2. DESKRIPSI DATA PENELITIAN
2.1. Pencemar Udara PM10 dan Ozon
Udara sebagai komponen lingkungan yang penting dalam kehidupan perlu
dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya agar dapat memberikan daya dukung bagi mahkluk hidup untuk hidup secara optimal. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemar udara. Definisi pencemaran udara menurut Peraturan Pemerintah No 41 tahun 1999, adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun hingga ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.
Sumber pencemaran udara berasal dari kejadian alami dan kegiatan
manusia (antropogenik). Sumber pencemaran yang berasal dari alam antara lain kebakaran hutan, letusan gunung berapi, debu, dekomposisi biotik dan lain-lain. Sedangkan sumber pencemaran udara akibat aktivitas manusia secara kuantitatif sering lebih besar, antara lain berasal dari kegiatan transportasi, industri, pemukiman, dan pengelolaan limbah sampah (Soedomo, 2001)
Kegiatan transportasi memberikan kontribusi sekitar 70% terhadap
pencemaran udara di kota-kota besar. Faktor yang mempengaruhi tingginya pencemar udara dari kendaraan bermotor adalah pesatnya pertambahan jumlah kendaraan bermotor, rendahnya kualitas bahan bakar minyak (BBM) dan masih digunakannya jenis BBM mengandung Pb, penggunaan teknologi lama (sistem pembakaran) pada sebagian besar kendaraan bermotor di Indonesia, rendahnya budaya perawatan kendaraan bermotor secara teratur, dan buruknya manajemen transportasi. Sektor industri merupakan penyumbang pencemaran udara terbesar berikutnya setelah kendaraan bermotor, melalui penggunaan bahan bakar fosil untuk pembangkit tenaga (KLH, 2002). Pada umumnya bahan pencemar udara
yang terdapat di daerah perkotaan adalah: SO2, NOx, O3, CO, HC, debu, dan Pb,
serta bahan-bahan pencemar organik lainnya (SARPEDAL KLH, 2003a). Sepanjang tahun 2001-2003 pencemar udara yang paling dominan dengan konsentrasi maksimum pada jam-jam tertentu melebihi baku mutu udara ambien
di kota Surabaya adalah PM10 diikuti O3, SO2, dan CO ( Din LH, 2002;
8
Faktor meteorologis mempunyai peran yang sangat utama dalam
menentukan kualitas udara di suatu daerah. Dalam sistem pencemaran udara, intensitas emisi dari sumber pencemar akan masuk ke dalam atmosfer sebagai medium penerima. Sedangkan atmosfer merupakan suatu medium yang sangat dinamik dan mempunyai kemampuan dalam menyebarkan, mengencerkan, dan mendifusikan pencemar udara. Kemampuan atmosfer tersebut ditentukan oleh berbagai faktor meteorologi, seperti kecepatan angin, arah angin, kelembaban udara, suhu udara, dan tekanan udara (Soedomo, 2001)
Partikulat debu dalam bentuk tersuspensi merupakan campuran yang
sangat rumit dari berbagai senyawa organik dan anorganik yang tersebar di udara dengan diameter yang sangat kecil, mulai kurang dari 1 mikron sampai dengan maksimal 500 mikron. Partikulat debu berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang-layang di udara. Karena komposisi partikulat debu udara yang rumit, dan pentingnya ukuran partikulat dalam menentukan dampaknya terhadap kesehatan, maka banyak istilah yang digunakan untuk menyatakan partikulat debu di udara. Beberapa istilah yang digunakan mengacu pada metode pengambilan contoh udara antara lain SPM (Suspended Particulate
Matter), TSP (Total Suspended Particulate), dan balack smake. Istilah lainnya mengacu pada tempat di saluran pernafasan dimana partikulat debu dapat mengendap, seperti inhalable/thoracic particulate yang mengedap di bawah
pangkal tenggorokan. Istilah lainnya yang juga digunakan adalah PM10 (partikulat
debu dengan ukuran diameter aerodinamik <10 mikron), yang mengacu pada unsur fisiologi maupun metode pengambilan contoh.
Pengaruh partikulat debu yang berada di udara terhadap kualitas lingkungan sangat tergantung kepada ukurannya. Ukuran partikulat debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0.1 mikron sampai dengan 10 mikron. Pada umumnya partikulat debu yang berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung masuk kedalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sedangkan partikulat yang lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus pandang mata. Berdasarkan PP 41 tahun 1999 baku
9
mutu konsentrasi PM10 yang masih diijinkan adalah tidak lebih dari 150 µg/m3
untuk waktu pengukuran 24 jam (SARPEDAL KLH, 2003b).
Lapisan troposfer mengandung Ozon atau O3 kira-kira hanya 10% dari
seluruh kandungan Ozon yang ada di atmosfer. Ozon adalah komponen atmosfer yang diproduksi oleh proses fotokimia, yaitu suatu proses kimia yang membutuhkan sinar matahari untuk mengoksidasi komponen-komponen yang tak segera dioksidasi oleh oksigen. Senyawa yang terbentuk merupakan bahan pencemar sekunder yang diproduksi dari interaksi antara bahan pencemar primer dengan sinar matahari. Hidrokarbon merupakan komponen yang berperan dalam
produksi oksidan fotokimia. Reaksi ini juga melibatkan siklus fotolitik NO2.
Polutan sekunder yang dihasilkan dari reaksi hidrokarbon dalam siklus ini adalah Ozon dan Peroksiasetilnitrat (PAN). Karena Ozon merupakan senyawa yang dominan dari oksidan fotokimia ini, yaitu mencakup kira-kira 98% volume, maka hasil pemantauan udara ambien dinyatakan sebagai kadar Ozon. (Soedomo, 2001)
Ozon dapat ditemukan di setiap tempat dimana terdapat oksida nitrogen
dan hidrokarbon yang berinteraksi di bawah radiasi sinar matahari. Ozon berbahaya bagi tumbuh-tumbuhan, karena dapat mengganggu proses fotosintesis. Sedangkan dampak terhadap manusia dapat menyebabkan iritasi mata dan gangguan pernafasan. Berdasarkan PP 41 tahun 1999 baku mutu konsentrasi ozon
yang masih diijinkan adalah tidak lebih dari 235 µg/m3 untuk waktu pengukuran
1 jam (SARPEDAL KLH, 2003b).
