• Tidak ada hasil yang ditemukan

Appendicitis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Appendicitis"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis akibat adanya obstruksi pada lumen Appendix (Blackbourne, 2012). Appendicitis merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering dan kasus emergensi bedah yang umum ditemukan, di Amerika Serikat terdapat sekitar 250.000 kasus Appendicitis yang terjadi setiap tahun terutama pada anak-anak berusia enam sampai sepuluh tahun dan dewasa muda (Medscape, 2014) (Prather, 2012).

Appendicitis terjadi pada 7% dari populais Amerika Serikat dengan insidensi 1,1 kasus per 1000 penduduk per tahun (Medscape, 2014). Ratio insidensi laki-laki dibandingkan perempuan sekitar 1.2-1,3:1 (Berger and Jaffe, 2006).

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan Appendicitis acuta dan 30-40% pada anak dengan Appendicitis perforata.

Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan nyeri perut yang didahului anoreksia. Gejala utama Appendicitis acuta adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ (Berger and Jaffe, 2006).

Mortalitas dari Appendicitis di Amerika Serikat menurun terus dari 9,9% per 100.000 pada tahun 1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis adalah sarana diagnosis dan terapi, antibiotika, cairan intravena yang semakin baik, ketersediaan darah dan plasma, serta meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi tepat sebelum terjadi perforasi (Berger and Jaffe, 2006).

(2)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Embriologi Appendix

Appendix merupakan bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu kelima kehamilan dan Appendix dapat terlihat pada minggu kedelapan kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya Appendix berada pada apeks Caecum, kemudian dalam perkembangannya Appendix berotasi dan terletak lebih medial dekat dengan Plica ileocaecalis.

Gambar 2.1 Intestinum, Colon, Appendix, Caecum, Rectum, Canalis Analis (Anterior) (Moore, Dalley and Agur, 2010)

Ujung appendix dapat ditemukan pada retrocaecal (64%), pelvica (32%), subcaecal (2%), preileal (1%), atau postileal (0,5%). Tiga Taenia coli berkumpul pada pertemuan antara Caecum dengan Appendix. Panjang Appendix bervariasi antara kurang dari 1 cm sampai lebih dari 30 cm, rata-rata panjang Appendix adalah 6-9 cm. Appendix memiliki mesenterium berbentuk triangular kecil yang berasal dari mesenterium sisi posterior Ileum terminalis, disebut Mesoappendix dan berfungsi menggantungkan bagian

(3)

proksimal Appendix pada Caecum (Berger and Jaffe, 2006) (Moore, Dalley and Agur, 2010).

Gambar 2.2 Variasi Letak Appendix (Drake, Vogl and Mithcell, 2007)

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang N. vagus yang mengikuti A. mesenterica superior dan A. apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari N. torakalis (T10). Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di sekitar umbilicus (Moore, Dalley and Agur, 2010).

Perdarahan Appendix berasal dari A. apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi maka Appendix akan mengalami gangren (Moore, Dalley and Agur, 2010).

(4)

Gambar 2.3 Perdarahan Intestinum, Colon, Appendix, Caecum, Rectum, Canalis Analis (Moore, Dalley and Agur, 2010)

2.2 Fisiologi Appendix

Appendix merupakan komponen dari Gut-Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang berperan dalam sekresi imunoglobulin, yaitu imunoglobulin A (IgA). Immunoglobulin ini sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan Appendix tidak memengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limf disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. Jaringan limfoid muncul pertama kali pada Appendix sekitar dua minggu setelah kelahiran dan jumlahnya terus meningkat hingga usia pubertas, bertahan selama beberapa dekade lalu mulai menurun seiring bertambahnya usia (Berger and Jaffe, 2006). Selain itu, lapisan mukosa Appendix dapat menghasilkan cairan, mucin, dan enzim-enzim proteolitik (Soybel, 2003)

Gambar 2.4 Histologi Appendix – GALT (Kuehnel, 2003) 2.3 Appendicitis

(5)

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis akibat adanya obstruksi pada lumen Appendix (Blackbourne, 2012).

Gambar 2.5 Appendicitis (PubMed Health, 2013) 2.3.2 Epidemiologi dan Insidensi

Appendicitis merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering dan kasus emergensi bedah yang umum ditemukan, di Amerika Serikat terdapat sekitar 250.000 kasus Appendicitis yang terjadi setiap tahun terutama pada anak-anak berusia enam sampai sepuluh tahun dan dewasa muda (Medscape, 2014) (Prather, 2012).

