• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar belakang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

Latar belakang

Bercak serupa penyakit blas padi dapat ditemukan pada beberapa spesies rumput yang tumbuh di areal penanaman padi di sawah Sukabumi. Areal persawahan ini termasuk wilayah endemik blas (Sobrizal et al. 2010). Sedangkan di Jasinga, Bogor, pada tahun 2005 beberapa galur padi percobaan di ladang terserang penyakit blas. Padi Kencana bali yang sedang diikutsertakan pada percobaan tersebut juga terserang penyakit blas. Areal tempat percobaan tersebut juga termasuk daerah endemik blas (Purwoko 2005), meskipun areal ini bukan lahan produksi padi dan tidak tampak areal persawahan di sekitarnya. Rumput Digitaria ciliaris dan Panicum repens di rumah kaca Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB juga memiliki bercak penyakit blas.

Morfologi Pyricularia yang diperoleh dari rumput dan padi ialah serupa (Rosman et al. 1990, Couch dan Kohn 2002). Nama Pyricularia grisea Sacc. muncul lebih awal sebagai spesies yang patogen pada Digitaria sanguinalis. Selanjutnya, Pyricularia oryzae Cav. muncul sebagai spesies patogen pada padi yang kemudian dikenal sebagai penyebab penyakit blas. Kedua spesies tersebut memiliki teleomorf yang sama pada awalnya, yaitu Magnaporthe grisea (Hebert) Barr (Ou 1985). Rosman et al. (1990) menempatkan P. oryzae sebagai sinonim dari P. grisea.

Pyricularia dari 14 spesies rumput di sekitar pertanaman padi dan padi di Filipina merupakan grup monofiletik berdasarkan hasil hibridisasi dengan probe rDNA (Borromeo et al. 1993). Monofiletisme juga tampak pada Pyricularia dari 23 spesies inang (padi dan selain padi, termasuk rumput) berdasarkan sekuen nukleotida internal transcribed spacer (ITS) dari rDNA, actin, β-tubulin, dan calmodulin (Hirata et al. 2007). Hubungan filogenetik berdasarkan 10 lokus, mengindikasikan bahwa awal Pyricularia patogen padi terjadi di Cina, dan berasal dari Pyricularia yang patogen ke Setaria viridis dan Setaria faberi, selanjutnya meluas ke rumput Leersia hexandra dan Panicum repens dengan tidak dapat diketahui asal lokasi penyebarannya, karena keterbatasan sampel dari area geografi (Couch et al. 2005).

(2)

Pyricularia pada rumput di sekitar pertanaman padi di Filipina tidak menjadi sumber inokulum penyakit blas di padi (Borromeo et al. 1993), begitu pula di India, tidak ada aliran genetik Pyricularia patogen padi dan patogen selain padi (Rathour et al. 2006). Asosiasi spesifitas inang tampak dipertahankan melalui perbedaan pada patogenisitas di antara Pyricularia dari inang berbeda. Pyricularia dari inang selain padi tidak patogen atau kurang patogen ke padi (Couch et al. 2005). Menurut Hamer et al (1989), seleksi inang untuk genotipe patogen yang spesifik terjadi selama pemuliaan dan budidaya padi.

Pyricularia dari Digitaria ciliaris dan Eragrostis sp. di Filipina memiliki karakteristik berbeda terhadap Pyricularia dari padi berdasarkan situs enzim restriksi DNA mitokondria (mtDNA) dan hasil hibridisasi dengan enam jenis probe (PGR613, PGR612, PGR46, PGR6G, PGR106, dan MGR586) dari elemen repetitive (Borromeo et al. 1993). Pyricularia dari rumput juga membentuk kluster yang terpisah dari tanaman penting secara agronomi berdasarkan restriction fragment length polymorphism (RFLP) dari rDNA dan sekuen ITS2 (Kusaba et al. 1999). Sampai saat ini analisis keragaman genetik Pyricularia yang mengalami pergantian inang dari genus yang berbeda belum pernah dilaporkan. Di Indonesia, sejak lama rumput yang tumbuh di sekitar pertanaman padi telah menjadi perhatian sehubungan dengan perkembangan penyakit blas, seperti dilaporkan oleh Rusli (1987), namun belum banyak informasi yang dapat diperoleh dari rumput-rumput di Indonesia.

