• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KESANTUNAN BERBAHASA DI LINGKUNGAN TERMINAL MALLENGKERI KOTA MAKASSAR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh:

MAYA ARGITA PUTRI MAKARSA 105331114716

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2020

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

viii

MOTO

Tidak ada yang menjadi tak mungkin jika keyakinan selalu ditanamkan

Kupersembahkan karya ini buat: Kedua orang tuaku, saudaraku, dan sahabatku, atas keikhlasan dan doanya dalam mendukung penulis

(9)

ix

ABSTRAK

Maya Argita Putri Makarsa. 2020. Analisis Kesantunan Berbahasa Di

Lingkungan Terminal Mallengkeri Kota Makassar. Skripsi. Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I Muhammad Akhir dan pembimbing II Desy Ayu Andhira.

Penelitian ini bertujuan untuk mendesksripsikan wujud tindak tutur dan penggunaan prinsip kesantunan yang terdapat dalam interaksi di lingkungan terminal Mallengkeri kota Makassar, serta mendeskripsikan persepsi penyimak bahasa yang berasal dari luar lingkungan terminal terhadap kesantunan berbahasa di lingkungan terminal Mallengkeri kota Makassar. Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan subjek tuturan interaksi di lingkungan terminal Mallengkeri kota Makassar. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik observasi, teknik catat, teknik rekam, dan teknik wawancara. Teknik analisis data dengan cara mentranskrip data hasil observasi, mengidentifikasi dan mengklarifikasi data, menyalin kedalam kartu data, menganalisis kartu data dan menyimpulkan.

Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah data tuturan keseluruhan rumusan masalah sebanyak 24. 6 data tuturan pada wujud tindak tutur, 14 data tuturan pada penggunaan prinsip kesantunan dan 4 data tuturan persepsi penyimak bahasa. Wujud tindak tutur yang dimaksud meliputi : Lokusi sebanyak 4; Ilokusi sebanyak 3; Perlokusi sebanyak 1. Pada penggunaan prinsip kesantunan meliputi : (a) maksim kebijaksanaan sebanyak 2 tuturan, (b) maksim kedermawanan sebanyak 1 tuturan, (c) maksim penghargaan sebanyak 6 tuturan, (d) maksim kesederhanaan sebanyak 1, (e) maksim pemufakatan sebanyak 2 tuturan, (f) maksim kesimpatian 2 tuturan.

Saran dari peneliti adalah masyarakat disarankan memperbanyak penggunaan kesantunan berbahasa Indonesia yang telah ditemukan di lingkungan keluarga maupun lingkungan luar agar perilaku berbahasa santun dapat semakin terinternalisasi dalam diri masyarakat.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirahim

Alhamdullilahirobbilalamin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahuwata’ala atas segala karunia-Nya, yang telah menciptakan langit dan bumi, menciptakan kehidupan di bumi ini yang penuh dengan segala keindahan dan kenikmatan sehingga semua yang ada di bumi ini bisa menikmati indahnya ciptaan Allah yang telah menciptakan manusia jauh lebih sempurna dari ciptaan-Nya yang lain, yang diberi akal untuk berfikir, serta diberi anggota-anggota tubuh yang sehat, yang senantiasa diciptakan untuk selalu berbuat kebaikan di dunia. Serta yang memberikan kesehatan, kesempatan, dan kemudahan sehingga penulis mampu menjalani hidup ini dengan penuh kemudahan sehingga seluruh umat manusia dapat menjalani kehidupan dan menunaikan ibadah dengan khusyuk dan damai.

Shalawat serta salam yang selalu terlimpahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad sallallahu‘alaihiwassallam yang senantiasa berpegang teguh terhadap ajaran sunnah hingga akhir zaman. Manusia yang menjadi sang

revolusioner islam yang telah menggulung tikar-tikar kebatilan dan

membentangkan permadani-permadani islam hingga saat ini. Nabi yang telah membawa misi risalah islam sehingga peneliti dapat membedakan antara haqdan yang batil. Sehingga, kejahiliyaan tidak dirasakan oleh umat manusia di zaman yang serba digital ini.

(11)

xi

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan penelitian pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan IlmuPendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Makassar. Skripsi ini juga disusun agar dapat memberi pengetahuan kepada pembaca mengenai analisis kesantunan berbahasa di lingkungan terminal Mallengkeri kota Makassar.

