• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budaya Kekerasan Aparat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Budaya Kekerasan Aparat"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Sejak 12 Desember 1997, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menetapkan tanggal 26 Juni sebagai peringatan anti kekerasan atau The International Day In Support of Victims of

Torture (hari internasional mendukung korban

penyiksaan) atau lebih dikenal dengan istilah hari anti penyiksaan.

Budaya Kekerasan Aparat

Fenomena kekerasan dan penyiksaan seakan tidak ada habisnya dalam proses penegakan hukum, khususnya oleh kepolisian. Di Sumatera Barat, pasca penembakan brutal yang dialami oleh Iwan Mulyadi (2006) di Kinali Pasaman Barat, masyarakat kembali digemparkan oleh kasus Laswardi (2009), tahanan yang meninggal di bawah pengawasan kepolisian di Solok Selatan. Namun hingga kini tidak ada proses hukum terhadap kasus tersebut. Peristiwa yang sama terulang dalam kasus Faisal Basri-Budri (2011), kakak-beradik yang meninggal di tahanan Polsek Sijunjung; dan kasus Erik Alamsyah (2012) yang meninggal di tahanan Polsekta Bukittinggi. Setelah ada proses hukum terhadap dua kasus terakhir, membuka mata publik, khususnya di Sumatera Barat, bahwa budaya kekerasan dan penyiksaan dalam proses penegakan hukum bukan rahasia umum lagi. Bahkan di luar tahanan sendiri, kekerasan juga tidak luput terjadi. Kasus Maligi di Pasaman Barat dan kasus penyerbuan aparat di Sitiung V Dharmasraya, merupakan dua di antara kasus yang banyak menyita perhatian publik.

Relaitas kekerasan yang terjadi sudah sepatutnya menjadi buah renungan semua pihak, khususnya bagi institusi kepolisian. Mengacu pada kasus-kasus kekerasan tersebut, pencanangan “kemitraan” sebagai basis pelayanan oleh Kapolri sejak 2010 belum membuahkan hasil yang diharapkan pada reformasi di tubuh kepolisian. Pembangunan

kepercayaan (trust) masyarakat terhadap aparat kepolisian yang dicanangkan sejak 2005-2010 patut dipertanyakan.

(2)

Hukum; Untuk Siapa?

Kekerasan dalam segala bentuknya, apalagi dalam proses penegakan hukum merupakan perbuatan terlarang dan tidak boleh ditolerir. Karena itu momentum peringatan hari anti

penyiksaan sedunia yang jatuh pada tanggal 26 Juni, hendaknya dijadikan sebagai salah satu langkah untuk menghentikan atau paling tidak mengurangi maraknya budaya kekerasan dan penyiksaan dalam proses penegakan hukum.

Prinsip negara hukum secara tegas meletakkan perlindungan hak asasi Manusia (HAM) sebagai pra syarat utama tegaknya negara hukum. Perlindungan HAM tersebut diletakkan dalam sebuah kerangka yaitu “pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan” (as as legalitas

). Ini berarti, penegakan hukum sebagai salah satu tugas pemerintahan harus didasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan sebagai produk

hukum

harus dipandang dalam makna esensi hukum. Frederic Bastiat (2010: 2)

mengatakan hukum

(3)

. Hukum lazim diatribusikan sebagai

sebuah sistem norma melalui peraturan perundang-undangan, merupakan instrumen terpenting dalam mengatur kehidupan bermasyarakat.

Hukum bertujuan menciptakan keseimbangan untuk menjamin terciptanya suasana aman,

tertib dan damai agar dapat mendukung

tercapainya tujuan hidup bersama yaitu keadilan dan kesejahteraan. Hukum diperlukan manusia selaku pribadi untuk menjamin hak-hak setiap orang untuk hidup, melindungi kesewenang-wenangan pihak yang kuat dan menjamin kesederajatan bersama manusia lainnya (Mokhammad Najih dan Soimin, 2012: 3).

Seperti dikatakan Eugene Erlich ,

hukum memiliki tujuan spesifik, yaitu kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum. Karena itu

penegakan hukum harus

melindungi hak-hak individu agar dapat

menjamin terciptanya suasana aman, tertib dan damai dalam suasana hidup bersama.

Kepatuhan aparat penegak hukum terhadap asas legalitas sejatinya bertujuan agar setiap pribadi terlindungi dari kekerasan dan ketidakadilan, kepastian hukum, persamaan kedudukan

di hadapan hukum . Dengan cara inilah hu

kum

dapat ditegakkan dan

penegakan hukum tidak melanggar tujuan hukum itu sendiri, yaitu melindungi hak-hak individu dan masyarakat

,

yang untuknya hukum dibuat. Dalam dataran ini,

perlindungan HAM melalui

(4)

peraturan perundang-undangan

harus dipahami sebagai rambu pembatas penegakan hukum, sehingga kesewenang-wenangan (

abuse of power

) yang bisa saja muncul dalam penegakan hukum.

