• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Kasus Rinosinusitis Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Kasus Rinosinusitis Kronik di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2014"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung

Bentuk luar hidung sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk,

terutama karena perbedaan tulang-tulang rawan hidung. Punggung hidung meluas

dari akar hidung di wajah ke puncaknya (ujung hidung). Pada permukaan inferior

terdapat dua lubang, yakni naris anterior yang terpisah satu dari yang lain oleh

septum nasi. Septum nasi ini yang untuk sebagian berupa tulang dan untuk

sebagian berupa tulang rawan, membagi kavum nasi menjadi dua rongga kanan

dan kiri (Moore, 2002).

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi dan tepat di

belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang

mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrise

(Soetjipto, 2011).

Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding lateral,

medial, inferior, dan superior. Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka

inferior adalah yang terbesar dan letaknya paling bawah, konka media yang lebih

kecil, konka superior yang lebih kecil lagi, dan konka suprema adalah yang

terkecil (Soetjipto, 2011).

Konka nasalis superior, konka nasalis media, dan konka nasalis inferior

membagi kavum nasi menjadi empat lorong : meatus nasalis superior, meatus

nasalis medius, meatus nasalis inferior, dan hiatus semilunaris (Moore, 2002).

Meatus nasalis superior adalah sebuah lorong yang sempit antara konka

nasalis superior dan konka nasalis media dan merupakan tempat bermuaranya

sinus etmoidalis superior melalui satu atau lebih lubang (Moore, 2002).

Meatus nasalis medius berukuran lebih panjang dan lebih luas daripada

meatus nasalis superior. Bagian anterosuperior meatus nasalis ini berhubungan

dengan sebuah lubang yang berukuran seperti corong, yakni infundibulum yang

(2)

sinus frontalis ke infundibulum terjadi melalui duktus frontonasalis. Sinus

maksilaris juga bermuara ke dalam meatus nasalis medius (Moore, 2002).

Meatus nasalis inferior adalah sebuah lorong horizontal yang terletak

inferolateral terhadap konka nasalis inferior. Duktus nasolakrimalis bermuara

dibagian anterior meatus nasalis inferior (Moore, 2002).

Hiatus semilunaris adalah sebuah alur yang berbentuk setengah lingkaran

dan merupakan muara sinus frontalis. Bulla etmoidalis adalah sebuah tonjolan

yang membuat di sebelah superior hiatus semilunaris, dan baru terlihat setelah

konka nasalis media disingkirkan. Bulla etmoidalis ini dibentuk oleh cellulae

ethmoidales tengah yang membentuk sinus etmoidalis (Moore, 2002).

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang

dan tulang rawan. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoidalis

dan bagian posterior dibentuk oleh os vomer. Bagian tulang rawan yaitu kartilago

septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum

dilapisi perikondrium, bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar

dilapisi mukosa hidung (Snell, 2006; Soetjipto, 2011).

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os

maksilaris dan os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior

atau atap hidung yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan

rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribosa merupakan lempeng tulang

berasal dari os etmoidalis, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut

saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk os sfenoidalis

(Snell, 2006; Soetjipto, 2011).

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoidalis

anterior dan posterior. Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri

maksilaris interna, yaitu ujung arteri palatina mayor, dan arteri sfenopalatina.

Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.

Bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri

sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis anterior, dan arteri palatina

mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach

(3)

sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arterinya. Vena-vena ini membentuk suatu pleksus

kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa. Drainase vena terutama

melalui vena oftalmika, fasialis anterior, dan sfenopalatina (Soetjipto, 2011; Snell,

2006).

Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah celah pada dinding lateral hidung

yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang

membentuk Kompleks ostiomeatal adalah prosesus unsinatus, infundibulum

etmoidalis, hiatus semilunaris, bula etmoidalis, agger nasi, dan resesus frontalis.

