BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Makanan Cepat Saji (Fast Food)
Istilah fast food pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar
tahun 1950-an dan pelajar merupakan konsumen terbanyak yang memilih menu
fast food. Fast food dipilih karena keterbatasan waktu maupun fasilitas untuk
menyiapkan makanannya sendiri (Fitri, 2011).
Menurut Hayati (2000) yang dikutip dalam Fitri (2011), secara umum
produk fast food dapat dibedakan menjadi dua, yaitu produk fast food yang
berasal dari Barat dan lokal. Fast food yang berasal dari Barat sering juga disebut
fast food modern, seperti fried chicken, hamburger, french fries, pizza, dan
sebagainya. Sedangkan fast food lokal sering disebut dengan istilah fast food
tradisional seperti warung tegal, restoran padang, warung sunda, dan lain-lain.
Makanan cepat saji modern (fast food) adalah jenis makanan yang mudah
disajikan, praktis dan umumnya diproduksi oleh industri pengolahan pangan
dengan teknologi tinggi dan memberikan berbagai zat aditif untuk mengawetkan
dan memberikan cita rasa bagi produk tersebut (Sihaloho, 2012).
Menurut Khomsan (2002), fast food dikatakan negatif karena
ketidakseimbangannya (dari segi porsi serta komposisi sayuran sehingga miskin
akan vitamin dan mineral), tinggi garam, dan rendah serat (merupakan faktor
pemicu munculnya penyakit hipertensi), serta sumber lemak dan kolesterol
(mengandalkan pangan hewani ternak sebagai menu utama). Ketidakseimbangan
zat gizi dalam tubuh dapat terjadi jika fast food dijadikan sebagai pola makan
harian. Kelebihan kalori, lemak, dan natrium akan terakumulasi dalam tubuh
seseorang dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif, berupa tekanan
darah tinggi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner, dan diabetes melitus, serta
Fast food cenderung lebih padat energi, kaya akan sumber asam lemak
jenuh (saturated fatty acids) dan asam lemak trans (trans fatty acids), garam,
rendah mikronutrien dan dikonsumsi dalam porsi yang cukup besar dibandingkan
makanan lain. Sebagai konsekuensi langsung, konsumsi berlebihan dari fast food
dihubungkan dengan peningkatan risiko berat badan berlebih (overweight) dan
obesitas. (The Food Monitoring Group BMC Public Health, 2012).
Berat badan berlebih pada anak meningkatkan risiko obesitas saat dewasa,
hal ini terjadi karena terdapat peningkatan dari sel lemak (fat cell) pada jaringan
adiposit terutama di jaringan adiposit viseral dan juga berisiko untuk
berkembangnya penyakit kronik lainnya. Adanya akses terhadap makanan
berenergi padat yang tinggi lemak (energy-dense high-fat) dan makanan-makanan
asin (salty foods) disertai minuman ringan yang manis (sweetened soft drinks) di
sekolah, kampus, rumah dan di gerai-gerai makanan cepat saji (fast food),
menandai peningkatan masukan energi anak dan remaja yang dapat mendorong
terjadinya obesitas. Anak dan remaja ini tiga kali lebih sering makan makanan
yang berasal dari restoran dan outlet fast food sekarang ini dibandingkan dengan
30 tahun yang lalu. Ini mungkin dikarenakan makanan-makanan tersebut relatif
murah, mudah diakses, banyaknya iklan makanan dan dengan orang tua yang
sibuk berkerja sehingga tidak memiliki waktu untuk memasak bagi keluarga
(Patterson, dkk, 2011).
Berikut ini adalah makanan cepat saji modern yang paling populer di
seluruh dunia yang berasal dari beberapa negara, dikutip dari Sihaloho (2012),
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Hamburger
Hamburger (atau seringkali disebut dengan burger) adalah sejenis makanan
berupa roti berbentuk bundar yang diiris dua dan ditengahnya diisi dengan
patty yang biasanya diambil dari daging, kemudian sayur-sayuran berupa
selada, tomat dan bawang bombay. Hamburger berasal dari negara Jerman.
Beberapa varian burger juga dilengkapi dengan keju, asinan, serta bahan
pelengkap lain seperti sosis.
2. Pizza
Pizza adalah adonan roti yang umumnya berisi tomat, keju, saus dan bahan lain
sesuai selera. Pizza pertama kali populer di negara Italia.
3. French fries (kentang goreng)
French fries adalah hidangan yang dibuat dari potongan-potongan kentang
yang digoreng dalam minyak goreng panas. French fries berasal dari negara
Belgia. Kentang goreng bisa dimakan begitu saja sebagai makanan ringan, atau
sebagai makanan pelengkap hidangan utama. Kentang goreng memiliki
kandungan glukosa dan lemak yang cukup tinggi.
4. Fried Chicken (ayam goreng)
Fried Chicken atau ayam goreng pada umumnya jenis makanan siap saji yang
umum dijual di restoran makanan siap saji. Fried chicken umumnya memiliki
protein, kolesterol dan lemak.
