• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI (Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali) 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI (Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali) 1"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI

(Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali)

1 Priyo Hari Adi2

Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana Abstracts

Fiscal decentralization gives more advantages for regions to manage their own fiscal capacities Regions gevernments have opportunity to increase economic efficiency because the governmnets have informational advantages concerning resource allocation. The governments are in the better position to provide the kind of public goods and services that closely meets the local needs.

Fiscal decentralization policy started when local governments still manage to eliminate the effects of financial crisis starting from 1997. Consequently, local governments have different level of fiscal readiness. Besides, this policy also started when disparity of local economic growth was at peak level.

This study is intendd to examine the effect of fiscal decentralization on economic growth.It also tends to compare the economic growth in the implementation of fiscal decentralization between regions based on the the economic growth before fiscal decentralization.

The result shows that the economic growth during the implementation of fiscal decentralization significantly better than before the implementation. The other result shows that the regions with better economic growth before fiscal decentralization still have better economic growth during the implementation of fiscal decentralization

Key Words : Fiscal decentralization, economic growth,, regions

PENDAHULUAN

Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1995 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan ini merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. Bagi daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya yang dapat diandalkan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam, kebijakan ini disambut baik, mengingat lepasnya campur tangan pemerintah akan memberikan kesempatan yang lebih cepat untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Hakekat otonomi adalah adanya kewenangan daerah, bukan pendelegasian (Saragih 2003). Daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi pemerintah pusat, tetapi benar-benar mempunyai keleluasaan untuk meningkatkan kreatifitas dalam mengembangkan potensi yang selama era sentralisasi bisa dikatakan terpasung (Mardiasmo 2002).

1 Artikel ini dipublikasikan dalam Jurnal Interdispliner Kritis UKSW (Terakreditasi). 2005 2 Email : priyohari@staff.uksw.edu; priyohari18@yahoo.com

(2)

Sebagian kalangan bahkan menyatakan bahwa pelaksanaan desentralisasi sebagai pendekatan Bing Bang karena jangka waktu persiapan yang terlalu pendek untuk ukuran negara yang begitu besar dengan kondisi geografis yang cukup menyulitkan (Brodjonegoro 2003). Terlebih ditengah-tengah upaya bangsa melepaskan diri dari krisis ekonomi moneter yang berkepanjangan dari pertengahan tahun 1997. Akibatnya kebijakan ini memunculkan kesiapan (fiskal) daerah yang berbeda satu dengan yang lain. Kebijakan ini justru dilakukan pada saat terjadi disparitas pertumbuhan (ekonomi) yang tinggi.

Sebagai solusi, pemerintah menetapkan alokasi transfer dana (DAU) yang berbeda. Daerah yang mempunyai kapasitas fiskal tinggi akan mendapat pasokan dana yang lebih kecil daripada daerah yang kapasitas fiskalnya rendah. Pemberian transfer ini bertujuan untuk menjamin tercapainya standar pelayanan publik dan mengurangi kesenjangan horizontal (antar daerah) dan kesenjangan vertikal (pusat- daerah) (Simanjuntak dalam Sidik 2003, Abdullah dan Halim 2004, Wurzel 1998 )

Aspek pertumbuhan ekonomi daerah menjadi faktor penting untuk menentukan besarnya transfer pemerintah pusat kepada daerah. Terkait dengan pertumbuhan, daerah-daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seharusnya mendapatkan alokasi DAU yang lebih kecil. Namun demikian, meskipun konvergensi antar daerah mampu teratasi (dengan adanya transfer DAU), kinerja pemerintah daerah bisa jadi berbeda. Daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan lebih baik relatif mempunyai tingkat kesiapan yang lebih baik pula untuk menghadapi desentralisasi. Pengalaman dan kapabilitas dalam pengelolaan keuangan menjadi modal dasar yang kuat untuk meningkatkan kemandirian daerah dalam era desentralisasi fiskal.

Pemberian otonomi kepada daerah ini lebih cepat memacu pertumbuhan ekonomi secara nasional. Bohte dan Meier (2000) melakukan komparasi pertumbuhan ekonomi pada pemerintahan yang tersentralisasi dengan pemerintahan terdesentralisasi. Kedua peneliti ini menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan lebih tinggi ternyata terjadi pada pemerintahan yang terdesentralisasi. Menjadi pertanyan menarik apakah daerah akan mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang sama terlebih ditengah perbedaan kesiapan daerah memasuki era baru ini.

(3)

PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian yang melatarbelakangi penelitian ini, maka penulis merumuskan berbagai permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah terjadi perbedaan pertumbuhan ekonomi sebelum dan setelah memasuki era desentraliasi fiskal

2. Apakah terjadi perbedaan pertumbuhan ekonomi antar daerah dikarenakan tingkat kesiapan daerah yang berbeda ?

TELAAH TEORITIS

Pertumbuhan Ekonomi Di Era Desentralisasi Fiskal

Pembangunan dalam bidang ekonomi ditujukan agar dapat menciptakan pertumbuhan yang tinggi. Kuncoro (2004) menyatakan bahwa tolak ukur keberhasilan ekonomi dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah dan antar sektor.

Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita (Boediono 1985). Secara tradisional, pembangunan ekonomi ini ditujukan untuk peningkatan yang berkelanjutan Produk Domestik Bruto/PDB atau Produk Domestik Regional Bruto/PDRB (Saragih 2003, Kuncoro 2004). Namun demikian, dalam realita penggunaan indikator ini saja kurang mencerminkan makna pertumbuhan yang sebenarnya. Sebagai alternatif digunakan pendapatan per kapita (Income Per Capita). Indikator ini menekankan kemampuan suatu negara/daerah untuk meningkatkan PDB/PDRB agar dapat melebihi tingkat pertumbuhan penduduk. Gambaran ini menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan daerah mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun tingkat pendapatan per kapitanya rendah dikarenakan laju pertumbuhan penduduk yang lebih tinggi.