Kompleks ostiomeatal adalah unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi

dan drainase dari sinus-sinus yang terletak di anterior yaitu sinus maksilaris,

etmoidalis anterior, dan frontalis. Bila terjadi obstruksi pada KOM, maka akan

terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus yang terkait (Soetjipto,

2011).

2.2. Anatomi Sinus Paranasal

2.2.1. Sinus Maksilaris

Pada waktu lahir sinus maksilaris berupa celah kecil di sebelah medial

orbita. Pada awalnya dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung,

kemudian terus mengalami penurunan, sehingga pada usia delapan tahun menjadi

sama tinggi. Perkembangannya berjalan kearah bawah dan amembentuk sempurna

setelah erupsi gigi permanen. Ukuran rata-rata pada bayi yang baru lahir 7-8 x 4-6

mm dan pada usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm dan isinya kira-kira 15 ml.

(Ballenger, 2004)

Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus

maksilaris terletak di dalam korpus maksilaris dan sinus ini berbentuk piramid.

Dinding anterior sinus yaitu permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa

kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding

medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superior adalah dasar

orbita, dan dinding inferior yaitu prosesus alveolaris dan palatum (Soetjipto,

(4)

Sinus maksilaris bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui hiatus

semilunaris. Karena sinus etmoidalis anterior dan sinus frontalis bermuara ke

infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan penyebaran infeksi

dari sinus-sinus ini ke sinus maksilaris adalah besar (Snell, 2006).

Membrana mukosa sinus maksilaris dipersarafi oleh nervus alveolaris

superior dan nervus infraorbitalis (Snell, 2006).

Gambar 2.1. Anatomi Sinus Paranasal (Hwang PH, 2009).

2.2.2. Sinus Frontalis

Bentuk dan ukuran sinus frontalis sangat bervariasi, dan seringkali juga

sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata

sinus frontalis yaitu tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm dan isi rata-rata

6-7 ml. Dinding depan sinus frontalis hampir selalu diploik, terutama pada bagian

luar atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan dinding

anterior dan posterior (Benninger et al, 2003).

Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang

(5)

ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus

frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis.

Kadang-kadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk

salah satu sinus (Hilger, 2013).

2.2.3. Sinus Sfenoidalis

Sinus sfenoidalis terletak di dalam korpus os sfenoidalis di belakang sinus

etmoidalis posterior. Sinus sfenoidalis dibagi dua oleh sekat yang disebut septum

intersfenoidalis. Batas-batas sinus ini adalah bagian superior terdapat fosa serebri

media dan kelenjar hipofise, sebelah inferior adalah atap nasofaring, sebelah

lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna, dan di

sebelah posterior berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons

(Soetjipto, 2011).

2.2.4. Sinus Etmoidalis

Sinus etmoidalis terdapat di dalam os etmoidalis, di antara konka media

dan dinding medial orbita. Sinus etmoidalis terdiri dari sel-sel yang jumlahnya

bervariasi. Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehingga infeksi

dengan mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita. Berdasarkan letaknya, sinus

etmoidalis dibagi menjadi sinus etmoidalis anterior yang bermuara di meatus

medius dan sinus etmoidalis posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel

sinus etmoidalis anterior biasanya kecil dan banyak, terletak di depan lempeng

yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral

(lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoidalis posterior biasanya lebih besar

dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Snell,

2006; Soetjipto, 2011).

Di bagian terdepan sinus etmoidalis anterior terdapat bagian sempit yang

disebut resesus frontalis, yang berhubungan dengan sinus frontalis. Sel etmoidalis

yang terbesar disebut bula etmoidalis. Pada daerah etmoidalis anterior terdapat

suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuara ostium sinus

(6)

menyebabkan sinusitis frontalis dan bila di infundibulum menyebabkan sinusitis

maksilaris. Membrana mukosa dipersarfi oleh nervus etmoidalis anterior dan

posterior (Soetjipto, 2011; Snell, 2006).

