BAB III LANDASAN TEORI
3.1. Pengertian Supply Chain1
Dengan demikian, manajemen supply chain pada hakikatnya adalah perluasan,
pengembangan konsep, dan arti dari manajemen logistik. Kalau manajemen logistik
mengurusi arus barang, termasuk pembelian, pengendalian tingkat persediaan,
pengangkutan, penyimpanan, dan distribusi dalam satu perusahaan, maka manajemen
supply chain mengurusi hal yang sama, tetapi meliputi antar perusahaan yang Istilah supply chain pertama kali digunakan oleh beberapa konsultan logistik
pada sekitar tahun 1980-an, yang kemudian oleh para akademisi dianalisis lebih lanjut
pada tahun 1990-an. Supply chain atau dapat diterjemahkan “rantai pasokan” adalah
rangkaian hubungan antar perusahaan atau aktivitas yang melaksanakan penyaluran
pasokan barang atau jasa dari tempat asal sampai ke pembeli atau pelanggan. Supply
chain menyangkut hubungan yang terus-menerus mengenai barang, uang, dan
informasi. Barang umumnya mengalir dari hulu ke hilir, uang mengalir dari hilir ke
hulu, sedangkan informasi mengalir baik dari hulu ke hilir maupun dari hilir ke hulu.
Dilihat secara horizontal, ada lima komponen utama atau pelaku dalam supply chain,
yaitu supplier (pemasok), manufacturer (pabrik pembuat barang), distributor (pedagang
besar), retailer (pengecer), dan customer (pelanggan). Secara vertikal ada beberapa
komponen utama supply chain, yaitu buyer (pembeli), transporter (pengangkut),
warehouse (penyimpan), seller (penjual), dan sebagainya.
1
Richardus Eko Indrajit dan Richardus Djokopranoto, Strategi Manajemen Pembelian dan Supply Chain,
berhubungan dengan arus barang, mulai dari bahan mentah sampai barang jadi yang
dibeli dan digunakan oleh pelanggan.
Pada hakikatnya manajemen supply chain adalah integrasi lebih lanjut dari
manajemen logistik antar perusahaan yang terkait, dengan tujuan lebih meningkatkan
kelancaran arus barang, meningkatkan keakuratan perkiraan kebutuhan, meningkatkan
efisiensi penggunaan ruangan, kendaraan, dan fasilitas lain, mengurangi tingkat
persediaan barang, mengurangi biaya, dan lebih meningkatkan layanan lain yang
diperlukan oleh pelanggan akhir.
3.2. Pengukuran Kinerja Supply Chain Output2
a. Penjualan, yaitu total pendapatan.
Beberapa parameter pengukuran kinerja supply chain output adalah sebagai
berikut:
b. Keuntungan, yaitu total pendapatan dikurangi dengan pengeluaran.
c. Tingkat pemenuhan, yaitu jumlah order yang dapat dipenuhi atau selesai dengan
segera.
d. Pengiriman tepat waktu (on time deliveries), yaitu mengukur kinerja item, order,
atau pengiriman produk.
e. Backorder/stockout, yaitu mengukur kinerja item, order, atau ketersediaan produk.
f. Waktu respon pelanggan (customer response time), yaitu jumlah waktu antara
pemesanan hingga pengiriman order.
2
g. Manufacturing lead time, yaitu total jumlah waktu yang dibutuhkan untuk
memproduksi satu item atau batch.
h. Kesalahan pengiriman, yaitu jumlah kesalahan pengiriman yang terjadi.
i. Keluhan pelanggan (customer complaints), yaitu jumlah keluhan yang disampaikan
oleh pelanggan.
3.3. Model SCOR (Supply Chain Operations Reference) 3
a. Business process reengineering pada hakekatnya menangkap proses kompleks yang
terjadi saat ini (as is) dan mendefinisikan proses yang diinginkan (to be).
SCOR adalah suatu model acuan dari operasi supply chain. Seperti halnya
kerangka yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, SCOR pada dasarnya juga
merupakan model yang berdasarkan proses. Model ini mengintegrasikan tiga elemen
utama dalam manajemen yaitu business process reengineering, benchmarking, dan
process measurement kedalam kerangka lintas fungsi dalam supply chain. Ketiga
elemen tersebut memiliki fungsi sebagai berikut:
b. Benchmarking adalah kegiatan untuk mendapatkan data kinerja operasional dari
perusahaan sejenis. Target internal kemudian ditentukan berdasarkan kinerja best in
class yang diperoleh.
c. Process measurement berfungsi untuk mengukur, mengendalikan, dan memperbaiki
proses-proses supply chain.
3
Gambar 3.1. Lima Proses Inti Supply Chain pada Model SCOR
Sumber: Supply Chain Council
Seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.1, SCOR membagi proses-proses
supply chain menjadi 5 proses inti yaitu plan, source, make, deliver, dan return. Kelima
proses tersebut berfungsi seperti yang diuraikan, yaitu:
a. Plan, yaitu proses yang menyeimbangkan permintaan dan pasokan untuk
menentukan tindakan terbaik dalam memenuhi kebutuhan pengadaan, produksi, dan
pengiriman. Plan mencakup proses menaksir kebutuhan distribusi, perencanaan dan
pengendalian persediaan, perencanaan produksi, perencanaan material, perencanaan
kapasitas, dan melakukan penyesuaian (alignment) supply chain plan dengan
financial plan.
b. Source, yaitu proses pengadaan barang maupun jasa untuk memenuhi permintaan.
Proses yang dicakup termasuk penjadwalan pengiriman dari supplier, menerima,
mengecek, dan memberikan otorisasi pembayaran untuk barang yang dikirim
supplier, memilih supplier, mengevaluasi kinerja supplier, dan sebagainya. Jenis
proses bisa berbeda tergantung pada apakah barang yang dibeli termasuk stocked,
c. Make, yaitu proses untuk mentransformasi bahan baku/komponen menjadi produk
yang diinginkan pelanggan. Kegiatan make atau produksi bisa dilakukan atas dasar
ramalan untuk memenuhi target stok (make to stock), atas dasar pesanan (make to
order), atau engineer to order. Proses yang terlibat disini antara lain adalah
penjadwalan produksi, melakukan kegiatan produksi dan melakukan pengetesan
kualitas, mengelola barang setengah jadi (work in process), memelihara fasilitas
produksi, dan sebagainya.
d. Deliver, yang merupakan proses untuk memenuhi permintaan terhadap barang
maupun jasa. Biasanya meliputi order management, transportasi, dan distribusi.
Proses yang terlibat diantaranya adalah menangani pesanan dari pelanggan, memilih
perusahaan jasa pengiriman, menangani kegiatan pergudangan produk jadi, dan
mengirim tagihan ke pelanggan.
e. Return, yaitu proses pengembalian atau menerima pengembalian produk karena
berbagai alasan. Kegiatan yang terlibat antara lain identifikasi kondisi produk,
meminta otorisasi pengembalian cacat, penjadwalan pengembalian, dan melakukan
pengembalian. Post-delivery customer support juga merupakan bagian dari proses
return.
SCOR memiliki tiga hierarki proses. Tiga hierarki tersebut menunjukkan bahwa
SCOR melakukan dekomposisi proses dari yang umum ke yang detail seperti halnya
model Chan & Li. Tiga level tersebut adalah:
a. Level 1 adalah level tertinggi yang memberikan definisi umum dari lima proses
b. Level 2 dikatakan sebagai configuration level dimana supply chain perusahaan bisa
dikonfigurasi berdasarkan sekitar 30 proses inti. Perusahaan bisa membentuk
konfigurasi saat ini (as is) maupun yang diinginkan (to be).
c. Level 3 dinamakan process element level, mengandung definisi elemen proses,
input, output, metrik masing-masing elemen proses.
Dengan melakukan analisis dan dekomposisi proses, SCOR bisa mengukur
kinerja supply chain secara obyektif berdasarkan data yang ada serta bisa
mengidentifikasikan dimana perbaikan perlu dilakukan untuk menciptakan keunggulan
bersaing. Implementasi SCOR tentu saja membutuhkan usaha yang tidak sedikit untuk
menggambarkan proses bisnis saat ini maupun mendefinisikan proses yang diinginkan.
4
Model SCOR (Supply Chain Operations Reference) menetapkan dua kategori
utama, yaitu: (1) Customer Facing, berkaitan dengan evaluasi kinerja pelanggan, dan
(2) Internal Facing, berkaitan dengan evaluasi kinerja internal perusahaan. Kategori
Customer Facing terdiri dari tiga atribut kinerja (performance attribute), yaitu: (1)
Supply chain delivery reliability, (2) Supply chain responsiveness, dan (3) Supply chain
flexibility. Kategori Internal Facing terdiri dari dua atribut kinerja (performance
attribute), yaitu: (1) Supply chain cost, dan (2) Supply chain asset management
efficiency.
