

5. Data Hipotetik dan Empiris ... 40

6. Hasil Uji Normalitas Kelima Aspek Religiositas...40

(19)

xvii

DAFTAR GAMBAR

1. Hubungan Antara Tingkat Religiositas dengan Intensitas Menonton

Tayangan Kekerasan ... 25

2. Skala Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan...31

(20)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Skala ... 50

1.1 Skala Sebelum Dilakukan Uji Coba ... 51

1.2 Skala Setelah Dilakukan Uji Coba ... 55

1.3 Skala Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan....………..57

Lampiran 2 : Hasil Analisis Aitem Dan Reabilitas ... 58

2.1 Reabilitas Skala Religiositas... 59

Lampiran 3 : Hasil Uji Asumsi... 61

3.1 Uji Normalitas... 62

3.2 Uji Linearitas ... 62

Lampiran 4 : Hasil Uji Hipotesis dan Tambahan ... 63

4.1 Uji Hipotesis ... 64

4.2 Uji T ... 64

Lampiran 5 : Hasil Uji Tambahan Kelima Aspek Religiositas...65

5.1 Uji Normalitas Kelima Aspek Religiositas...66

5.2 Uji Linieritas Kelima Aspek Religiositas...67

5.3 Uji Reliabilitas Kelima Aspek Religiositas...71

(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada akhir tahun 2012 adegan kekerasan banyak ditayangkan dalam

perfilman, video games dan televisi. Salah satunya yang dikemas dalam film, sinetron, acara-acara musik, talk show, komedi, dan berita. Meningkatnya proporsi tayangan kekerasan melahirkan kecaman akan timbulnya pengaruh

negatif bagi penonton. Kecemasan ini didasarkan pada sifat penyiaran televisi

ke rumah-rumah yang begitu bebas dan tidak terkendali, bahkan tidak dapat

dikendalikan (Comstock, 1987, dalam Sears, 1991, dalam Widiastuti, 2002).

Keprihatinan terhadap tayangan kekerasan berkait dengan pengaruh

psikologis khalayak terutama remaja. Tingkat kekerasan terus meningkat,

maraknya tawuran antar remaja selama bulan puasa hingga menelan korban

puluhan jiwa merupakan cermin semakin minimnya sosok panutan yang bisa

menjadi teladan masyarakat khususnya generasi muda di tanah air (Suara

Merdeka, 18 September 2008). Berita tersebut merupakan contoh dari

sebagian kecil kenakalan yang dilakukan remaja sekarang. Tidak kalah dengan

di media massa, acara berita kriminal di stasiun televisi banyak dipenuhi berita

perkelahian, tawuran antar pelajar, atau perkelahian antar geng. Beberapa

waktu yang lalu, kita semua dihebohkan dengan adanya aksi geng Nero yang

begitu brutal melakukan kekerasan kepada sesama remaja. Ironisnya, pelaku

(22)

geng pelajar di Kota Jogja kembali terjadi pada awal 2012 ini. Bahkan, aksi

yang dilakukan geng pelajar semakin beringas. Tidak hanya tawuran, mereka

juga berani menyekap dan menganiaya korbannya. Bahkan, untuk menakuti

lawannya, anggota geng pelajar berani mengaku sebagai polisi (Harian Jogja,

5 Januari 2012).

Tayangan kekerasan di TV (RCTI, MNC TV, SCTV, ANTV, INDOSIAR,

TRANS TV, TRANS7, dan GLOBAL TV) ternyata memiliki rating cukup

tinggi. Masayu S. Hanim, R. Muchtar, Rochmawati, dan Indra Astuti, peneliti

di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), melakukan penelitian

mengenai dampak tayangan kekerasan yang ada di media dengan mengambil

sampel sebanyak 200 responden untuk melihat dampak apa saja yang terjadi

dari televisi dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Palembang dan

Semarang. Sebanyak 41 persen responden mengaku menonton televisi selama

lebih dari tiga jam sehari. Sedangkan 43 persen responden mengaku menonton

tayangan televisi bertema kekerasan. Jika ditinjau dari sisi usia, tayangan

kekerasan lebih diminati kalangan remaja. Hampir sepertiga responden yang

menjawab sering menonton tayangan bertema kekerasan adalah kalangan

remaja. Dan sebanyak 14 persen responden mengaku pernah terlibat langsung

dalam tindak kekerasan (LIPI, 2006).

Survei yang dilakukan oleh Kidia Jakarta tahun 2002 menunjukan bahwa,

jam menonton televisi remaja lebih panjang dibandingkan dengan jam belajar

di sekolah. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Profesor Rubert Kubey

(23)

sebagian besar remaja menghabiskan waktunya rata-rata 1.000 jam untuk

melihat televisi dalam setahun (Shinta: 2002: 153-154). Hasil-hasil penelitian

tersebut memperkuat bahwa, sebagian besar orang merupakan golongan heavy viewer dalam menonton televisi yaitu, 4 jam atau lebih dalam sehari dihabiskan untuk menonton televisi. Bahkan anak-anak dan remaja

sebenarnya sudah banyak yang masuk dalam addictive group yaitu kelompok yang kecanduan terhadap tayangan-tayangan.

Akibat yang ditimbulkan dari banyaknya tayangan yang bertema

kekerasan salah satunya adalah perubahan pola pikir yang berpengaruh

pada perilaku remaja, seringnya melihat drama kekerasan yang penuh

dengan baku hantam, tuduh menuduh, saling memukul, dan menghina

dapat membentuk konsep berpikir bahwa kekerasan merupakan hal yang

normal dan bisa dijadikan salah satu solusi bagi permasalahan mereka

(Slotsve, Carmen, Sarver & Villareal-Watkins 2008). Hal tersebut sejalan

dengan penelitian Bushman (1998) yang menemukan tayangan kekerasan

dapat membentuk jaringan sistem kognisi tentang kekerasan dalam proses

berpikir. Hanim (2005) juga menyebutkan bahwa manusia adalah makhluk

peniru dan imitatif. Perilaku imitatif ini sangat menonjol pada masa kanak

-kanak dan remaja, sehingga cenderung menganggap apa yang ditampilkan

ditelevisi sesuai dengan sebenarnya serta sulit membedakan mana tayangan

yang fiktif dan mana yang kisah nyata. Selain itu mereka juga masih sulit

memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan norma agama dan

(24)

Hal-hal tersebut sungguh memprihatinkan apabila anak-anak terutama

remaja mengalami degradasi moral. Sementara remaja sendiri juga sering

dihadapkan pada dilema-dilema moral sehingga remaja merasa bingung

terhadap keputusan-keputusan moral yang harus diambilnya. Walaupun di

dalam keluarga mereka sudah ditanamkan nilai-nilai, tetapi remaja akan

merasa bingung ketika menghadapi kenyataan ternyata nilai-nilai tersebut

sangat berbeda dengan nilai-nilai yang dihadapi bersama teman-temannya

maupun di lingkungan yang berbeda. Pengasahan terhadap hati nurani sebagai

pengendali internal perilaku remaja menjadi sangat penting agar remaja bisa

mengendalikan perilakunya sendiri dan segera menyadari serta memperbaiki

diri ketika dia berbuat salah (Asrori, 2004). Hal ini merupakan salah satu tugas

perkembangan masa remaja yang penting adalah memperoleh perangkat nilai

dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku yaitu mengembangkan

ideologi (Hurlock, 1999).