2.3. Fisiologi Sinus Paranasal

2.3.1. Sistem Mukosiliar

Sistem mukosiliar akan menjaga agar saluran napas atas selalu bersih dan

sehat dengan mengalirkan keluar partikel debu, bakteri, virus, alergen, toksin dan

lain-lain yang terperangkap pada lapisan mukus ke arah nasofaring. Silia memiliki

gerakan-gerakan teratur, bersama palut lendir akan mendorong partikel-partikel

asing dan bakteri yang terhirup ke rongga hidung menuju nasofaring dan

orofaring. Partikel-partikel asing tersebut selanjutnya akan ditelan dan

dihancurkan di lambung dengan demikian mukosa saluran napas mempunyai

kemampuan untuk membersihkan dirinya sendiri (Cohen, 2006).

Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan tiba-tiba ke satu arah (active

stroke) dengan ujungnya menyentuh lapisan mukoid sehingga menggerakkan

lapisan tersebut. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan ujung

yang tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi gerak

silia kira-kira 3:1, sehingga gerakannya seolah-olah menyerupai ayunan tangan

seorang perenang. Silia tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan seperti

efek domino (metachronical waves) dengan arah yang sama pada satu area. Gerak

silia mempunyai frekuensi denyut (ciliary beat frequency) sebesar 1000 getaran

per menit (Hwang PH, 2009).

Keberhasilan sistem mukosiliar sebagai suatu mekanisme pertahanan lokal

pada hidung dan sinus paranasal bergantung kepada transportasi mukosiliar yang

dikenal sebagai bersihan mukosiliar. Bersihan mukosiliar yang baik akan

mencegah terjadinya infeksi di dalam hidung dan sinus paranasal. Bersihan

mukosiliar ditentukan oleh keadaan silia, palut lendir dan interaksi antara

keduanya. Daya pembersih mukosiliar dapat berkurang akibat perubahan

(7)

histopatologi sel hidung, hambatan sel sekresi atau obstruksi anatomi (Cohen,

2006).

2.3.2. Fungsi Sinus Paranasal

Beberapa teori mengemukakan, fungsi sinus paranasal yaitu: (1) sebagai

pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan

kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara, dan

(6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung (Soetjipto,

2011).

Penelitian yang paling terbaru pada fungsi sinus berfokus pada molekul

nitrat oksida (NO). Studi menunjukkan bahwa produksi nitrat oksida sinus

intranasal adalah secara primer pada sinus. Telah diketahui bahwa nitrat oksida

beracun pada bakteri, jamur, dan virus pada tingkatan sama rendah 100ppb.

Konsentrasi dari unsur ini dapat menjangkau 30.000 ppb dimana beberapa peneliti

sudah berteori tentang mekanisme dari sterilisasi sinus. Nitrat oksida juga

meningkatkan pergerakan silia (Angraini, 2005).

2.4. Defenisi Rinosinusitis Kronik

Rinosinusitis kronik merupakan inflamasi dari mukosa hidung dan sinus

paranasal yang ditandai dengan dua atau lebih gejala, dimana salah satu gejalanya

merupakan hidung tersumbat atau sekret hidung selama 12 minggu atau lebih,

serta diikuti ada atau tanpa nyeri tekan di daerah wajah dan penurunan atau

hilangnya daya penghidu (Fokkens et al, 2012).

Berdasarkan anatomi sinus yang terlibat, sinusitis dapat diklasifikasikan

sebagai sinusitis maksilaris, sinusitis etmoidalis, sinusitis frontalis, dan sinusitis

sfenoidalis. Sinus yang paling sering terkena infeksi adalah sinus maksilaris dan

sinus etmoidalis, sedangkan sinus frontalis dan sinus sfenoidalis lebih jarang

(Mangunkusumo, 2011).

Sebuah penelitian menyebutkan, pasien dengan rinosinusitis kronik

dilaporkan lebih merasakan nyeri jasmani dan fungsi sosial yang lebih buruk

(8)

kronik, gagal jantung kongestif, dan nyeri punggung. Dampak penyakit

rinosinusitis kronik terhadap kualitas hidup pasien sebanding dengan keparahan

penyakit kronik lainnya. Oleh karena itu, sama halnya dengan penyakit kronik

yang lain, penyakit rinosinusitis kronik sebaiknya ditangani secara proaktif

(Desrosiers, 2011).