5. Spaghetti
Spaghetti berasal dari Italia, namun sudah populer di Indonesia. Spaghetti
adalah mie Italia yang berbentuk panjang seperti lidi, yang umumnya di masak
9-12 menit di dalam air mendidih dengan tambahan daging diatasnya.
6. Fish and Chips
Fish and chips adalah sebuah nama makanan Barat yang terdiri dari kombinasi
antara ikan dan kentang goreng. Rakyat Inggris dan Irlandia menyebutnya
dengan istilah ‘chippies’ atau ‘chipper’, dan merupakan menu makan siang
murah meriah di kalangan pekerja.
7. Sushi
Sushi adalah makanan Jepang yang terdiri dari nasi yang dibentuk bersama
lauk berupa makanan laut, daging, sayuran mentah atau sudah dimasak. Sushi
juga sudah populer di masyarakat Indonesia.
8. Hot Dog
Hot dog merupakan makanan siap saji berupa sosis yang diselipkan dalam roti.
Masih banyak yang termasuk jenis makanan cepat saji (fast food) modern
diantaranya menurut Peter dalam Ade (2011), yaitu the torpedo roll, the pizza pie,
chili con carne, tortillas, club sandwich, sourthen fried chicken, bacon, lettuce
and tomato sanwiches, grilled cheese sandwich, dan open beef sandwich. Namun
belum ditemukan referensi mengenai apa saja yang termasuk makanan cepat saji
(fast food) lokal yang berada di Indonesia.
Berikut ini gambaran kandungan nilai gizi dari beberapa jenis makanan
cepat saji yang saat ini banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena pengaruh tren
globalisasi (dikutip dari Tarigan, 2012):
1. Komposisi gizi Pizza (100 g):
Kalori (483 KKal), Lemak (48 g), Kolesterol (52 g), Karbohidrat (3 g), Gula
(3 g), Protein (3 g).
2. Komposisi gizi Hamburger (100 g):
Kalori (267 KKal), Lemak (10 g), Kolesterol (29 mg), Protein (11 g),
Karbohidrat (33 g), Serat kasar (3 g), Gula (7 g).
3. Komposisi gizi Donat (I bh = 70 g):
Kalori (210 Kkal), Lemak (8 g), Karbohidrat (32 g), Serat kasar (1 g), Protein
(3 g), Gula (11 g), Sodium (260 mg).
4. Komposisi gizi Fried Chicken (100 g):
Kalori (298 KKal), Lemak (16,8 g), Protein (34,2 g), Karbohidrat (0,1 g).
5. Chicken nugget 6 potong: 250 kalori
6. Komposisi chicken nugget:
protein 15,5%, lemak 9,7%, karbohidrat 66,7%
7. Kentang goreng mengandung 220 kalori (Muliany, 2005).
2.2. Aspek Sosio-Kultural Makanan
Pemilihan akan makanan yang dikomsumsi tidak terlepas dari peranan
makanan itu sendiri. Kecuali peranan biologik, yaitu untuk memenuhi rasa lapar,
makanan mempunyai peranan sosio-kultural. Den Hartog, Hautvast, dan den
1. Fungsi kenikmatan atau Gastronomik
Manusia makan untuk kenikmatan. Kesukaan akan makanan berbeda dari
satu bangsa ke bangsa yang lain, dan dari satu daerah/suku ke daerah/suku
lain. Makanan di negara tropik berbeda dengan di negara dengan empat
musim.
Di Indonesia, kesukaan makanan antardaerah/suku juga banyak
berbeda. Sebagai contoh, sudah terkenal bahwa makanan di Sumatra,
khususnya di Sumatra Barat, lebih pedas daripada makanan di Jawa,
khususnya Jawa Tengah yang suka makanan manis.
Secara umum makanan yang disukai adalah makanan yang
memenuhi selera atau cita rasa/inderawi, yaitu dalam hal rupa, warna, bau,
rasa, suhu, dan tekstur.
2. Makanan untuk Menyatakan Jati Diri
Makanan sering dianggap sebagai bagian penting untuk menyatakan jati
diri seseorang atau sekelompok orang. Di Jepang misalnya, ikan
mentah/sushi merupakan makanan terhormat untuk disajikan kepada
tamu-tamu. Di sebagian Sumatra, daging dianggap sebagai makanan berprestise.
Amatlah memalukan bila kepada tamu tidak dapat menghidangkan daging.
3. Fungsi Komunikasi
Makanan merupakan media penting dalam upaya manusia berhubungan
satu sama lain. Di dalam keluarga kehangatan hubungan antar anggotanya
terjadi pada waktu makan bersama. Begitupun di antara keluarga besar
diupayakan pertemuan secara berkala dengan makan-makan untuk
memelihara dan mempererat hubungan silahturahmi. Antartetangga sering
dilakukan tukar-menukar makanan. Dalam bisnis, kesepakatan sering
diperoleh dalam suatu jamuan makan di restoran atau di tempat makan lain.