2.2. Jaringan Pemantau Kualitas Udara Ambien di Kota Surabaya
Sejak tahun 1992 BAPEDAL Pusat/ Menteri Lingkungan Hidup membuat
strategi pelaksanaan pengendalian pencemaran udara dengan Program Langit Biru. Untuk mengevaluasi pelaksanaan program ini, pemerintah Republik Indonesia bekerjasama dengan pemerintah Austria membangun Jaringan Pemantau Kualitas Udara Ambien Terpadu untuk kota metropolitan dan kota rawan kebakaran melalui proyek The Integrated Ambient Air Quality Monitoring
for Metropolitan Area. Lokasi jaringan pemantau kualitas udara di Indonesia disajikan pada Lampiran 1. Tujuan utama dari jaringan pemantauan kualitas udara ambien adalah mengetahui besarnya kondisi kualitas udara melalui pengukuran
10
kondisi meteorologis yang terdiri dari arah angin, kecepatan angin, suhu, kelembaban udara, dan global radiasi (SARPEDAL KLH, 2003a).
Untuk dapat memberikan kemudahan dan keseragaman informasi kualitas
udara ambien kepada masyarakat di suatu lokasi pada waktu tertentu, serta sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan upaya pengendalian pencemaran udara telah ditetapkan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 45 tahun 1997. ISPU adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu didasarkan dampaknya pada kesehatan manusia, makhluk lainnya, dan nilai estetika (KLH, 2002)
Kota Surabaya telah mengoperasikan jaringan pemantauan kualitas udara
yang bekerja secara kontinu 24 jam sehari sejak April 2001. Peralatan dari jaringan pemantau ini terdiri dari beberapa komponen yaitu :
1. Lima stasiun pemantau kualitas udara permanen.
2. Lima tampilan data publik (Public Data Display)
3. Peralatan RAQMC (Regional Air Quality Monitoring Center)
4. Peralatan kalibrasi dan maintenance
Peralatan sensor pada stasiun pemantau dan tampilan data publik disajikan pada Lampiran 2. Cara kerja peralatan jaringan pemantau kualitas udara ambien disajikan pada Lampiran 3.
Pemilihan lokasi penempatan peralatan jaringan pemantau ditetapkan
bersama oleh Tim BAPEDAL Pusat, Pemerintah Austria, dan Tim Pemkot Surabaya beserta Pemprov Jatim tanggal 10-13 Maret 1999. Lokasi harus berada pada daerah pemukiman agar data yang dihasilkan adalah data kualitas udara ambien dan bukan udara emisi dengan jarak minimum dari jalan raya 20 meter sampai 250 meter. Lokasi penempatan 5 stasiun pemantau kualitas udara ambien kota Surabaya disajikan pada Gambar 3 dengan perincian sebagai berikut :
1. Halaman taman prestasi (Jl. Ketabang Kali) disingkat dengan SUF-1.
Lokasi ini mewakili daerah pusat kota, pemukiman, perkantoran, dan perdagangan Surabaya Pusat.
2. Halaman kantor kelurahan Perak Timur (Jl. Selangor) disingkat dengan
11
3. Halaman bekas kantor pembantu walikota Surabaya Barat (Jl.
Sukomanunggal) disingkat dengan SUF-3. Lokasi ini mewakili daerah pemukiman, dan daerah pinggir kota.
4. Halaman kecamatan Gayungan (Jl. Gayungan) disingkat dengan SUF-4.
Lokasi ini mewakili daerah pemukiman dekat jalan tol Surabaya-Gempol Surabaya Selatan.
5. Halaman Convention Hall (Jl. Arif Rahman Hakim) disingkat dengan
SUF-5. Lokasi ini mewakili pemukiman, kampus dan perkantoran Surabaya Timur.
Gambar 3. Peta kota Surabaya dan lokasi 5 stasiun pemantau
Berdasarkan panduan mutu ISPU, sensor yang ada pada stasiun pemantau kualitas udara mampu menangkap pencemar udara dengan sensitifitas sampai sejauh radius 5 km, dengan mekanisme kerja berdasarkan arah angin yang menuju
alat dengan spesifikasi kisaran arah angin antara 0o sampai 360o dengan
kecepatan angin sampai dengan 60 m/detik [SARPEDAL KLH, 2003b]. 2.3. Deskripsi Umum Kota Surabaya
Kota Surabaya merupakan ibukota propinsi Jawa Timur yang terletak di
koordinat 70 12’ -70 21’ lintang selatan dan 1120 36’ sampai 1120 54’ bujur timur
dengan luas wilayah ± 326.37 km2. Wilayah kota Surabaya merupakan dataran
rendah dengan ketinggian antara 0 - 50 meter di atas permukaan laut, sedangkan pada daerah pantai ketinggian berkisar antara 1-3 meter di atas permukaan laut
SUF-1 SUF-2
SUF-3
SUF-4
12
bahkan sebagian lebih rendah dari permukaan laut. Sebagian besar wilayah kota Surabaya memiliki ketinggian tanah berkisar antara 0 - 10 meter yaitu 25919.04 ha (80.72%) yang menyebar di bagian timur, utara, selatan, dan pusat kota. Pada wilayah kota lainnya memiliki ketinggian berkisar antara 10 - 20 meter (12.53%) dan di atas 20 meter dari permukaan laut (6.76%) yang terdapat pada bagian barat dan selatan kota Surabaya (Surabaya dalam Angka, 2002).
Kota Surabaya beriklim tropis dengan suhu udara yang relatif konstan
sepanjang tahun, yaitu dari 250 C pada malam hari sampai 340 C pada siang hari.