Masalah keyakinan penting bagi kebanyakan remaja, namun pada abad

ke-21, terjadi tren penurunan keyakinan pada remaja. Dalam sebuah studi

nasional terhadap remaja Amerika pada tahun 2007, sebanyak 78 persen

mengatakan mereka mendatangi tempat ibadah secara teratur atau saat tertentu

selama tahun terakhir di sekolah menengah atas, dari sebelumnya 85 persen

pada tahun 1997 (pryor dkk, 2007, dalam Santrock, 2011).

Peneliti telah menemukan bahwa berbagai aspek agama terkait dengan

hasil yang positif bagi remaja (Bridgers & Snarey, 2010; King & Roesser,

(25)

dan masalah perilaku mereka (Cotton dkk, 2006, dalam Santrock, 2011).

Sebagai contoh, dalam sebuah sampel acak nasional yang terdiri dari 2000

orang remaja usia 11-18 tahun, mereka yang tingkat religiusnya tinggi

cenderung lebih sedikit merokok, minum alcohol, menggunakan ganja, bolos

sekolah, terlibat dalam kenakalan remaja, dan tidak merasa depresi

dibandingkan remaja yang tingkat religiusnya rendah (Sinha, Cnaan< &

Gelles, 2006, dalam Santrock, 2011).

Ghufron dan Risnawati (dalam Rinasti, 2012) memandang bahwa

religiositas menunjuk pada tingkat ketertarikan individu terhadap agamanya

dengan menghayati dan menginternalisasikan ajaran agamanya sehingga

berpengaruh dalam segala tindakan dan cara pandang hidupnya. Religiositas

merupakan penghayatan aspek religi dalam hati dan bagaimana aspek religi itu

diamalkan dalam kehidupan (Mangunwijaya, dalam Rinasti, 2012). Oleh

sebab itu, religiositas secara esensial sangat erat hubungannya dengan

perikemanusiaan (Y.B. Mangunwijaya, 1982). Dengan demikian seorang

religius dalam hidupnya tidak mau dan selalu waspada untuk tidak

diombang-ambingkan oleh kesemuan-kesemuan. Ia lebih suka mengejar apa yang

maknawi dan bukan sekedar mengejar kepuasan-kepuasan hedonisme belaka,

bukan pula sekedar mengejar formalitas. Ia lebih mendahulukan sikap

bertanya apa yang bisa diberikan untuk kehidupan ini, dan bukan dipenuhi

oleh pikiran-pikiran tentang apa yang bisa diperoleh pada setiap kesempatan.

Maka wajar saja jika seorang religius lebih bersifat altruistik dan bukannya

(26)

Nilai dan ajaran agama inilah yang menurut Fridani (1996) diharapkan

dapat menjadi faktor yang menyebabkan remaja mampu mengendalikan

dirinya. Agama menurut Haditono (Haryanto, 1993) mutlak dibutuhkan untuk

memberikan kepastian norma, tuntunan untuk hidup secara sehat dan benar,

dimana norma agama ini merupakan kebutuhan psikologis yang akan

memberikan keadaan mental yang seimbang, mental yang sehat dan jiwa yang

tenteram. Katolik bukan hanya agama, tetapi juga suatu landasan hidup, cara

hidup dengan seperangkat aturan moral, etika dan nilai-nilai spiritual. Menjadi

remaja menurut Furter (Mönks, 1994) berarti juga mengerti nilai-nilai, tidak

hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga dapat menjalankannya.

Diharapkan sejalan dengan taraf perkembangan intelektualnya, remaja sudah

dapat menginternalisasi penilaian moral, menjadikannya sebagai nilai pribadi

sendiri, termasuk nilai dan ajaran agama. Nilai dan ajaran tersebut kemudian

diamalkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk perilaku menonton tayangan

kekerasan. Menonton tayangan kekerasan berlawanan dengan nilai-nilai dan

ajaran agama maka remaja secara otomatis akan mengurangi intensitas atau

waktu untuk menonton tayangan kekerasan.

Berdasarkan uraian di atas peneliti sangat tertarik untuk mengetahui

seberapa besar hubungan antara religiositas dengan intensitas menonton

tayangan kekerasan terutama pada remaja akhir. Apakah religiositas

berpengaruh positif terhadap menurunnya intensitas menonton tayangan

(27)

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: apakah ada hubungan

antara tingkat religiositas dengan intensitas menonton tayangan kekerasan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bartujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara

tingkat religiositas dengan intensitas menonton tayangan kekerasan

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan

ranah penelitian psikologi khususnya yang berhubungan dengan intensitas

menonton tayangan kekerasan pada remaja akhir.

2. Manfaat praktis:

a) Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

perkembangan ranah penelitian psikologi khususnya yang

berhubungan dengan intensitas menonton tayangan kekerasan pada

remaja akhir.

b) Bagi Remaja

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu remaja

mengetahui pentingnya meningkatkan religiositas dalam kehidupan

(28)

c) Bagi Stasiun Televisi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan

pemikiran kepada pihak-pihak terkait (stasiun televisi, produser, dll)

berkenaan dengan dampak psikologis intensitas menonton tayangan

(29)

9

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Remaja

Salah satu periode dalam rentang kehidupan individu adalah masa (fase)

remaja. Menurut Desmita (2008: 189) istilah remaja berasal dari bahasa latin

“adolescere” yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan

menjadi dewasa. Sedangkan menurut bahasa aslinya, remaja sering dikenal

dengan istilah “adolescence”. Menurut Piaget, Istilah “adolescence” yang

dipergunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan

mental, emosional, sosial dan fisik.

Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai

penyimpangan dan ketidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya

teori-teori perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi

dan gangguan perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami

remaja karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat

perubahan lingkungan.

Hurlock (1973) memberi batasan masa remaja berdasarkan usia

kronologis, yaitu antara 12 hingga 21 tahun. Menurut Thornburgh (1982),

batasan usia tersebut adalah batasan tradisional, sedangkan aliran kontemporer

membatasi usia remaja antara 11 hingga 22 tahun. Monks (2006: 262)

mengatakan bahwa masa remaja berlangsung antara usia 12 tahun sampai 21

(30)

remaja pertengahan, 18-21 tahun: masa remaja akhir. Dalam penelitian ini

peneliti menggunakan remaja akhir antara 18 hingga 21 tahun.

Menjalani periode-periode ini, remaja memerlukan panduan sebagai tolak

ukur dalam menilai keberhasilan perkembangan, yang oleh Havighust (dalam

Hurlock, 1999) disebut sebagai tugas-tugas perkembangan. Ketika tugas-tugas

perkembangan dapat dilalui oleh remaja berarti mereka berhasil dalam

melakukan penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial, sedangkan apabila

remaja tidak mampu melewati tugas-tugas perkembangan dengan baik mereka

akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian yang mengakibatkan

penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial menjadi buruk.

Tugas-tugas perkembangan remaja meliputi : mencapai hubungan baru

yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai

peran sosial pria dan wanita, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan

tubuhnya secara efektif, mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang

bertanggung jawab, mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan

orang-orang dewasa lainnya, mempersiapkan karir ekonomi, mempersiapkan

perkawinan dan keluarga dan memperoleh perangkat nilai dan sistem etis

sebagai pegangan untuk berperilaku yaitu mengembangkan ideologi (Hurlock,

1999).

Menurut Hurlock (1980: 222) periode remaja memang disebut sebagai

periode keraguan religius. Wagner (dalam Hurlock 1980: 222) menjelaskan

bahwa yang dimaksud dengan keraguan religius tersebut adalah tanya-jawab

(31)

mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin

menerimanya begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin

menjadi agnostik atau atheis, melainkan karena mereka ingin menerima

agama sebagai sesuatu yang bermakna. Mereka ingin mandiri dan bebas

menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.

Tingkat keyakinan dan ketaatan beragama pada remaja sebenarnya

banyak tergantung dari kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan

konflik batin yang terjadi dalam diri. Dalam mengatasi kegalauan batin ini

para remaja cenderung untuk bergabung dalam kelompok teman sebaya untuk

berbagi rasa dan pengalaman. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan

emosionalnya, para remaja juga sudah menyenangi nilai-nilai etika dan

estetika. Namun demikian dalam kenyataannya apa yang dialami oleh

remaja selalu berbeda dengan apa yang mereka inginkan. Nilai-nilai

ajaran agama yang diharapkan dapat mengisi kekosongan batin mereka

terkadang tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan. Sikap kritis terhadap

lingkungan memang sejalan dengan perkembangan intelektual yang

dialami para remaja. Dalam situasi bingung dan konflik batin

menyebabkan remaja sulit untuk menentukan pilihan yang tepat. Dalam

situasi yang demikian itu, maka peluang munculnya perilaku menyimpang

terbuka lebar (Jalaluddin 2002: 82).

Menurut Jones (dalam Hurlock 1980: 222) perubahan minat religius

selama masa remaja lebih radikal daripada perubahan dalam minat akan

(32)

mencerminkan kurangnya keyakinan, melainkan suatu kekecewaan

terhadap organisasi keagamaan dan penggunaan keyainan serta khotbah

dalam penyelesaian masalah sosial, politik dan ekonomi.

B. Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan

1. Tayangan Kekerasan

Intensitas dalam kehidupan sehari-hari menggambarkan tingkah

laku atau ukuran. Selanjutnya, dalam kamus Bahasa Inggris intensitas

diistilahkan dengan intensity, diartikan dengan kehebatan (hebat, kuat) (echols & Shadily, 1987). Fishbein dan Ajzen (1975) mengartikan

intensitas adalah besarnya usaha individu dalam melakukan sesuatu.

Selanjutnya, Azwar (1998) mengartikan intensitas sebagai kekuatan atau

kedalaman sikap terhadap sesuatu. Sementara Dahrendorf (dalam

Zamrini, 1992, dalam Ancok, 2003) mengartikan intensitas sebagai

sebuah istilah yang terkait dengan “pengeluaran energi”, atau banyaknya

kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam waktu tertentu.

Beraneka jenis tayangan disaksikan oleh remaja di televisi.

Meskipun demikian, pada umumnya acara yang paling sering ditonton

anak dan remaja adalah tayangan yang mengandung unsur kekerasan

(dalam Iryani & Astuti, 2004). Tayangan kekerasan adalah suatu

pertunjukan di televisi yang memperlihatkan perilaku seseorang baik

sengaja maupun tidak sengaja melukai orang lain secara fisik seperti

(33)

bom, perampokan, pembajakan, sabotase. Sedangkan secara psikis bisa

melalui teror kata-kata, penfitnahan atau pemaksaan ide, berkata kasar,

mencaci, mengejek dan lain sebagainya.

Dalam hal ini, intensitas menonton tayangan kekerasan merupakan

intensitas menonton informasi berupa tayangan mengandung unsur

kekerasan baik fisik maupun psikis yang ditayangkan stasiun-stasiun

televisi yang ada di tanah air. Dengan demikian intensitas menonton

tayangan kekerasan adalah besarnya tingkah laku menyaksikan suatu

pertunjukan di televisi yang memperlihatkan perilaku seseorang baik

sengaja maupun tidak sengaja menyakiti orang lain secara fisik maupun

psikis dengan memperhatikan durasi waktu dalam jam per minggu.

2. Faktor Yang Mempengaruhi Kebiasaan Menonton Tayangan

Berdasarkan penelitian Guntoro (2003) kebiasaan menonton acara

televisi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya umur, jenis

kelamin, gaya menonton, frekuensi, dan lamanya menonton. Menurut JB.

