• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERAGAAN MODIFIKASI PERANGKAP LIPAT KEPITING DI DESA MAYANGAN DAN LEGONWETAN SUBANG, JAWA BARAT ESA DIVINUBUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERAGAAN MODIFIKASI PERANGKAP LIPAT KEPITING DI DESA MAYANGAN DAN LEGONWETAN SUBANG, JAWA BARAT ESA DIVINUBUN"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

SUBANG, JAWA BARAT

ESA DIVINUBUN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keragaan Modifikasi Perangkap Lipat Kepiting di Desa Mayangan dan Legonwetan, Subang, Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Esa Divinubun C451080061

(3)

ESA DIVINUBUN. Perfomance of Collapsible Crab Traps in Mayangan and Legonwetan, Subang, West Java. Under direction of MULYONO SUMITRO BASKORO, BUDHI HASCARYO ISKANDAR, and RONNY IRAWAN WAHJU

.

Mud crab captured by various fishing gears. Trap produces best quality catches, because of the catch remain alive. Research has been conducted in Legonwetan and Mayangan waters since April to May 2012, aiming to get productivity and selectivity crab of collapsible traps. Laboratory-scale research was conducted to gain corresponding trajectory entrance angle, materials, and

determining escape gaps size. Modified gear is 70 cm x 50 cm x 35 cm (L x W x H), with ramp tilt angle 30° and 40° with escape gap sizes 4 cm x 6 cm

and 5 cm x 7 cm. Furthermore, fishing trials were conducted to see catches composition. ANOVA and t test were used to determine difference between tested folding traps. The result shows that there are significant influence in the doorway tilt angle differences to the amount of crab catches (F = 5.458, P = 0.023 <α = 0.05). Doorway tilt angle of 30 ° produce more catch than 40 ° angle ((t hit = 4.407, P <0.05). In conclusion, crab folding trap with trajectory doorway

tilt angle of 30° is more productive to catch crabs and escape gap of 4 cm x 6 cm effective to release juvenile crabs.

(4)

ESA DIVINUBUN. Keragaan Modifikasi Perangkap Lipat Kepiting di Desa Mayangan dan Legonwetan, Subang, Jawa Barat. Dibimbing oleh MULYONO SUMITRO BASKORO, BUDHI HASCARYO ISKANDAR, dan RONNY IRAWAN WAHJU

.

Ada empat jenis kepiting bakau yang umumnya dikonsumsi masyarakat, yaitu Scylla serrata (duri di sikut dan dahinya sama-sama runcing), Scylla tranquebarica (duri di sikut sedikit runcing dan lunak di dahi), Scylla olilvacea (duri di dahi dan sikutnya sama-sama lunak), Scylla paramamosain (duri di dahi runcing tapi di siku lunak). Keenan et al, (1998). Jenis organisme ini memiliki nilai jual yang cukup tinggi, terutama jika dalam kondisi masih hidup, segar dan tidak ada satupun bagian tubuhnya yang cacat atau terluka. Habitat hidupnya di perairan estuari dan merupakan spesies yang khas di kawasan hutan bakau (mangrove) dengan substrat berlumpur atau lumpur berpasir, Nontji (1993). Scylla spp -- paling popular sebagai bahan makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal, sangat disenangi masyarakat karena rasa dagingnya yang lezat dan nilai gizinya yang tinggi.

Besarnya jumlah permintaan luar negeri memberikan dampak terhadap peningkatan aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan kepiting bakau. Akibatnya, sumberdaya kepiting bakau semakin berkurang. Padahal peningkatan aktivitas penangkapan harus diikuti dengan konsep konservasi. Sebagian besar produksi kepiting bakau oleh nelayan didapat dari alam. Kepiting bakau ditangkap dengan berbagai alat tangkap, diantaranya rakang, jaring kepiting dan perangkap. Dari ketiga jenis alat tangkap tersebut, perangkap memberikan hasil tangkapan dengan kualitas terbaik. Salah satu jenis perangkap yang banyak dioperasikan saat ini adalah perangkap lipat.

Perangkap lipat yang digunakan oleh nelayan Indonesia khususnya nelayan di daerah Indramayu, Subang dan Cirebon merupakan hasil introduksi dari Taiwan sehingga oleh nelayan setempat sering disebut badong Taiwan dengan ukuran P x L x T = 70 cm x 51 cm x 38 cm. Perangkap ini mulai diperkenalkan pertama kali sejak tahun 2001 oleh nelayan andon (nelayan Cirebon yang bermukim di Jakarta atau ikut kapal nelayan asing). Nelayan tersebut kemudian mencoba membuat duplikat dari perangkap lipat dengan ukuran yang lebih kecil dan lebih sederhana yaitu berukuran P x L x T = 52 cm x 33 cm x 20 cm, sedangkan yang berukuran kecil mempunyai ukuran P x L x T = 44 cm x 28 cm x 15 cm, (Gardenia, 2006). Desain dan konstruksinya tidak berubah dan digunakan untuk menangkap segala jenis organisme air, baik ikan, keong maupun kepiting. Padahal untuk memaksimalkan jumlah tangkapan, maka perangkap lipat harus diperbaiki dan rancangbangunnya disesuaikan dengan organisme yang menjadi tujuan penangkapan. Ini tidak terkecuali untuk perangkap lipat yang ditujukan untuk menangkap kepiting bakau.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1) Menentukan sudut kemiringan lintasan pintu masuk yang efektif untuk menangkap kepiting ; 2) Menganalisis efektifitas penggunaan celah pelolosan untuk memaksimalkan hasil tangkapan

(5)

tangkap perangkap lipat yang modelnya berdasarkan perangkap lipat komersil yang digunakan oleh nelayan. Perangkap lipat yang dibuat dalam penelitian ini berukuran 70 cm x 50 cm x 35 cm (p x l x t), dengan sudut kemiringan lintasan pintu masuk 30° dan 40°. Perangkap dibuat dalam dua kelompok yaitu dengan celah dan tanpa celah pelolosan. Ukuran celah pelolosan yang digunakan yaitu 4 cm x 6 cm dan 5 cm x 7 cm yang terbuat dari bahan plastik. Perangkap lipat dengan celah pelolosan juga dilengkapi dengan ruang pelolosan pada kedua sisi dimana terdapat celah pelolosan. Perangkap lipat yang telah dibuat diujicoba lebih lanjut di lapangan bersama dengan perangkap lipat komersil yang digunakan oleh nelayan. Ujicoba di lapangan dilakukan di perairan bakau Desa Mayangan dan Legonwetan, Subang, Provinsi Jawa Barat, pada bulan April sampai dengan bulan Mei 2012, selama 16 trip penangkapan.

Analisis statistik deskriptif dan parametrik (ANOVA dan uji t), digunakan untuk mengetahui perbedaan diantara perangkap lipat yang di ujicoba. Hasilnya, diketahui bahwa ada pengaruh perbedaan sudut kemiringan lintasan pintu masuk terhadap jumlah hasil tangkapan kepiting pada perangkap lipat (F = 5,458; P = 0,023 < α = 0,05). Sudut kemiringan 30° memberikan hasil tangkapan total atau tangkapan kepiting (utama dan sampingan) yang lebih baik dari sudut 40° ((t hit = 4,407 , P < 0,05), dan dari perangkap lipat komersil yang digunakan

nelayan (sudut kemiringan lintasan pintu masuk 20°). Selain itu, diketahui juga bahwa tidak ada perbedaan terhadap tingkat masuknya kepiting ke dalam perangkap antara perangkap lipat tanpa dan dengan celah pelolosan (F = 5,458; P(0,023)<α(0,05)). Berdasarkan analisis terhadap hasil tangkapan yang tertahan dan yang meloloskan diri melalui celah pelolosan pada perangkap lipat, diketahui bahwa celah pelolosan dengan ukuran 4 cm x 6 cm lebih baik dari celah pelolosan ukuran 5 cm x 7 cm, dalam menyeleksi ukuran kepiting bakau layak tangkap dan meloloskan kepiting belum layak tangkap dan spesies non target. Secara keseluruhan, dengan penggunaan celah pelolosan dapat mengurangi hasil tangkapan sampingan dari 92,9% menjadi 54,5% dari hasil tangkapan total.

Kata kunci : Kepiting bakau, perangkap lipat kepiting, Mayangan, Legonwetan, Subang

(6)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(7)

SUBANG, JAWA BARAT

ESA DIVINUBUN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(8)
(9)

Nama Mahasiswa : Esa Divinubun

NIM : C451080061

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si Dr. Ir. Ronny Irawan Wahju, M.Si

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Perikanan Tangkap

Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. A.gr

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Tesis ini berjudul: Keragaan Modifikasi Perangkap Lipat Kepiting di Desa Mayangan dan Legonwetan, Subang, Jawa Barat.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc, Bapak Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Ronny Irawan Wahju, M.Si, selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan arahan serta perhatian selama penelitian berlangsung hingga rampungnya karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M. Si selaku penguji dari Program Studi dan Bapak Dr. Ir. Mohammad Imron, M.Si selaku penguji luar komisi dan tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc dan Bapak Ir. Mokhammad Dahri Iskandar, M.Si selaku komisi pembimbing terdahulu yang telah bersedia membimbing penulis dan juga kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan, saran dan kritiknya.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan juga kepada suami tercinta dan keluarga serta nelayan di Desa Mayangan dan desa Legonwetan – Subang yang telah banyak membantu penulis selama di lapangan.

Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2012

(11)

Penulis dilahirkan di Madapolo, Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara pada tanggal 22 April 1980 sebagai anak bungsu dari Lima bersaudara dari pasangan Abdul Khalik Husein Divinubun (Alm) dan Halima Tusadiyah.

Pendidikan Sarjana ditempuh penulis mulai tahun 1999 di Program studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Pada Tahun 2008 penulis melanjutkan studi ke Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada mayor Teknologi Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK – IPB.

Sejak tahun 2009 penulis bekerja sebagai Staf Ahli Anggota Komisi IV DPR RI di Gedung DPR-MPR RI Nusantara I Senayan - Jakarta. Penulis juga aktif di Partai Politik PKB sebagai Ketua I PPKB DPW. Maluku Utara dan anggota Departemen pada DPP. PPKB.

Penulis juga aktif diberbagai organisasi kepemudaan tingkat pusat, antara lain pernah menjabat sebagai Wakil Sekretaris Umum Forum Mahasiswa Pascasarjana (WACANA) IPB, Wakil Sekjen bidang Perumahan Rakyat DPP. KNPI, Wakil Sekjen DPP. MAPANCAS, Sekertaris II PP. IPPNU dan sekarang sebagai pengurus pusat PP. FATAYAT NU.

(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v DAFTAR ISTILAH ... vi 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 3 1.3 Hipotesis ... 6 1.4 Tujuan Penelitian ... 6 1.5 Manfaat Penelitian ... 6 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 7 2.1 Kepiting Bakau ... 7

2.1.1 Klasifikasi kepiting bakau ... 7

2.1.2 Morfologi kepiting bakau ... 8

2.1.3 Penyebaran kepiting bakau ... 13

2.1.4 Ukuran kedewasaan ... 14

2.1.5 Daur hidup dan habitat kepiting bakau ... 15

2.1.6 Makanan dan kebiasaan makan ... 17

2.1.7 Ketergantungan kepiting bakau pada ekosisistem mangrove... 18

2.2 Alat Tangkap Kepiting Bakau ... 19

2.2.1 Pintur/ rakkang ... 20

2.2.2 Perangkap... 22

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Penangkapan dengan Perangkap ... 25

2.3.1 Umpan ... 25

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 27

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 27

3.2.1 Alat dan bahan skala laboratorium ... 27

3.2.2 Alat dan bahan yang digunakan di lapangan ... 27

3.3 Metode Penelitian ... 28

3.3.1 Metode penelitian skala laboratorium ... 28

3.3.1 Metode penelitian skala lapangan... 31

3.4 Metode Analisa Data ... 35

3.4.1 Efisiensi dan produktivitas perangkap ... 35

3.4.2 Rancangan percobaan ... 35

3.4.3 Analisis selektivitas perangkap ... 36

(13)

ii

4.3 Karakteristik Fisik Perairan ... 39

4.4 Karakteristik Hutan Mangrove ... 41

4.5 Desain dan Konstruksi Perangkap Lipat ... 42

4.5.1 Penentuan celah pelolosan ... 42

4.5.2 Penentuan sudut kemiringan dan bahan lintasan pintu masuk 43 4.5.3 Desain dan konstruksi ... 45

4.6 Komposisi Hasil Tangkapan Total ... 48

4.6.1 Komposisi hasil tangkapan utama dan sampingan ... 51

4.6.2 Hubungan panjang, lebar dan tinggi karapas serta bobot tubuh kepiting bakau ... 52

4.7 Analisis Hasil Tangkapan Berdasarkan Sudut Kemiringan ... 53

4.7.1 Hasil tangkapan total ... 53

4.7.2 Hasil tangkapan utama dan sampingan ... 54

4.8 Analisis Hasil Tangkapan Berdasarkan Celah Pelolosan ... 58

4.8.1 Hasil tangkapan total ... 58

4.8.2 Hasil tangkapan utama dan sampingan ... 59

4.9 Hasil Tangkapan Perangkap Lipat Komersil ... 62

4.10Distribusi Ukuran Kepiting Bakau Layak Tangkap ... 64

4.11Hasil Tangkapan pada Masing-masing Perangkap ... 65

4.12Selektivitas Celah Pelolosan pada Perangkap ... 66

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

5.1 Kesimpulan ... 69

5.2 Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 71

(14)

iii

Halaman

1 Karakteristik kepiting bakau (Scylla spp.) ... 11

2 Karakter jenis kepiting bakau (Scylla spp.) ... 12

3 Komposisi total hasil tangkapan perangkap lipat selama penelitian ... 49

4 Jumlah hasil tangkapan berdasarkan sudut kemiringan pintu masuk ... 56

5 Hasil tangkapan kepiting pada perangkap lipat tanpa celah pelolosan dan dengan celah pelolosan ... 58

6 Hasil tangkapan kepiting pada perangkap lipat berdasarkan celah pelolosan dan perbandingan yang tertahan dan yang lolos ... 61

(15)

iv

Halaman

1 Diagram alir pendekatan masalah ... 5

2 Morfologi Scylla spp. ... 9

3 Perbedaan morfologi Scylla spp. ... 11

4 Kepiting jantan dan betina ... 13

5 Skema daur hidup kepiting bakau (Scylla olivacea) ... 16

6 Konstruksi pintur/rakkang ... 21

7 Konstruksi perangkap lipat kepiting ... 24

8 Ilustrasi percobaan celah pelolosan ... 29

9 Ilustrasi percobaan sudut kemiringan lintasan pintu masuk ... 31

10 Konstruksi perangkap lipat yang dilengkapi dengan celah pelolosan dan ruang pelolosan ... 47

11 Konstruksi perangkap lipat yang tidak dilengkapi celah pelolosan ... 48

12 Komposisi hasil tangkapan total ... 50

13 Hubungan lebar karapas, panjang, tinggi dan bobot kepiting bakau ... 52

14 Diagram box plot hasil tangkapan berdasarkan sudut kemiringan ... 54

15 Komposisi hasil tangkapan kepiting ... 55

16 Hasil tangkapan kepiting berdasarkan sudut kemiringan ... 56

17 Sebaran panjang, lebar, dan tinggi serta bobot tubuh kepiting bakau ... 57

18 Sebaran frekuensi hasil tangkapan pada perangkap lipat tanpa dan dengan celah pelolosan ... 59

19 Sebaran frekuensi jenis kepiting yang tertangkap dan yang lolos ... 60

20 Komposisi jenis kelamin dan kedewasaan ... 61

21 Frekuensi jenis hasil tangkapan perangkap komersil ... 62

22 Distribusi panjang, lebar, tinggi dan bobot kepiting bakau yang tertangkap pada perangkap lipat komersil ... 63

23 Distribusi kepiting bakau layak tangkap ... 65

24 Jumlah hasil tangkapan total pad masing-masing tipe perangkap... 65

25 Hasil tangkapan kepiting bakau pada masing-masing perangkap ... 66

(16)

v

Halaman

1 Peta lokasi penelitian ... 77

2 Perangkap lipat yang digunakan dalam penelitian ... 78

3 Operasi penangkapan ... 80

4 Pengukuran hasil tangkapan ... 83

5 Komposisi hasil tangkapan perangkap lipat selama penelitian ... 87

6 Uji kenormalan data hasil tangkapan total untuk semua perangkap lipat.. 92

7 Analisis varians (ANOVA) jumlah hasil tangkapan total ... 93

8 Uji t berpasangan terhadap sudut kemiringan ... 95

9 Analisis varians (ANOVA) jumlah kepiting ... 97

(17)

Entrance : Lintasan pintu masuk pada perangkap.

Escape chamber : Sama dengan ruang pelolosan yaitu ruang tambahan yang dipasang pada perangkap sebagai tempat menampung organisme yang meloloskan diri dari dalam perangkap melalui celah pelolosan.

Escape gap/celah pelolosan : Bagian yang terdapat pada perangkap yang berfungsi sebagai tempat organisme tidak layak tangkap meloloskan diri keluar dari perangkap. Fishing base : Tempat dimana kapal berlabuh atau tempat

dimana awal melakukan persiapan melaut.

Funnel : Bukaan mulut perangkap yang terletak pada ujung lintasaan pintu masuk, sebagai tempat masuknya organisme ke dalam perangkap.

Hasil tangkapan utama : Tangkapan yang menjadi tujuan utama penangkapan.

Hasil tangkapan sampingan : Tangkapan yang bukan merupakan tujuan utama penangkapan.

Karapas : bagian atas yang menutup tubuh kepiting.

L50 : Simbol yang menyatakan peluang 50% suatu

spesies yang mempunyai ukuran panjang atau lebar tertentu untuk tertangkap pada suatu alat tangkap.

Panjang karapas : Jarak karapas antara duri diantara mata sampai bagian belakang.

Selection Range : Perbedaan antara panjang atau lebar suatu spesies yang mempunyai peluang 75% (L75) dan 25%

(L25) untuk tertangkap pada suatu alat tangkap.

Selektivitas : Kemampuan suatu alat tangkap untuk menangkap suatu spesies dengan ukuran tertentu.

