Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theology Islam (S.Th.I)
Disusun oleh:
Muhammad Khoirul Anam 109034000036
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
Hadis mukhtalif adalah hadis-hadis yang mengalami pertentangan antara satu hadis dengan hadis yang lain. Namun sebenarnya pertentangan tersebut hanya terdapat pada lahiriyah saja, dan ketika dikaji lebih lanjut sebenarnya masih memungkinkan untuk dikompromikan.
Terdapat hadis yang bertentangan (setidaknya menurut kacamata penulis), yaitu hadis yang melarang berburu menggunakan panah atau tembak dan hadis yang membolehkan. Berangkat dari hal tersebut penulis termotivasi untuk mengkaji lebih mendalam bagaimana sebenarnya eksistensi metodologi ilmu mukhtalif al-hadîts menyikapi problematika Hadis ikhtilâf tersebut, apakah kedua hadis tersebut benar-benar bertentangan atau disebabkan oleh kekeliruan dalam memahaminya.
Pembahasan dalam skripsi ini bersifat tematik deskriptif analitis. Metode tematik digunakan untuk membahas persoalan lebih mendalam. Metode deskriptif digunakan untuk melacak keberadaan hadis dan sanadnya. Metode analitis digunakan untuk menganalisa kualitas sanad dan pengertian matan hadis tersebut yang selanjutnya menjadi pijakan untuk pengaplikasiannya pada masa kini.
Kata kunci: Hadis, Mukhtalif al-Hadîts, al-Jam’u wa al-Taufîq
Alhamdulillah segala puja serta puji syukur kehadirat Illahirabbi Allah Swt. yang telah memberikan segala karunia nikmat Islam dan nikmat kesehatan yang berlimpah, bahkan nikmat Allah yang lain yang tidak mungkin terhitung. Shalawat serta salam senantiasa dicurahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad Saw. beserta seluruh keluarga, sahabat dan para pengikutnya.
Selama penulisan skripsi ini , penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun, berkat kerj keras, doa, perjuangan, kesungguhan hati dan dorongan serta masukan-masukan yang positif dari berbagai pihak untuk penyelesaian skripsi ini, semua dapat teratasi. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof.Dr. Masri Mansoer, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. Atiyatul Ulya, MA., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga, pikiran dan motivasi dalam membimbing penulis selama ini. Semoga ibu dan keluarga selalu dalam limpahan rahmat dan karuniaNya.
5. Bapak Maulana, M.Ag., selaku dosen PA yang telah memberikan banyak waktunya dan selalu memberikan perhatian dan arahan kepada penulis selama menjalani perkuliahan sampai proses penelitian ini.
6. Seluruh dosen Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak sekali
7. Staf Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah yang telah membantu pembuatan surat-surat serta sertifikat.
8. Teristimewa yang penulis sangat cintai dan hormati, Ayahanda alm. H.Achpas, Ibunda almh. Hj.Rodemah, dan almh. Hj. Syamsyiah yang tiada lelah mendoakan anaknya, bekerja keras untuk menyekolahkan anak-anaknya mulai dari Tk Islam sampai ke jenjang Perguruan Tinggi Islam, selalu memberikan dukungan kepada penulis bahkan merekalah inspirasi penulis untuk mewujudkan cita-cita mereka agar menjadi waladun shalih dan sukses dunia akhirat. Semoga mereka bisa bangga melihat penulis dapat menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatullah walaupun tidak disisi hamba lagi, semoga mereka selalu dalam limpahan magfirah serta diangkat derajat mereka.
9. Yang tercinta Kakak Nurjanah, SE., Kakak Nurmala Sari, SE., Kakak Anisah, D3., Abang Wahid Hilmi, Abang Achmad Chudori, S.Sos., Abang Lukman Hakim, S.Sos.I., yang telah memberikan banyak dukungan, motivasi dan keluarga terindah yang Allah berikan kepada penulis.
10. Sumayyah Ahmad, yang tidak ada bosannya memberikan dorongan, dukungan dan masukan mulai dari aawal perkuliahan sampai akhir penulisan skripsi ini. Semoga semua kebaikan yang adinda curahkan dibalas jutaan kebaikan oleh Allah Swt..
11. Sahabat seperjuangan TH B Agung Syafiullah, Nurhidayat Septiawan, Fatkhul Mubin, Yudi Permana, Yusuf Hamdani, Zamzami, Zulkifli, Amiruddin Natonis, Ali Hamzah, Izzul Muttaqin, Taufik, Mahmudah, Naila, Laila Syahidah, Nurlaila, Roro Estri Melati, Nurhasanah, Salina, yang telah memberikan masukan dan dukungan kepada penulis, semoga sahabat-sahabatku yang masih berjuang bisa cepat menyusul.
13. Temen-temen TH A dan TH C yang juga memberikan dukungan, tempat berbagi dan masukan positif kepada penulis.
14. Kakak kelas angkatan 2006, 2007, dan 2008 yang telah memberikan banyak nasihat dan masukan kepada penulis. Semoga temen-temen yang belum selesai dapat segera menyusul.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Penulis hanya dapat memohon dan berdoa mudah-mudahan bantuan, dukungan, bimbingan, semangat, motivasi, masukan, serta doa yang telah diberikan menjadi pintu datangnya ridho Allah Swt. di dunia dan di akhirat. Amin yaa robbal alamiin.
Demikianlah, betapapun penulis telah berusaha dengan segenap kemampuan yang ada untuk menyusun karya tulis yang sebaik-baiknya, namun skripsi ini masih saja dirasakan dan ditemui berbagai kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari siapa saja yang membaca skripsi ini akan penulis terima dengan hati terbuka. Penulis berharap semoga skripsi ini akan membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi penulis khususnya dan bagi pembaca sekalian umumnya.
Jakarta 30 Juni 2015
Penulis
Muhammad Khoirul Anam
Jakarta 2007-2008 1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Nama
ا - Tidak dilambangkan
ب b be
ت t te
ث ts te dan es
ج j je
ح h h dengan garis bawah
خ kh ka dan ha د d de ذ dz de dan zet ر r er ز z zet س s es ش sy es dan ye
ص s es dengan garis bawah
ض d de dengan garis bawah
ط t te dengan garis bawah
ظ z zet dengan garis bawah
ع ‘ koma terbalik diatas
hadap kanan غ gh ge dan ha ف f ef ق q ki ك k ka ل l el م m em ن n en و w we ھ h ha ء ́́ Apostrof ي y Ye viii
a. Vokal Tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ﹷ
a Fathahﹻ
i Kasrahﹹ
u Dammahb. Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ﹷ
ي
ai a dan iﹻ
ﻮ
au a dan uc. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ﹷا
â a dengan topi diatasﹻ
ﺒ
î i dengan topi diatasﹹ
ﻮ
ȗ u dengan topi diatasTRANSLITERASI……….………..viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…………..………....1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………..………7
C. Tinjauan Pustaka…….……….…...….………...……8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...……….….………...9
E. Metodologi Penelitian………...………..………...10
F. Sistematika Penulisan………..………..11
BAB II KAJIAN MUKHTALIFAL-HADȊTS A. Pengertian Mukhtalif al-Hadîts………..12
B. Sebab Terjadinya Mukhtalif al-Hadîts………...21
C. Penyelesaian Mukhtalif al-Hadîts………..…....25
D. Pendapat ‘Ulama Tentang Mukhtalif al-Hadîts……….…37
BAB III ANALISA ATAS PROBLEMATIKA HADITS PELARANGAN MENJADIKAN SESUATU YANG BERNYAWA SEBAGAI SASARAN PANAH DAN HADITS PEMBOLEHAN BERBURU HEWAN DENGAN PANAH A. Hadis Larangan Menjadikan Objek yang Bernyawa Sebagai Sasaran Panah 1. Data Hadis……….……....…………..39
2. Analisis Sanad……….……….……...44
3. Kesimpulan………..………51
B. Hadis yang Membolehkan Memburu Binatang dengan Panah 1.Data Hadis………….………...…...……….55
2. Analisis Sanad……….………57
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan…………...………..……….…..…………79 B. Saran……….………..…………..……...…...……….….79-80 Daftar Pustaka………..………...….81
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam memiliki dua sumber pokok ajaran yang dijadikan pedoman hidup oleh umatnya dalam memahami syariat Islam. Kedua sumber tersebut adalah al-Qur’an dan hadis. Ketentuan hukum manusia yang tidak dijelaskan secara rinci oleh al-Qur’an, hendaknya menjadikan hadis sebagai solusi untuk memecahkan persoalan-persolan tersebut, mengingat hadis sebagai penjelas al-Qur’an.1
Hadis merupakan sumber dasar ajaran dan pedoman hidup yang harus diikuti oleh segenap umat Islam. Karena ia merupakan salah satu pokok syariat, yakni sumber syariat Islam yang kedua setelah al-Qur’an. Umat Islam diharuskan mengikuti dan menaati Allah Swt. dan Rasul-Nya.2
Firman Allah :
Artinya : “Dan taatilah Allah dan Rasul supaya kamu dirahmati” (QS. Ali-Imran,3 : 132).
Kedudukan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam sangatlah penting. Baik itu secara struktural maupun fungsional. Secara struktural hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, sedangkan secara fungsional, hadis merupakan
1Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), h.49.
2Endang Soetari, Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah, (Bandung: Mimbar Pustaka,2005), cet ke 4, h.16.
bayân (penjelas) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat ‘âm, mujmal, atau mutlaq.3
Firman Allah :
َل ِّﺰُﻧ ﺎَﻣ ِسﺎﱠﻨﻠِﻟ َﻦِّﯿَﺒُﺘِﻟ َﺮْﻛِّﺬﻟا َﻚْﯿَﻟِإ ﺎَﻨْﻟ َﺰْﻧَأ َو
َنو ُﺮﱠﻜَﻔَﺘَﯾ ْﻢُﮭﱠﻠَﻌَﻟ َو ْﻢِﮭْﯿَﻟِإ
Artinya : “Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (QS. An-Nahl 16:44).