2.5. Etiologi dan Faktor Predisposisi

2.5.1. Virus

Rhinosinusitis akibat virus disebut common cold. Virus yang menginfeksi

antara lain : rhinovirus (50%), coronavirus (20%), influenza, parainfluenza,

respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus (Mangunkusumo, 2011).

2.5.2. Bakteri

Bakteri patogen yang sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut adalah

S. pneumoniae dan H. influenza. Patogen ini menjadi penyebab utama terjadinya

rinosinusitis sejak kali pertama dilakukan penelitian. Sedangkan patogen yang

sering pada rinosinusitis bakteri kronik adalah Staphylococcus aureus, bakteri

anaerob dan bakteri gram negatif (Mangunkusumo, 2011)

2.5.3. Jamur

Aspergilosis adalah salah satu jamur yang paling sering dijumpai pada

infeksi virus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang berwarna hijau

kecoklatan. Mukormikosis pula merupakan infeksi oppurtunistik ganas yang dapat

berkembang menjadi patogenik pada orang yang menderita asidosis diabetik dan

imunosupresi. Pada penderita ini dijumpai sekret warna pekat, gelap, berdarah dan

gambaran konka yang berwarna hitam atau merah bata. Candida bersama

histoplasmosis, koksidoimilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis, dan

(9)

2.5.4. Alergi

Rinitis adalah suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin.

Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi

melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya (sel mast,

basofil, eosinofil, makrofag). Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi dengan

alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil

pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin,

prostaglandin dan leukotrien. Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera

yang timbul, misalnya edema. Selain itu, juga akan terjadi reaksi lambat yang

selanjutnya cenderung terjadi akibat pelepasan mediator dari sel mast dan

demikian pula eosinofil, makrofag dan trombosit (Boies, 2013).

2.5.5. Kelainan Anatomi dan Struktur Hidung

Kelainan anatomi hidung dan sinus dapat mengganggu fungsi mukosiliar

secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat atau

bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip,

konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan

ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar (Hilger, 2013).

2.5.6. Hormonal

Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada

trimester pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesisnya masih

belum jelas (Brook, 2012).

Terdapat efek hormonal dari estrogen, progesteron, dan placental growth

hormon pada mukosa nasal dan pembuluh darah yang mungkin berpengaruh

terhadap terjadinya rinosinusitis kronik (Fokkens et al, 2012)

2.5.7. Lingkungan

Udara dingin umumnya menyebabkan vasokonstriksi, sedangkan udara

(10)

lingkungan yang mendadak dapat merangsang kongesti hidung dan/atau rinore

(Hilger, 2013).

Apabila terus-menerus terpapar oleh lingkungan yang berpolusi, udara

dingin dan kering serta kebiasaan merokok yang lama akan menyebabkan

perubahan mukosa dan merusak silia (Mangunkusumo, 2011).

2.6. Patofisiologi

Lapisan mukoperiosteum sinus paranasalis mempunyai daya tahan luar

biasa terahadap penyakit selain kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri.

Pada dasarnya, faktor-faktor lokal yang memungkinkan penyembuhan mukosa

sinus yang terinfeksi adalah drainase dan ventilasi yang baik. Bila faktor anatomi

menyebabkan kegagalan drainase dan ventilasi sinus, maka terbentuk suatu

medium untuk infeksi selanjutnya oleh kokus mikroaerofilik atau anaerobik,

akibatnya berupa edema, sumbatan, dan infeksi (Hilger, 2013).