4
Tabel 3.1. Pengukuran Kinerja Mengikuti Model SCOR Kategori 1: Customer Facing
Atribut Kinerja Metrik Kinerja Definisi
Supply chain delivery reliability
Delivery performance Persentase order terkirim sesuai jadwal dan sepenuhnya pada pelanggan
Fill rate Persentase jumlah permintaan dikirim
dalam 24 jam dari menerima pesanan
Perfect order fulfillment
Persentase order yang terkirim tepat waktu dan sepenuhnya, sesuai dengan pesanan secara sempurna tanpa ada kesalahan
Supply chain responsiveness
Order fulfillment lead time
Jumlah hari dari menerima pesanan sampai pengiriman pada pelanggan
Supply chain
flexibility Production flexibility
Jumlah hari untuk meraih 20% perubahan pesanan yang tidak terencana tanpa biaya pinalti
Kategori 2: Internal Facing
Atribut Kinerja Metrik Kinerja Definisi
Supply chain cost
Supply chain management cost
Biaya langsung dan tidak langsung untuk perencanaan, sumber, dan pengiriman produk dan jasa
Cost of goods sold
Biaya langsung dari material dan tenaga kerja untuk memproduksi sebuah produk atau jasa
Value-added productivity
Biaya material langsung dikurangi dari pendapatan dan dibagi dengan jumlah pekerja, seperti penjualan per pekerja
Supply chain cost Warranty/returns processing cost
Biaya langsung dan tidak langsung terkait dengan pengembalian karena cacat, pemeliharaan yang direncanakan, dan kelebihan persediaan
Supply chain Asset Management
Efficiency
Cash to cash cycle time Jumlah hari terkait kas sebagai modal kerja
Inventory days of supply Jumlah hari
Asset turns Pendapatan dibagi dengan total aset
termasuk modal kerja dan aset tetap Sumber: Russell and Taylor, 2006
3.3.1. Metrik pada Model SCOR5
Seperti halnya model Chan & Li yang memiliki berbagai dimensi untuk
pengukuran kinerja, SCOR juga menggunakan beberapa dimensi umum, yaitu:
5 I Nyoman Pujawan
a. Reliability
b. Responsiveness
c. Flexibility
d. Costs
e. Assets
Tabel 3.2. Performance Metrics Level 1
Performance Attribute Customer Facing
Internal Facing Reliability Responsiveness Flexibility Costs Assets
Delivery performance √
Fill rate by line item √
Perfect order fulfillment √
Order fulfillment lead time √
Supply chain response time √
Production flexibility √
Supply chain management
costs √
Costs of goods sold √
Value added productivity √
Warranty cost or return
processing cost √
Cash to cash cycle time √
Inventory days of supply √
Asset turns √
Sumber: Supply Chain Council
Tabel 3.2 menunjukkan 13 metrik level 1 yang ada pada model SCOR.
Metrik-metrik tersebut ada yang customer facing, artinya penting bagi pelanggan, dan ada juga
internal facing, yang berarti penting untuk monitoring internal tetapi tidak langsung
menjadi perhatian pelanggan. Sebagai contoh, model SCOR sangat berkepentingan
terhadap kinerja rantai pasok. Dan berpengaruh terhadap resiko Keterlambatan dan
kerusakan sewaktu proses pengiriman yang menjadi perhatian penting bagi konsumen
pelanggan tidak perlu repot memonitor jumlah persediaan yang dimiliki perusahaan,
tetapi secara internal perusahaan sangat berkepentingan untuk mengendalikan jumlah
persediaan yang cukup tetapi tidak berlebihan. Maka, inventory days of supply, yang
merupakan ukuran tingkat persediaan, merupakan metrik yang internal facing.
Perusahaan-perusahaan yang tergolong best in class memiliki kinerja supply
chain yang secara signifikan lebih bagus dibandingkan dengan perusahaan rata-rata.
Tabel 2.3 menunjukkan perbedaan kinerja supply chain antara perusahaan-perusahaan
bagus dengan mereka yang berada pada tingkat rata-rata. Sebagai contoh, perusahaan
best in class mampu mengirim 93% dari pesanan pelanggan sesuai jadwal, sementara
perusahaan rata-rata hanya mampu mencapai angka 69%.
Tabel 3.3. Penjelasan Metrik Supply Chain serta Benchmark Kinerja
Metrik Penjelasan Best in
class
Rata-rata
Delivery performance Persentase order terkirim sesuai jadwal 93% 69%
Fill rate by line item
Persentase jumlah permintaan dipenuhi tanpa menunggu, diukur tiap jenis produk (line items)
97% 88%
Perfect order fulfillment
Persentase order yang terkirim komplit dan
tepat waktu 92,4% 65,7%
Order fulfillment lead time
Waktu antara pelanggan memesan sampai
pesanan tersebut mereka terima 135 hari 225 hari Warranty cost or
return processing cost
Persentase pengeluaran untuk warranty
terhadap nilai penjualan 1,2% 2,4%
Inventory days of supply
Lamanya persediaan cukup untuk memenuhi kebutuhan kalau tidak ada pasokan lebih lanjut
55 hari 84 hari
Asset turns Berapa kali suatu asset bisa digunakan untuk
memperoleh revenue dan profit 4,7 kali 1,7 kali Sumber: Supply Chain Council, seperti dikutip Vollmann et all, 2005, p.105
Untuk memberikan gambaran lebih jelas, berikut akan didefinisikan beberapa
metrik tersebut dan contoh perhitungannya.
3.3.3. Inventory Days of Supply
Metrik ini mengukur kecukupan persediaan dengan satuan waktu (hari). Jadi,
inventory days of supply adalah lamanya rata-rata (dalam hari) suatu perusahaan bisa
bertahan dengan jumlah persediaan yang dimiliki (apabila tidak ada pasokan lebih
lanjut). Metrik ini berada pada klasifikasi asset. Kinerja supply chain dikatakan bagus
apabila mampu memutar asset dengan cepat (dengan kata lain memiliki asset turn over
yang tinggi). Dengan demikian, maka semakin pendek inventory days of supply,
semakin bagus kinerja asset suatu supply chain. Contoh perhitungan inventory days of
supply:
Perusahaan rata menyimpan suatu komponen sebanyak 150 unit. Kebutuhan
rata-rata komponen tersebut per tahun adalah 4000 unit. Jumlah hari kerja dalam setahunn
adalah 250. Dengan kata lain, rata-rata kebutuhan komponen per hari adalah 4000 / 250
unit = 16 unit sehingga jumlah hari rata-rata yang bisa ditutupi oleh persediaan yang
dimiliki adalah 150 / 16 = 9,375 hari. Perhitungan inventory days of supply ini bisa
dilakukan per jenis barang atau secara agregat untuk sekelompok atau keseluruhan
persediaan yang dimiliki perusahaan. Apabila perhitungan dilakukan secara agregat,
rata-rata persediaan maupun rata-rata kebutuhan (konsumsi) sama-sama diwujudkan
dalam satuan uang (nilai persediaan dalam rupiah).
Metrik ini mengukur kecepatan supply chain mengubah persediaan menjadi
uang. Semakin pendek waktu yang dibutuhkan, semakin bagus bagi supply chain.
Perusahaan yang bagus biasanya memiliki siklus cash to cash pendek. Dell Computers,
yang menjual produk langsung ke pelanggan akhir tanpa menyimpan produk akhir,
memiliki cash to cash cycle time negatif, sekitar -10 sampai -20 hari (Vollmann et all,
2005, p.108). Ada tiga komponen dalam perhitungan cash to cash cycle time, yaitu:
a. Rata-rata account receivable (dalam hari) yang merupakan ukuran seberapa cepat
pelanggan membayar barang yang sudah diterima.
b. Rata-rata account payable (dalam hari) yang mengukur kecepatan perusahaan
membayar ke pemasok untuk material/komponen yang sudah diterima.
c. Rata-rata persediaan (dalam hari, yaitu inventory days of supply).
Dengan tiga komponen tersebut, cash to cash cycle time bisa dihitung sebagai
berikut:
Cash to cash cycle time = inventory days of supply + average days of account
receivable - average days of account payable
Metrik ini pada dasarnya mengukur kesehatan finansial suatu supply chain.
Untuk memperpendek cash to cash cycle time, perusahaan bisa melakukan salah satu
atau kombinasi dari tiga cara berikut:
Menurunkan tingkat persediaan, melakukan negosiasi term pembayaran ke supplier
(supaya lebih lama), dan melakukan negosiasi dengan pelanggan (supaya mereka
membayar lebih cepat). Menurut Vollmann et al. (2005), cash to cash cycle time
mengintegrasikan siklus yang terjadi di tiga fungsi yaitu pengadaan (purchasing),
3.4. Metode House of Risk (HOR)6
Metode yang terkenal adalah FMEA, penilaian risiko melalui perhitungan Risk
Priority Number (RPN) dengan tiga faktor, yaitu probabilitas terjadinya, tingkat
keparahan dari dampak yang muncul dan deteksi. Tidak seperti di model FMEA, pada
metode HOR hanya menetapkan probabilitas untukagen risiko dan tingkat keparahan
dari risiko. Karena salah satu agen risiko dapat menginduksi sejumlah kejadian risiko,
maka perlu kuantitas potensi risiko agregat dari agen risiko. Jika Oj adalah probabilitas Salah satu metode terbarukan dalam menganalisis risiko adalah modifikasi
model Failure Mode and Effects Analysis (FMEA) untuk pengukuran risiko secara
kuantifikasi dan model House of Quality (HOQ) untuk memprioritaskan mana agen
risiko yang harus ditangani lebih dahulu dan untuk memilih tindakan yang paling efektif
untuk mengurangi risiko potensial yang ditimbulkan oleh agen risiko.
