• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Pati-Gula-Sukrokimia Kel 3 (Progres 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Pati-Gula-Sukrokimia Kel 3 (Progres 1)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Teknologi Hari/Tanggal :

Pati, Gula, dan Gol/Kel : P4/03

Sukrokimia Dosen : Dr. Farah Fahma, S.TP, M.Si

Asisten :

1. Vairul Dwi N. F34120061

2. Faiza Ayu L. F34120141

PRODUKSI DAN KARAKTERISASI PRODUK BERBASIS GULA

Oleh :

Tiara Kusumaningtyas F34130104

Choirunnisa F34130105

Eraquan Luthfi Ardiansyah F34130106

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016

(2)

LATAR BELAKANG Pendahuluan

(3)

METODOLOGI Alat dan Bahan

(4)

PEMBAHASAN

Karakteristik komoditi pertanian sangat mempengaruhi hasil dari produk pertanian dan agroindustri, karena karakter dari komoditi pertanian dapat digunakan sebagai parameter awal terhadap pencampuran dengan komoditi lain yang terdiri atas elemen-elemen agroindustri (Suprapto 2010). Mengetahui karakteristik produk pertanian dan agroindustri juga bermanfaat untuk mengetahui teknik penyimpanan yang tepat bagi produk tersebut, seperti tempat penyimpanan curah poduk pertanian dan agroindustri serta mengetahui durasi penyimpanannya. Dengan mengetahui karakter tersebut, maka mudah untuk mengolah kembali produk tersebut untuk digunakan kembali, seperti mengetahui karakter sifat fisik suatu produk pertanian melalu densitas dan densitas kamba, sudut curah, koefisien pindah panas, serta warna, bentuk, ukuran.

Beberapa karakteristik sifat fisik biji-bijian yang dapat dilihat sebagai ukuran mutu serealia, diantaranya densitas kamba, dimensi (ukuran), koefisien gesekan, panas jenis, koefisien difusifitas, dll (Syarief 1988). Perubahan biokimia yang paling penting selama pennyimpanan adalah respirasi. Serealia akan tetap berespirasi seteah dipanen. Proses ini akan mengakibatkan metabolisme karbohidrat dan lemak akan menghasilkan CO2, air, dan panas. Suhu yang lebih tinggi cenderung mempercepat pernafasan. Sedangkan air dan panas yang ditimbulkan oleh pernafasan akan memudahkan tumbuhnya mikroorganisme dan hama di samping meningkatkan kecepatan pernafasan.

Perubahan-perubahan dapat terjadi pada komponen karbohidrat biji serealia selama penyimpanan, yaitu hidrolisa pati karena adanya enzim amilase, kurangnya glukosa, terbentuknya bau asam dan bau apek dari karbohidrat karena adanya kegiatan mikroorganisme, dan reaksi kecoklatan bukan karena enzim (non-enzymic browning). Penyimpanan serealia cenderung mengurangi kemampuan berkecambah. Pengaruh ini meningkat karena penyimpanan dengan suhu dan kadar air yang tinggi. Pencemaran kapang juga menambah hilangnya daya berkecambah. Perubahan gizi yang terjadi selama penyimpanan serealia ialah perubahan karbohidrat. Daya cerna serealia yang baru dipanen kurang dapat dicerna dibandingkan serealia yang telah disimpan terlebih dahulu. Hal ini disebabkan karena adanya kegiatan enzim α-amilase. Protein mengalami banyak perubahan selama penyimpanan serealia. Daya larut dan daya cerna protein jagung, kedelai, dll oleh enzim pepsin dan tripsin menurun selama penyimpanan.

Menurut SNI (2008), beras didefinisikan sebagai hasil utama yang diperoleh dari proses penggilingan gabah hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) yang seluruh lapisan sekamnya terkelupas dan seluruh atau sebagian lembaga dan lapisan bekatulnya telah dipisahkan. Syarat mutu secara umum dari beras adalah:

a. bebas hama dan penyakit;

b. bebas bau apek, asam atau bau asing lainnya; c. bebas dari campuran dedak dan bekatul;

d. bebas dari bahan kimia yang membahayakan dan merugikan konsumen. Sedangan syarat mutu khusus disajikan dalam Tabel 1.

(5)

Sumber: SNI 6128:2008Menurut Yulianingsih R (2012), rasio panjang terhadap lebar tergantung dari varietasnya. Varietas Japonica memiliki ciri-ciri pendek dan tebal atau bulat. Sedangkan varietas Indica lebih panjang dan lebih tipis. Klasifikasi ukuran atau panjang beras terbagi menjadi empat, yakni sangat panjang (ukuran >7,50 mm), panjang (ukuran 6,61-7,50 mm), medium (5,51-6,60 mm), dan pendek (<5,50 mm). Sedangkan berdasarkan rasio panjang/lebar terbagi menjadi tiga, yakni ramping/slender (rasio >3), medium (rasio 2,1-3), dan bulat atau bold (rasio <= 2).