Kelembaban rata-rata antara 65 % sampai 85 %. Pola iklim di kota Surabaya dipengaruhi oleh angin muson sehingga setiap tahun terjadi dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada umumnya musim kemarau berlangsung dari bulan April sampai Oktober, sedangkan musim hujan berlangsung dari bulan Desember sampai dengan Maret. Curah hujan maksimum biasanya terjadi pada bulan Januari dan minimum terjadi pada bulan Agustus. Pada tahun 2002, arah angin terbanyak pada bulan Januari dan Pebruari adalah Barat, pada bulan Maret sampai Nopember berasal dari arah timur, dan bulan Desember dari arah barat (Surabaya dalam Angka, 2002).
Jumlah penduduk kota Surabaya sekitar 2.8 juta pada malam hari, dan
bertambah kira-kira 300 ribu penduduk yang bekerja di Surabaya dari wilayah sekitar Surabaya di pagi hari. Jenis transportasi didominasi oleh kendaraan pribadi. Berdasarkan hasil penelitian GTZ-SUTP (2000), komposisi kendaraan di Surabaya adalah 35% kendaraan umum dan 65% kendaraan pribadi. Sedangkan hasil survey Dinas Perhubungan Surabaya terhadap volume kendaraan di 40 persimpangan pada satu jam sibuk di bulan Mei dan Juni tahun 2002 menunjukkan bahwa volume kendaraan tertinggi terjadi di sekitar SUF-4 (Dinhub Surabaya, 2002).
2.4. Metode Eksplorasi Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah konsentrasi pencemar
udara yang terdiri dari PM10 dan Ozon per jam (µg/m3), dan faktor meteorologis
yang terdiri dari suhu udara per jam (0C), kecepatan angin per jam (m/detik), arah
angin per jam (derajat) pada 5 lokasi stasiun pemantau (SUF) selama satu tahun dari bulan Januari 2002 sampai Desember 2002. Data arah angin dikelompokkan
13
dalam 16 kategori (metode pengelompokkan disajikan pada Lampiran 4). Sedangkan data curah hujan (mm) yang digunakan adalah data harian pada waktu yang sama di 3 stasiun pemantau klimatologi kota Surabaya.
Tahap awal dalam menentukan model aditif spatio-temporal adalah identifikasi model dengan menggunakan metode eksplorasi data. Dari metode ini akan diketahui tentang bentuk sebaran data, pola kecenderungan data terhadap waktu, keeratan hubungan antara pencemar udara dengan faktor meteorologis, dan pola kecenderungan spatial. Untuk mengetahui pola sebaran dan kesimetrikan data digunakan diagram kotak garis. Sedangkan untuk mengetahui pola kecenderungan data terhadap waktu digunakan plot antara rataan data faktor meteorologis atau pencemar udara per bulan dengan jam pada setiap SUF dari bulan Januari sampai Desember 2002.
Untuk mengidentifikasi model deret waktu digunakan plot autokorelasi
(autocorrelation function selanjutnya disingkat ACF) dan plot autokorelasi parsial (partial autocorrelation function selanjutnya disingkat PACF). Fungsi ACF berguna untuk mengukur keeratan hubungan antara pasangan pengamatan pada waktu-(t) dengan pengamatan pada waktu-(t+k) dari proses stokastik yang sama dan hanya dipisahkan oleh selang waktu k. Sedangkan fungsi PACF berguna untuk mengukur keeratan hubungan antara pasangan pengamatan pada waktu-(t) dengan pengamatan pada waktu-(t+k) setelah hubungan linear dalam pengamatan pada waktu-(t+1) sampai waktu-(t+k-1) telah dihilangkan. Untuk mengukur tingkat keeratan hubungan antara pencemar udara dengan faktor meteorologis digunakan plot korelasi silang (cross correlation function dan disingkat CCF).
Untuk mengidentifikasi pola hubungan spasial dari pencemar udara
digunakan plot CCF dan plot hubungan antara korelasi pencemar udara antar SUF dengan jarak antar SUF. Data mempunyai hubungan spasial bila pola hubungan antara korelasi dengan jarak bernilai negatif artinya dengan korelasi antar SUF semakin kecil bila jarak antar SUF semakin jauh.
2.5. Hasil Eksplorasi Data
Hasil eksplorasi terhadap data faktor meteorologis dan pencemar udara
digunakan untuk penentuan model aditif spatio-temporal. Dari hasil eksplorasi dapat diketahui tentang pola kecenderungan faktor meteorologis dan pencemar
14
udara terhadap jam, model deret waktu pencemar udara, keeratan hubungan antara pencemar udara dengan faktor meteorologis, dan pola hubungan spasial.
2.5.1. Faktor Meteorologis
Faktor meteorologis seperti arah dan kecepatan angin, suhu udara, dan
curah hujan mempengaruhi kualitas udara dan penyebaran pencemar udara di suatu lokasi. Deskripsi faktor meteorologis di kota Surabaya sebagai berikut : a. Suhu Udara
Perbedaan suhu udara pada berbagai daerah di bumi akan mengakibatkan
perbedaan tekanan udara yang mempengaruhi pergerakan udara di dalam atmosfer. Plot antara rataan suhu udara per bulan dengan jam disajikan pada Gambar 4. Pola kecenderungan rataan suhu udara dengan jam pada semua SUF tampak mirip, dengan suhu udara terendah terjadi pada jam 6 dan suhu udara tertinggi terjadi antara jam 12 sampai jam 14.
