i
LOMBA KARYA TULIS ILMIAH MAHASISWA TINGKAT NASIONAL
JUDUL KARYA TULIS:
DENGUE FEVER SCORING SYSTEM (DeringS), STRATEGI MANDIRI DETEKSI DINI DEMAM DENGUE
Diusulkan oleh:
Nuzul Sri Hertanti (09/282482/KU/13290)
Erawati Werdiningsih (09/281907/KU/13170)
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
ii
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul Karya Tulis Ilmiah : Dengue Fever Scoring System (DeringS), Strategi Mandiri Deteksi Dini Demam Dengue
2. Nama Penulis : Nuzul Sri Hertanti (09/282482/KU/13290 Erawati Werdiningsih (09/281907/KU/13170)
Asal Institusi : Universitas Gadjah Mada Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Ilmu Keperawatan
Contact Person : Nuzul Sri Hertanti (081904192021) 3. Dosen Pembimbing : Haryani, S.Kp., M.Kes
NIP : 19760709 200501 2 002
Asal Institusi : Universitas Gadjah Mada Contact Person : 08122959256
iii
ABSTRAK
Demam Dengue (DD) adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk (Aedes aegypti atau Aedes albopictus) yang terinfeksi virus dengue. Penyakit ini telah merugikan manusia pada lebih dari 100 negara wilayah tropis dan subtropis di seluruh dunia, termasuk Indonesia. DD dapat berkembang menjadi DBD yang menyebabkan pendarahan luar biasa dan dapat menyebabkan syok bahkan kematian. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Pada tahun 2010, kasus DBD di Indonesia mencapai sekitar 140.000 kasus dan menyumbang sekitar 15% kasus DBD dunia. Banyak manifestasi klinis dan keabnormalan hasil laboratorium pada DD yang juga ditemukan pada penyakit infeksi lain, sehingga terkadang keluarga mengabaikan gejala demam yang muncul dan dibawa ke layanan kesehatan dalam kondisi yang sudah buruk. Pada dasarnya tidak ada penanganan spesifik untuk DD, tetapi deteksi dini dan akses pada pelayanan kesehatan yang tepat dapat menurunkan fatality rates di bawah 1%. Oleh karena itu perlu diidentifikasi perbedaan karakteristik DD dengan penyakit endemis tropis yang lain sehingga dapat dilakukan tindakan deteksi dini dan penanganan segera. Salah satu upaya terpenting ialah pencegahan dan deteksi dini yang berfokus pada masyarakat dengan program pemeriksaan mandiri Dengue Fever Scoring System (DeringS). Tujuan dari program ini adalah untuk melaksanakan deteksi dini DD agar mendapatkan penanganan yang tepat dan segera. Metode literatur review digunakan dalam mengembangkan gagasan terkait program ini. Program DeringS dirancang sebagai usaha peningkatan kesehatan masyarakat dan lingkungan dalam mencegah, mengurangi, dan mengendalikan penyakit infeksi tropis yaitu DD/DBD di Indonesia dandiaplikasikan dalam bentuk scoring sebagai instrumen dari deteksi dini penyakit tersebut. DeringS melibatkan peran aktif masyarakat sebagai objek dan pelaksana utama, selanjutnya kerjasama dilakukan antara pihak kader kesehatan di masyarakat, pihak puskesmas maupun pemerintah. Interpretasi dari scoring DeringS dijadikan acuan waktu untuk selanjutnya merujuk penderita DD ke sarana pelayanan kesehatan. Program ini dapat menjadi suatu inovasi solutif yang mudah, murah dan mandiri untuk mendeteksi dini DD dan diharapkan program ini dapat menjadi kebijakan nasional di Indonesia.
iv
KATA PENGANTAR
Kenyataan saat ini bahwa penyakit yang disebabkan oleh virus dengue semakin menjadi ancaman kesehatan bagi masyarakat khususnya daerah perkotaan. Demam Dengue (DD) pada dasarnya kurang berbahaya dari pada Demam Berdarah Dengue (DBD). Akan tetapi DD berulang dapat
mengakibatkan terjadinya DBD. Ditinjau dari sektor kesehatan, DD dapat berkembang menjadi DBD yang menyebabkan pendarahan luar biasa dan
dapat menyebabkan syok bahkan kematian.
Realita yang ada ternyata banyak penderita yang terlambat mengakses pelayanan kesehatan, sehingga sudah mengalami perburukan kondisi. Salah satu rekomendasi yang dicanangkan oleh departemen kesehatan adalah perlunya dilakukan tindakan deteksi dini dan penanganan segera. Program DeringS ini diharapkan dapat memberikan kemandirian pada pasien dalam melakukan deteksi dini DD sehingga dapat menghindari terjadinya keterlambatan penanganan.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang turut membantu membangun gagasan ini terutama kepada dosen pembimbing Haryani, S.Kp., M.Kes yang telah memberikan saran dalam penyusunan proposal ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu saran dan kritik sangat diharapkan agar gagasan ini dapat berkembang dengan lebih baik sebagai langkah pendidikan karakter yang lebih baik lagi.
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 3
C. Tujuan ... 3
D. Manfaat... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Demam Dengue ... 5
B. Pendapat Terdahulu Terkait Demam Dengue ... 8
BAB III. METODE PENULISAN ... 10
BAB IV. PEMBAHASAN A. Analisis Kondisi Kekinian ... 11
B. Program Dengue Fever Scoring System (DeringS) ... 13
C. Analisis Program DeringS dengan Program Sebelumnya ... 19
D. Sintesis Penerapan Program DeringS ... 24
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 27
B. Saran ... 28
DAFTAR PUSTAKA
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kelemahan Pemeriksaan Laboratorium dalam Pendeteksian
vii
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Demam Dengue (DD) adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk (Aedes aegypti
atau Aedes albopictus) yang terinfeksi virus dengue. Ada 4 serotype virus di Indonesia yaitu D-1, D-2, D-3 dan D-4, tetapi terbanyak adalah serotype D-3 dan
D-2 (Depkes, 2012). Infeksi oleh salah satu jenis serotype ini akan memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain sehingga akan menimbulkan dampak yang lebih serius (CDC, 2013).
Demam Dengue (DD) pada dasarnya kurang berbahaya dari pada Demam Berdarah Dengue (DBD). Akan tetapi DD berulang dapat mengakibatkan terjadinya DBD. Demam dengue dan bentuk seriusnya, seperti DBD dan sindroma syok dengue, merupakan penyakit yang telah merugikan manusia pada lebih dari 100 negara wilayah tropis dan subtropis di seluruh dunia (Gibbons & Vaughn, 2002), termasuk Indonesia (WHO, 2013). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2013) mencatat bahwa kasus DBD di dunia semakin meningkat. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya (Depkes, 2012).
Penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, semakin menjadi ancaman kesehatan bagi masyarakat khususnya daerah perkotaan (WHO, 2010). Di Indonesia, sekitar 70 persen kota dan kabupaten merupakan daerah endemik DBD. Provinsi Jakarta dan Bali menjadi penyumbang terbesar kasus DBD (Anna, 2011).
Memasuki awal tahun 2004 di Indonesia, jumlah kasus DBD mengalami
Indonesia merupakan penyumbang sekitar 15 persen kasus DBD dunia (Anna, 2011).
Tingginya angka kejadian dengue tidak hanya memberikan beban berat pada sektor kesehatan namun juga pada sektor ekonomi. Penelitian di delapan negara pada periode tahun 2001-2005 (532.000 kasus) melaporkan perkiraan pengeluaran untuk menangani masalah dengue mencapai US$ 440 juta (WHO, 2009).
Ditinjau dari sektor kesehatan, DD dapat berkembang menjadi DBD yang menyebabkan pendarahan luar biasa dan dapat menyebabkan syok bahkan
kematian. Diperkirakan 500.000 orang dengan dengue berat membutuhkan hospitalisasi setiap tahunnya, proporsi terbanyak adalah anak-anak, dan sekitar 2.5% diantaranya meninggal (WHO, 2012).
Kendala utama dalam pelayanan penderita DBD adalah keterlambatan keluarga membawa penderita ke sarana pelayanan kesehatan, sehingga memperbesar risiko terjadinya kematian (Dinkes Jateng, 2005). Menurut WHO (2009), dilaporkan bahwa case fatality rate di Indonesia terutama di daerah perkotaan masih tinggi hingga mencapai 3-5%. Pada dasarnya tidak ada penanganan spesifik untuk DD, tetapi deteksi dini dan akses pada pelayanan kesehatan yang tepat dapat menurunkan fatality rates di bawah 1% (WHO, 2012).