Sekresi lendir yang menetap dalam sinus bisa dipicu oleh 1) Obstruksi

mekanik di kompleks ostiomeatal karena faktor anatomi atau 2) Edema mukosa

yang disebabkan oleh berbagai etiologi (misalnya, rinitis alergi, rinitis virus,

rinistis bakteri akut). Stagnasi lendir di sinus membentuk media yang kaya untuk

pertumbuhan berbagai patogen. Tahap awal sinusitis sering infeksi virus yang

umumnya berlangsung hingga 10 hari dan yang benar-benar sembuh dalam 99%

kasus. Namun, sejumlah kecil pasien dengan infeksi bakteri akut sekunder dapat

berkembang yang umumnya disebabkan oleh bakteri aerobik (misalnya,

Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis).

Awalnya, sinusitis akut yang dihasilkan hanya melibatkan satu jenis bakteri

aerobik. Dengan terjadinya infeksi, flora campuran, organisme anaerob, dan,

kadang-kadang, jamur memberikan kontribusi untuk pathogenesis (Brook, 2012).

Rinosinusitis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada rinosinusitis kronik,

sumber infeksi berulang biasanya infundibulum etmoidalis dan resesus frontalis.

Inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan, akibatnya

terjadi gangguan transpor mukosiliar, menyebabkan retensi mukus dan

(11)

Gambar 2.2. Patofisiologi Rinosinusitis (Hilger, 2013).

2.7. Gejala Klinis

Setiap gejala rinosinusitis, keparahan dan durasinya harus didokumentasi.

The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS)

telah membuat kriteria mayor dan minor untuk mempermudahkan mendiagnosa

rinosinusitis. Rinosinusitis dapat didiagnosa apabila dijumpai dua atau lebih

kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua atau lebih kriteria minor.

Gejalanya menurut kriteria mayor yaitu obstruksi hidung, sekret hidung, kongesti

pada daerah wajah, nyeri/rasa tertekan pada wajah, kelainan penciuman, dan

demam (hanya pada akut). Sedangkan kriteria minor berupa adanya sakit kepala,

sakit/rasa penuh pada telinga, halitosis/nafas berbau, sakit gigi, batuk, lemah, dan

(12)

2.7.1. Gejala Subjektif

a. Nyeri

Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena. Pada peradangan

aktif sinus maksilaris atau frontalis, nyeri biasanya sesuai dengan

daerah yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam seperti sinus

etmoidalis posterior dan sfenoidalis, nyeri terasa jauh di dalam kepala,

tak jelas letaknya atau disebarkan ke perifer kepala di daerah yang tidak

ada hubungan dengan lokasi sinus (Ballenger, 2004).

b. Sakit kepala

Sakit kepala pada penyakit sinus lebih sering unilateral atau lebih terasa

di satu sisi atau dimulai sebagai nyeri kepala unilateral dan meluas ke

sisi lainnya. Sakit kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jika

membungkukkan badan ke depan dan jika badan tiba-tiba digerakkan.

Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat. Sakit

kepala akibat penyakit di sinus frontalis dinyatakan sebagai nyeri yang

tajam, menusuk-nusuk, melalui mata atau nyeri dan rasa berat yang

biasanya menetap (Ballenger, 2004).

c. Nyeri pada penekanan

Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin terjadi pada

penyakit sinus yang berhubungan dengan permukaaan wajah seperti

sinus frontalis, sinus etmoidalis anterior dan sinus maksilaris. Nyeri

tekan pada os frontalis apabila ada penekanan di sudut medial rongga

orbita. Pada pemeriksaan sel-sel etmoidalis anterior, tekanan dilakukan

pada sudut medial orbital pada planum orbita os etmoidalis. Pada

pemeriksaan sinus maksilaris, harus dilakukan penekanan pada fosa

kanina os maksilaris superior (Ballenger, 2004).

d. Gangguan Penciuman

Keluhan yang paling sering adalah kehilangan sensasi penciuman

(13)

2.8. Diagnosis

Rinosinusitis kronik ditegakkan jika pasien memiliki dua atau lebih gejala

mayor atau satu gejala mayor dan dua atau lebih gejala minor yang menetap lebih

dari 12 minggu, rinosinusitis kronik harus dipertimbangkan dalam diferensial

diagnosis jika pasien memiliki satu faktor mayor atau dua lebih faktor minor

selama lebih dari 12 minggu (Benninger et al, 2003).