J A M R A T A A N S U H U P E R B U L A N 24 18 12 6 1 37 34 31 28 25 22 SUF-1 J A M R A T A A N S U H U P E R B U L A N 24 18 12 6 1 37 34 31 28 25 22 SUF-2 J A M R A T A A N S U H U P E R B U L A N 24 18 12 6 1 37 34 31 28 25 22 SUF-3 J A M R A T A A N S U H U P E R B U L A N 24 18 12 6 1 37 34 31 28 25 22 SUF-4 J A M R A T A A N S U H U P E R B U L A N 24 18 12 6 1 37 34 31 28 25 22 BULAN 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 SUF-5
Gambar 4. Plot antara rataan suhu udara per bulan dengan jam di setiap SUF pada bulan Januari – Desember 2002
Pada umumnya rataan suhu udara beragam antar bulan, dengan suhu udara tertinggi terjadi pada bulan Oktober dan Nopember. Perbedaan suhu udara tertinggi pada bulan Oktober dan Nopember dengan bulan lainnya pada SUF-1
15
b. Kecepatan Angin
Kecepatan angin berperan menentukan jarak dan waktu perpindahan
pencemar udara dari sumber ke penerima. Di samping itu kecepatan angin akan menentukan derajat pengenceran pencemar udara searah dengan pergerakan angin. Plot rataan kecepatan angin per bulan selama 24 jam disajikan pada Gambar 5. Pola kecenderungan antara kecepatan angin dan suhu udara terhadap jam tampak mirip. Kecepatan angin meningkat seiring dengan meningkatnya suhu udara. Setiap SUF mempunyai pola kecenderungan kecepatan angin dengan jam yang sama, yaitu kecepatan angin terendah dan konstan terjadi antara jam 1 sampai jam 7, dan kecepatan angin tertinggi terjadi pada jam 12 atau jam 13.
J A M R A T A A N K E C . A N G I N P E R B U L A N 24 18 12 6 1 14 12 10 8 6 4 2 0 SUF-1 J A M R A T A A N K E C . A N G I N P E R B U L A N 24 18 12 6 1 14 12 10 8 6 4 2 0 SUF-2 J A M R A T A A N K E C . A N G I N P E R B U L A N 24 18 12 6 1 14 12 10 8 6 4 2 0 SUF-3 J A M R A T A A N K E C . A N G I N P E R B U L A N 24 18 12 6 1 14 12 10 8 6 4 2 0 SUF-4 J A M R A T A A N K E C . A N G I N P E R B U L A N 24 18 12 6 1 14 12 10 8 6 4 2 0 BULAN 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 SUF-5
Gambar 5. Plot antara rataan kecepatan angin per bulan dengan jam di setiap SUF pada bulan Januari – Desember 2002
Pada Gambar 4 dan Gambar 5 terlihat bahwa pola kecenderungan
kecepatan angin dan suhu udara terhadap jam tampak mirip. Besarnya kecepatan angin beragam antar SUF. Kecepatan angin pada SUF-1, SUF-2, SUF-4 lebih rendah dibandingkan dengan kecepatan angin pada SUF-3 dan SUF-5. Pada SUF-3 terdapat 2 kelompok, yaitu kelompok rendah yang terjadi pada bulan Juli sampai Agustus dan kelompok tinggi yang terjadi pada bulan Januari sampai Juni. SUF-5 mempunyai rataan kecepatan angin tertinggi dibandingkan dengan keempat SUF-lainnya, hal ini disebabkan lokasinya berada dekat pantai Kenjeran.
16
c. Arah Angin
Arah perjalanan pencemar udara dari sumber ke penerima ditentukan oleh
arah angin. Plot antara modus arah angin per bulan dengan jam disajikan pada Gambar 6. Pola kecenderungan modus arah angin dengan jam pada setiap SUF beragam antar bulan.
J A N U A R I 16 12 8 4 0 P E B R U A R I 16 12 8 4 0 M A R E T 24 18 12 6 1 16 12 8 4 0 J U L I 16 12 8 4 0 A G U S T U S 16 12 8 4 0 S E P T E M B E R 24 18 12 6 1 16 12 8 4 0 A P R I L 16 12 8 4 0 M E I 16 12 8 4 0 J A M J U N I 24 18 12 6 1 16 12 8 4 0 O K T O B E R 16 12 8 4 0 N O P E M B E R 16 12 8 4 0 J A M D E S E M B E R 24 18 12 6 1 16 12 8 4 0 SUF 3 4 5 1 2
Gambar 6. Plot antara modus arah angin per bulan dengan jam di setiap SUF
pada Januari- Desember 2002
Pada bulan Januari dan Pebruari modus arah angin umumnya berada antara arah barat dengan utara. Arah angin pada bulan Maret beragam antar jam, yaitu antara jam 1 sampai jam 8 dan antara jam 22 sampai jam 24 berada antara arah selatan dengan barat, antara jam 9 sampai 12 berada antara arah timur dengan tenggara, sedangkan antara jam 12 sampai jam 21 arah angin bervariasi antar SUF. Pada bulan April sampai Nopember, pola kecenderungan arah angin pada semua SUF tampak mirip, yaitu pada jam 1 sampai jam 9 arah angin berada antara arah selatan dengan barat, dan pada jam 10 sampai jam 24 arah angin berada antara timur dan selatan. Arah angin pada bulan Desember mirip dengan
17
arah angin pada bulan Maret, yaitu antara jam 1 sampai jam 8 dan antara jam 21 sampai jam 24 berada antara arah selatan dengan barat laut, sedangkan antara jam 9 sampai 20 arah angin bervariasi antar SUF.
d. Curah Hujan
Plot rataan curah hujan harian per bulan pada 3 stasiun pemantau di kota
Surabaya disajikan pada Gambar 7. Pola kecenderungan rataan curah hujan pada 3 stasiun tampak mirip. Pada bulan Januari sampai Juni tampak curah hujan cenderung menurun, pada bulan Juni sampai Oktober tidak ada curah hujan, dan pada bulan Nopember sampai Desember curah hujan cenderung meningkat. Perbedaan rataan curah hujan di 3 stasiun pemantau tidak besar. Pada umumnya musim kemarau berawal pada bulan Mei dan berlangsung sampai bulan Oktober. Peralihan antara musim kemarau dengan musim hujan terjadi pada bulan Nopember. Musim hujan terjadi pada bulan Desember sampai bulan Maret.