Dengan menggunakan dua indikator itu, dapat dikembangkan 4 (empat) tipologi daerah untuk mengetahui gambaran pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah (Kuncoro 2004). Keempat tipologi daerah itu adalah sebagai berikut (gambar 2-1) : 1. Daerah Cepat Maju dan Tumbuh (High Growth and High Income)

Adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata kabupaten dan kota

(4)

2. Daerah Maju dan Tertekan (High Income but Low Growth)

Adalah daerah yang memiliki tingkat pendapatan per kapita lebih tinggi, namun pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding rata-rata kabupatan dan kota

3. Daerah Berkembang Cepat (High Growth but Low Income)

Adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, namun tingkat pendapatan per kapitanya masih lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten dan kota.

4. Daerah Relatif Tertinggal (Low Growth, Low Income)

Adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan rata-rata pendapatan perkapita lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten dan kota.

Lin dan Liu (2000) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat terjadi melalui 2 (dua) cara, yaitu : pertama dengan menaikkan investasi modal dan kedua melakukan efisiensi terhadap sumber daya yang dimiliki Paparan ini menunjukkan bahwa

Rata-rata pertumbuhan

Pendapatan per kapita Berkembang cepat

Maju, tetapi tertekan Tertinggal

Cepat maju dan tumbuh P er tumbuhan ekonomi Rata-rata pendapatan per kapita

(5)

desentralisasi fiskal mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Beberapa alasan yang mendasari adalah. sebagai berikut :

1. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan lebih besar untuk berinvestasi dan membelanjakan lebih banyak untuk berbagai sektor produktif (Lin dan Liu 2000, Brodjonegoro dan Vasques 2002).

2. Pemerintah daerah mampu menyediakan barang-barang publik dan jasa yang dibutuhkan. Bagaimanapun pemerintah lokal tetap akan lebih sensitif terhadap kondisi ekonomi lokal. Pemberian kewenangan (otonomi) yang lebih besar, membuat pemda lebih leluasa melakukan alokasi yang efisien pada berbagai potensi lokal sesuai dengan kebutuhan publik (Lin dan Liu 2000, Mardiasmo 2002, Wong 2004). Hal ini pada gilirannya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan pendapatan per kapita. 3. Adanya pemberdayaan dan penciptaan ruang bagi publik untuk berpartisipasi dalam

pembangunan (Mardiasmo 2002).

Bohte dan Meier (2000) menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan lebih tinggi ternyata terjadi pada pemerintahan yang terdesentralisasi. Dengan menggunakan data lag 1 dan lag 2 (data sebelum), Lin dan Liu (2000) membuktikan bahwa desentralisasi fiskal memberikan dampak yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Oates (1995) menemukan hal yang sama, desentralisasi fiskal mempunyai hubungan yang positif dan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi (PDB/PDRB) per kapita.

Hipotesis yang dapat ditarik dari pemaparan ini adalah : Hipotesis 1 (H1) :

Pertumbuhan ekonomi setelah desentralisasi fiskal lebih baik daripada sebelum desentralisasi fiskal.

Kesiapan Daerah Menjalani Desentralisasi Fiskal

Pelaksanaan desentralisasi fiskal (yang dimulai per 1 Januari 2001) dipandang banyak pengamat sebagai pendekatan bing-bang dikarenakan secara radikal mengubah pola hubungan antara pusat dan daerah (Kuncoro 2004) dengan jangka waktu persiapan yang sangat pendek untuk negara yang begitu besar dengan kondisi geografis yang cukup menyulitkan (Brodjonegoro 2003).

Akibatnya, kebijakan ini memunculkan kesiapan daerah yang beragam, terlebih ditengah-tengah upaya untuk melepaskan diri dari krisis ekonomi yang berkepanjangan Saragih (2003) menyatakan bahwa sebelum terjadi krisis ekonomi pertumbuhan ekonomi (PDRB)

(6)

rata-rata lebih dari 5% (lima persen). Pada tahun 1998 rata-rata daerah mengalami pertumbuhan negatif. Sedangkan pada tahun 1999 dan 2000 (sebelum pelaksanaan otonomi) beberapa daerah sudah menunjukkan pertumbuhan yang positif, sementara beberapa daerah lain masih kesulitan untuk melepaskan diri dari belenggu krisis.

Gambaran awal ini menunjukkan bahwa potensi fiskal pemda dalam menghadapi desentralisasi fiskal bisa jadi sangat beragam antar satu daerah dengan daerah yang lain (dengan kata lain terjadi kesenjangan fiskal secara horizontal). Perbedaan ini pada gilirannya dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang beragam pula.

Untuk mengatasi kesenjangan ini, pemerintah pusat menetapkan kebijakan alokasi transfer (dhi dana alokasi umum/DAU) yang berbeda berdasarkan kapasitas fiskalnya. Daerah yang mempunyai kapasitas fiskal rendah akan memperoleh alokasi dana yang lebih besar daripada daerah yang kapasitas fiskalnya lebih tinggi. Penelitian yang dilakukan Brodjonegoro dan Vasques (2002) menunjukkan bahwa distribusi alokasi DAU secara signifikan menurunkan disparitas penerimaan per kapita, hal ini ditunjukkan dengan turunnya koefisien variasi variabel terkait dari 1,9 (satu koma sembilan) menjadi 1,18 (satu koma delapan belas) pada tahun 2001 dan dari 1,9 menjadi 0,9 (nol koma sembilan) pada tahun 2002.

Namun demikian, harus dipahami bahwa pemberian DAU ditujukan mengatasi persoalan kesenjangan fiskal (ketersediaan sumber daya), artinya pemberian DAU ini hanya untuk mengatasi kesenjangan dari sisi inputnya. Kesenjangan dari sisi output (yang ditunjukkan dengan naiknya pertumbuhan ekonomi) akan sangat bergantung pada kapabilitas daerah dalam mengelola sumber-sumber daya secara efisien dan efektif khususnya pada sektor produktif. Dilihat dari pendekatan sistemik, ada kemungkinan terjadi perbedaan proses (pengelolaan) yang memungkinkan terjadinya perbedaan pertumbuhan.