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan

posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang

lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius atau di

daerah meatus superior. (Mangunkusumo, 2011).

2.8.1. Anamnesa

Riwayat gejala yang diderita lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan dua

gejala mayor atau satu gejala mayor ditambah dua gejala minor dari kumpulan

gejala dan tanda menurut Rhinosinusitis Task Force 2006. Yang termasuk gejala

mayor adalah: nyeri atau rasa tertekan pada daerah wajah, hidung tersumbat,

ingus purulen, gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala,

demam, halitosis, nyeri gigi dan batuk (Busquets et al, 2006).

Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan paling

penting pada sinusitis. Sakit kepala yang timbul merupakan akibat adanya

kongesti dan edema di ostium sinus dan sekitarnya. Sakit kepala yang bersumber

dari sinus akan meningkat jika membungkukkan badan dan jika badan tiba-tiba

digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat atau

saat berada di kamar gelap. Hal ini berbeda dengan sakit kepala yang disebabkan

oleh mata (Fokkens et al, 2012; Ballenger, 2004).

Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau

mungkin tidak. Pada peradangan aktif sinus maksilaris atau frontalis, nyeri

biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih

(14)

kenyataannya peradangan pada satu atau semua sinus sering kali menyebabkan

nyeri di daerah frontalis (Ballenger, 2004).

Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura

olfaktorius di daerah konka media. Pada kasus-kasus kronik, hal ini dapat terjadi

akibat degenerasi filamen terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan

kasus, indera penghidu dapat kembali normal setelah proses infeksi hilang

(Fokkens et al, 2012; Ballenger, 2004).

2.8.2. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi yang diperhatikan adanya pembengkakan pada muka.

Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan

mungkin menunjukkan sinusitis maksilaris. Pembengkakan di kelopak mata atas

mungkin menunjukkan sinusitis frontalis. Sinusitis etmoidalis jarang

menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses (Soetjipto,

2011).

Rinoskopi anterior adalah alat dasar untuk pemeriksaan fisik yang paling

spesifik yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinunasal.

Rinoskopi adalah pemeriksaan yang tepat untuk mengevaluasi pasien sebelum dan

sesudah pemakaian dekongestan topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa

mengevaluasi permukaaan anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti,

middle turbinate dapat divisualisasi secara jelas (Benninger et al, 2003).

Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga

hidung sekaligus untuk melihat keadaan nasofaring (Soepardi, 2011; Shah, 2008).

2.8.3. Pemeriksaan Penunjang

Transluminasi mempunyai manfaat terbatas, hanya dapat dipakai

memeriksa sinus maksilaris dan sinus frontalis, bila terdapat kista yang besar di

dalam sinus maksilaris, akan tampak terang pada pemeriksaan transluminasi.

Transluminasi pada sinus frontalis hasilnya lebih meragukan. Gambaran yang

(15)

yang gelap mungkin berarti sinusitis atau hanya menunjukkan sinus yang tidak

berkembang (Soetjipto dan Mangunkusumo 2011).

Endoskopi nasal dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret,

patensi kompleks osteomeatal, ukuran konka nasi, edema disekitar orifisium tuba,

hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus. Endoskopi nasal lebih baik

dalam penerangan daripada rinoskopi anterior untuk pemeriksaan meatus medius

dan superior. Indikasi endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif

mengalami kegagalan (Selvianti, 2008; Fokkens et al, 2012).