Bulan Ra ta a n Cu ra h H u ja n p er B u la n 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 18 12 6 0 Variable Juanda Pe rak -1 Pe rak -2
Gambar 7. Plot rataan curah hujan harian per bulan di 3 stasiun pemantau pada bulan Januari – Desember 2002
2.5.2. Pencemar Udara PM10
Deskripsi tentang pola sebaran PM10 antar SUF dari bulan Januari sampai
Desember 2002 dan identifikasi model deret waktu untuk PM10 sebagai berikut :
a. Pola Sebaran Konsentrasi PM10
Diagram kotak-garis konsentrasi PM10 di lima stasiun pemantau (SUF)
mulai bulan Januari sampai Desember 2002 disajikan pada Gambar 8. Pada umumnya pola sebaran data di setiap SUF tidak simetrik dengan banyak pencilan di nilai besar. Pada Gambar 8 tampak lebar kotak kuartil antar SUF tidak sama,
18
hal ini menunjukkan keragaman data antar SUF tidak homogen. Oleh karena itu
agar konsentrasi PM10 antar SUF mempunyai pola sebaran yang simetrik dengan
ragam yang lebih homogen, maka dilakukan transformasi.
K o n s e n tr a s i P M -1 0 600 300 0 600 300 0 SUF-5 SUF-4 SUF-3 SUF-2 SUF-1 600 300 0 SUF-5 SUF-4 SUF-3 SUF-2
SUF-1 SUF-1 SUF-2 SUF-3SUF-4SUF-5 SUF-1SUF-2 SUF-3 SUF-4SUF-5
Bulan = 1 Bulan = 2 Bulan = 3 Bulan = 4
Bulan = 5 Bulan = 6 Bulan = 7 Bulan = 8
Bulan = 9 Bulan = 10 Bulan = 11 Bulan = 12
Gambar 8. Diagram kotak garis konsentrasi PM10 di setiap SUF pada
bulan Januari sampai Desember 2002
Bentuk transformasi data ditentukan dengan metode transformasi Box-Cox dan hasilnya disajikan pada Gambar 9. Nilai lamda sebesar 0.08 dekat dengan 0, sehingga bentuk transformasi yang tepat adalah ln (logaritma bilangan dasar e).
Diagram kotak-garis konsentrasi PM10 yang telah ditransformasi ln disajikan
pada Gambar 10. Pola sebaran pada data transformasi sudah simetrik dengan pencilan yang menyebar baik di nilai besar maupun nilai kecil. Keragaman antar SUF pada data transformasi juga sudah lebih homogen. Secara umum rataan
konsentrasi PM10 pada SUF-1 SUF-3, dan SUF-5 lebih rendah dibandingkan
rataan pada SUF-2, dan SUF-4. Hal ini wajar mengingat SUF-2 terletak di kawasan pergudangan pelabuhan Tanjung Perak, sedangkan SUF-4 terletak pada jalur penghubung antara kota Surabaya dengan kota Sidoarjo dan kota Malang, dimana aktifitas industri atau transportasi pada kedua SUF ini lebih tinggi dibandingkan pada SUF-1, SUF-3 dan SUF-5.
19 L ambda S tD e v 3 2 1 0 -1 140 120 100 80 60 40 20 0 Lowe r CL Up pe r CL Lim it L am b d a 0.08 ( u s in g 95.0% co n fid e n ce ) Es t im ate 0.08 L o w e r CL 0.06 Up p e r CL 0.09 Ro u n d e d V alu e
Gambar 9. Transformasi Box-Cox untuk PM10
K o n s e n tr a s i L n ( P M -1 0 ) 6 3 0 6 3 0 SUF-5 SUF-4 SUF-3 SUF-2 SUF-1 6 3 0 SUF-5 SUF-4 SUF-3 SUF-2
SUF-1 SUF-1 SUF-2 SUF-3 SUF-4 SUF-5 SUF-1 SUF-2SUF-3 SUF-4 SUF-5
Bulan = 1 Bulan = 2 Bulan = 3 Bulan = 4
Bulan = 5 Bulan = 6 Bulan = 7 Bulan = 8
Bulan = 9 Bulan = 10 Bulan = 11 Bulan = 12
Gambar 10. Diagram kotak garis logaritma konsentrasi PM10 di setiap SUF pada
bulan Januari sampai Desember 2002
b. Pola Kecenderungan Rataan konsentrasi PM10 per Bulan dengan Jam
Pola sebaran rataan konsentrasi PM10 selama 24 jam di lima SUF pada
bulan Januari sampai Desember 2002 disajikan pada Gambar 11. Secara umum
pola kecenderungan konsentrasi PM10 dengan jam pada setiap SUF tampak mirip,
yaitu mempunyai 2 puncak yang terdapat pada jam 8 dan jam 18. Kedua waktu puncak tersebut terutama disebabkan oleh rutinitas transportasi yang berhubungan
dengan waktu berangkat kerja dan pulang kerja. Rataan konsentrasi PM10 tertinggi
20
terdapat pada SUF-4, akan tetapi antara jam 15 sampai jam 19 di bulan Juni sampai Oktober 2002, rataan tertinggi terdapat pada SUF-2.
J A N U A R I 240 160 80 0 P E B R U A R I 240 160 80 0 M A R E T 24 18 12 6 1 240 160 80 0 J U L I 240 160 80 0 A G U S T U S 240 160 80 0 S E P T E M B E R 24 18 12 6 1 240 160 80 0 A P R I L 240 160 80 0 M E I 240 160 80 0 J A M J U N I 24 18 12 6 1 240 160 80 0 O K T O B E R 240 160 80 0 N O P E M B E R 240 160 80 0 J A M D E S E M B E R 24 18 12 6 1 240 160 80 0 SUF 3 4 5 1 2
Gambar 11. Plot antara rataan konsentrasi PM10 per bulan dengan jam di setiap
SUF pada Januari- Desember 2002
Rataan konsentrasi PM10 antar bulan beragam, pada bulan Januari,
Pebruari, Maret, dan Desember relatif lebih rendah dibandingkan dengan rataan di bulan lainnya. Hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi pada bulan tersebut seperti dijelaskan pada subbab 2.5.1. butir (d). Musim hujan menyebabkan partikel-partikel berukuran kecil mengalami proses penyisihan dari atmosfer melalui mekanisme deposisi basah dan kering sehingga konsentrasi
PM10 pada musim hujan mengalami penurunan (Chamida, 2004).
c. Plot Autokorelasi dan Plot Autokorelasi Parsial
Plot ACF dan PACF untuk konsentrasi PM10 disajikan pada Gambar 12.