Pada tahap kuantifikasi, pertama-tama mendefinisikan proses dasar yang akan
dianalisis untuk mengidentifikasi risiko yang akan terjadi dan konsekuensi jika risiko
terjadi. Para agen risiko dan probabilitas juga akan dinilai pada metode ini. Model ini
didasarkan pada manajemen risiko yang fokus pada tindakan pencegahan, yaitu
mengurangi kemungkinan agen risiko terjadi. Maka dari itu perlu dilakukan identifikasi
kejadian risiko dan agen risiko. Biasanya, satu agen bisa menyebabkan risiko lebih dari
satu kejadian risiko. Misalnya, masalah dalam sistem produksi pemasok dapat
mengakibatkan kekurangan bahan, meningkatnya hasil yang tidak sesuai dan
ketidakmampuan pemasok dalam memenuhi pesanan.
6
terjadinya risiko, j adalah agen risiko, Si adalah keparahan dampak jika i adalah
riskevent (kejadian risiko) terjadi, dan Rij adalah korelasi antara j agen risiko dan i
kejadian risiko. Kemungkinan agen risiko (j) akan mendorong kejadian risiko (i) maka
ARPj (potensi risiko agregat j agen risiko) dapat dihitung sebagai berikut:
Mengadaptasi model House of Quality (HOQ) untuk menentukan agen risiko harus
diberikan prioritas sebagai tindakan pencegahan. Peringkat A diberikan untuk setiap
agen 12 risiko berdasarkan besarnya nilai ARPj untuk setiap j agen risiko. Oleh karena
itu, jika agen risikonya banyak, perusahaan dapat memilih terlebih dahulu beberapa dari
mereka yang dianggap memiliki potensi besar untuk menimbulkan kejadian risiko.
Model dengan dua penyebaran, disebut House of Risk (HOR), yang merupakan
modifikasi dari HOQ :
(1) HOR1 digunakan untuk menentukan tingkat prioritas agen risiko yang harus
diberikan sebagai tindakan pencegahan.
(2) HOR2 adalah prioritas dalam pengambilan tindakan yang dianggap efektif.
3.4.1 Menentukan Severity dan Occurrence
Untuk menentukan prioritas dari suatu bentuk kegagalan maka sebelumnya
harus mendefinisikan terlebih dahulu tentang Severity dan Occurrence, serta hasil
akhirnya pada HOR 1 adalah penyebab risiko tertinggi.
Severity adalah langkah pertama untuk menganalisa risiko yaitu menghitung seberapa
besar dampak atau intensitas kejadian mempengaruhi proses operasional.
2. Occurrence
Occurrence adalah kemungkinan bahwa risiko tersebut akan terjadi dan menghasilkan
bentuk kegagalan selama proses operasional.
3.5. Risiko Rantai Pasok (Supply Chain Risk)
Dalam dunia bisnis saat ini rantai pasokan dapat berada di seluruh dunia untuk
memenuhi keinginan pelanggan dengan harga produk yang terendah dan kualitas
tertinggi.
Rantai pasokan meliputi keseluruhan faktor yang dapat menciptakan kekacauan
dan gangguan. Masalah mengenai pemasok, pemogokan, masalah kualitas, dan isu-isu
risiko logistik operasional internal yang memerlukan tingkat mitigasi yang berbeda.
Zsidisin (2003) menyatakan bahwa risiko dalam konteks rantai pasokan dapat
didefinisikan sebagai terjadinya potensi kejadian yang berhubungan dengan pasokan
masuk di mana hasilnya adalah ketidakmampuan dalam kegiatan pembelian di
organisasi untuk memenuhi permintaan pelanggan (p.15).
Komunitas bisnis saat ini menghadapi kondisi yang semakin berisiko. Kompetisi yang
ketat, ketidakstabilan internal yang disebabkan oleh pemogokan karyawan dan teknis,
kegagalan lainnya, perubahan makro-ekonomi dan politik, bencana alam dan bencana
buatan manusia merupakan sumber risiko yang dihadapi para pebisnis saat ini. Dalam
konteks supply chain, risiko yang meningkat sebagian karena kompleksitas jaringan
luar. Sebuah studi yang dilakukan oleh Finch (2004) mengungkapkan bahwa jaringan
antar-organisasi meningkatkan risiko para perusahaan besar, terutama jika mitra adalah
usaha kecil dan menengah. Craighead et al. (2007) berpendapat bahwa struktur supply
chain yang meliputi faktor-faktor seperti kepadatan, kompleksitas dan kekritisan yang
mendasar dapat meningkatkan keparahan gangguan supply chain (p.131). Selain itu,
faktor-faktor seperti efisiensi dari pangkalan logistik, globalisasi supply chain, siklus
produk yang diperpendek dan kapasitas komponen utama yang terbatas juga dapat
meningkatkan risiko supply chain (Norrman dan Jansson, 2004, p.434).
Risiko adalah fungsi dari tingkat ketidakpastian dan dampak dari suatu peristiwa
(Sinha et al., 2004, p.154).Seperti yang ditunjukkan oleh Goh et al. (2007) ada dua jenis
risiko supply chain berdasarkan sumbernya, yaitu risiko yang timbul dari internal
jaringan supply chain dan orang-orang dari lingkungan eksternal (p.164). Menurut Tang
(2006a), risiko supply chain diklasifikasikan ke dalam dua hal yaitu operasional dan
gangguan dari risiko tersebut (p.451). Risiko Operasional yang berkaitan dengan
ketidakpastian yang melekat dalam supply chain yang meliputi permintaan, pasokan,
dan ketidakpastian biaya. Disisi lain gangguan risiko, adalah gangguan yang disebabkan
oleh alam dan bencana buatan manusia seperti banjir, gempa bumi, tsunami, dan krisis
ekonomi. Kedua hal tersebut dapat
mengganggu dan menghambat bahan baku, informasi, dan arus kas, yang pada akhirnya
bisa merusak penjualan, peningkatanbiaya, atau keduanya.
Untuk bertahan hidup dalam lingkungan bisnis yang berisiko ini, sangat penting
bagi perusahaan untuk memiliki supply chain manajemen risiko yang tepat. Jika tidak
tingginya penundaan yang dapat pula menyebabkan tingkat layanan yang buruk dan
biaya tinggi (Blackhurst et al., 2005, p.4067). Menurut Norrman dan Jansson (2004),
fokus dari manajemen risiko supply chain adalah untuk memahami dan mencobauntuk
menghindari, pengaruh yang sangat buruk dari bencana atau gangguan bisnis sekecil
apapun dan semua itu dapat diatur di dalam supply chain (p.434). Tujuan dari
manajemen risiko supply chain adalah untuk mengurangi kemungkinan kejadian risiko
dan untuk meningkatkan ketahanan, yaitu, kemampuan untuk pulih dari gangguan.
Sheffi dan Rice (2005) menunjukkan bahwa ketahanan supply chain dapat
ditingkatkan dengan baik dengan meningkatkan fleksibilitas (p.41). Risiko di dalam
supply chainmeliputi aliran utama (material, informasi, dan uang tunai) antaraorganisasi
dan oleh sebab itu, risiko supply chain dapat melampaui batas-batas dari satu
perusahaan.
3.6. Tiga Jenis Aktivitas7
7 I Nyoman Pujawan
, op.cit., h. 222.
Salah satu proses penting dalam pendekatan lean adalah identifikasi
aktivitas-aktivitas mana yang memberikan nilai tambah dan mana yang tidak. Seyogyanya
aktivitas-aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah dikurangi atau bahkan
dihilangkan. Namun, sering kali kita bisa jumpai di lapangan ada aktivitas-aktivitas
yang sebenarnya tidak memberikan nilai tambah namun tidak bisa dihilangkan. Dalam
a. Aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah (non-value adding) dan bisa
direduksi atau dihilangkan.
b. Aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah tapi perlu dilakukan (necessary but
non value adding).
c. Aktivitas yang memang memberikan nilai tambah (value adding).