َﻚْﯿَﻠَﻋ ﺎَﻨْﻟ َﺰْﻧَأ ﺎَﻣ َو
َنﻮُﻨِﻣْﺆُﯾ ٍم ْﻮَﻘِﻟ ًﺔَﻤْﺣ َر َو ىًﺪُھ َو ِﮫﯿِﻓ اﻮُﻔَﻠَﺘْﺧا يِﺬﱠﻟا ُﻢُﮭَﻟ َﻦِّﯿَﺒُﺘِﻟ ﻻِإ َبﺎَﺘِﻜْﻟا
Artinya : “Dan kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab ini, melainkan agar kamu menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (QS.An-Nahl 16:64).
Dua ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Saw. bertugas menjelaskan al-Qur’an kepada umatnya. Dengan kata lain kedudukan hadis terhadap al-Qur’an adalah sebagai penjelasnya. Maka dari itu pengamalan al-Qur’an tidak lepas dari peran hadis sebagai penjelasnya.4
Di saat umat Islam masih dipimpin langsung oleh Nabi Saw. segala persoalan dan pertanyaan yang muncul selalu ditanyakan langsung kepada beliau. Semua ucapan maupun perbuatan yang dikerjakan Nabi Saw. adalah merupakan jawaban terhadap persoalan yang ada. Sehingga perbedaan yang terjadi saat itu selalu dikembalikan kepada beliau.5
3
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalah al-Hadits (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1974), h.1.
4Nuruddin’Itr, “Manhâj al-Naqd Fî ‘Ulûm al-Hadits”. Penerjemah: Endang Soetari AD, Mujiyo (Bandung : PT Remaja Rosdakarya 1994), h.2.
Namun sejak Nabi Saw. wafat, ketiadaan otoritasnya sangat terasa bagi umat Islam saat itu, segala persoalan saat itu merujuk kepada al-Qur’an. Namun muncul persoalan lain di saat satu persoalan belum terselesaikan, yaitu belum tersusunnya dengan baik dan rapi wahyu-wahyu Allah. Namun setelah beberapa lama, dengan mengingat bahwa persoalan-persoalan tidak dapat mereka pecahkan sendiri, mereka mulai menjadikan sunnah sebagai kunci jawaban alternatif dengan mempertimbangkan ingatan beberapa sahabat Nabi.6
Dalam mengkaji hadis, terdapat dua hal pokok yang perlu diperhatikan bagi para peneliti hadis, yaitu wurûd dan dalâlah. Wurûd erat kaitannya dengan asal-muasal hadis tersebut, yang tujuannya adalah untuk mengetahui apakah hadis tersebut benar-benar berasal dari Nabi atau bukan. Terdapat dua metode untuk melakukan penelitian tersebut, yaitu kritik sanad dan kritik matan. Dengan begitu dapat diketahui apakah hadis tersebut dapat dijadikan landasan hujjah atau tidak. Sedangkan dalâlah erat kaitannya dengan makna yang ditunjukan oleh suatu hadis yang telah dinyatakan diterima berdasarkan penelitian terhadap wurûd-nya dan telah diketahui hasilnya.7
Apabila melihat dari persyaratan dalam melakukan penelitian hadis di atas maka dapat diketahui bahwa bila ada dua hadis yang (terlihat) bertentangan, maka matan hadis tersebut tidak dapat dikatakan maqbul dan tidak dapat dijadikan landasan hujjah. Hadis-hadis yang dikatakan bertentangan tersebut dalam kajian hadis disebut hadis-hadis mukhtalif.
6G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (Bandung: Mizan, 1999), Cet. 1, h.4
7Salahuddin ibn Abi Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004) h.197-280.
Secara bahasa mukhtalif al-Hadîts dapat dipahami sebagai hadis-hadis yang mengandung kontradiksi. Namun, dalam ‘ulûm al-Hadîts istilah tersebut digunakan untuk mendefinisikan dua hadîts sahîh yang terlihat bertentangan secara tekstual. Namun, tidak pada substansinya.8
Hadis mukhtalif adalah hadis-hadis yang mengalami pertentangan antara satu hadis dengan hadis yang lain. Namun sebenarnya pertentangan tersebut hanya terdapat pada lahiriyah saja, dan ketika dikaji lebih lanjut sebenarnya masih memungkinkan untuk dikompromikan. Menurut Nuruddin ‘Itr, hadis-hadis mukhtalif adalah hadis-hadis yang secara lahiriah bertentangan dengan kaidah-kaidah yang baku (lafadz umum), sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nash-nash syara’ yang lain.9Al-Hakim al-Naisâbûrȋ mendefinisikan Mukhtalȋf al-Hadîts sebagaimana yang termaktub dalam Ma’rifat ‘Ulûm al-hadis bahwa Mukhtalif al-Hadîts adalah sunah-sunah Saw. yang bertentangan dengan sesamanya, lalu para ulama memakai salah satunya sebagai dalîl, di sisi lain keduanya setara dalam kesahihan dan kelemahannya.10 Sementara menurut al-Nawawi, beliau mendefinisikan hadis mukhtalif dengan mengatakan Dua hadis yang secara lahiriah maknanya saling bertentangan, lalu dikompromikan atau dikuatkan salah satunya.11
8Ahmad Umar Hasyim, Qawa’id Ushul al-Hadîts (Beirut: Alimul Kutub, 1997), 203.
9Nuruddin ‘Itr, “Ulûm Hadîts”, diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj Naqd fî Ulûm
al-Hadîîts (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) Cet. ke-1, Jilid 2, Hal. 114.
10
Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn ‘Abdullâh al-Hakim al-Naisâbûrȋ, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadîts,
(Madinah: Maktabah al-‘Ilmiyyah, 1977), h. 122.
11Jalâl al-Dȋn al-Suyûtȋ, Tadrȋb al-Râwi Syarh Taqrȋb al-Nawawȋ, (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2004), h. 467.
Dalam hubungan ini, Penulis menemukan ikhtilâf mengenai hadis yang secara khusus melarang umat muslim menyasar binatang menggunakan panah. hadis tersebut adalah:
ُﺪْﯿَﺒُﻋ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ
ﱠنَأ
ُحو ﱡﺮﻟا ِﮫﯿِﻓ ﺎًﺌْﯿَﺷ اوُﺬ ِﺨﱠﺘَﺗ َﻻ
ﺎًﺿ َﺮَﻏ
Artinya: “Janganlah kalian jadikan sesuatu (objek) yang bernyawa sebagai sasaran (panah atau tembak)”.12
Akan tetapi di sisi lain Nabi membolehkan memakan binatang dari hasil buruan yang menggunakan panah, berikut redaksi Hadisnya :
ﱡي ِزا ﱠﺮﻟا َنا َﺮْﮭِﻣ ُﻦْﺑ ُﱠَُﷴ ﺎَﻨَﺛﱠﺪَﺣ
َﺔَﺒَﻠْﻌَﺛ ﻲِﺑَأ ْﻦَﻋ ِﮫﯿِﺑَأ ْﻦَﻋ ٍﺮْﯿَﺒُﺟ ِﻦْﺑ ِﻦَﻤْﺣ ﱠﺮﻟا ِﺪْﺒَﻋ
َﺖْﯿَﻣ َر
َﻚِﻤْﮭَﺴِﺑ
ْﻦِﺘْﻨُﯾ ْﻢَﻟ ﺎَﻣ ُﮫْﻠُﻜَﻓ ُﮫَﺘْﻛ َرْدَﺄَﻓ َﻚْﻨَﻋ َبﺎَﻐَﻓ
.
Artinya : “Dari Abû Tsa’labah bahwa Rasûlullâh Saw bersabda: “Jika kamu melepaskan panahmu lalu (buruanmu) hilang lalu kamu temukan maka makanlah selama (binatang buruan) tidak membusuk””.
Menanggapi hadis yang melarang menyasar makhluk yang bernyawa (secara khusus binatang) menurut Penulis (terlihat) janggal karena hadis tersebut seperti menunjukan bahwa umat Muslim dilarang berburu menggunakan panah maupun senapan. Namun disisi lain seperti yang kita ketahui bahwa banyak sekali hadis-hadis yang menunjukan bahwa diperbolehkannya berburu dengan menggunakan panah, bahkan Rasul sendiri menganjurkan kepada umat Muslim untuk berlatih
12Abû Husain Muslim ibn Hajjâj ibn Muslim al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim, (Beirut : Dâr al-Fikr), Jilid 3, h.73.
panah. Tidak dapat dipungkiri bahwa berburu menggunakan panah maupun senapan masih sangat dibutuhkan semenjak jaman Nabi hingga sekarang.
Memang misi Nabi Muhammad Saw. tidak lepas dari misi agama Islam yang diutus oleh Allah Swt., yaitu sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dengan kalimat yang singkat bahwa misi Nabi Muhammad adalah amar ma’rȗf nahi munkâr yaitu mengajak manusia berbuat kebaikan, jalan yang lurus dan mengajak meninggalkan kemungkaran atau kerusakan dan kesesatan. Mengajak perbuatan kebaikan adalah seluruh perbuatan, tindakan, amal yang bernilai ibadah yang pada intinya semua perbuatan yang memiliki manfaat untuk dirinya, orang lain, dan makhluk hidup lainnya.13 Namun ketika Nabi melarang kita untuk menyasar binatang akan muncul suatu masalah yang memibngungkan umat khususnya bagi para pemburu.