Setiap SUF mempunyai plot ACF dan PACF yang mirip. Pada plot ACF tampak nilai ACF yang turun lambat pada lag 24, 48, dan kelipatan 24 lainnya. Hal ini menunjukkan terdapat pengaruh musiman dengan panjang musiman 24 jam.
21
Sedangkan pada plot PACF tampak nilai PACF yang nyata di lag 1, 2 dan sekitar lag 24. Nilai PACF yang nyata di sekitar lag 24 menunjukkan adanya pengaruh musiman. Dari plot ACF dan PACF ini diduga model deret waktu untuk
konsentrasi PM10 pada setiap SUF adalah autoregresif lag-(2) atau disingkat
AR(2) dengan musiman 24 jam.
L A G A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F -1 L A G P A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F -1 L A G A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 - 0.2 - 0.4 - 0.6 - 0.8 - 1.0 S U F -2 L A G P A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F -2 L A G A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F -3 L A G P A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F -3 L A G A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F -4 L A G P A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F -4 L A G A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F -5 L A G P A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F -5
22
2.5.3. Pencemar Udara Ozon
Deskripsi tentang pola sebaran Ozon antar SUF dari bulan Januari sampai
Desember 2002 dan identifikasi model deret waktu untuk Ozon sebagai berikut : a. Pola Sebaran Konsentrasi Ozon
Diagram kotak-garis konsentrasi Ozon di lima stasiun pemantau (SUF) mulai bulan Januari sampai Desember 2002 disajikan pada Gambar 13. Pada umumnya pola sebaran konsentrasi Ozon di setiap SUF tidak simetrik dengan banyak pencilan di nilai besar. Lebar kotak kuartil antar SUF tidak sama, hal ini menunjukkan keragaman data antar SUF tidak homogen. Oleh karena itu agar konsentrasi Ozon antar SUF mempunyai pola sebaran yang simetrik dengan ragam yang lebih homogen, maka dilakukan transformasi.
Bentuk transformasi data ditentukan dengan metode transformasi Box-Cox dan hasilnya disajikan pada Gambar 14. Nilai lamda sebesar 0.12 dekat dengan 0, sehingga bentuk transformasi yang tepat adalah ln. Diagram kotak-garis konsentrasi Ozon yang telah ditransformasi ln disajikan pada Gambar 15. Pola sebaran data transformasi sudah simetrik dengan pencilan yang menyebar baik di nilai besar maupun nilai kecil. Secara umum rataan konsentrasi Ozon pada SUF-5 dan SUF-2 lebih tinggi dibandingkan ketiga SUF lainnya. Sedangkan rataan konsentrasi Ozon pada SUF-4 paling rendah dibandingkan dengan SUF-lainnya.
K o n s e n tr a s i O z o n 240 120 0 240 120 0 SUF-5 SUF- 4 SUF-3 SUF- 2 SUF- 1 240 120 0 SUF- 5 SUF-4 SUF- 3 SUF-2
SUF-1 SUF-1 SUF-2 SUF-3SUF- 4 SUF-5 SUF-1SUF-2 SUF- 3 SUF-4SUF- 5
Bulan = 1 Bulan = 2 Bulan = 3 Bulan = 4
Bulan = 5 Bulan = 6 Bulan = 7 Bulan = 8
Bulan = 9 Bulan = 10 Bulan = 11 Bulan = 12
Gambar 13. Diagram kotak garis konsentrasi Ozondi setiap SUF pada bulan
23 L ambda S tD e v 3 2 1 0 -1 400 300 200 100 0 Lowe r CL Upp e r CL Lim it L am b d a 0.12 (u s in g 95.0% co n fid e n ce ) Es tim at e 0.12 L o w e r C L 0.10 Up p e r C L 0.15 Ro u n d e d V alu e
Gambar 14. Transformasi Box-Cox untuk Ozon
K o n s e n tr a s i L n ( O z o n ) 6 3 0 6 3 0 SUF-5 SUF-4 SUF-3 SUF-2 SUF-1 6 3 0 SUF-5 SUF-4 SUF-3 SUF-2
SUF-1 SUF-1SUF-2 SUF-3 SUF-4 SUF-5 SUF-1 SUF-2SUF-3 SUF-4 SUF-5
Bulan = 1 Bulan = 2 Bulan = 3 Bulan = 4
Bulan = 5 Bulan = 6 Bulan = 7 Bulan = 8
Bulan = 9 Bulan = 10 Bulan = 11 Bulan = 12
Gambar 15. Diagram kotak garis logaritma konsentrasi Ozondi setiap SUF pada
bulan Januari sampai Desember 2002
b. Pola Kecenderungan Rataan Konsentrasi Ozon per Bulan dengan Jam
Plot antara rataan konsentrasi Ozon per bulan dengan jam di setiap SUF
pada bulan Januari sampai Desember 2002 disajikan pada Gambar 16. Secara umum pola kecenderungan rataan Ozon dengan jam di setiap SUF tampak mirip. Rataan konsentrasi Ozon bernilai rendah pada pagi hari antara jam 1 sampai jam 6 dan pada malam hari antara jam18 sampai jam 24. Rataan Ozon meningkat tajam antara jam 7 sampai jam 10 dan mencapai nilai tertinggi antara jam 10 sampai jam 12, kemudian menurun perlahan-lahan sampai jam 24. Hal ini disebabkan Ozon
24
terbentuk dari reaksi-reaksi yang melibatkan beberapa polutan primer (NO, CO, dan lain-lain) dengan bantuan sinar matahari, sehingga konsentrasi Ozon akan meningkat ketika suhu udara juga meningkat.
