• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus - Gambaran Rinosinusitis Kronis Di Rsup Haji Adam Malik Pada Tahun 2011.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus - Gambaran Rinosinusitis Kronis Di Rsup Haji Adam Malik Pada Tahun 2011."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus

2.1.1. Sinus Frontalis

Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata sinus frontal yaitu tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm dan isi rata-rata 6-7 ml. Dinding depan sinus frontal hampir selalu diploik, terutama pada bagian luar atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan dinding anterior dan posterior (Benninger, 2003). Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-kadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus (Hilger, 1997). 2.1.2. Sinus Maksilaris

Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, yang telah ada saat lahir. Saat lahir sinus bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Merupakan sinus terbesar dan terletak di maksila pada pipi yang berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksilaris, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

(2)

aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1 dan P2 dan M1, M2 dan M3, kadang-kadang juga gigi caninus, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis dan karena ostium sinus maksila terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat (Mangunkusumo dan Rifki, 2007).

2.1.3. Sinus Etmoidalis

Sinus etmoid pada orang dewasa berbentuk seperti piramid dengan dasarnya pada bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior adalah 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di anterior sedangkan di bagian posterior 1,5 cm. (Soetjipto, 2007). Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

2.1.4. Sinus Sfenoidalis

(3)

fossa serebri dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

(4)

Gambar 2.2. Lokasi sinus dari depan, samping dan belakang (Hazenfield, 2009) 2.2.1. Definisi Rinosinusitis

Rinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi akibat alergi atau infeksi karena bakteri, virus atau jamur. Secara klinis rinosinusitis dapat dibahagikan kepada 3 yaitu ; rinosinusiitis akut apabila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu, rinosinusitis subakut apabila gejalanya berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan rinosinusitis kronis apabila gejalanya berlangsung lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo dan Rifki, 2003). Terdapat 4 jenis sinus yaitu sinus frontalis, maksilaris, etmoidalis dan sfenoidalis. Apabila rinosinusitis terjadi pada beberapa sinus,maka ia dikenali sebagai multisinusitis,sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal dikenal sebagai pansinusitis (Rosenfeld, 2007).

2.2.2. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI a. Virus

(5)

tersering rinosinusitis pada orang dewasa dan memuncak pada musim gugur. RSV dan influenza pula akan merusak silia pernafasan pada saat musim dingin dan di awal musim semi.

b. Bakteri

Bakteri patogen yang sering menyebabkan rinosinusitis bakteri akut adalah S. pneumoniae dan H. influenza. Patogen ini menjadi penyebab utama terjadinya rinosinusitis sejak kali pertama dilakukan penelitian. Sedangkan patogen yang sering pada rinosinusitis bakteri kronis adalah s. aureus, staphylococcus koagulase negative, bakteri anaerob dan bakteri gram negative. (Brown, 2008) c. Jamur

Aspergilosis adalah salah satu jamur yang paling sering dijumpai pada infeksi virus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang berwarna hijau kecoklatan. Mukormikosis pula merupakan infeksi oppurtunistik ganas yang dapat berkembang menjadi patogenik pada orang yang menderita asidosis diabetik dan imunosupresi. Pada penderita ini dijumpai sekret warna pekat,gelap, berdarah dan gambaran konka yang berwarna hitam atau merah bata. Candida bersama histoplasmosis, koksidoimilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis dan blastomikosis adalah kasus yang jarang mengenai hidung. (Boeis, 1997)

d. Alergi

(6)

selanjutnya cenderung terjadi akibat pelepasan mediator dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag dan trombosit. (Boeis, 1997).

e. Kelainan anatomi dan struktur hidung

Kelainan anatomi hidung dan sinus dapat mengganggu fungsi mukosiliar secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar. (Hilger, 1997)

f. Hormonal

Pada penelitian Sobot et al didapati bahwa 61% wanita yang hamil pada trimester pertama menderita nasal congestion. Namun patogenesisnya masih belum jelas. (Brook, 2012)

g. Lingkungan

Perubahan mukosa dan kerusakan silia dapat terjadi apabila terpapar pada oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering. Kebiasaan merokok juga memicu hal yang sama. (Mangunkusumo E, 2007)

2.2.3. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya “clearance” mukosiliar didalam sumbatan kompleks osteo meatal (KOM). Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan. (Hilger, 1997).