Berangkat dari latar belakang inilah Penulis termotivasi untuk mengkaji lebih mendalam bagaimana sebenarnya eksistensi metodologi ilmu mukhtalif al-hadîts menyikapi problematika yang Penulis jelaskan di atas, apakah hadis tersebut benar-benar bertentangan atau disebabkan oleh kekeliruan dalam memahaminya. Tujuan utama Penulis tidak membahas masalah hukum haram, namun ingin mengungkap hadis yang (terlihat) bertentangan tersebut agar dapat diketahui benang merah dari hadis yang ikhtilâf tersebut . Selain itu maksud dari penelitian ini Penulis ingin memberikan pemahaman kepada para pembaca bagaimana langkah-langkah atau upaya penyelesaian yang dilakukan apabila menemukan hadis yang (terlihat) bertentangan. Oleh karena itu Penulis ingin mengangkat permasalahan tersebut dalam
skipsi dengan judul “LARANGAN MENJADIKAN OBJEK YANG BERNYAWA SEBAGAI SASARAN PANAH ATAU TEMBAK : STUDI MUKHTALIF AL
HADÎTS”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya jumlah hadis kontradiktif (atau hanya diduga kontradiktif), maka Penulis membatasi pembahasan dengan hanya membahas penyelesaian hadis yang melarang dan membolehkan menyasar makhluk hidup yang bernyawa( khususnya binatang buruan) menggunakan panah. Penelitian ini secara khusus difokuskan membahas dua hadis yang kontradiktif, lalu dikaitkan dengan fenomena sosial berburu yang berkembang di Indonesia. Penelitian ini berangkat dari hadis Nabi yang melarang menjadikan makhluk yang bernyawa sebagai sasaran panah.
2. Perumusan Masalah
Apabila ditinjau dari latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana penyelesaian hadis mukhtalif tentang pelarangan menjadikan objek yang bernyawa sebagai sasaran panah atau tembak di Indonesia ?
C. Tinjauan Pustaka
Guna mendukung penetapan masalah penelitian dan pembahasan yang akan diungkapkan, maka diperlukan tinjauan pustaka atau teori yang kuat. Salah satu tujuan tinjauan pustaka adalah mempertajam penguasaan teori yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan dan juga untuk mengetahui apakah penelitian yang akan dilaksanakan pernah dilakukan orang lain sehingga tidak terjadi duplikasi. Penulis sendiri belum menemukan literatur ataupun karya ilmiah yang membahas secara spesifik tentang tema yang akan Penulis lakukan dalam penelitian ini, namun Penulis menemukan skripsi yang berjudul “ETIKA TERHADAP BINATANG
MENURUT RASULULLAH DALAM KITAB BUKHARI DAN MUSLIM” yang ditulis
oleh Nani Fitriani tahun 2006. Pada skripsi tersebut Penulis hanya membahas hadis-hadis yang berbicara tentang binatang dalam kitab Bukhari dan Muslim yang meliputi mengasihani dan menyayangi binatang, tidak boleh menyiksa binatang dengan cara apapun. Skripsi yang lain dibahas oleh Aliyatur Rosyidah (NIM. 104034001192) dengan judul PEMBAGIAN DAGING KURBAN DALAM PERSPEKTIF ILMU MUKHTALIF AL-HADIS. Skripsi tersebut membahas penyelesaian mukhtalif hadîs dalam hal pembagian daging kurban dengan menggunakan metode Jam’u wa al-Taufîq.
Dari kedua skripsi tersebut, ada peluang bagi Penulis untuk mengkaji dan membahas tentang larangan menjadikan makhluk yang bernyawa sebagai sasaran dari sudut pandang penyelesaian mukhtalif al-hadîts. Oleh karena hal itu, Penulis
menemukan ruang kosong dalam khazanah kepustakaan Islam yang belum dibahas secara khusus.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari Penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk memberikan pemahaman mengenai pentingnya ilmu mukhtalif al-Hadîts dalam kajian ilmu hadis.
2. Memaparkan penyelesaian dari Mukhtalif al-hadîts tentang dilarangnya menjadikan objek yang bernyawa sebagai sasaran panah.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Setelah membaca penelitian ini diharapkan para pembaca dapat mengetahui langkah-langkah apa saja yang dilakukan untuk menyelesaikan hadis-hadis kontradiktif.
2. Sebagai sumbangan ilmiah untuk menambahkan bahan bacaan dalam kepustakaan Islam dan sebagai pedoman hidup bagi para pembaca.
3. Memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk mencapai gelar Sarja Strata (S1) pada jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
E. Metodologi Penelitian 1. Sumber Data
Metode yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah riset kepustakaan (Library Research), dimana setiap data yang dijadikan bahan kajian berasal dari kepustakaan. Data diambil dari dua yaitu sumber primer dan sekunder. Sumber primer yang Penulis gunakan adalah kitab ikhtilâf Hadîts karya Imam al-Syâfi’î dan kitab sunan Muslim. Sedangkan sumber kedua (sekunder) adalah kitab-kitab hadis , majalah, jurnal, dan buku-buku penunjang lain-lain berhubungan dengan mukhtalîf al-Hadîts.
2. Metode Pembahasan
Selanjutnya pembahasan dalam skripsi ini bersifat tematik deskriptif analitis. Metode tematik digunakan untuk membahas persoalan lebih mendalam. Metode deskriptif digunakan untuk melacak keberadaan hadis dan sanadnya. Metode analitis digunakan untuk menganalisa kualitas sanad dan pengertian matan hadis tersebut yang selanjutnya menjadi pijakan untuk pengaplikasiannya pada masa kini.
3. Teknik Penulisan
Adapun Penulisan skripsi ini sepenuhnya mengacu pada buku Pedoman Skripsi, Tesis, Disertasi, yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007-2008.
F. Sistematika Penulisan
Adapun mengenai sistematika Penulisan ini Penulis membagi pembahasan kedalam lima bab, masing-masing bab mempunyai spesifikasi pembahasan mengenai topic tertentu diantaranya:
Bab pertama, bab ini berisikan tentang pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, metodologi penelitian, serta perumusan masalah, manfaat peneltian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
Bab kedua, bab ini berisikan tentang pengertian Mukhtalif al-Hadîs, sebab terjadinya Mukhtalif al-Hadîs, penyelesaiannya dengan mengunakan kaidah al-Jam’u wa Taufiq, tarjih dan naskh mansukh. Pendapat para ulama tentang Mukhtalif al-Hadîs.
Bab ketiga, bab ini adalah bab inti dari penelitian ini yang berisikan takhrij hadis, kritik sanad dan solusi penyelesaian hadis yang bertentangan (ikhtilâf al-Hadîts) mengenai pelarangan menjadikan makhluk yang bernyawa sebagai sasaran panah atau tembak.
Bab keempat, bab ini adalah bab akhir dari penelitian ini yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
KAJIAN MUKHTALIF AL-HADĬTS
A. Pengertian Mukhtalif al-Hadîts
Secara bahasa
ﻒﻠﺘﺨﻣ
adalah bentuk isim fa’il (subjek) dari kataﺎ
ًﻓ
َﻼ
ِﺘ ْﺧا
yakni bentuk mashdar dariَﻒَﻠَﺘ ْﺧا
yang artinya bertentangan, bertolak belakang atau bisa diartikan pula bermaca-macam1. Mukhtalif al-Hadîts dapat dikatakan sebagai hadis-hadis yang mengandung bertentangan. Namun, dalam ‘ulûm al-Hadîts istilah tersebut digunakan untuk mendefinisikan dua hadis sahîh yang terlihat bertentangan secara tekstual. Namun, tidak pada substansinya.2 Dengan perkataan lain, perbedaan makna kedua hadis tersebut terlihat dalam zahir redaksinya saja.3Dengan demikian, definisi ini menegaskan bahwa dua hadis dapat dikatakan bertentangan apabila status dari keduanya sama, yaitu kedua-duanya sahîh. Akan tetapi jika dua hadis yang diperselisihkan tersebut tidak sama kualitasnya (yang satu sahîh 4 dan yang laindâ’if5), maka tidak dikategorikan dalam hadis yang mukhtalif karena tidak memenuhi syarat.