Pemeriksaan penunjang pilihan utama untuk menilai gambaran sinus

adalah CT-scan. Kelebihannya adalah mampu memberi gambaran sinus pada

rinosinusitis kronik yang gejalanya tidak sesuai dengan pemeriksaan klinis.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan atau tanpa naso-endoskopi. Namun, CT-scan

memiliki keterbatasan yaitu sulit membedakan rinosinusitis dengan infeksi virus

saluran pernafasan bagian atas, kecuali jika sudah timbul komplikasi. Visualisasi

optimal didapatkan dengan coronal scans (Shah, 2008). Pemeriksaan penunjang

yang lain adalah foto polos, yaitu dengan posisi Waters, PA dan lateral. Biasanya

foto tersebut hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus

maksilaris dan frontalis (Mangunkusumo, 2011). Sinuskopi dilakukan dengan

pungsi menembus dinding medial sinus maksilaris melalui meatus inferior dan

dengan alat endoskopi bisa dilihat kondisi sinus maksilaris yang sebenarnya.

Tindakan selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. MRI hanya

dilakukan jika ada kecurigaan komplikasi pada orbita dan intrakranial (Shah,

2008).

2.9. Penatalaksanaan

Tujuan terapi sinusitis adalah untuk mepercepat penyembuhan, mencegah

komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronik (Mangunkusumo, 2011).

Jenis terapi dibagi menjadi 2 pilihan, yaitu secara medikamentosa dan

(16)

2.9.1. Terapi Medikamentosa

Antibiotik yang dipilih adalah yang berspektrum luas, yaitu golongan

penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman resisten terhadap amoksisilin, maka

diberikan amoksisilin-klavulanat atau sefalosporin generasi ke-2. Antibiotik

diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang

(Mangunkusumo, 2011). Jika penderita tidak menunjukkan perbaikan dalam 72

jam, maka dilakukan reevaluasi dan mengganti antibiotik yang sesuai.

Kortikosteroid sebagai anti inflamasi yaitu berefek untuk mengurangi

besarnya polip, memperbaiki gejala seperti hidung tersumbat, rinore, post nasal

drip, dan berkurang atau hilangnya daya penghidu. Kortikosteroid nasal berupa

flutikason propionat, mometason furoat, betametason, dan lainnya (Desrosiers,

2011; Fokkens et al, 2012).

Terapi tambahan lainnya berupa dekongestan oral/topikal yaitu golongan

agonis alfa adrenergic, saline irrigation, anti histamine, mukolitik, antagonis

leukotriene, anti mikotik, imunomodulator, dan aspirin desentisisasi (Desrosiers,

2011).

Pengobatan secara medikamentosa menunjukkan hasil yang lebih

memuaskan jika diberikan sesuai dengan hasil kultur (Busquets et al, 2006). Gold

standard untuk kultur sinus adalah pungsi sinus maksilaris, namun hal ini harus

dilakukan pada pasien tertentu dan dilakukan dengan hati-hati karena dapat

menyebabkan komplikasi minor seperti nyeri dan perdarahan. Kultur sinus sangat

penting dalam memilih jenis obat pada rinosinusitis kronik karena organisme

patogennya berbeda dengan ABRS. Antibiotik yang biasanya diberikan pada

rinosinusitis kronik adalah yang sesuai untuk kuman gram negatif (S. aureus) dan

anaerob (Shah, 2008).

2.9.2. Penatalaksanaan Operatif

Rinosinusitis kronik adalah inflamasi dari mukosa hidung dan sinus

paranasal dan terapi pembedahan bukan merupakan tindakan yang pertama kali

dilakukan. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF), disebut begitu karena

(17)

drainase sinus. Indikasi untuk terapi pembedahan ini yaitu : (1) obstruksi hidung

yang komplit dikarenakan polip atau medialisasi dinding hidung lateral, (2) abses

orbital, (3) komplikasi intakranial, (4) polip antrokoana, (5) rinosinusitis fungal

(Hamilos, 2011).

Bedah sinus terbuka kadang diperlukan walaupun dengan keragaman

prosedur endoskopi. Sebagai contoh yaitu operasi Caldwell-Luc dimana sinus

maksilaris dimasuki melalui insisi sublabia. Melalui operasi Caldwell-Luc ini

dapat dilakukan biopsi dari isi sinus, dan sekaligus jendela untuk drainase akan

terbentuk ke kavum nasal (Shah, 2008).