Tinggi rendahnya mutu beras tergantung kepada beberapa faktor, yaitu spesies dan varietas, kondisi lingkungan, waktu pertumbuhan, waktu dan cara pemanenan, metode pengeringan, dan cara penyimpanan. Perbedaan varietas dapat diidentifikasi oleh ukuran (panjang, lebar, dan tebal) beras. Sehingga ukuran tersebut termasuk faktor yang mempengaruhi mutu beras (Koswara S 2009).

Densitas merupakan rasio antara berat terhadap volume contoh yang menunjuk-kan tingkat kepadatan suatu bahan (Gilang et al 2013). Menurut Efendi (2010), densitas merupakan karekteristik serealia yang sering kali digunakan untuk merencanakan suatu gudang penyimpanan,volume alat pengolahan atau sarana transportasi, menentukan harga, dan sebagainya. Adapun pengukuran densitas pada praktikum adalah densitas kamba dan densitas nyata. Densitas kamba adalah perbandingan berat bahan dengan volume yang ditempatinya termasuk ruang kosong diantara butiran bahan, sedangkan densitas nyata merupakan perbandingan berat bahan terhadap volume yang ditempatinya dan tidak termasuk ruang kosong diantaranya (Syarief dalam Efendi 2010). Setiap bahan memiliki densitas yang berbeda-beda sesuai dengan kadar air bahan (Syarief dalam Efendi 2010). Demikian hal tersebut dapat menjadi acuan penetapan mutu suatu bahan sesuai atau tidak untuk diproses ketahap olahan.

Sistem warna Hunter dikembangkan oleh Hunter pada tahun 1952. Pengukuran warna dengan metode ini lebih cepat dengan ketepatan yang cukup baik. Pada sistem ini term penilaian terdiri atas 3 parameter, yaitu L, a, dan b. Lokasi warna pada sistem ini ditentukan dengan koordinat L*, a*, dan b*. Notasi L*: 0 (hitam); 100 (putih) menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam. Notasi a* sebagai warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a* (positif) dari 0 sampai +80 untuk warna merah dan nilai –a* (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b* sebagai warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b* (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna biru-kuning dan nilai – b* (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna biru (Suyatna 2009).

(6)

Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan komoditi perdagangan utama. Gula paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat. Gula digunakan untuk mengubah rasa menjadi manis pada makanan atau minuman. Gula sederhana akan menyimpan energi untuk sel. Gula sebagai sukrosa diperoleh dari nira tebu, bit gula, atau aren. Selain itu, terdapat sumber-sumber gula minor lainnya, seperti kelapa. Proses untuk menghasilkan gula mencakup tahap ekstraksi (pemerasan) kemudian dilanjutkan dengan proses pemurnian melalui distilasi (penyulingan).

Gula memiliki bentuk, aroma, dan fungsi yang berbeda. Terdapat jenis-jenis gula, salah satunya adalah gula merah. Gula merah adalah gula yang berwarna kekuningan atau kecoklatan. Gula merah terbuat dari cairan nira yang dikumpulkan dari pohon kelapa, aren, tebu, dan lontar. Nira merupakan cairan manis yang terdapat di dalam bunga tanaman aren, kelapa, tebu, dan lontar yang pucuknya belum membuka dan diperoleh dengan cara penyadapan. Cairan nira yang dikumpulkan kemudian direbus secara perlahan hingga mengental kemudian dicetak dan didinginkan. Setelah melalui proses pendinginan, maka gula merah siap dikonsumsi atau dijual (Rahmadianti 2012).

Sebagian besar gula merah berwarna coklat sampai coklat kehitaman serta mudah lembek. Hal ini kemungkinan akibat terjadinya kegosongan selamaproses pengolahan, disamping nira yang kurang baik (Herman 1987). Pembentukan warna gula merah dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kondisi bahan baku (nira) dan proses pembuatannya. Kondisi nira yang dimaksud adalah kondisi nira (segar atau asam) dan komposisi kimia nira (kadar air, protein, asam organik, dan lemak). Sedangkan tahapan prosesnya adalah suhu proses, pengadukan selama pemasakan, serta kondisi kerbersihan proses (sanitasi) dan alat-alat yang digunakan (Nurlela 2012).

Prinsip pembutan gula merah adalah menguapkan air dalam nira sampai kekentalan tertentu, kemudian nira kental dicetak menggunakan cetakan (Suhardiyono 1991). Tahap awal pembuatan gula merah adalah proses penggilingan batang tebu untuk mengekstraksi nira semaksimal mungkin. Proses ini dilakukan dengan menggunakan mesin giling yang digerakkan oleh diesel yang dihubungkan dengan sabuk transmisi atau belt. Peralatan giling dibuat dari besi yang terdiri dari 2 silinder bergerigi yang bergerak berlawanan arah sehingga batang tebu hancur karena terjepit diantara dua silinder. Penggilingan tebu akan menghasilkan ekstrak nira tebu (Lesthari 2006).