1
Lois Ma’luf, al-Munjid Fî Lughah wa al-I’lâm, (Beirut: Dâr al-Masyrȗq, 1994), h. 966
2
Ahmad Umar Hasyim, Qawa’id Ushul al-Hadîts, (Beirut: Alimul Kutub, 1997), h.203. 3Al-Sayyid Muhammad ibn ‘Alȋ Al-Malikȋ, Al-Minhâl al-Latif fȋ ‘Usûl al-Hadȋts al -Syarȋf, (Madinah:tt, 2000), h. 155
4
Menurut Abû ‘Amr ibn Salâh hadis sahȋh adalah hadis yang rangkaian sanadnya merupakan
perawi yang mempunyai sifat adil, zâbit begitupun sampai akhir sanad, dan tidak dijumpai kecacatan dan cela. Lihat Muhammad Ajjâj al-Khatîb, ‘Ushûl al-Hadîts, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 304
5
Al-Hadîts al-Dâif merupakan hadis yang di dalamnya terdapat sifat tidak diterima suatu hadis,
sebagian besar ulama hadis berpendapat bahwa al-Hadîts al-Dâif adalah hadis yang tidak sampai pada derajat sahîh dan hasan. Lihat Muhammad Ajjâj al-Khatîb, ‘Usûl al-Hadîts…, h. 337
Al-Hakim al-Naisâbûrȋ mendefinisikan Mukhtalif al-Hadîts sebagaimana yang termaktub dalam Ma’rifat ‘Ulûm al-Hadîts, bahwa Mukhtalif al-Hadîts adalah:
ﻲِﻓ ﺎَﻤُھ َو ﺎَﻤِھِﺪَﺣَﺄِﺑ ِﺐِھاَﺬَﻤﻟا ُبﺎَﺤْﺻَأ ُﺞَﺘْﺤَﯿَﻓ ﺎَﮭُﻠْﺜِﻣ ﺎَﮭُﺿ ِرﺎَﻌُﯾ ﷺ ِﷲ ِل ْﻮُﺳ َﺮِﻟ ُﻦَﻨُﺳ
ِﻢَﻘَﺴﻟا َو ِﺔَﺤ ِﺼْﻟا
ِنﺎَﯿِﺳ
“Sunah-sunah Rasulullah Saw. yang bertentangan dengan sesamanya, lalu para
ulama memakai salah satunya sebagai dalil, di sisi lain keduanya setara dalam
kesahihan dan kelemahannya.”6
Dalam pandangan al-Nawawȋ (w. 676 H), ikhtilâf al-Hadîts adalah
َﯾ ْنَأ
ﺎَﻤُھُﺪَﺣَأ ُﺢ ِﺟ ْﺮُﯾ ْوَا ﺎَﻤُﮭَﻨْﯿَﺑ ُﻖِﻓ ْﻮُﯿَﻓ ا ًﺮِھﺎَظ ﻰَﻨْﻌَﻤﻟا ﻲِﻓ ِناَدﺎَﻀَﺘُﻣ ِنﺎَﺜْﯾِﺪَﺣ َﻲِﺗْﺄ
“Dua hadis yang secara lahiriah maknanya saling bertentangan, lalu dikompromikan atau dikuatkan salah satunya.”7
Secara garis besar, ikhtilâf dalam kajian ‘ulûm al-Hadîts dibagi menjadi dua macam. Pertama, ikhtilâf dalam sanad. Ikhtilâf al-Sanad ini ada enam bentuk: pertentangan perawi dalam wasl dan irsâl, pertentangan perawi dalam hal waqf dan
raf’, pertentangan perawi dalam hal ittisâl dan inqitâ’, pertentangan perawi dalam
sumber riwayat di mana perawi tersebut meriwayatkan hadis, adanya tambahan seorang perawi dalam salah satu rangkaian periwayatan, dan perbedaan penyebutan nama dan nisbat perawi jika ada pertentangan antara perawi yang tsiqat dan dzaif 8.
Kedua, ikhtilâf dalam matan. Ikhtilâf dalam matan hadis ini merupakan pertentangan
6
Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn ‘Abdullâh al-Hakim al-Naisâbûrȋ, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadîts,
(Madinah: Maktabah al-Ilmiyah, 1977), h. 122.
7Jalâl al-Dȋn al-Suyûtȋ, Tadrȋb al-Râwi Syarh Taqrȋb al-Nawawȋ, (Kairo: Dâr al-Hadits, 2004), h. 467.
8
Al-Hâfiz ibn Hajar Asqalânî, Al-Nukat ‘alâ Kitâb ibn Salâh, (Madinah: Ihyâ’ Turâts al-Islamî, 1984), h. 777-778.
yang terjadi antara dua hadis atau lebih yang terdapat dalam redaksi, lafaz-lafaz, dan runtutan cerita dan peristiwa dalam redaksi hadis.9
Hadis10 dalam hierarki sumber hukum Islam menduduki posisi kedua setelah al-Qur’an. Dengan demikian, pernyataan tersebut berkonsekuensi logis bahwa tidaklah mungkin umat Islam sampai pada pemahaman tentang hukum sya’riat Islam tanpa berpegang teguh pada keduanya.11 Al-Sayyid ‘Ahsan Kailanî menambahkan, penggunaan kata al-‘Umȗr dan al-‘Ayyâm oleh al-Imâm al-Bukhârî dalam judul magnum opus-nya, “Al-Jâmi’ al-Sahîh al-Musnad al-Mukhtasar min ‘Umȗr Rasȗlillâh wa ‘Ayyâmih”, mengindikasikan betapa penting umat Islam selalu bersandar kepada perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad sebagai manusia yang dipilih Allah sebagai utusan-Nya.12 Urgentisitas kebutuhan umat Islâm atas hadis dalam menggali hukum, juga diproklamirkan oleh Ibn Rajab al-Hanbalî.
9
Al-Hâfiz ibn Hajar al-Asqalânî, Al-Nukat ‘alâ Kitâb ibn Salâh…, h. 791
10Secara etimologi, hadis mempunyai pengertian sesuatu yang baru (al-Jadîd min al-‘Asyyâ’), kata ini berantonim dengan kata al-Qadîm, karena hadis mengandung pengertian selalu membaharukan sesuatu. Dalam pandangan muhadditsun, secara terminologis kata hadis bersinonim dengan kata sunnah. Walaupun demikian, ada perbedaan secara teknis dalam pengaplikasian kedua termilogi tersebut. Pertama, sunnah mempunyai pengertian segala perbuatan yang diwariskan oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabat, atau dengan perkataan lain, transmisi perbuatan Nabi secara mutawâtir. Kedua, hadîts terfokus kepada segala sesuatu yang disandarkan kepadau sabda saja. Lihat
‘Umar ibn Hasan ibn ‘Utsmân Fulâtah, Al-Wad’u fî al-Hadîts, (Damaskus: Maktabah al-Ghazâlî,
1981), juz 1, h. 41-44. Kata sunnah sendiri secara etimologis berarti “jalan” baik maupun buruk
(al-Tarîqah hasana kânat ‘am qabîhah). Secara terminologis, sunnah dalam pandangan muhadditsîn
merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw. perkataan, perbuatan, ketatapan, sifat khalqiyyah, perangai, perjalanan hidup, baik setelah diangkat maupun belum diangkat menjadi Rasȗl. Kalangan ‘Usȗliyyun mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapan yang selain al-Qur’an. Lihat Muhammad Muhammad ‘Abu Zahw, Al-Hadîts wa Muhadditsȗn, (Riyadh: Mamlakah
al-‘Arabiyyah al-Su’ȗdiyyah, 1984), h. 8 .
11Muhammad ‘Ajjâj al-Khatîb, ‘Usȗl al-Hadîts: ‘Ulȗmuh wa Mustalahuh, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h.35
12
Al-‘Allâmah al-Sayyid Munâzir ‘Ahsan al-Kailânî, Tadwîn al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Gharb al-Islâmî, 2004), h. 32
Dalam pandangan Ibn Rajab Hanbalî, hadis merupakan salah satu jawâmi’ al-Kalim yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, selain yang tertera dalam QS. Al-Nahl: 90.13
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.”
Al-Imâm ‘Izzu al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm, melihat bahwa salah satu elemen penting yang dimiliki hadis sebagai pondasi bangunan hukum Islam, adalah sebagai mentor bagi akal dan hati manusia, baik dengan cara menjelaskan, mengingatkan (tanbîh), dan mengisyaratkan (talmîh) tentang adanya “ujaran” tentang hukum-hukum dan kaidah-kaidah yang terdapat di dalamnya.14
Dialog akademis terhadap kasus pertentangan dalam hadis, membawa para sarjana hadis terpolarisasi ke dalam dua golongan. Golongan pertama menyatakan bahwa riwayat tersebut tidak bersumber dari Nabi, karena seorang Nabi tidak mungkin menyatakan dua hal yang bertentangan. Opini ini berdasarkan a priori
13
Jawâmi’ al-Kalim mempunyai pengertian, bahwa Allah mengumpulkan kepadanya sesuatu yang banyak kepada Nabi yang telah tertulis di kitab-kitab suci sebelumnya menjadi satu atau dua bagian. Lihat Ibn Rajab al-Hanbalî al-Baghdâdî, Jâmi’ al-‘Ulȗm wa al -Hikam fî Syarh Khamsîn Hadîts min Jawâmi’ al-Hikam, (Kairo: Dâr al-Salâm, 2004), jilid 1, h. 48-50.
14‘Umar ibn Sâlih ibn ‘Umar, Maqâsid al-Syarîah ‘Ind ‘Al-Imâm ‘Izzu al-Dîn ibn ‘Abd al-Salâm, (Fakis: Dâr al-Nafâ’is, 2003), h. 74
keyakinan mereka bahwa hadis Nabi adalah sumber ajaran Islam setelah al-Qur’an. Sedangkan golongan kedua, menjadikan masalah ini sebagai salah satu alasan bahwa hadis Nabi bukan termasuk sumber ajaran Islam, karena pada dasarnya golongan ini tidak mengakui hadis Nabi sebagai salah satu masdar al-Tasyrî’. Oleh karena itu, tidak heran jika terjadi pertentangan di dalamnya.15
Al-Qardawî dalam Kaifa Nata’ammal Ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah
menyatakan, bahwa teks-teks syariat yang telah dikukuhkan itu tidak mungkin akan bertolak belakang, tidak mungkin perkara yang haqq akan bertentangan dengan perkara haqq lainnya. Apabila hal itu terjadi, hanya seputar makna lahiriahnya saja, tidak sampai pada makna hakikatnya. Oleh karena itu, al-Qardawî menambahkan, asumsi pertentangan hadits hendaknya harus dihapuskan.16
Definisi yang disajikan oleh al-Syâfi’ȋ tentang ikhtilâf al-hadîts, adalah hadis yang membahas satu topik, tampak ada kontradiksi, dan perselisihan makna seolah-olah maksudnya tidak pada satu arah tujuan, tetapi dapat diselesaikan dengan solusi yang didapatkan dari metode yang sesuai diterapkan pada hadis tersebut.