Pelaksanaan desentralisasi fiskal, bisa jadi menimbulkan perbedaan orientasi kebijakan ekonomi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemda lebih menghadapi masalah keterbatasan keuangan (financial constraints) daripada keterbatasan ekonomi (economic constraints) yang justru menjadi perhatian pemerintah pusat (Rafinus 2001). Akibatnya pemda akan lebih banyak terkonsentrasi pada permasalahan alokasi daripada permasalahan stabilisasi (perekonomian). Dengan kata lain upaya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil menjadi terabaikan dikarenakan adanya persoalan keterbatasan (keuangan). Pengalaman dan kapabilitas pemda dalam pengelolaan keuangan menjadi faktor penting dalam mengatasi kedua permasalahan tersebut secara simultan.

Myrdal (1957) sebagaimana dikutip Kuncoro (2004) menyatakan bahwa perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (terjadinya

(7)

ketidakseimbangan horizontal). Hal ini disebabkan pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar akan cenderung meningkat, sehingga menyebabkan ketimpangan daerah yang semakin tinggi (Arysad 1999). Kuznets (Kuncoro 2004) menyatakan bahwa pada tahap-tahap awal pertumbuhan, disitribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal ini akan membaik. Hal ini memberikan indikasi diperlukannya dimensi waktu yang panjang untuk melihat pengaruh positif pembangunan terhadap pertumbuhan.

Bila dikaitkan dengan 4 tipologi daerah (Kuncoro 2004) akan dapat diidentifikasi daerah yang memiliki kesiapan untuk memasuki desentralisasi fiskal dan yang tidak. Daerah yang memiliki tipologi cepat maju dan tumbuh mempunyai kemungkinan mengalami tingkat pertumbuhan yang lebih baik pada masa desentralisasi dibanding dengan daerah dengan tipologi lain dikarenakan kesiapan yang lebih baik.

Dari pemaparan ini dapat ditarik hipotesis sebagai berikut : Hipotesis 2 (H2) :

Terjadi perbedaan pertumbuhan ekonomi antara daerah dengan tipologi yang berbeda. (citeris paribus transfer dari pusat)

METODE PENELITIAN Sampel Dan Data

Sampel dalam penelitian ini adalah kabupaten dan kota se Jawa – Bali. Alasan pemilihan sampel ini adalah daerah kabupaten dan kota ini memiliki karakateristik ekonomi dan geografis yang sama dan secara teoritis dan empiris berbeda di luar Jawa-Bali (Abdullah dan Halim 2004). Data yang akan digunakan dalam analisis ini adalah data keuangan daerah yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik. Adapun data-data tersebut adalah sebagai berikut :

¾ Data PDRB pemerintah kabupaten dan kota se Jawa-Bali tahun 1998 - 2003. ¾ Data pendapatan perkapita pemerintah kabupaten dan kota se Jawa-Bali tahun

1998 - 2003.

Untuk kepentingan analisis, data akan dikelompokkan menjadi data sebelum dan data sesudah pelaksanaan desentralisasi. Data sebelum desentralisasi adalah data PDRB maupun pendapatan per kapita untuk tahun 1998 – 2000. Sedangkan data sesudah pelaksanaan desentralisasi adalah data-data yang sama untuk tahun 2001 – 2003.

(8)

Alat Analisis

Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis diskriptif untuk memberikan gambaran awal pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita. Adapun pertumbuhan ekonomi (dalam konteks daerah) maupun pendapatan per kapita dihitung dengan formulasi berikut ini (Kuncoro 2004) :

Pertumbuhan Ekonomi (Rog) = (PDRBt – PDRB t-1) PDRBt-1 x 100%

Keterangan :

PDRBt = Produk Domestik Regional Bruto pada tahun t

PDRBt-1 = Produk Domestik Regional Bruto satu tahun sebelum tahun t Pendapatan per kapita (Ycapita) = . PDRB .

Jumlah Penduduk

Pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam analisis ini adalah pertumbuhan dengan menggunakan harga konstan (PDRB riil). Pertumbuhan ekonomi ini memberikan gambaran pertumbuhan output secara nyata karena tidak memasukkan inflasi (Kuncoro 2004)

Dalam pengujian hipotesis digunakan alat uji beda berpasangan (uji t) dan analisis varian (ANOVA). Uji t digunakan untuk membandingkan pertumbuhan ekonomi sebelum pelaksanaan dan setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal (pengujian hipotesis 1). Sedangkan ANOVA digunakan untuk melihat apakah terjadi perbedaan pertumbuhan yang nyata antara daerah dengan tingkat kesiapan yang berbeda dalam menghadapi desentralisasi fiskal (Pengujian hipotesis 2). Kesiapan daerah didasarkan pada 4 tipologi daerah (Kuncoro 2004)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Perkapita Sebelum Desentralisasi

Pertumbuhan ekonomi sebelum diterapkannya desentralisasi fiskal di semua daerah masih relatif rendah, terlebih ditengah upaya untuk melepaskan diri dari belenggu krisis. Rata-rata pertumbuhan ekonomi di kabupaten dan kota se Jawa-Bali adalah 3,29% (tabel 1). Angka ini masih dibawah rata-rata pertumbuhan sebelum krisis yang mencapai 5% lebih (Saragih 2003).

Upaya pemulihan dengan jangka waktu yang cukup singkat ini menunjukkan perkembangan yang menggembirakan pada sebagian daerah. Namun demikian pada

(9)

beberapa kabupaten dan kota masih tampak adanya pertumbuhan ekonomi dibawah nol (negatif). Sebagai contoh untuk Jawa Barat angka pertumbuhan terkecil adalah negatif 5,1%. Pertumbuhan ini dialami oleh kabupaten Indramayu. Beberapa daerah lain di Jawa Timur dan Yogyakarta juga mengalami pertumbuhan negatif. Kenyataan cukup memprihatinkan, terlebih ditengah-ditengah persiapan daerah untuk memasuki era desentralisasi.