Perjuangan yang luar biasa dan motivasi dari berbagai pihak yang sangat membantu dalam perampungan tulisan ini. Pada kesempatan ini segala rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua tercinta yang telah menjadi orang tua terhebat sejagad raya, ayahanda Mappalewa dan ibunda Cahaya Nur KS yang telah berjuang, mendoakan, memberikan nasihat, cinta, perhatian, semangat, dan kasih sayang hingga membiayai penulis dalam proses pencarian ilmu.

Penyelesaian skripsi ini tidak akan berjalan sebagaimana mestinya jika tidak ada keterlibatan dari berbagai pihak yang tulus ikhlas memberikan bantuan dan arahannya. Segala kerendahan hati penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Muhammad Akhir M.Pd., dan Desy Ayu Andhira, S.Pd.,M.Pd., selaku pembimbing I dan Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu dan tenaga serta memberikan perhatian, arahan, semangat, doa, dan motivasi kepada penulis sejak awal penyusunan skripsi ini.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. H. Ambo Asse, M. Ag., selaku rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Bapak Erwin Akib, S.Pd., M.Pd., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar, Serta Ibunda Dr. Munirah,

(12)

xii

M.Pd., selaku Ketua Prodi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Dr. Muhammad Akhir, M.Pd., selaku sekretaris Prodi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia serta seluruh dosen dan para staf dalam lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah membekali penulis dengan serangkaian ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga peneliti ucapkan kepada teman-teman seperjuanganku terkhusus Nungky Ardhiah Cahyani, Santri Asia, Nur Faisah, Nurul Istiqamah, Ahyani Radhiani Rapi, A. Nurafifah Wulandari, dan Sisi Zuswanti karena telah berpartisipasi dan selalu menemaniku dalam suka dan duka, serta seluruh rekan teman mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas E Angkatan 2016 atas segala kebersamaan, motivasi, saran, dan bantuannya kepada penulis yang telah memberi cahaya dalam hidupku.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa mengharapkan kritikan dan saran dari berbagai pihak, selama saran dan kritikan tersebut bersifat membangun, karena penulis yakin bahwa suatu persoalan tidak akan berhenti sama sekali tanpa adanya kritikan. Semoga dapat memberikan maanfat bagi para pembaca, terutama bagi diri pribadi penulis.

Amin YaRabbilAlamin

Makassar, Agustus 2020

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

KARTU KONTROL PEMBIMBING I ... iii

KARTU KONTROL PEMBIMBING II ... iv

SURAT PERNYATAAN ... v

SURAT PERJANJIAN ... vi

MOTO ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. TujuanPenelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Penelitian yang Relevan ... 8

2. Pragmatik ... 9 3. Kesantunan ... 10 4. Kesantunan Berbahasa ... 14 a. Tindak Tutur ... 18 b. Prinsip Kesantunan ... 29 B. Kerangka Pikir ... 37

(14)

xiv

BAB III METODOLOGI PENILITIAN

A. Jenis Penelitian ... 39

B. Defenisi Istilah ... 39

C. Data dan Sumber Data ... 40

D. Teknik Pengumpulan Data ... 40

E. Teknik Analisis Data ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 44 B. Pembahasan ... 66 BAB V PENUTUP A. Simpulan... 70 B. Saran ... 71 DAFTAR PUSTAKA Lampiran Riwayat Hidup

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk berinteraksi, dan mengekspresikan diri dalam budaya masyarakat. Sejalan dengan ini, Chaer dan Agustina (2010: 11) mengatakan bahwa fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau interaksi yang hanya dimiliki manusia. Bahasa sebagai alat komunikasi mampu menimbulkan adanya rasa saling mengerti antara penutur dan mitra tutur, atau antara peneliti dan pembaca. Selain itu, menurut Pranowo (2009: 3) bahasa merupakan cermin kepribadian seseorang. Artinya, ketika seseorang sedang berkomunikasi dengan bahasanya mampu menggali potensi bahasanya dan mampu menggunakannya secara baik, benar, dan santun merupakan cermin dari sifat dan kepribadian pemakainya.