Pesta-pesta makan sering diselenggarakan untuk menghormati seseorang,
sekelompok orang, atau untuk merayakan suatu peristiwa penting. Banyak
waktu dan uang digunakan untuk mengusahakan agar makanan yang
disajikan memenuhi selera tamu-tamu yang diundang. Ini sering berakibat
4. Fungsi Status Ekonomi
Makanan sering digunakan untuk menunjukkan prestise dan status
ekonomi. Semua budaya mempunyai makanan yang dianggap berprestise.
Makan beras dianggap lebih berprestise daripada makan jagung dan
umbi-umbian. Oleh karena itu, disamping karena pertambahan penduduk,
konsumsi beras di Indonesia semakin hari semakin bertambah sehingga
menjadi masalah dalam pengadaannya. Beras putih dianggap lebih
berprestise daripada beras tumbuk, padahal beras tumbuk mengandung
lebih banyak zat-zat gizi daripada beras giling. Di negara industri, roti
putih dulu dianggap lebih bergengsi daripada roti yang berwarna
kecoklatan (dibuat dari tepung gandum yang tidak sempurna
penggilingannya). Akan tetapi sekarang, karena kesadaran gizi sudah
semakin besar, banyak orang memilih memakan roti berwarna kecoklatan
(brown bread) tersebut.
5. Simbol Kekuasaan
Melalui makanan seseorang atau sekelompok masyarakat dapat
menunjukkan kekuasaan terhadap orang atau kelompok masyarakat lain.
Majikan memberikan makanan yang berbeda daripada yang ia makan
kepada bawahan/pembantunya. Memberi makanan yang berkualitas
rendah dalam jumlah yang tidak mencukupi kepada orang tahanan
merupakan sebagian dari hukumannya. Dalam keadaan bermusuhan suatu
negara menetapkan embargo bahan pangan terhadap negara musuhnya.
6. Fungsi Religi, Magis, dan lain-lain.
2.3. Remaja
2.3.1. Pengertian dan Perkembangan Remaja
Remaja adalah masa transisi antara kehidupan seorang anak menjadi
dewasa. Ada beberapa pandangan berbeda dalam menentukan batasan usia remaja.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan batas usia remaja adalah 10-20
bagian, yaitu remaja awal yang berusia 12-14 tahun, remaja pertengahan berusia
14-16 tahun, dan remaja akhir yang berusia 17-19 tahun.
WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual
yang dikutip dari Sarwono (2000) dalam Pratiwi (2011). Definisi tersebut
dikemukakan dalam 3 kriteria, yaitu: biologis, psikologis, dan sosial ekonomi,
sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi remaja adalah suatu masa
dimana:
1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda
seks sekundernya sampai ia mencapai matang seksual.
2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari
anak menjadi dewasa.
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri.
Dalam Sadock (2007), awal dari masa remaja ini ditandai dengan pubertas,
yang merupakan proses perkembangan fisik dan reproduksi, baik primer maupun
sekunder, seorang anak menjadi dewasa. Laju pertumbuhan anak, baik perempuan
maupun lelaki, hampir sama cepatnya sampai pada usia 9 tahun. Selanjutnya,
antara 10-12 tahun, pertumbuhan anak perempuan mengalami percepatan lebih
dahulu karena tubuhnya memerlukan persiapan menjelang usia reproduksi;
sementara anak lelaki baru dapat menyusul dua tahun kemudian. Pubertas dimulai
sekitar umur 10-11 tahun untuk anak perempuan dan 12-13 tahun untuk anak
laki-laki. Waktu pubertas dan laju pertumbuhan pada anak sangat bervariasi. Selama
lima sampai tujuh tahun perkembangan pubertas, berat badan remaja mencapai
sekitar 20 persen dari berat badan dewasa dan 50 persen dari berat badan dewasa
ideal. Hampir seluruh organ tubuh ukurannya bertambah dua kali lipat dari ukuran
sebelumnya, dan hampir setengah dari pertumbuhan tulang total terjadi (Arisman,
2010)
Masa remaja merupakan jalan panjang yang menjembatani periode
kehidupan anak dan dewasa, yang berawal pada usia 9-10 tahun dan berakhir di
dalam artian fisik, psikis, sosial, dan gizi. Pertumbuhan yang disertai dengan
perubahan fisik, memicu berbagai kebingungan (Arisman, 2010).
Masa remaja adalah periode kritis dalam perjalanan kehidupan manusia,
karena pada saat itulah individu mulai mengembangkan sikap mental dan identitas
dirinya, dimana seseorang mulai berinteraksi dengan lebih banyak pengaruh
lingkungan dan mengalami pembentukan perilaku. Perubahan gaya hidup pada
remaja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebiasaan makan remaja.