2.10. Komplikasi

2.10.1. Kelainan Orbita

Infeksi dari sinus paranasal dapat meluas ke orbita secara langsung atau

melalui sistem vena yang tidak berkatup. Komplikasi orbita ini dapat berupa

selulitis orbita dan abses orbita. Gejalanya dapat dilihat sebagai pembengkakan

kelopak mata, atau edema merata di seluruh orbita, atau gangguan gerakan bola

mata dan gangguan visus sampai jelas adanya abses yang mengeluarkan pus.

Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi intravena dan dirujuk ke

dokter spesialis THT. Bila keadaan tidak membaik dalam 48 jam atau ada

tanda-tanda komplikasi ke intrakranial, perlu dilakukan tindakan bedah (Giannoni et al,

2006).

2.10.2. Kelainan Intrakranial

Komplikasi intrakranial berupa meningitis, abses subdural, abses otak,

trombosis sinus kavernosus. Rongga sinus frontalis, etmoidalis dan sfenoidalis

hanya dipisahkan dengan fosa kranii anterior oleh dinding tulang yang tipis

sehingga infeksi dapat meluas secara langsung melalui erosi pada tulang.

Penyebaran infeksi dapat juga melalui sistem vena. Sinusitis maksilaris karena

infeksi gigi sering menyebabkan abses intrakranial. Bila ada komplikasi

intrakranial gejalanya dapat terlihat sebagai kesadaran yang menurun atau

kejang-kejang. Pasien perlu dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi secara intravena

(18)

2.10.3. Kelainan Tulang (Osteomielitis )

Paling sering timbul akibat sinusitis frontalis dan biasanya ditemukan pada

anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksilaris dapat timbul fistula oroantral atau

fistula pada pipi. Nyeri dan nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala

sistemik berupa malaise demam dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata

juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dimana

terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup (Mangunkusumo, 2011;

Hilger, 2013).

2.10.4. Kelainan Paru

Kelainan pada paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya

kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis.

Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar

dihilangkan sebelum sinusitis disembuhkan (Mangunkusumo, 2011).

2.10.5. Mukokel

Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukokel. Sering timbul

di sinus frontalis meskipun dapat juga terjadi di sinus maksilaris, etmoidalis atau

sfenoidalis. Di dalam mukokel terjadi pengumpulan lendir yang steril yang

kemudian menjadi kental. Mukokel dapat menjadi besar dan mendesak organ

disekitarnya terutama orbita. Mukokel menimbulkan gejala sakit kepala dan

Gambar

Gambar 2.1. Anatomi Sinus Paranasal (Hwang PH, 2009).
Gambar 2.2.  Patofisiologi Rinosinusitis (Hilger, 2013).

Referensi

Dokumen terkait

In this study, approaches (Approach 1 and Approach 2) have been proposed for the automatic point based classification of raw LiDAR point cloud with the combine

We propose a method of foreground detection on depth maps based on medial representation of objects silhouettes which does not require any machine learning procedures and is able

Dengan diskusi pemecahan masalah, siswa mampu mengidentifikasi pentingnya peran hewan sebagai sumber daya alam dalam menjaga keseimbangan alam dengan tepat7. Dengan

The proposed algorithm requires a labeled dataset for training. We found that it is hard to use real surveillance videos for this task. Most of such data does not contain

A convolutional neural network (CNN) is one of the deep learning architectures which have been applied in different fields of computer vision and machine

Sebagai seorang yang mendapatkan amanah untuk mengelola keuangan pada suatu unit bisnis, fungsi utama apa yang harus anda laksanakan.. Bila dikaitkan dengan Neraca sebagai

Treasure Caretaker Training (Digital Monastery Project), teaches Buddhist monks, nuns and community cultural caretakers to protect and preserve their own monastery

[r]