Dalam tuturan bahasa Indonesia, sebenarnya tuturan sudah dianggap santun jika penutur menggunakan kata-kata yang santun, tuturannya tidak mengandung ejekan secara langsung, tidak memerintah secara langsung, serta menghormati orang lain. Oleh karena itu kesantunan berbahasa perlu dikaji guna mengetahui seberapa banyak kesalahan atau penyimpangan kesantunan berbahasapada manusia ketika berkomunikasi satu sama lain. Kesalahan-kesalahan atau penyimpangan dalam berbahasa secara santun sering terjadi dalam kehidupan manusia, karena manusia selalu melakukan komunikasi dan berinteraksi satu sama lain dengan bahasa sebagai sarana. Komunikasi dan interaksi tersebut bisa terjadi

(16)

dimana saja dan kapan saja, baik lingkungan formal maupun nonformal. Setiap orang memiliki keinginan untuk berusaha bersikap dan perilaku yang baik untuk menjaga harkat dan martabat dirinya serta menghargai orang lain. Semua itu akan terlihat melalui aktualisasi diri lewat tindak bahasa. Dengan demikian, bahasa bukan hanya dinilai sebagai alat komunikasi semata, tetapi bahasa juga sebagai cermin kepribadian seseorang.

Dalam berbahasa, setiap tuturan hendaknya selalu memperhatikan aspek kesantunannya. Kesantunan berbahasa secara umum merujuk kepada penggunaan bahasa yang baik, sopan, lemah lembut, dan menghormati mitra tuturnya. Kesantunan berbahasa memiliki peran penting dalam kemampuan berbahasa setiap individu. Seseorang akan memiliki kepribadian yang baik jika orang itu selalu menggunakan bahasa yang baik dan penuh kesantunan. Sebaliknya, jika seseorang itu selalu menggunakan bahasa yang kasar dan tidak santun maka dapat dikatakan orang tersebut memiliki kepribadian yang tidak baik. Berkaitan dengan hal itu, Pranowo (2009: 49) menyatakan bahwa kebiasaan berbahasa seseorang yang buruk sebenarnya sudah sejak lama tertanam perilaku buruk dalam dirinya. Oleh karena itu, jika ingin perilaku berbahasa seseorang tumbuh dan berkembang dengan santun, hendaknya ditanamkan pula kebiasaan berbahasa secara santun.

Kesantunan berbahasa menjadi suatu hal yang patut dibahas berkaitan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat Indonesia yang sudah mengabaikan kesantunan dalam berkomunikasi atau berbahasa. Hal ini terjadi sejak lahirnya masa reformasi yang ditandai dengan kebebasan berpendapat dan berbicara oleh masyarakat Indonesia.

(17)

Kebebasan berpendapat terkadang menjadikan seseorang lalai dalam masalah kesantunan yang dapat kita lihat pada suasana disekitar kita seperti diwilayah pasar,rumah sakit, sekolah. Bahkan pada saat unjuk rasa, aksi, acara diskusi, dan debat, juga di lingkungan terminal sering terjadi interaksi tindak tutur, dan dilingkungan tersebut beragam pula tindak tutur yang terlontarkan terhadap mitra tutur sesuai jenis-jenis maksim. Akibatnya, tak jarang kita melihat konflik antara dua kubu atau lebih yang berseberangan atau yang menjadi lawan bicara, atau bahkan terjadi perang mulut. Hal-hal tersebut sebenarnya dapat dihindari jika seseorang masih berpedoman pada aturan-aturan atau prinsip-prinsip kesantunan.

Dalam menggunakan bahasa, penutur tidak hanya mengutamakan tersampaikannya suatu gagasan kepada lawan tutur, tetapi penutur juga harus mementingkan prinsip kesantunan dalam mengungkapkan gagasannya tersebut.Untuk menanamkan perilaku berbahasa secara santun, terdapat sejumlah pakar yang mengemukakan teori kesantunan berbahasa yang dapat dijadikan acuan, yaitu Leech (1993).

Leech (1993: 206—207) membagi prinsip kesantunan menjadi enam maksim. Dari pembagian keenam maksim tersebut, sering dijumpai penggunaannya dalam kegiatan komunikasi sehari-hari. Maksim-maksim tersebut, yakni maksim kearifan (tact maxim), maksim kedermawanan (generosity maxim), maksim pujian (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kesepakatan (aggrement maxim), dan maksim simpati (sympathy maxim).