Di Indonesia, rumput Echinochloa crusgalli (Cikampek), Leersia hexandra (Cilacap), Panicum maximum (Bali), dan Panicum repens (Subang) dilaporkan sebagai inang Pyricularia (DBPT Deptan 1992). Sedangkan rumput di sekitar pertanaman padi di Filipina sebagai inang Pyricularia ialah Brachiaria mutica, Brachiaria distachya, Dactyloctenium aegyptium, Digitaria ciliaris, Echinochloa colona, Eleusine indica, L. hexandra, P. repens, Pennisetum purpureum, dan Rottboellia exaltata (Mackill & Bonman 1986), Cenchrus echinatus, Cynodon dactylon, Cyperus brevifolius, Cyperus rotundus, Eragrostis sp., Leptochloa chinensis, dan Paspalum distichum (Borromeo et al. 1993). Rumput di sekitar pertanaman padi juga dilaporkan menjadi inang Pyricularia, seperti di India (Singh & Singh 1988), dan Ghana (Nutsugah et al. 2008).

(3)

Menurut Couch dan Kohn (2002), Pyricularia pada rumput liar dan padi merupakan spesies terpisah. Pyricularia grisea merupakan spesies yang patogen pada Digitaria spp. (Digitaria horizontalis dari Brazil, Digitaria smutzi dari Jepang, dan Digitaria sp. dari USA dan Cina), dengan teleomorfnya ialah M. grisea, sedangkan P. oryzae merupakan spesies yang patogen pada padi dan berbagai anggota Graminae (serealia dan rumput) yang dibudidayakan. Teleomorf P. oryzae, yaitu Magnaporthe oryzae B. Couch. Magnaporthe oryzae ditempatkan sebagai anggota M. grisea spesies kompleks. Serealia dan rumput budidaya tersebut adalah Eleusine coracana (finger millet), Eleusine indica, Eragrostis curvula, Lolium perenne, Setaria sp. Selanjutnya, M. grisea kompleks digunakan sebagai nama cendawan penyebab blas pada padi dan beberapa anggota Graminae lain (Zellerhoff & Schaffrath 2006, Khang et al. 2008, Motallebi et al. 2009a).

Penyakit blas pada padi merupakan salah satu penyakit penting, karena menyebabkan banyak kehilangan hasil panen hingga 50% (Babujee & Gnanamanickam 2000). Pada tahun 1963, penyakit blas dilaporkan telah menyerang tanaman padi di 60 negara, dan pada tahun 1925 dilaporkan keberadaan penyakit blas pada padi di pulau Jawa (Parthasarathy & Ou 1963). Penyakit blas merupakan penyakit penting pada padi gogo (di lahan kering) di Indonesia. Penyakit tersebut telah menyebar luas, menyebabkan kerusakan padi sawah (Amir & Nasution 1993). Tingkat kerusakannya lebih besar pada padi di dataran tinggi. Pada tahun 1987-1988, frekuensi serangan penyakit blas di dataran rendah mencapai sekitar 56%, dan tahun 1990/1991 persawahan di Indramayu kehilangan produksi padi lebih dari 50% akibat serangan penyakit blas (DBPT Deptan 1992). Serangan penyakit tersebut cenderung meningkat setiap tahun. Pada tahun 2006, luas serangan penyakit blas paling tinggi terjadi di Lampung (1,923 ha) dan Jawa Barat (1853 ha). Sedangkan pada tahun 2007 dan 2008 berturut-turut luas serangannya paling tinggi di Jawa Barat (2864 ha dan 3205 ha) dan Sulawesi Selatan (2123 ha dan 2078 ha) (Deptan 2009).

Ketahanan padi terhadap penyakit blas sangat dipengaruhi oleh dominasi ras patogen, sehingga penggunaan varietas tahan blas sangat dibatasi oleh waktu dan tempat. Ras atau patotipe cendawan blas sangat cepat berkembang (DTPH

(4)

2000). Padi var. Kencana bali merupakan salah satu anggota padi diferensial di Indonesia yang digunakan untuk uji patotipe (ras fisiologi). Padi tersebut rentan terhadap semua (27) ras Pyricularia patogen padi yang ada di Indonesia. Padi diferensial lainnya, di antaranya berupa padi var. Cisokan yang bersifat moderat resisten, yaitu resisten terhadap delapan ras atau dengan kata lain rentan terhadap serangan 21 ras Pyricularia patogen padi yang ada di Indonesia (DBPT Deptan 1992).