Sudut kemiringan lintasan : sudut kemiringan yang diukur dari dinding dasar pintu masuk perangkap ke dinding pintu masuk perangkap.

(18)

Ukuran layak tangkap : Ukuran minimal suatu spesies yang dapat ditangkap. Pada ukuran ini diperkirakan spesies tersebut sudah matang gonad.

(19)

1.1 Latar Belakang

Kepiting bakau dari genus Scylla merupakan spesies bentik yang memiliki distribusi luas mulai dari Madagaskar sampai laut Hindia, sepanjang pantai Laut Cina Selatan hingga bagian utara Jepang (Shokita et al., 1991; Keenan et al., 1998; Overton dan Macintosh, 2002 dalam Jirapunpipat et al., 2009). Di wilayah Asia tenggara, kepiting bakau (Scylla spp.) sebagai sumber pangan yang merupakan sumber makanan laut yang penting juga sumber nafkah oleh masyarakat pesisir. Saat ini, eksploitasi dan budidaya kepiting bakau di Asia mengalami peningkatan, di banyak negara permintaan kepiting bakau dari segala ukuran, meliputi kepiting bakau betina dewasa untuk pasar premium dan kepiting kulit lunak hasil budidaya (kepiting soka) sebagai bahan makanan baru, terus bertambah (Cholik, 1999; Le Vay, 2001). Ada empat jenis kepiting bakau yang umumnya dikonsumsi masyarakat, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla olilvacea, Scylla paramamosain. Jenis organisme ini memiliki nilai jual yang cukup tinggi, terutama jika dalam kondisi masih hidup, segar dan tidak ada satupun bagian tubuhnya yang cacat atau terluka. Scylla olivacea dan S. serrata merupakan jenis kepiting yang paling popular sebagai bahan makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal. Scylla olivacea, sering disebut orange mud crab merupakan salah satu spesies dari kelas Crustacea yang hidup di perairan estuari dan merupakan spesies yang khas di kawasan hutan bakau (mangrove) dengan substrat berlumpur atau lumpur berpasir. Menurut Nontji (1993), kepiting bakau jenis S. serrata sangat disenangi masyarakat karena rasa dagingnya yang lezat dan nilai gizinya yang tinggi.

Sebagian besar produksi kepiting bakau oleh nelayan didapat dari alam. Hasil tangkapan ini berupa, juvenil untuk budidaya di tambak, kepiting dewasa ataupun muda untuk penggemukan, dan kepiting matang telur untuk pasar premium (Le Vay, 1998). Besarnya jumlah permintaan untuk kebutuhan diatas, memberikan dampak terhadap peningkatan aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan terhadap populasi kepiting bakau. Akibatnya, sumberdaya kepiting bakau semakin berkurang. Ditambah lagi, dengan adanya konversi kawasan

(20)

mangrove menjadi areal pertanian dan budidaya pantai, pemukiman dan penebangan kayu untuk bahan bakar atau kebutuhan lainnya, abrasi, dan sebagainya, menyebabkan terjadinya degradasi habitat kepiting bakau. Akumulasinya, menyebabkan berkurangnya kepiting bakau di alam dan berkurangnya hasil tangkapan. Untuk itu, upaya seperti mengurangi tekanan penangkapan, restorasi habitat mangrove dan perbaikan stok dapat dilakukan sebagai pendekatan untuk meringankan akibat dari overfishing dan degradasi lingkungan terhadap populasi kepiting bakau (Le Vay, 2001; Walton et al., 2006; Jirapunpipat et al. 2008 dalam Jirapunpipat et al., 2009).

Upaya untuk mengurangi tekanan penangkapan akibat overfishing, dapat dilakukan dengan salah satu cara yaitu penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Alat tangkap ramah lingkungan adalah alat tangkap yang jika digunakan dapat memenuhi prinsip-prinsip konservasi sumberdaya yang di eksplotasi. Di Indonesia, kepiting bakau ditangkap dengan berbagai alat tangkap, diantaranya pancing kepiting, pintur/rakkang, perangkap lipat dan sebagainya. Namun yang populer sampai saat ini adalah dari jenis perangkap karena dari ketiga jenis alat tangkap tersebut, perangkap memberikan hasil tangkapan dengan kualitas terbaik. Kepiting masih dalam kondisi hidup dan tidak cacat. Salah satu jenis perangkap yang banyak dioperasikan saat ini adalah perangkap lipat. Namun, selama ini alat tangkap yang digunakan belum mempertimbangkan kelestarian populasi (Siahainenia, 2008), perangkap lipat yang dioperasikan oleh nelayan cenderung menangkap kepiting bakau dari semua jenis ukuran tanpa ada seleksi ukuran, karena memang belum ada aturan di Indonesia yang mengatur tentang pembatasan ukuran kepiting yang harus ditangkap, disamping itu hasil tangkapan sampingan yang banyak dan kebanyakan memiliki nilai ekonomis yang kecil atau tidak ada sama sekali. Hasil tangkapan kepiting dan spesies non target lainnya seringkali dibuang kembali ke perairan jika tidak diperlukan. Penangkapan dan penanganan semacam ini dapat mengganggu kestabilan populasi kepiting bakau karena tidak ada kesempatan untuk proses produksi, sehingga tidak terjadi penambahan stok baru/rekruitmen (Siahainenia, 2008), dan dapat memberikan dampak yang serius terhadap perikanan dimasa datang (Winger and Walsh, 2007).

(21)

Perangkap lipat yang digunakan oleh nelayan Indonesia khususnya nelayan di daerah Indramayu, Subang dan Cirebon merupakan hasil introduksi dari Taiwan sehingga oleh nelayan setempat sering disebut badong Taiwan dengan ukuran panjang ( p ) x lebar ( l ) x tinggi ( t ) = 70 cm x 51 cm x 38 cm. Perangkap ini mulai diperkenalkan pertama kali sejak tahun 2001 oleh nelayan andon (nelayan Cirebon yang bermukim di Jakarta atau ikut kapal nelayan asing). Nelayan tersebut kemudian mencoba membuat duplikat dari perangkap lipat dengan ukuran yang lebih kecil dan lebih sederhana yaitu berukuran p x l x t = 52 cm x 33 cm x 20 cm, sedangkan yang berukuran kecil mempunyai ukuran p x l x t = 44 cm x 28 cm x 15 cm (Gardenia, 2006).

Desain dan konstruksinya tidak berubah dan digunakan untuk menangkap segala jenis organisme air, baik ikan, keong maupun kepiting. Padahal untuk memaksimalkan jumlah tangkapan, maka perangkap lipat harus diperbaiki dan rancangbangunnya disesuaikan dengan organisme yang menjadi tujuan penangkapan. Ini tidak terkecuali untuk perangkap lipat yang ditujukan untuk menangkap kepiting bakau.

Beberapa penelitian merekomendasikan bahwa fokus penelitian terhadap modifikasi perangkap dapat mereduksi tertangkapnya organisme yang belum layak tangkap untuk memperbaiki dan mempertahankan keberlanjutan stok (Grant, 2003; DFO, 2005; FRCC, 2005 yang diacu dalam Winger and Walsh, 2007). Ada beberapa pendekatan yang bertujuan untuk mengurangi hasil tangkapan kepiting belum dewasa pada perangkap, seperti pemasangan celah pelolosan, peningkatan ukuran mata jaring, modifikasi bentuk mesh (mata jaring), penyesuaian bentuk perangkap atau desain pintu masuk (Boutson et al., 2008).

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan fungsi dan kegunaannya, perangkap kepiting seharusnya hanya digunakan untuk menangkap kepiting. Kenyataannya tidak sedikit hasil tangkapan sampingan yang didapatkan ketika perangkap ini dioperasikan. Agar perangkap dapat berfungsi maksimal, maka rancangbangun perangkap harus diperbaiki dan disesuaikan dengan organisme tangkapan kepiting bakau Scylla spp.

(22)

Perangkap kepiting yang dipakai dalam penelitian ini adalah perangkap lipat berbentuk persegi yang disadur dari penelitian-penelitian terdahulu. Beberapa bagian perangkap harus dimodifikasi untuk bisa digunakan oleh nelayan dengan mengedepankan konsep konservasi. Bagian perangkap yang harus diperbaiki adalah sudut kemiringan lintasan pintu masuk perangkap, jenis bahan pada lintasan pintu masuk dan konstruksi celah pelolosan. Rancang bangun perangkap lipat yang baru, diharapkan dapat menangkap kepiting bakau berukuran layak tangkap atau kepiting yang telah matang gonad dalam jumlah banyak.

Pengujian terhadap rancang bangun perangkap lipat – disesuaikan dengan tingkah laku kepiting bakau Scylla spp -- dilakukan di laboratorium. Ini dimaksudkan agar perbaikan setiap bagian perangkap dapat teramati dengan lebih teliti. Adapun pengujian terhadap perangkap yang telah diperbaiki dilakukan langsung di lapang. Untuk lebih memahami perumusan masalah tersebut, dapat dilihat pada Gambar 1.