Wahyudi (1983) faktor yang mempengaruhi kebiasaan menonton dibagi

menjadi tiga macam, yaitu:

a. Rasa ingin tahu, keingintahuan seseorang mendoronganya

untuk bereaksi positif ke arah hal-hal yang baru, aneh, dan

misterius dalam lingkungannya dengan mendekatinya,

memeriksanya, atau mempermainkannya, selalu mengamati

(34)

menekuni sesuatu untuk menyelidiki unsur-unsur benda

tersebut (Kurniati, Daud & Khumas, 2005). Keingintahuan

biasanya ditunjukkan dengan bertanya, sebab tekanan sosial

dalam bentuk teguran dan hukuman menuntut mereka untuk

tidak lagi langsung mendekati dan meneliti benda yang ingin

mereka ketahui.

b. Pengaruh lingkungan yang terdiri dari keluarga, lingkungan

tempat tinggal dan keadaan di sekolah. Keluarga berperan

penting dalam membentuk karakter kepribadian remaja,

membangun pribadi remaja yang kuat dan bermoral serta

tidak mudah dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh lingkungan

sosial yang tidak baik dan menyimpang dari ajaran moral

(Notoatmodjo, 1993).

c. Motif atau dorongan tugas menurut Gleitman (muhibinsyah,

2000) motif adalah keadaan internal organisme (baik manusia

ataupun hewan) yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu.

Dorongan ini didukung oleh faktor-faktor yang ada dalam

diri seseorang yang menggerakkan, mengarahkan perilakunya

untuk memenuhi tujuan tertentu. Remaja menonton tayangan

kekerasan didorong oleh adanya tugas perkembangan untuk

mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya.

Tuntutan teman-teman sebaya agar tetap memiliki wawasan

(35)

mengikuti acara televisi remaja tersebut dapat ikut

menentukan diterima atau tidak diterima dalam kelompok

teman sebaya.

Janowitz & Hirsch (1981; dalam Ancok, 2003) mengatakan

intensitas menonton pada anak dan remaja ditandai rasa ingin tahu,

rangsang untuk melakukan eksplorasi, dan berusaha memahami dunia

sekitar.

3. Dampak Tayangan Kekerasan

Televisi merupakan media yang paling banyak ditonton oleh

anak-anak dan remaja. Menurut Schramm (dalam Biagi, 1990) anak-anak dan

remaja lebih banyak memperhatikan televisi daripada media lain.

Mereka adalah pemirsa televisi yang sangat loyal (Rice, 1984). Intensitas

menonton televisi anak dan remaja erat kaitannya dengan perkembangan

jiwanya yang ditandai rasa ingin tahu, rangsang untuk melakukan

eksplorasi, dan berusaha memahami dunia sekitarnya (Janowitz &

Hirsch, 1981). Penyebab lain, adalah karakteristik televisi sebagai media

yang sifatnya audio-visual dalam penerimaan pesan-pesannya tidak

menuntut pemirsanya memiliki kemampuan tertentu seperti media cetak

yang menuntut kemampuan membaca (dalam Ancok, 2003). Laporan

penelitian menunjukkan bahwa rata-rata perilaku menonton televisi

(36)

anak-anak atau remaja lebih banyak menghabiskan waktu menonton

televisi daripada bermain (Singer, dalam Tucher, 1987).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa televisi merupakan salah

satu faktor yang berpengaruh kuat dalam masyarakat terutama dalam hal

perkembangan dan perilakunya. Rushton (dalam Tucher, 1987)

menyatakan bahwa televisi dapat menjadi sebuah pendorong sekaligus

guru bagi norma-norma perilaku anti-sosial, dan hal ini akan menjadi

masalah sosial ketika kita menyadari betapa banyak karakter di televisi

yang melakukan perilaku anti-sosial. Tucher (1987) melaporkan bahwa

remaja yang menonton televisi pada tingkat rendah ternyata lebih sehat

secara fisik, emosi lebih stabil, imajinatif, santai, aktif secara fisik, dapat

mengontrol diri, cerdas, bermoral, berpendidikan, religius, dan lebih

percaya diri daripada remaja yang sering menonton televisi, dan mereka

juga tidak banyak mempunyai masalah psikologis (dalam Ancok, 2003).

Menurut Bandura (dalam andy, 2011), kita belajar bukan saja dari

pengalaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modeling).

Perilaku merupakan hasil faktor kognitif dan lingkungan. Jadi dengan

seberapa besar atau seringnya individu melihat tayangan kekerasan, akan

terjadi proses peniruan atau peneladanan (modeling). Bandura

menjelaskan proses belajar sosial dalam empat tahapan proses-proses

perhatian, proses pengingatan (retention), proses produksi, dan proses

(37)

Komunikasi massa menampilkan berbagai model untuk ditiru

khalayaknya. Media cetak mungkin menyajikan pikiran dan gagasan

yang lebih jelas dan lebih mudah dimengerti daripada yang dikemukakan

oleh orang-orang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Media piktoral

seperti televisi, film, komik secara dramatis mempertontonkan perilaku

fisik yang mudah ditiru dan dicontoh. Melalui televisi, orang meniru

perilaku idola mereka khususnya disini adalah para remaja yang

mengidolakan aktris maupun aktor pada tayangan tersebut (Rakhmat,

2003).

Vedantam (Vedantam, Shankar, 2002) menulis bahwa para remaja

dan individu pada masa dewasa awal yang menonton televisi paling

sedikit satu jam setiap hari cenderung untuk terlibat perkelahian atau

pertengkaran, melakukan penyerangan-penyerangan atau terlibat dengan

bentuk-bentuk lain dari kekerasan dalam kehidupan. Dia juga menulis

bahwa semakin sering individu menonton televisi maka semakin

cenderung mereka untuk melakukan kekerasan nantinya.

James Potter (2002) pernah menuliskan beberapa hal penting,

diantaranya mengenai dampak media, baik dampak jangka pendek,

maupun jangka panjang. Bicara dampak, sebenarnya kita bisa

melihatnya dari dua sisi, baik dari sisi buruk maupun baik. Dalam

kontek buku ini, Potter memang menyoroti dampak negatif, terkait

topik tayangan kekerasan dalam media. Ada dua dampak yang

(38)

menyebutkan ada beberapa dampak jangka pendek dari tayangan

kekerasan di media, yaitu: adanya perilaku meniru dari apa yang dia

lihat di media (Imitation and Copying Behavior). Kalau seseorang

apalagi remaja yang setiap kali melihat tayangan kekerasan di

televisi maka ia akan cenderung untuk meniru apa yang dilihat

untuk melakukannya kepada teman. Dampak negatif lain dari

menonton tayangan kekerasaan di media adalah Eksposur dari

tayangan kekerasan dalam media, mengurangi kemampuan mereka

dalam menahan diri yang secara normal menghindarkan mereka dari

tindakan kekerasan (disinhibitation). Nilai-nilai yang membuat mereka

menahan diri dari kekerasan, bisa terkikis oleh tayangan kekerasan yang

berulang-ulang dari media.

