• Tidak ada hasil yang ditemukan

ProdukHukum PekerjaanUmum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ProdukHukum PekerjaanUmum"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL

NO. ISSN 1829-5568

P

PENDIDIKAN

ROFESIONAL

Volume : IV No.19 Nopember 2008

§KAJIAN POTENSI PENGEMBANGAN DAERAH RAWA LEBAK

DI DESA BURAI KABUPATEN OGAN ILIR PROPINSI SUMATERA SELATAN

§PENANGANAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BANDUNG

DENGAN PENDEKATAN PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK

§SUNGAI CIKAPUNDUNG SUNGAI YANG KIAN MERANA

§PERUBAHAN RUMAH TRADISIONAL SUKU SENTANI DI

(2)

Dari Redaksi

Pembaca yang terhormat, puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan ijin-Nya kami dapat menjumpai kembali pembaca melalui Jurnal Pendidikan Profesional.

Beberapa tulisan yang tersaji dalam edisi kali ini diantaranya bertajuk ” Kajian Potensi Pengembangan Daerah Rawa Lebak Di Desa Burai Kabupaten Ogan Iir Propinsi Sumatera Selatan, Penanganan Pedagang Kaki Lima di Kota Bandung dengan pendekatan Perspektif Kebijakan Publik, Sungai Cikapundung Sungai yang Kian Merana, Perubahan Rumah Tradisional Suku Sentani Di Danau Sentani.”

Sebagian besar tulisan ini mengangkat masalah pembangunan insfrastruktur berwawasan lingkungan dan kajian beberapa topik khusus kedaerahan.

Tulisan dan informasi lain dapat dilihat pada bagian dalam dari jurnal ini, tak lupa kami menyampaikan terima kasih atas partisipasi dan jalinan kerja sama semua pihak dalam penerbitan jurnal ini.

Mohon maaf atas kekurangannya, karena Kesempurnaan itu hanya milik NYA.

Selamat membaca !

Jurnal Pendidikan Profesional merupakan wahana komunikasi bagi seluruh stake holder Pusat Pembinaan Keahlian dan Teknik Konstruksi (Pusbiktek), BPKSDM, Departemen Pekerjaan Umum.

Redaksi menerima sumbangan tulisan/artikel yang berkaitan dengan pendidikan profesional baik dari mitra kerjasama perguruan tinggi nasional, balai-balai, para profesional pendidikan, widyaiswara, karyasiswa dan segenap pihak pelaksana serta pemerhati pendidikan profesional. Tulisan disajikan dalam MS-Word dilengkapi tabel, grafik, gambar, foto sesuai kebutuhan. Tulisan ( satu eksemplar hard copy dan disket disampaikan ke alamat redaksi atau melalui e-mail : teknikkonstruksi@yahoo.co.id ( tulisan melalui e-mail, diharapkan mengirimkan draf melalui fax.no. (022) 7236224.)

Jurnal

Pendidikan Profesional

Diterbitkan Oleh:

Bidang Teknik Konstruksi

Pusat Pembinaan Keahlian dan Teknik Konstruksi, BPKSDM

Dep. Pekerjaan Umum

Pembina :

Kepala Pusbiktek, BPKSDM

Pemimpin Redaksi :

Ir. Heriyadi Dwijoyanto, Dipl. HE

Wakil Pemimpi Redaksi :

RM. Bambang Ari Amarto, ST

Penyunting :

Ir. Yaya Supriyatna, M.Eng.Sc Ir. Christian Handry Laihad, M.Pd Ir. Sudradjat, M.Eng

Redaktur Pelaksana :

Kiagus Mochamad Ali, ST., Sp1 R. Belanto Hadiwido, ST., M.Si Ir. Setio Wasito, Sp1, MT Asep Wardiman, SH., M.Pd Wahyu Triwidodo, ST., M.Eng Ero, SPd., M.Pd

Nugroho Wuritomo, ST., MT Muhammad Nizar, SE., MT

Sekretariat :

NBR. Noor Suarni, S.Sos., M.Si Anjar Pramularsih, ST

Dewi Rahmawati, ST Iyan Hendrayanto, A.Md Ahmad Baharudin

Alamat Redaksi

Pusbiktek BPKSDM

Jl. Abdul Hamid Cicaheum Bandung 40193 Tlp:(022) 7206892. Fax: (022) 7236224 E-mail:

(3)

KAJIAN POTENSI PENGEMBANGAN DAERAH RAWA LEBAK

DI DESA BURAI KABUPATEN OGAN ILIR

PROPINSI SUMATERA SELATAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki daerah rawa yang cukup luas yaitu ± 33,4 juta hektar, sedangkan daerah yang potensial untuk dikembangkan sebagai usaha budidaya seluas ± 11 juta hektar yang tersebar di beberapa pulau antara lain : Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya. Sejak tahun 70an pemerintah memulai pelaksanaan reklamasi rawa yang dimaksudkan untuk mendapatkan perluasan lahan yang layak untuk pengembangan pertanian dan pemukiman. Tercatat sekitar 2 juta hektar lahan rawa telah direklamsi di sepanjang pesisir timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung) dan di bagian pesisir barat dan pesisir selatan Kalimantan.

Pada umumnya pengembangan lahan rawa tersebut dilakukan pada daerah yang termasuk dalam kategori daerah rawa pasang surut, sedangkan untuk pengembangan daerah rawa lebak masih sangat minim sekali. Padahal potensi yang dimiliki lahan rawa lebak tidak kalah dengan daerah rawa pasang surut.

Saat ini luas lahan rawa lebak di Propinsi Sumatera Selatan yang telah diusahakan mencapai 13.000 hektar sebagai lahan pertanian, sedangkan

Alva Elan *) pemanfaatan lahan rawa lebak di Kabupaten

Ogan Ilir belum optimal dan perlu ditingkatkan agar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat.

Agar lahan rawa dapat didayagunakan perlu dilakukan pengelolaan air dan tanah (Integrated Water and Soil Management) secara terpadu berbasis teknologi modern maupun kearifan tradisional yang bertujuan mengatasi kendala yang ada dan memaksimalkan pemanfaatannya. Walaupun pengembangan lahan rawa lebak untuk berbagai kepentingan akan memberikan dampak yang positif bagi masyarakat, tetapi harus juga diperhatikan dampak negatif atau kendala yang timbul akibat pemanfaatan tersebut. Maka, untuk menghindari hal tersebut perlu dilakukan upaya optimasi pengelolaan lahan rawa lebak yang sinergis antara upaya konservasi dan pendayagunaan. rnalPe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

(4)

1.2 Maksud dan Tujuan

A.Maksud dari studi ini adalah untuk mengkaji potensi dan pengembangan daerah rawa lebak di Desa Burai yang masih belum dimanfaatkan secara optimal, dalam rangka perluasan areal dan peningkatan produksi pertanian. B.Tujuan dari studi ini yaitu :

§

Menciptakan pembangunan wilayah dan membantu terciptanya pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah.

§

Ikut mengembangkan lahan-lahan yang belum dimanfaatkan yang sangat potensial menjadi lahan produktif berdasarkan konsep yang berwawasan lingkungan dengan melibatkan peran serta masyarakat secara aspiratif.

1.3Lokasi Studi

Secara administrasi daerah rawa di Desa Burai termasuk kedalam Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Propinsi Sumatera Selatan dengan luas areal ± 500 hektar, terletak ditepi sungai Kelekar ± 15 Km dari ibu kota kabupaten (Inderalaya) atau ± 45 Km dari kota Palembang dan dapat ditempuh melalui jalan darat selama ± 2 jam.

1.4 Hipotesis

Daerah rawa lebak di Desa Burai yang yang selalu tergenang secara musiman akibat drainase alami yang terhambat dan belum termanfaatkan secara optimal dapat dikembangkan menjadi lahan budidaya pertanian dengan suatu sitem tata air dan jaringan yang baik.

1.5 Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari kajian ini meliputi :

§

Analisa Data

§

Identifikasi Potensi Lahan

§

S i s t e m P l a n i n g / R e n c a n a Pengembangan

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Peta Lokasi Studi

Peta Lokasi Daerah Rawa Burai

2. METODOLOGI

2.1Metodologi

(5)

§

Studi Pustaka : mengumpulkan semua teori-teori dan rumus-rumus, baik yang didapat dari buku-buku maupun literatur yang ada kaitannya dengan pengembangan daerah rawa.

§

Pengumpulan Data Sekunder : melakukan pengambilan data-data lapangan pada kantor/instansi yang terkait.

2.1Pengumpulan dan Pengambilan Data

§

Informasi mengenai aspek fisik, lingkungan, sosial ekonomi, tata ruang, karakteristik lahan, g e o t e k n i k , d e m o g r a f i d a n kependudukan.

§

Pengumpulan data iklim, data curah hujan dan elevasi muka air.

§

Pengumpulan peta topografi, foto udara dan citra satelit.

§

Pengumpulan data tanah dan penggunaan lahan.