Tabel 1

Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Per Kapita Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali

Tahun 1998 - 2000 .0480 1,752,980.4004 -.0510 826,363.21 .1210 5,146,409.10 .0350 1,159,306.44483 .0274 1,364,790.7600 .0050 555,434.94 .0530 4,359,894.77 .0114 950,007.07272 .0311 2,068,696.6246 -.0610 650,760.21 .2370 24,572,248.23 .0435 3,918,777.08616 .0170 1,688,060.1200 -.0410 983,792.53 .0560 3,435,148.88 .0354 1,005,471.23394 .0453 3,100,005.6067 .0330 970,032.15 .0630 8,890,671.36 .0140 3,142,247.56794 .0210 2,428,468.8378 .0140 1,486,636.07 .0320 5,302,251.70 .0060 1,146,912.75462 .0329 1,854,961.6709 -.0610 555,434.94 .2370 24,572,248.23 .0320 2,460,870.00268 Mean Minimum Maksimum Deviasi Standar Mean Minimum Maksimum Deviasi Standar Mean Minimum Maksimum Deviasi Standar Mean Minimum Maksimum Deviasi Standar Mean Minimum Maksimum Deviasi Standar Mean Minimum Maksimum Deviasi Standar Mean Minimum Maksimum Deviasi Standar Kode Propinsi Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur DI Yogyakarta Banten Bali Total Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan per Kapita

Sumber : Data BPS tahun 1998 – 2000 (diolah)

(10)

angka deviasi standar yang mencapai 3,197% . Angka penyimpangan ini cukup tinggi terlebih bila diukur dari rata-rata pertumbuhan yang hampir sama dengan penyimpangan tersebut (2,9%). Disparitas pertumbuhan terbesar terjadi di propinsi Jawa Barat dan Jawa Timur masing-masing sebesar 11,36% dan 10,73%. Gambaran ini memberikan indikasi masih belum meratanya pertumbuhan ekonomi antar kabupaten dan kota di kedua propinsi ini.

Pendapatan per kapita mempunyai rata-rata sebesar Rp. 1.854.961,67. Angka ini masih sangat kecil. Namun demikian, dari tabel 1 tampak bahwa terdapat kesenjangan yang sangat tinggi dalam hal pendapatan per kapita ini. Kensenjangan tertinggi terjadi di propinsi Jawa Timur. Pada propinsi ini terjadi jarak yang cukup tinggi antara pendapatan tertinggi dengan terendah. Pendapatan perkapita tertinggi di propinsi ini adalah sebesar Rp. 24.572.248. Pendapatan ini terjadi di kota Kediri. Keberadaan industri rokok terbesar di Indonesia di kota ini memberikan konntribusi yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi daerah setempat. Ditinjau dari kemampuan finansial, kota kediri ini relatif lebih siap dibangdin dengan kota-kota yang lain. Deviasi standar pendapatan per kapita di propinsi Jawa Timur merupakan yang tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan per kapita ini relatif tidak lebih merata dibanding daerah-daerah lain diluar propinsi ini. Kesenjangan pendapatan per kapita terendah terjadi di Jawa Tengah, yaitu sebesar Rp. 950.007,072. Namun demikian, seperti halnya propinsi Bali, propinsi Jawa Tengah mempunyai rata-rata pendapatan per kapita paling kecil dari, bahkan lebih kecil dibanding rata-rata pendapatan di daerah lain.

Tipologi (Pemetaan) Daerah - Kesiapan Daerah Memasuki Desentralisasi

Dari dua indikator perekononomian (pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita) dapat dipetakan daerah menurut 4 tipologi (Kuncoro 2004). Hasil pemetaan ini paling tidak memberikan gambaran kesiapan daerah dalam memasuki era desentralisasi. Berdasarkan hasil pemetaan, ternyata dari 117 kabupaten dan kota hanya 15% (atau 18 daerah) yang merupakan daerah yang cepat maju dan tumbuh (gambar 2).

Daerah yang cepat maju dan tumbuh adalah daerah yang mempunyai pendapatan perkapita dan tingkat pertumbuhan diatas rata-rata daerah yang lain. Tinggi nilai dua indikator perekonomian pada daerah ini paling tidak memberikan gambaran kemampuan pengelolaan

(11)

keuangan yang baik, kualitas layanan publik yang tinggi, maupun iklim yang kondusif untuk berinvestasi.

Gambar 2: Proporsi Berdasarkan Tipologi Daerah

24%

15% 46%

15%

Cepat Maju dan Cepat Tumbuh Maju tapi Tertekan Berkembang Cepat Relatif Tertinggal

Yang memprihatinkan adalah 46% (n=54) daerah masuk dalam kategori daerah relatif tertinggal. Hal ini memberikan gambaran banyaknya daerah yang sebenarnya belum siap untuk memasuki era desentralisasi fiskal. Dengan kondisi semacam ini sangat sulit bagi daerah ini menunjukkan kinerja yang baik dalam era pemerintahan ini. Daerah-daerah ini relatih mempunyai ketergantungan yang sangat besar, bukan hanya dalam hal besaran dana transfer, namun juga dalam pengelolaan keuangan daerah. Dari jumlah ini, 43 daerah berada di Jawa-Tengah dan Jawa Timur (Tabel 2). Pemenuhan kualitas layanan publik yang memadai serta dibukanya kesempatan berinvestasi dengan berbagai fasilitas atau kemudahan merupakan faktor penting tercapainya kinerja yang lebih baik.