Aktivitas produksi, yaitu mengubah bahan baku menjadi produk setengah jadi
atau produk jadi adalah kegiatan yang memberikan nilai tambah. Nilai tambah tersebut
harus dikaitkan dengan perspektif pelanggan. Artinya, perubahan bahan baku menjadi
produk jadi adalah sesuatu yang punya nilai bagi pelanggan karena produk tersebut
punya fungsi atau bisa dimanfaatkan oleh pelanggan. Kegiatan memindahkan material
tidak memberikan nilai tambah, namun seringkali tidak bisa dihilangkan, kecuali
dengan melakukan perombakan dramatis pada tata letak fasilitas produksi. Demikian
juga halnya dengan kegiatan transportasi dan penyimpanan. Kedua kegiatan ini tidak
memberikan nilai tambah, namun sering kali harus dilakukan.
Pada lingkungan manufaktur atau logistik dimana yang dominan adalah aktivitas
fisik, aktivitas non value adding biasanya dominan. Secara umum, menurut Hines dan
Taylor (2000), rasio ketiga jenis aktivitas diatas adalah sebagai berikut:
a. 5% aktivitas yang memberikan nilai tambah.
b. 60% aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah (dan mungkin bisa dikurangi).
c. 35% aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah, namun perlu dilakukan.
3.7 Root Cause Analysis (RCA)8
8
RCA digunakan untuk mengidentifikasi akar penyebab terjadinya risiko. RCA
merupakan suatu metode evaluasi terstruktur untuk mengidentifikasi akar penyebab
(root cause) suatu kejadian yang tidak diharapkan (undesired outcome) dan
langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah terulangnya kembali kejadian yang tidak
diharapkan (undesired outcome).
RCA merupakan suatu metode yang membantu dalam menemukan kejadian apa
yang terjadi, bagaimana kejadian itu terjadi, dan mengapa kejadian itu terjadi. RCA juga
memberikan pengetahuan dari masalah-masalah sebelumnya, kegagalan, dan
kecelakaan. Salah satu metode untuk mendapatkan akar permasalahan adalah dengan
bertanya why (mengapa) beberapa kali sehingga tindakan yang sesuai dengan akar
penyebab masalah yang ditemukan, akan menghilangkan masalah.
Root Cause(s) adalah bagian dari beberapa faktor (kejadian, kondisi, faktor
organisasional) yang memberikan kontribusi atau menimbulkan kemungkinan penyebab
dan diikuti oleh akibat yang tidak diharapkan, jika dieliminasi atau dimodifikasi akan
bisa mencegah akibat yang tidak diharapkan. Ciri khas multiple root cause memberikan
kontribusi untuk akibat yang tidak diharapkan. Langkah-langkah RCA (Chlander,
2004), antara lain:
a. Mengidentifikasi dan memperjelas definisi undesired outcome (suatu kejadian yang
tidak diharapkan).
b. Mengumpulkan data.
c. Menempatkan kejadian-kejadian dan kondisi-kondisi pada event and causal factor
d. Lanjutkan pertanyaan “mengapa?” untuk mengidentifikasi root causes yang paling
kritis.
3.8 Diagram Sebab Akibat (Cause and Effect Diagram)9
a. Gambarkanlah panah dengan kotak di ujung kanan dan tentukan masalah yang
hendak diperbaiki/diamati dan usahakan adanya tolak ukur yang jelas dari
permasalahan tersebut sehingga perbandingan sebelum dan sesudah perbaikan dapat
dilakukan.
Diagram ini dikenal dengan istilah diagram tulang ikan (fish bone diagram)
yang diperkenalkan pertama sekali oleh Prof. Kaoru Ishikawa pada tahun 1942.
Diagram ini berguna untuk menganalisis dan menemukan faktor-faktor yang
berpengaruh secara signifikan di dalam menentukan karakteristik kualitas output kerja.
Disamping itu, diagram ini berguna untuk mencari penyebab-penyebab yang
sesungguhnya dari suatu masalah. Dalam hal ini, metode sumbang saran (brainstorming
method) akan cukup efektif digunakan untuk mencari faktor-faktor penyebab terjadinya
penyimpangan kerja secara detail.
Untuk mencari faktor-faktor penyebab terjadinya penyimpangan kualitas hasil
kerja, maka selalu terdapat 5 faktor penyebab utama yang signifikan dan perlu
diperhatikan, yaitu manusia (man), metode kerja (work method), mesin atau peralatan
kerja (machine/equipment), bahan baku (raw material), dan lingkungan kerja (work
environment).
Langkah-langkah pembuatan cause and effect diagram adalah sebagai berikut:
9 Rosnani Ginting,
b. Tentukan faktor-faktor penyebab utama (main causes) yang diperkirakan merupakan
sumber terjadinya penyimpangan atau yang mempunyai akibat pada permasalahan
tersebut. Gambarkan anak panah (cabang-cabang) yang menunjukkan faktor
penyebab ini dengan mengarah pada panah utama.
c. Cari faktor-faktor yang lebih terperinci secara nyata dan berpengaruh atau
mempunyai akibat pada faktor-faktor penyebab utama tersebut. Tuliskan detail
faktor tersebut pada bagian kiri dan kanan, kemudian gambar cabang faktor-faktor
utama dan buatlah anak panah (ranting) menuju ke arah panah cabang tersebut.
d. Periksalah apakah semua item yang berkaitan dengan karakteristik output
benar-benar sudah dicantumkan dalam diagram.
e. Carilah faktor-faktor penyebab yang paling dominan.
Contoh cause and effect diagram dapat dilihat pada Gambar 2.4. Faktor
penyebab yang ditunjukkan pada Gambar 2.4 adalah tenaga kerja, mesin, modal,
material, metode, dan manajerial.
Tenaga kerja Mesin
Material Metode
Modal
Manajerial
Sebab Akibat
Masalah
Gambar 3.2. Cause and Effect Diagram
3.9 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)10
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) adalah sebuah teknik menganalisa
yang mengkombinasikan antara teknologi dan pengalaman dari orang dalam
mengidentifikasi penyebab kegagalan dari produk atau proses dan perencanaan untuk
penghilangan penyebab kegagalannya. Dengan kata lain FMEA dapat dijelaskan
sebagai sebuah kelompok aktivitas yang meliputi:
a. Mengenali dan mengevaluasi kegagalan dari produk atau proses dan efek yang
ditimbulkan.
b. Mengidentifikasi tindakan yang dapat mengeliminasi atau mengurangi kemungkinan
kegagalan.
c. Mendokumentasikan proses.
FMEA sering menjadi langkah awal dalam mempelajari kehandalan sistem.
Kegiatan FMEA melibatkan banyak hal, seperti review berbagai komponen, rakitan, dan
subsistem untuk mengidentifikasi mode-mode kegagalannya, penyebab kegagalannya,
serta dampak kegagalan yang ditimbulkan. Untuk masing-masing komponen, berbagai
mode kegagalannya berikut dampaknya pada sistem ditulis pada sebuah FMEA
worksheet.
FMEA pada awalnya dibuat oleh Aerospace Industry pada tahun 1960-an.
FMEA mulai digunakan oleh Ford pada tahun 1980-an, AIAG (Automotive Industry
Action Group), dan American Society for Quality Control (ASQC) menetapkannya
sebagai standar pada tahun 1992. Saat ini FMEA merupakan salah satu core tools dalam
ISO/TS 16949:2002 (Technical Specification for Automotive Industry).
10
FMEA adalah pendekatan sistematik yang menerapkan suatu metode pentabelan
untuk membantu proses pemikiran yang digunakan oleh engineers untuk
mengidentifikasi mode kegagalan potensial dan efeknya. FMEA merupakan teknik
evaluasi tingkat keandalan dari sebuah sistem untuk menentukan efek dari kegagalan
dari sistem tersebut. Kegagalan digolongkan berdasarkan dampak yang diberikan
terhadap kesuksesan suatu misi dari sebuah sistem.
Cara kerja FMEA secara umum adalah dengan mengidentifikasi kegagalan yang
mungkin terjadi, memberikan skala prioritas dari setiap kegagalan, serta melakukan
tindakan perbaikan. Sehingga diharapkan tidakan tersebut dapat mencegah terjadinya
kegagalan. Dapat di simpulkan bahwa filosofi dasar dari FMEA adalah “cegah sebelum
terjadi”.
FMEA baik sekali digunakan pada sistem manajamen mutu untuk jenis industri
manapun. Standar ISO/TS-16949 (standar sistem manajemen mutu untuk industri
otomotif) mensyaratkan dilakukannya FMEA pada saat perancangan produk maupun
perancangan proses produksi. ISO-9001 tidak secara eksplisit mensyaratkan
dilakukannya FMEA. Meski begitu, baik sekali bila perusahaan menerapkannya untuk
memenuhi persyaratan tentang tindakan pencegahan.
3.9.1. Tahapan FMEA11
a. Menentukan komponen dari sistem/alat yang akan dianalisis.
Tahapan FMEA sendiri adalah sebagai berikut (Manggala, 2005):
11
b. Mengidentifikasi potential failure mode atau kegagalan dari proses yang diamati.