Mengenai penyelasaian hadis mukhtalif yang disajikan oleh al-Syâfi’ȋ, dapat dilihat dari komentar beliau berikut ini:
15
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h.110.
16Yûsuf al-Qardâwȋ, Studi Kritis al-Sunnah, Penerjemah Bahrun Abubakar (Bandung: Trigenda Karya, 1995), h. 127.
“
ﺎَﻤّﻠُﻛ
ْﺣا
َﺘ
َﻤ
َﻞ
َﺣ
ِﺪ
ُﯾ َﺜ
ِنﺎ
َﻣ َﻼِﻤْﻌَﺘْﺴَﯾ ْنَأ
ًﻌ
ْﺳإ ﺎ
ِﺘ
ْﻌ
َﻤ
ًﻼ
َﻣ
ًﻌ
َو ،ﺎ
َﻟ
ْﻢ
ُﯾ َﻌ
ﱠﻄ
ْﻞ
َو
ِﺣا
ُﺪ
ِﻣ
ْﻨ
ُﮭ
َﻤ
َﻷا ﺎ
َﺧ
ُﺮ
َﻛ ،
َﻤ
َو ﺎ
َﺻ
ْﻔ
ِﻓ ُﺖ
ﻲ
َأ
ْﻣ
ِﺮ
ِﷲ
ِﺑ
ِﻘ
ًﺘ
ِلﺎ
ُﻤﻟا
ْﺸ
ِﺮ
ِﻛ
ْﯿ
َﻦ
َﺣ
ُﯾ ﻰّﺘ
ِﻣﺆ
ُﻨ
ْﻮ
َو ،ا
َﻣ
َﻣأ ﺎ
َﺮ
ِﺑ
ِﻗ ﻦِﻣ ِﮫ
َﺘ
ِلﺎ
َأ
ْھ
ِﻞ
ِﻜﻟا
َﺘ
ِبﺎ
ِﻣ
َﻦ
ُﻄْﻌُﯾ ﻰّﺘﺣ ﻦْﯿِﻛ ِﺮْﺸُﻤﻟا
اﻮ
ِﺠﻟا
ْﺰ
.َﺔّﯾ
17“Ketika ada kandungan dua hadis menuntut agar keduanya diamalkan secara
kompromi (al-Jam’), maka kompromikan-lah keduanya, salah satu dari kedua hadis itu tidak boleh menghilangkan hadis yang lain. Allah memerintahkan untuk memerangi orang musyrik hingga ia beriman kemudian Ia memerintahkan memerangi orang musyrik dari ahl al-Kitâb sehingga mereka membayar pajak.”18
َو
ِﻓ
َﺤﻟا ﻲ
ِﺪ
ْﯾ
ِﺚ
َﻧ
ِﺳﺎ
َو ٌﺦ
َﻣ
ْﻨ
ُﺴ
َﻛ ٌخ ْﻮ
َﻤ
َو ﺎ
َﺻ
ْﻔ
ُﺖ
ِﻓ
ِﻘﻟا ﻲ
ْﺒ
َﻠ
َﻤﻟا ِﺔ
ْﻨ
ُﺴ
ْﻮ
َﺧ
ِﺑ ِﺔ
ْﺳﺎ
ِﺘ
ْﻘ
َﺒ
ِلﺎ
َﻤﻟا
ْﺴ
ِﺠ
ِﺪ
َﺤﻟا
َﺮ
ِما
َﻓ ،
ِﺈ
ْذ
َﻟ ا
ْﻢ
َﯾ
َﺘ ْﺤ
ِﻤ
َﺤﻟا ِﻞ
ّﻻإ ِنﺎﺜْﯾِﺪ
ِﻹا
ْﺧ
ِﺘ
َﻼ
ِف
َﻛ
َﻤ
َﺘ ْﺧا ﺎ
َﻠ
َﻔ
ْﺖ
ِﻘﻟا
َﻠْﺒ
َﻧ ُﺔ
ْﺤ
َﻮ
َﺑ
ْﯿ
َﻤﻟا ِﺖ
ْﻘ
ِﺪ
ِس
َو
َﺒﻟا
ْﯿ
ِﺖ
َﺤﻟا
َﺮ
َﻛ ِما
َأ َنﺎ
َﺣ
ُﺪ
ُھ
َﻤ
ﺎ
َﻧ
ِﺳﺎ
َو ًﺎﺨ
َﻷا
َﺧ
َﻣ ُﺮ
ُﺴْﻨ
َو ،ًﺎﺧ ْﻮ
َﻻ
َﯾ
ْﺴ
َﺘ
ِﺪ
ﱡل
َﻋ
َﻠ
َﻨﻟا ﻰ
ِﺳﺎ
ِﺦ
َو
َﻤﻟا
ْﻨ
ُﺴ
ِإ ِخ ْﻮ
ِﺑ ّﻻ
َﺨ
ْﺒ
َﻋ ٍﺮ
ْﻦ
َر
ُﺳ
ْﻮ
ِل
ِﷲ
َأ
ْو
ِﺑ
َﻘ
ْﻮ
ِل
َأ
ْو
ِﺑ
َﻮ
َﯾ ٍﺖﻗ
َﻋ ﱡلُﺪ
َﻠ
ﻲ
َأ
ﱠن
َأ
َﺣ
َﺪ
ُھ
َﻤ
َﺑ ﺎ
ْﻌ
َﺪ
َﻷأ
َﺧ
ِﺮ
َﻓ
َﯿ ْﻌ
َﻠ
َأ ﻢ
ّن
َﻷا
َﺧ
َﺮ
ُھ
َﻮ
َﻨﻟا
ِﺳﺎ
ٌﺦ
َأ ،
َﻘِﺑ و
ْﻮ
ِل
َﺳ ْﻦَﻣ
ِﻤ
َﻊ
َﺤﻟا
ِﺪ
ْﯾ
وأ ﺚ
َﻌﻟا
َﻛ ِﺔﱠﻣﺎ
َﻤ
َو ﺎ
َﺻ
َﻔ
َأ ُﺖ
ْو
ِﺑ
َﻮ
ْﺟ
ِﮫﺤ
ًأ
َﺧ
َﻻ ﺮ
ُﯾ َﺒ
ِّﯿ
ُﻦ
ِﻓ
ْﯿ ِﮫ
َﻨﻟا
ِﺳﺎ
ُﺦ
َو
َﻤﻟا
ْﻨ
ُﺴ
ْﻮ
ُخ
َو ،
َﻗ
َﻛ ْﺪ
َﺘ
ْﺒ
ِﻓ ُﺖ
ِﻛ ﻲ
َﺘ
ِﺑﺎ
َو ،ﻲ
َﻣ
ﺎ
َﯾ ْﻨ
ِﺴ
ُﺐ
ِإ
َﻟ
ْﺧﻹا ﻰ
ِﺘ
َﻼ
ِف
ِﻣ
َﻦ
َﻷا
َﺣ
ِدﺎ
ْﯾ
ِﺚ
َﻧ
ِﺳﺎ
ًﺦ
َﻨﻟا ﻰﻟإ رﺎﺼﯿﻓ خﻮﺴﻨﻣو
ِﺳﺎ
ِﺦ
ُد
ْو
َن
َﻤﻟا
ْﻨ
ُﺴ
ِخﻮ
،
19َو
ِﻣ
ْﻨ
َﮭ
َﻣ ﺎ
ﺎ
َﯾ ُﻜ
ْﻮ
ُن
ْﺧﻹا
ِﺘ
َﻼ
ُف
ِﻓ
ِﻔﻟا ﻲ
ْﻌ
ِﻞ
ِﻣ
ْﻦ
ِﺟ
َﮭ
ِﺔ
َأ
ﱠن
َﻷا
ْﻣ
َﺮ
ْﯾ
ِﻦ
ُﻣ
َﺒ
َﺣﺎ
ِنﺎ
َﻛ
ْﺧﺎ
ِﺘ
َﻼ
ِف
ِﻘﻟا
َﯿ
ِمﺎ
َو
ُﻘﻟا
ُﻌ
ْﻮ
ِد
َو
ِﻛ
َﻼ
ُھ
َﻤ
ُﻣ ﺎ
َﺒ
ٌحﺎ
،
َو
ِﻣ
ْﻨ
َﮭ
َﻣ ﺎ
َﯾ ﺎ
ْﺨ
َﺘ
ِﻠ
ُﻒ
َو
ِﻣ
ْﻨ
َﮭ
َﻣ ﺎ
َﻻﺎ
َﯾ
ْﺨ
ًﻠ
ْﻮ
ِﻣ
ْﻦ
َأ
ْن
َﯾ ُﻜ
ْﻮ
َن
َأ
َﺣ
ُﺪ
َﺤﻟا
ِﺪ
ْﯾ َﺜ
ْﯿ
ِﻦ
َأ
َﺒْﺷ
ِﺑ َﮫ
َﻤ
ْﻌ
َﻨ
ِﻛ ﻰ
َﺘ
ُبﺎ
ِﷲ
َأ
ْو
َأ
ْﺷ
َﺒ
َﮫ
ِﺑ
َﻤ
ْﻌ
َﻨ
ﻰ
ُﺳ
َﻨ
ُﻦ
َﻨﻟا
ِﺒ
ﱡﻲ
ِﻣ ّّﷺ
ﱠﻤ
َﺳ ﺎ
َﻮ
َﺤﻟا ى
ِﺪ
ْﯾ َﺜ
ْﯿ
ِﻦ
ُﻤﻟا
ْﺨ
َﺘ
ِﻠ
َﻔ
ْﯿ
ِﻦ
َأ
ْو
َأ
ْﺷ
َﺒ
َﮫ
َﺑ
َﻘﻟﺎ
َﯿ
ِسﺎ
َﻓ
ِّيﺄ
َﻷا
َﺣ
ِدﺎ
ْﯾ
ُﺚ
ُﻤﻟا
ْﺨ
ُﺘ
ِﻠ
ُﻔ
ُﺔ
َﻛ
َنﺎ
َھ
َﺬ
َﻓ ا
ُﮭ
َﻮ
َأ
ْو
ًﻻ
ُھ
َﻤ
ِﻋ ﺎ
ْﻨ
َﺪ
َﻧ
َأ ﺎ
ْن
ُﯾ
َﺼ
َرﺎ
ِإ
َﻟ
ْﯿ
،ﮫ
20َو
ِﻣ
ْﻨ
َﮭ
َﻣ ﺎ
َﻋ ﺎ
َﺪ
ُه
َﺑ
ْﻌ
َﺾ
ِﻣ
ْﻦ
َﯾ
ِﻌﻟا ﻲﻓ ﺮﻈﻨ
ْﻠ
ِﻢ
ُﻣ
ْﺨ
َﺘ
ِﻠ
ًﻔ
ِﺑ ﺎ
َﺄ
ﱠن
ِﻔﻟا
ْﻌ
َﻞ
ِﻓ
ْﯿ ِﮫ
ْﺧا
َﺘ
َﻠ
َﻒ
َأ
ْو
َﻟ
ْﻢ
َﯾ
ْﺨ
َﺘ
ِﻠ
ِﻔﻟا ﻒ
ْﻌ
ِﻞ
ِﻓ
ْﯿ ِﮫ
ِﺑ ّﻻإ
ْﺧﺎ
ِﺘ
َﻼ
ِف
ُﺣ
ْﻜ
ُﻤ
ُﮫ
َا
ْو
ْﺧا
َﺘ
َﻠ
َﻒ
ِﻔﻟا
ْﻌ
ِﻞ
ِﻓ
ْﯿ ِﮫ
ِﺑ
َﺄ
َﻧ
ُﮫ
ُﻣ
َﺒ
ٌحﺎ
َﻓ
َﯿ
ْﺸ
َﺒ
ُﮫ
َأ
ْن
َﯾ ْﻌ
َﻤ
َﻞ
ِﺑ
ِﮫ
ِﺑ
َﺄ
ﱠﻧ
ُﮫ
َﻘﻟا
ِﺋﺎ
ُﻞ
ِﺑ
ِﮫ
َو
ِﻣ
ْﻨ
َﮭ
َﻣ ﺎ
َﺟ ﺎ
َءﺎ
ُﺟ
ْﻤ
َﻠ
َﺔ
َو
َأ
َﺧ
ُﺮ
ُﻣ
ُﻔ
ﱠﺴ
ًﺮ
َو ،ا
ِا
َذ
َﺟ ا
َﻌ
ْﻠ
ُﺖ
ُﺠﻟا
ْﻤ
َﻠ
َﺔ
َﻋ
َﻠ
ﱠﻧإ ﻰ
َﮭ
