• Tidak ada hasil yang ditemukan

Index of /ProdukHukum/kehutanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Index of /ProdukHukum/kehutanan"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Forest Law Enforcement, Governance and Trade – Voluntary

Partnership Agreement ( FLEGT- VPA)

Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan bidang Kehutanan - Perjanjian Kemitraan Sukarela

FLEGT- VPA: Ringkasan

• Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) atau Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Bidang Kehutanan merupakan respon masyarakat Uni Eropa terhadap masalah penebangan liar dan perdagangan ilegal produk hasil hutan yang terjadi secara global, termasuk yang terjadi di I ndonesia. Respon ini sekaligus merupakan komitmen Uni Eropa untuk membantu memberantas penebangan liar dan perdagangan hasil hutan ilegal. Komitmen ini disampaikan pada pertemuan puncak dunia untuk pembangunan yang berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002. Komitmen tersebut ditindaklanjuti dengan rencana aksi atau FLEGT Action Plan yang diadopsi pada Mei 2003.

• Tujuan FLEGT tercantum dalam Action Plan Uni Eropa yaitu: membantu negara produsen kayu untuk meningkatkan “governance” dan “capacity building” dalam memberantas penebangan liar, mencegah masuknya kayu ilegal ke pasar Uni Eropa melalui Voluntary Partnership Agreement (Perjanjian Kemitraan Sukarela) atau VPA antara Uni Eropa dengan negara-negara produsen kayu; serta mencegah penggunaan kayu ilegal dan investasi Uni Eropa pada kegiatan ekonomi Uni Eropa.

• EC mengadopsi Regulation no. 2173/ 2005 tanggal 20 Desember 2005 yang intinya adalah penetapan suatu “Licesing Scheme” untuk produk ke Uni Eropa melalui kemitraan dengan negara produsen kayu. RI berharap dengan adanya VPA sebagai instrumen hukum internasional yang dapat diterapkan untuk mempromosikan kayu-kayu legal dari negara-negara produsen kayu, terutama negara eksportir kayu yang tidak mempunyai jenis-jenis kayu komersial dari hutan tropis, sedangkan jenis-jenis kayu komersial tersebut spesifik hanya ditemukan di negara-negara produsen.

• VPA merupakan perjanjian atau negosiasi bilateral (bersifat sukarela) antara negara penghasil kayu dengan Uni Eropa. VPA pada prinsipnya menawarkan sebuah pendekatan untuk merumuskan dan menegosiasikan mekanisme praktis memverifikasi legalitas kayu, agar kayu-kayu yang diproduksi dan kemudian diekspor ke Uni Eropa dapat dikenali dengan menggunakan identitas atau perijinan yang dikeluarkan oleh mitra negara FLEGT. Sementara ini skema ditujukan untuk kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, bantalan kereta api (sleepers), dan veneer.

• Substansi yang diatur dalam VPA menyangkut: (1) definisi dari “legality”; (2) lisensi ekspor; (3) sistem verifikasi (untuk mengidentifikasi yang diekspor adalah kayu legal); (4) penunjukkan instansi yang berwenang; (5) penunjukan pengawas independen.

(2)

I ndonesia secara ilegal, dimana EU cenderung untuk mendorong kerjasama bilateral antara negara produsen.

• Manfaat yang diharapkan bila I ndonesia setuju dengan VPA: (1) membantu menyelamatkan pendapatan negara bukan pajak/ penerimaan negara dan meningkatkan citra RI di luar negeri atas komitmen memberantas ilegal logging dan perdagangannya; (2) adanya bantuan teknis maupun finansial sistem pengawasan penataanusahaan hasil hutan berbasis teknologi (online monitoring

system); (3) penguatan kapasitas penduduk supaya terlepas dari kegiatan ilegal

loging. Misalnya kegiatan HTR, lembaga pembiayaan dan akses ke pasar.