Berdasarkan beberapa pendapat para pakar tentang kesantunan berbahasa di atas, manusia sangatlah perlu memperhatikan adanya kesantunan berbahasa ketika

(18)

berkomunikasi dengan manusia lainnya. Hal itu bertujuan agar manusia bisa menggunakan bahasa yang santun dan tidak melakukan kesalahan dalam berbahasa. Sebuah tuturan dikatakan santun atau tidak, sangat bergantung pada ukuran kesantunan masyarakat penutur bahasa yang dipakai. Tuturan dalam bahasa Indonesia secara umum sudah dianggap santun jika penutur menggunakan kata-kata yang santun, tuturannya tidak mengandung ejekan secara langsung, tidak memerintah secara langsung, dan menghormati orang lain.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti bermaksud menelaah kesantunan berbahasa dalam lingkungan terminal yang berada di Kota Makassar. Mengangkat judul “Analisis Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Terminal Mallengkeri Kota Makassar”. Hasil penelitian ini nantinya di harapkan dapat dengan mudah menemukan adanya wujud kesantunan dalam tuturan dan penataan maksim-maksim kesantunan di terminal Mallengkeri serta persepsi penyimak bahasa yang berasal dari luar lingkungan terminal terhadap kesantunan berbahasa di lingkungan terminal Mallengkeri Kota Makassar.

Alasan peneliti memilih judul tersebut karena penelitian ini penting, kesantunan berbahasa menjadi suatu hal yang patut dibahas berkaitan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat yang sudah mengabaikan kesantunan dalam berkomunikasi dan berbahasa. Tentunya sebagai pelaku tindak tutur sangatlah perlu memperhatikan adanya kesantunan berbahasa ketika berkomunikasi dengan manusia lainnya. Melalui penelitian ini, peneliti dapat mengetahui berbagai macam interaksi yang dilakukan oleh para sopir, penumpang, atau pedagang-pedagang yang berada di lingkungan terminal Mallengkeri Kota Makassar.

(19)

Alasan peneliti memilih objek penelitian di terminal Mallengkeri Kota Makassar adalah, berdasarkan pertimbangan bahwa, ragam bahasa yang kasar atau yang mengabaikan kesantunan kerap kali menjadi instrumen komunikasi dalam percakapan sebagian masyarakat terminal Mallengkeri Kota Makassar. Bahkan peneliti pernah mendengarkan percakapan yang dilakukan oleh dua sopir yang menuturkan kalimat yang kasar atau tidak santun. Oleh karena itu, peneliti tertarik meneliti kesantunan berbahasa pada sopir, penumpang, dan masyarakat lainnya di lingkungan terminal Mallengkeri Kota Makassar.

Melalui penelitian ini peneliti dapat mendeskripsikan bentuk-bentuk tindak tutur pada sopir, penumpang dan masyarakat lainnya di lingkungan terminal Mallengkeri Kota Makassar. Dapat juga mengetahui berbagai macam penggunaan prinsip kesantunan pada interaksi yang dilakukan oleh pelaku tindak tutur di terminal Mallengkeri Kota Makassar tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan penelitian ini adalah:

1. Apa sajakah wujud tindak tutur yang terdapat dalam interaksi di lingkungan terminal Mallengkeri kota Makassar ?

2. Bagaimana penggunaan prinsip kesantunan dalam interaksi di lingkungan terminal Mallengkeri Kota Makassar ?

3. Bagaimanakah persepsi penyimak bahasa yang berasal dari luar lingkungan terminal Mallengkeri Kota Makassar ?

(20)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah :

1. Mendeskripsikan wujud tindak tutur yang terdapat dalam interaksi di lingkungan Mallengkeri kota Makassar

2. Mendeskripsikan penggunaan prinsip kesantunan dalam interaksi di lingkungan Mallengkeri Kota Makassar

3. Mendeskripsikan persepsi penyimak bahasa yang berasal dari luar lingkungan terminal terhadap kesantunan berbahasa di lingkungan terminal Mallengkeri Kota Makassar

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi para pembaca, baik bersifat teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan perkembangan ilmu pragmatik dalam kesantunan berbahasa.

b. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya penggunaan teori-teori kesantunan berbahasa agar dalam bertutur memperhatikan sopan santun.

(21)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai tambahan wawasan pembaca di bidang pragmatik, serta dapat dijadikan sebagai referensi yang bermanfaat untuk berbagai kepentingan, khususnya di bidang pragmatik.

b. Bagi peneliti, penelitian ini dapat memperkaya wawasan kajian pragmatik dan meambah khazanah penelitian kesantunan berbahasa sehingga bermanfaat bagi kesantunan dalam berinteraksi.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya, Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam mempelajari penggunaan kesantunan berbahasa dan jenis tindak tutur yang terdapat pada penelitian ini.