Tabel 2

Pembagian Daerah Berdasarkan Tipologi Tipologi Daerah

Propinsi Cepat Maju

dan Tumbuh

Cepat Maju Tapi Tertekan

Berkembang

Cepat Tertinggal Relatif

Total Jawa Barat 7 1 11 6 25 Jawa Tengah 3 4 8 20 35 Jawa Timur 4 5 5 23 37 DI Yogyakarta 1 4 5 Banten 2 4 6 Bali 1 7 1 9 Total 18 17 28 54 117

(12)

Kabupaten dan kota di propinsi Bali relatif paling siap menghadapi desentralisasi fiskal. Dari 9 daerah hanya 1 kabupaten yang tergolong relatif tertinggal, sementara 1 daerah merupakan daerah yang paling siap. Daerah lain tergolong dalam daerah cepat maju tapi tertekan. Perlu diupayakan agar laju pendapatan per kapita dapat dioptimalkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah setempat.

Diskripsi Perekonomian Setelah Desentralisasi

Secara umum pertumbuhan ekonomi daerah setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal mengalami kenaikan dari 3,29% menjadi 3,799% (≈ 3,80%) atau mengalami kenaikan rata-rata ± sebesar 0,5% (Tabel 3). Selain itu disparitas pertumbuhan antar daerah menjadi lebih kecil. Hal ini ditunjukkan dengan nilai deviasi standar yang turun menjadi 1,196% (sebelum desentralisasi nilai deviasi standar 3,197%). Tingkat pertumbuhan ekonomi lebih merata dibanding dengan era sebelum desentralisasi fiskal. Satu hal yang menarik adalah korelasi antara pertumbuhan sebelum dan sesudah desentralisasi hanya 2,2% (0,022) dan tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya pertumbuhan dimasa sebelum desentralisasi tidak bisa dijadikan patokan rendahnya pertumbuhan setelah desentralisasi. Pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh faktor-faktor lain diluar pertumbuhan ekonomi sebelumnya. Hal ini memberikan indikasi adanya upaya dari daerah-daerah yang pertumbuhan ekonominya rendah untuk memperbaiki kinerjanya. Desentralisasi memberikan dampak positif dalam mendorong daerah untuk semakin meningkatkan kemandirian.

Daerah yang bertipologi cepat maju tapi tertekan dan relatif tertinggal justru yang mengalami kenaikan dalam pertumbuhan ekonomi, masing-masing dari 1,22% menjadi 3,72% dan 1,88 menjadi 3,41%. Gambaran awal ini cukup menggembirakan mengingat daerah-daerah ini adalah daerah yang sebelumnya mengalami pertumbuhan ekonomi dibawah rata-rata. Lin dan Liu (2000) menemukan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi pada daerah yang mempunyai tingkat kekayaan marginal (marginal retention rate). Temuan kedua peneliti ini relatif identik dengan hasil penelitian ini mengingat daerah yang marginal, mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang relatif rendah.

(13)

Tabel 3

Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Per Kapita Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali

Tahun 1998 – 2003

(Sebelum dan dalam Era Desentralisasi Fiskal)

.0522 .0472 4,619,893.3378 5,068,296.2761 .0320 .0220 1,858,705.15 1,505,305.23 .1000 .0760 24,572,248.23 26,409,979.05 .0231 .0142 5,265,050.11993 5,666,029.73069 .0122 .0372 2,746,150.4894 2,899,359.3576 -.0610 .0240 1,659,926.08 1,763,776.88 .0280 .0520 5,437,385.68 5,741,944.67 .0261 .0073 1,199,818.67867 1,263,151.97054 .0602 .0400 1,100,492.7371 1,206,001.9421 .0320 -.0090 641,034.97 709,405.75 .2370 .0660 1,614,167.58 1,762,016.80 .0407 .0149 300,763.89094 329,143.10119 .0189 .0341 1,043,964.4530 1,103,155.9574 -.0410 .0150 555,434.94 597,550.72 .0310 .0560 1,618,534.38 1,735,393.58 .0125 .0085 245,337.63875 257,061.10628 .0329 .0380 1,854,961.6709 1,998,777.0780 -.0610 -.0090 555,434.94 597,550.72 .2370 .0760 24,572,248.23 26,409,979.05 .0320 .0120 2,460,870.00268 2,662,022.86167 Rata-rata Minimum Maksimum Deviasi Standar Rata-rata Minimum Maksimum Deviasi Standar Rata-rata Minimum Maksimum Deviasi Standar Rata-rata Minimum Maksimum Deviasi Standar Rata-rata Minimum Maksimum Deviasi Standar Tipologi Daerah

Cepat Maju dan Tumbuh

Cepat Maju Tapi Tertekan Berkembang Cepat Relatif Tertinggal Total Pertumbuhan sebelum Desentralisasi (1998-2000) Pertumbuhan setelah Desentralisasi (2001-2003) Pendapatan Per Kapita sebelum desentralisasi (1998-2000) Pendapatan Per Kapita setelah desentralisasi (2001-2003)

Sumber : Data BPS tahun 1998 - 2003 (diolah )

Disisi lain daerah yang bertipologi cepat maju dan tumbuh dan berkembang cepat mengalami rata-rata pertumbuhan ekonomi yang menurun. Namun demikian pertumbuhan ekonomi kedua tipe daerah ini masih diatas rata-rata pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya menunjukkan bahwa daerah-daerah ini relatif lebih mapan dibanding dengan daerah-daerah-daerah-daerah dengan tipologi lain. Pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai oleh daerah yang tergolong dalam tipologi cepat maju dan tumbuh, yaitu sebesar 7,60 %. Pertumbuhan ini dialami oleh kabupaten Cilacap (Jawa Tengah). Sementara itu, pertumbuhan terendah sebesar - 0,09% dialami oleh kabupaten Sumenep (Jawa Timur), yang termasuk dalam daerah bertipologi berkembang cepat. Pada pembahasan sebelumnya ditemukan bahwa kabupaten ini juga yang mempunyai tingkat penerimaan PAD paling rendah.