Isolat-isolat cendawan blas padi cenderung tidak stabil penampakan koloninya, fertilitas, dan patogenisitasnya selama disubkultur berulang-ulang di laboratorium (Valent & Chumley 1991). Pada penelitian pendahuluan juga tampak, umumnya cendawan blas yang berasal dari rumput memiliki warna koloni yang cepat berubah dari gelap menjadi putih selama disubkultur berulang-ulang di laboratorium. Selain itu, jumlah konidium cendawan blas yang berasal dari rumput sejak awal hasil isolasi lebih sedikit dibandingkan dengan cendawan blas yang diperoleh dari padi. Sporulasi Pyricularia dari rumput budidaya lebih baik daripada isolat dari rumput liar, kemungkinan karena perbedaan genetik sporulasinya (Rao et al. 1972). Pyricularia asal padi yang mengalami gangguan magB menghasilkan mutan dengan efek pleotropi, yaitu mereduksi pertumbuhan somatik, konidiasi, pembentukan apresorium, dan patogenisitas.

Mutasi magB pada Pyricularia patogen padi yang dihasilkan melalui transformasi (pembentukan rekombinan homolog untuk menggantikan gen target) menghasilkan mutan yang mengalami penurunan kemampuannya untuk menginfeksi dan mengkolonisasi daun padi yang rentan, serta gagal membentuk peritesium (perkembangan fase seksual). Sedangkan mutan magA dan magC yang diperoleh melalui transformasi tidak menghasilkan askus dewasa (Liu & Dean 1997). Pyricularia patogen padi yang mengalami mutasi gen magB dan magC akan mereduksi konidiasi, patogenisitas, dan juga berhubungan dengan perkawinan. Delesi gen magA tidak memiliki efek pada pertumbuhan somatik, konidiasi, ataupun pembentukan apresorium (Liu & Dean 1997). Hal tersebut di atas mungkin dapat juga terjadi pada Pyricularia di lapang dari berbagai rumput, sehingga menghasilkan keragaman, seperti tingkat konidiasi. Selain itu, tidak semua Pyricularia dari rumput patogen ke varietas padi ataupun anggota

(5)

Graminae lainnya (Ou 1985), dan Pyricularia dari berbagai inang bervariasi fertilitasnya (Zeigler 1998). Oleh karena itu, keragaman cendawan blas dari rumput dapat berdasarkan penanda molekuler pada lokus magB dan magC dari cendawan blas yang patogen pada padi.

Banyak penanda molekuler lain yang juga dapat digunakan untuk menganalisis keragaman genetik. Sebagai contoh, sebanyak 14 pasang primer sequence characterized amplified region marker (SCAR) telah digunakan untuk memonitor rekombinasi dan migrasi populasi Pyricularia patogen padi dari benua Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, dan Eropa (Soubabere et al. 2000). Begitu juga di Indonesia, sebanyak tiga pasang primer SCAR telah digunakan untuk menunjukkan keragaman genetik Pyricularia patogen padi dari beberapa daerah endemik blas (Reflinur et al. 2005). Sampai saat ini belum diperoleh informasi keragaman penanda SCAR pada Pyricularia dari rumput di sekitar pertanaman padi, khususnya di Indonesia. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan analisis keragaman Pyricularia dari beberapa spesies rumput menggunakan tiga penanda SCAR, yaitu Cut1, PWL2, dan Erg2.

Pada daur penyakit, hubungan inang utama dan inang alternatif untuk mempertahankan propagul yang dapat menginfeksi sangat penting. Beberapa Pyricularia dari rumput hanya dapat menginfeksi padi yang rentan (Mackill & Bonman 1986; Singh & Singh 1988; DBPT Deptan 1992), dan beberapa rumput lain (DBPT Deptan 1992). Hasil uji di rumah kaca menunjukkan, Pyricularia yang bukan berasal dari padi umumnya avirulen atau lemah virulensinya terhadap padi (Couch et al. 2005). Kemampuan infeksi silang Pyricularia yang dilakukan oleh para peneliti tersebut di atas tidak didasarkan pada riwayat inokulan spora tunggal. Oleh sebab itu, analisis genetik sampel basal (isolat-isolat satu klonal dengan inokulan) sangat diperlukan untuk menduga tingkat mikroevolusi yang muncul akibat pergantian inang.

Mikroevolusi pada mikroba merupakan perubahan berpola evolusi yang dapat tampak selama waktu relatif pendek (King & Stansfiled 1990, Mettler et al. 1988) pada beberapa hari atau minggu (Morschhäuser et al. 2000) dan dapat diamati secara langsung di alam atau pada percobaan laboratorium (Mettler et al. 1988). Peristiwa mikroevolusi dapat bersifat kembali lagi (reversible) dan

(6)

berulang (repeatable) (Mettler et al. 1988). Mutasi titik, penyusunan kembali gen (genetic rearrangements), dan transfer gen merupakan proses yang menyumbang terjadi evolusi pada organisme, termasuk evolusi mikroba. Contoh mikroevolusi Cochliobolus carbonatum pada jagung di alam yang mengalami insersi transposon pada gen resistensinya (Multani et al. 1998). Contoh lainnya ialah keragaman Fusarium oxysporum f. sp. albedinis penyebab layu pada palm berdasarkan keserasian vegetatif (vegetative compatibility=VCG), RFLP mtDNA, dan random amplified polymorphic DNA (RAPD) (Fernandez et al. 1997). Proses mikroevolusi pada jangka waktu lama menghasilkan perkembangan spesies baru atau subspesies dan disebut dengan istilah makroevolusi (Morschhäuser et al. 2000).