Demam Dengue merupakan infeksi yang umum terjadi di Asia dan seringkali ditandai dengan penyakit demam akut yang tidak jelas etiologinya (Chadwick et al., 2006). Banyak manifestasi klinis dan keabnormalan hasil laboratorium pada DD yang juga ditemukan pada penyakit infeksi lain, sehingga terkadang keluarga mengabaikan gejala demam yang muncul dan dibawa ke layanan kesehatan dalam kondisi yang sudah buruk (Pickard et al., 2004). Oleh karena itu perlu diidentifikasi perbedaan karakteristik DD dengan penyakit endemis tropis yang lain sehingga dapat dilakukan tindakan deteksi dini dan penanganan segera
Dengue Fever Scoring System (DeringS) merupakan suatu program alternatif
sebagai usaha deteksi dini terjadinya DD. Program ini diharapkan mampu mendukung program pemerintah untuk menurunkan kejadian luar biasa (KLB) DBD. Selain itu, program ini juga akan lebih melibatkan masyarakat untuk peduli dan mampu mengenali tanda dan gejala terjadinya DD. Melalui program DeringS, masyarakat yang berisiko dilatih untuk peka dan mampu mengontrol risiko
sehingga tidak berujung pada komplikasi, peningkatan beban ekonomi, serta kematian.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana kemanfaatan DeringS sebagai strategi deteksi dini demam dengue dalam upaya pencegahan tropical disease di Indonesia?
C. Tujuan
Tujuan yang diharapkan dari adanya program Pemeriksaan Mandiri DeringS ini diantaranya adalah:
1. Mengembangkan alternatif-alternatif terbaik dalam proses deteksi dini DD pada masyarakat yang berisiko tinggi
2. Mendorong kesadaran masyarakat untuk peka terhadap gejala DD yang terjadi dengan cara melakukan pemeriksaan mandiri
3. Mengembangkan program pemeriksaan mandiri dan edukasi DD pada tataran pelayanan kesehatan dasar.
D. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari program Pemeriksaan Mandiri (DeringS) ini antara lain:
1. Terbentuknya suatu program deteksi dini DD pada masyarakat secara mandiri, guna mencegah terjadinya komplikasi DD yang lebih parah 2. Terbentuknya sikap masyarakat yang sadar terhadap potensi peningkatan
3. Terbentuknya program deteksi dini DD yang bekerjasama dengan pelayanan kesehatan dasar, sehingga dapat menghemat biaya dan menghindari terjadinya penumpukan pasien pada setting pelayanan akut. 4. Terbentuknya program pemerintah untuk memberikan pelayanan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Dengue
Demam Dengue (DD) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai sekarang ini dikenal empat serotype virus dengue yaitu DENV 1,
DENV 2, DENV 3, dan DENV 4 (Tawatsin & Thavara, 2010). DD ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang hampir ditemukan hampir diseluruh
penjuru dunia. Di beberapa negara tropis dan subtropics, DD merupakan endemis yang terjadi sepanjang tahun pada musim penghujan karena kondisi tersebut memungkinkan terjadinya perkembangan optimal populasi nyamuk Aedes aegypti (CDC, 2010). Aedes aegypti termasuk nyamuk-nyamuk aedes yang aktif pada waktu siang hari (Sembel, 2009).
1. Patofisiologi
DD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B, yaitu arthropod-borne virus atau virus yang disebabkan oleh artropoda. Virus ini termasuk genus Falvivirus dari family Flaviviridae. Vektor utama penyakit ini adalah nyamuk Aedes Aegepty atau Aedes albopictus dengan cirri-ciri: a) sayap dan badan nyamuk bergaris putih, b) berkembang biak di air jernih, c) jarak terbang ± 100 meter, d) nyamuk betina bersifat multiple bitters dan e) tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi.
Nyamuk yang menjadi vektor ialah nyamuk yang terinfeksi saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam darahnya) dan virus ini dapat ditularka secara transovarial dari nyamuk ke telur-telurnya. Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam kelenjar air liurnya, dan jika nyamuk ini menggigit orang lain maka virus akan
dipindahkan melalui air liur nyamuk.
2. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis utama demam dengue yang menjadi pembeda dengan diagnosa lainnya ialah Fever-Arthralgia-Rash syndrome (Ooi & Gubler, 2011) yaitu timbulnya gejala demam muncul tiba-tiba (39-400C), demam bifasik, berlangsung selama 3-5 hari, nyeri sendi (artralgia) dan ruam pada kulit. Gejala lain yang dapat muncul yaitu sakit kepala berat, mialgia, nyeri pada
retro orbital, tidak nafsu makan, dan gangguan gastrointestinal berupa nyeri abdomen dan konstipasi (Nimmannitya, 2009).
Beberapa gejala lain yang muncul diantaranya nyeri pada faring, rhinitis dan btuk ringan. Mual muntah dapat terjadi pada hari kedua hingga keenam (Michael et al., 2009). Ruam pada kulit umumnya terlihat pada area wajah, leher dan dada. Selanjutnya pada hari ketiga atau keeempat dapat muncul maculopapular. Ruam mulai terlihat pada dada kemudian menyebar pada
ekstrimitas dan wajah yang disertai dengan rasa gatal dan hyperaesthesia (Nimmannitya, 2009).
3. Pemeriksaan dini demam dengue
Infeksi virus dengue dapat asimtomatis atau dapat menimbulkan demam undifferentiated, demam dengue (DD), atau demam berdarah dengue (DBD)
dengan rembesan plasma yang dapat menimbulkan syok (sindrom syok dengue/DSS). Pemeriksaan demam dengue dapat dilakukan melalui pemeriksaan secara fisik maupun pemeriksaan penunjang laboratorium.
a. Pemeriksaan fisik. Gejala klinis dari demam dengue biasanya tergantung dengan usia pasien. Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mengetahui gejala klinis yang muncul seperti demam tinggi yang mendadak, sakit kepala berat, nyeri tulang atau sendi, nyeri tekan perut, mual dan muntah, dan ruam (WHO, 2003). Demam akut yang
Bintik-bintik merah juga dapat terlihat pada hari ketiga atau keempat. Perdarahan kulit (ptekie) tidak umum terjadi. Pada beberapa epidemic, demam dengue dapat disertai dengan komplikasi perdarahan seperti epitaksis, perdarahan gusi, perdarahan gastrointestinal, hematuria dan menoragia (WHO, 2004).
b. Pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik yang diidentifikasi pada
pasien yang diduga mengalami demam dengue perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan darah lengkap,
pemeriksaan enzim hati dan pemeriksaan serologi Pemeriksaan darah lengkap untuk mengkonfirmasi adanya peningkatan hematokrit, trombositopenia, dan leukositopenia (WHO, 2004). Peningkatan hematokrit terjadi ≥ 20% dari nilai normal. Penemuan laboratorium yang signifikan selama kondisi akut demam yaitu leukositopenia. Biasanya leukositopenia ditemukan pada hari ke 2-3 setelah onset demam. Trombositopenia ringan sampai sedang juga ditemukan pada demam dengue. Angka trombosit menunjukkan ≤ 100.000/mm3
. Pada umumnya trombositopenia terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Trombositopenia biasanya ditemukan antara hari ketiga sampai ketujuh (Hadinegoro et al., 2006). Adanya ruam pada wajah, uji positif tornikuet dan leukositopenia merupakan tanda yang membedakan demam dengue dengan diagnosis penyakit lainnya. Pemeriksaan enzim hati dilakukan untuk mengetahui peningkatan enzim hati yaitu SGPT dan SGOT (WHO, 2004). Diagnosis demam dengue akan lebih pasti ditegakkan dengan tes serologi antibody dan isolasi virus atau deteksi antigen dengue dengan reaksi rantai polimerase (PCR) (Nimmannitya, 2009)
B. Pendapat Terdahulu Terkait Demam Dengue
pasien tersebut menderita infeksi dengue, fase penyakit, menentukan tanda bahaya, hidrasi dan status hemodinamik pasien, dan menentukan apakah pasien diharuskan rawat jalan atau rawat inap. Anamnesis pasien meliputi anamnesa terkait hari pertama demam, penilaian tanda bahaya seperti nyeri perut, muntah persisten, perdarahan mukosa, letargi, dan gelisah, adanya diare, adanya perubahan status mental/kejang/nyeri kepala, output urin, riwayat kesehatan
keluarga, lingkungan maupun riwayat perjalanan ke daerah endemik dan kondisi penyerta lain seperti kehamilan, obesitas, DM, hipertensi). Pemeriksaan fisik
dilakukan secara lengkap head to toe dengan inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi maupun tes tourniquet.