Remaja menjadi lebih aktif, lebih banyak makan di luar, dan mendapat banyak
pengaruh dalam pemilihan makanan yang akan dimakannya, selain itu remaja
juga sering mencoba-coba makanan baru, salah satunya adalah fast food
(Virgianto dan Purwaningsih, 2006).
2.3.2. Masalah Gizi Remaja
Cukup banyak masalah yang berdampak negatif terhadap kesehatan dan
gizi remaja. Disamping penyakit atau kondisi yang terbawa sejak lahir,
penyalahgunaan obat, kecanduan alkohol dan rokok serta hubungan seksual
terlalu dini, terbukti menambah beban para remaja. Dalam beberapa hal, masalah
gizi remaja serupa atau merupakan kelanjutan dari masalah gizi pada usia anak,
yaitu anemia defisiensi besi serta kelebihan dan kekurangan berat badan (Arisman,
2010).
Menurut Wardlaw (2004), banyak remaja perempuan yang berhenti
meminum susu, sehingga mereka tidak mengonsumsi cukup kalsium yang
berguna untuk memaksimalkan mineralisasi tulang mereka. Asupan kalsium yang
cukup untuk lelaki dan perempuan antara usia 9 dan 18 tahun adalah 1300 mg per
hari, dibandingkan dengan 800 mg per hari untuk anak-anak yang lebih muda.
Sedangkan menurut Arisman (2010), remaja tidak setiap hari makan buah dan
sayur, sementara kudapan asin dan manis (70%) dimakan beberapa kali (sepertiga
dari mereka) setiap hari. Survei Departemen Pertanian Amerika Serikat (1995)
membuktikan bahwa remaja putri yang berusia 12-19 tahun, hanya mengonsumsi
Masalah selanjutnya adalah defisiensi zat besi. Anemia defisiensi besi
beberapa kali muncul pada remaja wanita setelah mereka mulai menstruasi
(menarche) dan pada remaja lelaki muncul selama percepatan pertumbuhan
mereka. Sekitar 10% remaja memiliki simpanan besi yang rendah atau
berhubungan dengan anemia. Penting bagi remaja untuk memilih makanan baik
yang mengandung zat besi, seperti daging tanpa lemak, biji-bijian, dan sereal.
Remaja wanita, khususnya yang memilki siklus menstruasi yang berat,
membutuhkan konsumsi makanan yang kaya akan zat besi (atau secara teratur
mengonsumsi suplemen besi). Defisiensi besi merupakan kondisi yang sangat
merugikan untuk remaja. Masalah ini dapat menyebabkan kelelahan (fatigue) dan
menurunkan kemampuan untuk berkonsentasi dan belajar di sekolah (Wardlaw,
2004).
Salah satu masalah serius yang bersifat universal kini adalah konsumsi
makanan olahan, seperti yang ditayangkan dalam iklan televisi secara berlebihan.
Makanan ini meski dalam iklan diklaim kaya akan vitamin dan mineral, sering
terlalu banyak mengandung gula serta lemak, disamping zat aditif. Konsumsi
makanan jenis ini secara berlebihan dapat berakibat kekurangan zat gizi lain.
Kegemaran pada makanan olahan yang mengandung zat (gula, lemak, dan aditif
secara berlebihan) ini menyebabkan remaja mengalami perubahan patologis yang
terlalu dini (Arisman, 2010).
Pada penelitian Patterson (2011) di London didapati kemungkinan
alasan-alasan mengapa mereka senang membeli makanan dan minuman dari outlet fast
food atau takeaway outlets. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan
bahwa pengaruh teman sebaya menjadi faktor penting yang signifikan dan
potensial mempengaruhi frekuensi konsumsi, dimana ini menjadi gengsi tersendiri
bagi para remaja. Kemudian rasa dan akses yang cepat menjadi dua alasan populer
lainnya. Pada laporan sebelumnya juga ditemukan bahwa mereka menikmati rasa
dari makanan tersebut. Rasa mungkin dapat dihubungkan dengan kandungan
Ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi mengakibatkan
pertambahan berat badan. Obesitas yang muncul pada usia remaja cenderung
berlanjut hingga ke dewasa dan lansia. Sementara obesitas itu sendiri merupakan
salah satu faktor risiko penyakit degeneratif, seperti penyakit kardiovaskular,
diabetes melitus, artritis, penyakit kantong empedu, beberapa jenis kanker,
gangguan fungsi pernapasan, dan berbagai gangguan kulit (Arisman, 2010).
Ada tiga alasan mengapa remaja dikatakan rentan. Pertama, percepatan
pertumbuhan dan perkembangan tubuh memerlukan energi dan zat gizi yang lebih
banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan kebiasaan pangan menuntut
penyesuaian masukan energi dan zat gizi. Ketiga, kehamilan, keikutsertaan dalam
olahraga, kecanduan alkohol dan obat, meningkatkan kebutuhan energi dan zat
gizi, disamping itu, tidak sedikit remaja yang makan secara berlebihan dan
akhirnya mengalami obesitas (Arisman, 2010).