2.3. Alur Pikir Pelaksanaan Studi

3. DATA DAN ANALISIS DATA 3.1 Kodisi Topografi

Elevasi lahan di daerah rawa lebak Desa Burai seluas ± 500 ha mempunyai ketinggian antara 6 sampai 8 meter dari permukaan laut. Kemiringan lahan umumnya relatif datar dan tidak lebih dari 2%, lahan miring kearah timur laut. Seluruh lahan tidak dipengaruhi pasang surut dan merupakan daerah rawa yang selalu tergenang secara musiman.

3.2 Iklim

Stasiun klimatologi yang mewakili wilayah studi adalah Stasiun Kenten dengan data 6 tahun (2001-2006). Berdasarkan data klimatologi yang ada dapat disimpulkan bahwa keadaan iklim di lokasi studi adalah sebagai berikut :

-Temperatur rata-rata: 26,40 oC 27,80 oC -Kelembaban udara: 81,8 % - 85,8 % -Kecepatan angin: 40 5,6 Km/Jam

-Penyinaran Matahari : 42,0 % - 69,8 % rnal

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

(6)

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Menurut koppen iklim di lokasi proyek termasuk ke alam type Af, yaitu iklim lembab/basah sepanjang tahun, menurut Schmid Fergusson, iklim daerah ini termasuk type B (basah) dengan perbandingan antara jumlah rata-rata bulan basah (CH< 60 mm) dengan jumlah rata-rata bulan basah (CH>100 mm),sedangkan menurut Oldemant klasifikasi iklim termasuk ke dalam Zone E1, yaitu kurang dari 3 (tiga) bulan berturut-turut bulan asah dan kurang dari 2 (bulan) berturut-turut bulan kering.

3.3 Hidrologi

A. Curah Hujan

D a t a c u r a h h u j a n h a r i a n maksimum diperoleh dari Stasiun Kenten. Data tersebut telah direkap dan disajikan dalam tabel sebagai berikut :

B.Analisa Frekwensi Curah Hujan Maksimum

Dalam studi ini digunakan metode analisis frekwensi yang sudah umum digunakan pada analisis distribusi data, yaitu Metode Log Persen Tipe III dan Metode Gumbel.

Tabel Curah Hujan Harian Maksimum

(7)

C. Modulus Drainase

Pembuangan permukaan dinyatakan sebagai berikut :

D(n) = X(n) T + n (IR-E-P) S

Perhitungan modulus drainase untuk lahan sawah :

D(3) = R(3)5 + 3(IR-E-P) S = 196,36 + 3(0-0-0) 50 = 146,36 mm

Dm = D(3) / (3 x 8,64) lt/det/ha = 146,36 / 25,92

= 5,65 lt/det/ha

D. Debit Saluran Pembuang

Untuk perhitungan total debit yang masuk dalam saluran pembuang :

Qd = 1,62 Dm A0,92 = 1,62 x 5,65 x A0,92 = 9,15 A0,92 lt/det = 0,00915 A0,92 m3/det

3.4 Hidrometri

Daerah rawa lebak di Desa Burai tidak ada pengaruh pasang surut. Muka air di sungai Kelekar pada elevasi + 6,07 m dan elevasi tanggul pada ketinggian + 8.00 m sehingga perubahan muka air sungai di daerah tersebut terjadi hanya akibat hujan dan limpasan debit dari bagian hulu sungai.

3.5 Sistem Tata Air di Wilayah Studi

Pada saat ini, jaringan tata air yang ada di daerah rawa lebak di Desa Burai terdiri dari alur-alur sungai alami dan saluran buatan penduduk setempat. Pada saat musim hujan, genangan yang terjadi mencapai > 2 m pada daerah cekungan dalam 1 bulan dan 1 m dalam 4 5 bulan.

3.6 Tanah Pertanian A. Land Unit

Dengan mempertimbangkan parameter karakteristik lahan, maka dapat ditentukan pengelompokan satuan lahan (land unit) di lokasi studi sebagai berikut :

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Gambar Kondisi Muka Air di Sungai

(8)

sulfidik > 100 cm, kandungan kadar abu 25 %. Tipe / jenis tanah yang terdapat pada satuan lahan ini adalah tanah bergambut. -Satuan lahan VIII merupakan tanah mineral

tanpa bahan sulfidic (pirit), atau dengan kedalaman bahan sulfidic lebih dari 1 m. Tipe / jenis tanah yang terdapat pada satuan lahan ini adalah tanah mineral tidak berpirit.

B. Satuan Peta Tanah (SPT)

Pada daerah studi satuan peta tanah terdapat tiga bagian yaitu :

C. Status Kesuburan Tanah

Berdasarkan kombinasi lima parameter yaitu KTK, KB, P-tersedia, K2O dan C-organik, dapat dinilai status kesuburan lahan di lokasi studi. Dari hasil penilaian status kesuburan lahan dapat dilihat bahwa lahan di lokasi studi mempunyai status kesuburan yang tergolong rendah.

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Berdasarkan data diatas lokasi studi terbagi menjadi dua satuan l a h a n d a n d a p a t diuraikan sebagai berikut :

-Satuan lahan IV merupakan tanah mineral bergambut tanpa bahan sulfidik atau kedalaman bahan

Tabel Satuan Peta Tanah di Lokasi Studi

Satuan Peta Tanah (SPT)

(9)

3.7 Penggunaan Lahan

Pengamatan penggunaan lahan di lapangan dilakukan berdasarkan pada klasifikasi penggunaan tanah di lokasi studi. Dengan menggunakan peta konsep (peta dasar) hasil iterpretasi peta Citra Landsat yang ditunjang dengan data-data sekunder lainnya.

Penggunaan lahan di lokasi studi di dominasi oleh rumput rawa dan semak belukar serta penggunaan lahan lainnya sebagai kebun campuran, kebun karet dan tebu. Keberadaan lahan berupa rumput rawa dan semak belukar dimanfaatkan sebagai lahan untuk mencari ikan disaat musim hujan atau banjir dan belum dimanfaatkan sebagai lahan areal pertanian. Hal ini disebabkan sebagian besar penduduk setempat mempunyai keahlian sebagai tukang pembuat rumah sehingga keberadaan banyak diluar lokasi desa.

3.8 Sosio Agro-Ekonomi

A. Keadaan Sosial

Penduduk di wilayah studi terdiri atas beberapa suku bangsa yaitu suku asli Ogan Ilir (suku peaesak) dan suku pendatang ( jawa dan sunda). Bahasa yang digunakan adalah bahasa melayu palembang (meranjat) dan untuk masyarakat pendatang menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan dengan penduduk setempat.

Jumlah penduduk di Desa Burai adalah 1.353 jiwa atau 242 kepala keluarga dengan luas wilayah 3.952 ha. Dari struktur umur penduduk diketahui bahwa penduduk usia produktif lebih dari 50%, sedangkan agama Islam merupakan agama yang dipeluk oleh seluruh penduduk yang bermukim di desa tersebut.

Kualitas pendidikan dilokasi studi masih rendah dan belum mampu memenuhi kebutuhan kompetensi peserta didik. Hal tersebut di sebabkan kurangnya sarana dan prasarana serta tenaga pendidik yang memadai. Derajat kesehatan masyarakat-pun masih tergolong rendah, hal ini tercermin dari masih adanya kejadian Gizi buruk, masih tingginya angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan. Untuk sarana dan prasarana kesehatan juga belum tersedia secara memadai.

B. Keadaan Ekonomi

Masyarakat yang berada di wilayah studi bermatapencaharian di bidang pertanian, perdagangan, industri, k o n s t r u k s i , j a s a s o s i a l , pemerintahan, dll. Secara umum tingkat kesejahteraan secara umum rnal

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Tabel Status Kesuburan Lahan di Lokasi Studi

Keterangan = SR : Sangat Rendah, R : Rendah, T : Tinggi

(10)

laboratorium, kendala utama atau faktor pembatas yang menentukan peruntukan lahan di daerah survey adalah ketersediaan air khususnya pada musim kemarau dan kelebihan air (genangan pada musim hujan). Penyebab utama adalah belum adanya tata saluran, kesuburan tanah yang rendah, dan pH tanah yang sangat masam. Hasil penelitian kelas kesesuaian lahan disajikan pada tabel dibawah ini :

Hasil evaluasi tiap satuan lahan terhadap kesesuaian lahan di lokasi studi dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Satuan lahan IV

Merupakan lahan bergambut dengan kedalaman lapisan gambut < 50 cm, tidak berpirit dan tidak salin. Berdasarkan hasil penilaian lahan ini Cukup Sesuai (S2) untuk padi sawah tadah hujan dan palawija, Sesuai Marginal (S3) untuk tanaman keras. Faktor-faktor yang dapat menjadi permasalahan pada lahan ini adalah:

§

Kesulitan drainase untuk tanaman perkebunan dan tanaman lahan kering.

§

Terdapat genangan dibeberapa tempat terutama pada musim hujan

§

Diperlukan tanggul banjir pada areal persawahan

2.Satuan lahan VIII

Satuan lahan ini biasanya merupakan tanah-tanah yang sudah mulai menunjukan perkembangan awal (n ≤ 7.0) dan perubahan warna tanah yaitu coklat sampai abu kecoklatan. Hasil penilaian kelas kesesuaian lahan dengan kelas Sesuai (S1)

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

tingkat kesejahteraan penduduk masih relatif rendah, hal ini dapat dilihat dengan masih tingginya angka kemiskinan yaitu 26,5% (359 jiwa).