Pemeriksaan penjunjang yang dilakukan mencakup pemeriksaan darah lengkap terhadap sel darah merah, sel darah putih dan trombosit (Turgeon, 2004). Pemeriksaan darah lengkap tersebut diantaranya adalah pemeriksaan jumlah leukosit, kadar hemoglobin, hematokrit, dan jumlah eritrosit (Barbara, 1984). Tes tambahan lainnya sebaiknya dilakukan jika ada indikasi seperti tes fungsi hepar, glukosa, serum elektrolit, urea dan kreatinin, bikarbonat atau laktat, enzim jantung dan EKG. Pemeriksaan trombosit dapat digunakan sebagai alat bantu untuk diagnosis dengue karena menunjukkan sensitivitas yang tinggi mulai dari hari keempat demam sebesar 67.7% bahkan pada hari ke-5 sampai hari ke-7 menunjukkan angga 100% (Agus et al., 2011). Spesifitas yang sangat tinggi pada penggunaan trombositopenia sebagai parameter disebabkan karena jarangnya penyakit infeksi yang disertai dengan penurunan trombosit sampai dibawah 150.000/mm3. Dengan demikian pemeriksaan trombosit harian akan sangat membantu diagnosis dengue karena meningkatkan sensitivitas dan spesifitasnya (Dacie & Lewis, 1977). Penggunaan parameter gabungan trombositopeni dan leukopeni menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi daripada sensitivitas
Uji serologis sering dipakai dan dipergunakan sebagai gold standar yaitu dengan uji hemaglutinasi inhibisi (HI test). Akan tetapi uji HI tidak spesifik menunjukkan tipe virus yang menginfeksi. Mac Elisa pada tahun terakhir ini merupakan uji serologi yang banyak dipakai. Tes tersebut akan mengetahui kendungan IgM dalam serum pasien. Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian diikuti dengan IgG. Uji IgM tidak boleh dipakai
sebagai satu-satunya uji diagnosis untuk pengelolaan kasus. Uji Mac Elisa mempunyai sensitifitas sedikit di bawah uji HI. Saat ini sudah banyak merek
dangang kit uji infeksi dengue dengan uji IgM atau IgG Elisa.
Akhir-akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekuler diagnosis infeksi virus dengue dapat dilakukan dengan uji reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR). Cara ini merupakan diagnosis yang sangat sensitive
dan spesifik terhadap serotype tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang bearsal dari darah, jaringan tubuh manusia dan nyamuk.
Selain program pendeteksian dini terhadap penyakit DD, selanjutnya telah diupayakan beberapa program pencegahan dengan prinsip pemberantasan vektor yang berbasis masyarakat untuk menurunkan angka penderita DD (Gubler, 2010). Beberapa program tersebut diantaranya, 1) Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN); 2) Program Pemberdayaan Juru Pemantau Jentik (Jumantik); 3) Fogging dan 4) Abatisasi selektif. Program PSN yang dilakukan dengan metode 3M plus dan abatisasi selektif dilakukan oleh masyarakat (Depkes, 2004). Pemberdayaan Jumantik dilakukan dengan pemantauan jumlah jentik yang ada di setiap rumah warga di daerah beresiko (Pranoto, 2011). Fogging dilakukan dengan pencampuran obat nyamuk dan solar dengan tekanan tinggi dibuat menjadi butir-butir kecil berbentuk asap, fogging tidak mematikan telur atau jentik sehingga
BAB III
METODE PENULISAN
Metode penulisan yang digunakan dalam mengembangkan gagasan Pemeriksaan Mandiri Dengue Fever Scoring System (DeringS) adalah menggunakan literature review. Metodologi yang dilakukan bertujuan untuk
mengeksplorasi permasalahan aktual terkait dengan DD, mengembangkan gagasan yang akan diambil, dan mencari relevansinya dengan sistem yang
sudah ada dan bagaimana memodifikasi sistem tersebut agar menjadi lebih baik lagi.
Literatur yang digunakan sebagai landasan teori didapatkan dari text book maupun jurnal. Jurnal yang mendukung penulisan ini antara lain berjudul Dengue Fever Scoring System: New Strategyfor the Early Detection of Acute
DengueVirus Infection in Taiwan (Chang et al, 2009); Distinguishing dengue
fever from other infections on the basis of simple clinical and laboratory
features: application of logistic regression analysis (Chadwick, 2006); dan
Sensitivity and specificity of immunocytochemical assay for detection of
Dengue virus 3 infection in mosquito (Widiastuti, 2011).
Penggunaan text book digunakan untuk meninjau hal-hal yang dapat dijadikan acuan dalam kerangka pikir penyusunan gagasan. Tahap yang selanjutnya dilakukan adalah dengan meninjau kembali gagasan yang ada menggunakan hasil riset terbaru atau evidance based yang telah ada melalui jurnal. Peninjauan dilakukan dengan menelaah fenomena terbaru dalam memanajemen DD, khususnya untuk meninjau cara deteksi dini DD bagi masyarakat yang berisiko tinggi.
Selama proses pembentukan gagasan hingga tahap penyusunan prosedur
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Kondisi Kekinian
Saat ini pemeriksaan laboratorium dipercaya sebagai alat pendeteksi pasti yang cepat untuk mengetahui infeksi virus Dengue. Pemeriksaan laboratorium
tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga golongan pemeriksaan yaitu isolasi dan identifikasi virus, deteksi antigen, dan tes serologi. Metode reverse transcription
polymerase chain reaction (PCR) dinyatakan sebagai pemeriksaan yang sangat sensitif dan spesifik serta dapat mendeteksi viremia oleh virus Dengue pada hari kedua demam, namun hanya laboratorium tertentu saja yang dapat melakukan metode diagnosis molekular ini (Chow, 1997; Vaughn, 1997; Widiastuti et al., 2011).Selain itu, masyarakat melakukan pemeriksaan tersebut saat kondisi sudah parah dan pemeriksaan dilakukan sebagai prosedur indikasi anjuran dokter. Jika dianalisis dari segi keekonomisan, biaya untuk melakukan pemeriksaan dengan metode reverse transcription PCR sangat mahal, sehingga sulit untuk dijadikan sebagai metode pendeteksi dini infeksi Dengue untuk semua lapisan masyarakat.
Diperlukan suatu metode pendeteksi infeksi Dengue yang dapat digunakan oleh semua lapisan masyarakat. Deteksi dini perlu dilakukan sebagai strategi pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dapat mengakibatkan kematian. Menyikapi kondisi tersebut, penulis berinisiatif untuk menciptakan suatu gagasan berupa metode deteksi dini demam Dengue yang mengkombinasikan konsep health promotion dan community empowerment. Hal ini dirasa penting karena untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kegiatan deteksi dini kesehatan diperlukan keterlibatan langsung dari masyarakat itu sendiri.
atas perlindungan perseorangan, pemberantasan vektor dalam wabah dan pemberantasan vektor untuk pencegahan wabah, dan pencegahan penyebaran penyakit DBD. Beberapa program tersebut antara lain:
1. Pengelolaan lingkungan dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) Pengelolaan lingkungan meliputi berbagai kegiatan untuk mengkondisikan lingkungan sebagai upaya pencegahan dengan mengurangi perkembangbiakan
vektor yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus sehingga mengurangi kontak antar vektor dengan manusia (Widoyono, 2008). Penggerakan kegiatan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dilakukan di daerah endemik dan sporadic (Sitio, 2008). Upaya pemberantasan sarang nyamuk dilakukan dengan metode 3M yang selanjutnya berkembang menjadi 3M plus (Subargus, 2010).
Kegiatan 3M plus tersebut ialah kegiatan 3M diperluas dengan beberapa cara lain yaitu: (a) mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali, (b) memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar, (c) menutup lubang lubang pada potongan bambu/pohon, (d) memelihara ikan pemakan jentik, (e) memasang kawat kassa, (f) mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruangan yang memadai, (g) menggunakan kelambu pada saat tidur siang, memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk, dan (h) menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam ruangan rumah (Depkes, 2004).
2. Abatisasi selektif merupakan kegiatan memberikan atau menaburkan larvasida ke dalam penampungan air yang positif terdapat jentik aedes. Larvasida yang dimaksud berupa butiran pasir temefos 1% dilakukan untuk memberantas jentik nyamuk Aedes aegypti selama 8-12 minggu (WHO, 2004).