Tahapan ini difokuskan pada kegagalan-kegagalan yang terjadi selama proses yang
terkait dengan produk. Prosesnya dilakukan dengan menganggap material/part input
dalam kondisi baik, mendengarkan apa kata pelanggan, menggunakan pengalaman,
data, logika, serta mencari informasi apakah terdapat proses yang sama sebagai
pembanding.
c. Mengidentifikasi akibat (potential effect) yang ditimbulkan dari potential failure
mode. Akibat dari kegagalan harus mempertimbangkan hal-hal berikut: akibat pada
proses-proses berikutnya, akibat pada pelanggan akhir, dan akan mempengaruhi
angka severity.
d. Mengidentifikasi penyebab (potential cause) dari failure mode yang terjadi pada
proses yang berlangsung.
e. Menetapkan nilai-nilai (dengan jalan observasi lapangan dan brainstorming) dalam
point:
1) Keseriusan akibat kesalahan terhadap proses lokal, lanjutan dan terhadap
konsumen (severity).
2) Frekuensi terjadinya kesalahan (occurrence).
3) Alat kontrol akibat potential cause (detection).
4) Nilai RPN (Risk Potential Number) didapatkan dengan jalan mengalikan nilai
SOD (Severity, Occurrence, Detection).
f. Nilai RPN menunjukkan keseriusan dari potential failure. Semakin tinggi nilai
melakukan perbaikan. Segera lakukan perbaikan terhadap potential cause, alat
kontrol, dan efek yang diakibatkan.
Dalam menyelesaikan masalah yang ada, ditentukan dengan menghitung nilai
resiko prioritas (RPN) yang merupakan perkalian antara nilai keparahan (severity),
kejadian (occurence), dan deteksi (detection).
Variabel-variabel dari RPN, yaitu severity, occurence, dan detection dijelaskan
sebagai berikut:
a. Severity (S)
Severity adalah tingkat keparahan atau efek yang ditimbulkan oleh mode
kegagalan terhadap keseluruhan proses atau sistem. Severity rate antara 1 sampai 10.
Nilai 10 diberikan jika kegagalan yang terjadi memiliki dampak yang sangat besar
terhadap proses atau sistem. Penilaian keparahan atau severity rate dapat dilihat pada
Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Severity Rate
Efek Kriteria Peringkat
Tidak ada Kegagalan terlihat jelas oleh operator dan tidak memiliki pengaruh
pada lead time produksi kertas 1
Sangat
kecil
Tidak ada efek berkelanjutan, gangguan sangat kecil pada lead time
produksi kertas 2
Kecil Efek dapat terlihat, tetapi hanya efek yang kecil, gangguan kecil pada
lead time produksi kertas 3
Minor Dampak pada proses hilir dan atau lokal, gangguan minor pada lead
time produksi kertas 4
Sedang Dampak dapat terlihat sepanjang proses, gangguan sedang pada lead
Tabel 3.4. Severity Rate (Lanjutan)
Efek Kriteria Peringkat
Cukup
tinggi
Gangguan pada proses selanjutnya, gangguan cukup tinggi pada lead
time produksi kertas 6
Tinggi Gangguan berarti pada proses, gangguan tinggi pada lead time
produksi kertas 7
Sangat
tinggi
Gangguan berarti dan berdampak secara finansial, gangguan sangat
tinggi pada lead time produksi kertas 8
Berbahaya Gangguan menyebabkan kemungkinan efek berbahaya yang tinggi,
gangguan berbahaya pada lead time produksi kertas 9
Sangat
berbahaya
Gangguan menyebabkan kemungkinan besar efek berbahaya,
gangguan sangat berbahaya pada lead time produksi kertas 10
Sumber:Dyadem Engineering Corporation, 2003
b. Occurence (O)
Occurence adalah tingkat keseringan terjadinya kerusakan atau kegagalan.
Occurence berhubungan dengan estimasi jumlah kegagalan kumulatif yang muncul
akibat suatu penyebab tertentu pada proses atau sistem. Occurence rate antara 1 sampai
10. Nilai 10 diberikan jika kegagalan yang terjadi memiliki nilai kumulatif yang tinggi
atau sangat sering terjadi. Penilaian frekuensi kegagalan atau occurence rate dapat
dilihat pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5. Occurence Rate
Kriteria Peringkat
Hampir pasti tidak mungkin
Tabel 3.5. Occurence Rate (Lanjutan)
Kriteria Peringkat
Kemungkinan jarang 2
Kemungkinan kegagalan jarang terjadi
Kemungkinan sangat sedikit 3
Kemungkinan kegagalan sangat sedikit terjadi
Kemungkinan sedikit 4
Kemungkinan kegagalan sedikit terjadi
Kemungkinan kadang-kadang 5
Kemungkinan kegagalan kadang-kadang terjadi
Kemungkinan sedang 6
Kemungkinan kegagalan sedang
Kemungkinan cukup sering 7
Kemungkinan kegagalan cukup sering terjadi
Kemungkinan sering 8
Kemungkinan kegagalan sering terjadi
Kemungkinan sangat sering 9
Kemungkinan kegagalan sangat sering terjadi
Kemungkinan selalu 10
Kegagalan hampir selalu terjadi
Sumber:Dyadem Engineering Corporation, 2003
c. Detection (D)
Detection diberikan pada sistem pengendalian yang digunakan saat ini yang
memiliki kemampuan untuk mendeteksi penyebab atau mode kegagalan. Detection rate
berkisar antara 1 sampai 10. Penilaian deteksi atau detection rate dapat dilihat pada
Tabel 3.6. Detection Rate Kemungkinan
Mendeteksi Kriteria Peringkat
Hampir pasti Alat kontrol hampir pasti dapat mendeteksi adanya kegagalan 1
Sangat tinggi Alat kontrol sangat mungkin dapat mendeteksi adanya
kegagalan 2
Tinggi Alat kontrol sangat efektif untuk mendeteksi adanya kegagalan 3
Agak tinggi Alat kontrol efektif untuk mendeteksi adanya kegagalan 4
Sedang Alat kontrol cukup efektif untuk mendeteksi adanya kegagalan 5
Agak rendah Alat kontrol kurang efektif untuk mendeteksi adanya kegagalan 6
Rendah Kemampuan alat kontrol rendah untuk mendeteksi adanya
kegagalan 7
Sangat rendah Alat kontrol sulit mendeteksi kegagalan 8
Jarang Alat kontrol sangat sulit untuk mendeteksi adanya kegagalan 9
Hampir pasti
tidak mungkin
Alat kontrol hampir pasti tidak mungkin dapat mendeteksi
adanya kegagalan 10
Sumber:Dyadem Engineering Corporation, 2003
3.10. Metode Kaizen (5W+1H)12
Strategi yang bisa digunakan oleh perusahaan berkaitan dengan perbaikan
terus-menerus dalam penyempurnaan proses produksi dan produk tersebut melalui Kaizen. Searah dengan perkembangan kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan dan
ekonomi, lingkungan manufaktur mengalami pergeseran kearah yang lebih maju. Agar
mampu bertahan dan bahkan bersaing dalam kondisi persaingan yang ketat ini, para
pelaku bisnis hendaknya mampu terus-menerus menyempurnakan proses produksi dan
produk itu sendiri untuk dapat menciptakan keunggulan baru.
12
Kaizen merupakan konsep payung yang mencakup teori-teori praktis, seperti Gugus
Kendali Mutu, JIT, Sistem Saran, Kanban, Total Quality Management (TQM), yang
kesemuanya ini saling berkaitan. Konsep payung Kaizen dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 3.3. Konsep Payung Kaizen
Sumber: Masaki Imai, 1994
Kaizen (5W+1H) merupakan pendekatan Kaizen yang biasanya digunakan
untuk menyusun langkah-langkah perbaikan apabila sebab-sebabnya telah diketahui,
kemudian memilih langkah-langkah perbaikan dengan mengacu pada (what) apa yang
harus dicapai, (why) mengapa rencana perbaikan tersebut dilakukan, (where) dimana
rencana perbaikan tersebut dilaksanakan, (when) kapan rencana perbaikan tersebut
dilaksanakan, (who) siapa yang bertanggung jawab terhadap tindakan tersebut, dan
3.10. Teknik Sampling13
Perbedaan prinsipil dari ke dua tipe sampling ini selain dalam hal
teknis/mekanisme pelaksanaan, juga dari sasaran pokok. Probability sampling lebih
melihat kemungkinan area baru untuk diteliti sedangkan non-probability sampling lebih
ditekankan pada eksplorasi dan kelayakan penerapan suatu ide.
Sampling adalah metode pengumpulan data yang sangat populer karena
manfaatnya yang demikian besar dalam penghematan sumber daya waktu dan biaya
dalam kegiatan pengumpulan data. Sampling sering dilawankan dengan sensus yaitu
suatu pengumpulan data secara menyeluruh yaitu seluruh sumber data ditelusuri dan
setiap elemen data yang dibutuhkan diambil.