Nira yang telah terekstrak kemudian disaring menggunakan kain penyaring untuk memisahkan kotoran seperti potongan ranting, daun kering, dan serangga. Nira

(7)

hasil penyaringan dimasukkan ke dalam wajan kemudian dipanaskan pada suhu sekitar 110oC selama 20-30 menit sambil diaduk. Suhu yang optimal untuk pemanasan nira adalah 110oC-120oC. Apabila suhu yang digunakan terlalu tinggi, maka akan terjadi proses karamelisasi berlebihan dan dapat menyebabkan gula menjadi gosong. Pengadukan perlu dilakukan untuk mempercepat penguapan air dari nira dan membentuk kristal gula yang kompak, serta menghasilkan warna gula yang seragam (Sagala dalam Lesthari 2006).

Pada pemasakan dengan suhu tinggi menyebabkan kotoran halus akan terapung bersama dengan buih nira. Buih-buih yang timbul selama proses dapat dikurangi dengan melakukan pengadukan secara terus-menerus serta dapat ditambahkan parutan kelapa, minyak kelapa, atau kemiri yang dihaluskan. Bahan-bahan ini ditambahkan untuk menurunkan tegangan permukaan antara buih dan cairan nira (Palungkun 1993).

Pemanasan nira dihentikan apabila nira sudah mulai pekat dan berwarna kecoklatan serta buih-buih nira sudah menurun. Kecukupan pemanasan sangat mempengaruhi mutu gula merah yang dihasilkan. Apabila waktu pemanasan terlalu cepat, akan menghasilkan gula merah yang lembek dan mudah meleleh (Sardjono 1986). Nira pekat yang telah masak kemudian dituangkan ke dalam cetakan yang telah dibasahi air untuk mempermudah pelepasan gula merah. Alat pencetakan umumnya berupa tempurung kelapa atau batang bambu (Dyanti 2002).

Mutu gula merah ditentukan terutama dari rasa dan penampilannya, yaitu bentuk, warna, kekeringan, dan kekerasannya. Gula yang berwarna lebih cerah dan agak keras lebih disukai serta memiliki harga jual yang lebih tinggi. Gula merah memiliki struktur dan tekstur yang kompak, tidak keras sehingga mudah dipatahkan, serta terdapat kesan empuk (Santoso 1993). Mutu gula tebu secara rinci terdapat dalam SNI 01-6237-2000 yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). Tabel 1. Spesifiikasi Persyaratan Mutu Gula Merah Tebu

No Jenis Uji Satuan Persyaratan

Mutu I Mutu II 1 Keadaan -bau -rasa -warna -penampakan -Khas Khas Coklat muda sampai tua Tidak berjamur Khas Khas Coklat muda sampai tua Tidak berjamur 2 Bagian yang tak larut dalam

air, b/b

% Maks 1.0 Maks 5.0

3 Air, b/b % Maks 8.0 Maks 10.0

4 Gula (dihitung sebagai sakarosa), b/b

% Min 65 Min 60

5 Gula pereduksi (dihitung sebagai glukosa), b/b

% Maks 11 Maks 14

(8)

pengawet -residu -benzoat mg/kg mg/kg Maks 20 Maks 200 Maks 20 Maks 200 7 Cemaran logam -timbal (Pb) -tembaga (Cu) -seng (Zn) -timah (Sn) -raksa (Hg) mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks 2.0 Maks 2.0 Maks 40.0 Maks 40.0 Maks 0.03 Maks 2.0 Maks 2.0 Maks 40.0 Maks 40.0 Maks 0.03

8 Cemaran arsen mg/kg Maks 0.1 Maks 0.1

Menurut Wirioatmodjo (1984), sebagai komoditi pertanian, gula merah memiliki ciri daya simpan yang relatif singkat karena mudah menyerap air sehingga mudah lembek. Berdasarkan warna gula merah, gula merah yang memiliki warna cerah dianggap memiliki kualitas yang lebih baik (Nurlela 2002). Warna gula merah ditentukan oleh mutu nira yang digunakan. Nira yang telah terfermentasi akan mengandung asam dan menyebabkan gula pereduksinya relatif tinggi. Menurut Shallenberg et al. Dalam Nurlela (2002), kandungan gula pereduksi berperan penting dalam proses pencoklatan pada gula merah. Hal ini karena gula yang siap melakukan reaksi pencoklatan adalah gula pereduksi, sedangkan gula nonpereduksi harus mengalami perubahan menjadi gula pereduksi terlebih dahulu.