Perlindungan HAM merupakan manifestasi dari tujuan hukum itu sendiri, yaitu untuk melindungi hak setiap pribadi, maupun sekelompok orang agar bisa hidup bebas dari

kesewenang-wenangan pihak yang kuat, termasuk dalam penegakan hukum. Hukum merupak

an hubun

gan maupun kekuatan moral mengagung k

an arti hukum, di mana ketika mengakui hukum sebagai teknik sosial yang spesifik, dapat dikonfrontasikan dengan tata aturan norma sosial dari masyarakat, akan tetapi hukum memiliki arti yang berbeda. Sebagai alat sosial yang spesifik

, hukum b

ukanlah tujuan. Sebagai contoh hukum dan moral melarang kekerasan atau penganiayaan terhadap jiwa seseorang. Jika seseorang melakukan kekerasan atau penganiayaan terhadap jiwa seseorang, maka orang

yang melakukan kekerasan d itentukan

nasibnya oleh hukum dan upaya paksa

yang diambil harus sesuai dengan aturan hukum. Di sinilah

urgensi

penegak hukum, agar jiwa seseorang yang telah dilanggar dapat dilindungi melalui proses penegakan hukum.

(5)

Mengimpikan Penegakan Hukum Yang Adil

Kritik publik terhadap potret penegakan hukum tak jauh-jauh dari realitasnya yang terkesan tebang pilih, tidak adil dan berbagai stigma yang muncul dalam menyikapi fenomena

penegakan hukum itu sendiri. Sebut saja kasus Rasminah, seorang pembantu rumah tangga yang diduga mencuri piring majikannya

lansung ditahan ketika menjalani proses hukum. Sementara

untuk

Gayus Tambunan bisa

berkeliaran ke Bali

dalam menjalani masa tahanan .

Situasi ini melahirkan stigma

di tengah-tengah masyarakarat ,

bahwa

hukum hanya untuk mereka yang beruang.

Tingginya angka kriminalitas juga berbanding lurus dengan maraknya pelanggaran rambu pembatas penegakan hukum itu sendiri. Kesalahan-kesalahan prosedur

dalam proses penegakan hukum

juga turut memperparah keadaan. Padahal sistem peradilan pidana

Indonesia menempatkan

kepolisian sebagai alat negara yang bertanggungjawab dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

(6)

masyarakat yang dilakukan dengan menjunjung tinggi HAM .

Impian terhadap profesionalisme aparat penegak hukum bukanlah pekerjaan ringan. Namun jika budaya kekerasan tidak bisa diminimalisir secara bertahap,

masa depan

supremasi hukum di ambang kehancuran. Pada gilirannya kepercayaan publik terhadap penegak hukum akan semakin terkikis.

Problem akut

seputar penegakan hukum ini harus dilihat dari

idiom hukum itu sendiri.

Sistem hukum, merupakan sesuatu yang simultan yang bekerja secara terpadu. Meminjam bahasa J.B. Daliyo, sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari un

s

ur-unsur kesatuan yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut

.

Layaknya mesin, sistem hukum bekerja secara terpadu dan saling berkaitan, maka kerusakan yang pada satu bagian berakibat tidak bekerjanya sistem

tersebut dengan baik. Lawren

ce Meir Friedman melihat

sistem hukum terdiri dari materi ( content

) hukum, struktur ( structure

) hukum dan budaya ( culture

(7)

sebagi piranti-piranti hukum yang bekerja secara simultan. Fenomena kekerasan dan

penyiksaan yang terjadi terlihat lebih banyak disebabkan oleh budaya hukum. Adanya jaminan perlindungan HAM dalam proses penegakan hukum yang diatur oleh peraturan

perundang-undangan yang berlaku serta tersedianya perangkat hukum yang memadai, memperlihatkan bahwa persoalan kekerasan terletak pada budaya hukum. Terlebih lagi sejak 1998 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui UU No. 5 Tahun 1998.

Dengan dicanangkannya hari anti penyiksaan sedunia, perang terhadap penyiksaan hendaknya menjadi perhatian semua pihak, bahwa penegakan hukum harus selalu diawasi oleh publik. Karena penegakan hukum yang adil dan bertanggungjawab hanya akan terwujud dengan baik bila adanya transparasi terhadap proses penegakan hukum tersebut. Tanpa adanya

transparansi yang jelas sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, keadilan akan makin jauh dari harapan yang dicita-citakan.

Penulis : 

Muhammad Fauzan Azim 

Advokad dan Kordinator Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum PBHI Sumatera Barat 

Referensi

Dokumen terkait

hubungan kemitraan antara swasta (ASITA) dengan Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Provinsi Sulawesi Selatan yang di dalamnya Dinas. Kebudayaan dan

Dari hasil analisis tanah setelah dilakukan inkubasi selama 2 minggu terlihat bahwa pengaruh interaksi antara pemberian bahan humat dari ekstrak kompos dan pupuk P tidak berbeda

Pedoman dalam penantuan tata ruang hutan tanaman industri areal kerja PT. BDL mengacu pada ketentuan-ketentuan yang berlaku, terutama yang tertuang di dalam SK

terintegrasi. Dukungan dana yang terbatas sehingga pelaksanaan kaji terap dan diseminasi teknologi oleh penyuluh pertanian dilapangan belum optimal. Kurangnya

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian di bab IV, dapat ditarik kesimpulan, (1) Pengaruh sikap belajar siswa kelas eksperimen yang mendapat perlakuan

Pengendapan material koloid dan solid tersuspensi terjadi melalui adanya penambahan koagulan, biasanya digunakan untuk mengendapkan flok-flok kimia setelah

Sebagai pedoman atau masukan bagi orang tua tentang cara berkomunikasi yang baik pada anak lewat pola yang ada, sehingga hubungan dapat berjalan dengan harmonis

Terjadinya pelanggaran kontrak psikologis yang disandingkan dengan sikap tentang risiko merupakan faktor yang dapat memprediksi emosi moral individu. Ketika individu