(23)

Gambar 1 Diagram alir pendekatan masalah

Analisis selektivitas Analisis RAL

Faktorial

Rekomendasi konstruksi perangkap lipat yang selektif

terhadap jenis dan ukuran hasil tangkapan Sudut kemiringan:

30° dan 40°

Celah pelolosan: (4 x 6) cm dan (5 x 7) cm Celah pelolosan dan

tanpa celah pelolosan Perangkap lipat

Selektif terhadap ukuran kepiting bakau layak tangkap,

CW: ≥ 8 cm Selektif terhadap jenis:

1. Mengurangi jumlah kepiting bakau tidak layak tangkap 2. Mengurangi jumlah tangkapan

sampingan

Permasalahan

Perbaikan konstruksi perangkap lipat

(24)

1.3 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1) Sudut kemiringan dinding pintu masuk perangkap berpengaruh terhadap hasil tangkapan;

2) Celah pelolosan yang dibentuk berdasarkan ukuran minimum lebar karapas kepiting layak tangkap hanya dapat meloloskan kepiting-kepiting yang berukuran kecil.

1.4 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1) Menentukan sudut kemiringan lintasan pintu masuk yang efektif untuk menangkap kepiting ;

2) Menganalisis efektifitas penggunaan celah pelolosan untuk memaksimalkan hasil tangkapan kepiting layak konsumsi dan meminimalkan hasil tangkapan kepiting yang belum dewasa.

1.5 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai rekomendasi bagi nelayan untuk menggunakan perangkap lipat kepiting yang dapat memberikan hasil tangkapan yang banyak dan mempersingkat waktu penyortiran hasil tangkapan yang tidak diinginkan oleh nelayan; dan

2. Sumbangan bagi kemajuan dunia perikanan tangkap dalam mendesain alat tangkap produktif dengan mengedepankan konsep konservasi agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan.

(25)

2.1 Kepiting Bakau

2.1.1 Klasifikasi kepiting bakau

Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae, yaitu kelompok kepiting perenang (swimming crabs), karena memiliki pasangan kaki terakhir yang memipih dan dapat digunakan untuk berenang. Famili Portunidae mencakup rajungan (Portunus, Charybdis & Thalamita) dan kepiting bakau (Scylla spp). Dinamakan kepiting bakau (Scylla spp) karena banyak ditemukan di wilayah hutan bakau/mangrove. Meskipun demikian, kepiting bakau memiliki nama lokal yang beragam.

Masyarakat lokal di Sumatra mengenalnya dengan ketam batu, kepiting cina atau kepiting hijau, sedangkan di Timika-Papua dikenal dengan nama karaka. Beberapa negara menamainya berbeda-beda, misalnya ketam batu (Malaysia), kepiting lumpur (Astralia), kepiting samoan (Hawaii), alimago (Filipina), tsai jim (Taiwan), dan nokogiri gozami (Jepang) (Soim, 1994).

Klasifikasi kepiting, menurut Motoh (1977) diacu oleh Siahainenia (2008), adalah sebagai berikut.

filum : Arthropoda sub filum : Mandibulata kelas : Crustacea

ordo : Decapoda

sub ordo : Reptantia famili : Portunidae sub famili : Portuninae genus : Scylla spesies : Scylla spp

Selanjutnya Estampador (1949a) membagi genus Scylla atas tiga jenis dan satu varietas, yaitu Scylla serrata (Forskal), Scylla oceanica (Dana), Scylla tranguebarica (Fabricius) dan Scylla serrata var. paramamosin (Estampador). Meskipun demikian, menurut Stephenson dan Campbell (1960) dalam Watanabe

(26)

et al. (2001), genus Scylla hanya memiliki satu jenis saja, yaitu Scylla serrata. Hal yang sama juga diyakini oleh Alcock (1989) dalam Sulaeman dan Naevdal (2000) yang menyatakan bahwa Scylla dari perairan India terdiri atas satu jenis yaitu Scylla serrata. Demikian pula halnya dengan Moosa et al. (1985) yang mendukung kesimpulan tersebut melalui kajian terhadap kepiting bakau di perairan Indonesia. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka berdasarkan hasil penelitiannya dengan menggunakan metode Allozyme electrophoresis dan mitocondria DNA, Keenan et al. (1998) menyatakan bahwa kepiting bakau terdiri atas empat jenis, yaitu Scylla serrata, S. tranguebarica, S. paramamosain dan S. olivacea. Di desa Blanakan dan Mayangan di pesisir selatan Subang, Jawa barat, keempat jenis Scylla spp ini hidup bersama (Siahainenia, 2008).

2.1.2 Morfologi kepiting bakau

Menurut Moosa (1981), untuk mengenal dan memberikan diagnosa dari tiap jenis krustasea, terlebih dahulu diperlukan pengetahuan tentang istilah bagian-bagian tubuh yang biasanya dipergunakan dalam taksonomi binatang yang bersangkutan. Dijelaskan pula bahwa bagian-bagian tubuh penting yang digunakan dalam pengenalan jenis dari famili Portunidae adalah:

1. Karapas (carapace), yaitu selubung kepala-dada dan bagian-bagian yang ada di atasnya;

2. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada bagian dahi karapas (rostrum); 3. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada tepi antero-lateral karapas; 4. Bentuk sudut postero-lateral tubuh;

5. Bagian-bagian yang terdapat pada ruas-ruas kaki jalan (periopod), terutama pada pasangan kaki pertama yang berbentuk capit (cheliped) dan pasangan kaki terakhir yang berbentuk dayung;

6. Bentuk tutup abdomen dan bentuk pleopod; 7. Bentuk mulut terutama maxilliped III; dan

8. Bentuk bagian ruas dasar antenne (basal antennal joint).

Kriteria tersebut tidak semuanya berlaku untuk satu genus. Ada kriteria yang dapat digunakan untuk genus yang satu, tetapi tidak penting atau kurang penting

(27)

bila digunakan pada genus yang lain. Meskipun demikian, ada kriteria yang sama-sama dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis-jenis dari beberapa genus.

Secara umum, ciri dari jenis-jenis organisme yang tergolong dalam famili Portunidae adalah karapas pipih atau agak cembung, berbentuk heksagonal atau agak persegi. Bentuk umum adalah bulat telur memanjang atau berbentuk kebulat-bulatan. Karapas umumnya berukuran lebih lebar dari pada panjangnya dengan permukaan yang tidak selalu jelas pembagiannya. Tepi antero-lateral karapas berduri lima (jarang kurang dari lima kecuali pada subfamili Podophthalminae) sampai sembilan buah. Dahi lebar, dan terpisah dengan jelas dari sudut supraorbital dan memiliki jumlah duri dua sampai enam buah. Antenne (antennulae) kecil terletak melintang atau menyerong (Gambar 2). Pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung, terutama pada dua ruas terakhir. Ada beberapa genus yang berkaki tetapi tidak berbentuk demikian (Moosa 1981).

Keterangan :

a. Karpus b. Kaki jalan c. Karapas d. Kaki renang e. Merus f. Basi-ischium g. Lekukan karapas h. Panjang karapas i. Lebar karapas

(28)

Ciri kepiting bakau secara khusus, menurut Sulistiono et al. (1992), adalah karapas berbentuk cembung dan halus, dengan lebar karapas satu setengah dari panjangnya. Bentuk alur yang menyerupai huruf H antara area pencernaan (gastric area) dan area jantung (cardiac area) jelas. Empat duri berbentuk segitiga pada bagian dahi berukuran sama, dan memiliki orbit yang lebar dengan dua celah.

Kathirvel dan Srinivasagam (1992) membedakan kepiting bakau berdasarkan habitatnya di wilayah Indo-Pasifik. Menurutnya ada dua jenis dari genus Scylla yaitu S. serrata dan S. tranquebarica, yang sejenis dengan S. oceanica. Kedua spesies ini dibedakan melalui warna tubuh dan habitatnya. S. serrata hidup pada lobang-lobang di hutan mangrove, sedangkan S. tranquebarica yang memiliki ukuran tubuh lebih besar adalah perenang bebas. Selanjutnya Estampador (1949) menggolongkan kepiting bakau ke dalam dua kelompok, yaitu banhawin dan mamosain. Kelompok banhawin terdiri atas individu dengan warna tubuh hijau dan dengan tanda/pola poligonal pada semua kaki dan cheliped-nya. Kelompok kedua adalah individu berwarna coklat gelap yang tidak memiliki tanda/pola apapun pada kaki-kaki dan cheliped-nya. Kepiting banhawin adalah perenang bebas, sedangkan kelompok mamosain tinggal menetap di dalam lobang. Jenis S. oceanica dan S. tranquebarica digolongkan kedalam kelompok banhawin, yakni sebagai perenang bebas, sedangkan S. serrata digolongkan ke dalam kelompok mamosain yang hidup di dalam lobang-lobang pada areal mangrove.

Untuk membedakan keempat jenis kepiting dari genus Scylla, Estampador (1949) mempergunakan warna sebagai salah satu faktor pembeda utama. Pendapat ini berbeda dengan Warner (1977). Menurutnya identifikasi jenis berdasarkan warna tubuh saja mungkin akan keliru, karena kondisi setempat, seperti cahaya, panas dan warna latar belakang habitat tempat kepiting bakau hidup, dapat berdampak terhadap dispersi pigmen pada tubuh kepiting bakau. S. oceanica dan S. tranquebarica mempunyai warna dasar kehijauan atau hijau keabu-abuan, atau disebut juga warna hijau buah zaitun, sedangkan S. serrata dan S. serrata var. paramamosin mempunyai warna dasar hijau merah kecoklatan atau coklat

(29)

keabu-abuan sampai abu-abu. Karakteristik kepiting bakau (Scylla spp) dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 3.