Reaksi pencoklatan nonenzimatis yang diduga terjadi pada proses pembuatan gula merah adalah reaksi maillard dan karamelisasi. Proses ini terjadi disebabkan oleh keberadaan gula pereduksi, protein, dan lemak dalam nira. Reaksi maillard adalah reaksi yang terjadi antara asam amino dengan gula pereduksi ketika dipanaskan secara bersama-sama. Sedangkan reaksi karamelisasi adalah reaksi yang terjadi pada pemanasan gula dalam asam, basa, dan pemanasan tanpa air (Ozdemir 1997).

Berdasarkan kekerasan gula merah, faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu mutu nira, kadar air, dan kadar lemak. Mutu nira berhubungan dengan jumlah sukrosa yang terdapat didalamnya. Semakin baik mutu nira, jumlah sukrosa akan semakin tinggi dan gula merah yang terbentuk akan memiliki tekstur yang baik. Apabila sukrosa telah terinversi, maka gula merah akan sulit mengeras. Air merupakan salah satu komponen yang berpengaruh terhadap keempukan gula. Semakin tinggi air, maka kekerasan gula merah akan semakin rendah. Sebaliknya, keempukan gula akan semakin meningkat dengan meningkatnya kadar air dalam gula merah (Sudarmadji et al 1989).

Lemak juga berperan dalam menentukan keempukan gula merah. Molekul lemak di dalam gula merah membentuk globula-globula yang menyebar diantara kristal atau butiran gula sehingga kekerasan gula akan berkurang atau keempukannya akan bertambah (Santoso 1993). Gula merah memiliki nilai kemanisan 10% lebih manis daripada gula pasir. Nilai kemanisan ini disebabkan oleh adanya fruktosa dalam gula merah yang memiliki nilai kemanisan lebih tinggi dari sukrosa. Gula merah juga memiliki rasa sedikit asam karena adanya kandungan asam-asam organik didalamnya. Adanya asam menyebabkan gula merah mempunyai aroma yang khas, sedikit asam, dan berbau karamel. Rasa karamel pada gula merah diduga karena adanya reaksi karamelisasi akibat panas selama pemanasan (Nengah 1990).

(9)

Produk-produk yang berpori dan renyah pada umumnya mudah menyerap air dari lingkungan (Susanto dan Saneto 1994). Keadaan tersebut yang dapat membuat gula mudah meleleh. Penambahan minyak kelapa pada proses pengolahan gula berfungsi untuk mengurangi buih (Issoesetyo dan Sudarto 2001). Minyak kelapa yang terbawa dari proses penyadapan akan mengurangi buih, sehingga struktur gula yang dihasilkan lebih padat. Struktur gula yang padat menyebabkan gula menjadi relatif tidak higroskopis, sehingga tidak mudah meleleh.

Gula terbentuk pada fase pemasakan hingga titik optimal. Proses pemasakan tebu berjalan dari ruas ke ruas tetapi derajat kemasakannya setiap ruas memiliki sifat tersendiri sesuai dengan umurnya. Ini berarti pada tanaman tebu yang masih muda, ruas- ruas bagian bawah mengandung kadar gula yang relatif tinggi daripada bagian atasnya. Pada umumnya tebu masak pada umur 12- 16 bulan (Notojoewono dalam Anonim 2009).

Nira aren mengandung beberapa zat gizi antara lain karbohidrat, protein, lemak dan mineral. Rasa manis pada nira disebabkan kandungan karbohidratnya mencapai 11,28% (Lempang M 2012). Tanaman siwalan merupakan salah satu jenis tanaman yang disebut sebagai tanaman yang serba guna, karena mulai dari akar, batang, daun, bunga dan buah dapat dimanfaatkan oleh manusia. Hasil utama tanaman siwalan adalah nira, yaitu cairan yang didapat dari basil penyadapan tangkai bunga yang dipotong. Dalam keadaan segar nira siwalan ini rasanya manis, berbau harum, jernih dan tidak berwarna. Rasanya yang manis ini disebabkan oleh tingginya kadar gula yaitu kurang lebih 12%. Kandungan karbohidrat yang terdapat pada nira siwalan yang berupa sakarosa, glukosa dan fruktosa (Gusmao D 1999).

CaCO3 atau kalsium karbonat merupakan salah satu bahan yang digunakan dalam pembuatan gula merah cetak. CaCO3 atau kapur merupakan bahan kimia bersifat basa dan efektif digunakan sebagai pemurni dengan harga yang murah (Erwinda dan Susanto 2014). Namun dalam pembuatan gula merah cetak, kapur dimanfaatkan atas sifat basanya dalam keseimbangan pH gula. Hal tersebut terkait dengan sifat gula yang rentan terhadap lingkungan asam dan akan mengalami kerusakan dan skar mengkristal pada lingkungan tersebut (Santoso dan Kurniawan dalam Erwinda dan Susanto (2014). Selain itu, penambahan kapur pada proses pembuatan akan menghasilkan gula dengan tekstur yang kokoh serta meningkatkan titik didih air yang digunakan untuk memasak (Setiawan dalam Erwinda dan Susanto 2014).