(14)

1.854.961,67 menjadi Rp. 1.998.777,078 atau mengalami kenaikan sebesar Rp. 143.815,408. Kenaikan ini tidak sebanding dengan kenaikan kesenjangan pendapatan per kapita ini. Deviasi standar mengalami kenaikan yang lebih besar daripada kenaikan pendapatan per kapita ini, yaitu sebesar Rp. 201.152,859. Bisa disimpulkan bahwa dalam era desentralisasi ini kesenjangan pendapatan per kapita lebih besar dibanding kesenjangan sebelum masa desentralisasi.

Hasil Uji Hipotesis 1 Dan 2

Uji hipotesis berikut ini ditujukan untuk membuktikan apakah terdapat perbedaan pertumbuhan ekonomi daerah yang signifikan antara sebelum pelaksanaan desentralisasi dan setelah pelaksanaan desentralisasi (hipotesis 1). Sedang uji berikutnya bertujuan untuk memberikan fakta empiris apakah terdapat perbedaan pertumbuhan yang nyata antar daerah dengan tipologi yang berbeda-beda (hipotesis 2). Tabel 4 memberikan ringkasan hasil penghitungan untuk kepentingan ini.

Tabel 4

Hasil Pengujian Hipotesis 1 dan 2

Pengujian Yang Diuji-bedakan Alat Uji Nilai Uji Signifikansi Hipotesis 1 Pertumbuhan Ekonomi sebelum

dan sesudah desentralisasi Uji t 1,668 ** 0.098 Hipotesis 2 Pertumbuhan ekonomi antar

daerah menurut tipologinya

ANOVA

(Uji F) 6,485 * 0,000 Keterangan :

* Signifikan pada taraf signifikansi 1% ** Signifikan pada taraf signifikansi 10%

Dalam pengujian hipotesis 1 diperoleh nilai t uji = 1,668 pada taraf signifikansi (

α )

= 0,098 (9,8%). Hasil ini menunjukkan bahwa pada taraf signifikansi 10%, pertumbuhan ekonomi setelah pelaksanaan desentralisasi lebih baik dibanding pertumbuhan masa sebelumnya. Terdapat fakta empiris bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi setelah pelaksanaan desentralisasi secara positif lebih baik dan signifikan dibanding dengan pertumbuhan ekonomi sebelum pelaksanaan desentralisasi (pada

α =

10%). Dengan demikian hipotesis 1 (H1) dinyatakan diterima.

(15)

ini membuktikan bahwa pada taraf signifikansi 1%, terdapat perbedaaan pertumbuhan yang sangat nyata antar daerah dengan tipologi yang berbeda. Dengan demikian hipotesis 2 (H2) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan pertumbuhan ekonomi antara daerah dengan tipologi yang berbeda dinyatakan diterima.

Interpretasi Hipotesis 1

Pengujian hipotesis memberikan bukti empiris adanya kenaikan yang positif dan signifikan terkait dengan pertumbuhan ekonomi pada masa desentralisasi fiskal. Temuan riset ini sejalan dengan hasil penelitian Bohte dan Meier (2000) yang membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi pada pemerintahan terdesentralisasi lebih tinggi (dan lebih cepat) dibanding dengan pertumbuhan pemerintahan tersentralisasi. Fakta empiris ini juga mendukung temuan riset Oates (1995), Lin dan Liu (2000) yang menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Bisa jadi sebagaimana diungkapkan Lin dan Liu (2000) , Mardiasmo (2002) dan Wong (2004), pemberian otonomi (kewenangan) yang lebih besar membuat pemda mempunyai keleluasaan yang lebih besar dalam melakukan alokasi yang lebih efisien pada berbagai potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik. Pemerintah masing-masing daerah mampu membuktikan bahwa mereka lebih sensitif terhadap kondisi ekonomi lokal. Pemerintah daerah semakin mandiri dan kreatif dalam mengelola sumber-sumber daya potensial untuk memacu pertumbuhan ekonomi daerahnya masing-masing.

Pertumbuhan ekonomi yang secara positif berbeda dan signifikan ini ditentukan oleh pertumbuhan yang terjadi pada daerah-daerah yang bertipologi relatif tertinggal dan cepat maju tapi tertekan. Dari 54 daerah yang tergolong relatif tertinggal mengalami kenaikan rata-rata pertumbuhan yang signifikan, yaitu sebesar 1,53%, sedangkan 17 daerah yang bertipologi cepat maju tapi tertekan mengalami kenaikan rata-rata pertumbuhan sebesar 2,49%.

(16)

Gambar 3 : Proporsi Berdasarkan Tipologi Daerah (Setelah Desentralisasi)

30% 21%

46% 3%

Cepat Maju dan Cepat Tumbuh M aju tapi Tertekan

Berkembang Cepat Relatif Tertinggal

Bahkan apabila dianalisis lebih lanjut, pertumbuhan ekonomi ini telah mengubah komposisi jumlah daerah menurut 4 tipologi yang ada. Dengan menggunakan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita sebelum desentralisasi sebagai dasar untuk menentukan tipologi daerah, diperoleh komposisi daerah yang baru menurut 4 tipologi tersebut (gambar 2). Dari gambar 3 tampak komposisi daerah relatif tertinggal mengalami penurunan sangat signifikan sebesar 25% (bandingkan dengan gambar 3). Daerah bertipologi berkembang cepat naik sebesar 22%, sementara itu daerah cepat maju dan tumbuh mengalami kenaikan sebesar 15%, sedangkan proporsi daerah maju tapi tertekan mengalami penurunan sebesar 12%. Satu hal yang menarik dari gambaran ini adalah pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, tidak didukung dengan peningkatan pendapatan per kapita (hal ini ditunjukkan dengan besarnya proporsi daerah berkembang cepat, yaitu sebesar 46%). Bisa jadi pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak lebih cepat dari akselerasi pertambahan jumlah penduduk pada daerah setempat.