FLEGT- VPA: proses negosiasi di I ndonesia

• Lokakarya FLEGT-VPA tanggal 12 April 2006 di Jakarta, yang dihadiri oleh unsur pemerintah, unsur dunia usaha-swasta dan unsur masyarakat sipil serta perwakilan dari negara donor. Maksud dari lokakarya ini adalah sebagai upaya konsolidasi para pihak untuk merumuskan respon bersama dan sekaligus menentukan posisi dan kesiapan I ndonesia dalam proses negoisiasi VPA. Salah satu hasil dari hasil diskusi peserta lokakarya adalah permintaan klarifikasi (22 pertanyaan) tentang VPA dari Uni Eropa. Melalui Ketua Tim Fasilitasi VPA Lingkup Dephut, pertanyaan-pertanyaan tersebut dikirimkan ke Delegasi Komisi Uni Eropa di Jakarta (14 Juni 2006), dan mendapat respon dari Komisi Uni Eropa tanggal 10 Juli 2006.

• Tim Fasilitasi VPA Lingkup Dephut (dibentuk dengan SK Sekjen No. 32/ I I -KUM/ 2006) menyampaikan respon dari Komisi Uni Eropa tentang FLEGT-VPA, yang isinya antara lain:

a. Aspek legalitas mengikuti hukum di I ndonesia;

b. Tidak diskriminatif. Uni Eropa memulai persiapan proses VPA dengan Malaysia, Gabon, Ghana dan Cameroon;

c. Tidak ada insentif langsung, kecuali memberikan kesempatan jaringan pasar di Uni Eropa;

d. Tidak ada dukungan finansial dari Uni Eropa kecuali bantuan teknis penyusunan VPA via FLEGT Support Project;

e. Pemantau independen dinegosiasikan dan disepakati kedua belah pihak.

• Sosialisasi FLEGT-VPA sebagai tindak-lanjut dari Lokakarya Nasional 12 April 2006. Untuk wilayah Kalimantan dilaksanakan di Pontianak pada tgl. 24 Agustus 2006 dan untuk wilayah Sumatera dilaksanakan di Jambi pada tgl. 30 Agustus 2006 dengan hasil antara lain mengenai penyelesaian internal illegal logging sebagai prioritas, baru menuju VPA.

• Lokakarya Nasional I I tanggal 21 November 2006 di Jakarta diselengarakan oleh Tim Fasilitasi VPA lingkup Departemen Kehutanan bersama dengan EC-I ndonesia FLEGT Support Project. Lokakarya ini dihadiri oleh unsur pemerintah, dunia usaha-swasta dan masyarakat madani serta perwakilan dari negara donor. Target yang dicapai adalah adanya kesepakatan bersama dalam menentukan willingness I ndonesia untuk meneruskan proses negosiasi. Untuk mempersiapkan menuju proses negosiasi maka perlu disiapkan langkah lanjutan seperti pembentukan tim negosiasi, penelitian aspek-aspek yang akan dinegosiasikan dan tata waktu pelaksanaan negosiasi.

(3)

mengenai Penegakan Hukum, Tata Kelola Perdagangan bidang Kehutanan – Kesepakatan Kemitraan Sukarela (FLEGT-VPA) pada tanggal 8 Januari 2007;

• Tanggal 29 – 30 Maret 2007: Negosiasi pertama di Jakarta. Tim Komisi Eropa dipimpin oleh Mr. Jean Breteché (Duta Besar Uni Eropa di Jakarta). Delegasi RI diketuai oleh Dr. Hadi S. Pasaribu (Dirjen Bina Produksi Kehutanan/ Dephut). Anggota Delegasi RI terdiri atas perwakilan dari instansi pemerintah yang terkait (Deplu, Depdag, Deperin, Depkeu), swasta kehutanan, dan lembaga swadaya masyarakat.