Appendicitis terjadi pada 7% dari populais Amerika Serikat dengan insidensi 1,1 kasus per 1000 penduduk per tahun (Medscape, 2014). Ratio insidensi laki-laki dibandingkan perempuan sekitar 1.2-1,3:1 (Berger and Jaffe, 2006).

2.3.3 Etiologi dan Patofisiologi

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan Appendicitis acuta dan 30-40% pada anak dengan Appendicitis perforata. Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella atau

(6)

akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di sepertiga proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang memengaruhi terjadinya Appendicitis adalah trauma, stress psikologis, dan herediter (Soybel, 2003).

Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi. Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada kasus Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis acuta gangrenosa dengan perforasi (Ellis, 2001).

Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi

merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium (Ellis, 2001) .

Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ (Berger and Jaffe, 2006).

(7)

Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi biasanya pada salah satu daerah infark di batas antemesenterik (Berger and Jaffe, 2006).

Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri tumpul di dermatom T10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain (Ellis, 2001).

Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix berhubungan dengan Peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis

(8)

dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine (Ellis, 2001).

Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis lebih 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan

fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga lebih 48 jam tanpa perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik (Ellis, 2001).

2.3.4 Bakteriologi

Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal. Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan bakteri jenis anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada perubahan Appendicitis acuta ke Appendicitis gangrenosa dan Appendicitis perforata (Soybel, 2003).

Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi. Flora normal pada Appendix sama dengan bakteri pada Colon normal. Bakteri yang umumnya terdapat di Appendix, Appendicitis acuta dan Appendicitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi dari bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan (Berger and Jaffe, 2006).

Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob

(9)

Eschericia coli Pseudomonas aeruginosa Klebsiella sp. Coccus Gram (+) Streptococcus anginosus Streptococcus sp. Enterococcus sp. Bacteroides fragilis Bacteroides sp. Fusobacterium sp. Coccus Gram (+) Peptostreptococcus sp. Batang Gram (+) Clostridium sp.

Tabel 2.1 Variasi Bakteri yang dapat ditemukan pada Appendicitis (Berger and Jaffe, 2006)

Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis perforata dan non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, seringkali pasien telah mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang dikultur dan kemampuan laboratorium untuk mengkultur organisme anaerob secara spesifik sangat bervariasi. Kultur peritoneal harus dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari obat-obatan atau penyakit lain, dan pasien yang mengalami abscess setelah terapi Appendicitis. Perlindungan antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus Appendicitis non perforata. Pada Appendicitis perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga leukosit normal atau pasien tidak demam dalam 24 jam (Berger and Jaffe, 2006).

2.3.5 Manifestasi Klinis

Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan nyeri perut yang didahului anoreksia. Gejala utama Appendicitis acuta adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ (Berger and Jaffe, 2006).

Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix, biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu

tubuh meningkat hingga lebih dari 39oC. Anoreksia hampir selalu

(10)

umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis diragukan. Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada beberapa pasien terutama anak-anak (Berger and Jaffe, 2006).

Manifestasi Skor

Gejala Rasa nyeri berpindah 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri tekan RLQ 2

Nyeri lepas (Rebound) 1

Suhu meningkat 1

Hasil laboratorium Leukositosis 2

Shift to the left 1

0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil 5-6 : bukan diagnosis Appendicitis 7-8 : kemungkinan besar Appendicitis 9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis

Tabel 2.2 Skor Alvarado (Berger and Jaffe, 2006)

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor lebih dari 6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan (Berger and Jaffe, 2006).

Variasi dari lokasi anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri.

Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:  Rovsing’s sign

Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.

 Psoas sign

Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal dari peradangan

(11)

Appendix. Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.

Gambar 2.6 Dasar Anatomis Psoas Sign  Obturator sign

Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M. Obturatorius oleh Appendicitis letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

(12)

Gambar 2.8 Dasar Anatomis Obturator Sign  Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral)

Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini dikatakan positif bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di RLQ.

 Wahl’s sign

Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada auskultasi.

 Baldwin’s test

Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat tungkai kanannya ditekuk.

 Defence musculare

Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix.  Nyeri pada daerah cavum Douglasi

Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di cavum Douglasi atau Appendicitis letak pelvis.

 Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi lateral.

 Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk). 2.3.6 Pemeriksaan Penunjang

(13)

Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya

didapatkan pada keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis Appendicitis acuta harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm3 pada Appendicitis tanpa komplikasi (Berger

and Jaffe, 2006).

CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan. Peningkatan CRP di atas 1 mg/dL umum terjadi pada pasien Appendicitis. Level CRP yang sangat tinggi pada pasien Appendicitis mengindikasikan adanya gangren, terutama jika diikuti dengan leukositosis dan neutrofilia (Medscape, 2014).

Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Appendicitis. Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal, Appendix diukur dalam diameter posterior. Penilaian dikatakan positif bila tanpa kompresi ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih. Ditemukannya appendicolith akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari Appendix normal, yang dengan tekanan ringan merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur berukuran 5 mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta. Penilaian dikatakan negatif bila Appendix tidak terlihat dan tidak tampak adanya cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis Appendicitis acuta tersingkir dengan USG, pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga abdomen harus dilakukan untuk mencari diagnosis lain. Pada wanita-wanita usia reproduktif, organ-organ panggul harus dilihat baik dengan pemeriksaan transabdominal maupun endovagina agar dapat menyingkirkan penyakit ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri akut abdomen. Diagnosis Appendicitis acuta dengan USG telah dilaporkan sensitifitasnya sebesar 55%-96% dan spesifitasnya sebesar 85%-98%.

(14)

USG sama efektifnya pada anak-anak dan wanita hamil, walaupun penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut (Berger and Jaffe, 2006).

Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis acuta, tetapi dapat sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien Appendicitis acuta, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal ini merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumoni lobus kanan bawah (Berger and Jaffe, 2006).

Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG, tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya Abscess appendix untuk melakukan percutaneous drainage secara tepat (Berger and Jaffe, 2006).

Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum dan Appendix yang kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 50-48 %. Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek Appendicitis harus dipersiapkan untuk pasien yang diagnosisnya diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti, memerlukan operasi segera saat ada indikasi klinis (Berger and Jaffe, 2006).

2.3.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding Appendicitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi anatomi dari inflamasi Appendix, tingkatan dari proses dari yang simple sampai yang perforasi, serta umur dan jenis kelamin pasien (Ellis, 2001). 1. Adenitis Mesenterica Acuta

Diagnosis penyakit ini seringkali dikacaukan oleh Appendicitis acuta pada anak-anak. Hampir selalu ditemukan infeksi saluran pernafasan atas, tetapi sekarang ini telah menurun. Nyeri biasanya kurang atau bisa

(15)

lebih difus dan rasa sakit tidak dapat ditentukan lokasinya secara tepat seperti pada Appendicitis. Observasi selama beberapa jam bila ada kemungkinan diagnosis Adenitis mesenterica, karena Adenitis mesenterica adalah penyakit yang self limited. Namun jika meragukan, satu-satunya jalan adalah operasi segera.

2. Gastroenteritis akut

Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan dengan Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi akut self limited dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya diare, mual, dan muntah. Nyeri hiperperistaltik abdomen mendahului terjadinya diare. Hasil pemeriksaan laboratorium biasanya normal.

3. Penyakit urogenital pada laki-laki

Penyakit urogenital pada laki-laki harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding Appendicitis, termasuk diantaranya torsio testis, epididimitis akut, karena nyeri epigastrik dapat muncul sebagai gejala lokal pada awal penyakit ini, Vesikulitis seminalis dapat juga menyerupai Appendicitis namun dapat dibedakan dengan adanya pembesaran dan nyeri Vesikula seminalis pada waktu pemeriksaan Rectal toucher.

4. Diverticulitis Meckel

Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendicitis acuta. Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena Diverticulitis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti Appendicitis dan memerlukan terapi yang sama yaitu operasi segera.

5. Intususepsi

Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk membedakan Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat berbeda. Umur pasien sangat penting, Appendicitis sangat

(16)

jarang dibawah umur 2 tahun, sedangkan Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah umur 2 tahun. Pasien biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir. Massa berbentuk sosis dapat teraba di RLQ. Terapi yang dipilih pada intususseption bila tidak ada tanda-tanda peritonitis adalah barium enema, sedangkan terapi pemberian barium enema pada pasien Appendicitis acuta sangat berbahaya.

6. Infeksi saluran kencing

Pyelonephritis acuta, terutama yang terletak di sisi kanan dapat menyerupai Appendicitis acuta letak retroileal. Rasa dingin, nyeri costo vertebra kanan, dan terutama pemeriksaan urine biasanya cukup untuk membedakan keduanya.