Seperti dugaan awal propinsi Bali merupakan propinsi yang paling siap dalam menghadapi desentralisasi fiskal. Dari 7 (tujuh) daerah yang sebelumnya tergolong daerah cepat maju tapi tertekan, setelah pelaksanaan desentralisasi 6 (enam) daerah bergeser posisinya menjadi daerah cepat maju dan tumbuh. Tabel 5 memberikan gambaran lengkap pembagian daerah menurut tipologi setelah desentralisasi.

(17)

Tabel 5

Pembagian Daerah Berdasarkan Tipologi Setelah Desentralisasi Fiskal

Tipologi Daerah Propinsi Cepat Maju

dan Tumbuh

Cepat Maju Tapi Tertekan

Berkembang

Cepat Tertinggal Relatif

Total Jawa Barat 9 1 13 2 25 Jawa Tengah 7 1 18 9 35 Jawa Timur 8 1 16 12 37 DI Yogyakarta 2 - 1 2 5 Banten 2 1 4 - 6 Bali 7 4 - 1 9 Total 35 4 52 26 117

Sumber : Data BPS tahun 2001 – 2003 (diolah) Interpretasi Hipotesis 2

Dari hasil pengujian diperoleh bukti empiris adanya rata-rata pertumbuhan yang berbeda antar daerah dengan tipologi yang berbeda. Daerah-daerah yang relatif siap (yang sebelumnya mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi) terbukti mempunyai tingkat pertumbuhan yang lebih baik pula dibanding dengan daerah-daerah lain yang kurang siap menghadapi desentralisasi fiskal. Tingkat pertumbuhan daerah-daerah yang siap ini masih lebih baik dan secara signifikan berbeda. Namun demikian disparitas pertumbuhan setelah pelaksanaan desentralisasi ini lebih kecil daripada sebelum desentralisasi (tabel 3).

Daerah-daerah yang relatif siap tidak mengalami pertumbuhan, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Namun demikian tingkat pertumbuhan daerah-daerah ini masih lebih besar dibanding rata-rata pertumbuhan yang terjadi. Realitas ini menunjukkan bahwa daerah-daerah yang lebih siap relatif lebih mapan, mempunyai kapabilitas yang lebih baik dalam mengelola sumber daya yang dimiliki. Pemda tidak hanya terfokus pada permasalahan alokasi tetapi juga menaruh perhatian dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil (Rafinus 2001).

Namun demikian, bila dianalisis secara parsial, perbedaan yang signifikan hanya terjadi antar beberapa daerah dengan tipologi tertentu. Dengan menggunakan uji post hoc (Santoso 2001) dapat diketahui antar tipologi manakah terjadi perbedaan rata-rata yang signifikan ini (Tabel 6).

(18)

Tabel 6 menunjukkan perbedaan rata-rata yang nyata terjadi (pada

α

= 5%) hanya terjadi antara daerah dengan tipologi cepat maju dan tumbuh dengan daerah cepat maju tapi tertekan dan antara daerah cepat maju dan tumbuh dengan daerah relatif tertinggal. Dalam tahapan awal, perbedaan ini sangat wajar terjadi mengingat daerah dengan tipologi cepat maju dan tumbuh adalah daerah yang dianggap paling siap dikarenakan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang berada diatas rata-rata keseluruhan daerah.

Hal menggembirakan yang perlu dicatat adalah kenaikan pertumbuhan ekonomi untuk daerah-daerah yang sebelumnya dianggap kurang siap (cepat maju tapi tertekan dan relatif tertinggal) ternyata lebih tinggi daripada kenaikan pertumbuhan daerah-daerah lain. Patut diduga bahwa desentralisasi fiskal memberikan dorongan bagi daerah untuk lebih kreatif dan inovatif untuk mengelola sumber daya yang dimiliki. Dalam waktu yang relatif singkat daerah-daerah itu hampir mengejar ketertinggalan pertumbuhan yang sebelumnya dialami. Bisa jadi dalam 2-3 tahun ke depan disparitas pertumbuhan tersebut menjadi tidak signifikan.

Dependent Variable: Rata2 pert sesudah Tukey HSD .009990* .0037853 .046 .007167 .0033814 .153 .013019* .0030462 .000 -.009990* .0037853 .046 -.002824 .0034414 .845 .003028 .0031127 .765 -.007167 .0033814 .153 .002824 .0034414 .845 .005852 .0026065 .118 -.013019* .0030462 .000 -.003028 .0031127 .765 -.005852 .0026065 .118 (J) Tipologi Daerah sebelum desentralisasi

Cepat Maju Tapi Tertekan Berkembang Cepat Relatif Tertinggal Cepat Maju dan Tumbuh Berkembang Cepat Relatif Tertinggal Cepat Maju dan Tumbuh Cepat Maju Tapi Tertekan Relatif Tertinggal Cepat Maju dan Tumbuh Cepat Maju Tapi Tertekan Berkembang Cepat

(I) Tipologi Daerah sebelum desentralisasi

Cepat Maju dan Tumbuh

Cepat Maju Tapi Tertekan

Berkembang Cepat Relatif Tertinggal Perbedaan Rata-rata (I-J) Std. Error Signifikansi

Perbedaan Rata-rata signifikan pada level 5 % *.

Tabel 6

Uji Beda Antar Tipologi Daerah

(19)

SIMPULAN

Pelaksanaan desentralisasi fiskal terbukti meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Daerah lebih peka terhadap kebutuhan dan kekuatan ekonomi lokal. Temuan ini sejalan Lin dan Liu (2000) yang menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal mempunyai hubungan positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun demikian hasil penelitian ini menunjukkan tidak semua daerah benar-benar siap memasuki desentralisasi fiskal. Data awal menunjukkan ada 46% daerah yang pertumbuhan ekonomi maupun pendapatan per kapitanya dibawah rata-rata. Faktor inilah yang diindikasikan sebagai alasan terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi yang positif antar daerah setelah memasuki era desentralisasi fiskal. Namun demikian bila dilakukan analisis secara parsial, perbedaan yang terjadi, hanya antara beberapa daerah saja. Bukti empiris menunjukkan adanya kenaikan pertumbuhan ekonomi pada daerah-daerah yang diindikasi kurang siap menghadapi desentralisasi fiskal (daerah relatif tertinggal tersisa 21%). Namun demikian, pertumbuhan ekonomi ini tidak diikuti dengan kenaikan pertumbuhan pendapatan per kapita yang signifikan.