C. Religiositas

1. Pengertian Religiositas

Jacob (2002) mengatakan bahwa religiositas, khususnya sebagai

iman persona, diungkapkan dalam agama dan diwujud nyatakan dalam

kehidupan sehari-hari. Religiositas menurut Meichati (dalam Caroline,

1999) dapat memberikan kekuatan jiwa bagi seseorang dalam

menghadapi tantangan dan cobaan hidup, memberikan bantuan moral

dalam menghadapi krisis, serta menimbulkan kerelaan manusia

(39)

Religiositas sendiri oleh Wulf (1989) dirumuskan sebagai perasaan

keagamaan, yaitu segala perasaan batin yang ada hubungannya dengan

Tuhan. Religiositas lebih dalam dari agama yang tampak, formal dan

resmi karena lebih melihat aspek yang ada dalam lubuk hati yang

sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada kegaiban yaitu

kenyataan-kenyataan supra empiris (Madjid, dalam Ancok, 1995).

Seorang religius adalah individu yang mencoba mengerti hidup dan

kehidupan secara lebih dalam dari batas lahiriah semata, yang bergerak

dari dimensi vertikal kehidupan dan mentransedensikan hidup ini.

Seharusnya orang beragama adalah sekaligus religius, tetapi religiositas

tidak identik dengan agama (Tillich, dalam Ancok, 1985, dalam

Indigenous, 2002).

Mangunwijaya (1986) membedakan istilah religi dengan

religiositas. Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian

kepada Tuhan atau kepada “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi,

yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan

organisasi tafsir kitab-kitab keramat dan sebagainya yang melingkupi

segi-segi kemasyarakatan (Gesellschaft, bahasa Jerman). Religiositas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani

pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain,

karena menapaskan intimitas jiwa, de Coeur dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawinya)

(40)

lebih bergerak dalam tata paguyuban (Gemeinschaft) yang cirinya lebih intim.

Dister (1990) mengartikan religiositas sebagai keberagamaan, yang

berarti adanya unsur internalisasi agama dalam diri individu. Di samping

itu, Glock dan Stark (Robertson, 1993) mengatakan bahwa

keberagamaan seseorang itu menunjuk pada komitmen seseorang

terhadap agamanya.

Berdasarkan dari beberapa definisi tersebut dapat diambil

kesimpulan bahwa religiositas dapat diartikan sebagai suatu keadaan

yang ada di dalam diri seseorang yang mendorongnya bertingkah laku,

bersikap, dan bertindak sesuai dengan ajaran agamanya.

2. Aspek-aspek Religiositas

Menurut Y.B. Mangunwijaya agama lebih menunjuk pada

kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada Dunia Atas dalam

aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan

hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir al-Kitab. Dengan kata

lain, agama lebih menunjuk pada huruf, atau badan, atau kerangka

formal. Sedangkan religiositas lebih menunjuk kepada roh, pada esensi.

Religiositas lebih melihat pada aspek yang di dalam lubuk hati, riak

getaran hati nurani pribadi, cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk

(41)

religiositas secara esensial sangat erat hubungannya dengan

perikemanusiaan (Y.B. Mangunwijaya, 1982).

Glock (Paloutzian, 1996) membagi religiositas menjadi 5 aspek

atau dimensi:

a. Religious belief (the ideological dimension), merupakan dimensi ideology, memberi gambaran sejauh mana seseorang menerima

hal-hal yang dogmatic dalam ajaran agamanya. Misalnya percaya adanya

surga, neraka, malaikat, kiamat, dan lain-lain.

b. Religious practice (the ritualistic dimension), merupakan dimensi ritual, yakni sejauh mana seseorang mengerjakan

kewajiban-kewajiban ritual agamanya. Misalnya: mengkuti misa kudus pada

hari minggu bagi umat Kristen Protestan, berpuasa dibulan

Ramadhan bagi umat Islam, tidak melakukan aktivitas pada hari raya

Nyepi bagi umat Hindu, dan lain-lain.

c. Religious feeling (the experiential dimension), merupakan dimensi perasaan, memberi gambaran tentang perasaan-perasaan keagamaan

yang dialami individu. Misalnya : merasa dicintai Tuhan, merasa

dosanya diampuni, merasa doanya dikabulkan Tuhan.

d. Religious knowledge (the intellectual dimension), merupakan dimensi intelektual, yaitu seberapa jauh pengetahuan seseorang

terhadap ajaran agama yang dianutnya, terutama yang terdapat dalam

(42)

Suci. Misalnya: orang tahu maksud hari raya agamanya, hukum/

dogma agamanya, memahami isi Kitab Suci, dan lain-lain.

e. Religious effect (the consequential dimension), merupakan dimensi kensekuensial, yakni mengungkap sejauh mana perilaku seseorang

dimotivasi oleh ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya: mau mengampuni kesalahan sesama, mendoakan dan

mencintai musuh, dan lain-lain.

Tingkat religiositas seseorang ditentukan oleh tinggi rendahnya

masing-masing aspek religius yang dimiliki oleh individu yang

bersangkutan (Glock & Stark, 1988, dalam Indigenous, 2002). Adapun

ciri-ciri individu yang mempunyai tingkat religiositas tinggi dapat dilihat

dari tindak tanduk, sikap dan perkataan, serta seluruh jalan hidupnya

mengikuti aturan-aturan yang diajarkan oleh agama (dalam penelitian ini

lebih spesifik agama katolik).

3. Fungsi Religiositas

Fungsi religiositas bagi manusia erat kaitannya dengan fungsi

agama. Agama merupakan kebutuhan emosional manusia dan

merupakan kebutuhan alamiah. Fungsi agama bagi manusia adalah

sebagai pengawasan sosial. Agama ikut bertanggungjawab terhadap

norma-norma sosial sehingga agama mampu menyeleksi kaidah-kaidah

sosial yang ada, mengukuhkan kaidah yang baik dan menolak kaidah

(43)

memberi sanksi bagi yang melanggar larangan agama dan memberikan

imbalan pada individu yang mentaati perintah agama. Hal tersebut

membuat individu termotivasi dalam bertingkah laku sesuai dengan

norma-norma yang berlaku di masyarakat, sehingga individu akan

melakukan perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan. (Djamaludin

Ancok dan Fuat Nashori, 2005: 124-128).