Proses pembuatan gula merah cetak tanpa dan dengan menambahkan kapur tentu berbeda. Proses pembuatan gula merah cetak tanpa kapur akan mengalami penurunan pH yang menyebabkan peningkatan reaksi inversi sukrosa dalam nira tebu (Erwinda dan Susanto 2014). Menurut Kuncara dalam Erwinda dan Susanto (2014), sukrosa pada kondisi asam dapat terhidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa yang merupakan gula pereduksi karena adanya gugus OH bebas yang reaktif. Sukrosa yang bersifat nonpereduksi terhidrolisis selama proses pemasakan menjadi gula invert (fruktosa dan glukosa). Demikian, penambahan kapur akan mempertahankan pH nira dan menghambat terjadinya hidrolisis akibat asam. Peningkatan pH terjadi dimana CaCO3 dalam kondisi panas menjadi CaO dalam bentuk serbuk remah dan lunak (Istiyati 2012). CaO didalam air membentuk Ca(OH)2 yang selanjutnya menghasilkan ion OH- bebas dan menyebabkan larutan bersifat alkalis (Erwinda dan Susanto 2014).

(10)

Pembuatan gula merah cetak dilakukan dengan menggunakan bagian tebu yang berbeda-beda dan perlakuan yang berbeda-beda. Kelompok 1 menggunakan tebu bagian atas, kelompok 2 menggunakan tebu bagian tengah, kelompok 3 menggunakan tebu bagian bawah, kelompok 4 menggunakan tebu bagian atas dengan kapur, kelompok 5 menggunakan tebu bagian tengah dengan kapur, dan kelompok 6 menggunakan tebu bagian bawah dengan kapur. Pengamatan yang dilakukan adalah mengukur bobot tebu, mengamati warna, rasa, dan aroma nira dan gula merah, mengukur pH, kadar gula, dan volume nira, serta mengukur berat dan rendemen gula merah. Kondisi tebu yang digunakan adalah tebu muda dan kodisi lingkungan adalah hujan secara terus menerus.

Total padatan terlarut (TSS) adalah ukuran dari jumlah material yang dilarutkan dalam air. Bahan ini dapat mencakup karbonat, bikarbonat, klorida, sulfat, fosfat, nitrat, kalsium, magnesium, natrium, ion-ion organik, dan ion-ion lainnya. Pada dasarnya, total padatan terlarut suatu bahan meliputi gula reduksi, gula non-reduksi, asam organik, pektin, dan protein (Tessler 1994 dalam Fatyanah 1999). Menurut Buckle dkk. (1987), semakin tinggi konsentrasi sukrosa yang terkandung dalam suatu produk, akan menghasilkan total padatan terlarut yang tinggi.

Salah satu metode penentuan kadar gula yang sederhana adalah memanfaatkan sifat refraksi dari gula, yaitu dengan menggunakan refraktometer. Dalam larutan gula murni, indeks bias adalah pengukur langsung dari konsentrasi gula. Sifat reaksi ini dipengaruhi oleh konsentrasi gula. Metode refraktometeri memiliki kelebihan sederhana dan cepat, tetapi memiliki tingkat akurasi dan spesifitas yang terbatas. Hasil pengukuran kadar gula dinyatakan dalam satuan brix. Dua jenis refraktometer yang sering digunakan adalah refraktometer Abbe dan refraktometer celup (immersion). Refraktometer Abbe membutuhkan beberapa tetes contoh saja, sedangkan refraktometer celup membutuhkan contoh yang lebih banyak (Andarwulan et al 2011).

Total padatan terlarut bahan dapat diukur menggunakan hand refractometer (Harijono et al 2001). Refraktometer adalah alat ukur untuk menentukan indeks cairan atau padatan, bahan transparan dengan refraktometry. Prinsip kerjanya adalah gugus glukosa yang mengandung atom C mengenai prisma nicol, sehingga dapat memutar terhadap spektrum prisma. Putaran prisma tersebut merupakan kadar glukosa, sedangkan besarnya putaran merupakan banyaknya kadar.

Sampel yang digunakan berbobot awal sekitar 2,1-2,7 kg, dengan bobot kulit berdasarkan data berturut-turut adalah 24,4%, 23,4%, 25,3%,27,1%, 25%, dan 26,4%, dan dengan bobot ampas setelah giling (serat) berturut-turut adalah 43,4%, 39,8%, 37,4%, tidak ada data dari kelompok 4, 27,7%, dan 35,9%. Menurut Notojoewono dalam Hebrianto (2014), bagian-bagian batang tebu terdiri dari serat dan kulit batang sebanyak 12,5% dan nira yang terdiri dari air, gula, mineral, dan bahan non gula lainnya sebanyak 87,5%. Hasil pengukuran yang tidak sesuai dimungkinkan karena tebu yang digunakan adalah tebu muda yang memiliki struktur kulit yang lebih tebal dan serat yang banyak.