(22)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Penelitian Relevan

Ada beberapa penelitian yang bekaitan dengan kesantunan berbahasa. Penelitian pertama yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Fendi Eko Prabowo (2016) yang berjudul Kesantunan Berbahasa dalam Kegiataan Diskusi kelas Mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma. Hasil penelitian tersebut menemukan bentuk tuturan santun dan tidak santun berdasarkan prinsip kesantunan berbahasa pada mahasiswa PBSI Universitas Sanata Dharma dalam kegiatan diskusi kelas.

Hendri Wakaimbang (2016) yang berjudul Kesantunan Berbahasa dalam

Group Facebook Forum bahasa Indonesia pada Mahasiswa Prodi Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unila Angkatan 2013 dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Hasil penelitian tersebut menemukan tuturan yang mengandung kesantunan linguistik dan pragmatik pada tuturan mahasiswa dalam grup faceebook forum bahasa Indonesia FKIP Unila angkatan 2013 kelas B dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa Indonesia di SMA.

Berdasarkan dua penelitian diatas, peneliti dapat mengetahui bahwa terdapat penelitian yang serupa dengan penelitian ini. Penelitian yang akan

(23)

Dilakukan peneliti memiliki persamaan dan perbedaan dengan kedua penelitian relevan tersebut, yaitu sama-sama menganalisis kesantunan berbahasa. Perbedaannya terletak pada objek yang diteliti, pada penelitian relevan pertama objeknya adalah mahasiswa dalam kegiatan diskusi yang dilakukan oleh angkatan 2014. Pada penelitian relevan kedua objeknya adalah Group Facebook forum bahasa Indonesia angkatan 2013 kelas B. Sedangkan pada penelitian ini objeknya adalah sopir, penumpang, dan masyarakat yang ada di lingkungan terminal Mallengkeri Kota Makassar.

2. Pragmatik

Menurut Nadar (2013: 2) pragmatik merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu. Dalam situasi apapun, untuk saling berkomunikasi antara seseorang dengan lawan bicaranya menggunakan bahasa. Bahasa yang digunakan itu memiliki berbagai macam bentuk disesuaikan dengan situasi yang sedang berlangsung. Pragmatik mengkaji antara lain mengenai deiksis, implikatur, presuposisi, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana (Gadzar dalam Nadar 2013: 5). Pragmatik sebagai sebuah studi tentang penggunaan bahasa dan arti ungkapan berdasarkan situasi yang melatarbelakanginya telah menjadi cabang linguistik yang penting dalam studi bahasa (Rusminto, 2015: 57).

Sejalan dengan pendapat tersebut, Leech (1993: 5—7) menyatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna dalam kaitannya dengan situasi tutur. Menurut Leech aspek situasi tutur dalam fenomena pragmatik mencakup hal-hal berikut: (1) yang menyapa (penutur) dan yang disapa (mitra tutur), yakni

(24)

pihakpihak yang terlibat dalam situasi tutur; (2) konteks tuturan, yaitu suatu pengetahuan tentang latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur dan yang membantu mitra tutur menafsirkan makna tuturan; (3) tujuan tuturan, yakni sesuatu yang diinginkan penutur melalui tuturannya; (4) tuturan itu sendiri, baik tuturan sebagai bentuk tindak ujar maupun (5) tuturan sebagai produk tindak ujar.

Pragmatik berhubungan dengan pemakaian bahasa, baik tulis maupun lisan, dalam situasi penggunaan bahasa yang sesungguhnya. Hal ini berarti bahwa kajian terhadap penggunaan bahasa dalam pragmatik memperhatikan konteks yang seutuh-utuhnya dan selengkap-lengkapnya. Dengan cara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam kajian pragmatik, bentuk bahasa yang muncul dalam peristiwa komunikasi merupakan hasil perpaduan antara maksud, pesan, atau makna komunikasi dengan situasi atau konteks yang melatarinya (Rusminto, 2015: 59).

Berdasarkan penjelasan diatas penulis menyimpulkan pragmatik adalah ilmu yang mempelajari bahasa dalam pemakaiannya serta makna yang dihasilkan oleh kalimat yang dapat diketahui dengan melihat konteks yang ada saat tuturan tersebut berlangsung.