Tabel 1 Karakteristik kepiting bakau (Scylla spp.)

No. Warna dan ciri morfologis Scylla oceanica Scyllla

tranquebarica Scylla serrata

Scylla serrata var. paramamosin 1. Warna karapas Hijau

keabu-abuan Hijau buah zaitun Coklat merah seperti karat Coklat kehijauan 2. Sumber

pigmen polygonal

Pada capit dan semua kaki jalan Hanya pada bagian terakhir kaki jalan

Tidak ada Pigmen putih pada bagian terakhir dari kaki-kaki 3. Bentuk alur “H” pada karapas

Dalam Dalam Tidak dalam Relatif tidak

begitu dalam 4. Bentuk duri

depan

Tajam Tajam Tumpul Sedang

5. Bentuk duri pada “fingerjoint” Kedua duri jelas dan runcing Kedua duri jelas dan satu agak tumpul

Duri tidak ada dan berubah menjadi vestigial

-6. Bentuk

rambut/setase Melimpah pada karapas - Hanya pada hepatic area

-Gambar 3 Perbedaan morfologi Scylla spp (Purwati et al., 2010)

(30)

Selain perbedaan warna dan perbedaan morfologi tubuh, suatu teknik baru telah dikembangkan untuk memperoleh status taksonomi dari jenis organisme tertentu, yaitu melalui analisa genetik. Analisa ini telah dikembangkan terhadap kepiting bakau oleh Keenan et al. (1998) yang kemudian merubah klasifikasi genus Scylla dari klasifikasi sebelumnya dengan karakter tiap jenis (Tabel 2).

Tabel 2 Karakter jenis kepiting bakau (Scylla spp.)

Jenis Faktor pembeda / ciri morfologis

Scylla serrata Pola poligon dan warna

Chela dan kaki-kakinya memiliki pola poligon yang

sempurna untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina. Warna bervariasi dari ungu, hijau sampai hitam kecoklatan

Duri pada dahi Tinggi, tipis dan agak tumpul dengan tepian yang cenderung cekung dan membulat

Duri pada bagian luar

cheliped

Dua duri tajam pada propondus dan sepasang duri tajam pada carpus

Scylla tranquebarica

Pola poligon dan warna

Chela dan dua pasang kaki jalan pertama berpola

poligon serta dua pasang kaki terakhir dengan pola bervariasi. Pola poligon juga terdapat pada abdomen betina dan tidak pada abdomen jantan. Warna bervariasi mirip dengan S. Serrata

Duri pada dahi Tumpul dan dikelilingi oleh celah sempit Duri pada

bagian luar

cheliped

Dua duri tajam pada propondus dan sepasang duri tajam pada carpus

Scylla

paramamosain

Pola poligon dan warna

Chela dan kaki-kakinya berpola poligon untuk kedua

jenis kelamin. Warna bervariasi dari ungu sampai coklat kehitaman.

Duri pada dahi Tajam, berbentuk segitiga dengan tepian yang bergaris lurus dan membentuk ruang yang kaku Duri pada

bagian luar

cheliped

Pada dewasa tidak ada duri pada bagian luar carpus dan sepasang duri agak tajam yang berukuran sedang pada propondus sedangkan pada juvenil di bagian luar carpus tajam.

Scylla olivacea Pola poligon

dan warna

Chela dan kaki-kakinya tanpa pola poligon yang jelas

untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina saja. Warna bervariasi dari oranye kemerahan sampai coklat kehitaman.

Duri pada dahi Tumpul dan dikelilingi raung-raung yang sempit Duri pada

bagian luar

cheliped

Umumnya tidak ada duri pada carpus. Sedangkan pada bagian propondus duri mengalami reduksi dari tajam ke tumpul.

(31)

Klasifikasi jenis kelamin kepiting bakau dapat dilakukan secara eksternal. Menurut Moosa et al. (1985), ruas-ruas pada tutup abdomen kepiting bakau jantan umumnya sempit dan berbentuk segitiga, sedangkan ruas-ruas pada tutup abdomen kepiting bakau betina berukuran lebar dan sedikit membulat (Gambar 4).

Gambar 4 Kepiting jantan (atas), betina (bawah) (Purwati et al., 2009)

Kepiting bakau aktif mencari makan pada malam hari dan berisitirahat dengan membenamkan diri dalam lumpur pada siang hari (Hill, 1974). Makanannya, menurut Kasry (1984), berupa organisme yang bergerak lambat atau jenis makro zoobenthos, seperti kerang, siput, krustacea dan cacing. Bangkai juga termasuk makanannya, karena kepiting tergolong hewan omnivorus scavengers. Kemampuan makan kepiting, menurut Hill (1974), menjadi berkurang pada masa molting, karena kepiting tidak beraktivitas.

2.1.3 Penyebaran kepiting bakau

Kepiting bakau memiliki sebaran geografis yang sagat luas. Menurut Sulistiono et al (1994), kepiting ditemukan di daerah air payau dan tertangkap di sebagian besar wilayah pesisir Indonesia, yaitu di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.

(32)

Kepiting bakau mendiami daerah intertidal dengan suhu air antara 13-40oC dalam setahun. Jenis Scylla olivacea ditemukan pada dasar perairan yang berlumpur dengan kisaraan pH antara 7,9 - 8,3 (Sulistiono et. al., 1994). Pada tingkat juvenile, kepiting jarang terlihat di daerah bakau, karena cenderung membenamkan diri di dalam lumpur.

2.1.4 Ukuran kedewasaan

Kedewasaan kepiting bakau ditandai dengan terbentuknya organ reproduksi dan tanda-tanda perkawinan. Kepiting bakau jantan yang telah melakukan perkawinan akan memiliki ‘memar’ di sisi bawah tubuhnya, terutama bagian atas (dekat dengan mata) dan kaki jalan pertama. Memar ini akan bertahan sampai kepiting bakau tersebut ganti kulit (moulting). Sedangkan untuk kepiting bakau betina, kedewasaan ditandai dengan adanya telur di dalam karapas, moulting dan abdominal flap semakin bertambah lebar, serta telur yang sudah dibuahi berada di dalam abdominal flap (Purwati, 2009).

Ukuran terkecil kepiting bakau yang mulai dewasa bervariasi sesuai dengan lokasi dan spesiesnya, bahkan dapat bervariasi antar individu di dalam populasi yang sama. Informasi tentang ukuran awal kedewasaan kepiting dari keempat jenis Scylla spp. di Indonesia masih belum diketahui secara luas. Scylla serrata terkecil di Afrika Selatan yang memiliki gonad (kelenjar kelamin), menunjukan lebar karapas 104 mm. Namun rata-rata kepiting baru memiliki gonad setelah karapasnya mencapai 123 mm (Robertson & Kruger 1994). Scylla serrata di Teluk Moreton, Queensland mencapai dewasa saat lebar karapasnya 140-160 mm (Hyland & Lee 1984). Di perairan muara sungai Ramisi, Kenya, Scylla serrata berukuran 77 mm sudah memiliki ovarium, tetapi kepiting betina terkecil yang membawa telur yang sudah dibuahi (ovigerous female) berukuran 139 mm (Onyango, 2002). Sedangkan di perairan Delta Mekong , Vietnam, ukuran rata-rata Scylla paramamosain yang matang gonad berukuran 102 mm. Ukuran tersebut diperkirakan berumur sekitar 160 hari setelah settlement (Walton et al., 2002). Dalam perairan estuari Labu, Papua New Guinea, Scylla paramamosain mulai matang gonad pada ukuran 101 mm dan Scylla olivacea pada 83 mm (Overton & Macintosh, 2002). Jirapunpipat et al (2008), dalam penelitiannya di

(33)

rawa bakau Klong Ngao, Provinsi Ranong, Thailand, menemukan bahwa ukuran kepiting dewasa lebar karapasnya lebih dari 8 cm, kepiting jantan lebih berat dari kepiting betina. Hasil tangkapan dominan adalah kepiting berukuran kecil baik jantan maupun betina, sedangkan kepiting dewasa dalam jumlah yang sedikit. Dari hasil estimasi model logistik, ditemukan bahwa 50% kepiting betina yang pertama kali matang gonad, lebar karapasnya adalah 9,55 cm, dengan ukuran minimum ketika matang gonad yaitu 8,3 cm. Hal yang sama juga dikemukan oleh Aldrianto (1994), bahwa menyatakan bahwa di Indonesia kepiting bakau yang telah mencapai dewasa kelamin berukuran panjang karapas 4,27 cm dan lebar karapas 8,0 cm. Le vay (2001), menyatakan bahwa di perairan utara Jawa, kepiting bakau S. Paramamosain betina mencapai tingkat dewasa kelamin pada ukuran lebar karapas 8,0-9,0 cm. Sementara itu menurut Siahainenia (2008), dalam penelitiannya di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, menyatakan bahwa karakter perkembangan dewasa kelamin kepiting bakau teramati melalui perubahan struktur morfologis dan adanya tanda-tanda khusus pada tubuh. Ukuran minimum kepiting bakau ketika mencapai dewasa kelamin adalah 10,0 cm untuk jantan dan 9,0 cm untuk betina. Perkembangan gonad teramati melalui perubahan pada struktur morfologis tubuh kepiting bakau, warna gonad serta jaringan gonad.