Hasil dari pertemuan tanggal 29 – 30 Maret 2007, kedua pihak (Uni Eropa dan I ndonesia) sepakat untuk membentuk 2 Gugus Kerja, yaitu:

a. Working Group on Legality Standard: focal point yang ditunjuk dari Departemen

Kehutanan untuk gugus kerja ini adalah Dr. Agus Sarsito (Direktur Bina Rencana Pemanfaatan Hutan Produksi, Ditjen Bina Produksi Kehutanan, Dephut);

b. Working Group on Capacity Building: focal point yang ditunjuk untuk gugus

kerja ini adalah Taufiq Alimi dari Lembaga Ekolabel I ndonesia.

• Tanggal 11-13 Juli 2007: Negosiasi kedua di Brussels. Dalam negosiasi kedua dibahas antara lain: mengkaji ulang elemen-elemen yang akan didiskusikan dalam VPA, cakupan produk, sistem kepastian keabsahan kayu, penegakan hukum dan tata kelola bidang kehutanan, penghindaran/ peraturan (circumvention/ legislation), dan insentif.

• Sebagai tindak lanjut dari Negosiasi kedua yang diselenggarakan di Brussel pada bulan Juli 2007, maka pada tanggal 27 September 2007 telah diselenggarakan High Level Meeting on FLEGT-VPA RI -EC.

• Tim Fasilitasi VPA Lingkup Departemen Kehutanan bersama dengan EC-I ndonesia FLEGT Support Project melakukan Studi dampak perdagangan dengan adanya VPA bagi I ndonesia. Topik Studi dimaksud adalah “Analysis of the trade impact on the VPA for I ndonesia”. Rekomendasi hasil studi sebagai berikut:

a. Dengan senario VPA6 (I ndonesia, Malaysia, Ghana, Cameroon, Gabon, Congo Brazzaville), volume yang diperdagangkan atas produk VPA dasar adalah kecil, meningkat secara marjinal bila ditingkatkan ke senario VPA12 (VPA6 + Brazil, China, Russia, Ukraine, Belarus dan Vietnam); b. VPA perlu mencakup semua produk kayu untuk mendapatkan dampak

yang murni;

c. Langkah-langkah perdagangkan saja tidak akan memadai untuk mengekang pembalakan liar dan perdagangan yang terkait;

d. Penegakan hukum yang efektif di negara-negara Mitra VPA merupakan cara paling efisien untuk memberantas pembalakan liar dan perdagangan yang terkait

e. UE perlu memperkenalkan peraturan perundang-undangan yang pro-aktif untuk:

(4)

ii. melarang impor kayu dan produk kayu yang asal-usulnya meragukan untuk memastikan tidak adanya bahwa resiko penghindaran (circumvention) dan pencucian

• Senin dan Selasa, 14 – 15 April 2008 telah diadakan FLEGT VPA Technical Meeting dengan hasil sebagai berikut:

- Terkait dengan standar legalitas, I ndonesia telah menyusun prinsip, kriteria dan indikator yang dikembangkan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, juga tentang perkembangan penyusunan kelembagaan terkait dengan standar tersebut.

- Peningkatan kapasitas terkait dengan penerapan standar tersebut perlu dilakukan secara bertahap, yaitu: sebelum penandatanganan VPA, setelah penandatangann dan saat VPA diterapkan secara penuh.

- Pihak UE menjelaskan bahwa draft legislasi terkait dengan kayu hasil

pembalakan liar di pasar Eropa akan diajukan sekitar musim panas 2008. Pada prinsipnya draft legislasi tersebut berisi ketentuan bahwa hanya yang

memenuhi skema lisensi FLEGT yang akan diterima pasar UE. Meskipun demikian, EU sedang mempersiapkan legislasi untuk melarang impor kayu illegal.

- Terkait dengan perkembangan VPA di negara lain, pihak UE menginformasikan bahwa diskusi sedang berlangsung dengan negara-negara konsumen, termasuk China, USA, Australia dan Jepang.