Remaja merupakan golongan yang paling mudah terkena budaya dari luar,
karena mereka sedang mengalami masa pencarian identitas diri akibat periode
transisi yang dilalui. Pada masa ini mereka sudah memiliki kebebasan (tahap
independensi) dalam memilih makanan apa saja yang disukainya dan cenderung
tidak berselera lagi makan di rumah bersama keluarga, serta lebih senang
menghabiskan waktu di luar rumah bersama teman-temannya. Kebebasan inilah
yang merubah kebiasaan remaja menjadi makan tidak teratur, terutama
melewatkan sarapan pagi dengan alasan sibuk, seringnya mengkonsumsi makanan
yang tidak sehat dan makanan ringan (snack) selama waktu sekolah, serta juga
memiliki aktivitas fisik yang rendah (Patterson, 2011).
Remaja belum sepenuhnya matang, baik secara fisik, kognitif, dan
psikososial. Dalam masa pencarian identitas ini, remaja cepat sekali terpengaruh
oleh lingkungan. Kegemaran yang tidak lazim, seperti pilihan untuk menjadi
vegetarian atau food fadism, merupakan sebagian contoh keterpengaruhan ini.
Kecemasan akan bentuk tubuh membuat remaja sengaja tidak makan, tidak jarang
berujung pada anoreksia nervosa. Kesibukan menyebabkan mereka memilih
dipengaruhi oleh keluarga, teman, dan media (terutama iklan di televisi). Teman
sebaya berpengaruh besar pada remaja dalam hal memilih jenis makanan.
Ketidakpatuhan terhadap teman dikhawatirkan dapat menyebabkan dirinya
“terkucil”, dan itu akan merusak rasa percaya diri (Arisman, 2010).
2.3.3. Kebutuhan Gizi Remaja
Penentuan kebutuhan akan zat gizi remaja secara umum didasarkan pada
Recommended Daily Allowances (RDA) atau Angka Kecukupan Gizi yang
dianjurkan (AKG). Untuk praktisnya, RDA disusun berdasarkan perkembangan
kronologis bukan kematangan. Karena itu, jika konsumsi energi remaja kurang
dari jumlah yang dianjurkan, tidak berarti kebutuhannya belum tercukupi. Status
gizi remaja harus dinilai secara perorangan, berdasarkan data yang diperoleh dari
pemeriksaan klinis, biokimiawi, antropometris, diet, serta psikososial (Arisman,
2010).
Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG) atau Recommended Daily
Allowances (RDA) adalah taraf konsumsi zat-zat gizi esensial, yang berdasarkan
pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua
orang sehat. Angka kecukupan gizi berbeda dengan angka kebutuhan gizi (dietary
requirements). Angka kebutuhan gizi adalah banyaknya zat-zat gizi minimal yang
dibutuhkan seseorang untuk mempertahankan status gizi adekuat. AKG yang
dianjurkan didasarkan pada patokan berat badan untuk masing-masing kelompok
umur, gender, aktivitas fisik, dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan
menyusui (Almatsier,2009).
WHO menganjurkan rata-rata konsumsi energi makanan sehari adalah
10-15% berasal dari protein, 15-30% dari lemak, dan 55-75% dari karbohidrat
(Almatsier, 2009).
Menurut Arisman (2010), banyaknya energi yang dibutuhkan oleh remaja
dapat diacu pada tabel RDA. Secara garis besar remaja putra memerlukan lebih
banyak ebergi dibandingkan remaja putri. Pada usia 16 tahun remaja putra
membutuhkan sekitar 3.470 kkal per hari, dan menurun menjadi 2.900 pada usia
untuk kemudian menurun menjadi 2.200 kkal pada usia18 tahun. Perhitungan ini
didasarkan pada stadium perkembangan fisiologis, bukan usia kronologis. Wait
dkk., menganjurkan penggunaan kkal per cm tinggi badan sebagai penentu
kebutuhan akan energi yang lebih baik. Perkiraan energi untuk remaja putra
berusia 11-18 tahun, yaitu 13-23 kkal/cm, sementara remaja putri dengan usia
yang sama, yaitu 10-19 kkal/cm.
Perhitungan besarnya kebutuhan akan protein berkaitan dengan pola
tumbuh, bukan usia kronologis. Untuk remaja putra, kisaran besarnya kebutuhan
ini ialah 0,29-0,32 gr/cm tinggi badan. Sementara remaja putri hanya 0,27-0,29
gr/cm (Arisman, 2010)
Makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak sehingga dapat
menyebabkan obesitas. Kelebihan protein memberatkan ginjal dan hati yang harus
memetabolisme dan mengeluarkan kelebihan nitrogen. Batas yang dianjurkan
untuk konsumsi protein adalah dua kali Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk
protein. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI (WKNPG VI) tahun 1998
menganjurkan angka kecukupan gizi (AKG) protein untuk remaja 1,5 - 2,0 gr/kg
BB/hari. AKG protein remaja dan dewasa muda adalah 48-62 gr per hari untuk
perempuan dan 55-66 gr per hari untuk laki-laki. Sedangkan menurut Depkes RI
tahun 2004, angka kecukupan energi dan protein rata-rata yang dianjurkan pada
remaja tercantum dalam tabel 2.1.