D. Dinamika Penelitian

Berdasarkan beberapa pengertian religiositas di atas dapat disimpulkan

bahwa religiositas dalam penelitian ini berarti penghayatan dan pengalaman

individu terhadap ajaran agamanya yang diwujudnyatakan dalam kehidupan

sehari-hari. Di Indonesia, perkembangan berbagai agama saat ini sangat baik.

Setiap agama berusaha membina umatnya secara dini, seperti umat Islam yang

membina anak-anak sejak dini melalui TPA, umat Kristen dengan sekolah

minggu dan kelompok remajanya, khususnya dalam penelitian ini umat

Katolik dengan Orang Muda Katolik (OMK), misdinar, pendalaman Alkitab,

retret, dan lain-lain. Semua kegiatan yang dilakukan berbagai agama tersebut

bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai religius sedini mungkin kepada

remaja, sehingga diharapkan pada masa dewasa nanti berkembang menjadi

manusia yang memiliki religiositas yang tinggi sesuai agama dan

kepercayaannya.

Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai

(44)

bersikap dan berperilaku agar sejalan dengan keyakinan agama yang

dianutnya. Pengaruh sistem nilai dalam agama terhadap kehidupan yang telah

diinternalisasi sebagai nilai pribadi dirasakan oleh individu sebagai prinsip

yang menjadi pedoman hidup. Nilai dalam realitasnya memiliki pengaruh

dalam mengatur pola perilaku, pola berpikir dan pola bersikap. Tindakan

individu menjadi terikat oleh ketentuan antara hal yang boleh dan tidak boleh

dalam ajaran agama yang dianutnya (Jalaludin, 1996). agama mampu

menyeleksi kaidah-kaidah sosial yang ada, mengukuhkan kaidah yang baik

dan menolak kaidah yang buruk agar ditinggalkan dan dianggap sebagai

larangan.

Agama memberi sanksi bagi yang melanggar larangan agama dan

memberikan imbalan pada individu yang mentaati perintah agama. Hal

tersebut membuat individu termotivasi dalam bertingkah laku sesuai dengan

norma-norma yang berlaku di masyarakat, sehingga individu akan melakukan

perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Azwar (1995) menyatakan

bahwa religiositas seringkali dijadikan determinan tunggal dalam menentukan

sikap. Oleh karena itu nilai-nilai agama yang telah diinternalisasi oleh

seseorang, diharapkan mampu menuntun semua perilaku dan sikapnya.

Maka dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa religiositas dapat

membantu seseorang dalam melakukan evaluasi terhadap intensitas menonton

tayangan kekerasan. Seseorang yang memiliki religiositas tinggi akan

menyeleksi segala perilaku baik maupun buruk. Dalam penelitian ini

(45)

dan berlawanan dengan nilai-nilai atau ajaran agama sehingga perlu dihindari

karena dapat membuat remaja merasa bersalah atau berdosa.

E. Hipotesis Inferensial

Berdasarkan teori-teori di atas maka peneliti mengasumsikan bahwa ada

korelasi antara religiositas dengan intensitas menonton tayangan kekerasan.

Semakin religius seseorang maka makin negatif intensitas terhadap menonton

tayangan kekerasan, makin tidak religius seseorang makin positif terhadap

intensitas menonton tayangan kekerasan.

Religiositas Tinggi

Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan

Sebagai pengawas sosial religiositas menghambat perilaku yang berlawanan dengan nilai-nilai agama.

(46)

26

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian inferensial yang bertujuan untuk

menyelidiki hubungan antarvariabel dengan pengujian hipotesis. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kuantitatif (terukur) menekankan analisisnya pada

data-data numerical (angka) yang diolah dengan metode statistika (Azwar,

2009). Dalam penelitian ini penulis ingin menyelidiki ada tidaknya hubungan

antara tingkat religiositas dengan intensitas menonton tayangan kekerasan

pada remaja akhir

B. Variabel Penelitian

1. Variabel tergantung : intensitas menonton tayangan kekerasan

2. Variabel bebas : tingkat religiositas

C. Definisi Operasional

Definisi operasional dari intensitas menonton tayangan kekerasan adalah

besarnya durasi waktu pada saat menonton tayangan kekerasan. Penyusunan

skala Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan disusun dengan

memperhatikan durasi waktu menonton tayangan kekerasan per jam dalam

(47)

Definisi operasional dari religiositas, adalah suatu keadaan yang ada di

dalam diri seseorang yang mendorongnya bertingkah laku, bersikap dan

bertindak sesuai dengan ajaran agamanya. Tingkat religiositas dalam

penelitian ini diukur dengan skala tingkat religiositas yang disusun

berdasarkan aspek-aspek yang dipaparkan oleh Glock yaitu: ideologi, ritual,

perasaan, intelektual dan konsekuensi. Skor yang tinggi pada skala itu

menunjukkan tingginya tingkat religiositas; sedangkan skor rendah

menunjukkan rendahnya tingkat religiositas.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja berjenis kelamin laki-laki dan

perempuan yang berusia antara 18 – 21 tahun, belum menikah, dan beragama

katolik. Pembatasan usia dan status perkawinan subjek tersebut didasarkan

pada batasan usia remaja akhir. Pemilihan agama Khatolik dikarenakan

keterbatasan pengetahuan peniliti mengenai ajaran agama yang diperlukan

untuk pembuatan butir-butir yang terdapat dalam alat ukur, subjek dalam

penelitian ini masih menjalani pendidikan akademik di jenjang Sekolah

Menengah Atas (SMA Negeri) yang masih tinggal bersama orangtua dan

(48)

E. Sampling

Sampling penelitian dalam penelitian ini menggunakan model sampel

random sederhana (sample random sampling), dilakukan dengan mengundi nama-nama subjek dalam populasi.

F. Metode dan Alat pengukuran Data

Penelitian ini mengukur hubungan antara tingkat religiositas dengan

intensitas menonton tayangan kekerasan pada remaja akhir. Maka untuk

mengolah data digunakan tehnik korelasi. Adapun alat pengumpul data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Skala Religiositas

2. Skala Intensitas menonton tayangan kekerasan

Alasan penggunaan skala religiositas dalam penelitian ini adalah untuk

membedakan subjek dengan kadar religiositas rendah dan subjek dengan

religiositas yang tinggi.