• Pertemuan informal sehubungan dengan kunjungan representatif UE tanggal 7 sampai 8 Juli 2008. Hadir dalam pertemuan tersebut representatif UE yang didampingi oleh Delegasi Komisi Eropa di Jakarta, dan Dirjen BPK serta staf dari Dephut, perwakilan dari asosiasi kehutanan (APKI , APKI NDO, APHI , ASMI NDO, BRI K) dan LSM (LEI , WWF I ndonesia/ Nusa Hijau, Yayasan Orangutan, Telapak, TNC).

Dalam pertemuan tersebut diskusi meliputi inisiatif UE, proses VPA dan insentif; status TLAS, kebijakan EU mengangkut pengadaan publik; legislasi tambahan dan perdagangan dengan Malaysia.

Salah satu langkah- langkah tambahan yang dilakukan Uni Eropa:

Usulan Uni Eropa mengenai suatu aturan yang menetapkan kew ajiban kepada para operator yang memasukkan kayu dan produk kayu ke pasar Eropa ( COM ( 2008) 644/ 3 dipublikasikan pada tanggal 17 Oktober 2008

Berbagai proses konsultasi telah dilaksanakan sejak Desember 2006 hingga Juni 2008, termasuk juga konsultasi melalui situs internet dan pertemuan-pertemuan dengan para pihak. Selain itu, UE melakukan suatu kajian dampak dari 4 usulan pilihan kebijakan. Kesimpulan dari kajian terhadap 4 usulan pilihan kebijakan adalah adanya kelemahan dari masing-masing pilihan yang dapat mengurangi efektivitas pelaksanaannya. Oleh karena itu UE mengajukan usulan baru:

(5)

Pilihan ini mengharuskan para operator untuk melakukan due diligence untuk memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang dijual ke pasar Eropa telah dipanen secara legal. Hal ini mengikuti prinsip bahwa suatu strategi yang efisien diperlukan untuk mendukung pengembangan sistem yang kuat guna menghapuskan pemanenan kayu illegal dari pasar Uni Eropa.

Sehubungan dengan hukuman/ denda, Negara Anggota Uni Eropa akan menetapkan peraturan yang dapat diterapkan atas pelanggaran terhadap ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan dan mengambil langkang-langkah yang diperlukan untuk memastikan pelaksanaannya. Hukuman yang diterapkan harus efektif, proporsional dan meyakinkan.

FLEGT- VPA: negotiation process in other countries

Uni Eropa dan Ghana telah menandatangani Voluntary Partnership Agreement (VPA) pada tanggal 3 September 2008.

Uni Eropa dan Republik Congo telah menandatangani Voluntary Partnership Agreement pada tanggal 9 Mei 2009.

Dalam waktu dekat penandatanganan VPA juga akan dilakukan antara Uni eropa dan Cameroon.

Uni Eropa dan Liberai telah melakukan negosiasi pertama terkait dengan Vouluntary Partnership Agreement, yang rencananya akan diselesaikan pada bulan Juni 2010.

Tindakan serupa di negara lain: Amerika Serikat Lacey Act

Efektif mulai tanggal 22 Mei 2008 Lacey Act direvisi dan sekarang dianggap melanggar hukum bila mengimpor, mengekspor, mentrasportasikan, menjual, menerima, memperoleh, atau membeli di dalam wilayah negara bagian atau perdagangan luar negeri bagi berbagai tumbuhan, dengan beberapa pengecualian, mengambil, memiliki, mengirim atau menjual dianggap melanggar peraturan yang berlaku di Amerika Serikat, Negara bagian, Suku I ndian, atau berbagai peraturan luar negeri yang mengatur tentang perlindungan tumbuhan. Termasuk juga dianggap melanggar hukum bila membuat atau memasukkan dokumen palsu, catatan dan label untuk, atau memalsukan identifikasi tentang, berbagai tumbuhan yang dilindungi oleh undang-undang tersebut.

Selain itu, melalui revisi Lacey Act, sejak 15 Desember 2008, para impotir diharuskan untuk memasukkan suatu pernyataan atas barang-barang yang diimpor.