Hasil pengukuran pH terhadap nira tebu menghasilkan nilai yang sama untuk semua sampel, yakni 5. Menurut Erwinda dan Susanto (2014), kondisi awal nira tebu mempunyai nilai pH antara 4,9-5,5. Demikian hasil pengukuran sesuai dengan literatur dan pada kondisi asam tersebut yang akan berpengaruh pada proses pembuatan gula merah. Kadar gula yang dihasilkan dari kadar tertinggi hinnga terendah adalah kelompok 1 dan kelompok 3 (14,5 Brix), kelompok 2, 5, dan 6 (13

(11)

Brix), dan kelompok 4 (10 Brix). Kadar gula diukur dengan menggunakan refraktometer dengan satuan Brix. Brix merupakan jumlah zat padat semu yang larut (gram) tiap 100 gram larutan (Sari 2010). Berdasarkan hasil percobaan menunjukkan bahwa bagian bawah tebu (kelompok 3 dan 6) memiliki nilai rata-rata kadar gula yang paling tinggi yakni 13,75 Brix , bagian tengah tebu (kelompok 2 dan 5) memiliki nilai rata-rata 13 Brix, dan bagian atas memiliki nilai rata-rata kadar gula yang paling rendah yakni 12,25 Brix. Hasil pengukuran sesuai dengan literatur, dimana menurut Hebrianto (2014), gula pada tebu terbentuk pada fase pemasakan hingga titik optimal mulai dari ruas ke ruas namun dengan derajat kemasakan tersendiri sesuai dengan umurnya. Tebu dengan umur yang muda memiliki kadar gula yang relatif lebih tinggi pada ruas-ruas bagian bawah daripada bagian atasnya. Adapun umur masak tebu adalah 12-16 bulan.

Pengamatan terhadap rasa dan aroma nira tebu menunjukkan hasil yang normal atau memiliki rasa dan aroma khas tebu. Pengamatan terhadap warna dapat menunjukkan umur tebu, dimana tiga kelompok pertama menunjukkan tebu yang digunakan adalah tebu muda dengan warna hijau lumut atau keruh sedangkan tiga kelompok berikutnnya adalah tebu agak tua dengan warna coklat muda kehijauan. Menurut, Irawan (2015) warna yang dihasilkan dari pemerahan tebu tergantung dari umur tanaman tebu. Tebu muda akan menghasilkan nira dengan warna hijau muda keruh, sedangkan tebu tua akan menghasilkan nira berwarna lebih gelap dan biasanya berwarna lebih kecoklatan. Berdasarkan Rahmad et all dalam (Irawan 2015) menyatakan bahwa aroma awal nira tebu siap giling memiliki aroma sangat khas dan segar.

Warna, rasa, dan aroma gula merah yang telah dihasilkan secara umum adalah normal dan memiliki rasa serta aroma yang khas. Berdasarkan syarat mutu gula merah (SNI 01-3743-1995), warna, aroma, dan rasa gula merah yang dihasilkan haruslah normal dan khas. Perubahan warna menjadi kemerahan atau kecoklatan terjadi akibat rekasi browning selama pemasakan dari reaksi mailard atau karamelisasi (Nengah dalam Lubis 2014).

Berdasarkan volume dan berat gula merah yang dihasilkan, rendemen yang didapat berturut-turut dari tertinggi hingga terendah adalah kelompok 3 dan 6 (bagian bawah), kelompok 2 dan 5 (bagian tengah), dan kelompok 1 dan 4 (bagian atas). Hasil tersebut sesuai dengan teori sebelumnya yang menyatakan bagian dengan nilai gula tertinggi adalah bagian bawah daripada bagian atas. Namun, rendemen yang dihasilkan merupakan nilai rendemen yang sangat kecil (1,7-3,8%). Menurut Burdiono (2012), tebu membutuhkan banyak air pada masa pertumbuhannya, namun membutuhkan kondisi yang kering dan tidak hujan pada saat pemanenannya sehingga pertumbuhannya berhenti. Kondisi hujan yang terus menerus membuat kesempatan tebu untuk masak tertunda sehingga rendemennya menjadi rendah.

Gula semut merupakan gula merah berbentuk serbuk atau bubuk yang dikenal dengan nama palm sugar (Lubis 2014).