َﻋ ﺎ
ﱠﻣﺎ
ٌﺔ
َﻋ
َﻠ
ْﯿ ِﮫ
َر
َو
ْﯾ
ُﺖ
ِﺑ
ِﺨ
َﻼ
ِف
ُﻤﻟا
َﻔ
ِﺮّﺴ
َو ،
َﻟ
ْﯿ
َﺲ
َھ
َﺬ
ْﺧا ا
ِﺘ
َﻼ
ًﻓ
ِإ ﺎ
ﱠﻧ
َﻤ
َھ ﺎ
َﺬ
ِﻣ ا
ﱠﻤ
َو ﺎ
َﺻ
ْﻔ
ُﺖ
ِﻣ
ْﻦ
َﺳ
َﻌ
ِﺔ
ِﻟ
َﺴ
ِنﺎ
َﻌﻟا
َﺮ
ِب
َو .
َأ
ﱠﻧ
َﮭ
َﺗ ﺎ
ْﻨ
ِﻄ
ُﻖ
17 Komentar al-Syâfi’ȋ di atas, menunjukkan atas penyelesaian ikhtilâf al-Hadȋts secara kompromi (al-Jam’).
18Al-Syâfi’ȋ mengkompromikan kedua hadis tersebut. Dua hadis itu kelihatan kontradiksi, hadis pertama menyuruh agar terus memerangi orang musyrik sampai ia beriman. Hadis kedua menjelaskan agar terus memerangi orang musyrik itu sampai ia membayar pajak. Jadi letak kontradiksi yang nampak adalah pada sampai beriman dan sampai membayar pajak.
19
Komentar al-Syâfi’ȋ di atas, menunjukkan atas penyelesaian dengan menggunakan nasȋkh dan
mansûkh sebagai solusi atas ikhtilâf al-Hadȋts.
20 Komentar al-Syâfi’ȋ di atas, menunjukkan atas penyelesaian dengan menggunakan tarjȋh sebagai solusi atas ikhtilâf al-Hadȋts.
ِﺑ
َﺸﻟﺎ
ْﻲ
ِء
ِﻣ
ْﻨ
ُﮫ
َﻋ
ُﺗ ﺎ
ِﺮ
ْﯾ ُﺪ
ِﺑ
ِﮫ
َﺨﻟا
ﱡصﺎ
َو ،
َھ
َﺬ
ِنا
َﯾ
ْﺴ
َﺘ
ْﻌ
ِﻤ
َﻼ
ِن
َﻣ
ًﻌ
َﻗ ،ﺎ
ْﺪ
َأ
ْو
َﺿ
ْﺤ
ِﻣ ُﺖ
ْﻦ
ُﻛ
ِّﻞ
َﺻ
ِﻣ ﻒﻨ
ْﻦ
َھ
َﺬ
َﻣ ا
ﺎ
َﯾ ُﺪ
ﱡل
َﻋ
َﻠ
َﻣ ﻰ
ِﻓ ﺎ
ِﻣ ﻲ
ْﺜ
ِﻞ
َﻣ
ْﻌ
َﻨ
ُهﺎ
َإ
ْن
َﺷ
َءﺎ
َو
َﺟ
َﻤ
ُعﺎ
َھ
َﺬ
َأ ا
ْن
َﻻ
ُﯾ
َﺒﻘ
َﺣ ّﻻإ ﻞ
ِﺪ
ْﯾ
َﺎﺛ ﺚ
ِﺑ
َﻛ ﺖ
َﻤ
َﻻ ﺎ
ُﯾ ْﻘ
َﺒ
ِﻣ ﻞ
ْﻦ
ُﺸﻟا
ُﮭ
ْﻮ
ِد
َﻋ ْﻦَﻣ ّﻻإ
َﺮ
َف
َﻋ
ْﺪ
َﻟ
ُﮫ
َﻓ ،
َذﺈ
َﻛ ا
َنﺎ
َﺤﻟا
ِﺪ
ْﯾ
َﻣ ﺚ
ْﺠ
ُﮭ
ْﻮ
ًﻻ
َأ
ْو
َﻣ
ْﺮ
ُﻏ
ْﻮ
ًﺑ
َﻋ ﺎ
ﱠﻤ
ْﻦ
َﺣ
َﻤ
َﻠ
ُﮫ
َﻛ
َنﺎ
َﻛ
َﻤ
َﻟ ﺎ
ْﻢ
َﯾ ْﺄ
ِت
،
َِﻷ
ﱠﻧ
ُﮫ
َﻟ
ْﯿ
َﺲ
ِﺑ
َﺜ
ِﺑﺎ
ﺖ
”
.
21“Dalam hadis (juga) terjadi nasȋkh dan mansûkh. Apabila dua hadis benar-benar ikhtilâf (kontradiksi) sebagaimana masalah kiblat, dari bait al-Maqdȋs ke Masjid al-Harâm. Maka, niscaya salah satu dari dua hadis tersebut me-nasakh-kan yang lain, dan yang lain di-mansûkh-kan. Oleh karena itu, dalam menentukan nâsikh dan mansûkh, hendaknya berpegang kepada informasi atau sabda Rasulullah, berpedoman pada jejak historis yang menunjukkan bahwa salah satu dari dua hadis tersebut datang belakangan dari hadis yang tampak kontradiktif. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa yang hadis muncul belakangan itu me-nasakh-kan yang datang lebih dulu. Atau berpedoman pada perkataan seseorang atau umumnya periwayat hadis, atau berpedoman kepada keterangan lain—yang mana keterangannya tidak menjelaskan secara jelas tentang naskh-mansûkh, tetapi jika dipahami secara cermat, maka akan ditemukan keterangan yang menjelaskan naskh dan mansûkh— seperti yang telah Aku (al-Syâfi’ȋ) sebutkan dalam kitab. Oleh karena itu, apabila hadis yang kontradiktif itu memang tepat untuk diberlakukan—untuk penyelesaiannya dengan menggunakan—nasȋkh dan mansûkh, maka hendaklah menggunakan atau mengamalkan hadis yang me-nasakh dan hadis yang mansûkh tidak diamalkan. Lebih lanjut, ada beberapa hadis yang nampak kontradiktif yang mengacu kepada perbuatan yang mubâh, seperti kontradiksi hadis mengenai berdiri dan duduk dalam salat. Di antara hadis-hadis yang kontradiksi itu ada maknanya menyerupai makna firman Allah, atau menyerupai makna hadis yang lain yang tidak kontradiktif, atau lebih serupa dengan kias”.