2.1.5 Daur hidup dan habitat kepiting bakau

Kepiting bakau dalam menjalani kehidupanya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut. Induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makan dan membesarkan diri. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki perairan bakau.

Setelah perkawinan berlangsung, secara perlahan-lahan kepiting betina akan beruaya ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk memijah. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau atau paling jauh di sekitar perairan pantai, yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur yang organisme makanannya melimpah (Kasry, 1996). Skema daur hidup kepiting bakau Scylla olivacea disajikan pada Gambar 5.

(34)

Gambar 5 Skema daur hidup kepiting bakau Scylla olivacea yang diadaptasikan dari Soim (1999).

Kepiting betina yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut. Setelah telur menetas maka akan muncul larva tingkat I (Zoea I) yang akan terus menerus berganti kulit, kemudian terbawa arus ke perairan pantai hingga mencapai tingkat Zoea V (lima kali berganti kulit) dan proses tersebut membutuhkan waktu minimal 18 hari. Setelah itu, Zoea V akan mengalami pergantian kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi masih memiliki ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa, kepiting bakau akan beruaya pada dasar perairan pantai, dan biasanya pertama kali memasuki perairan muara sungai, kemudian ke perairan berhutan bakau untuk kembali melakukan perkawinan.

Menurut Ong (1966) dalam Moosa, et al (1985), kepiting bakau mulai dari telur hingga dewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan. Tingkat perkembangan tersebut ialah zoea, megalopa, kepiting muda dan kepiting dewasa. Pada setiap kali pergantian kulit, zoea tumbuh dan berkembang yang antara lain ditandai dengan setae renang (bagian tubuh yang menyerupai bulu) pada endopod maxilliped-nya (Warner, 1977 dalam Kasry, 1996). Megalopa yang lebih mirip

(35)

kepiting dewasa sering dirujuk sebagai kepiting pada tingkat pasca larva. Dari tingkat megalopa ke tingkat muda diperlukan 11-12 hari (Motoh, 1977). Kepiting bakau, menurut Afrianto dan Liviawaty (1972), dapat dikatakan dewasa pada umur 12 -14 bulan dan dapat memijah.

2.1.6 Makanan dan kebiasaan makan

Arriola (1940) dan Mossa et al (1985) dalam Mulya (2000), menyatakan bahwa kepiting bakau adalah organisme pemakan segala bangkai (omnivorous-scavenger) dan pemakan sesame jenis (canibal).

Menurut Pagctipunan (1972), Hill (1976) dalam Mulya (2000), kepiting bakau dewasa juga pemakan organisme benthos dan organisme yang bergerak lambat, seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing dan jenis-jenis gastropoda dan crustacean. Kepiting bakau yang hidup di sekitar hutan bakau memakan akar-akar pohon bakau (pneumatophore).

Perairan di sekitar hutan bakau sangat cocok untuk kehidupan kepiting karena sumber makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia (Hill, 1976 dalam Mulya, 2000). Pendapat ini didukung oleh Moosa et al, (1985) yang menyatakan kepiting bakau merupakan organisme bentik pemakan serasah dimana habitatnya adalah perairan intertidal (dekat hutan bakau) yang bersubstrat Lumpur.

Biasanya kepiting bakau lebih besar dan menyerang kepiting yang lebih kecil dengan merusak umbai-umbai kemudian merusak karapas menjadi potongan-potongan. Selanjutnya, kepiting bakau mengambil bagian-bagian yang lunak dari mangsanya untuk dimakan. Tangan dan capit kepiting yang besar memungkinkannya menerang musuh dengan ganas atau merobek makanannya. Sobekan-sobekan makanan tersebut dibawa ke mulut dengan menggunakan kedua capitnya (Ariola, 1940 dalam Moosa et al, 1985). Waktu makan kepiting bakau tidak beraturan, tetapi lebih efektif pada malam hari dibandingkan dengan siang hari sehingga kepiting bakau digolongkan sebagai hewan nocturnal yang aktif pada malam hari.

Berdasarkan hasil penelitian Almada (2001), menjelaskan bahwa waktu makan kepiting bakau cenderung pada malam hari yaitu sekitar pukul 18.00 –

(36)

06.00 WIB. Waktu makan yang dominan pada selang waktu 18.00 – 24.00 WIB, yang diindikasikan dengan presentase berat pakan yang dikonsumsi pada selang waktu tersebut.

2.1.7 Ketergantungan kepiting bakau pada ekosistem mangrove

Banyak penelitian menunjukkan bahwa komunitas mangrove memainkan peranan penting bagi berbagai jenis biota yang hidup pada, atau disekitar ekosistem tersebut. Nontji (1987), mengatakan bahwa beberapa produk perikanan yang bernilai ekonomi penting, mempunyai hubungan yang erat dengan ekosistem mangrove seperti udang (Paneus), kepiting bakau (Scylla) dan Tiram (Crassostrea).

Kepiting bakau menjalani sebagian besar hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran. Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan hutan mangrove, dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan beruaya dari perairan hutan mangrove ke perairan laut untuk memijah, sedangkan kepiting bakau jantan akan tetap berada di hutan mangrove untuk melanjutkan aktifitas hidupnya. Setelah memijah, kepiting bakau betina akan kembali ke hutan mangrove. Demikian pula dengan juvenil kepiting bakau yang akan migrasi ke hulu estuari, untuk kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove (Siahainenia, 2008).

Ekosistem mangrove, merupakan tempat ideal bagi kepiting bakau untuk berlindung. Kepiting muda pascalarva yang berasal dari laut, banyak dijumpai di sekitar estuari dan hutan mangrove, karena terbawa arus dan air pasang dan akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung (Hutching & Saenger 1987). Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap hutan mangrove, dan sering dijumpai membenamkan diri dalam substrat lumpur, atau menggali lubang pada substrat lunak sebagai tempat persembunyian (Queensland Departement of Indutries 1989a). Lebih lanjut Pagcatipunan (1972), menyatakan

bahwa setelah berganti kulit (moulting), kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan cara membenamkan diri, atau bersembunyi dalam lubang sampai

(37)

karapasnya mengeras. Hutching dan Saenger (1987), menyatakan bahwa kepiting bakau hidup disekitar hutan mangrove, dan memakan akar-akarnya (pneumatophore). Sementara Hill (1982), menyatakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau, karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia. Serasah dikenal sebagai makanan alami kepiting bakau.

Substrat di hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau, terutama untuk melangsungkan perkawinan. Menurut Snedaker dan Getter (1985), habitat kepiting bakau adalah pada perairan intertidal (dekat hutan mangrove) yang bersubstrat lumpur. Substrat di dalam dan disekitar hutan mangrove yang didominasi oleh kandungan lumpur, mengandung banyak bahan organik yang berasal dari serasah mangrove, yang terurai membentuk partikel detritus yang kemudian akan mengendap pada substrat (Robertson 1988). Substrat halus (lumpur dan liat) yang mengandung banyak serasah bahan organik, juga mendukung kehidupan berbagai organisme, terutama organisme pemakan detritus dari kelompok gastropoda (Ellobiidae dan Potamididae). Gastropoda diketahui merupakan salah satu makanan alami kepiting bakau. Berdasarkan penelitian Opnai (1986), yang menyatakan bahwa 89% isi lambung kepiting bakau adalah bivalva, gastropoda dan moluska lainnya. Dengan demikian dalam kaitannya dengan kehidupan dan distribusi kepiting bakau, kandungan substrat dasar perairan hutan mangrove merupakan faktor pendukung penting, karena mempengaruhi kehidupan dan distribusi moluska yang merupakan makanan alami kepiting bakau.

2.2 Alat Tangkap Kepiting Bakau

Menurut Martasuganda (2008), alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap kepiting bakau adalah wadong dan pintur. Alat tangkap wadong adalah alat tangkap yang sifatnya pasif dan dipasang menetap di tempat yang diperkirakan akan dilewati kepiting. Supaya kepiting mau memasuki wadong, maka diberi umpan yang ditusuk dengan bambu supaya tidak terbawa arus. Adapun alat tangkap pintur merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kepiting dan udang di sekitar perairan pantai. Nelayan Sulawesi

(38)

menyebut alat ini dengan sebutan bubu rakkang. Alat ini umumnya memakai rangka dari bambu atau besi sebagai rangkanya. Jaring yang digunakan umumnya potongan jaring bekas yang sudah tidak dipakai lagi.