Proses pembuatan gula semut dilakukan dengan beberapa tahap, yakni persiapan bahan baku, pamasakan, pendinginan dan pengkristalan (Mustaufik dan Haryani dalam Lubis 2014). Tahap persiapan bahan baku yang dapat berupa nira dengan kualitas yang baik (tidak berbuih, pH 5,5-6) atau dengan menggunakan gula merah cetak yang akan dileburkan bersama air dengan proses pemanasan. Tahap pemasakan dilakukan hingga nira atau gula merah yang dileburkan membentuk benang keras yang mudah patah jika dicelupkan dalam air dingin. Hal tersebut

(12)

menunjukkan bahwa gula telah masak. Tahap pendinginan dan kristalisasi dilakukan dengan mendiamkan gula yang telah dipanaskan, selama 5-10 menit, lalu dilakukan pengadukan untuk menghasilkan butiran kristal.

Prinsip pembuatan gula semut didasarkan pada pembentukan kristal atau kristalisasi pada larutan gula yang dipanaskan. Gula atau nira dilarutkan dalam air dan dipekatkan dengan cara mendidihkan larutan hingga total padatan mencapai 80-90%. Keadaan tersebut merupakan keadaan larutan lewat jenuh. Menurut Koswara (2009), larutan gula dikatakan lewat jenuh ketika kelarutan gula dalam air lebih dari 60%, dimana kelarutan tersebut merupakan kelarutan gula maksimal dalam air. Selanjutnya, pendinginan larutan tersebut secara cepat akan memicu tebentuknya kristal yang sangat kasar (Koswara 2009). Adapun hal yang perlu diperhatikan adalah kelarutan sukrosa. Sukrosa murni akan larut sebanyak 66,7% pada suhu 20oC. Menurut Koswara (2009), larutan sukrosa 80% yang dimasak hingga suhu 109,6oC lalu didinginkan hingga suhu 20oC akan terlarut sebanyak 66,7% dan terdispersi sebanyak 13,3%. Bagian sukrosa terdispersi tersebut akan menyebabkan kristalisasi pada produk akhir.

Gula invert merupakan campuran antara glukosa dengan fruktosa (Fessedan dalam Ismail 2014). Menurut Ismail (2014), gula inversi merupakan campuran D-glukosa dan D-fruktosa yang diperoleh dengan hidrolisis asam atau enzimatik dari sukrosa. Enzim yang mengkatalisis proses hidrolisis sukrosa tersebut disebut enzim invertase. Berdasarkan cara kerjanya, enzim tersebut akan memecah dan membelokkan ikatan hidrogen pada waktu yang bersamaan. Akibatnya, satu dari jenis gula yang dilepaskan mengalami perubahan konfigurasi dari alpha menjadi beta Indriani et al. (2015). Menurut Ismail (2014), nama gula inversi atau invert diturunkan dari inversi atau pembalikan tanda rotasi jenis bila sukrosa dihidrolisis (rotasi jenis sukrosa ± 66,50 suatu rotasi positif). Itulah yang disebut perputaran optik dalam proses hidrolisis atau inversi gula invert.

(13)

PENUTUP Simpulan

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta [ID] : Dian Rakyat

Anonim. 2009. Pengolahan gula tebu. [Internet]. [Diunduh 2016 8 Maret]. Tersedia pada: http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2. . . -HM %20Bab2001.pdf

Badan Standarisasi Nasional. 2000. SNI 01-6237-2000. Gula Merah Tebu. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta

Badan Standarisasi Nasional. 2008. SNI Beras. BSN, Jakarta.

Buckle et al. 2013. Ilmu Pangan. Terjemahan : Henri Purnomo dan Aldiono. Universitas Indonesia. Jakarta

Dyanti. 2002. Studi Komparatif Gula Merah Kelapa dan Gula Merah Aren. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor

Effendi PJ. 2010. Kajian Karakteristik Fisik Mocaf (Modified Cassava Flour) dari Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) Varietas Malang-I dan Varietas Mentega dengan Perlakuan Lama Fermentasi. Skripsi. Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta Gilang R, Affandi DR, Ishartani D. 2013. Karakteristik Fisik dan Kimia Tepung

Koro Pedang (Canavalia ensiformis) dengan Variasi Perlakuan Pendahuluan. Jurnal Teknosains Pangan. No. 3(2)

Gusmao D. 1999. Minuman probiotik siwalan. [Internet]. [Diunduh 2016 8 Maret]. Tersedia pada:

download.portalgaruda.org/article.php? article=113776&val=521

Harijono K, Joni M, Setyo A. 2001. Pengaruh Kadar Karaginan dan Total Padatan Terlarut Sari Buah Apel Muda Terhadap Aspek Kualitas Permen Jelly. Jurnal Teknologi Pertanian 2(2) : 110-116

Indriani D O, Syamsudin L N I, Sriherfyna F H, dan Wardani A K. 2015. Invertase dari Aspergillus niger dengan Metode Solid State Fermentation dan Aplikasi di Industri: Kajian Pustaka. Dalam: Jurnal Pangan dan Agroindustri 3(04): 1405-1411.