Adapun skala yang digunakan dalam masing-masing variabel penelitian

ini adalah:

1. Skala Religiositas

Penyusunan skala religiositas disusun berdasarkan 5 aspek atau

dimensi yang dikemukakan oleh Glock (Paloutzian, 1996):

(49)

hal-hal yang dogmatic dalam ajaran agamanya. Misalnya percaya adanya

surga, neraka, malaikat, kiamat dan lain-lain.

b. Religious practice (the ritualistic dimension), merupakan dimensi ritual, yakni sejauh mana seseorang mengerjakan

kewajiban-kewajiban ritual agamanya. Misalnya: mengkuti misa kudus pada

hari minggu bagi umat Kristen Protestan, berpuasa dibulan Ramadan

bagi umat Islam, tidak melakukan aktivitas pada hari raya Nyepi bagi

umat Hindu, dan lain-lain.

c. Religious feeling (the experiential dimension), merupakan dimensi perasaan, memberi gambaran tentang perasaan-perasaan keagamaan

yang dialami individu. Misalnya : merasa dicintai Tuhan, merasa

dosanya diampuni, merasa doanya dikabulkan Tuhan.

d. Religious knowledge (the intellectual dimension), merupakan dimensi intelektual, yaitu seberapa jauh pengetahuan seseorang

terhadap ajaran agama yang dianutnya, terutama yang terdapat dalam

Kitab Suci ataupun karya tulis lain yang berpedoman pada Kitab

Suci. Misalnya: orang tahu maksud hari raya agamanya, hokum/

dogma agamanya, memahami isi Kitab Suci, dan lain-lain.

e. Religious effect (the consequential dimension), merupakan dimensi kensekuensial, yakni mengungkap sejauh mana perilaku seseorang

dimotivasi oleh ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya: mau mengampuni kesalahan sesame,mendoakan dan

(50)

Berdasarkan lima dimensi diatas, selanjutnya peneliti menyusun 80

butir pernyataan yang terdiri dri 40 pernyataan favorable dan 40

pernyataan unfavorabel. Pernyataan-pernyataan tersebut dapat dilihat dari

tabel sebagai berikut:

TABEL 1

Tabel spesifikasi item-item Skala Religiosiatas

No. Aspek No. Item Jumlah Prosentase

3. Perasaan 17,18,19,20,2 1,22,23,24

57,58,59,60, 61,62,63,64

16 20

4. Intelektual 25,26,27,28,2 9,30,31,32

65,66,67,68, 69,70,71,72

16 20

5. Konsekuensi 33,34,35,36,3 7,38,39,40

73,74,75,76, 77,78,79,80

16 20

Total 100

Penyusunan item-item skala religiositas ini disusun berdasarkan

skala model Likert. Pilihan jawaban pada masing-masing item terdiri dari

4 (empat) kategori yaitu sebagai berikut:

1. Sangat Setuju (SS)

2. Setuju (S)

3. Tidak Setuju (TS)

4. Sangat Tidak Setuju (STS)

Setiap kategori pilihan jawaban akan diberi skor. Pemberian skor

(51)

 Untuk item-item yang favorabel jawabannya : Sangat Setuju (SS),

Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS)

masing-masing diberi skor: 4,3,2,1.

 Untuk item-item yang unfavorabel jawabannya : Sangat Setuju (SS),

Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS)

masing-masing diberi skor: 1,2,3,4.

2. Skala Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan

Penyusunan skala Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan

disusun dengan memperhatikan durasi waktu menonton tayangan

kekerasan per jam dalam seminggu. Dibawah ini adalah skala Intensitas

Menonton Tayangan Kekerasan:

Beberapa tahun terakhir ini adegan kekerasan banyak ditayangkan

dalam perfilman di Televisi. Perkelahian, pemukulan, pembunuhan, caci

maki dan sebagainya yang merusak dan merugikan orang lain selalu muncul

dalam film-film barat maupun acara-acara dalam negri. Tayangan kekerasan

adalah suatu pertunjukan di televisi yang memperlihatkan perilaku seseorang

baik sengaja maupun tidak sengaja melukai orang lain secara fisik seperti

tindakan penculikkan, pemerkosaan, pemukulan, pembunuhan, teror bom,

perampokan, pembajakan, sabotase. Sedangkan secara psikis bisa melalui

teror kata-kata, penfitnahan atau pemaksaan ide, berkata kasar, mencaci,

mengejek dan lain sebagainya.

Adapun beberapa contoh tayangan kekerasan di Televisi

berdasarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) :

1. Tayangan kekerasan secara fisik:

Penghuni terakhir (ANTV) menayangkan muatan yang mendorong

(52)

tersebut secara lumrah, One piece (Global TV) menayangkan adegan

pembunuhan dengan menyemburkan darah yang dilakukan oleh tokoh

pengawal Kahardol yang bertangan besi kepada kepada tokoh pembantu

putri, dan lain sebagainya.

2. Tayangan kekerasan secara psikis:

Dahsyat (RCTI) melanggar terhadap penghormatan nilai agama,

kesopanan dan kata-kata kasar, Penghuni terakhir (ANTV) menayangkan

muatan yang mendorong remaja belajar berkata-kata yang tidak pantas

dan/atau membenarkan hal tersebut secara lumrah, Mariam mikrolet

(Trans TV) adanya adegan yang tidak mencerminkan suatu

penghormatan terhadap keanekaragaman agama dalam masyarakat

indonesia, dan lain sebagainya.

Saya menonton Tayangan Kekerasan di Televisi ...jam dalam

seminggu

Skala intensitas menonton tayangan kekerasan diatas memiliki

kelemahan karena hanya menggunakan durasi waktu yang dihitung

berdasarkan jam per minggu. Hal ini terjadi akibat keterbatasan peneliti

akan teori intensitas.

G. Kredibilitas Alat Ukur

1. Estimasi Validitas

Validitas adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur

dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2000). Validitas skala

(53)

dan dikembangkan berdasarkan definisi operasional dari kelima aspek

sebagai indikator religiositas.

2. Seleksi Item

a. Pemilihan item dilakukan dengan mengacu pada kriteria dari korelasi

item total dengan batasan lebih besar atau sama dengan 0,30 (rix ≥

0,30), sehingga item memiliki korelasi item-total kurang dari 0,30

digugurkan (Azwar, 2000)

b. Analisis item dilakukan untuk memilih item yang mampu

membedakan mana subjek yang tinggi dan mana subjek yang rendah.

3. Estimasi Reliabilitas

Reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya

(Azwar, 2003). Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’)

yang angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00. Semakin

tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi

reliabilitas. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0

berarti semakin rendah reliabilitasnya (Azwar, 2000).