Sampai saat ini belum diperoleh laporan tentang mikroevolusi Pyricularia yang mengalami pergantian genus inang. Hal yang menarik ialah injeksi konidium patogen blas padi ke kultivar padi yang panikelnya resisten penyakit blas menghasilkan isolat turunan (asal bercak blas pada spikeletnya) dengan sifat-sifat patogenisitas dan genetik yang bervariasi (Namai & Iwade 2002, Namai 2011). Fenomena yang sama mungkin dapat terjadi juga pada cendawan blas asal rumput, pergantian inang kemungkinan dapat menimbulkan variasi patogenisitas dan genetiknya. Perubahan genetik ini diduga dapat bersifat stabil dan perubahan ini dapat diamati dengan menggunakan penanda molekuler.

Penanda molekuler lainnya yang dapat digunakan untuk mengamati keragaman genetik di antaranya metode amplified fragment lenght polymorphism (AFLP). AFLP telah digunakan untuk membedakan Pyricularia asal padi indica dan japonica (Thuan et al. 2000). AFLP juga dipakai oleh Tredway et al. (2005) untuk menunjukkan keragaman genetika Pyricularia asal rumput industri, padi, dan gandum. AFLP tidak digunakan untuk analisis filogenetik pada tingkat di atas spesies (Robinson & Harris 1999). AFLP memiliki potensi sebagai sumber informasi filogenetik sistematika molekuler pada takson yang berkerabat sangat dekat, sangat baik untuk mempelajari hubungan filogenetik ketika sekuen internal transcribed spacer (ITS) bersifat terkonservasi (Koopman 2005).

Selain AFLP, sekuen ITS (Hirata et al. 2007) dan pola fragmen DNA melalui amplifikasi bagian elemen repetitive Pot2 (rep-Pot2) (Filippi et al. 2002)

(7)

juga dapat digunakan untuk menganalisis keragaman isolat Pyricularia patogen padi. Daerah ITS rDNA nukleus paling cepat mengalami variasi diantara populasi (White et al. 1990). Sekuen ITS yang banyak bervariasi dapat disejajarkan (aligned) dengan tingkat kepercayaan hanya antara taksa yang sangat berkerabat dekat (Guarro et al. 1999). Oleh sebab itu identitas, keragaman genetik sampel basal, dan stabilitas genetik cendawan blas asal rumput yang mengalami pergantian inang dipelajari secara molekuler dengan bantuan teknik SCAR, AFLP, rep-Pot2 dan hubungannya dengan ras fisiologi, serta sekuen ITS.

Di seluruh dunia, cendawan blas yang dominan di lapang ialah anamorfnya (Kato et al. 2000). Teleomorf tidak pernah ditemukan di lapang, meskipun terdapat indikasi keberadaan siklus seksual di lapang berdasarkan penanda molekuler repeat-induced point mutation (RIP) (Ikeda et al. 2002). Teleomorf hanya dihasilkan di laboratorium dari penyilangan dua isolat yang membawa jenis mating type berbeda, dan salah satu isolat tersebut bersifat hermaprodit (Zeigler 1998). Oleh karena itu spesies epitet seringkali berdasarkan inang. Perkembangan pendekatan spesies mempengaruhi identitas Pyricularia, sehingga koreksi penamaan masih berlangsung. Lokus actin, β-tubulin, calmodulin, dan ITS rDNA telah menjadi objek penelitian untuk memecahkan masalah penamaan dan hubungan filogenetik antara isolat. Lokus tersebut juga digunakan untuk menganalisis variasi genetik populasi Pyricularia. Oleh sebab itu karakterisasi cendawan blas pada rumput dan padi sangat diperlukan untuk menetapkan nama yang tepat terutama kaitannya dengan mikroevolusinya akibat pergantian inang.

Daerah ITS dapat digunakan untuk membedakan spesies Trichophyton dan Microsporum yang menunjukkan pola mikroevolusi (Gräser et al. 1999). Daerah ITS pada ribosomal DNA (rDNA) telah digunakan untuk membatasi lingkup spesies cendawan (Kusaba et al. 1999, Hirata et al. 2007). Daerah ITS dan intergenic spacer (IGS) rRNA nukleus merupakan unit berulang, terlibat paling cepat mengalami variasi diantara spesies pada genus (White et al. 1990).