Kebutuhan akan semua jenis mineral juga meningkat. Peningkatan
kebutuhan akan besi dan kalsium paling mencolok karena kedua mineral ini
merupakan komponen penting pembentuk tulang dan otot. Asupan kalsium yang
dianjurkan sebesar 800 mg (praremaja) sampai 1200 mg (remaja) (Arisman, 2010).
Peningkatan kebutuhan akan energi dan zat gizi sekaligus memerlukan
tambahan vitamin di atas kebutuhan semasa bayi dan anak. Asupan tiamin,
riboflavin, dan niasin harus ditambah sejajar dengan pertambahan energi. Vitamin
diketahui berperan dalam proses pelepasan energi dari karbohidrat. Percepatan
sintesis jaringan mengisyaratkan pertambahan asupan vitamin B6, B12, dan asam
folat. Ketiga jenis vitamin ini berperan dalam sintesis DNA (Deoxyribonucleic
Acid) dan RNA (Ribonucleic Acid). Untuk menjaga agar sel dan jaringan baru
tidak cepat rusak, asupan vitamin A, C dan E juga perlu ditingkatkan selain
vitamin D karena perannya dalam proses pembentukan tulang. Kadar vitamin C
dalam serum cukup rendah (Dep. Pertanian AS, Guenter dkk, 1986), terutama
mereka yang memantangkan sayur dan buah, serta perokok (Arisman, 2010).
AKG yang ditetapkan pada Widyakarya Pangan dan Gizi Nasional
(WNPG) tahun 2004 meliputi zat-zat gizi sebagai berikut: energi (kkal), protein
(g), vitamin A (RE), vitamin D (mcg), vitamin E (mg), vitamin K (mcg), tiamin
(mg), riboflavin (mg), niasin (mg), asam folat (mcg), piridoksin (mg), vitamin
B12 (mcg), vitamin C (mg), kalsium (mg), fosfor (mg), magnesium (mg), besi
(mg), iodium (mcg), seng (mg), selenium (mcg), mangan (mg), dan fluor (mg).
WNPG 2004 juga menganjurkan kebutuhan serat makanan (dietary fiber)
sebanyak 10-14 gram/1000 kkal atau 19-30 g/orang/hari, dengan rasio serat
makanan tidak larut air dan serat larut air sebesar 3:1 (Almatsier, 2009).
AKG disusun berdasarkan kelompok umur, gender, serta status hamil dan
menyusui. AKG disusun untuk 19 golongan manusia berdasarkan umur, dan
diatas 9 tahun juga berdasarkan gender, serta ibu hamil dan menyusui. Daftar
2.4. Homeostasis Energi dan Regulasi Asupan Makanan
Hampir semua binatang dewasa dan manusia, baik perempuan maupun
lelaki, memelihara homeostasis energi, dimana asupan energi (makanan) sama
dengan pengeluaran energi (energy expenditure). Ketika kandungan energi pada
makanan seimbang dengan energi yang digunakan oleh semua sel di tubuh, berat
badan akan tetap konstan (kecuali terjadi penambahan atau kehilangan cairan)
(Tortora dan Derickson, 2009).
Asupan energi tidak hanya tergantung pada jumlah makanan yang
dikonsumsi (dan diabsorbsi), tetapi terdapat tiga komponen yang berperan dalam
pengeluaran energi (energy expenditure):
1. Basal Metabolic Rate (BMR) berperan dalam 60% dalam pengeluaran
energi (energy expenditure).
2. Aktivitas fisik, menambah sekitar 30-35% tetapi bisa lebih rendah pada
orang yang bergaya hidup sedentaris.
3. Makanan yang memicu termogenesis, panas yang dihasilkan ketika
makanan dicerna, diabsorbsi, dan disimpan, merupakan 5-10% dari total
pengeluaran energi (energy expenditure).
Tempat penyimpanan energi kimia utama tubuh adalah sel adiposa. Ketika
energi yang digunakan melebihi asupan energi, trigliserida di jaringan adiposa
dikatabolisme untuk menyediakan energi tambahan, dan ketika asupan energi
melebihi pengeluaran energi, trigliserida disimpan. Sudah jelas, terdapat suatu
mekanisme umpan balik negatif (negative feedback mechanisms) yang mengatur
asupan energi dan juga pengeluaran energi tubuh. Tetapi tidak ada reseptor
sensorik untuk memonitor berat dan ukuran tubuh kita (Tortora dan Derickson,
2009).