C. Kondisi Pertanian

Komoditi pertanian yang dibudidayakan oleh masyarakat bisa dikelompokan menjadi tiga kelompok, yaitu tanaman pangan, tanaman hortikultura, dan tanaman perkebunan. Jenis tanaman pangan yang utama yang dibudidayakan adalah padi sawah, ubi kayu, ubi jalar, jagung, kacang tanah, dan kacang hijau. Tanaman hortikultura sayuran yang biasa diusahakan adalah kacang panjang, sawi, lombok, mentimun, bayam dll. Sedangkan hortikultura buah-buahan yang penting adalah pisang, jeruk, dan rambutan. Tanaman perkebunan yang banyak diusahakan adalah kelapa, karet, dan tebu.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Potensi Lahan

Kesesuaian lahan di daerah reklamasi rawa bergantung pada iklim, hidrotopografi, karakteristik lahan, dan kecanggihan pengolahan air. Faktor-faktor lain seperti pengolahan tanah, pengelolahan air, jadwal tanam, maupun seleksi bibit juga harus dioptimalkan. Kesesuaian lahan yang digunakan dalam studi ini bersifat kualitatif aktual dan potensial.

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap karakteristik lahan (kondisi agroekologis) di lapangan dan analisis kesuburan tanah di

(11)

untuk tanaman padi tadah hujan dan padi sawah irigasi pompa, Cukup Sesuai (S2) untuk tanaman keras, serta Sesuai Marginal (S3) untuk tanaman lahan kering (palawija), yang menjadi faktor pembatas pada lahan ini adalah kesuburan tanah yang rendah.

4.2. Luas lahan dan Pola Tanam

Pengembangan daerah rawa lebak di Desa Burai seluas 500 ha, diperuntukan bagi tanaman padi yang ditanam pada petakan, dan tanaman palawija serta tanaman tahunan ditanam pada guludan. Jenis tanaman yang ditanam pada petakan adalah padi lebak dengan sistem gogo rancah untuk musim tanam 1, sedangkan untuk musim tanam 2 ditanam jenis padi unggul. Pada guludan ditanam jagung, kedelai dan karet. Tanaman jagung dan kedelai ditanam sampai tahun ke 3, sedangkan tanaman karet baru bisa dipanen pada tahun ke 5.

4.3 Rencana Teknis Sistem Tata Air

A. Masalah yang dihadapi

Dalam merencanakan pola jaringan tata reklamsi daerah rawa Burai dijumpai beberapa masalah sebagai berikut :

1.Setiap tahun, daerah rawa Burai digenangi air yang berasal dari hujan yang turun di daerah tersebut dan luapan air sungai Kelekar yang tidak mampu menampung kiriman banjir dari hulu. Genangan ini berlangsung selama 4 bulan yaitu dari bulan januari sampai dengan april dengan kedalaman rata-rata 1,0 m.

2.Sebagai akibat dari genangan dan kondisi tata air yang ada, pola tanam padi di daerah lebak dimulai pada bulai Mei sampai dengan Nopember dimana genangan air sudah mulai berkurang, akan tetapi pola tanam ini mempunyai resiko kegagalan yang cukup besar karena terjadi kekeringan pada bulan Juli sampai dengan September. Usaha pertanaman palawija pada musim

kemarau juga sulit dilaksanakan karena kedalaman air tanah masih terlalu dangkal yaitu 0 sampai dengan 40 cm.

B.Rencana Teknis Tata Jaringan Reklamasi

1.Dengan membuat jaringan drainase sistem gravitasi dengan alternatif sebagai berikut : -Jaringan drainase tanpa dilengkapi

bangunan-bangunan pengendali (pintu air dan tanggul). Pada sistem yang demikian pada saat banjir, yakni pada saat turun hujan di lebak dan sungai Kelekar melimpas, air dibiarkan menggenangi daerah lebak. Dan pada saat air turun jaringan drainase akan mempercepat proses penyaringan lahan dari air banjir, sehingga pola tanam bisa dilakukan dengan lebih longgar.

-Jaringan drainase dilengkapi dengan bangunan- bangunan pengendali seperti : Tanggul keliling yang melindungi daerah lebak dari limpasan sungai Kelekar dan pintu pengendali di muara saluran drainase yang mencegah masuknya air sungai Kelekar melalui saluran drainase ke lebak. Keburukan sistem ini adalah terjadinya genagan sebagai akibat tidak bisa dibuangnya air kelebihan pada saat elevasi muka air sungai Kelekar lebih tinggi. 2.Dengan membuat jaringan drainase sistem

pompa, pada sistem ini jaringan drainase dilengkapi dengan tanggul keliling yang berfungsi mencegah terjadinya limpasan air sungai Kelekar. Genangan yang terjadinya akibat hujan di daerah lebak dikumpulkan disebuah kolektor untuk kemudian dipompa ke sungai Kelekar. Sistem ini dalam pelaksanaannya memerlukan teknologi yang lebih tinggi yang cendrung lebih mahal dari sistem pertama.

3.Dengan membuat jaringan drainase dengan sistem gabungan antara pompa dan gravitasi pada sistem ini diperlukan tanggul keliling yang fungsi untuk mencegah melipasnya air sungai Kelekar dan pintu pengandali yang berfungsi mengalirkan air rnal

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

(12)

-Pompa : untuk mengeringkan air kelebihan pada saat elevasi muka air Sungai Kelekar lebih tinggi dari elevasi muka air lebak.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari analisa dan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa :

1.Daerah rawa di desa Burai merupakan daerah rawa lebak yang belum termanfaatkan secara optimal dan selalu tergenang secara musiman akibat hujan yang turun di daerah tersebut dan luapan air sungai Kelekar yang tidak mampu menampung kiriman banjir dari hulu. Genangan ini berlangsung selama 4 bulan yaitu dari bulan januari sampai dengan april dengan kedalaman rata-rata 1,0 m.

2.Berdasarkan identifikasi potensi dan pengembangan lahan rawa lebak di Desa Burai seluas 500 Ha, diperuntukan bagi tanaman padi yang ditanam pada petakan, dan tanaman palawija serta tanaman tahunan ditanam pada guludan, dengan pola tanam sistem padi gogo rancah untuk musim tanam 1, sedangkan untuk musim tanam 2 ditanam jenis padi unggul.

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

dari jaringan drainase ke sungai Kelekar pada saat elevasi muka air Sungai Kelekar lebih rendah. Sedangkan pompa dipakai untuk mengalirkan air dari jaringan drainase ke Sungai Kelekar pada saat elevasi muka air Sungai Kelekar lebih tinggi. Sistem ini pada pelaksanaannya memerlukan teknologi yang lebih tinggi dan cendrung lebih mahal dari sistem kedua, tetapi biaya ekploitasinya lebih rendah dari sistem kedua.

Mengingat keterbatasan data, maka elevasi banjir tertinggi dari Sungai Kelekar + 8,00 sehingga elevasi tanggul keliling adalah + 9,50.

C. Sistem Tata Air

Sebenarnya sistem tata air untuk pengembangan suatu daerah rawa dapat terdiri dari 2 sistem jaringan saluran, yaitu : 1. Sistem jaringan drainase

2. Sistem jaringan suppplesi

Untuk tahap pembangunan awal (tahap I) yang dikembangkan adalah jaringan drainase, kemudian pada tingkat lanjut akan dipertimbangkan saluran supplesi apabila dipandang perlu.

Komponen sistem drainase terdiri dari : a.Daerah tadah (penampungan) adalah

petak-petak tersier dengan luas tiap petak-petak adalah 2 Ha.

b.Jaringan saluran drainase terdiri dari -Saluran Teriser : untuk mengeringkan

petak sekunder.

-Saluran Sekunder: untuk mengeringkan petak primer dilengkapi dengan bangunan pengendali.

-Tanggul Keliling : sebagai tanggul pencegah melimpasnya air banjir dari Sungai Kelekar ke daerah lebak.

-Pintu Pengendali: untuk mengeringkan air kelebihan pada saat elevasi Sungai Kelekar lebih rendah dari elevasi muka air lebak.

(13)

3. Untuk mengoptimalkan potensi dan pengembangan lahan tersebut dibutuhkan suatu planing/rencana teknis untuk tata reklamasi jaringan rawa dan tata airnya baik secara sederhana maupun menggunakan teknologi.

5.2. Saran

1.Dalam mengidentifikasi potensi dan pengembangan suatu daerah rawa lebak haruslah didukung dengan data-data yang memadai sehingga hasil yang dicapai nantinya sesuai dengan planing yang direncanakan.

2.Pemakaian program-program komputer (soft ware) dalam identifikasi potensi dan pengembangan suatu daerah rawa lebak lebih baik digunakan, agar hasil yang didapat lengkap, teliti dan akurat

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1991 tentang Rawa

Buku Petunjuk Perencanaan Teknis Rawa, (2007) Departemen PU Jakarta.