(8)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk

(i) Menganalisis keragaman populasi Pyricularia dari beberapa rumput yang tumbuh berdekatan dengan padi berdasarkan penanda SCAR yang terdiri atas Cut1, PWL2 dan Erg2; serta penanda magB, dan magC

(ii) Menganalisis keragaman genetik sampel basal Pyricularia dari rumput D. ciliaris dan mikroevolusi hasil induksi pergantian genus inangnya berdasarkan lima penanda, yaitu penanda SCAR, AFLP, PCR repetitive Pot2 (rep-Pot2), dan hubungannya dengan ras fisiologi (patotipe), serta sekuen ITS beserta 5.8S rDNA nukleus

(iii) Menganalisis hubungan filogenetik berdasarkan sekuen ITS beserta 5.8S rDNA nukleus antara Pyricularia dari rumput dan padi yang diperoleh dari lokasi dan waktu yang sama.

Hipotesis :

1) Lokus SCAR yaitu Cut1, PWL2, Erg2, magB, dan magC dapat digunakan sebagai dasar analisis tingkat keragaman Pyricularia patogen rumput

2) Isolat-isolat Pyricularia hasil pertumbuhan konidium tunggal dari satu bercak blas membentuk karakter sampel basal dengan heterogenisitas terbatas dan perubahan genotipe inang memicu keragaman genetik dari sampel basal Pyricularia

3) Terdapat hubungan filogenetik yang sangat dekat antara Pyricularia pada rumput yang tumbuh di sekitar padi dengan Pyricularia yang berada pada padi, sehingga keduanya merupakan spesies yang sama, yaitu sebagai Pyricularia grisea

Manfaat

Keragaman penanda SCAR (Cut1, PWL2, Erg2), magB dan magC pada Pyricularia dari beberapa spesies rumput yang tumbuh berdekatan dengan padi di sawah Sukabumi dan ladang Jasinga, Bogor untuk menduga tingkat variasi Pyricularia patogen rumput di Jawa Barat. Sedangkan data genetik hasil pergantian inang Pyricularia diharapkan dapat menjadi dasar pendugaan sumber variasi keragaman Pyricularia di lapang, dan menjelaskan hubungan filogenetik antara Pyricularia patogen padi dan rumput yang tumbuh liar di sekitarnya

(9)

berdasarkan penanda molekuler yang digunakan pada penelitian ini. Hubungan filogenetik tersebut untuk menduga aliran genetik Pyricularia pada padi sebagai inang utama dan rumput sebagai inang alternatifnya, sehingga dapat sebagai landasan rekomendasi penyiangan. Data-data yang diperoleh dari penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai informasi dasar manajemen penyakit blas pada padi di Jawa Barat.

(10)

Referensi

Dokumen terkait

Peubah biologi yang diamati meliputi: 1) lama waktu perkembangan yang dibutuhkan sejak telur diletakkan oleh imago betina sampai menetas menjadi nimfa instar

Bila selaput ketuban sudah pecah, tekanan pada bagian terbawah janin terhadap serviks dan segmen bawah uterus juga sama efektifnya.. Selaput ketuban terhadap serviks dan segmen

Selain variabel-variabel tersebut, untuk membentuk suatu model dinamis guna lahan permukiman dalam memproyeksikan besarnya kebutuhan permukiman pada masa mendatang,

Structural unemployment disebabkan sektor-sektor usaha yang ketika share GDP riilnya meningkat justru berdampak negatif terhadap employment share sektoralnya (seperti halnya

Dala6 rangka6eningkatkan6utu7anke!ela6atana!ien9RSTN 6enerakan 6et#7erootcauseanalysisRCAatauanali!akar6a!ala89-aitu !uatu kegiatan in=e!tiga!iter!truktur-ang

Bidas Menteri Ketiga & Tegakkan Kembali Hujah-Hujah Pembangkang Tuan Yang DiPertua, sebentar tadi, Menteri Ketiga ada membidas hujah ketiga kami ... Namun

Berdasarkan penelitian terdahulu (Putri dan Ferdinand; 2016) bahwa harga kompetitif berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian, begitu juga pada penelitian Reven

Kata Kunci : Jamur, Fungi, Makroskopis, Mikroskopis, Jamur Kuping (Auricularia auricular), Jamur Shiitake (Lentinus edodes), Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus), Jamur Ragi,