Regulasi keseimbangan energi, asupan dan pengeluaran, tergantung pada:
impuls neural dan endokrin, kadar nutrisi tertentu di darah, elemen psikologi
(seperti stres atau depresi), impuls yang berasal dari GI tract dan special senses,
dan hubungan neural antara hipotalamus dan bagian-bagian lain di otak (Tortora
Dalam Tortora dan Derickson (2009), terdapat sekelompok neuron di
hipotalamus yang memegang peranan dalam regulasi asupan makanan (food
intake). Dua area hipotalamus yang terlibat dalam regulasi ini adalah nukleus
arkuata (arcuate nucleus) dan nukleus paraventrikular (paraventricular nucleus).
Terdapat mekanisme neurohormonal yang mengatur persamaan energi dan
dapat mempengaruhi berat tubuh, yang dikutip dari buku “Dasar Patologis
Penyakit” Robbins & Cotran, secara kasar terdapat tiga komponen dalam sistem
ini:
1. Sistem aferen, yang menghasilkan sinyal-sinyal humoral dari jaringa n
lemak (leptin), pankreas (insulin), dan lambung (ghrelin)
2. Unit pengolahan sentral, yang terutama berada di hipotalamus, yang
mengintegrasikan sinyal-sinyal aferen.
3. Sistem efektor, yang menjalankan “perintah” dari nukleus-nukleus
hipotalamus dalam bentuk perilaku makan dan pengeluaran energi.
Di antara sinyal-sinyal aferen, insulin dan leptin menghasilkan kontrol
jangka-panjang atas siklus energi dengan mengaktifkan sirkuit-sirkuit katabolik
dan menghambat jalur-jalur anabolik. Sebaliknya, ghrelin terutama berfungsi
sebagai mediator jangka pendek. Ghrelin, yang dibentuk di lambung, kadarnya
meningkat pesat tepat sebelum makan dan segera turun ketika lambung “penuh”
(Kumar, dkk, 2010).
Sementara insulin dan leptin memengaruhi siklus energi, data-data yang
ada mengisyaratkan bahwa leptin memiliki peran yang lebih penting daripada
insulin pada pengendalian homeostasis oleh susunan saraf pusat. Leptin disintesis
dan disekresikan oleh sel adiposit; semakin banyak trigliserida disimpan, semakin
banyak pula leptin disekresikan ke aliran darah. Leptin bekerja di hipotalamus
untuk menghambat sirkuit yang menstimulasi proses makan, juga bersamaan
meningkatkan pengeluaran energi (Kumar, dkk, 2010).
Sekarang telah dipastikan bahwa adiposit berkomunikasi dengan
pusat-pusat hipotalamus yang mengendalikan nafsu makan dan pengeluaran energi
dengan mengeluarkan leptin, suatu anggota dari famili sitokin. Jika terdapat
tinggi dan menembus sawar darah otak untuk berikatan dengan reseptornya.
Sinyal dari reseptor leptin memiliki dua efek: menghambat sirkuit-sirkuit anabolik,
yang normalnya mendorong pemasukan makanan dan menghambat pengeluaran
energi, dan melalui serangkaian neuron tersendiri, leptin memicu sirkuit katabolik.
Oleh karena itu, efek netto leptin adalah mengurangi asupan makanan dan
meningkatkan pengeluaran energi (Kumar, dkk, 2010).
Dalam jangka waktu tertentu, simpanan energi (adiposit) berkurang, dan
berat badan menurun. Hal ini pada gilirannya mengurangi kadar leptin dalam
darah, dan tercapainya keseimbangan baru. Siklus ini berbalik jika jaringan
adiposa berkurang dan kadar leptin berkurang di bawah suatu ambang.
Keseimbangan kembali dicapai, karena kadar leptin yang rendah, sirkuit anabolik
dilepaskan dari hambatannya dan sirkuit katabolik menjadi tidak aktif sehingga
terjadi penambahan netto berat badan (Kumar, dkk, 2010).
Dasar molekul kerja leptin sangatlah kompleks dan belum sepenuhnya
terungkap. Umumnya leptin menjalankan fungsinya melalui serangkaian
jalur-jalur saraf terintegrasi yang disebut sebagai sikuit leptin-melanokortin, yang
diilustrasikan pada gambar 2.1. Pemahaman atas sirkuit ini penting karena
obesitas adalah suatu masalah kesehatan masyarakat yang serius, dan pemahaman
obat antiobesitas akan bergantung pada pemahaman pada jalur-jalur ini (Kumar,
dkk, 2010).
Dalam Kumar, dkk (2010), ketika kadar leptin dan insulin rendah, neuron
memanjang dari nukleus arkuata (arcuate nucleus) ke nukleus paraventrikular
(paraventricular) melepaskan sebuah neurotransmiter yang disebut neuropeptida
Y (NPY) yang menstimulasi asupan makanan. Neuron lain yang memanjang
antara nukleus arkuata dan paraventrikular melepaskan sebuah neurotransmiter
yang disebut melanokortin, yang serupa dengan melanocyte-stimulating hormone
(MSH). Leptin menstimulasi pelepasan melanokortin, yang bekerja menghambat
asupan makanan. Walaupun leptin, neuropeptida Y, dan melanokortin merupakan
molekul kunci yang memberi sinyal untuk memelihara homeostasis energi,
beberapa hormon dan neurotransmiter lain pun turut berkontribusi. Serta area-area
lain di hipotalamus ditambah nuklei di batang otak, sistem limbik, dan korteks
serebri juga turut mengambil bagian dalam proses ini.