(7)

Apabila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus akan menjadi media pembiakan yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Efek dari kejadian ini adalah sekret menjadi purulen. Kini keadaan ini dikenali sebagai rinosinusitis akut yang disebabkan oleh bakteri dan memerlukan terapi antibakteri.

Jikalau terapi tidak berhasil, maka inflamasi akan berlanjut sehingga terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak dan siklus ini seterusnya berputar sampai akhirnya terjadi perubahan mukosa yang kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin peril dilakukan tindakan operasi. (Mangunkusumo E, 2007)

Gambar 2.3 Kompleks Osteo Meatal. (Hazenfield, 2009)

2.2.4. KLASIFIKASI

Secara klinis rinosinusitis terbagi atas:

(8)

• Rinosinusitis subakut : durasi terkena rinosinusitis dari 4 minggu 12 minggu. • Rinosinusitis kronis : durasi terkena rinosinusitis sama atau lebih dari 12 minggu • Rinosinusitis rekuren : menderita sama dengan atau lebih dari 4 kali menderita

episode rinosinusitis, tapi episode lebih kurang durasinya 7-10 hari. (Mangunkusomo, 2007)

Berdasarkan penyebabnya rinosinusitis terbagi atas:

• Sinusitis rinogen : penyebabnya adalah kelainan atau masalah di hidung. Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.

• Sinusitis dentogen : penyebabnya adalah kelainan gigi yang sering menyebabkan sinusitis seperti infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar). (Mangunkusomo, 2007).

2.2.5. GEJALA KLINIS

Setiap gejala rinosinusitis, keparahan dan durasinya harus didokumentasi. The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) telah membuat kriteria mayor dan minor untuk mempermudahkan mendiagnosa rinosinusitis. Rinosinusitis dapat didiagnosa apabila dijumpai dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua atau lebih kriteria minor. Gejalanya menurut kriteria mayor dan minor adalah:

• Gejala Mayor :

(9)

- Sekret pada daerah hidung/ sekret belakang hidung yang sering disebut PND (Postnasal drip).

- Kongesti pada daerah wajah - Nyeri /rasa tertekan pada wajah

- Kelainan penciuman(Hiposmia / anosmia) - Demam (hanya pada akut)

• Gejala Minor: - Sakit kepala

- Sakit/ rasa penuh pada telinga - Halitosis/ nafas berbau

- Sakit gigi

- Batuk dan iritabilitas - Demam (semua nonakut) - Lemah

1. Nyeri Gejala Subjektif

(10)

2. Sakit kepala

Pada penyakit sinus, jenis sakit kepalanya sering unilateral atau dimulai sebagai nyeri kepala unilateral dan meluas ke sisi lainnya. Sakit kepala akan meningkat pada posisi badan yang membungkuk ke depan dan jika terjadi perubahan posisi secara tiba-tiba. Nyeri kepala akan menetap saat menutup mata dan saat istirahat. Sakit kepala akibat sinus juga dikatakan sebagai nyeri yang tajam, menusuk-nusuk, melalui mata atau nyeri dan rasa berat yang menetap.

3. Nyeri pada penekanan

Pada penyakit sinus yang berhubungan dengan permukaan wajah seperti sinus frontal, etmoid anterior dan maksila, terdapat nyeri apabila disentuh atau nyeri pada penekanan jari. Nyeri tekan pada os frontal apabila ada penekanan di sudut medial rongga orbita. Pada pemeriksaan sel-sel etmoid anterior, tekanan dilakukan pada sudut medial orbital pada planum orbita os etmoid. Pada pemeriksaan sinus maksila, harus dilakukan penekanan pada fosa kanina os maksila superior.

4. Gangguan penciuman

Keluhan yang paling sering adalah kehilangan sensasi penciuman.