Wangsadipura, M, (2007) “ Diktat Kuliah Hidrologi Rawa “, Program Magister PSDA Dep. PU - ITB

Darmanto, “Hand Out Kriteria Desain Pengembangan Daerah Rawa”, Riset Antar UGM 1992 / 1993.

Rayakonsult, PT, (2006), Laporan Akhir, Satker Pembinaan Pelaksanaan Teknis Rawa dan Pantai.

Soemarto, CD, (1987), Hidrologi Teknik, Usaha Nasional, Surabaya

Soewarno, (1995), Hidrologi Aplikasi Metode Statistik untuk Analisa Data, Nova, Bandung

*) Program Magister Profesional Pengembangan Sumber Daya Air ITB Tahun 2008 rnal

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

(14)

hinter land maupun dari kota sekitar Bandung ) terutama disebabkan adanya harapan memperoleh pekerjaan di sektor industri. Tetapi dalam kenyataannya, sektor formal/ industri kurang memberi kesempatan kerja bagi pendatang tersebut. Sehingga mereka yang belum tercover di sektor formal, menciptakan lapangan di sektor informal dengan modal dan kemampuan yang mereka miliki dalam usaha mempertahannkan kehidupannya.

Kegiatan sektor informal yang sejak awal tidak mendapatkan perhatian, sehingga perkembangan kegiatan tersebut lepas dari pengawasan sehingga perkembangannya menjadi tidak terkendali. Begitu pula jika ditinjau dari dimensi perencanaan tata ruang, kehadiran kegiatan sektor informal selalu melanggar aturan atau norma baku, berada di luar zone, menyebabkan kemacetan, pencemaran, sampah, memampetkan roil, mengganggu kesehatan dan sanitasi ( kebersihan lingkungan ) serta abstraksi terhadap ketertiban.

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sektor Informal kini menjadi kebijakan eksplisit dalam pembangunan nasional semenjak terjadinya krisis di Indonesia. Yang mana sektor informal diharapkan dapat berperan sebagai “Katup Penyelamat dalam menghadapi masalah lapangan kerja bagi angkatan kerja yang tidak dapat terserap dalam sektor moderen/ formal karena kemampuan dari sektor informal dalam penyerapan tenaga kerja dan dalam memberikan kontribusinya terhadap pendapatan nasional maupun daerah atau kota. Perlu disadari bahwa sektor informal merupakan suatu kegiatan transit atau transisi dari pelakunya untuk mencapai tingkat yang lebih baik.

Di kota Bandung pertambahan penduduk yang sebagian besar disebabkan oleh terjadinya migrasi ( baik dari kawasan

PENANGANAN PEDAGANG KAKI LIMA

di KOTA BANDUNG

DENGAN PERSPEKTIFK KEBIJAKAN PUBLIK

(15)

Salah satu sektor informal yang kerap meninmbulkan masalah bagi pemerintah daerah adalah pedagang kaki lima (PKL). Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya. Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter.

Keberadaan PKL merupakan suatu realita saat ini, bersamaaan dengan tumbuh dan berkembangnya geliat perekomian di suatu kota/daerah. Hak-hak mereka untuk mendapatkan rejeki yang halal di tengah sulitnya mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapannya, tentunya tidak bisa dinafikkan. Kehadiran mereka sangat bermanfaat bagi masyarakat luas terutama bagi yang sering memanfaatkan jasanya. Namun keberadaan kaki lima memunculkan permasalahan sosial yang pelik berkaitan dengan masalah kebersihan, keindahan dan ketertiban suatu kota. Ruang-ruang publik yang seharusnya merupakan hak bagi masyarakat umum untuk mendapatkan kenyamanan baik untuk berolah raga, jalan kaki maupun berkendara menjaadi sangant terganggu. Tidak dapat dimungkiri bila saat ini banyak kualitas ruang kota kita semakin menurun dan masih jauh dari standar minimum sebuah kota yang nyaman, terutama pada penciptaan maupun pemanfaatan ruang terbuka yang kurang memadai. Penurunan kualitas itu antara lain

dari tidak ditata dan kurang terawatnya pedestrian atau ruang pejalan kaki, perubahan fungsi taman hijau, atau telah menjadi tempat mangkal para PKL yang mengganggu kenyamanan warga kota lain untuk menikmatinya.

Problematika PKL ini akan terus menjadi pekerjaan rumah pemerintah kota (pemkot) dari waktu ke waktu sehingga dalam satu bulan saja media massa tidak bisa bersih dari isu PKL. Persoalan PKL merupakan persoalan struktural yang kait-mengait dengan persoalan sosial lainnya. Penanganan PKL yang dilakukan secara parsial bisa memunculkan persoalan baru yang jauh lebih rumit. Kericuhan yang sering terjadi saat penertiban karena adanya warga yang menentang penggusuran. Peristiwa penertiban yang berakhir dengan munculnya perlawanan dan jatuh korban, semakin mengukuhkan bahwa kaum pinggiran merupakan artefak kota yang ada saat ini.

Memang, persoalan kaum pinggiran di berbagai kota menjadi persoalan yang dilematis. Di satu sisi pemerintah kota bertanggung jawab atas warganya dalam persoalan kesejahteraan. Di sisi lain, pemkot membutuhkan wajah kota yang indah, bersih, dan tertata sebagai tuntutan ruang kota yang sehat. Dari pilihan antara tata ruang kota dan kesejahteraan warganya tersebut, Pemkot lebih memilih untuk mengambil sikap yang kedua, yakni pentingnya mengembalikan ketertiban dan keindahan kota. Maka, konsekuensi dari pilihan tersebut adalah dengan menertibkan dan menata PKL. Karena itu, kebijakan yang tidak populer dan kontroversial ini-dalam konteks kemiskinan yang ada di tiap kota-menjadi kebijakan yang kontraproduktif dan cenderung sepihak.

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

(16)

C. IDENTIFIKASI MASALAH

1.Bagaimana solusi penanganan yang terbaik tentang PKL (Pedagang Kaki Lima) di Kota Bandung, dimana PKL tetap melakukan aktivitas perekonomiannya sebagai sektor informal, sementara K3 (Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan) tetap terjaga ? 2.Kebijakan apa yang dapat dijadikan solusi

untuk penanganan masalah tersebut ? 3.Bagaimana hak-hak publik dapat tetap

terlindungi dalam penangannya ?

KAJIAN TEORITIS

Administrasi Publik pada dewasa ini merupakan terjemahan dari public administration yang selama ini dikenal di Indonesia dengan istilah administrasi Negara menurut Syafiie (1999:18) mengungkapkan bahwa: “apabila public administration diterjemahkan sebagai administrasi negara, maka memiliki kecenderungan pelayanan dan penyelenggaraan roda pemerintahan yang bermotivasi sebagai negara”.

Proses administrasi merupakan bagian dari politik suatu bangsa, hal ini dapat dipahami karena perkembangan paradigma administrasi publik yang berasal dari ilmu politik ditujukan agar proses kegiatan kenegaraan dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Administrasi publik adalah kegiatan dengan titik berat pada

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Perkembangan kegiatan PKL di Bandung terntu saja menambah masalah bagi kawasan pusat kota Bandung. Sehingga untuk mengatasi permasalahan ini Pemkot Bandung mencoba memecahkan masalahnya dengan mengeluarkan peraturan daerah ( perda ) antara lain :

1.Perda No. 06 tahun 2004 tentang Recana Strategis Kota Bandung

2.Perda No. 03 tahun 2005 tentang penyelenggaraan ketertiban, kebersihan dan keindahan. Pasal 2, mengatur bahwa pemerintah daerah berkewajiban menyelenggarakan ketertiban umum di daerah.Pasal 3 penyelenggaraan keertiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 meliputi (a) Tertib Jalan, Fasilitas Umum dan Jalur Hijau, (b) Tertib Lingkungan, (c) Tertib Sungai, Saluran Air dan Sumber Air, (d) Tertib Penghuni Bangunan dan (e) Tertib Tuna Sosial dan Anak Jalanan

B. PERUMUSAN MASALAH

(17)

pelayanan publik yang dilakukan oleh berbagai organisasi publik dan sangat berperan dalam perumusan kebijakan negara serta dipandang sebagai bagian yang sama pentingnya dengan fungsi implementasi kebijakan negara dalam upaya menerapkan prinsip-prinsip erfisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya sektor publik dengan tuntutan keakhlian administratif dalam rangka perwujudan pemerintah yang profesional.

Kebijakan publik merupakan rangkaian kegiatan yang ditetapkan untuk mengatasi persoalan (problem) yang bersifat umum. Karena kebijakan berkaitan dengan kepentingan umum, maka kebijakan harus memiliki kekuatan yang bersifat memaksa agar tujuan dari kebijakan tersebut tercapai. Kebijakan atau policy diterjemahkan ke dalam konsep yang satu sama lain saling berhubungan yakni kebijakan dan kebijaksanaan.

K e b i j a k a n p u b l i k m e n u r u t Raksasataya dalam Islamy (2000:17) adalah “sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan”. Lebih lanjut Raksasataya dalam Islamy (2002:17) mengemukakan bahwa suatu kebijakan memuat tiga elemen yaitu:

1.Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai 2.Taktik atau strategi dari berbagai langkah

untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai 3.Penyediaan berbagai input untuk

memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.