Pada hampir setiap jam, SUF-5 mempunyai rataan Ozon yang tertinggi
dibandingkan dengan rataan Ozon pada empat SUF lainnya. Sedangkan SUF-4 mempunyai ratan Ozon terendah, kecuali pada bulan Desember antara jam 10 sampai 15 mempunyai rataan Ozon paling tinggi dibandingkan dengan rataan Ozon pada empat SUF lainnya. Pada bulan Januari sampai Juli rataan Ozon lebih rendah dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Mulai bulan Agustus tampak ada peningkatan rataan konsentrasi Ozon.
J A N U A R I 160 120 80 40 0 P E B R U A R I 160 120 80 40 0 M A R E T 160 120 80 40 0 J U L I 160 120 80 40 0 A G U S T U S 160 120 80 40 0 S E P T E M B E R 160 120 80 40 0 A P R I L 160 120 80 40 0 M E I 160 120 80 40 0 J A M J U N I 24 18 12 6 1 160 120 80 40 0 O K T O B E R 160 120 80 40 0 N O P E M B E R 160 120 80 40 0 J A M D E S E M B E R 24 18 12 6 1 160 120 80 40 0 SUF 3 4 5 1 2
Gambar 16. Plot antara rataan konsentrasi Ozonper bulan dengan jam di setiap
SUF pada Januari- Desember 2002 c. Plot ACF dan Plot PACF
Plot ACF dan PACF untuk konsentrasi Ozon disajikan pada Gambar 17.
Setiap SUF mempunyai plot ACF dan PACF yang mirip. Dari plot ACF tampak bentuk nilai ACF yang turun lambat pada lag 24, 48, dan kelipatan 24 lainnya.
25
Hal ini menunjukkan terdapat pengaruh musiman dengan panjang musiman 24 jam. Sedangkan dari plot PACF tampak nilai PACF nyata di lag 1, 2 dan sekitar lag 24. Nilai PACF yang nyata di sekitar lag 24 menunjukkan adanya pengaruh musiman. Dari plot ACF dan PACF ini diduga model deret waktu untuk konsentrasi Ozon pada setiap SUF adalah AR(2) dengan musiman 24.
L A G A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F - 1 L A G P A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F -1 L A G A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F - 2 L A G P A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F -2 L A G A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F - 3 L A G P A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F -3 L A G A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F - 4 L A G P A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F -4 L A G A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F - 5 L A G P A C F 6 0 4 8 3 6 2 4 1 2 1 1 . 0 0 . 8 0 . 6 0 . 4 0 . 2 0 . 0 - 0 . 2 - 0 . 4 - 0 . 6 - 0 . 8 - 1 . 0 S U F -5
26
2.5.4. Hubungan antara Pencemar Udara dengan Faktor Meteorologis
Untuk mengetahui keeratan hubungan antara pencemar udara dengan
faktor meteorologis digunakan plot CCF. Plot CCF antara konsentrasi PM10
dengan suhu udara dan kecepatan angin disajikan pada Gambar 18, sedangkan untuk Ozon disajikan pada Gambar 19. Nilai CCF lag-(k) menunjukkan korelasi
antara konsentrasi PM10 pada waktu-t dengan suhu udara atau kecepatan angin
pada waktu-(t+k). 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-1 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-1 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-2 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-2 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-3 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-3 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-4 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-4 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-5 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-5
Gambar 18. (a)-(e) Plot CCF antara PM10 dan suhu udara, (f)-(j) Plot CCF antara
PM10 dengan kecepatan angin pada tiap SUF
(a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j)
27 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-1 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-1 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-2 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-2 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-3 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-3 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-4 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-4 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-5 0 -1 -2 -3 -4 -5 -6 -7 -8 -9 -10 -11 -12 L A G 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 CC F SUF-5
Gambar 19. (a)-(e) Plot CCF antara Ozon dengan suhu udara, (f)-(j) Plot CCF antara Ozon dengan kecepatan angin pada setiap SUF
Pada Gambar 18 tampak CCF antara PM10 dengan suhu udara dan
kecepatan angin pada setiap SUF mempunyai pola yang sama. Korelasi antara
PM10 dengan kecepatan angin lebih tinggi dari pada dengan suhu udara. Dengan
demikian konsentrasi PM10 lebih cenderung dipengaruhi oleh kecepatan angin dari
pada suhu udara. Nilai korelasi antara konsentrasi PM10 dengan kecepatan angin
bernilai negatif dan korelasi tertinggi terjadi pada lag-(-2) atau lag-(-1), artinya peningkatan kecepatan angin pada waktu-(t-2) atau waktu-(t-1) cenderung
(a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j)
28
menurunkan konsentrasi PM10 pada waktu-(t). Pola hubungan ini disebabkan
kecepatan angin bersama-sama dengan arah angin membantu penyebaran
konsentrasi PM10 dari satu lokasi ke lokasi lainnya
Pada Gambar 19 tampak pola CCF antara Ozon dengan suhu udara dan kecepatan angin pada setiap SUF mempunyai pola yang sama. Berbeda dengan
PM10, Ozon lebih besar dipengaruhi oleh suhu udara dari pada kecepatan angin.
Hal ini tampak dari nilai CCF antara Ozon dengan suhu udara lebih tinggi dari pada dengan kecepatan angin. Suhu udara pada lag-(0) paling berpengaruh terhadap konsentrasi Ozon, artinya suhu udara pada waktu-(t) berpengaruh positif
terhadap konsentrasi Ozonwaktu-(t). Pola hubungan ini disebabkan sinar matahari
berperan penting dalam proses pembentukan Ozon. 2.5.5. Hubungan Spatial antar Pencemar Udara
Plot CCF untuk PM10 antar SUF disajikan pada Gambar 20 dan untuk
Ozon disajikan pada Gambar 21. Pada kedua gambar tampak nilai CCF tertinggi
terdapat pada lag-(0), artinya konsentrasi PM10 dan Ozon antar SUF memiliki
hubungan yang erat pada waktu-(t) yang sama. Nilai CCF pada Ozon umumnya
lebih tinggi dibandingkan pada PM10. Hal ini kemungkinan disebabkan Ozon
berbentuk gas yang lebih mudah menyebar di udara dari pada PM10 yang
berbentuk partikel debu halus berukuran kurang dari 10 mikron.