Sampling ialah proses penarikan sampel dari populasi melalui mekanisme
tertentu melalui makna karakteristik populasi yang dapat diketahui atau didekati. Kata
mekanisme tertentu mengandung makna bahwa baik jumlah elemen yang ditarik
maupun cara penarikan harus mengikuti atau memenuhi aturan tertentu agar sampel
yang diperoleh mampu merepresentasikan karakteristik populasi dari mana sampel
tersebut diambil atau ditarik.
Secara garis besar metode penarikan sampel dapat diklasifikasi atas dua bagian
yaitu :
1. Probability sampling (penarikan sampel yang terkait dengan faktor probabilitas)
2. Nonprobability sampling (penarikan sampel yang tidak terkait dengan faktor
probabilitas)
13
3.10.1. Nonprobability Sampling
Berbeda halnya dengan probability sampling, pada non-probability sampling,
setiap elemen populasi yang akan ditarik menjadi anggota sampel tidak berdasarkan
probabilitas yang melekat pada setiap elemen tetapi berdasarkan karakteristik khusus
masing-masing elemen. Hal ini mengindikasikan bahwa temuan-temuan dari analisis
terhadap sampel terpilih tidak dimaksudkan untuk digeneralisasi tetapi untuk
mendapatkan informasi awal yang cepat dengan cara yang murah. Dalam banyak
kejadian non-probability sampling sering merupakan metode yang terpaksa dilakukan
karena kondisi tertentu metode lain tidak mungkin digunakan.
3.10.2 Purposive Sampling
Purposive sampling adalah metode sampling non-probability yang menggunakan
orang-orang tertentu (specific target-group) sebagai sumber data/informasi.
Orang-orang tertentu yang dimaksud di sini adalah individu atau kelompok yang karena
pengetahuan, pengalaman, jabatan, dan lain-lain yang dimilkinya menjadikan individu
atau kelompok tersebut perlu dijadikan sumber informasi. Individu atau kelompok
khusus ini langsung dicatat namanya sebagai responden tapa melalui proses seleksi
secara random. Misalnya, jika penelitian terkait adalah mengenai pengaruh kandungan
teknologi dalam produk terhadap kepuasan pelanggan makan orang-orang di
Departemen R dan D baik secara individu maupun secara kelompok karena
pengetahuannya yang mendalam tentang teknologi produksi perlu dijadikan sumber
Purposive sampling dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu judgement sampling dan
quota sampling. Judgement sampling adalah suatu tipe pertama purposive sampling
dimana responden terlebih dahulu dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu karena
kemampuannya atau kelebihannya diantara orang-orang lain dalam memberikan data
dan informasi yang bersifat khusus yang dibutuhkan peneliti. Judgement sampling
sering juga digunakan apabila populasi sangat besar atau juga terlalu kecil.
Quota sampling adalah tipe kedua purposive sampling, dimana kelompok-kelompok
tertentu dijadikan responden (sumber data/informasi) untuk memenuhi kuota yang telah
ditetapkan. Pada umumnya, sejak awal penelitian kuota telah ditetapkan untuk
masing-masing kelompok berdasarkan gambaran (persentase/proporsi kelompok) dalam
populasi.
3.10. Jurnal Internet
3.10.1. Pengelolaan Risiko pada Supply Chain Dengan Menggunakan Metode House Of Risk (HOR) (Studi Kasus di PT. XYZ)
Semakin ketatnya persaingan terutama dalam sektor industri, perusahaan
dituntut untuk berkompetisi menjadi perusahaan yang lebih unggul. Dalam perusahaan,
Supply Chain Management (SCM) merupakan suatu hal yang
sangat penting untuk diperhatikan karena melibatkan semua elemen yang berpartisipasi
dalam suatu pergerakan usaha, mulai dari pemasok (supplier), perusahaan manufaktur,
hingga customer. Secara umum semua kegiatan yang terkait dengan aliran material,
aliran informasi, dan
aliran finansial di sepanjang supply chain adalah kegiatan-kegiatan dalam cakupan
SCM. Beberapa kegiatan utama yang masuk dalam klasifikasi SCM adalah: kegiatan
merancang produk (product development), kegiatan mendapatkan bahan baku
(procurement), kegiatan merencanakan produksi dan persediaan (planning & control),
kegiatan melakukan produksi (production), dan kegiatan melakukan pengiriman
(distribution). Klasifikasi kegiatan tersebut biasanya tercermin dalam bentuk pembagian
departemen atau divisi pada suatu perusahaan manufaktur
(Pujawan, 2005).
Setiap aktivitas bisnis perusahaan mempunyai suatu risiko. Menurut Walters,
2006 risiko merupakan ancaman yang mungkin terjadi untuk mengacaukan aktivitas
normal atau menghentikan sesuatu yang telah direncanakan. Berdasarkan penelitian
oleh Hendricks dan Singhal (2003) diketahui bahwa gangguan pada supply chain
yang tidak mampu pulih secara cepat dari dampak negatif tersebut. PT. XYZ merupakan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimana merupakan perusahaan yang bergerak
dibidang produksi, perdagangan serta distribusi garam. Dibidang pembuatan garam, PT.
XYZ memproduksi tiga jenis garam, yaitu: Produk turunan garam, Garam curai, dan
Garam industri. PT. XYZ sebagai perusahaan BUMN, dituntut untuk dapat memenuhi
kebutuhan garam dalam negeri. Selain itu PT. XYZ harus mampu bersaing dengan
berbagai perusahaan garam swasta yang menghasilkan garam dengan
3.10.1.2. Landasan Teori
Pada suatu supply chain terdapat tiga aliran yaitu aliran material, aliran
finansial, dan aliran informasi. Aliran material merupakan aliran barang/produk yang
mengalir dari hulu (upstream) kehilir (downstream). Pada aliran finansial/uang
mengalir dari hilir ke hulu,sedangkan aliran Informasi bisa terjadi dari hulu ke hilir
ataupun sebaliknya. Alur supply chain dalam perusahaan dapat diawali dengan order
dan negosiasi yang dilakukan dengan pihak customer.
HOR fase 1 merupakan tahapan awal dapat metode House Of Risk, dimana
HOR fase 1 ini merupakan fase identifikasi risiko yang digunakan untuk menentukan
agen risiko yang harus diberikan prioritas untuk tindakan pencegahan. Langkah-langkah
dalam HOR fase 1 ini yaitu identifiaksi risiko dan penilaian risiko yang meliputi
penilaian tingkat dampak (severity), penilaian tingkat kemunculan (occurance),
penilaian korelasi (correlation) dan perhitungan nilai Aggregate Risk Potential (ARP),
sehingga dapat diketahui agen risiko yang akan diberi tindakan pencegahan dengan
Penilaian risiko meliputi penilaian tingkat dampak (severity) dari kejadian risiko
yang telah diidentifikasi, penilaian tingkat kemunculan kejadian (occurance) dari agen
risiko, dan penilaian tingkat korelasi (correlation) antara kejadian risiko dan agen risiko.
Identifikasi risiko pada supply chain perusahaan didapatkan dari hasil wawancara
dengan pihak perusahaan yaitu Kepala Divisi Pengadaan, Kepala Divisi Produksi
Garam lahan, dan Kepala Divisi Pemasaran. Terdapat 46 risiko yang diidentifikasi yang
telahdikonfirmasi kepada pihak perusahaan dengan menggunakan metode SCOR yang
telah dikembangkan oleh Karningsih (2011) yang dikelompokkan berdasarkan plan,
source, make, deliver, dan return. Selanjutnya
3.10.1.3. Kesimpulan
Dari hasil pengolahan data dan analisis data yang telah dilakuakan, terdapat
beberapa kesimpulan yang dapat diambil sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian awal, identifikasi risiko yang
dilakukanmenggunakan metode pengembangan Supply Chain Operations
Reference (SCOR) dengan lima aktivitas yaitu plan, source, make, deliver, dan
return, diperoleh 46 risiko yang terjadi dalam supply chain perusahaan yang
masingmasing terbagi yaitu: 12 risiko yang terjadi pada aktivitas plan, 10 risiko
yang terjadi pada aktivitas source, 12 risiko yang terjadi pada aktivitas make, 7
risiko yang terjadi pada aktivitas deliver, dan 5 risiko yang terjadi pada aktivitas
return.
2. Berdasarkan hasil penelitian mengenai identifikasi agen risiko/ penyebab
terjadinya risiko-risiko tersebut dengan melakukan wawancara kepada pihak
Olahan, dan Kepala Divisi Pemasaran, terdapat 27 agen risiko yang dapat
menyebabkan terjadinya risiko dalam supply chain perusahaan.