Tinjauan implementasi kebijakan ini berkaitan dengan proses politik dan administrasi. Dan dalam konteks implementasi kebijakan, akan berkaitan dengan kekuasaan (power), kepentingan dan strategi para pelaku kebijakan, disamping karakteristik lembaga rezim, serta izin pelaksanaan dan respon terhadap kebijakan tersebut. Pressman dan Wildaavsky dikutif oleh Wahab (2001:65) menyatakan:

Bahwa sebuah kata kerja

mengimplementasikan itu sudah sepantasnya terkait langsung dengan kata benda kebijaksanaan. Sehingga bagi kedua pelopor studi implementasi ini, proses untuk melaksanakan kebijaksanaan perlu mendapat perhatian yang seksama, dan oleh sebab itu adalah keliru kalau kita menganggap bahwa proses tersebut dengan sendirinya akan berlangsung mulus.

Meter dan Hom dikutip Wahab (I2001:65) merumuskan proses implementasi ini sebagai berikut: ”tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/ pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam kebijaksanaan”..

Implementasi program dengan kata lain, khususnya yang melibatkan banyak organisasi/ instansi pemerintah atau berbagai tingkatan struktur organisasi pemerintah sebenarnya dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut panda ng, yakni menurut Benyamin Harits: 1)Pemrakarsa kebijakan/ pembuat

kebijaksanaan (the center atau pusat); 2)Faktor perorangan diluar badan-badan

pemerintahan kepada siapapun program itu ditujukan, yakni kelompok sasaran (target group);

3)Pejabat-pejabat pelaksana di lapangan

Berdasarkan pendapat diatas, Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, berbentuk Undang-undang, pemerintah/ keputusan-keputusan eksekutif yang terpenting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya keputusan tersebut dapat mengidentifikasi masalah yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturnya. Oleh sebab itu implementasi sebagian besar program pemerintah pasti akan mempengaruhi perilaku birokrat/ pejabat-pejabat lapangan dalam rangka memberikan pelayanan atau jasa tertentu kepada masyarakat atau mengatur perilaku dari satu atau lebih kelompok sasaran rnal

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

(18)

Berkaitan dengan Misi ke empat yaitu Meningkatkan penataan kota; maka Strategi yang akan dilaksanakan Pemerintah Kota Bandung adalah:

Kebijakan:

-Mengupayakan perluasan dan pemerataan pelayanan pra sarana dan sarana kota -Serta pengembangan aktivitas kota yang

sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan

Program Penataan Prasarana dan Sarana Kota:

-Dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana kota sesuai dengan dinamika aktivitas kota.

-Dan salah satu sasarannya adalah meningkatnya ketertiban dan keserasian pelayanan sarana kota.

Adapun pengukuhan indikator kinerja programnya adalah sebagai berikut:

Arah Kebijakan, mengupayakan terjadinya: -Peningkatan pelayanan pemerintah kepada

masyarakat

-meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan

-serta pengendalian dan pengawasan pembangunan kota

Dengan 10 program tertentu, yang salah satu programnya adalah Program Peningkatan Ketenteraman dan Ketertiban Lingkungan, dengan indikasi kegiatan:

-Penataan PKL

-Pelaksanaan operasional penertiban pelanggar PERDA tentang Ketertiban, Keserasian dan Keindahan

-Pelaksanaan sosialisasi tentang peraturan yang mengandung sanksi

-Pelaksanaan sidang yustisi dan pendataan terhadap para pelanggar PERDA

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Berdasarkan PERDA (Peraturan Daerah) Kota Bandung Nomor 06 Tahun 2004 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kota Bandung Tahun 2004 - 2008 yang merupakan Pedoman Dokumen Perencanaan Taktis Strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan dan pelayanan publik di Kota Bandung yang akan dilaksanakan dalam periode Tahun 2004 2008; hal tersebut disusun sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Daerah, serta digunakan sebagai rujukan dalam penyusunan APBD serta sebagai acuan dalam penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD.

Hal ini menjadi sumber inspirasi untuk perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan publik, yang kemudian diwujudkan dalam Visi Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang BERMARTABAT ( Bersih, Makmur, Taat dan Bersahabat); yaitu Kota dan masyarakat yang punya harga diri, kehormatan dan kebanggaan.

Untuk merealisasikan Visi tersebut, maka Misi yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut:

1.Mengembangkan Sumber Daya Daya Manusia yang handal dan religius

2.Mengembangan perekonomian kota yang adil

3.Mengembangkan Sosial Budaya kota yang ramah dan berkesadaran tinggi, serta berhati nurani

4.Meningkatkan penataan kota

5.Meningkatkan kinerja pemerintah kota secara profesional, efektif, efisien, akuntabel dan transparan

(19)

Dan indikator kinerjanya:

-Meningkatkan intensitas penertiban lingkungan

-Berkurangnya gangguan ketertiban umum -Meninngkatkan partisipasi masyarakat

dalam pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban lingkungan

-Meningkatkan peran SATPOL PP dan PPNS dalam menegakkan PERDA

Begitupun dengan (Peraturan Daerah) Kota Bandung Nomor 11 Tahun

2005 tentang Perubahan atas PERDA (Peraturan Daerah) Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan; yang berkaitan langsung dengan pengaturan Program Peningkatan Ketenteraman dan Ketertiban Lingkungan.

Lebih khusus mengatur tentang pasal-pasal tertentu, yaitu pasal 47 ayat 1 dan 2 serta BAB VIII tentang Ketentuan Sanksi selurug Bagian dihapus dan pasal-pasalnya diubah serta ditambah 4 (empat) pasal baru yaitu pasal 49 a, pasal 49 b, pasal 49 c dan pasal 49 d.

Dalam pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah untuk mengatasi sektor informal menurut teori Mc Gee dan Yeung (1977) menyajikan 3 model kebijaksanaan pemerintah yaitu kebijaksanaan relokasi, kebijaksanaan struktural dan kebijaksanaan edukatif; lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

(20)

kekerasan. Oleh sebab itu, kita harus membicarakan dengan mengurut masalah yang sesungguhnya. Pertama, pengangguran meningkat yang menambah kemisikinan massal. Solusi dan konsekuensi tingginya jumlah pengangguran adalah membuat lapangan pekerjaan baru di sektor informal dan salah satunya adalah tumbuhnya pedagang kaki lima (PKL). Alternatif yang hanya/baru dimiliki sebagian anggota masyarakat sampai kini adalah menjadi pedagang kaki lima (PKL). Kedua, tidak semua masyarakat kita mampu membeli barang-barang yang harganya mahal (kaya).. Ketiga, politik ekonomi kita selama ini menggunakan pendekatan mekanisme pasar dengan pola monopoli yang eksploitatif. Akibatnya akses terhadap pengelolaan sumber daya maupun pasar menjadi sangat terbatas (hanya dikuasai orang-orang dalam lingkar kekuasaan). Turunannya banyak anggota masyarakat menjadi kelompok marginal yang kemudian berevolusi dalam bentuk PKL. Artinya PKL merupakan akumulasi sistem ekonomi yang tidak sehat di negara ini, dan itu telah berproses sejak lama.

Kondisi semacam itu melahirkan pertanyaan, mengapa kebijakan Pemkot Bandung dalam penertiban/pengarahan lokasi PKL sering kali tidak diterima oleh masyarakat PKL? atau dalam bahasa kebijakan publik terjadi apa yang dinamakan kondisi kegagalan kebijakan publik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kota Bandung, karena karakter kebijakan publik yang baik adalah merupakan sistem aturan yang dapat membahagiakan seluruh anggota masyarakat atau dengan kata lain kebijakan p u b l i k t e r s e b u t d a p a t mengayomi/mengakomodir kepentingan banyak orang maka dapat dikatakan indikator keberhasilan tersebut dilihat dari berapa persen masyarakat yang menyatakan setuju dan mau menjalankan kebijakan tersebut.

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Kebijakan publik adalah segala hal yang diputuskan oleh pemerintah. Definisi ini menunjukkan bagaimana pemerintah memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang bersifat mengikat. Dalam proses pembuatan kebijakan terdapat dua model pembuatan, yang bersifat top-down dan bottom-up. Idealnya proses pembuatan kebijakan hasil dari dialog antara masyarakat dengan pemerintah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah.

PEMBAHASAN

PKL adalah sebuah kelompok masyarakat yang tidak memperhatikan etika lingkungan maupun hak publik dalam berjualan, tetapi hanya mementingkan diri sendiri. Asumsi bahwa keberadaan PKL dapat menyebabkan banjir, kesemrawutan, kotor, dan macet tanpa disadari telah mengarahkan cara berpikir kita pada PKL merupakan musuh bersama masyarakat yang harus ditertibkan dari tempat-tempat yang menjadi hak publik/orang lain. Mengapa kita tidak kritis dan mencoba melihat bahwa keberadaan PKL tidak hadir secara tiba-tiba, tapi merupakan manifestasi proses pembangunan di negeri ini yang tidak memihak kepada kaum miskin, khususnya ketidakmampuan penyelenggara kekuasaan dalam mendistribusikan keadilan. Bahkan yang sangat tragis, akibat opini negatif yang dibangun selama ini terhadap PKL, rasa kemanusiaan dan hati nurani kita telah hilang, Setelah digusur mereka kerja apa? Anak-istrinya mau makan apa?