3. Definisi Kesantunan

Dalam KBBI ketiga (1990) dijelaskan bahwa kesantunan adalah kehalusan dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya). Selain itu kesantunan (politiness), atau etiket adalah tata cara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan

(25)

disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati bersama oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut “tata krama”.

Berdasarkan pengertian tersebut, kesantunan dapat dilihat dari dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Ketika orang dikatakan santun, maka dalam diri seseorang itu tergambar nilai sopan santun atau nilai etiket yang berlaku secara baik di masyarakat tempat seseorang itu megambil bagian sebagai anggotanya. Ketika dia dikatakan santun, masyarakat memberikan nilai kepadanya, baik penilaian itu dilakukan secara seketika (mendadak) maupun secara konvensional (panjang, memakan waktu lama). Sudah barang tentu, penilaian dalam proses yang panjang ini lebih mengekalkan nilai yang diberikan kepadanya.

Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat, atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagia masyarakat, tempat, atau situasi lain. Ketika seseorang bertemu dengan teman karib, boleh saja dia menggunakan kata yang agak kasar dengan suara keras, tetapi hal itu tidak santun apabila ditujukan kepada tamu atau seseorang yang baru dikenal. Mengecap atau mengunyah makanan dengan mulut berbunyi kurang sopan kalau sedang makan dengan orang banyak di sebuah perjamuan, tetapi hal itu tidak begitu dikatakan kurang sopan apabila dilakukan di rumah.

Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang

(26)

lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya.

Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian (berbusana), cara berbuat (bertindak), dan cara bertutur (berbahasa).

Kesantunan merupakan kehalusan dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya). Kesantunan juga dapat diartikan sebagai cara berbahasa dengan tujuan mendekatkan jarak sosial antara para penutur dengan tujuan mendekatkan jarak sosial antara para penuturnya. Konsep kesantunan berkaitan dengan dua hal yaitu pada bahasa dan perilaku seseorang.

Kesantunan didalam aspek bahasa dapat dilihat pada pilihan kata, nada, intonasi , dan struktur kalimatnya. Pada tingkah laku, kesantunan dapat dilihat pada ekspresi, sikap, dan gerak-gerik tubuh lainnya. Egoisme, dan keinginan untuk menonjolkan diri sendiri harus dihindari dalam kesantunan. Sesungguhnya, menghormati oranglain merupakan suatu bentuk penghormatan diri sendiri. Kesantunan merupakan norma atau aturan perilaku yang ditetapkan, dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu yang dipengaruhi oleh tata cara, adat, ataupun kebiasaaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan dipengaruhi oleh adanya konteks serta peran yang terlibat dalam komunikasi itu sendiri. Konteks berkaitan dengan tempat, waktu, atau suasana yang melatar belakangi terjadinya komunikasi. Peran berkaitan dengan usia, kedudukan , atau status sosial dari penutur dan mitra tutur selama berlangsungnya proses komunikasi.

(27)

Kesantunan bersifat relatif didalam masyarakat. Ujaran tertentu bisa dikatakan santun didalam suatu kelompok masyarakat tertentu, akan tetapi di kelompok masyarakat lain bisa dikatakan tidak santun. Menurut Robert Sibarani (2004:20-21). Kesantunan merupakan perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik atau beretika. Kesantunan merupakan fenomena kultural, sehingga apa yang dianggap santun oleh suatu kultur mungkin tidak demikian halnya dengan kultur yang lain. Tujuan kesantunan, termasuk kesantunan berbahasa, adalah membuat suasana berinteraksi menyenangkan, tidak mengancam muka dan efektif.

Adapun terdapat dua konsep kesantunan berkaitan dengan aspek bahasa, yaitu kesantunan tampak pada pilihan kata, nada, intonasi, dan struktur kalimatnya. Aspek yang kedua terdapat pada tingkah laku, yaitu kesantunan dapat dilihat pada ekspresi, sikap, dan gerak-gerik tubuh lainnya. Dapat disimpulkan bahwa terdapat dua konsep kesantunan, yaitu berbahasa dan berperilaku.

Secara luas, kesantunan juga dapat diartikan sebagai upaya untuk mewujudkan, mempertahankan, serta menyelamatkan harga diri dan kehormatan mitra bicara selama berlangsungnya suatu percakapan dalam suatu masyarakat. Di dalam kesantunan ada pengorbanan untuk mau menghargai dan menghormati mitra bicara. Kalau tidak mau untuk menghormati dan menghargai mitra bicara, maka kesantunan tidak akan berjalan dengan bagaimana seharusnya.