7. Batu Urethra

Bila calculus tersangkut dekat Appendix dapat dikelirukan dengan Appendicitis retrocaecal. Nyeri alih ke daerah labia, scrotum atau penis, hematuria, dan atau tanpa demam atau leukositosis mendukung adanya batu. Pyelografi dapat memperkuat diagnosis.

8. Kelainan–kelainan ginekologi

Umumnya kesalahan diagnosis Appendicitis acuta tertinggi pada wanita dewasa muda disebabkan oleh kelainan–kelainan ginekologi. Angka rata-rata Appendectomy yang dilakukan pada Appendix normal yang pernah dilaporkan adalah 32%–45% pada wanita usia 15–45 tahun. Penyakit–penyakit organ reproduksi pada wanita sering dikelirukan sebagai Appendicitis, dengan urutan yang tersering adalah PID, ruptur folikel de Graaf, kista atau tumor ovarium, endometriosis dan ruptur kehamilan ektopik. Laparoskopi mempunyai peranan penting dalam menentukan diagnosis.

 Pelvic Inflammatory Disease (PID)

Infeksi ini biasanya bilateral tapi bila yang terkena adalah tuba sebelah kanan dapat menyerupai Appendicitis. Mual dan muntah

(17)

hampir selalu terjadi pada pasien Appendicitis. Pada pasien PID hanya sekitar separuhnya.

 Ruptur Folikel de Graaf

Ovulasi sering mengakibatkan keluarnya darah dan cairan folikuler serta nyeri yang ringan pada abdomen bagian bawah. Bila cairan sangat banyak dan berasal dari ovarium kanan, dapat dikelirukan dengan Appendicitis. Nyeri dan nyeri tekan agak difus. Leucositosis dan demam minimal atau tidak ada. Karena nyeri ini terjadi pada pertengahan siklus menstruasi, sering disebut mittelschmerz.

(Medscape, 2014) 2.3.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta yaitu :

1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis dehidrasi atau septikemia.

2. Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral

3. Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah. 4. Pemberian antibiotika intravena pada pasien yang menjalani

laparotomi.

5. Pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur dan didapatkan beta-hCG positif secara kualitatif.

Bila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi; antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus akut, digunakan single dose dipilih antibiotika yang bisa melawan bakteri anaerob.

Teknik operasi Appendectomy : a. Open Appendectomy

1. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik. 2. Dibuat sayatan kulit:

(18)

Horizontal Oblique

3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara: a. Pararectal/ Paramedian

Sayatan/ incisi pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot disisihkan ke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M. rectus abdominis karena fascianya ada 2 agar tidak tertinggal pada waktu penjahitan. Bila yang terjahit hanya satu lapis fascia saja, dapat terjadi hernia cicatricalis.

b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot.

1) Incisi apponeurosis M. Obliquus abdominis externus dari lateral atas ke medial bawah.

2 lapis M.rectus abd. sayatan M.rectus abd. ditarik ke medial

(19)

Keterangan gambar:

Satu incisi kulit yang rapi dibuat dengan perut mata pisau. Incisi kedua mengenai jaringan subkutan sampai ke fascia M. Obliquus abdominis externus.

2) Splitting M. Obliquus abdominis internus dari medial atas ke lateral bawah.

Keterangan gambar:

Dari tepi sarung rektus, fascia tipis M. obliquus internus diincisi searah dengan seratnya ke arah lateral.

3) Splitting M. transversus abdominis arah horizontal.

(20)

Pada saat menarik M. obliquus internus hendaklah berhati-hati agar tak terjadi trauma jaringan. Dapat ditambahkan, bahwa N. iliohipogastricus dan pembuluh yang memperdarahinya terletak di sebelah lateral di antara M. obliquus externus dan internus. Tarikan yang terlalu keras akan merobek pembuluh dan membahayakan saraf.

4. Peritoneum dibuka.

Keterangan gambar:

Kasa Laparatomi dipasang pada semua jaringan subkutan yang terpapar. Peritoneum sering nampak meradang, menggambarkan proses yang ada di bawahnya. Secuil peritoneum angkat dengan pinset. Yang nampak di sini ialah pinset jaringan De Bakey. Asisten juga mengangkat dengan cara yang sama pada sisi di sebelah dokter bedah. Dokter bedah melepaskan pinset, memasang lagi sampai dia yakin bahwa hanya peritoneum yang diangkat. 5. Caecum dicari kemudian dikeluarkan kemudian taenia libera ditelusuri

untuk mencari Appendix. Setelah Appendix ditemukan, Appendix diklem dengan klem Babcock dengan arah selalu ke atas (untuk mencegah kontaminasi ke jaringan sekitarnya).