(21)

Menurut William Dunn (2000) menyatakan bahwa dalam proses pembuatan kebijaksanaan terdiri dari beberapa fase yakni :

- Fase penyusunan agenda - Fase formulasi kebijakan - Fase adopsi kebijakan

- Fase implementasi kebijakan dan - Fase penilaian kebijakan.

Bila merujuk dari teori di atas dan dikaitkan dengan kondisi dari karakter kebijakan dalam penanganan PKL di wilayah Kota Bandung maka dapat dikatakan dalam proses pembuatan kebijaksanaan tersebut kurang memahami karakteristik dari PKL pada tipe masalah yang dihadapi klien (PKL) dan setelah fase implementasi kebijakan dilaksanakan tidak pernah/belum melaksanakan fase penilaian kebijakan. Bila hal ini tidak dilaksanakan maka kita kehilangan fase penting (sangat penting dalam feed back dalam memformulasikan kembali dalam rangka memperbaiki kebijakan yang lama dan diharapkan kebijakan tersebut merupakan keputusan kolektif yang menguntungkan anggota masyarakat PKL. Dalam pengaturan ataupun pengarahan PKL yang perlu menjadi perhatian harus mempertimbangkan karakteristik PKL (Setting Perilaku), karakteristik konsumen PKL maupun karakteristik ruang fisik PKL (Setting Fisik).

Yang dimaksud dengan karakteristik PKL adalah pemahaman terhadap perilaku dari masyarakat PKL hal ini dapat dilihat dari indikasi antara lain :

1.Fungsi kegiatannya : fungsi pelayanan pedagang eceran, fungsi pelayanan jasa; fungsi hiburan (dalam arti bisa memberikan sesuatu yang menyenangkan, fungsi ini kebanyakan dimiliki oleh kegiatan PKL yang melakukan aktivitas pada malam hari); fungsi sosial ekonomi.

2.Tingkat pendidikan : indikasi ini memperlihatkan kepada kita terhadap

tingkat pemahaman masyarakat PKL dalam mencerna suatu pola kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah, bila jenjang pendidikan rendah akan mempengaruhi mudah tidaknya dikendalikan dan diprovokator oleh oknum oknum yang tidak bertanggung jawab dalam usahanya memperkeruh suasana dan mengambil keuntungan dari kondisi tersebut.

3 . J e n i s D a g a n g a n : i n d i k a s i i n i memperlihatkan kepada kita terhadap ada tidaknya mayoritas man minoritas atau keragaman dari kegiatan PKL, juga memperlihatkan sarana dan prasarana yang dipakai dalam berdagang. Hal ini memudahkan kita untuk pengaturan ruangnya.

4.Lamanya berprofesi sebagai PKL : indikasi ini memperlihatkan kepada kita terhadap asal muasal terlibatnya mereka pada kegiatan PKL, memperlihatkan PKL tersebut merupakan masyarakat pendatang. 5.Tingkat pendapatan PKL: indikasi ini memperlihatkan kondisi sebagai berikut semakin tinggi tingkat pendapatan PKL di suatu lokasi maka terjadi kecenderungan kawasan tersebut akan menjadi sasaran utama PKL ( banyaknya pengunjung / konsumen ) dan biasanya lokasi ini berdekatan dengan kegiatan formal.

6.Model yang diinginkan PKL : indikasi ini memperlihatkan kepada kita terhadap keinginaan masyarakat PKL terhadap model / cara berjualan seperti berkelompok dengan pedagang sejenis, model berjualan yang bercampur dengan pedagang lain. Misalnya dengan dicampurkan berbagai jenis dagangan ( makanan/minuman, mainan, sandang,dll) mungkin mereka berasumsi lebih laris/pendapatan meningkat karena saingan kurang dan memberikan alternatif barang jenis lain yang dibutuhkan konsumen pada waktu yang bersamaan.

Contoh pada tujuan awalnya, konsumen hanya ingin beli pakaian namun karena di rnal

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

(22)

dan jenis maupun kualitas dagangan yang disukai , dan pengaruh desain lokasi. 3.Motivasi Berbelanja Konsumen PKL :

indikasi ini memperlihatkan kepada kita terhadap motivasi konsumen berbelanja di lokasi PKL tersebut.

Yang dimaksud dengan karakteristik Ruang Fisik PKL adalah merupakan kebutuhan elemen analisis untuk menentukan syaratsyarat utama yang harus dipenuhi dalam menyediakan ruang bagi kegiatan pedagang kali lima. Karakteristik umum yang mempengaruhi kebutuhan ruang bagi kegiatan pedagang kaki lima adalah :

-Lokasi yang strategis -Aksesibilitas tinggi

K a r e n a P K L m e m p u n y a i karakteristik yang berbeda dengan pedagang perkotaan lainnya, maka ruang yang dibutuhkan juga memiliki spesifikasi tersendiri. Sesuai dengan karakteristiknya lokasi lokasi yang banyak dikunjungi oleh penduduk, lokasi lokasi pada sirkulasi pergerakan penduduk, lokasi disekitar kegiatan primer/formal yang sering dikunjungi penduduk. Lokasi lokasi seperti di atas bisa berupa pusat perdagangan mall, supermarket, alun alun, taman/ruang terbuka, ruang jalan jalan utama yang sering dilewati penduduk, atau pada kawasan kawasan parkir dikawasan pusat kota.

Untuk mencapai keberhasilan dalam penerapan sebuah kebijakan dalam pengaturan atau pengarahan lokasi bagi PKL, selain memahami karakteristik PKL dan karakteristik konsumen, juga dipengaruhi faktor eksternal lainnya adalah pemahaman mereka terhadap kebijakan publik itu sendiri. Contohnya dalam pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah menggarap dan membangun ekonomi informal secara tuntas sering terbentur beberapa kendala, oleh Didik J. Rachbini dan Abdul Hamid dirangkum sebagai berikut:

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

dekat penjual pakaian itu ada juga VCD maka dia jadi tergerak pula membeli kaset VCD. Atau sebaliknya ada masyarakat PKL pada kawasan tertentu suka berjualan berkelompok tidak mau bercampur dengan penjual makanan/ minuman karena akan mempengaruhi kepada kebersihan barang dagangannya ( contoh sandang ). Dan yang perlu diperhatikan dalam menentukan model / desain penataan lokasi PKL harus sesuai dengan selera PKL sendiri karena PKL lah yang sangat memahani keinginan dan kebiasaan para konsumennya.

7.Interaksi Sesama PKL : indikasi ini memperlihatkan kepada kita terhadap tingkat solidaritas sesama PKL

8.Kebutuhan Ruang PKL: indikasi ini memperlihatkan kepada kita terhadap kebutuhan lahan pada masing masing jenis dagangan ( Makanan, sandang, kacamata, mainan dll). Hal ini sebetulnya membantu kita dalam pengaturan ruang kawasan PKL yang dikaitkan keberadaan lahan yang ada untuk memudahkan kita dalam membuat desain.

Yang dimaksud dengan karakteristik konsumen PKL adalah pemahaman terhadap perilaku dari konsumen PKL. Hal ini dapat dilihat dari indikasi antara lain:

1.Umur Konsumen PKL: indikasi ini memperlihatkan kepada kita mayoritas konsumen yang ada karena akan mempengaruhi pada jenis dagangan PKL. Cntohnya, menurut data yang ada umur konsumen PKL di Kota Bandung antara 21 sampai dengan 40 tahun, maka dapat dikategorikan usia masih muda karena konsumen tersebut masih dalam kategori usia produktif dan masih bersifat konsumtif.

(23)

a.Kurangnya pengetahuan deskriptif maupun analitis mengenai jenis, unit dan luas kegiatan ekonomi informal.

b.Tidak mempunyai kekuasaan birokrat untuk mencapai daerah pedesaan, pinggiran kota, dan pemukiman kumuh yang banyak digeluti oleh pelaku ekonomi informal.

c.Kurangnya tenaga yang mampu mengetahui dengan baik seluk beluk ekonomi informal.

d.Terdapat sesuatu kenyataan yang sederhana, yaitu tidak adanya sumber dana yang dapat mencukupi permintan sektor tradisional yang luas.

P e n g a m b i l a n k e p u t u s a n kebijaksanaan publik di dalam prakteknya

dilakukan oleh wakil resmi masyarakat didalam suatu negara yaitu pemerintah. Oleh karena itu, dalam banyak hal kebijaksanaan publik selalu diidentikan dengan kebijaksanaan pemerintah.

Beberapa alternatif dalam melihat persoalan PKL. Setiap alternatif kebijakan memiliki tantangan dan pemecahan tersendiri. Alternatif-alternatif tersebut banyak membantu kelompok kami untuk mengidentifikasi pemaslahan PKL. Sehingga alternatif yang nantinya akan diambil, dapat sesuai dengan permasalahan di lapangan. Alternatif-alternatif tersebut adalah :

Kebijakan harus bersifat dialogis sehingga kebijakan dapat bersifat bottom-up. Selain itu dalam proses dialog, pemerintah

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

(24)

relokasi yang difasilitasi pemkot pada dasarnya dimasukkan ke sebuah ruangan kedap udara dan secara perlahan dibunuh sambil dihisap madunya melalui berbagai retribusi.