3. Fogging merupakan kegiatan menyemprot dengan insektisida (malation losban) untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW per 400 rumah
per 1 dukuh (Widoyono, 2008).
sampel dapat dilakukan dengan cara random atau metode spiral (dengan rumah di tengah sebagai pusatnya) atau metode zig zag. Dengan kegiatan ini akan didapatkan angka kepadatan jentik atau HI/ house index (Hidayani, 2011). Hal ini selanjutnya dapat digunakan untuk mengidentifikasi tempat perindukan dan habitat larva yang diikuti dengan rencana pemberantasan sarang nyamuk/PSN (Kandun, 2000).
5. Pemanfaatan Juru Pemantau Jentik (Jumantik) yaitu pengorganisasian sejumlah kader yang berperan dalam memantau keberadaan jentik di
rumah-rumah penduduk. Program ini bahkan telah diperluas hingga adanya Jumantik Cilik yang merupakan pengaplikasian program Jumantik yang telah ada sebelumnya dengan pembaharuan sasaran program yang berbasis sekolah maupun Jumantik plus yaitu pengadaan kader pemantau jentik sekaligus pemanfaatan vektor biologis berupa ikan cupang/Ctenops vitatus (Pranoto, 2011).
B. Program Dengue Fever Scoring System (DeringS)
Program Dengue Fever Scoring System (DeringS) merupakan suatu strategi yang mudah, murah, dan mandiri guna deteksi dini DD pada masyarakat. Program ini sebagai bentuk kombinasi health promotion dan community empowerment terhadap DD pada masyarakat yang berisiko. Tujuan dari program ini adalah untuk melaksanakan deteksi dini DD agar mendapatkan penanganan yang tepat dan segera. Oleh karena itu diharapkan dapat menghindari terjadinya perburukan kondisi penderita.
1. Sasaran program DeringS
Sasaran program ini adalah seluruh masyarakat yang berada di daerah berisiko terjadinya DD maupun DBD. Masyarakat dapat mengakses layanan
ini melalui puskesmas maupun kader kesehatan setempat.
2. Pelaksana/pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program DeringS
yang lain diharapkan mampu untuk melakukan tindakan deteksi dini. Tujuan dari deteksi dini mandiri ini adalah untuk mengetahui apakah demam yang dialami merupakan DD atau demam akibat gejala dari penyakit yang lainnya. Pelayanan edukasi, evaluasi dan pemeriksaan lanjutan lainnya dilaksanakan di Puskesmas. Posyandu juga turut serta dalam penyebarluasan informasi program DeringS. Masyarakat akan mendapatkan leaflet yang berisi lembar
skoring deteksi dini, petunjuk pengisian, serta informasi mengenai demam dengue. Pihak utama yang terlibat dalam pelaksanan program ini antara lain
masyarakat, kader kesehatan, perawat, dan dokter. a. Masyarakat
Dalam pelaksanaan program ini masyarakat mempunyai peran utama sebagai objek sekaligus pelaksana utama. Masyarakat diharapkan mampu melakukan pemeriksaan mandiri untuk deteksi dini DD pada anggota keluarganya sehingga tidak terjadi keterlambatan penanganan. Selain itu, masyarakat juga dapat didukung untuk turut berperan aktif dalam mengakses informasi terkait program DeringS.
b. Kader Kesehatan
Kader kesehatan turut berperan penting dalam program DeringS. Kader kesehatan dalam program ini berperan sebagai 1) penyalur informasi dari puskesmas ke masyarakat sasaran; 2) mengikuti sosialisasi program DeringS; 3) melakukan pencatatan dan evaluasi terkait hasil program DeringS yang kemudian akan dilaporkan kepada pihak puskesmas khususnya perawat komunitas.
c. Pihak Puskesmas 1) Tugas perawat
Dalam pelaksanaan program ini, dibutuhkan minimal satu
pendidikan kesehatan mengenai dengue; 3) perawat memberikan klarifikasi terkait hasil interpretasi skoring; 4) perawat bersama-sama dengan dokter dalam pendampingan perawatan, pemeriksaan lanjutan dan atau pengobatan yang dijalani pasien.
2) Tugas dokter
Minimal dibutuhkan satu dokter untuk menunjang kelancaran
program ini. Dalam program ini, dokter bertugas untuk 1) melakukan pemeriksaan lanjutan terkait kondisi pasien; 2) memberikan rujukan
untuk pemeriksaan diagnostik atau pemeriksaan laboratorium yang lengkap jika diperlukan; 3) memberikan pengobatan yang sesuai dengan kondisi peserta program.
3. Gambaran program DeringS
Program yang ditawarkan DeringS antara lain: a. Deteksi Dini
Klien melaksanakan DeringS di rumah masing-masing secara mandiri setelah mendapatkan informasi mengenai program tersebut. Program DeringS dilakukan untuk menilai apakah demam yang dialami merupakan DD atau bukan sehingga dapat dideteksi secara dini. Skoring dilakukan oleh salah satu anggota keluarga yang dinilai mampu. Sebelum melakukan pemeriksaan mandiri, klien harus sudah membaca leaflet dan memahami prosedur program tersebut. Sehingga klien dapat dengan mudah mengikuti prosedur atau langkah-langkah DeringS sebagai berikut:
1) Klien mendapatkan leaflet melalui puskesmas atau posyandu. Leaflet berisi mengenai pengertian DD dan DBD, cara penyebaran DD
dan DBD, gejala yang tampak pada penderita, perawatan yang diperlukan oleh penderita, kolom skoring, serta petunjuk pengisian.
2) Saat ada anggota keluarga yang demam (biasanya anak-anak), anggota keluarga yang lain dapat melakukan penilaian/skoring sesuai petunjuk dengan mengisi kolom yang tertera pada leaflet.
diminta untuk segera mengunjungi puskesmas yang terdaftar pada clinician listed di leaflet untuk mendapatkan pemeriksaan lanjutan.
Klien dengan skor ≥ 6 merupakan klien yang dicurigai mengalami DD. b. Edukasi
Masyarakat dapat memanfaatkan layanan edukasi dan konsultasi. Pemberi edukasi adalah perawat atau kader posyandu, sehingga edukasi
dapat diperoleh di puskesmas atau posyandu. Edukasi yang diberikan antara lain meliputi pengertian DD dan DBD, cara penyebaran DD dan
DBD, gejala yang tampak pada penderita, perawatan yang diperlukan oleh penderita, peningkatan kewaspadaan terutama saat musim hujan, serta penguatan program pemerintah yang lainnya seperti halnya program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M plus.
4. Prosedur Program DeringS
Program DeringS difokuskan untuk diterapkan di layananan kesehatan dasar yaitu puskesmas. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung program pemerintah dalam rangka pengoptimalan fungsi puskesmas dan sebagai wujud salah satu program wajib puskesmas yaitu pencegahan dan pengendalian penyakit menular dan tidak menular.
Gambar 1. Alur Pelaksanaan DeringS
Alur pelaksanaan DeringS berdasarkan Gambar 1 mempertegaskan alur koordinasi dan komando program DeringS dari pemerintah khususnya dinas
DeringS
Pemerintah
Puskesmas
Dinas Kesehatan
Perawat Komunitas
Kader Kesehatan
kesehatan kepada puskesmas dan jajaran di bawahnya yaitu kader kesehatan dan masyarakat. Program DeringS menitikberatkan pada tujuan pemberdayaan masyarakat yang melibatkan berbagai elemen penting dimulai dari pemerintah, pihak puskesmas, kader kesehatan setempat dan masyarakat itu sendiri. Pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan diharapkan dapat berperan dalam pembuat kebijakan terkait program DeringS sebagai program utama
deteksi dini DD. Setelah program ini disetujui sebagai suatu prosedur deteksi dini, selanjutnya pihak Dinas Kesehatan mengadakan sosialisasi program
khusus kepada pihak Puskesmas dalam hal ini diutamakan ialah perawat komunitas. Sosialisasi dapat dilakukan melalui rapat koordinasi dinas kesehatan dengan pihak puskesmas. Peran perawat komunitas dalam program ini ialah mengedukasi kader kesehatan maupun masyarakat dalam pelaksanaan program DeringS. Setelah program diterapkan, perawat berperan dalam mengevaluasi pelaksanaan DeringS.