Dalam pengoperasian perangkap kepiting, umpan digunakan sebagai alat pemikat agar kepiting bakau tertarik masuk ke dalam perangkap. Pemilihan umpan untuk perangkap lebih didasari pada harga yang murah dan mudah mendapatkannya. Umpan yang digunakan dalam penangkapan kepiting bakau di Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan antara lain ikan rucah, ikan buntal dan potongan daging ikan hiu. Penangkapan kepiting bakau di daerah Jawa Tengah menggunakan daging ular, karena baunya mudah tercium oleh kepiting (Soim, 1999). Adapun Soelistiyono et al (1994) mengemukakan bahwa umpan yang digunakan untuk menangkap kepiting bakau di perairan Segara Anakan, Cilacap umumnya adalah ikan.

2.2.1 Pintur/rakkang

(Martasuganda, 2008) Alat tangkap pintur adalah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kepiting dan udang di sekitar perairan pantai. Di Sulawesi alat ini dikenal dengan sebutan bubu rakkang. Alat tangkap ini umumnya memakai rangka dari bambu dan bisa menggunakan besi sebagai rangkanya. Bahan jaring yang digunakan umumnya memakai potongan jaring bekas atau potongan dari jaring yang sudah tidak dipakai lagi, oleh karena itu tidak ada spesifikasi khusus untuk membuatnya. Potongan jaring yang biasanya dipakai adalah potongan bekas pembuatan jaring insang.

Konstruksi pintur terdiri dari rangka dan badan jaring, rangka terbuat dari bambu atau besi behel dengan diameter antara 4-10 mm, nomor jaring memakai nomor 210D/6-12 dengan mesh size berkisar antara 2,5-6,76 cm.

Ikan umpan biasanya memakai potongan ikan, atau ikan apa saja yang bisa dijadikan umpan. Untuk memasang ikan umpan supaya menetap, ikan umpan diletakan ditengah-tengah pintur dengan cara diikatkan pada salah satu mata jaringnya. Daerah penangkapan yang umum dijadikan tempat untuk pengoperasian pintur adalah perairan pantai yang dangkal yang banyak dihuni udang dan kepiting pada kedalaman 1-5 m.

(39)

Pengoperasian pintur dapat dioperasikan secara tunggal atau dioperasikan secara beruntai di daerah penangkapan yang diperkirakan ada dan akan dilewati oleh udang atau kepiting. Untuk memasang pintur di daerah penangkapan, ada yang memakai tiang bambu dan ada juga yang memakai pelampung tanda. Panjang tiang pancang dan tali pelampung tanda berkisar antara 1-3 m. Tali pelampung memakai rope yang berdiameter 0,3 mm, sedangkan pelampungnya ada yang memakai karet bekas sandal, bekas botol aqua atau benda lainnya yang dapat dijadikan sebagai pelampung. Pengoprerasian pintur semuanya dilakukan secara manual baik tanpa perahu, dengan sampan atau memakai perahu motot tempel.

Waktu pemasangan biasanya dipasang di pagi hari, siang hari atau sore hari tergantung nelayan yang mengoperasikannya. Lama perendaman bervariasi mulai dari 2-3 jam sampai 12 jam. Setelah mengangkat hasil tangkapan, dan ikan umpan masih utuh, biasanya langsung dipasang kembali, tetapi kalau ikan umpannya habis, ikan umpan diganti dengan yang baru. Konstruksi Pintur/rakkang disajikan pada Gambar 6.

(40)

2.2.2 Perangkap

Perangkap merupakan alat penangkap ikan dan non ikan yang bersifat pasif. Jenis alat tangkap ini sudah lama dikenal oleh nelayan, karena biaya pembuatannya yang relatif murah, cara pembuatan dan pengoperasiannya yang mudah, bahan pembuatnya mudah didapat, tidak merusak organisme hasil tangkapan, dan tidak merusak sumberdaya secara ekologis maupun teknis. Ukuran perangkap umumnya kecil dan hanya dapat dimasuki oleh beberapa organirme laut saja. Namun demikian, jumlah perangkap yang dioperasikan bisa mencapai puluhan buah, sehingga hasilnya memuaskan. Dalam satu kali operasi penangkapan, nelayan dapat merendam puluhan perangkap pada beberapa tempat penangkapan yang berbeda. Dengan demikian, peluang tertangkapnya organisme laut pada setiap operasi penangkapan sangat besar.

Perangkap umumnya dioperasikan dengan 2 cara, yaitu cara terpisah dan teruntai. Cara pengoperasian terpisah dilakukan dengan cara menempatkan beberapa perangkap pada tempat-tempat yang berbeda. Antara satu perangkap lainnya benar-benar terpisah. Adapun cara operasi teruntai dilakukan dengan cara menempatkan perangkap pada suatu area penangkapan yang sama dan antara satu perangkap dengan lainnya saling terhubung dengan tali utama.

Cara pengoperasian perangkap secara teruntai dapat dilakukan jika permukaan dasar perairannya datar. Organisme non ikan yang memiliki habitat seperti ini adalah kepiting, rajungan, siput macan dan gurita. Oleh karena itu, penangkapan ke-4 jenis organisme tersebut biasanya menggunakan perangkap yang disusun secara teruntai dengan jumlah perangkap yang sangat banyak.

Menurut Subani dan Barus (1988), perangkap adalah semua alat penangkap yang berupa jebakan. Alat ini bersifat pasif, yaitu menunggu ikan (hewan laut) masuk ke dalam perangkap dan mencegahnya untuk keluar dari perangkap. Perangkap tersebut dapat berupa tempat bersembunyi atau berlindung, penghalang dalam bentuk dinding atau pagar-pagar, terbuat dari anyaman bambu, anyaman rotan atau anyaman kawat dioperasikan secara temporer, semi permanen maupun menetap (tetap) dipasang (ditanam) didasar laut, diapungkan atau dihanyutkan.

Penyebab ikan atau hewan laut masuk kedalam perangkap antara lain adalah:

(41)

1) Sifat dasar ikan atau hewan laut yang selalu mencari tempat berlindung ; 2) Ikan atau hewan laut masuk karena tertarik oleh umpan yang ada di dalam

perangkap ;

3) Ikan atau hewan laut terkejut sehingga dia mencari tempat berlindung ; dan

4) Ikan atau hewan laut masuk karena digiring oleh nelayan.

Secara umum perangkap terdiri atas kerangka, dinding, mulut, pintu dan tempat umpan. Bentuk perangkap bervariasi (Subani dan Barus, 1988), yaitu silinder, gendang, segitiga memanjang, kubus atau segi banyak dan bulat setengah lingkaran. Cara pengoperasian perangkap dibagi menjadi tiga golongan, yaitu bubu dasar, bubu apung dan bubu hanyut.

Gardenia (2006), mengungkapkan bahwa perangkap lipat sering digunakan oleh nelayan Indonesia khususnya nelayan di daerah Indramayu adalah perangkap lipat yang berbentuk kotak, merupakan hasil introduksi dari Taiwan digunakan untuk menangkap rajungan. Seiring perkembangannya, perangkap lipat yang berbentuk kotak ini digunakan juga untuk menangkap kepiting bakau di wilayah Subang dan sekitarnya. Selanjutnya (Martasuganda, 2008) mengemukakan bahwa konstruksi dari rangka bubu/perangkap kepiting, keseluruhannya memakai rangka dari besi behel 0,8 cm. Badan jaring memakai jaring PE multifilament dengan mesh size 0,25 inchi. Rangka bisa dibuat dari besi behel atau kawat baja dengan diameter 2-3 mm. Ukuran bubu adalah, Panjang: Lebar: Tinggi = 60:40:25-30 cm. Untuk tali pelampung, tali utama, dan tali pemberat semuanya memakai tambang yang disebut dengan tambang tros (nama dagang dari tali yang dijual untuk kebutuhan perikanan dan kelautan) berdiammeter 2,0 cm dengan panjang 8.000 – 10.000 m, sedangkan tali cabangnya berdiameter 1,0 cm. Konstruksi perangkap lipat dapat dilihat pada Gambar 7.

Metode operasi dimulai dari persiapan semua kebutuhan yang diperlukan, kemudian pemasangan pemberat pada tali utama, penyambungan tali temali dan pemasangan pelampung tanda dikedua ujung tali utama. Setelah semua persiapan dilakukan, kemudian perahu menuju ke daerah penangkapan terpilih. Sambil menuju ke daerah penangkapan, dilakukan pemasangan umpan. Setelah sampai di daerah penangkapan, pelampung tanda dan alat tangkap diturunkan.

(42)

Pemasangan alat tangkap di daerah penangkapan dipasang satu demi satu kemudian diuntai menjadi satu set dengan jarak satu dengan lainnya antara 10-15 m. Lama perendaman biasanya antara 3 – 4 hari.

Keterangan : a : Rangka perangkap b : Badan jaring c : Mulut perangkap d : Engsel e : Pengait umpan

Gambar 7 Konstruksi perangkap lipat kepiting

Keberhasilan crustacea menemukan perangkap, masuk dan akhirnya tertangkap sangat dipengaruhi oleh adanya interaksi antara tingkah laku hewan tersebut dengan rancangan dari perangkap, seperti: bentuk dan ukuran perangkap, besarnya celah pelolosan, ukuran pintu masuk, keadaan dan tempat umpan di letakan dalam perangkap dan perlengkapan lain yang digunakan agar hasil tangkapan tidak lolos atau lepas (Krouse, 1988).