Terkait dengan hal tersebut, alokasi belanja pembangunan harus dilakukan secara cermat. Belanja pembangunan hendaknya tidak hanya ditujukan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur yang mampu memacu peningkatan investasi swasta di daerah. Pertumbuhan ekonomi dan upaya peningkatan PAD relatif terjamin , namun demikian yang paling diuntungkan justru pihak swasta, dalam hal ini investor (para pemilik modal). Belanja ini hendaknya juga memprioritaskan infrastruktur pembangunan ekonomi yang dapat dinikmati publik. Pemda harus mengupayakan agar pertumbuhan ekonomi terjadi secara merata (mengurangi disparitas pertumbuhan ekonomi).

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Syukriy dan Abdul Halim. 2004. Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Pemda: Studi Kasus Kabupaten dan Kota di Jawa dan Bali. Jurnal Ekonomi STEI No. 2/Tahun XIII/25.

BAPPENAS. 2003. Peta Kemampuan Keuangan Propinsi Dalam Era Otonomi Daerah : Tinjauan Atas Kinerja PAD dan Upaya yang dilakukan Daerah. Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah.

Bohte, John dan Kenneth J Meier. 2000. The Marble Cake : Introducing Federalism to The Government Growth Equation. Publius. Summer. Hal : 35 – 99.

Brodjonegoro, Bambang dan Jorge Martines Vasques. 2002. An Analysis of Indonesia’s TransferSystem : Recent Performance and Future Prospect. George State University. Andrew Young School of Policy Studies. Working Paper.

Brodjonegoro, Bambang. 2003. Dua Setengah Tahun Desentralisasi Fiskal dan Dampaknya Terhadap Upaya Mengurangi Kemiskinan dan Mendorong Investasi. Kongres ISEI. Malang.

Halim, Abdul. 2001. Analisis Diskriptif Pengaruh Fiscal Stress pada APBD Pemerintah Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah. KOMPAK. STIE YO. Yogyakarta. Hal:127-146 Kuncoro, Mudrajat. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan,

Perencanaan, Strategi dan Peluang. Penerbit Erlangga.

Laurent, Stephen dan Francois Vaillancourt. 2002. Federal Transfer in Canada and The United States 1989 – 1990 to 1998 – 1990. National Tax Association – Tax Institute of America. Hal : 203 – 212.

Lin, Justin Yifu dan Zhiqiang Liu. 2000. Fiscal Decntralization and Economic Growth in China. Economic Development and Cultural Change. Chicago. Vol 49. Hal : 1 – 21. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Penerbit ANDI.

Yogyakarta.

Oates, Wallace E. 1995. Comment on “Conflict and Dillemas of Decentralization” by Rudolf Holmes. The World Bank Research Observer. Hal : 351 – 353.

Rafinus, Hamzar Bobby. 2001. Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Ekonomi Makro. Majalah Perencanaan Pembangunan. Edisi 23.

Santoso, Singgih. 2001. SPSS Versi 10. Elexmedia Komputindo. Gramedia. Jakarta.

Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Penerbit Ghalia Indonesia.

Wong, John D. 2004. The Fiscal Impact of Economic Growth and Development on Local Government Capacity. Journal of Public Budgeting., Accounting and Financial Management. Fall. 16.3. Hal : 413 – 423.

Wurzel, Eckhard. 1998. Germany Reforming Federal Fiscal Relation. Organization for Economics Development. The OECD Observer.

Gambar

Gambar 1 :  Empat Tipologi Daerah (Sumber : Kuncoro 2004)
Gambar 2: Proporsi Berdasarkan Tipologi Daerah  24%
Gambar 3 : Proporsi Berdasarkan Tipologi Daerah (Setelah Desentralisasi)21% 30%
Tabel 6 menunjukkan perbedaan rata-rata yang nyata terjadi (pada  α  = 5%) hanya terjadi  antara daerah dengan tipologi cepat maju dan tumbuh dengan daerah cepat maju tapi  tertekan dan  antara daerah cepat maju dan tumbuh dengan daerah relatif tertinggal

Referensi

Dokumen terkait

Sejak tahun 2012, Dunamis juga menjadi mitra berlisensi dari VitalSmarts yang menyediakan pelatihan keterampilan untuk mengubah perilaku... Kontinuum Pengetahuan Data

Berdasarkan hasil penelitian dan uji hipotesis yang sudah dilakukan mengenai persepsi mahasiswan Universitas Riau terhadap fungsi partai politik sebagai sarana

daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income) adalah daerah kabupaten/kota yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per

Praktik subordinasi tersebut adalah bentuk dari ketidakadilan gender yang harus diterima oleh para tokoh perempuan di dalam novel Tanah Tabu karya Anindita S. Hal penting

Sementara untuk ESDV diberikan scope untuk mengetahui aliran yang terjadi pada kondisi normal dan tidak normal baik karena nilai perbedaan tekanan pada offshore

Animasi yang baik juga dapat menjadi bahan penunjang yang baik bagi guru dalam menjelaskan materi-materi sulit yang mungkin timbul saat bersinggungan dengan imajinasi, atau

1) kemiskinan hanya dipandang pada dimensi pengeluaran konsumsi minimal rumah tangga saja, sementara kemiskinan adalah bersifat multidimensi yakni menyangkut segi ekonomi,

Pengertian dari kualitas pelayanan merupakan sesuatu yang sangat luas (atau bahkan dapat dikatakan tidak ada, tergantung pada jenis industri dimana suatu