Kader kesehatan di daerah setempat berperan dalam mengedukasi langsung masyarakat melalui forum kemasyarakatan seperti posyandu atau kegiatan kemasyarakatan lainnya. Diharapkan kader memiliki kemampuan persuasif terhadap masyarakat agar memiliki motivasi tinggi dalam mengikuti program DeringS. Masyarakat berperan sebagai sasaran sekaligus pelaksana utama DeringS. Setelah masyarakat paham mengenai prosedur kerja DeringS, selanjutnya program ini siap untuk diaplikasikasikan secara mandiri oleh setiap keluarga. Kondisi yang berbeda ketika program ini belum disahkan sebagai suatu kebijakan, program ini tetap dapat dijalankan dengan sasaran pihak Puskesmas. Sosialisasi program dilakukan peneliti kepada pihak Puskesmas suatu daerah untuk dicoba diaplikasikan pada masyarakat di daerah tersebut. Diharapkan setelah diterapkan, monitoring keefektifan program dapat
Gambar 2. Alur Teknis Masyarakat dalam Pelaksanaan Program
Berdasarkan Gambar 2 dijelaskan alur teknis pelaksanaan program DeringS oleh masyarakat dari awal mereka mendapatkan sosialisasi hingga mendapatkan penanganan medis yang sesuai dengan kondisi pasien. Salah satu bentuk sosialisasi program ini dilakukan melalui leaflet yang dibagikan pada pasien saat mereka berkunjung ke puskesmas. Selain itu, sosialisasi program ini juga dapat dilakukan dengan perantara kader-kader kesehatan
yang ada di masing-masing daerah melalui kegiatan posyandu. Kader kesehatan akan menghimbau masyarakat untuk datang ke puskesmas guna mengetahui lebih lanjut program DeringS.
Leaflet yang dibagikan di puskesmas terdiri atas informasi mengenai
pengertian DD dan DBD, cara penyebaran DD dan DBD, gejala yang tampak Masyarakat pengunjung puskesmas/posyandu
Mengambil leaflet
Deteksi dini di rumah mengisi kolom skoring Mendapat edukasi program
Skor DeringS ≥ 6
Rujukan cek lab Berkunjung ke puskesmas
Klarifikasi interpretasi skor
pada penderita, perawatan yang diperlukan oleh penderita, kolom skoring, serta petunjuk pengisian. Masyarakat mendapatkan edukasi mengenai cara pengisian dan interpretasi skor DeringS. Masyarakat dievaluasi terkait kemampuan penggunaan DeringS, selanjutnya dianjurkan untuk menggunakan DeringS dengan mengisi kolom skoring tersebut sebagai bentuk tindakan deteksi dini DD di rumah.
Apabila jumlah skor DeringS ≥6, maka individu tersebut diminta segera mengunjungi puskesmas untuk mendapatkan klarifikasi interpretasi skor dari
perawat dan mendapatkan pemeriksaan lanjutan dari dokter. Berdasarkan hasil pemeriksaan lanjutan yang dilakukan dokter, pasien akan mendapatkan rujukan pemeriksaan laboratorium dan penanganan medis sesuai dengan gejala yang muncul. Dengan begitu, penanganan gejala DD dapat dilakukan sejak dini sehingga perburukan gejala bahkan kematian dapat dicegah.
C. Analisis Program DeringS dengan Program Sebelumnya
Program pemeriksaan untuk mendeteksi DD yang telah ada dapat dikelompokkan dalam tiga golongan pemeriksaan yaitu isolasi dan identifikasi virus, deteksi antigen, dan tes serologi. Isolasi dan identifikasi virus mempunyai nilai ilmiah tertinggi karena penyebab infeksi dapat dipastikan melalui metode ini (Syahrurachman, 1988). Keberhasilan metode isolasi dan identifikasi virus tergantung pada kecepatan, ketepatan, pengolahan dan pengiriman bahan. Hal ini disebabkan karena virus Dengue relatif labil terhadap suhu dan faktor-faktor risiko kimiawi tertentu, selain itu virus Dengue mempunyai masa viremia yang sangat singkat. Isolasi virus dapat dilakukan pada nyamuk, biakan sel atau bayi mencit.
Deteksi antigen merupakan metode deteksi dini dengue dengan mencari
relatif singkat. Selain itu, metode PCR juga dapat mengetahui viremia yang terjadi dalam waktu singkat sebelum antibodi terbentuk (Settah et al., 1995). Metode
reverse transcription PCR sangat sensitif dan spesifik serta dapat mendeteksi viremia oleh virus Dengue pada hari kedua demam (Chow, 1997; Vaughn, 1997).
Uji serologi merupakan jenis pemeriksaan yang paling sering dilakukan. Uji serologi digolongkan dalam dua jenis yaitu uji serologi klasik dan modern. Uji
hambatan hemaglutinasi, uji pengikatan komplemen dan uji netralisasi merupakan beberapa jenis dari uji serologi klasik (Syahrurachman, 1988; Soebandrio, 1988).
Uji serologi yang lebih modern yaitu enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), immunoblot dan immunochromatography (Wiradharma, 1999).
Pemeriksaan laboratorium bukanlah metode yang paling sempurna dalam pendeteksi Dengue. Setiap pemeriksaan memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Berikut analisis peneliti terkait kelemahan dari pemeriksaan laboratorium yang dirangkum pada Tabel 1.
Tabel 1. Kelemahan Pemeriksaan Laboratorium dalam Pendeteksian DD Isolasi dan Identifikasi
Virus Deteksi Antigen Uji Serologi
1. waktu yang diperlukan untuk isolasi cukup lama yaitu 7-14 hari.
1. tidak cukup sensitif untuk mendeteksi jumlah antigen yang sangat sedikit di dalam sirkulasi
1. hasil positif hanya menunjukkan bahwa pasien sedang atau baru saja terinfeksi
2. hanya dapat dilakukan oleh laboratorium tertentu saja
2. hanya dapat dilakukan oleh laboratorium tertentu saja
2. pengambilan serum paling sedikit dua kali dengan jarak minimal 7 hari 3. memerlukan prosedur invasif untuk mendapatkan bahan uji 3. memerlukan prosedur invasif untuk mendapatkan bahan uji 3. memerlukan prosedur invasif untuk mendapatkan bahan uji
4. biaya mahal 4. biaya sangat mahal 4. biaya mahal
Berdasarkan Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa pendeteksian DD menggunakan
7-14 hari, sehingga metode ini hanya dapat dilakukan oleh laboratorium tertentu saja (Syahrurachman, 1988; Soebandrio, 1988; Soedarmo, 1983).
Tidak semua metode laboratorium sensitif dalam mendeteksi DD. Deteksi antigen khususnya immunofluorecence dan immunoperoxydase tidak cukup sensitif untuk mendeteksi jumlah antigen yang sangat sedikit di dalam sirkulasi. Selain itu, metode tersebut lebih sering digunakan untuk mendeteksi antigen di
jaringan pada penelitian post mortem. Meskipun metode reverse transcription PCR dinyatakan lebih sensitif, akan tetapi metode ini hanya dapat dilakukan di
laboratorium tertentu saja dan biayanya sangat mahal. Oleh karena itu, metode reverse transcription PCR sulit untuk dijadikan sebagai metode deteksi dini utama
DD untuk semua kasus pada masyarakat luas.
Kelemahan uji serologi telah dipaparkan pada Tabel 1. Diantara beberapa jenis uji serologi klasik, uji netralisasi sebenarnya merupakan uji yang terbaik. Akan tetapi tekniknya sulit, sehingga jarang dipakai. Uji hambatan hemaglutinasi dan uji pengikatan komplemen lebih mudah dilakukan, namun hasilnya tidak spesifik. Hasil positif dari uji hambatan hemaglutinasi dan uji pengikatan komplemen hanya menunjukkan bahwa pasien sedang atau baru saja terinfeksi oleh Flaviviridae, namun tidak dapat memastikan apakah penyebab infeksi tersebut adalah virus Dengue, bahkan serotipe tertentu (Vaughn, 1997; Soebandrio, 1988) . World Health Organization/WHO (2003), sebelumnya pernah menggunakan
metode uji hambatan hemaglutinasi sebagai standar untuk mengklasifikasikan respon antibodi (Wiradharma, 1999). Klasifikasi tersebut meliputi respon primer (infeksi primer), respon sekunder (infeksi sekunder) dan respon bukan Dengue. Diperlukan pengambilan bahan paling sedikit dua kali yaitu serum fase akut dan serum fase konvalesens (menjelang pasien pulang) dengan jarak minimal 7 hari untuk melakukan metode tersebut. Oleh karena itu, metode ini agak sulit untuk
fokus pada deteksi mandiri masyarakat terhadap DD melalui check list sistem skoring yang mencakup komponen epidemiologi, gejala klinis dan diagnosis pembeda (differential diagnosis). Diharapkan dengan adanya DeringS, masyarakat tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk melakukan pemeriksaan laboratorium yang belum pasti manifestasi gejalanya mengarah pada DD. Program DeringS bukanlah sebagai pengganti metode laboratorium dalam
mendeteksi DD. Program ini sebagai program early detection sebelum masyarakat perlu dirujuk untuk melakukan pemeriksaan laboratorium. Kelebihan yang
diunggulkan program DeringS mencakup 3M yaitu 1) mudah; 2) murah; dan 3) mandiri.