1. Pembengkakan dan edema Gejala Objektif

Pada infeksi akut sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan etmoid) dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat periostitis. Pada palpasi dengan jari boleh didapatkan sensasi seperti ada penebalan ringan. Pembengkakan ini lebih sering pada sinus frontal.

2. Sekret nasal

(11)

olfaktorius, maka sel-sel etmoid posterior dan sfenoid mungkin terkena karena sel-sel tersebut berdrainase ke dalam meatus superior di atas konka medius. 3. Transiluminasi

Transiluminasi sinus memberikan informasi objektif atas kondisi sinus maksila dan frontal, tetapi tidak untuk sinus lainnya. Digunakan apabila tiada fasilitas radiologis. Pada transiluminasi sinus, di dalam kamar gelap, suatu sumber cahaya diletakkan dalam mulut pasien dengan mata pasien terbuka. Apabila refleks pupil merah dan bayangan sinar bulan sabit tidak ada maka kemungkinan sinus maksila terkena. Transiluminasi pada sinus frontal, cahaya diletakkan di bawah dasar sinus frontal pada sudut atas dan dalam orbita, dan kedua sisi dibandingkan.

4. Cairan radioopak

(12)

2.2.6. DIAGNOSA Gambaran klinis

Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada penderita dewasa dan anak berdasarkan gambaran klinik, yaitu:

Tabel 2.1. Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut International Conference on Sinus Disease 1993 & 2004 (Kennedy,1995) No Kriteria Rinosinusitis Akut Rinosinusitis Kronik

Dewasa Anak Dewasa Anak 2 Jumlah episode serangan akut,

masing-masing berlangsung

3 Jumlah episode serangan akut, masing-masing berlangsung

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius atau di daerah meatus superior. (Mangunkusumo dan Rifki).

Rinoskopi anterior

(13)

Endoskopi nasal

Di samping memainkan peranan yang penting dalam mendiagnosa rinosinusitis, endoskopi nasal juga dapat membantu dalam pemberian terapi yang tepat. Sebilangan besar dokter menggunakan menggunakan endoskopi nasal karena alasan yang berikut :

- Gejala-gejala pasien sahaja tidak dapat menjadi patokan untuk mendiagnosa.

- Endoskopi merupakan fasilitas diagnostik yang lebih baik dan dapat mendeteksi kelainan yang tidak diketemukan pada saat anamnesa, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan pencitraan.

- Perubahan warna hijau kekuningan tampak pada permukaan nasal. - Kultur endoskopik berguna untuk organisme yang menyebabkan

rinosinusitis. (Rosenfeld, 2007).

Pemeriksaan mikrobiologi

Biakan dari hasil yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat dibandingkan dengan biakan hidung bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan hidung bagian posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang terkena. Pemeriksaan ini sering dilakukan untuk mencari antibiotik yang sesuai untuk membasmi mikroorganisma penyebab penyakit ini. (Brown, 2008)

Foto polos kavitas nasal dan sinus paranasal Rinosinusitis menunjukkan gambaran berupa : 1. Penebalan mukosa,

2. Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)

3. Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto waters.

(14)

CT csan

CT scan adalah pemeriksaan yang dapat memberikan gambaran yang paling baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya tulang yang relevan untuk mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut. Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT scan menggunakan dosis radiasi yang sangat besar, yang berbahaya bagi mata.(Rosenfeld, 2007).

MRI

Walaupun MRI tidak dapat menunjukkan anatomi tulang sinus paranasal seperti CT scan, namun MRI dapat menunjukkan kelainan pada mukosa dengan baik. (Rosenfeld,2007)

2.2.7. Terapi

Tujuan terapi rinosinusitis adalah untuk mempercepatkan penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah progresifitas penyakit menjadi lebih kronik. Prinsip kerja pengobatan rinosinusitis adalah dengan membuka sumbatan di kompleks osteo meatal sehingga drainase dan ventilasi sinus dipulihkan secara alami.