Barangkali remaja, pemuda bahkan orangtua yang berdagang di sektor informal dan PKL tidak begitu peduli apakah nilai transaksi perdagangannya diperhitungkan atau tidak dalam Produk Domestik Regional bruto (PDRB), yang dia fikirkan adalah bagaimana hari ini dagangannya bisa laku sehingga mampu membeli beras dan lauk pauk bagi diri, istri dan anak-anaknya. Namun, apabila anggapan bahwa pedagang sektor informal/PKL tidak mempunyai konstribusi apapun terhadap PDRB dan hanya merusak K3, dianut pula oleh sebagian besar anggota legislatif, maka dapat dipastikan nilai, prinsip, semangat/sprit dan paradigma yang digunakan untuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan sektor informal/PKL adalah memberantasnya ! Idealnya nilai, prinsip semangat/spirit yang terkandung dalam sebuah Perda adalah keberpihakan kepada kelompok masyarakat lemah yang tidak bisa bersaing dengan sebagian kecil masyarakat yang sudah kuat. Bukan sebaliknya.

Sekarang kita semakin paham, bahwa ternyata Perda No. 3 Tahun 2005 Tentang K3 dan SK Walikota No. 511.23/Kep 1322-Huk.2001 Tahun 2001 Tentang Lokasi Bebas dari Kegiatan PKL di Kota Bandung memang digunakan oleh Pemkot Bandung sebagai buldozer penghancur, pemberantas dan penyapu bersih PKL dan pergerakannya dikendalikan oleh satpol PP, polisi, militer serta kejaksaan. Pantas rasanya jika para pedagang informal/PKL khawatir , jangan-jangan nilai, prinsip semangat dan paradigma perda perdagangan yang sedang dipersiapkan juga sama dengan nilai, prinsip semangat dan paradigma perda dan SK walikota yang telah diluncurkan duluan. Rasa keprihatinan yang mendalam bagi semua orang yang

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Nasib PKL perlu diberdayakan guna memberikan kesejahteraan yang merata bagi masyarakat. PKL merupakan sebuah wujud kreatifitas masyarakat yang kurang mendapatkan arahan dari pemerintah. Oleh karena itu pemerintah perlu memberikan arahan pada mereka, sehingga PKL dapat m e l a n g s u n g k a n u s a h a n y a t a n p a menimbulkan kerugian pada eleman masyarakat yang lainnya.

Melalui peraturan daerah yang jelas dan akuntabel maka permasalahan sosial seperti PKL dapat dihindarkan. Dengan adanya ruang partisipasi yang dibuka seluas-luasnya dan dengan adanya hubungan dialogis yang baik antara pemerintah-masyarakat-dan sektor swasta, maka akan menimbulkan sinergi yang baik dalam menghasilkan ataupun melaksanakan sebuah kebijakan publik. Tidak terkecuali dalam menyelesaikan permasalahan pedagang kaki lima.

(25)

mempunyai hati nurani. Bagi pedagang informal dan PKL semoga tabah menjalani.

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Banyaknya PKL di Kota Bandung Tahun 1999-2007

Lokasi PKL di Kota Bandung yang tersebar di 7 Titik pada Tahun 2005

(26)

Penataan PKL memang harus dilakukan dengan hati dan menjauhkan dari tindakan represif. Namun, hal itu harus di back up dengan konsep penataan yang jelas. Pemkot juga mesti memberikan jaminan kepada PKL yang hendak ditata mengenai masa depan mereka di tempat baru. Disamping itu dengan penataan PKL melalui konsep menyebar, Pemkot perlu membangun lahan-lahan baru yang berdekatan dengan pusat-pusat keramaian seluruh wilayah Kota. Prosesnya sama, yakni memusatkan PKL di tempat-tempat keramaian, misalnya di dekat mal, pasar, atau pusat-pusat keramaian yang lain. Jika konsep seperti ini dipahamkan kepada PKL dengan gamblang, tentu tidak akan terjadi ketegangan-ketegangan selama penataan berlangsung,

Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Solo bisa dibilang cukup berhasil dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia. Sebagian besar PKL tersebut sudah direlokasi ke tempat-tempat yang telah ditentukan oleh pemerintah kota, dan sebagian lagi tahap pembenahan dan sosialisasi penataan masih terus dilakukan. Boleh kita mencatat bahwa ini prestasi yang cukup membanggakan selama pemerintahan di suatu daerah. Apalagi, proses penataan PKL itu nyaris tanpa pergolakan yang berarti, seperti relokasi PKL. Proses penataan PKL memang bukan perkara mudah. Butuh pemahaman komprehensif dan pendekatan yang humanis dari pemerintah daerah untuk mencapai kesepahaman dengan para pedagang kaki lima, agar penataan dapat terlaksana., meski kekurangan di sana-sini masih perlu dibenahi. Setelah penataan PKL telah mampu berjalan, tentu saja tidak hanya berhenti pada proses relokasi kemudian selesai. Tetapi perlu ada pengelolaan lebih lanjut dari pemerintah kota terhadap PKL.

Setelah penataan PKL berjalan, pemerintah kota masih memiliki tugas untuk memantau dan mengkontrol perkembangan PKL itu sendiri. Termasuk mengambil

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

Jika dianalisa lebih jauh, akar ketegangan antara PKL dengan petugas Satpol PP kebanyakan bermuara pada pendekatan aparat yang kurang tepat. Jika dilihat dari satu sisi, aparat tidak dapat 100 % disalahkan, karena mereka merasa wajib menegakkan aturan (Perda). Namun sayang, sikap tersebut memiliki kecenderungan ke arah tindak represif. Apalagi jika sudah berhadapan dengan PKL. Sebagai pihak yang hendak digusur, tentu PKL memiliki sensitivitas tinggi, sehingga tidak jarang ketegangan muncul di sana. Persoalannya sekarang, bagaimana mempertemukan kedua titik yang berseberangan ini agar tidak memicu ketegangan. Seharusnya penataan PKL itu dilakukan menggunakan hati, agar tidak menimbulkan ketegangan, ketika sekali diberi peringatan masih bandel, maka petugas harus melakukan pendekatan lebih intensif agar PKL menjadi luluh dan mau ditata. Kalau langsung dengan tindakan represif. Karena hal ini menyangkut sumber kehidupan, wajar jika pedagang melakukan perlawanan.Sikap represif yang ditunjukkan aparat Satpol PP saat menangani PKL itu, menurutnya lebih disebabkan situasi yang tidak kondusif, kondisi fisik dan psikis, ditambah dengan PKL yang bandel dan tidak mau tahu aturan dan lingkungan sekitarnya.

(27)

tindakan yang tepat terhadap PKL-PKL baru yang mungkin akan bermunculan kembali. Untuk itu, regulasi dan strukturisasi pengembangan PKL amat diperlukan. Bagaimanapun, pedagang kaki lima tetap diakui memiliki andil besar dalam menggerakkan sendi-sendi ekonomi lokal. Pembinaan yang tepat soal pemberdayaan usaha, bantuan permodalan, dan regulasi yang memadai, bisa menjadi langkah awal dalam menciptakan perekonomian lokal yang kuat. (Ike Dian Puspita; Litbang Harian Joglosemar)

Sejak tahun 70-an di kota Bandung, sektor kerja informal dikenal oleh masyarakat sebagai sektor yang kurang mendapat dukungan pemerintah daerah, tidak tercatat secara resmi, dan beroperasi diluar aturan pemerintah daerah, secara otomatis dukungan pemerintah daerah akan diarahkan untuk mengformalisasi sektor ini. Pendekatan ini juga berasumsi bahwa satu-satunya hambatan sektor informal untuk tumbuh adalah sikap negatif dari pemerintah daerah terhadap sektor ini. Oleh karena itu, dukungan pemerintah daerah dianggap bisa menjadi jaminan sukses. Hal ini mengabaikan kompetisi yang kompleks dan hubungan tidak seimbang antara usaha kecil dan usaha besar dan berbagai strategi monopoli untuk menekan kompetisi usaha kecil.

Permasalahan Pedagang Kaki Lima (PKL) memerlukan perubahan lebih mendalam dan lebih mendasar daripada hanya sekedar pemberian kredit murah, latihan ketrampilan dan bantuan teknis pada perusahaan-perusahaan sektor informal tertentu. Perubahan dalam kaitan-kaitan vertikal masih minim, seperti peraturan pemerintah daerah dan hubungan kelembagaan yang mempengaruhi perusahaan-perusahaan kecil.