Analisis peneliti terhadap kelebihan DeringS yang pertama yaitu kemudahan penerapan program. Kemudahan yang ditawarkan adalah mudah dalam melakukan deteksi dini demam dengue. Masyarakat hanya perlu mengisi lembar check list DeringS dengan komponen check list yang mudah dipahami maksudnya. Pengisian lembar dapat dilakukan dimanapun dan siapapun dapat mengisi lembar tersebut, tidak perlu mendatangkan tenaga kesehatan ahli sehingga deteksi dini dapat dilakukan lebih awal sebelum kondisi dengue lebih parah. Pengisian lembar check list DeringS juga tidak memakan waktu yang lama, sehingga efisien waktu. Program ini juga dapat membantu masyarakat yang tempat tinggalnya jauh dari tempat pelayanan kesehatan. Mereka hanya perlu datang ke puskesmas jika skor check list DeringS lebih dari 6 untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terkait kondisi demam dengue yang dialami.
Keunggulan yang selanjutnya dari segi ekonomis, program DeringS merupakan metode deteksi dini demam dengue yang murah. Berbeda dengan program deteksi yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, seperti metode reverse transcription PCR yang memerlukan biaya besar. Program DeringS dapat
didapatkan secara gratis di puskesmas. Selanjutnya masyarakat dapat memperbanyak sendiri lembar check list DeringS jika sudah habis dipakai untuk mendeteksi.
dalam melakukan deteksi dini. Luaran utama yang diharapkan dari program ini adalah dapat memandirikan masyarakat untuk melakukan deteksi dini demam dengue. Kemandirian masyarakat dapat dicapai dengan memberikan kemudahan dalam melaksanakan program serta adanya dukungan dari beberapa pihak terkait seperti tenaga kesehatan, kader kesehatan, kelompok yang ada di lingkungannya, tokoh masyarakat dan lain sebagainya. Kemandirian tersebut akan meningkatkan
pengetahuan dan mengubah sikap serta perilaku terhadap kondisi kesehatan mereka. Masyarakat yang pada awalnya terlalu mengabaikan tanda gejala klinis
demam, diharapkan dapat lebih sadar. Masyarakat yang terlalu sensitif terhadap sedikit saja perubahan dalam dirinya sehingga langung ke rumah sakit padahal tidak sakit, diharapkan dapat mengontrol sensitifitasnya dengan program DeringS, sehingga dapat efisien secara finansial maupun waktu.
Selain itu untuk menurunkan angka penderita DD maupun insidensi terjadinya perburukan gejala penderita maka pemerintah telah menyusun beberapa program berbasis komunitas yang menitikberatkan pada prinsip pemberantasan vector (Depkes, 2004). Salah satu program yang dicanangkan dan paling lazim dilakukan di masyarakat ialah fogging. Program pemberantasan vektor dengan cara ini belum dapat menjangkau seluruh penderita sehingga kurang berhasil dalam menurunkan angka penderita (Masykuri, 1997). Pelaksanaan program ini seharusnya dilakukan setiap 3 bulan sekali tidak dilakukan sesuai jadwal semestinya, hal ini dikarenakan program tersebut disesuaikan dengan kebijakan mandiri dari masyarakat setempat yang tentu saja biasanya dikaitkan dengan ketersediaan dana maupun kesepakatan masyarakat (Respati, 2008). Keefektifan program ini hanya untuk menurunkan jumlah jentik sehingga jika tidak disertai dengan kepatuhan masyarakat pada program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan metode 3M, jumlah vektor tetap tinggi karena jentik akan tumbuh
persepsi bahwa tindakan tersebut cukup dilakukan di kebun saja, sedangkan untuk mencapai keefektifan seharusnya program fogging ini dilakukan di seluruh area ruangan dalam rumah (Respati, 2008).
Abatisasi atau larvasidasi selektif yang dilakukan pada beberapa daerah epidemik maupun sporadik masih dianggap kurang efektif karena keefektifan kerja bahan kimia ini akan berkurang bahkan hilang bila masyarakat menguras
bak mandi atau tempat penampungan air dan abate memiliki batas ampuh hanya selama 3 bulan. Selanjutnya pemanfaatan Juru Pemantau Jentik (Jumantik) dalam
menurunkan Angka Bebas Jentik (ABJ) pada dasarnya merupakan implementasi dari pemberdayaan masyarakat langsung (Pranoto, 2011). Desain program ini mendapat nilai lebih setelah diperbaharui pula dengan disertai pemanfaatan vektor biologis yaitu Jumantik plus maupun perluasan sasaran program berbasis sekolah yang dikenal dengan istilah Jumantik Cilik. Akan tetapi permasalahannya ialah pada pelaksanaan program maupun kesinambungannya yang dinilai masih rendah bahkan tidak semua masyarakat tahu dan menerapkan program ini di lingkungannya (Depkes, 2004).
Prinsip pemberantasan vektor merupakan strategi yang efektif dalam mengurangi angka penderita DD akan tetapi dalam pengimplementasiannya tidak jarang menemui hambatan terkait pendanaan, komitmen pelaksana program maupun fisibilitas pelaksanaan yang berhubungan dengan kesiapan komunitas terhadap program. Oleh karena itu, untuk menyikapi kelemahan program pemerintah tersebut, program DeringS dapat menjadi solusi deteksi dini DD yang berfokus pada manusia untuk mencegah terjadinya perburukan kondisi dan mengurangi angka penderita DD.
D. Sintesis Penerapan Program DeringS
(2009) menunjukkan bahwa sistem skoring dengan lembar check list sangat membantu dalam deteksi dini DD sebelum individu memeriksakan diri ke tempat pelayanan kesehatan. Lembar skoring DeringS mengadopsi dari Chang et al (2009) yang telah digunakan di kalangan masyarakat Taiwan. Lembar skoring tersebut memiliki nilai sensitifitas sebesar 90.7%, spesifisitas 86.9%, nilai prediktif positif 81.4%, dan nilai prediktif negatif 93.6%, sehingga lembar skoring
DeringS tidak hanya lembar skoring sembarangan.
Sintesis penerapan program DeringS di kalangan masyarakat Indonesia dapat
dilakukan. Hal ini didasari oleh karakteristik masyarakat yang lebih menyukai sesuatu yang mudah dan murah. Kemudahan dan sifat ekonomis menjadi poin penting dalam kehidupan masyarakat karena dengan kemudahan membuat seseorang senang hati dalam melakukan sesuatu dan dengan keekonomisan membuat seseorang semakin yakin dalam melakukan atau menggunakan sesuatu. Program DeringS menjawab keinginan masyarakat sesuai dengan karakteristik unik yang mereka miliki. Melalui prinsip 3M yaitu mudah, murah, dan mandiri peneliti optimis program DeringS dapat diterapkan dan diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
Penerapan program DeringS tidak lepas dari kebutuhan dukungan dari beberapa pihak terkait. Sasaran penentu pelaksanaan program ini yaitu pemerintah melalui dinas kesehatan (Dinkes). Jika program DeringS ini digalakkan menjadi program deteksi dini DD secara nasional, maka seluruh Dinkes yang ada di Indonesia akan menerapkan program ini secara teknis melalui puskesmas yang ada di seluruh wilayah. Program ini dapat meningkatkan revitalisasi fungsi puskesmas sebagai tempat pelayanan kesehatan dasar masyarakat dan mengurangi penumpukan pasien di rumah sakit padahal kondisi individu dapat diatasi di puskesmas. Selain itu program ini dapat mendukung program wajib puskesmas
yaitu pencegahan dan pengendalian penyakit menular dan tidak menular.
Pengaruh tokoh masyarakat maupun kelompok komunitas masyarakat seperti kelompok ibu PKK juga dapat diberdayakan untuk membantu mensosialisasikan pelaksanakan program ini.
Peneliti optimis dengan adanya intergritas dukungan dari berbagai pihak terkait tersebut, dapat menjadikan DeringS sebagai program inovatif dan solutif dalam deteksi dini DD. Kekonsistenan penerapan program ini mampu menjadi
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemeriksaan Mandiri Dengue Fever Scoring System (DeringS) merupakan salah satu program inovatif yang solutif dalam mendeteksi dini kejadian Demam
Dengue pada masyarakat khususnya yang berada di daerah yang berisiko tinggi. Program ini mudah dilakukan, tidak memerlukan biaya yang mahal (murah) dan
berguna sebagai upaya preventif, serta mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam melakukan deteksi dini Demam Dengue secara mandiri.