1. Rinosinusitis akut

(15)

kelainan,seterusnya dilakukan terapi rinosinusitis kronis. Jika tidak terdapat kelainan, maka harus dilakukan evaluasi diagnosa yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari sinus. (McCort,2005)

2. Rinosinusitis subakut

Pertama sekali harus diberikan pengobatan medikamentosa, dan apabila perlu sahaja maka dibantu dengan tindakan diatermi atau pencucian sinus. Dari segi pengobatan, antibiotik berspektrum luas diberikan sesuai dengan resistensi kuman selama 10-14 hari. Selain itu, obatan simptomatis juga dapat diberikan seperti dekongestan. Obatan seperti analgetik, antihistamin dan mukolitik juga dapat diberikan kepada pasien. Tindakan diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave Diathermy) dilakukan sebanyak 5 hingga 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki atau melancarkan vaskularisasi sinus. Setelah tindakan ini masih tidak ada pembaikan, maka harus dilakukan pencucian sinus. Pada sinus maksila, ini dilakukan dengan pungsi irigasi manakala pada sinus etmoid, frontal atau sfenoid yang letak muaranya di bawah, dilakukan dengan cuci sinus cara Proetz,di mana prinsip kerjanya adalah dengan membuat tekanan negatif dalam rongga hidung dan sinus paranasal. . (Hansen, 2011)

3. Rinosinusitis kronis

(16)

tidak ada obstruksi kompleks osteo meatal, maka dilakukan kembali evaluasi diagnosa.

2.2.8. Tindakan operasi

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasi penatalaksanaannya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik yang disertai kista, atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis akibat jamur. (Mangunkusumo dan Rifki, 2003)

2.2.9. Komplikasi 1. Kelainan pada orbita

Penyebab komplikasi ini adalah sinus ethmoidalis karena lokasinya yang terletak berdekatan dengan mata. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi dari ethmoidalis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan infeksi isi orbita juga. Pada komplikasi ini terdapat lima tahapan:

a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Ini terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini sering ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis sering kali merekah pada kelompok umur ini.

b. Selulitis orbita,di mana edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus masih belum terbentuk.

c. Abses subperiosteal, pus telah terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.

(17)

ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.

e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik. (Herawati, 2004)

2. kelainan intracranial

a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.

b. Abses dura, adalah kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium, sering kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intra kranial.

c. Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura, yaitu nyeri kepala yang membandel dan demam tinggi dengan tanda-tanda rangsangan meningen. Gejala utama tidak timbul sebelum tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses memecah kedalam ruang subarachnoid.

d. Abses otak, setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Namun, abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang lazim adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan arachnoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks seebri.

(18)

Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan bertambah hebat bila terbentuk abses subperiosteal, dalam hal mana terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup.Timbul fluktuasi dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Radiogram dapat memperlihatkan erosi batas-batas tulang dan hilangnya septa intrasinus dalam sinus yang keruh. (Rosenfeld, 2007)

4. mukokel

Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam sinus, Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya. Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui atrofi tekanan, mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya (Hilger, 1997).

5. piokel

Gambar

Gambar 2.1. Anatomi hidung dan sinus (Hilger, 1997)
Gambar 2.2. Lokasi sinus dari depan, samping dan belakang (Hazenfield, 2009)
Gambar 2.3 Kompleks Osteo Meatal. (Hazenfield, 2009)
Tabel 2.1. Kriteria rinosinusitis akut dan kronik pada anak dan dewasa menurut

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini, lokasi sinus yang terbanyak terlibat pada penderita rinosinusitis adalah sinus maksila yaitu sebanyak 110 orang (58,5%).. Hasil ini sejalan

Pada tabel 5.7 diatas dapat dijelaskan bahwa berdasarkan jumlah sinus yang terlibat untuk single rinosinusitis merupakan yang paling banyak diderita oleh pasien-pasien yang datang

Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya

Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau. mungkin

Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil- kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis),

Mangunkusomo, 2007). 3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga.. drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase

Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid,

Hasil pada tabel 4 menjabarkan bahwa pasien rinosinusitis kronis yang berkunjung ke RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2011 sebanyak 120 orang tidak dicantumkan