3. Berdasarkan hasil penilaian tingkat dampak (severity) dari risiko dan penilaian
tingkat kemunculan kejadian (occurance) dari agen risiko, dapat diketahui besar
nilai Aggregate Risk Potential (ARP) yang digunakan untuk menentukan
prioritas agen risiko mana yang perlu untuk ditangani terlebih dahulu untuk
diberikan tindakan pencegahan. Dari hasil perhitungan ARP, terdapat enam agen
risiko yang memiliki nilai tertinggi yang ditunjukkan oleh diagram pareto
yangnantinya akan dilakukan perancangan strategi penanganan agar dapat
mengurangi dampak risiko yang terjadi dalam perusahaan, dimana terdapat 13
strategi penanganan yang dapat digunakan untuk mengeliminasi atau
menurunkan munculnya agen risiko, yaitu membuat sistem informasi yang
terintegrasi (PA1), membuat SOP untuk sistem komunikasi dalam perusahaan
(PA2), menjalin komunikasi dengan baik pada semua pihak baik customer dan
3.10.2.PENDEKATAN SUPPLY CHAIN RISK MANAGEMENT PADA AKTIVITAS SUPPLY CHAIN PG. PESANTREN BARU
Supply chain mempunyai peranan penting dalam aktivitas perusahaan mulai dari
kegiatan pemasokan bahan baku sampai dengan melakukan pengiriman hasil produksi
kepada konsumen. Dengan adanya pengelolaan supply chain management yang baik
maka akan menentukan kompetitif nya suatu perusahaan. Supply chain management
tidak hanya berorientasi pada kegiatan internal perusahaan akan tetapi juga eksternal
perusahaan yang menyangkut hubungan dengan perusahaan-perusahaan partner atau
supplier. Suatu perusahaan atau pabrik yang efisien yaitu apabila supplier-supplier
perusahaan dapat menghasilkan bahan baku yang berkualitas dan perusahaan mampu
memenuhi pengiriman secara tepat waktu.
PG. Pesantren Baru adalah bagian dari PTPN X yang bergerak dalam bidang
produksi dan distribusi gula. Produksi dari PG. Pesantren Baru bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan akan gula dalam negeri. Masalah gula di tanah air tidak lepas dari
ketidakseimbangan antara permintaan dan
penawaran, sehingga PG. Pesantren Baru perlu meningkatkan produktivitasnya.
3.10.2.2. Landasan Teori
Penelitian dimulai dengan melakukan studi pustaka dan studi lapangan pada
perusahaan secara langsung. Selanjutnya melakukan pemetaan aktivitas supply chain
perusahaan dengan menggunakan model SCOR. Dari hasil tersebut, kemudian
diidentifikasi risiko dari setiap aktivitas dengan cara wawancara dan diskusi dengan
penilaian risiko dengan menggunakan metode FMEA, dan dilakukan penentuan
peringkat risiko berdasarkan nilai RPN. Hasil nilai RPN yang tinggi selanjutnya
dievaluasi dan dibuat usulan langkah mitigasi.
Proses identifikasi dilakukan dengan memetakan aktivitas supply chain
perusahaan dengan menggunakan model SCOR (Supply Chain Operation Reference).
Model SCOR yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari aktivitas plan, source,
make, dan deliver. Identifikasi aktivitas supply chain ini didapatkan dari hasil
wawancara dan data historis yang telah diverifikasi perusahaan. Setelah didapatkan
hasil identifikasi risiko, dilakukan penilaian risiko untuk mendapatkan nilai RPN.
Penilaian risiko dilakukan dengan menggunakan metode FMEA. Dimana dalam metode
ini harus memperhatikan nilai dari severity, occurrence, dan detection nya. Nilai
severity, occurrence, dan detection didapatkan dari hasil penyebaran kuisioner serta
grup diskusi dengan level manajemen yang memiliki wewenang, kompetensi, dan
pemahaman secara keseluruhan terhadap kondisi perusahaan. Tujuan dilakukan
penilaian risiko terhadap risiko-risiko yang teridentifikasi adalah untuk mengetahui
risiko mana yang paling berpengaruh terhadap aktivitas supply chain perusahaan. Nilai
risiko dapat diketahui dengan melihat nilai RPN. Kemudian nilai RPN diurutkan dari
yang terbesar sampai dengan yang terkecil. Risiko paling kritis ditunjukan dengan nilai
RPN yang paling tinggi. Maksud dari risiko kritis adalah risiko yang apabila terjadi
3.10.2.3. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Pemetaan aktivitas supply chain dengan menggunakan model SCOR. Aktivitas
aktivitas yang diidentifikasi pada model SCOR yaitu aktivitas yang ada pada
proses plan, source, make, dan deliver. Dari hasil pemetaan aktivitas supply
chain pada masingmasing proses dengan model SCOR dapat dilakukan
identifikasi risiko. Hasil kejadian risiko yang teridentifikasi sebanyak 11 risiko
pada proses plan, 15 risiko pada proses source, 16 risiko pada proses make, dan
5 risiko pada proses deliver.
2. Dari masing-masing kejadian risiko yang teridentifikasi kemudian dilakukan
penilaian risiko dengan menggunakan metode FMEA. Penilaian risiko
dilakukan untuk mencari nilai RPN dengan memperhatikan skala severity,
occurrence dan detection. Penentuan peringkat risiko berdasarkan nilai RPN
yang didapatkan. Peringkat risiko yang didapatkan kemudian dilakukan
penentuan kategori risiko berdasarkan hasil judgement dan brainstorming
dengan perusahaan. Hasil dari evaluasi risiko didapatkan 8 kejadian risiko
termasuk dalam kategori tinggi, 14 kejadian risiko termasuk dalam kategori
sedang dan 25 risiko termasuk dalam kategori rendah.
3. Terdapat 8 risiko yang akan dilakukan perancangan strategi mitigasi risiko.
Mitigasi dilakukan dengan mencari terlebih dahulu akar penyebab masalahnya
dengan bantuan metode RCA 5 why. Mitigasi dilakukan berdasarkan
pendekatan supply management, demand management, product management,
3.10.3 Manajemen Risiko Dan Aksi Mitigasi Risiko Dengan Metode Matriks HOUSE OF RISK (HOR) Pada Proses Impor CKD dI PT. ASTRA DAIHATSU MOTOR
3.10.3.1. Pendahuluan
Ditinjau dari lingkup makro, populasi mobil di Indonesia dari tahun 2000
sampai 2011 terus meningkat sampai 10,532,412 unit, ditambah dengan data penjualan
domestik di Indonesia pada tahun 2013 dari bulan Januari sampai November mengalami
peningkatan sampai 1,026,758 unit. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan industri
otomotif di Indonesia maka meningkat pula impor kendaraan bermotor dan bagiannya
dari Thailand sepanjang Januari-November 2010 hingga US$ 1,87 miliar. Ditinjau dari
lingkup mikro yaitu tempat penelitian di PT. Astra Daihatsu Motor (PT.ADM) bahwa
angka produksi meningkat dari 2007 sampai dengan 2012, diiringi dengan peningkatan
impor part CKD (Completely Knocked Down).
3.10.2.2. Metode Penelitian
Untuk dapat menyelesaikan penelitian ini, ada beberapa tahap yang dilakukan,
yaitu pengumpulan data yang terdiri atas observasi langsung menanyakan mengenai
proses impor kepada member tim impor MSP; pengumpulan data KPI bulan
Januari-Juni 2013; pengumpulan data Risk Management Review yang dilakukan PT. ADM
pada tahun 2010 serta menyebarkan kuesioner untuk mendukung metode House of Risk
(HOR). Langkah selanjutnya adalah melakukan pengolahan data, pada langkah ini
SCOR dalam memetakan proses impor secara keseluruhan berikut lead time nya;
identifikasi risiko, mengidentifikasi kejadian risiko yang mungkin terjadi pada aktivitas
impor berdasarkan KPI dan Risk Management Review serta menentukan penyebab
risiko; analisis risiko, menentukan penyebab risiko yang paling besar berpengaruh
dalam aktivitas impor berdasarkan hasil kuesioner; evaluasi risiko, menentukan aksi
mitigasi risiko yang dapat dilakukan untuk meminimalisir risiko pada aktivitas impor
dengan mengolah rumus HOR 1; dan risk response, menentukan aksi mitigasi tertinggi
yang paling memungkinkan untuk dapat dilakukan berdasarkan hasil kuesioner dan
pengolahan rumus HOR 2.
Untuk mendapatkan variabel tersebut digunakan kuesioner sebagai teknik
pengumpulan data. Berdasarkan penelitian ini didapatkan penyebab risiko yang paling
tinggi pada proses impor CKD di PT. ADM adalah terjadi gangguan (kelumpuhan
komunikasi, error pada perangkat, mati listrik). Aksi pencegahan atau mitigasi yang
dapat dilakukan berdasarkan analisa dengan metode HOR 2 adalah mengaktifkan genset
(koordinasi dengan General Affair Departement) dan memasang UPS (Uninterruptable
Power System). Sehingga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya
penyebab risiko pada proses impor.