Teknik implementasi program ini terwujud dalam pemberian edukasi, pemberian leaflet, pemeriksaan mandiri di rumah, serta pelayanan lanjutan di Puskesmas. Hasil yang diharapkan dari program ini adalah meningkatkan kepekaan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya deteksi dini Demam Dengue agar tidak terjadi perburukan kondisi yang menyebabkan kematian.
Pelaksanaan program ini akan optimal jika ada dukungan dan kerjasama yang baik antara pemerintah khususnya dinas kesehatan, puskesmas, tenaga kesehatan, kader kesehatan, tokoh masyarakat dan masyarakat itu sendiri sebagai sasaran. Adanya prosedur jelas dari program ini diharapkan mampu menjadikannya sebagai program nasional yang dilaksanakan di seluruh puskesmas yang ada di Indonesia. Jika program ini berhasil diterapkan secara tepat, penulis optimis program ini dapat menjadi suatu inovasi dalam peningkatan deteksi dini Demam Dengue sehingga dapat memberikan pertolongan yang tepat guna mencegah perparahan kondisi. Pemeriksaan Mandiri Dengue Fever Scoring System (DeringS) dirancang sebagai salah satu usaha peningkatan kesehatan masyarakat
B. Saran
1. Untuk pemerintah
Diharapkan pemerintah dapat mendukung program ini dan menjadikan Pemeriksaan Mandiri Dengue Fever Scoring System (DeringS) sebagai program nasional untuk deteksi dini Demam Dengue.
2. Untuk pihak puskesmas
Diharapkan pihak Puskesmas dapat menjadi agen pelayanan dasar masyarakat yang mampu memberikan edukasi terkait DeringS sebagai upaya
deteksi dini DD
3. Untuk kader kesehatan
Diharapkan kader kesehatan dapat mensosialisasikan Program DeringS dengan tepat agar menarik minat masyarakat untuk mengikuti program ini. 4. Untuk masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Agus, S., Nurhayati, Parwati, I. 2011. Perbandingan Nilai Diagnostic Trombosit, Leukosit, Antigen NS-1, dan Antibodi IgM antidengue. Jurnal Indonesian Medical Association 61: 8.
Anna, L.K. Jakarta dan Bali Paling Rawan DBD. 2011. [Internet]
http://health.kompas.com. [Diakses 17 April 2013].
Barbara, B.A. 1984. Hematology Principle and Procedure 4th ed. Boston: Departement of hematology Tufts New England Medical Center Hospital. Centers of Disease Control and Prevention. 2013. Dengue. [Internet]
http://www.cdc.gov/dengue. [Diakses 19 April 2013].
Centers of Disease Control and Prevention. 2010. Entomology dan Ecology. San Juan: CDC. [Internet] http://www.cdc.gov/dengue/etnomologyecology. [Diakses 19 April 2013].
Chadwick, D., Arch, B., Wilder-Smith, A., Paton, N. 2006. Distinguishingdengue fever from other infections on the basis of simple clinical and laboratory features: application of logisticregression analysis. J Clin Virol 35:147–53. Chang K., Lu P., Wen-Chien K, Tsai J, Wu-Hsiung T, Chen C,Yen-Hsu C,
Tun-Chieh C, Hsiao-Chen H, Chao-Ying P, Ming-Rong H. 2009. Dengue Fever Scoring System: New Strategyfor the Early Detection of Acute Dengue Virus Infection in Taiwan. J Formos Med Assoc 108(11): 879–885.
Chow, V.T. 1997. Molecular diagnosis and epidemiology of Dengue virus infection. Ann Acad Med Singapore 26(6): 820-826.
Dacie, J.V., Lewis, S.M. 1977. Practical Hematology 5th ed. London: Churchill Livingstone.
Departemen Kesehatan. 2012. Indonesia Prakarsai Pengendalian DBD di Asean. [Internet] http://www.depkes.go.id. [Diakses pada 17 April 2013].
Depkes. 2004. Kebijaksanaan Program P2-DBD dan Situasi Terkini DBD Indonesia. Jakarta: Depkes RI.
Dinas Kesehatan Jawa Tengah. 2005. Hambatan dan Permasalahan. [Internet]
http://www.dinkesjatengprov.go.id. [Diakses pada 17 April 2013].
Gibbons, R.V., Vaughn, D.W. 2002. Dengue: an Escalating Problem. BMJ 324(29): 1563-1566.
Gubler, D.J. 2010. The Global Threat of Emergent/re-emergent Vector-borne Diseases. Dalam Atikson, P.W.ed. Vector Viology, Ecology and Control. New York: Springer pp: 39-62.
Hadinegoro, S.R., Soegijanto, S., Wuryadi, S., Suroso, T. 2006. Tatalaksanan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.
Hidayani, W. 2011. Hubungan antara Perilaku Rumah Tangga dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD, Program Jumantik dan Program Bapak/Ibu Asuh dengan Prevalensi DBD di Kabupaten Bantul Yogyakarta. [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Masykuri. 1997. Penilaian terhadap Hasil Pemberantasan Vektor Penyakit DBD dengan Fogging dan Abatisasi di Kotamadya Semarang. [Skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro.
Michael, B., Deen, J., Buchy, P., Gubler, D., Harris, E., Hombach, J. 2009. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. Switzerland: WHO press.
Nimmannitya, S. 2009. Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Dalam
Manson’s Tropical Diseases 22nd
ed. Saunders Elsevier.
Ooi, E.E., Gubler, D.J. 2011. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam Guerrant, I.L., Walker, D.H., Weller, P.F. 2011. Tropical Infectious Diseases 3rd ed. Saunders Elsevier.
Pickard, A.L., McDaniel, P., Miller, R.S., Uthaimongkol, N., Buathong, N., Murray, C.K., Telford, S.R., Parola, P., Wongsrichanalai, C. 2004. A study of febrile illnesses on the Thai-Myanmar border: predictive factors of rickettsioses. Southeast Asian J Trop Med Public Health 35:657–63.
Pranoto, H. 2011. Evaluation on Larva Observer Empowerment in Eradicating Dengue Fever. [Thesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Respati, Y. 2008. Perilaku 3M, Abatisasi dan Keberadaan Jentik Aedes dan Hubungannya dengan Kejadian DBD. Jurnal Kesehatan Lingkungan 3(2): 107-118.
Sembel, D.T. 2009. Entomologi Kedokteran. Yogyakarta: ANDI.
Settah,S.G., Vernazza, P.L., Morant, R, Schulze, D. 1995. Imported Dengue fever in Switzerland-serological evidence for a hitherto unexpectedly high prevalence. Switweiz Med Wochenschr 125(36): 1673-1678.
Sitio, A. 2008. Hubungan Perilaku tentang Pemberantasan Sarang Nyamuk dan Kebiasaan Keluarga dengan Kejadian DBD di Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan. [Thesis]. Semarang: Universitas Diponegoro.
Soebandrio, A. 1988. Perkembangan Pemeriksaan Serologi untuk Konfirmasi Infeksi Dengue di Bagian Mikrobiologi FKUI. Mikrobiologi Klinik Indonesia 3(3): 81-83.
Soedarmo, S.S.P. 1983. Demam Berdarah Dengue. [Thesis]. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Subargus, A. 2010. Analisis terhadap Kebijakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dalam Upaya Penanggulangan Demam Dengue di Wilayah Provinsi DIY. Jurnal Kesehatan Surya Medika Yogyakarta.
Sutaryo, T. 2005. Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Depkes RI.
Syahrurachman, A. 1988. Pemeriksaan Laboratorium untuk Demam Berdarah Dengue. Mikrobiologi Klinik Indonesia 3(3):76-80.
Tawatsin, A., Thavara, U. 2010. Dengue Haemorrhagic fever in Thailand: current Incidence and Vector Management. Dalam Atkinson, P.W.ed.Vector Biology, Ecology and Control. New York: Springer pp: 113-126.
Turgeon, M.L. 2004. Clinical Hematology Theory and Procedures 4th ed. Boston: a Wolters Kluwer Company.
WHO. 2004. Panduan Lengkap Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah. Jakarta: EGC.