Konsistensi item dalam skala dilakukan dengan cara mengkorelasikan

(54)

H. Skala Setelah Try Out

Hasil Uji Coba Skala Religiositas

Skala Religiositas dihitung menggunakan SPSS for Windows versi 17.0. Seleksi item menggunakan koefisien korelasi item total. Kriterian item yang

diterima jika korelasinya positif dan sama dengan atau lebih besar dari 0,3

(Azwar, 1999). Uji reliabilitas Skala Religiositas pada 80 item dengan α =

0,939 dan 32 item gugur. Setelah menghilangkan item gugur, koefisien

reliabilitas α = 0,939 dengan 48 item. Hasil uji coba Skala Religiositas dapat

dilihat pada tabel berikut :

TABEL 2

Tabel spesifikasi item-item Skala Religiositas Setelah Uji Coba

No. Aspek No. Item Jumlah Persentase 1. Ideologi 1,2,3,4,5,6 6 20,79 % 2. Ritual 7,8,9,10,11,12 6 20,79 % 3. Perasaan 13,14,15,16,17,18 6 20,79 % 4. Intelektual 19,20,21,22,23,24 6 20,79 % 5. Konsekuensi 25,26,27,28,29 5 17,24%

Total 29 100

I. Metode Analisis Data

1. Uji Asumsi

Uji asumsi merupakan salah satu syarat dalam penggunaan tehnik

korelasi untuk memperoleh kesimpulan yang benar berdasarkan data yang

(55)

a. Uji normalitas, yaitu untuk mengetahui apakah hubungan antara

distribusi sebaran variabel tergantung dan variabel bebas dalam

penelitian ini bersifat normal atau tidak. Data dinyatakan berdistribusi

normal apabila signifikasi lebih besar daripada 5% atau 0.05.

Sebaliknya, apabila nilai signifikasi yang diperoleh lebih kecil dari 5%

atau 0.05, maka sebaran data tersebut tidak berdistribusi normal. Pada

penelitian ini uji normalitas dilakukan dengan Kolmogorov-Smirnov pada SPSS for Windows versi 17.0

b. Uji linearitas, yaitu untuk mengetahui apakah hubungan antara skor

variabel tergantung dan variabel bebas merupakan bergaris lurus atau

tidak. Jika hubungan antara dua variabel tersebut menunjukan garis

lurus maka dapat dinyatakan terdapat korelasi linier antara kedua

variabel. Data dinyatakan linear apabila dua variabel mempunyai

signifikasi kurang dari 0.05 (Priyatno, 2008).

2. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dilakukan untuk melihat apakah ada hubungan antara

Tingkat Religiositas dan Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan pada

Remaja Akhir. Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan

(56)

36

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada Kamis, 20 Januari 2011 sampai dengan

Selasa, 15 Februari 2011. Penelitian ini melibatkan 100 subjek. Pengumpulan

data penelitian dilaksanakan dengan cara meminta subjek untuk memberikan

jawaban pada kuesioner yang berisi dua skala, yaitu Skala Intensitas

menonton tayangan kekerasan dan Skala Religiositas. Peneliti membagikan

100 skala pada subjek dan kembali dengan jumlah yang sama pada peneliti.

B. Data Demografi Subjek Penilitian

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja usia 18-21 tahun yang sedang

menempuh pendidikan dijenjang SMA maupun S1 dan memeluk agama

Katolik. Subjek SMA kelas 11-12 berjumlah 50 orang dan 50 orang di

jenjang S1. Subjek penelitian tersebar di wilayah Yogyakarta dan Klaten.

C. Uji Asumsi

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran variabel

dalam penelitian normal atau tidak. Apabila sebaran variabel tidak normal

maka data tidak dapat dianalisis. Penelitian uji normalitas diolah dengan

(57)

TABEL 3 Hasil Uji Normalitas

Variabel

Shapiro-Wilk

Keterangan Statistic Signifikansi

Intensitas Menonton

Tayangan Kekerasan 0,879 0,000

Tidak Normal

Religiositas 0,986 0,370 Normal

Berdasarkan hasil yang diperlihatkan Shapiro-Wilk di atas untuk

variabel intensitas menonton tayangan kekerasan sebesar 0,879 dengan

signifikansi 0,000. Nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari 5% dengan

demikian sebaran data dapat dikatakan tidak normal. Maka peneliti

melakukan transformasi data pada variabel intensitas menonton tayangan

kekerasan dengan di Log10. Hasil yang diperlihatkan tabel dibawah

sebesar 0,977 dengan signifikansi 0,076. Dengan demikian dapat

dikatakan normal sebaran datanya untuk variabel intensitas tayangan

kekerasan.

TABEL 4

Hasil Uji Normalitas Setelah di Log10

Variabel

Shapiro-Wilk

Keterangan Statistic Signifikansi

Intensitas Menonton

Tayangan Kekerasan 0,977 0,076 Normal

Gambar

Tabel spesifikasi item-item Skala Religiosiatas ......................................
tabel sebagai berikut:
TABEL 2 Tabel spesifikasi item-item Skala Religiositas Setelah Uji Coba
TABEL 3 Hasil Uji Normalitas
+3

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi yang paling dirasa penting dengan keberadaan Taman Menteng berdasarkan persepsi multistakeholder adalah fungsi sosial budaya (35.8%) sebagai sarana rekreasi keluarga

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh metode drill dan demonstrasi terhadap keterampilan melakukan pemeriksaan leopold ditinjau dari kemampuan awal mahasiswa

Pengembangan Perilaku Religius Siswa Melalui Kegiatan. Membaca

Aplikasi ini memuat tentang pembelian dan penjualan onderdil motor tiap kali transaksi terjadi sehingga transaksi pembelian dan penjualan dapat dipermudah serta memudahkan

Kemampuan untuk menggunakan dan menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori dan informasi yang telah dipelajari ke dalam kondisi kerja atau konteks lain

Pemerintah desa juga berusaha untuk menunjukkan transparasi dan akuntabilitasnya kepada masyarakat untuk melakukan Pengelolaan Keuangan desa yang baik dan

Narasumber pelatihan Pusat Studi Kebijakan Pendidikan dan Pusat Penelitian Pendidikan Dasar dan Menengah Lemlit

Agar dihadiri oleh Direktur perusahaan atau penerima kuasa Direktur dengan membawa data-data perusahaan yang asli sesuai dengan isian kualifikasi yang Saudara sampaikan pada