S e t i a p k e b i j a k a n h a r u s memperhatikan sistem keseluruhan bukan hanya bagian hirarki yang rendah. Hal ini dikarenakan pedagang kali lima (PKL) mempunyai karakteristik. Pertama, aspek ekonomi; PKL merupakan kegiatan ekonomi skala kecil dengan modal relatif minim. Aksesnya terbuka sehingga mudah dimasuki usaha baru, konsumen lokal dengan pendapatan menengah ke bawah, teknologi sederhana/tanpa teknologi, jaringan usaha terbatas, kegiatan usaha dikelola satu orang atau usaha keluarga dengan pola manajemen yang relatif tradisional. Selain itu, jenis komoditi yang diperdagangkan cenderung komoditi yang tidak tahan lama seperti makanan dan minuman. Kedua, aspek Sosial-budaya; sebagian besar pelaku berpendidikan rendah dan migran (pendatang) dengan jumlah anggota rumah tangga yang besar. Mereka juga bertempat tinggal di pemukiman kumuh. Ketiga, aspek Lingkungan; kurang memperhatikan kebersihan dan berlokasi di tempat yang padat lalu lintas. Jumlah PKL dari tahun ke tahun disinyalir terus mengalami peningkatan akibat tingginya angka urbanisasi dan terbatasnya jumlah penyerapan tenaga kerja di sektor formal.

Ketidakberhasilan kebijakan dan program pemerintah daerah dalam mengembangkan PKL terkait dengan berbagai hal, seperti (1) pendekatan pemerintah daerah yang masih bersifat “supply-side” oriented (pengaturan, penataan, dan bantuan terhadap PKL dilakukan tanpa melakukan komunikasi dan kerjasama dengan PKL sendiri), (2) pelaksanaan kebijakan/program bagi PKL sarat dengan keterlibatan berbagai aparat “pembina,” dan (3) penertiban dan pengendalian PKL lebih didasari pada adanya keterlibatan pemerintah daerah dalam pelaksanaan proyek daripada semangat membangun sektor informal sebagai salah satu basis perekonomian rakyat. Hal konkrit yang bisa dilihat akibat berbagai hal tersebut rnal

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

(28)

Rencana pengembangan kegiatan perdagangan meliputi kegiatan perdagangan formal dan kegiatan perdagangan informal. Sedangkan lokasi untuk kegiatan perdagangan informal ditetapkan pada lokasi-lokasi yang tidak mengganggu kepentingan umum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Lokasi yang ditetapkan sebagai termpat penampungan PKL yaitu Pasar Ujungberung, pasar cicadas (ada ijin), Jl. Kembang Sepatu, Jl. Cihapit, Jl. Arjuna, Jl. Malabar, Jl. Gelap Nyawang, Jl. Cikapundung Barat, Jl. Astana Anyar, Jl. Banceuy (sudah tetap tapi tidak ada ijin), Jl. Dewi Sartika, Gerbang Marema Jl. Kepatihan,Toko Dezon, Toko Ria Jl. Otto Iskandardinata dan lingkungan pasar Gedebage.

Program penanganan PKL di Kota Bandung meliputi.dua program utama yaitu : 1.Program pengendalian dan pengawasan Dalam program pengendalian PKL dilakukan

m e l a l u i p e n g e n d a l i a n k a w a s a n perdagangan melalui penertiban kegiatan usaha pedagang kaki lima secara konsisten dalam jangka pendek, menengah dan panjang;pembatasan ruang publik yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan untuk kegiatan PKL dan kewajiban dan insentif bagi sektor formal dalam penyediaan ruang untuk kegiatan PKL. 2.Program penertiban.

Jadi proses penanganan di kota Bandung melalui konsep yang bersifat menyeluruh, terpadu dan lintas sektor dengan m e n i t i k b e r a t k a n p a d a k o n s e p pemberdayaan usaha mikro melalui upaya peningkatan sektor informal menjadi sektor formal.

Peran pemerintah dalam penanganan PKL 1.Mengalokasikan lahan pada lokasi khusus

untuk relokasi PKL dengan memperhatikan peluang pemasaran dan aksesibilitas; 2.Membantu desain dan penyediaan fasilitas

berdagang yang memperhatikan aspek fungsi,estetika dan mobilitas;

rn

al

Pe

ndi

di

ka

n

Pr

ofe

sio

na

l

adalah kesulitan PKL untuk mengakses modal/kredit yang disediakan pemerintah daerah, sedikitnya PKL yang pernah mengikuti pembinaan usaha karena kurangnya sosialisasi pemerintah daerah mengenai program ini, dan penolakan relokasi.

Merebaknya kaum pinggiran di perkotaan memang memperburuk wajah kota. Namun, kaum pinggiran bukan satu-satunya the trouble maker. Persoalan sebenarnya adalah tidak adanya kebijakan tata letak kota yang berkelanjutan (sustainable policy). Seharusnya pemkot menyediakan peraturan daerah (perda) dalam m e n g a t u r , m e n a t a , s e k a l i g u s memberdayakan kaum pinggiran. Ini penting karena kaum pinggiran juga merupakan aset daerah yang memberi pemasukan pada pemkot.

Arah Kebijakan Penanganan PKL di Kota Bandung

K e b i j a k a n P e n g e m b a n g a n kawasan/kegiatan perdagangan yang terkait dengan penanganan PKL berdasarkan Perda Nomor 02 Tahun 2004 Tentang RTRW Kota Bandung meliputi :

1.Mengatur, menata dan mengendalikan pasar yang tidak tertata dan tumpah ke jalan;

2.Mengatur dan mengendalikan kegiatan usaha kaki lima.

3.Membina kegiatan usaha kaki lima supaya secara bertahap dapat berdagang tanpa memanfaatkan ruang terbuka publik; 4.Mewajibkan dan memberi insentif bagi

sektor formal yang menyediakan ruang untuk kegiatan usaha kaki lima;

(29)

3.Membantu dalam penyediaan fasilitas permodalan/kredit usaha yang terjangkau; 4.Mendorong dibentuknya badan-badan

usaha atau koperasi PKL dalam rangka memudahkan pengawasan, pembinaan, dan pengendalian pertumbuhannya; 5.Menarik restribusi secara proposional,

apabila pembinaan PKL menjadi pedagang formal telah dilaksanakan;

6.Menyusun kebijakan untuk penanganan PKL secara partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholder.

PKL sangat diperlukan masyarakat (masyarakat yang mempunyai tingkatan ekonomi menengah kebawah) oleh karena itu PKL tidak mesti dibuat terpisah sama sekali dengan kios-kios permanen yang sudah ada, tetapi dibuat berdampingan, dengan demikian akan memberikan kemudahan bagi pengunjung untuk memilih dan mencari kebutuhannya. Penataan ini sebaiknya mengarah pada konsep stop shopping, dimana pengunjung mendapatkan semua kebutuhannya di satu area perbelanjaan baik kebutuhan barang dari PKL maupun dari pedagang-pedagang kios-kios yang permanen. Banyak sekali manfaatnya jika menggunakan konsep belanja demikian seperti menghemat ongkos transportasi, mengurangi kemacetan akibat lalu-lalang kendaraan serta manusia yang secara langsung telah mengurangi kesemrawutan.

Penataan kembali pusat perbelanjaan dapat dilakukan dengan memadukan pedagang di kios-kios permanen (beton) dengan pedagang-pedagang yang ingin berada dikios temporer. Penataan ini bisa saja dimulai dengan menentukan zona-zona atau area tempat berjualan di dalam pusat perbelanjaan berdasarkan suatu analisa kegiatan, besaran dan komposisi ruang. Selanjutnya menata bentuk bangunan seperti mengganti kios-kios temporer dari PKL yang lebih terlihat sebagai barang-barang rongsokan menjadi kios-kios yang tertata

apik mulai dari bentuk, warna dan bahan (material) yang kuat dan tahan lama. sehingga membentuk suatu elemen penghias Bisa juga membedakan produk jualannya dengan warna kios, sehingga memudahkan konsumen mencari kebutuhannnya.

C a r a i n i p u n m e m b a n t u memperlancar sirkulasi pengunjung sehingga tidak terjadi kesemrawutan (cross circulation) di dalam bangunan PKL. Juga dilengkapi dengan sarana-sarana penunjang lainnya,

Referensi

Dokumen terkait

Hasil evaluasi dapat dilihat pada website LPSE Kabupaten Kendal: http//lpse.kendalkab.go.id/.. Demikian pengumuman dari kami harap

Rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana Pengadaan bangunan pengaman pengamanan sungai sumlili JB: Modal JP: Pekerjaan Konstruksi. 1

Menyerahkan 4 eksemplar tesis jadi (soft cover warna merah) berikut tanda tangan pembimbing dan direktur2. Menyerahkan berkas pendaftaran,

Peserta seleksi yang memasukkan penawaran dapat menyampaikan sanggahan secara elektronik melalui aplikasi SPSE atas penetapan pemenang kepada Pokja 2 ULP Kabupaten Kendal dimulai

[r]

The following algorithm is the algorithm of the modified Fletcher-Reeves conjugate gradient method in which its step length is chosen by the Armijo-type line

Hasil penelitian terdapat 33 potensi bahaya yang teridentifikasi pada 9 tahapan proses pengelasan dengan tingkat risiko tertinggi yakni tersetrum listrik dan Metal Fume

Selain membandingkan nilai F hitung n F tabel, dengan membandingkan nilai Sig dengan nilai α yaitu Sig &lt; α 5% (0,001 &lt; 0,05) maka Ho ditolak dan Ha