3.10.2.3. Hasil dan Kesimpulan
Dengan diketahuinya kejadian risiko, penyebab risiko dan aksi mitigasi yang
terjadi pada aktivitas impor, maka departemen impor dapat meminimalisir kesalahan
data, keterlambatan data dan proses serta memperlancar komunikasi dengan berbagai
penambahan karyawan dan perbaikan system. Saran bagi manajemen untuk dapat
mengatasi penyebab risiko terjadi gangguan (kelumpuhan komunikasi, error pada
perangkat, mati listrik) adalah dengan mengaktifkan genset (koordinasi dengan General
Affair Departement) dan memasang UPS (Uninteruptable Power System). Dengan
manfaat yang didapat oleh PT. ADM adalah :
1. Anggota Tim MSP memiliki waktu 15 – 30 menit untuk mengirimkan PIB dan
menunggu respon dari Bea Cukai,
2. PIB akan selesai tepat waktu,
3. Proses custom clearance tidak akan terhambat dan terlambat
4. Tidak akan ada penumpukan di gudang dan tidak ada biaya yang keluar atas
penumpukan,
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah di PT. Permata Hijau Palm Oleo , JL. Raya Pelabuhan
Belawan, Bagan Deli, Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2016
sampai Maret 2017.
4.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah Descriptive Research (Penelitian
Deskriptif). Penelitian deksriptif adalah suatu jenis penelitian yang bertujuan untuk
mendeskripsikan secara sistematik, faktual, akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat
suatu objek atau populasi tertentu.
4.3 Objek Penelitian
Objek penelitian yang diamati adalah kejadian risiko sepanjang jalur aktivitas
supply chain dump truck pada PT. Permata Hijau Palm Oleo sehingga dapat ditentukan
4.4 Variabel Operasional
Variabel Independen pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tingkat Dampak Risiko (Severity)
Severity menyatakan seberapa besar gangguan yang ditimbulkan oleh suatu
kejadian risiko (risk event) terhadap proses bisnis perusahaan.
2. Tingkat Kemunculan Risiko (Occurance)
Occurance menyatakan tingkat peluang frekuensi kemunculan suatu agen
risiko (risk agent) sehingga mengakibatkan timbulnya suatu atau beberapa
kejadian risiko (risk event) yang dapat menyebabkan gangguan pada proses
bisnis perusahaan
3. Tingkat Hubungan (Relationship)
Relationship menyatakan hubungan antara kejadian risiko dengan agen risiko
terhadap proses bisnis perusahaan
Variabel Dependen pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tingkat kesulitan dari aksi pencegahan (Effectiveness To Difficulty (ETD)
Perhitungan Perhitungan ini bertujuan untuk mengetahui ranking prioritas dari
semua penanganan risiko rantai pasok yang akan diusulkan untuk diterapkan
2. Hubungan antara aksi penanganan risiko dengan agen risiko
Hubungan antara aksi penanganan risiko dengan agen risiko untuk mengetahui
4.5 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir digunakan sebagai pendekatan dalam pemecahan masalah.
Kerangka berpikir yang pertama digunakan pada penelitian ini mengidentifikasi risiko
yang mungkin terjadi. Kemudian digambarkan dalam suatu kumpulan potensi risiko dari
masing – masing sumber risiko yang kemudian memunculkan agen risiko. Risiko yang
tejadi kemudian ditentukan tingkat keparahan (Severity) dari masing masing risiko yaitu
dengan pembobotan nilai severity. Kemudian menentukan tingkat kemungkinan terjadi
(Occurence). Agen penyebab risiko dengan pembobotan nilai Occurence. Relationship
merupakan tingkat nilai korelasi antara kejadian risiko dan agen risiko korelasi. Setelah
diberikan pembobotan pada kejadian risiko dan kejadian risiko, tahap selanjutnya
perhitungan nilai Aggregate Risk Potensial (ARP). Perhitungan nilai ARP menentukan
peringkat dan risk prioritization yang menentukan urutan prioritas risk agent yang akan
dimitigasi terlebih dahulu dengan menentukan peringkat mana yang memiliki prioritas
paling tinggi berdasarkan nilai ARP risk agent
Gambar 4.1 Kerangka Konseptual Penelitian
Severity
Occurate
Relationship
Agregate Risk
4.6 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian diawali dengan studi pendahuluan berupa wawancara
bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang sedang dihadapi oleh perusahaan.
Permasalahan yang dihadapi adalah ketidakpastian yang mengganggu salah satunya
ketidakpastian dari arah supplier misalnya tidak terpenuhinya permintaan kedatangan
bahan baku secara tepat waktu, dimana ketidakpastian yang terjadi dapat dikatakan
sebagai potensi risiko yang dapat mengganggu aktivitas rantai pasok PT. Permata Hijau
Palm Oleo. Setelah diketahui permasalahan yang akan dijadikan topik penelitian,
kemudian ditetapkan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
pembatasan masalah, dan sistematika penulisan tugas sarjana.
Tahap selanjutnya adalah pengumpulan informasi melalui wawancara, penilaian
risiko dengan kuesioner dan dokumen perusahaan berkaitan dengan gambaran umum
perusahaan. Penelitian dilanjutkan dengan pemilihan landasan teori yang mendukung
penelitian. Kemudian dilakukan pembuatan metodologi penelitian sebagai langkah
untuk memecahkan masalah aktivitas rantai padok dari supplier sampai ke perusahaan,
sehingga pembahasan serta analisis permasalahan menjadi tersusun dan terarah secara
sistematis. Tahap selanjutnya adalah proses pengumpulan dan pengolahan data. Setelah
itu, dilakukan analisis terhadap pengolahan data dan kemudian ditarik kesimpulan serta
saran dari hasil penelitian.
Gambar 4.2. Langkah-langkah Proses Penelitian
4.7 Pengumpulan Data
Berdasarkan cara memperolehnya maka sumber data yang diperoleh dari
penelitian ini adalah data hasil wawancara yaitu data aktivitas rantai pasok mulai dari
supplier sampai ke perusahaan, data kejadian risiko dan agen penyebab risiko, data
penilaian kejadian risiko dan agen risiko dari hasil kuisioner, sejarah perusahaan,
struktur organisasi dan manajemen perusahaan, data sumber supplier, dan data pegawai
4.8 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang dipakai dalam pengumpulan data.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis untuk mencatat hasil
wawancara dan kuisioner untuk mendapat informasi lebih jelas mengenai risiko-risiko
yang akan muncul dan hasil penilaiannya.
4.9 Populasi dan Sampel 4.9.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan anggota atau kelompok yang membentuk objek
yang dikenakan investigasi oleh peneliti (Sukaria, 2013). Populasi dalam penelitian ini
adalah pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengadaan bahan baku hingga proses
transformasi ke produk jadi yang telah bekerja lebih dari setahun di PT. Permata Hijau
Palm Oleo.
4.9.2 Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah judgement
sampling. Judgement sampling adalah suatu tipe pemilihan sampel dimana responden
terlebih dahulu dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu karena kemampuannya dan
kelebihannya diantara orang-orang lain dalam memberikan data dan informasi yang
bersifat khusus dibutuhkan peneliti (Sukaria, 2013). Responden yang ditetapkan sebagai
sampel dalam penelitian ini adalah yang paling memahami aktivitas supply chain
4.10 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan setelah keseluruhan data yang dibutuhkan baik data
primer maupun data sekunder terkumpul. Pengolahan data yang dilakukan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Pemetaan aktivitas supply chain
perusahaan
Identifikasi kejadian risiko (risk event) dan penyebab risiko (risk agent) dengan cara wawancara
Penilaian risk event dengan menggunakan kuisioner berdasarkan level severity
Penilaian risk agent dengan menggunakan kuisioner berdasarkan level occurence
Penilaian relationship
dengan menggunakan kuisioner
Analisis risiko dengan melakukan perhitungan ARP (Aggregate Risk
Potensials)
Penanganan Risiko
Gambar 4.3. Blok Diagram Pengolahan Data
Sumber: House of Risk: A Model for Proative Supply Chain Risk Management (2009)
4.11 Analisis Pemecahan Masalah
Analisis pemecahan masalah pada penelitian ini dilakukan dengan cara melihat
tingkat hubungan antara kejadian risiko dan agen risiko sehingga dapat diperoleh agen
4.12 Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan berisi hal-hal penting dalam penelitian tersebut dan hasil dari
analisis serta pemberian saran untuk penelitian selanjutnya bagi peneliti yang ingin
BAB V
PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
5.1 Pengumpulan Data 5.1.1 Aktivitas Perusahaan
Aktivitas perusahaan PT. Permata Hijau Palm Oleo adalah sebagai berikut
Tabel 5.1 Aktivitas Perusahaan
NO AKTIVITAS PERUSAHAAN
1 Perencanaan Produksi
2 Perencanaan perawatan peralatan produksi
3 Perencanaan Anggaran Perusahaan
4 Penerimaan Tenaga Kerja
5 Penerimaan Bahan
6 Inspeksi bahan
7 Manajamen Order
8 Komunikasi dengan Supplier
9 Kontrak dengan Supplier
10 Proses Produksi
11 Pengujian Produk
12 Penyimpanan Produk
13 Pengiriman Produk