2.5. Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa tubuh (IMT) adalah rumus matematis yang dinyatakan
sebagai berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (dalam
ukuran meter). IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan dan
praktis untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan obese pada orang
dewasa. Karena IMT menggunakan ukuran tinggi badan, maka pengukurannya
harus dilakukan dengan teliti. IMT dapat memperkirakan jumlah lemak tubuh
yang dapat dinilai dengan menimbang di bawah air (r2 = 79%) dengan kemudian
melakukan koreksi terhadap umur dan jenis kelamin. Bila melakukan penilaian
IMT, perlu diperhatikan adanya perbedaan individu dan etnik (Sugondo,2010).
��� = �� (��)
�� (�2)
IMT juga dijadikan sebagai indikator dalam mengukur lemak tubuh untuk
sebagian besar anak dan remaja. Perhitungan IMT dapat dijadikan sebagai alat
screening dalam mengidentifikasikan kemungkinan masalah berat badan pada
anak. CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan AAP (American
kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas pada anak dan remaja umur 2-20
tahun
Walaupun IMT digunakan sebagai alat screening, tetapi IMT bukanlah
sebuah alat diagnostik. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki IMT
yang tinggi untuk umur dan jenis kelaminnya, tetapi untuk menentukan apakah
anak tersebut memiliki kelebihan lemak yang dapat mengganggu kesehatannya,
perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan ini dapat meliputi
pengukuran ketebalan lipatan kulit, evaluasi diet, aktivitas fisik, riwayat keluarga,
dan pemeriksaan lain yang sesuai
April 2013).
Setelah IMT anak dan remaja dihitung, hasil perhitungan ini di-plot-kan ke
grafik CDC IMT-berdasarkan umur (untuk perempuan maupun lelaki), yang
terlampir pada lampiran 2. Dalam grafik tersebut akan terlihat persentil
IMT-berdasarkan umur si anak, dari nilai persentil inilah dapat ditentukan apakah anak
kurus, normal atau obese, seperti yang terlihat pada tabel 2.2. Persentil merupakan
indikator yang paling umum digunakan untuk menilai ukuran dan pola
pertumbuhan dari masing-masing anak di Amerika Serikat. Persentil
mengindikasikan posisi relatif dari IMT seorang anak diantara anak-anak lainnya
yang berasal dari umur dan jenis kelamin yang sama.
Tabel 2.2. Kategori Status Berat Badan dan Persentil Menurut IMT- Berdasarkan Umur
Kategori Status Berat Badan Kisaran persentil
Berat badan kurang < 5 percentile
Kisaran normal 5-85 percentile
Berat badan berlebih 85-95 percentile
Obesitas ≥ 95 percentile
Walaupun IMT diukur dengan rumus yang sama antara anak dan dewasa,
kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan IMT anak dan remaja berbeda
dengan yang digunakan untuk dewasa. Untuk anak dan remaja digunakan grafik
IMT-berdasarkan persentil umur dan jenis kelamin, karena dua alasan:
1. Jumlah lemak tubuh berubah berdasarkan umur
2. Jumlah lemak tubuh berbeda antara perempuan dan lelaki
Sedangkan untuk dewasa, IMT tidak diinterpretasikan berdasarkan kategori umur
dan jenis kelamin, sehingga klasifikasi IMT dewasa tidak dapat diaplikasikan
pada anak dan remaja.
Hubungan antara lemak tubuh dan IMT ditentukan oleh bentuk tubuh dan
proporsi tubuh, sehingga dengan demikian IMT belum tentu memberikan
kegemukan yang sama bagi semua populasi. IMT dapat memberikan kesan yang
umum mengenai derajat kegemukan (kelebihan jumlah lemak) pada populasi,
terutama pada kelompok usia lanjut dan pada atlet dengan banyak otot. IMT dapat
memberikan gambaran yang tidak sesuai mengenai keadaan obesitas karena
variasi lean body mass (Sugondo,2010).
Tabel 2.3., merupakan klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) dewasa
menurut kriteria Asia Pasifik yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), nilai IMT ≥25 kg/m2 dikatakan sebagai obesitas dan nilai IMT 23,0-24,9
kg/m2 , sebagai pra-obese.
Tabel 2.3. Klasifikasi IMT menurut kriteria Asia Pasifik
Klasifikasi IMT Asia (kg/m2)
Berat Badan Kurang <18,5
Kisaran Normal 18,5-22,9
Berat Badan Lebih ≥23
Pra-obese 23,0-24,9
Obese Tingkat I 25,0-29,9
Obese Tingkat II ≥30,0