Pelanggaran atas ketentuan yang ditetapkan dalam Lacey Act dapat dituntut melalui tiga cara: (1) Perdata – penalti moneter; (2) Pidana – denda dan hukuman dan kemungkinan penahanan; atau (3) Denda – kelangkaan tumbuhan, ikan atau satwa liar masih dipertanyakan.

(6)

Progres

Pembentukan Tim Kerja

Melalui Surat Keputusan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan No. SK. 99/ I I -KUM/ 2008, telah dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) dalam rangka percepatan finalisasi standar sahnya kayu dan peningkatan kapasitas. Pokja ini dibentuk untuk mendukung tata pemerintahan di bidang kehutanan dan negosiasi RI – Uni Eropa tentang FLEGT-VPA.

Pokja Standar Sahnya Kayu diketuai oleh Direktur Peredaran dan I uran Hasil Hutan akan mempercepat proses finalisasi standar sahnya kayu yang akan diberlakukan tidak hanya untuk kepentingan negosiasi dengan Uni Eropa, tetapi juga bagi negara lain sebagai konsumen kayu dan produk kayu I ndonesia.

Sedangkan Pokja Peningkatan Kapasitas diketuai oleh Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Dephut akan menyusun rencana kebutuhan peningkatan kapasitas yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan standar sahnya kayu seiring dengan proses negosiasi FLEGT-VPA, dimana akan diterapkan dalam 3 fase sebagai berikut: pada saat negosiasi sedang berlangsung, saat penandatanganan kesepakatan, dan penerapan penuh dari hasil negosiasi.

Sebagai Koordinator dari kedua Pokja adalah Dirjen Bina Produksi Kehutanan.

Peraturan Menteri Kehutanan dan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan mengenai Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu.

Setelah melalui proses yang panjang dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan kehutanan sejak tahun 2003, maka pada tanggal 12 Juni 2009 Menteri Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/ Menhut-I Menhut-I / 2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang I zin atau pada Hutan Hak.

Sedangkan dalam hal standard dan pedoman penilaiannya ditetapkan melalui Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.6/ VI -Set/ 2009 tanggal 15 Juni 2009.

I mplementasi dari peraturan Departemen Kehutanan tersebut diharapkan akan mampu meningkatkan kredibilitas produk perkayuan I ndonesia dan pada saat yang bersamaan akan memperbaiki harganya sehingga pengusaha hutan I ndonesia akan lebih mampu melaksanakan pengelolaan hutan lestari. Karena itu, dipandang perlu untuk mensosialisasikanya kepada para pemangku kepentingan kehutanan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di seluruh I ndonesia.

Referensi

Dokumen terkait

I zin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem Dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi yang selanjutnya disebut I UPHHK-RE adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 1

Specimens taken from the Wild 1 Gonystylus bancanus Ramin Kayu Ramin II W 8000 CBM 714,15 7285,8518. Realisasi Ekspor Tumbuhan dan Satwa Liar per 31

Specimens taken from the Wild 1 Gonystylus bancanus Ramin Kayu Ramin II W 8.000 CBM 1.572,15 6427,8518. Realisasi Ekspor Tumbuhan dan Satwa Liar per 31

Realisasi Ekspor Tumbuhan dan Satwa Liar per 31 Desember

Realisasi Ekspor Tumbuhan dan Satwa Liar per 31 Oktober

Specimens taken from the Wild 1 Gonystylus bancanus Ramin Kayu Ramin II W 16000 CBM 161,56 15838,4432. Realisasi Ekspor Tumbuhan dan Satwa Liar per 28

Specimens taken from the Wild 1 Gonystylus bancanus Ramin Kayu Ramin II W 5909 CBM 999,75 4909,2529. Realisasi Ekspor Tumbuhan dan Satwa Liar per 31

Specimens taken from the Wild 1 Gonystylus bancanus Ramin Kayu Ramin II W 5909 CBM 999,75 4909,2529. Realisasi Ekspor Tumbuhan dan Satwa Liar per 31