Jarak antara dua stasiun pemantau ditentukan dengan menggunakan jarak
geodesi (Smith dan Kolenikov 2004). Misalkan
(
φ1,θ1)
dan(
φ2,θ2)
masing-masing adalah koordinat (longitude, latitude) dari dua stasiun pemantau, maka jarak antara kedua stasiun adalah :
Jarak =12732.4 arcsin
( )
B (km), dengan(
)
(
)
(
)
2 2 1 2 2 2 1 1 2 2 2 1 1 2 sin sin sin cos sin cos cos cos cos cos 4B = θ φ − θ φ + θ φ − θ φ + θ − θ .Plot antara nilai CCF dengan jarak antar SUF dan persamaan garis
regresinya untuk PM10 disajikan pada Gambar 22(a) dan untuk Ozon disajikan
pada Gambar 22(b). Dari kedua Gambar ini tampak terdapat hubungan yang erat antara nilai CCF dengan jarak antar SUF, yaitu bila jarak antar SUF semakin jauh
maka nilai CCF antar SUF semakin kecil. Dengan demikian konsentrasi PM10 dan
29
mempunyai hubungan spatial. Model yang terbaik untuk menerangkan hubungan
spatial pada PM10 dan Ozon adalah model eksponensial.
24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-1 vs SUF-2 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-2 vs SUF-4 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-1 vs SUF-3 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-2 vs SUF-5 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-1 vs SUF-4 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-3 vs SUF-4 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-1 vs SUF-5 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-3 vs SUF-5 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-2 vs SUF-3 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-4 vs SUF-5
30 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-1 vs SUF-2 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-2 vs SUF-4 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-1 vs SUF-3 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-2 vs SUF-5 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-1 vs SUF-4 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-3 vs SUF-4 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-1 vs SUF-5 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-3 vs SUF-5 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-2 vs SUF-3 24 18 12 6 0 -6 -12 -18 -24 L A G 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 -0.6 C C F SUF-4 vs SUF-5
31
(a) (b)
Gambar 22. Plot antara CCF dengan jarak antar SUF dan persamaan garis
regresinya untuk (a) PM10 dan (b) Ozon
2.6. Simpulan
Pada data konsentrasi PM10 dan Ozon terdapat korelasi temporal dengan
model deret waktu AR(2) dan mengandung pengaruh musiman dengan periode 24
jam. Di samping itu konsentrasi PM10 dan Ozon pada waktu-(t) yang sama
mempunyai hubungan spatial yang erat. Dengan demikian pada data PM10 dan
Ozon terdapat korelasi temporal dan korelasi spatial dan disebut sebagai data spatio-temporal.
Konsentrasi PM10 antar bulan beragam, pada musim hujan konsentrasinya
lebih rendah dibandingkan pada musim kemarau. Konsentrasi PM10 juga
dipengaruhi oleh kecepatan angin pada lag-(-1) atau lag-(-2) dengan korelasinya bernilai negatif. Sedangkan konsentrasi Ozon dipengaruhi oleh suhu udara pada lag-(0) dengan korelasinya bernilai positif. Sehingga faktor meteorologis berperan
penting dalam menentukan konsentrasi PM10 dan Ozon di suatu lokasi.
Berdasarkan uraian di atas, maka pemodelan untuk PM10 dan Ozon di kota
Surabaya adalah menggabungkan model deret waktu dengan model spatial, dan menambahkan faktor meteorologis yang berpengaruh sebagai peubah penjelas.
Model ini dapat digunakan untuk menduga PM10 dan Ozon lokasi yang tidak
terdapat stasiun pemantau kualitas udara pada waktu tertentu.
y = 0.888e-0.103x R2 = 0.5444 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 3 4 5 6 7 8 9 10 J a r a k C C F y = 1.133e-0.1877x R2 = 0.7632 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 3 4 5 6 7 8 9 10 J a r a k C C F
32
Daftar Pustaka
Biro Pusat Statistik. 2002. Surabaya dalam Angka 2002. Jakarta : Biro Pusat Statistik.
Chamida. 2004. Strategi Pengendalian Pencemaran Udara berupa Kebijakan
berdasarkan Pemanfaatan Model Matematik Pencemar Udara PM10 di Kota
Surabaya [tesis]. Surabaya : Pascasarjana Studi Teknik Lingkungan ITS. [Din LH Surabaya] Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya. 2002. Laporan
evaluasi : Hasil pemantauan kualitas udara ambien tahun 2001. Surabaya : Din LH Surabaya
[Dinhub Surabaya] Dinas Perhubungan Kota Surabaya. 2002. Laporan kegiatan : Perhitungan dan analisa persimpangan yang dilengkapi dengan APILL maupun yang direncanakan. Surabaya : Dinhub Surabaya.
[GTZ-SUTP]. GTZ-Sustainable Urban Transportation Project. 2000.
Transportasi yang Berkelanjutan dan Kualitas Udara di Surabaya. Surabaya : Bappeda KMS.
[KLH] Kementrian Lingkungan Hidup. 2002. Status Lingkungan Hidup Indonesia
2002. Jakarta : KLH.
[SARPEDAL KLH] Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan Kementrian Lingkungan Hidup. 2003a. Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
2001-2003. Jakarta : KLH.
[SARPEDAL KLH] Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan Kementrian Lingkungan Hidup. 2003b. Air Quality Monitoring 2003. Jakarta : KLH.
Smith RL, Kolenikov S. 2004. Spatiotemporal modeling of PM2.5 data with
missing values. J Geophysical Research 108 STS :11-1 - 11-11.
Soedomo M. 2001. Pencemaran Udara. Kumpulan Karya Ilmiah. Bandung : Penerbit ITB.