Dalam hal ini, al-Syâfi’ȋ menganjurkan untuk mengamalkan hadis tersebut. Beberapa sarjana ilmu hadis memandang bahwa kontradiksi hadis, disebabkan oleh pengamalannya kelihatan bertentangan, atau hukumnya kelihatan bertentangan. Adapun hadis ada yang datang secara ijmâl/global (maknanya), dan yang datang secara mufassar (rinci). Jadi, apabila yang ijmâl itu tetap atas ijmalnya, pasti kelihatan bertentangan dengan yang mufassar tadi. Dalam hal ini, al-Syâfi’ȋ 21Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Idrȋs al -Syâfi’ȋ, Al-Umm, (Ttp: Bait al-Afkâr al-Dauliyyah, Tt), h. 1723
menganggap yang seperti tidak bertentangan. Lebih lanjut, beliau melanjutkan bahwa pandangan demikian hanya bentuk halusinasi masyarakat Arab saja. Kadang-kadang hadis menuturkan kata umum tetapi maksudnya adalah khusus. Oleh karena itu, dua hadis yang kelihatan bertentangan seperti ini harus diamalkan kedua-duanya.
Realita di lapangan membuktikan bahwa memang banyak sekali hadis yang tampak bertentangan. Hal itu, semakin memicu usaha para ulama dalam mencari solusi, karena mereka tetap pada keyakinan bahwa antara satu hadis dengan yang lainnya itu tidak ada pertentangan. Lebih lanjut, jika setelah dilakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang bertentangan ditemukan bukti ada pertentangan (dalam zâhir teks), maka dimungkinkan bahwa salah satu dari hadis yang bersangkutan itu bukanlah sesuatu yang berasal dari Nabi, karena mustahil bagi Nabi untuk mengemukakan petunjuk yang saling bertentangan.22
Lebih lanjut, Ibn Qutaibah menyatakan bahwa ada segolongan orang yang berpendapat bahwa ada beberapa hadis yang bertentangan dengan al-Qur’an.23
Apabila apa yang diutarakan pendapat sebagian golongan yang disampaikan Ibn Qutaibah benar, merupakan preseden buruk bagi keyakinan mayoritas ulama yang selama ini dipegang teguh terkait masalah posisi kedua hadis setelah al-Qur’an dalam
tasyrî’ al-‘Islâmî.24
22 Argumen panjang dan lebar dikemukakan oleh Syuhudi Ismail sebelum dia berkesimpulan seperti ini. Lihat Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya…, h.110
23Ibn Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadîts….., h. 104
24Muhammad ‘Ajjâj al-Khatîb, ‘Usȗl al-Hadîts: ‘Ulȗmuh wa Mustalahuh, (Beirut:Dâr al-Fikr, 1989), h. 35
Oleh karena itu, dalam ranah sejarah terekam usaha dalam memecahkan ikhtilâf al-Hadîts menjadi perhatian setiap generasi Islâm sejak zaman sahabat,25 dan kemudian diteruskan oleh para ulama hadis dalam beberapa kitab yang membahas seputar hadis-hadis yang mukhtalif seperti Ikhtilâf al-Hadîts karangan al-Imâm Syâfi’î (w. 204 H=820 M),26 pioneer pengkodifikasian hadis-hadis yang tampak Mukhtalif ke dalam sebuah kitab disertai pemaparan solusi penyelesaiannya, Ta’wîl Mukhtalif al-Hadîts karya Ibn Qutaibah (w. 278 H=923 M) dan kitab-kitab lainnya yang berkonsentrasi pada bahasan hadis hadis yang mukhtalif.27
25
Muhammad ‘Ajjâj al-Khatîb, ‘Usȗl al-Hadîts: ‘Ulȗmuh wa Mustalahuh…., h. 284
26 Kepentingan utama al-Syâfi’î dalam merumuskan metode ilmu Mukhtalif al-Hadîts adalah mempertahankan eksistensi hadis, terutama hadis ahâd sebagai sumber hukum Islâm. Pada masanya, al-Syâfi’î menyaksikan munculnya kelompok-kelompok yang menolak hadis sebagai sumber hukum Islam. Jika melihat kepada konteks sosial yang terjadi pada abad ke-1 dan ke-2 H, penolakan terhadap hadis sebagai sumber hukum Islam sesungguhnya imbas dari konflik dan perseteruan yang bernuansa politik terutama pasca wafatnya khalifah ‘Utsmân ibn ‘Affân yang kemudian semakin memanas pada masa khalifah Alî ibn Abȗ Tâlib. Kelompok penolak hadis yang pertama adalah mereka yang menolak hadis secara keseluruhan. Kelompok ini berargumentasi bahwa al-Qur'an telah mencakup semua penjelasan tentang segala sesuatu. Lihat Muhammad Abȗ Zahrah, Al-Syâfi'î: Hayyatuh wa 'Asruh
Arâ'uh wa Fiqhuh, (Kairo: Dâr al-Fikr al-Arabî, 1948), h. 192. Lihat juga Abd al-Halîm al-Jundî, Al-Imâm al-Syâfi'î: Nâsr al-Sunnah wa Wâdî' al-‘Usȗl, (Kairo: Dâr al-Ma'ârif, t.t.), h. 234. Lebih lanjut,
kelompok penolak lain hadis yang dihadapi al-Syâfi'î adalah mereka yang menolak hadis kecuali jika terdapat ayat al-Qur'an yang semakna dengan hadis itu. Dengan perkataan lain, kelompok ini menganggap hadis harus mempunyai pendukung argumentatif dari al-Qur'an untuk dapat diterima sebagai dalil. Lihat Abd al-Halîm al-Jundî, Al-Imâm al-Syâfi'î: Nâsr al-Sunnah wa Wâdî' al-‘Usȗl…., h. 234
27 Setelah karya al-Syâfi’ȋ, muncul karya lain dalam kajian ikhtilâf al-Hadȋts. Adapun karya
yang termashur antara lain Kitâb Ta’wȋl Mukhtalif al-Hadȋts karya al -Imâm al-Hâfiz ‘Abdullâh ibn
Muslim ibn Qutaibah al-Dainurȋ (213-276 H). Lebih lanjut, dalam karya monumental di bidang ikhtilâf
al-Hadȋts ini, Ibn Qutaibah menggubah argumentasi untuk menyanggah musuh-musuh hadis yang
melancarkan beberapa tuduhan kepada ahli hadis yang tercermin dalam bentuk periwayatan beberapa hadits yang tampak saling bertentangan. Beliau menjelaskan hadis-hadis yang mereka klaim saling kontradiktif . dalam hal ini, Ibn Qutaibah memberikan tanggapan dengan mendedah kerancuan-kerancuan seputar hadis-hadis tersebut. Karya Ibn Qutaibah ini, menempati posisi yang tinggi dalam khazanah intelektual Islam, bahkan mampu membendung kerancuan yang ditebarkan sementara
kelompok Mu’tazilah, Musyabbihah dan yang lain. Lihat M. Ajaj al-Khathib. 2000. Ushul al-Hadits.
B. Sebab Terjadinya Mukhtalif Al-Hadîts
Tidak dapat dimungkiri, bahwa eksistensi hadis sepeninggal Nabi Muhammad Saw. berada pada suatu kondisi yang mulai tidak seimbang dibanding dengan eksistensi al-Qur'an. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut. Pertama, cara periwayatan hadis yang selain berlangsung secara lafal juga berlangsung secara makna. Kedua, dalam sejarah hadis telah muncul berbagai pemalsuan terhadap hadis. Ketiga, hadis merupakan sumber ajaran Islam yang dibukukan dalam rentang waktu jauh lebih lama daripada pembukuan al-Qur'an. Keempat, periwayatan hadis selain beragam metodenya, juga beragam tingkat validitas masing-masing metodenya. Faktor-faktor inilah yang kemudian membuka peluang untuk diadakan pengkajian dan penelitian hadis dalam banyak persoalan yang tidak jarang menimbulkan perdebatan.28
Salah satu upaya memperkuat eksistensi hadis yang dilakukan para ulama adalah dengan memberikan perhatian kepada studi matan hadis.29Selain sanad yang menjadi pilar transmisi hadis dari masa ke masa, matan adalah salah satu bagian terpenting dari hadis. Tanpa matan, hadis tidak akan bernilai apa-apa. Praktik keberagamaan yang sampai saat ini berlangsung adalah buah dari pemahaman terhadap matan hadis. Karenanya, studi matan hadis mutlak mendapat perhatian.
28 Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah: Kritik Mustafâ al-Sibâ'î terhadap
Pemikiran Ahmad Amîn mengenai Hadis dalam Fajr al-Islâm, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Cet.
Ke-1., h.5
29Muhammad Tâhir Jawwâbi, Juhȗd Muhadditsîn fî Naqd Matn Hadîts ‘Nabawî
al-Syarîf, (Tȗnis: Mu'assassah Abd al-Karîm ibn Abdullâh, tt.) h.368. Dalam buku ini Penulis mengupas
secara komprehensif seluk beluk metodologi kritik matan hadis. Secara sistematis Penulis berhasil memetakan teori-teori kritik matan hadis dan menarik garis pembatas yang jelas dengan metodologi kritik sanad hadis.