Appendix dibebaskan dari mesoappendix dengan cara:

Mesoappenddix ditembus dengan sonde kocher dan pada kedua sisinya, diklem, kemudian dipotong di antara 2 ikatan.

(21)

Keterangan gambar:

Appendix dengan hati-hati diangkat agar mesenteriumnya teregang. Klem Babcock melingkari appenddix dan satu klem dimasukkan lewat mesenterium seperti pada gambar. Cara lainnya ialah dengan mengklem ujung bebas mesenterium di bawah ujung appenddix. Appendix tak boleh terlalu banyak diraba dan dipegang agar tidak menyebarkan kontaminasi. 6. Appendix di klem pada basis (supaya terbentuk alur sehingga ikatan jadi

lebih kuat karena mukosa terputus sambil membuang fecalith ke arah Caecum). Klem dipindahkan sedikit ke distal, lalu bekas klem yang pertama diikat dengan benang yang diabsorbsi (supaya bisa lepas sehingga tidak terbentuk rongga dan bila terbentuk pus akan masuk ke dalam Caecum).

(22)

7. Appendix dipotong di antara ikatan dan klem, puntung diberi betadine.

8. Perawatan puntung Appendix dapat dilakukan dengan cara :

a. Dibuat jahitan tabak sak pada Caecum, puntung Appendix diinversikan ke dalam Caecum. Tabak sak dapat ditambah dengan jahitan Z.

(23)

b. Puntung dijahit saja dengan benang yang tidak diabsorbsi. Resiko kontaminasi dan adhesi.

c. Bila prosedur a+b tidak dapat dilaksanakan, misalnya bila puntung rapuh, dapat dilakukan penjahitan 2 lapis seperti pada perforasi usus.

9. Bila no.7 tidak dapat dilakukan, maka Appendix dipotong dulu, baru dilepaskan dan mesenteriolumnya (retrograde).

10. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis. b. Laparoscopic Appendectomy

Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopy sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Dengan menggunakan laparoscope akan mudah membedakan penyakit akut ginekologi dari Appendicitis acuta.

2.3.9 Komplikasi

A. Komplikasi Appendicitis acuta  Appendicitis perforata  Appendicular infiltrat  Appendicular abscess  Peritonitis  Mesenterial pyemia  Septic shock

B. Komplikasi post operasi  Fistel

(24)

 Ileus

 Perdarahan dari traktus digestivus : kebanyakan terjadi 24–27 jam setelah Appendectomy, kadang–kadang setelah 10–14 hari. Sumbernya adalah echymosis dan erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin karena emboli retrograd dari sistem porta ke dalam vena di gaster atau duodenum.

2.3.10 Prognosis

Mortalitas dari Appendicitis di Amerika Serikat menurun terus dari 9,9% per 100.000 pada tahun 1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor- faktor yang menyebabkan penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis adalah sarana diagnosis dan terapi, antibiotika, cairan intravena yang semakin baik, ketersediaan darah dan plasma, serta meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi tepat sebelum terjadi perforasi (Berger and Jaffe, 2006).

BAB III

SIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis akibat adanya obstruksi pada lumen Appendix.

Gejala klinis Appendicitis meliputi nyeri perut, anorexia, mual, muntah, nyeri berpindah, dan gejala sisa klasik berupa nyeri periumbilikal, kadang demam yang tidak terlalu tinggi. Tanda klinis yang dapat dijumpai dan manuver diagnostik

(25)

pada kasus Appendicitis adalah Rovsing’s sign, Psoas sign, Obturator sign, Blumberg’s sign, Wahl’s sign, Baldwin test, Dunphy’s sign, Defence musculare, nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abscess di rongga abdomen atau Appendix letak pelvis, nyeri pada pemeriksaan rectal toucher.

Pemeriksaan penunjang dalam diagnosis Appendicitis adalah pemeriksaan laboratorium, Skor Alvarado, ultrasonografi, dan radiologi.

Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh Appendicitis adalah perforasi, peritonitis, Appendicular infiltrat, Appendicular abscess, shock Septic, mesenterial pyemia dengan Abscess hepar, dan perdarahan GIT. Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta meliputi; pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis dehidrasi atau septikemia, puasakan pasien, analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah, pemberian antibiotika intravena pada pasien yang menjalani laparotomi.

Mortalitas dari Appendicitis di Amerika Serikat menurun terus dari 9,9% per 100.000 pada tahun 1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis adalah sarana diagnosis dan terapi, antibiotika, cairan intravena yang semakin baik, ketersediaan darah dan plasma, serta meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi tepat sebelum terjadi perforasi

DAFTAR PUSTAKA

Blackbourne, L.H. (2012) Surgical Recall, 6th edition, Philadephia:

Lippincott Williams & Wilkins.

Medscape (2014) Appendicitis, February, [Online], Available:

http://www.emedicine.medscape.com/article/773895-overview [14 December

(26)

Berger, D.H. and Jaffe, B.M. (2006) 'The Appendix', in Brunicardi, F.C. (ed.) Schwartz's Manual of Surgery, 8th edition, United States of America: The

McGraw-Hill.

Drake, R.L., Vogl, W. and Mithcell, A.W.M. (2007) Gray's Anatomy for Student, 1st edition, Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier.

Moore, K.L., Dalley, A.F. and Agur, A.M.R. (2010) Clinically Oriented Anatomy, 6th edition, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Kuehnel, W. (2003) Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy, 4th edition, New York: Thieme Stuttgart.

PubMed Health (2013) U.S. Nation Library of Medicine, 18 July, [Online], Available: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001302/ [14

December 2014].

Prather, C. (2012) 'Inflammatory and Anatomic Disease of the Intestine, Peritoneum, Mesentery, and Omentum', in Goldman, L. and Schafer, A.I. Goldman's Cecil Medicine, 24th edition, Philadelphia: Elsevier Saunders.

Ellis, H.N.L.K. (2001) 'Appendix and Appendectomy', in Zinner, M., Schwartz, S.I., Ellis, H., Ashley, S.W. and McFadden, D.W. Maingot's Abdominal Operations, 10th edition, Singapore: McGraw Hill.

Soybel, D.I. (2003) 'Appendix', in Norton, J.A., Bollinger, R.R., Chang, A.E., Lowry, S.F., Mulvihill, S.J., Pass, H.I. and Thompson, R.W. Essential Practice of Surgery : Basic Science and Clinical Evidence, New York: Springer.

Gambar

Gambar 2.1 Intestinum, Colon, Appendix, Caecum, Rectum, Canalis Analis (Anterior)  (Moore, Dalley and Agur, 2010)
Gambar 2.2 Variasi Letak Appendix  (Drake, Vogl and Mithcell, 2007)
Gambar 2.3 Perdarahan Intestinum, Colon, Appendix, Caecum, Rectum, Canalis Analis (Moore, Dalley and Agur, 2010)
Gambar 2.5 Appendicitis (PubMed Health, 2013) 2.3.2 Epidemiologi dan Insidensi
+5

Referensi

Dokumen terkait

Infeksi ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal dari pasien itu sendiri

Bakterial vaginosis merupakan suatu infeksi yang disebabkan ketidakseimbangan jumlah flora normal vagina dan bakteri lain yang ada di vagina.. Perlu diingat bahwa vagina

Bakterial vaginosis merupakan suatu infeksi yang disebabkan ketidakseimbangan jumlah flora normal vagina dan bakteri lain yang ada di vagina.. Perlu diingat bahwa

 Fusobakteri nucleatum adalah bakteri anaerob gram negatif non spreforming  yang di temukan pada flora normal mulut, yang memainkan peran dalam penyakit infeksi campuran. 'akteri

Infeksi didapat dari mikroorganisme eksternal terhadap individu, yang bukan merupakan flora normal seperti melalui kontak langsung antara pasien (tangan, tetesan

Kasus dalam penelitian ini adalah pasien infeksi saluran kemih dan Kontrol dalam penelitian ini adalah pasien yang tidak mengalami infeksi saluran kemih di

Table 1: Characteristic of the study sample Characteristics n % Mean ±SD Histopathological results Normal 17 53.1 Acute appendicitis 13 40.6 Acute appendicitis + serosal hemorrhage

• Kasus 2: Infeksi Luka oleh Pseudomonas aeruginosa Patogen Opportunistik: • Mekanisme Infeksi: Bakteri menyerang jaringan luka terbuka pada pasien dengan sistem imun lemah,