Widiastuti, D., Yunianto, B., Umniyati, S.R., Wijayanti, N. 2011. Sensitivity and specificity of immunocytochemical assay for detection of Dengue virus 3 infection in mosquito. Health Science Indonesia 2(2): 87-91.
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasan. Jakarta: Erlangga.
Wiradharma, D. 1999. Diagnosis Cepat Demam Berdarah Dengue. J Kedokter Trisakti 18(2): 77-90.
World Health Organization. 2012. Dengue And Severe Dengue. [Internet]
http://www.who.int. [Diakses 17 April 2013].
World Health Organization. 2000. Dengue Haemorrhagic Fever: diagnosis, treatment and control. Handbook of the World Health Organization. Geneva pp:1-84.
World Health Organization. 2009. Dengue: Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. A joint publication of the World Health Organization (WHO) and the Special Programme for Research and Training in Tropical Diseases (TDR).
World Health Organization. 2013. Impact of Dengue. [Internet]
http://www.who.int. [Diakses pada 17 April 2013].
LAMPIRAN
LEMBAR PENILAIAN
Pemeriksaan Mandiri DeringS
Petunjuk
Berilah nilai pada kolom yang tersedia sesuai kondisi yang dialami. Terdapat
tiga karakteristik yang dinilai dalam pemeriksaan mandiri yaitu epidemiologi, gejala klinis dan diagnosis diferensial.
Dengue Fever Scoring System (DeringS)
Karakteristik Skor
(1) Epidemiologi
- Berada pada daerah endemis DD
(baru saja berkunjung ke daerah itu) dalam 1 minggu terakhir
4
(2) Gejala Klinis
- Ruam kulit 3
- Tanda perdarahan:
bintik-bintik merah, (petechia),
perdarahan gusi, mimisan,
perdarahan saluran cerna,
sputum/ludah bercampur darah, ada darah dalam urin
3
- Demam 2
- Sakit Kepala, nyeri sekitar
mata,nyeri tulang 1
- Penurunan napsu makan, nyeri
perut, diare, mual 1
- Tidak ada batuk atau pilek 1
(3) Diagnosis Diferensial
- Demam > 7 hari -8
- Infeksi yg teridentifikasi (misalnya
infeksi saluran napas atas) -10
TOTAL SKOR
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS KARYA
Judul Karya : Dengue Fever Scoring System (DeringS), Strategi Mandiri Deteksi Dini Demam Dengue
Nama Penulis :
1. Nuzul Sri Hertanti (09/282482/KU/13290)
2. Erawati Werdiningsih (09/281907/KU/13170)
Kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa memang benar karya dengan judul yang tersebut diatas merupakan karya orisinal dan belum pernah dipublikasikan dan/atau dilombakan di luar kegiatan ”Nursing Scientific Fair 2013 ”
Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya, dan apabila terbukti terdapat pelanggaran di dalamnya, maka kami siap untuk didiskualifikasi dari kompetisi ini sebagai bentuk tanggung jawab kami
Yogyakarta, 6 September 2013
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1. Nama Lengkap : Nuzul Sri Hertanti Tempat, tanggal lahir : Sleman, 27 Juli 1990 Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Gabahan VI Rt. 02/13, Sumberadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta
Alamat email : nuzulhertanti@gmail.com
No. HP : 081904192021
Asal Universitas : Universitas Gadjah Mada Karya ilmiah yang pernah dibuat:
a. 2013- GREAT: Peer Group-based Empowerment of Youth Generation, Solusi Cerdas Tingkatkan Wawasan Kependudukan Indonesia
b. 2013- CTC for Maternal Health (Caring and Training Center for
Maternal Health) : Ciptakan Pelayanan Profesional yang Kaya Informasi
dan Tidak Buta Sosialisasi
c. 2013- Deteksi Dini Kasih (Komplikasi Selama Ibu Hamil) Strategi Penyelamatan dengan Kasih Sayang
d. 2013- PERFECT: Peer Educator for Exactly Quit Tobacco! Solusi Tepat Generasi Bangsa Sehat Tanpa Asap Rokok
e. 2013- Sukseskan Peran Teman Sebaya dalam Memerangi Penyimpangan Seksualitas, Napza, dan Hiv/Aids pada Remaja
f. 2012- Pemeriksaan Mandiri Bacterial Vaginosis (PreMan-actiV), Sang Penyelamat Ibu Hamil
g. 2012- Deteksi Dini Luka Diabetes Mandiri (DELiMa) Sarana Penyelamatan Untuk Si Manis
h. 2012- Self-selected Individual Music Therapy (SeLIMuT) sebagai Komponen Terapi bagi Pasien Kanker Paliatif
i. 2012- Gencarkan Pelatihan Kader-kader Perawat Cilik (Percil) dengan Media Interaktif untuk Sigap P3K di Sekolah Dasar
j. 2012- Optimalisasi Pengelolaan Pusat Informasi dan Konseling (PIK) Mahasiswa dengan Dunia Generasi Berencana (GenRe) dalam Mendukung Indonesia yang Sehat dan Sejahtera
k. 2011- Kemuliaaan dalam Jiwa Perawat dengan Semangat Pahlawan untuk Pasien dan Pengesahan RUU Keperawatan
l. 2011- Defatty Vera - Bergoyang di Mulut Libas Lemak Jahat
Penghargaan ilmiah yang pernah diraih:
Educator for Exactly Quit Tobacco! Solusi Tepat Generasi Bangsa Sehat Tanpa Asap Rokok
b. 2013- Juara II Lomba Penulisan Kreatif Kependudukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Provinsi DIY dengan judul GREAT: Peer Group-based Empowerment of Youth Generation, Solusi Cerdas Tingkatkan Wawasan Kependudukan Indonesia
c. 2013- Penghargaan Gubernur DIY pada Malam Tirakatan Hari Kemerdekaan RI ke-68 di Bangsal Kepatihan Kantor Gubernur DIY d. 2012- Juara I LKTI GT Temu Ilmiah Nasional (TEMILNAS) VI ILMIKI
dengan judul Pemeriksaan Mandiri Bacterial Vaginosis (PreMan-actiV), Sang Penyelamat Ibu Hamil
e. 2012- Juara III LKTI Nasional Perawatan Luka Modern FKIK UNSOED dengan judul Deteksi Dini Luka Diabetes Mandiri (DELiMa) Sarana Penyelamatan Untuk Si Manis
f. 2012- Juara 5 Mahasiswa Berprestasi Universitas Gadjah Mada
g. 2012- Juara II Mahasiswa Berprestasi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
h. 2012- Juara I Lomba Cerdas Tangkas (LCT) S-1 Nersvaganza PSIK UGM i. 2012- Juara III Lomba Debat Nasional Mahasiswa Ilmu Keperawatan
dalam rangka HUT PPNI di Stikes Surya Global Yogyakarta
j. 2012- Hibah Prodi didanai PSIK FK UGM dengan judul Self-selected Individual Music Therapy (SeLIMuT) sebagai Komponen Terapi bagi Pasien Kanker Paliatif
k. 2012- PKM-M didanai DIKTI 2012 dengan judul Gencarkan Pelatihan Kader-kader Perawat Cilik (Percil) dengan Media Interaktif untuk Sigap P3K di Sekolah Dasar
l. 2011- Juara II Duta Mahasiswa GenRe BKKBN Provinsi DIY
m. 2011- Lomba essay Indonesia 100% tahun 2011 masuk 20 besar dengan judul Kemuliaaan dalam Jiwa Perawat dengan Semangat Pahlawan untuk Pasien dan Pengesahan RUU Keperawatan
2. Nama Lengkap : Erawati Werdiningsih Tempat, tanggal lahir : Kulon Progo, 25 Juli 1992 Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sendowo blok G 43A, Sleman, Yogyakarta. Alamat email : era.galuh@yahoo.com
No. HP : 085727375750
Karya ilmiah yang pernah dibuat :
a. Pemeriksaan Mandiri Bacterial Vaginosis (PreMan-actiV), Sang
Penyelamat Ibu Hamil
b. SPA Kaki: dari, oleh, dan untuk penderita DM c. Slayer: Masker Kesehatan
d. Deteksi Dini Luka Diabetes Mandiri (DELiMa) Sarana Penyelamatan Untuk Si Manis
Penghargaan ilmiah yang pernah diraih :
a. Juara I LKTI GT Temu Ilmiah Nasional (TEMILNAS) VI ILMIKI tahun 2012 dengan judul Pemeriksaan Mandiri Bacterial Vaginosis (PreMan-actiV), Sang Penyelamat Ibu Hamil
b. PKM-M didanai DIKTI 2012 dengan judul SPA Kaki: dari, oleh, dan untuk penderita DM