Dalam konteks studi matan hadis, salah satu persoalan besar adalah ketika dalam tataran realitas ditemukan hadis-hadis yang secara substantif bertentangan satu sama lain. Redaksi hadis-hadis itu masing-masing memberikan muatan hukum yang saling bertentangan tentang suatu masalah. Dalam kondisi seperti ini, matan hadis- hadis tersebut menjadi sulit untuk dipahami karena tidak mungkin mengamalkan salah satu hadis secara langsung dengan begitu saja mengesampingkan matan hadis yang lainnya. Kondisi di mana terjadi pertentangan isi matan hadis dengan matan hadis lainnya disebut dengan ikhtilâf al-Hadîts, dan hadis-hadis yang saling bertentangan disebut dengan mukhtalif al-Hadîts.30
Lebih lanjut, pada masa Rasȗlullâh, belum terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan hukum-hukum Islam, para sahabat masih bertumpu pada Rasulullah. Akan tetapi, setelah Rasulullah wafat berkembang masalah baru yang mengharuskan para sahabat untuk ber-ijtihâd31 dalam menentukan suatu hukum, seperti hukum
30Muhammad Tâhir Jawwâbi, Juhȗd Muhadditsîn fî Naqd Matn Hadîts ‘Nabawî
al-Syarîf…., h. 368
31Kata ijtihâd seakar dengan kata jihâd. Lebih lanjut, bisa disimak bahwa, bentuk ism masdar dari kata jâhada-yujâhidu-jihâdan-mujâhadah. Secara etimologi, jihâd mempunyai arti mencurahkan usaha (badzl al-Juhd), kemampuan, dan tenaga.31 Nazaruddin Umar menambahkan, kata jihâd yang yang terdiri dari huruf Arab ج ,ه ,د , mempunyai persamaan akar kata dengan ijtihâd dan mujâhadah. Dengan demikian, kata jihâd mempunyai dua dimensi makna; makna eksoterik dan esoterik. Lebih lanjut, jihâd dalam dimensi eksoterik, mempunyai makna yang sepadan dengan perang suci (the holy
war). Definisi tersebut dalam pandangan pakar dianggap sebagai pengertian yang terpengaruh oleh
konsep Kristen (Perang Salib). Makna esoterik jihâd—lebih tepatnya mujâhadah—mempunyai makna suatu upaya sungguh-sungguh dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dalam kajian fiqh, jihâd— lebih tepatnya, ijtihâd—bermakna kemampuan menalar dan upaya maksimal untuk mengambil sebuah
keputusan hukum syari’ah. Lihat Nazaruddin Umar, Mengurai Makna Jihad, (Jakarta: Mata Air
Publising, 2006), h.5. Dalam diskursus ilmu usȗl al-fiqh, Tâj al-Dîn al-Subkî menyatakan bahwa ijthâd merupakan usaha maksimal yang dilakukan oleh seorah faqîh untuk menghasilkan bayangan suatu hukum (zann Hukm). Lihat Tâj Dîn Subkî, Jam’u Jawâmi’ Fî ‘Usȗl Fiqh, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), h. 118
fiqh32, dan seringkali terjadi perbedaan-perbedaan di antara mereka dalam memahami hadis karena disebabkan beberapa faktor.
1. Internal Hadis (al-‘Âmil al-Dâkhilȋ)
Faktor ini berkaitan dengan internal dari redaksi hadis tersebut. Biasanya terdapat
‘illat (cacat) di dalam yang lain sebagai berikut:
Faktor hadis tersebut secara signifikan mempengaruhi kualitas hadis tersebut menjadi da’îf. Dengan demikian, secara otomatis hadis tersebut ditolak (mardȗd)33 ketika hadis tersebut berlawanan dengan hadis sahîh. Dalam hal ini, sebagai contoh perbedaan pandangan sahabat dalam memahami aktivitas Nabi Muhammad yang mempunyai beberapa pengertian. Sebagian sahabat memahami kegiatan Nabi tersebut mengandung dalil pembolehan terhadap sesuatu, sedangkan sahabat yang lain memahami pekerjaan Nabi tersebut mengandung pembolehan terhadap sesuatu yang lain, seperti ketika Nabi mengerjakan salat witir sebanyak tujuh, sembilan dan sebelas rakaat.34
32
Nafiz Husain Hammad, Mukhtalif al-Hadîts Baina al-Fuqahâ’ wa al-Muhadditsîn, (Mesir: Darul Wafa;, 1993), h.26.
33 Mardȗd merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan suatu hadis yang secara definitif tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahîh sehingga pengamalan hadis tersebut ditolak. Lihat
‘Abȗ ‘Abdullâh Mu hammad ibn ‘Abdullâh al-Hâkim al-Naisâbȗrî, Ma’rifat ‘Ulȗm al-Hadîts wa Kammiyyat ‘Ajnâsih, (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 2003), h. 235
34 Musthafa Sibâ’î, Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî Tasyrî’ ‘Islâmî, (Beirut, Maktabah
al-‘Islamî, 1978) h. 230. Lebih lanjut, terkait masalah perbedaan antara sahabat dalam memutuskan
antara dua hukum, al-Nawawî menyatakan bahwa dalam qaul al-Qadîm al-Syâfi’î berpendapat, solusi dalam menanggapi perbedaan sahabat tersebut adalah mentarjih pendapat yang satu atas yang lain.
Lihat Sa’d al-Dîn ibn Muhammad al-Kibbî, Muqaddimah al-Nawawî fî ‘Ulȗm al-Hadîts wa Hiya Muqaddimah ‘Alâ Sahîh Muslim, (Beirut: Al-Maktabah al-‘Islâmî, 1996), h. 32
2. Faktor Eksternal (al’-‘Âmil al-Khârijȋ)
Faktor ini lahir sebagai respon atas kondisi dan konteks sosial yang melatari Nabi “men-sabda-kan” suatu hadis.35
3. Faktor Metodologi (al-Budu’ al-Manhaji)
Faktor ini merupakan pengaruh dari perbedaan metode pemahaman seseorang terhadap hadis. Perbedaan ini juga dipengaruhi disparitas langgam pengetahuan seseorang, sehingga mengantarkan mereka dalam metodologi tekstual dan kontekstual, serta bermuara kepada asumsi adanya hadis-hadis yang mukhtalîf.
4. Faktor Ideologi
Yakni berkaitan dengan ideologi suatu madzhab dalam memahami suatu hadis, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.36 Dalam permasalahan ini, Ibn Qutaibah melahirkan karya monumental untuk meredam memanasnya pertikaian idiologis antar madzhab kalâm dengan kalangan muhadditsȗn yang terjadi pada zamannya.37
35
Dalam hal ini, sebagai contoh, riwayat dari ‘Anas ibn Mâlik yang disampaikan oleh Humaid
ibn Abȗ Humaid al-Tawîl bahwa “ Rasulullah Saw. mendatangi sekumpulan sahabat seraya berkata:
“Kalian mengatakan begini-begitu? Demi Allah aku (Rasulullah) adalah manusia yang paling takut
dan bertakwa kepada Allah, aku berpuasa dan berbuka, mendirikan salat, tidur, dan menikah. Barang
siapa yang membenci sunnahku, maka bukanlah termasuk golonganku”.” Lihat Dirâsât Fî al-Hadîts al-Nabawiyyah wa Târikh Tadwînih, h. 4. Lebih lanjut Dalam kerangka sosiologi pengetahuan
mencermati kekuatan-kekuatan yang hidup dan sikap-sikap aktual yang mendasari sikap-sikap teoretis. Kekuatan itu tidak dilihat sebagai sesuatu yang individual belaka, namun lebih pada tujuan kolektif suatu kelompok yang mendasari pemikiran individu. Sosiologi pengetahuan melihat individu hanyalah berpartisipasi dalam pandangan yang telah digariskan kelompok. Oleh karena itu, sebagian besar pemikiran dan pengetahuan tak bisa dimengerti secara betul selama kaitannya dengan kehidupan atau dengan implikasi sosial kehidupan manusia tidak diperhitungkan. Lihat Karl Mannheim, Ideologi dan
Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Penerjemah. F. Budi Hardiman, (Yogyakarta:
Kanisius, 1991), h. 291-292.
36Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’ani al-hadȋts (Yogyakarta : Idea Press, 2008), h. 87. 37Ibn Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadîts….., h. 2.
Secara teknis, ‘Usamah ibn ‘Abdullâh Khayyât meyebutkan penyebab terjadinya ikhtilâf al-Hadîts ada tiga faktor. Pertama, kontradiksi hadis yang disebabkan oleh perbedaan umum dan khusus subtansi hadis tersebut. Kedua, kontradiksi yang disebabkan oleh perbedaan hadis-hadis yang nampak bertentangan. Ketiga, kontradiksi yang terjadi dikarenakan proses transmisi rangkaian sanad hadis.38
C. Penyelesaian Mukhtalif al-Hadis
Secara umum, aktifitas intelektual sarjana hadis dalam menggali formula-formula penyelesaian hadis-hadis yang secara tekstual terlihat kontradiktif, menghasilkan metode yang berbeda. Bahkan, sebagian ulama menempuh berbagai jalan dengan tata urutan yang berbeda-beda pula. Dalam formulasi Ibn Salâh, terdapat dua klasifikasi dalam urutan mencari solusi hadis yang mengandung ikhtilâf, yaitu:39 1) Dua hadis yang tampak bertentangan tersebut dapat dimungkinkan untuk dipadukan atau dikompromikan, sama-sama diamalkan sesuai konteksnya. Dalam dunia ulumul hadis dikenal dengan istilah al-Jam’u wa al-Taufîq.
2) Dua hadis yang tampak bertentangan itu tidak dimungkinkan untuk dipadukan atau dikompromikan. Apabila keadaannya seperti ini maka ada dua pilihan untuknya, ada kalanya dengan jalan nâsikh-mansȗkh (yang satu sebagai penghapus dan yang lain adalah yang dihapus), ada kalanya di-tarjîh (diteliti dan ditentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat) jika pada hadis yang bersangkutan tidak ada tanda-tanda yang mendukung pada adanya nâsikh dan mansȗkh.
38‘Usamah ibn ‘Abdullâh Khayyât, Mukhtalif Hadîts Bain Muhadditsîn wa Usȗliyyin al-Fuqahâ’, (Riyadh: Dâr al-Fadilah, 2001), h. 53-75.