Miller (1978) dalam Krouse (1988) menjelaskan penggunaan perangkap untuk menangkap kepiting Cancer irroratus, Cancer productus dan Hyas araneus menunjukkan bahwa hasil tangkapan terbesar terjadi pada perangkap yang memiliki pintu masuk lurus sepanjang tempat umpan yang berbau diletakkan.

(43)

Cocok tidaknya lokasi pintu masuk sangat berhubungan dengan tingkah laku kepiting. Krouse (1988) menemukan kepiting jenis H. americanus dan C. irroratus lebih mudah masuk ke dalam perangkap yang memiliki pintu masuk yang terletak di bagian atas perangkap.

Selanjutnya Jirapunpipat et al (2008), dalam penelitiannya tentang efek celah pelolosan pada perangkap lipat terhadap hasil tangkapan dan ukuran kepiting bakau S. olivacea, dengan mengujicobakan 5 celah pelolosan dengan ukuran dan letak yang berbeda pada perangkap, menemukan bahwa letak celah pelolosan pada bagian pinggir bawah perangkap menghasilkan jumlah pelolosan yang terbesar dan ukuran celah pelolosan 3 cm x 6 cm efektif untuk meloloskan S. olivacea yang undersized. Celah pelolosan tidak memberikan pengaruh terhadap tingkat masuknya kepiting bakau kedalam perangkap. Disamping mereduksi kematian kepiting yang belum dewasa, celah pelolosan dapat mereduksi retensi target spesies yang tidak didinginkan yang tidak memiliki nilai komersial dan yang selalu dibuang. Selain itu, celah pelolosan juga mempersingkat waktu penyortiran oleh nelayan.

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Penangkapan dengan Perangkap

Menurut Krouse (1988), tertangkapnya Crustacea sangat tergantung pada berbagai faktor, seperti faktor fisiologis dan tingkah laku dari hewan tersebut, termasuk didalamnya karakteristik dari perangkap.

Sainsbury (1971), operasi penangkapan dengan perangkap menyebabkan keberhasilan sangat tergantung pada gerakan ikan menuju alat tangkap, tingkah laku ikan dan konstruksi perangkap, seperti ukuran mata dinding perangkap dan mulut. Secara teknis, ada dua macam faktor yang menyebabkan ikan dan hewan laut masuk ke dalam perangkap, yaitu melalui penciuman dan melalui penglihatan.

2.3.1 Umpan

Menurut Gunarso (1985), umpan memegang peranan yang sangat penting dalam penangkapan dengan perangkap. Umpan yang memenuhi syarat dapat merangsang indra penciuman dan rasa dari ikan dan Crustacea. Spence (1989),

(44)

mengemukakan bahwa kepiting tertarik masuk ke dalam perangkap karena adanya umpan ikan segar berupa ikan sebelah yang dipotong-potong atau dalam keadaan utuh. Selain itu meningkatnya hasil tangkapan perangkap sangat tergantung pada ketahanan dan daya tarik dari umpan. Selanjutnya Philips et al, (1980) dalam Krouse (1988) menyatakan indra Crustacea yang berkembang baik adalah indra penciuman yang berfungsi untuk mendeteksi makanan terutama makanan yang berbau (busuk). Respon penciuman ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan antara lain temperatur dan salinitas dan faktor-faktor fisiologis seperti molting (pergantian kulit) dan kondisi reproduksi.

Dari hasil seleksi yang telah dilakukan nelayan, ternyata faktor utama yang paling menentukan dari umpan adalah: ketersediannya, harga yang terjangkau, menarik, dan tersedia di daerah tempat perangkap di operasikan. Faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan penangkapan dengan perangkap adalah jumlah umpan yang dipergunakan, lokasi penempatan umpan dalam perangkap, frekuensi penggantian umpan dan cara pemasangan umpan (apakah menggunakan tali atau kotak berlubang). Hasil penelitian menemukan bahwa ikan rucah jenis Myxine glutinosa dan bangkai ampipoda merupakan umpan yang baik dan tahan lama (Krouse, 1988).

(45)

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian skala laboratorium dilakukan pada bulan April – Mei 2011, di Laboratorium Tingkah Laku Ikan dan Teknologi Alat Penangkapan Ikan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK- IPB. Perancangan alat dan pengambilan data lapanagan dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2012 di Desa Mayangan dan Legonwetan, Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan bahan penelitian yang digunakan terbagi atas dua bagian, yaitu pada penelitian skala laboratorium dan penelitian skala lapangan.

3.2.1 Alat dan bahan skala laboratorium Alat yang akan digunakan adalah :

(1) Aquarium dengan alat dan bahan filterisasi air laut ; (2) Aerator untuk aerasi wadah pemeliharaan kepiting ; (3) Refrakto meter sebagai pengukur salinitas air ; (4) Bingkai (frame) perangkap ; dan

(5) Coban untuk menjahit bagian dinding (wall) perangkap. Adapun bahan yang akan digunakan adalah :

(1) Besi galvanis berdiameter 7 mm untuk membuat kerangka ;

(2) Jaring nilon ukuran mesh size 1,5 inch untuk membuat dinding perangkap ; (3) Jaring warring 0,5 cm untuk membuat lintasan masuk ;

(4) Benang nilon PE berdiameter  0,5 mm untuk menjahit dinding perangkap

(5) Kepiting bakau (Scyla spp.) hidup yang berasal dari habitat asal lokasi penelitian ; dan

(6) Pakan untuk makanan kepiting berupa ikan rucah dan udang. 3.2.2 Alat dan bahan yang digunakan di lapangan

Alat dan bahan yang digunakan di lapangan terdiri atas : (1) Perahu sebagai media angkut ;

(46)

(2) Alat tangkap/perangkap lipat kepiting 25 unit ; (3) Alat tulis menulis untuk pencatatan data

(4) Timbangan untuk mengukur berat hasil tangkapan;

(5) Jangka sorong dengan ketelitian 0,1 mm untuk mengukur panjang, lebar dan tinggi karapas dari kepiting bakau yang tertangkap ;

(6) GPS (global positioning sistem) sebagai alat bantu dalam menentukan lokasi penelitian.

(7) Umpan berupa ikan segar.

(8) Kamera digital untuk dokumentasi 3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Metode penelitian skala laboratorium (1) Persiapan wadah

Metode penelitian skala laboratorium dilakukan dengan persiapan awal yaitu menyiapkan 2 aquarium kemudian diisi dengan air laut yang berasal dari daerah Palabuhanratu dengan salinitas ±30 ‰. Aquarium pertama berukuran 70 cm x 50 cm x 60 cm digunakan sebagai aquarium filter yang dipasang instalasi aerasi untuk menyaring kotoran-kotoran agar air yang disalurkan ke aquarium kedua tetap jernih untuk pemeliharaan. Aquarium yang kedua berukuran 90 cm x 60 cm x 50 cm berfungsi sebagai media penampungan dan pemeliharaan kepiting. (2) Aklimatisasi

Kepiting uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepiting bakau Scylla spp sebanyak 12 individu dengan ukuran bervariasi yang diperkirakan sudah matang gonad. Kemudian ditampung dalam wadah dan diberi percikan air laut sebagai rangsangan awal yang berlangsung selama 25 menit, kemudian dimasukan kedalam aquarium yang telah berisi air laut selama 1 malam tanpa diberi pakan, agar kepiting tidak mengalami stres.

Aklimatisasi dan adaptasi terhadap lingkungan pemeliharaan dan pakan dilakukan selama 3 hari dan diberi pakan berupa potongan ikan segar dan juga udang. Kemudian individu kepiting dipindahkan ke wadah aquarium yang telah dipersiapkan untuk pemeliharaan selama observasi di laboratorium.

Gambar

Gambar 1  Diagram alir pendekatan masalah
Gambar 2  Morfologi Scylla spp
Tabel 1  Karakteristik  kepiting bakau (Scylla spp.)
Tabel 2  Karakter jenis kepiting bakau (Scylla spp.)
+7

Referensi

Dokumen terkait

dialokasikan sebagai beban langsung pada laporan laba rugi komprehensif konsolidasian. Depreciation expense from investment property is allocated as direct costs in the

hubungan yang terbalik antara suhu kecerahan awan dari data MTSAT dengan curah hujan dari data QMorph, dimana pada saat suhu kecerahan awan bernilai rendah maka

Sesuai dengan perumusan masalah penelitian, “Sejauhmanakah hubungan antara penggunaan „Cerita Kampus‟ dengan pemuasan kebutuhan followers @UsukomFM?”.Populasi

Jeg følte at jeg hadde vært mye borte fra avdelingen, og ønsket å gjøre noe konkret, praktisk, som syntes i avdelingen og som kunne ha effekt på kvalitet og også anspore til

Hal ini tampak dari kurangnya partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran.Maka peneliti ingin memperbaiki cara belajar peserta didik dengan menggunakan

Po- rast težav pri obsevanih bolnikih je bila v raziskavi EORTC predvsem posle- dica črevesnih zapletov, raziskava SWOG pa kaže, da se z obsevanjem lahko poveča tudi možnost

Mengingat sebuah penelitian merupakan upaya untuk menemukan jawaban pertanyaan, maka terdapat beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu (1) bagaimana

Berdasarkan hasil peneltian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat pengaruh berbagai konsentrasi Cu terhadap kadar Cu dalam akar dan kadar klorofil