Ismail S H. 2014. Pemberian Imbibisi pada Ekstraksi Nira Tebu pada Stasiun Gilingan di PT.PG Gorontalo Unit Tolangohula. [Thesis]. Gorontalo (ID): Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian, Universitas Negeri Gorontalo.

Issoesetyo dan T. Sudarto. 2001. Gula Kelapa Produk Industri Hilir Sepanjang Masa.Surabaya[ID]: Arkola

Istiyati. 2012. FABRIKASI DAN KARAKTERISASI KERAMIK KALSIUM SILIKAT MENGGUNAKAN BAHAN DASAR CANGKANG TELUR DAN SILIKA KOMERSIAL DENGAN TEKNIK REAKSI PADATAN. [Skripsi].Bandar Lampung (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universtas Lampung

(15)

Koswara I. 2009. Teknologi Pembuatan Permen. [Internet]. [diakses pada 2016, Mar 15]. Tersedia pada:

http://bkp.madiunkab.go.id/downlot.php?file=TEKNOLOGI-PEMBUATAN-PERMEN.pdf

Koswara S . 2009. Teknologi pengolahan berasa (teori dan praktek.) [Ebook]. Ebook Pangan.

Lempang M. 2012. Pohon aren dan manfaat produksinya. Jurnal Eboni.No. 9(1): 35-54

Lubis F. 2014. Kajian Penambahan Sukrosa Pada Pembuatan Gula Semut dari Gula Merah Kelapa Bermutu Rendah (Below Standard). [Skripsi]. Lampung (ID): Fakultas Pertanian, UNIVERSITAS LAMPUNG.

Nengah IKP. 1990. Kajian Reaksi Pencoklatan Termal pada Proses Pembuatan Gula Merah dari Aren. Tesis. Program Studi Ilmu Pangan. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor

Nurlela E. 2002. Kajian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Warna Gula Merah. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Ozdemir M. 1997. Foods Browning and Its Control. Okyanus Danismanlik. http:/www.okyanusbigiambiri.com/Bilim/Okyanus-BrowningInFoods

Rahmadianti, F. 2012. Kenali Jenis – Jenis Si Gula Merah.

http://rss.detik.com/index.php/food diakses pada 2016 Maret 15 . Santoso HB. 1993.Pembuatan Gula Kelapa. Jakarta [ID]: Kanisius

Sardjono. 1986. Pengembangan Peralatan untuk Pengembangan Serbuk Gula Merah. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian, Bogor Sudarmadji S, Bambang H, Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.

Yogyakarta [ID]: penerbit Liberty

Susanto T dan B Saneto. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Surabaya [ID]: Bina Ilmu

Suyatma, 2009. Diagram Warna Hunter (Kajian Pustaka). Jurnal Penelitian Ilmiah Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Page 8-9.

Yulianingsih R. 2012. Pengujian mutu beras. Karakterisasi Dan Standarisasi Mutu Gabah-beras, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi

Gambar

Tabel 1. Spesifiikasi Persyaratan Mutu Gula Merah Tebu

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut juga didukung oleh perubahan kadar gula pereduksi, total asam dan nilai pH yang menunjukan pengaruh bahan pengawet dapat menurunkan laju kerusakan sukrosa dalam

Hal tersebut juga didukung oleh perubahan kadar gula pereduksi, total asam dan nilai pH yang menunjukan pengaruh bahan pengawet dapat menurunkan laju kerusakan sukrosa dalam

Gula merah cetak dari nira kelapa memiliki warna coklat yang lebih gelap, aroma khas kelapa, manis dan sedikit kotor sehingga perlu disaring bila akan digunakan

Tujuan dari penambahan susu kapur adalah untuk meningkatkan pH sehingga gula pereduksi yang dihasilkan rendah, gula reduksi yang rendah akan meningkatkan kadar gula sukrosa

Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa gula cair dari nira aren sampai pada penyimpanan 3 bulan kadar sukrosa cenderung terjadi penurunan, baik yang dikemas dengan

Hal ini disebabkan pada nira dengan pH &lt;6 (4,96) sebelum dimasak telah terjadi kerusakan sukrosa oleh mikroorganisme (yeast dan bakteri asam asetat) menjadi gula

Apakah pengambilan air nira tersebut dari pohon milik sendiri atau sebagai buruh untuk orang lain2. Apakah adaa bahan lain yang digunakan dalam pembuatan gula merah

3 Pengaruh Suhu Pemasakan Dan pH Nira Dengan Menggunakan Teknologi Vakum Terhadap Kualitas Gula Merah Tebu Ketua 2013 PNPB Fakultas Teknologi Pertanian 7.5 4 Optimasi Proses