Kesantunan memiliki unsur yaitu etika atau kaidah berbahasa, norma sosial, dan sistem budaya. Kesantunan juga dipengaruhi oleh tata cara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Selain itu, kesantunan juga

(28)

dipengaruhi oleh konteks yang berkaitan dengan tempat, suasana, waktu yang melatarbelakangi terjadinya komunikasi, peran berkaitan dengan usia, kedudukan, atau status sosial dari penutur dan mitra tutur selama berlangsungnya proses komunikasi. Setiap negara memiliki kesantunan yang berbeda-beda. Seperti contohnya masyarakat di Amerika Serikat selalu lugas dan langsung pada saat menolak. Dan ada juga beberapa negara yang memiliki kesantunan bahwa kalau ingin menolak, harus secara halus. Tidak lugas dan langsung menolak.

Dari beberapa defenisi diatas, dapat penulis simpulkan bahwa kesantunan adalah bentuk kebiasaan etika baik dalam berbahasa maupun berperilaku yang mengandung nilai kesopanan.

4. Kesantunan Berbahasa

Salah satu standar dalam bertingkah laku dalam norma sosial adalah berbicara santun. Di dalam agama Islam, Alquran menampilkan enam prinsip yang dapat dijadikan pegangan saat berbicara. Enam prinsip tersebut adalah, pertama, qaulan sadida, yaitu berbicara dengan benar; kedua, gaulan ma'rufa, yaitu berbicara menggunakan bahasa yang menyedapkan hati, tidak menyinggung atau menyakiti perasaan, sesuai dengan kriteria kebenaran, jujur, tidak mengandung kebohongan, dan tidak berpura-pura; ketiga, qaulan baligha, (Q.S. 4 An-Nisa: 8,9,63), yaitu berbicara efektif dengan menggunakan ungkapan yang mengena, mencapai sasaran dan tujuan, atau membekas, bicaranya jelas, terang, tepat; keempat, qaulan maysura, (Q.S.17 Al-Isra: 28), yaitu berbicara dengan baik dan pantas, agar orang tidak kecewa; Kelima, qaulan karima, (Q.S. 17 Al-Isra: 23), yaitu berbicara dengan kata-kata mulia yang menyiratkan kata yang isi,

(29)

pesan, cara serta tujuannya selalu baik, terpuji, penuh hormat, mencerminkan akhlak terpuji dan mulia; keenam, qaulan layyina, (Q.S. 20 Thaha: 44), yaitu berbicara dengan lembut.

Enam prinsip yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran diatas merupakan acuan untuk mengetahui bagaimana seharusnyakita berkomunikasi. Hal ini, menurut Sauri sejalan dengan isyaratNabi Muhammad SAW bahwa "Muslim yang baik adalah jikaMuslim lain merasa tenteram dari perkataan dan perbuatannya.

Kesantunan berbahasa juga merupakan salah satu nilai budaya yang sangat dijunjung tinggi di dalam masyarakat Indonesia. Nilai kesantunan bukan sesuatu yang dibawa lahir tetapi merupakan hasil proses sosialisasi dan konstruksi sosial budaya dan sejarah suatu bangsa. Kita tidak mungkin membayangkan sebuah masyarakat manusia yang tidak mendaya gunakan strategi berkomunikasi untuk menghindari friksi interpersonal, menghindari konflik, meminimalkan pertentangan, serta untuk meningkatkan rasa nyaman dan saling pengertian. Selain itu, bentuk kesantunan tidak bersifat universal tetapi dibentuk oleh latar sosial sehingga bentuk dan latar tidak boleh dipisahkan.

Kesantunan dalam berbahasa merupakan bidang baru dalam kajian kebahasaan, khususnya bahasa dalam peng-gunaan (languagein use), kesantunan (politeness) dalam ber-bahasa seyogyanya mendapatkan perhatian, baik oleh pakar atau linguis, maupun para pembelajar bahasa. Selain itu, penting juga bagi setiap orang untuk memahami kesantunan bahasa, karena manusia yang kodratnya

(30)

adalah “makhluk berbahasa “ senantiasa melakukan komunikasi verbal yang sudah sepatutnya beretika.

Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena didalam terdapat komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa. Menurut Rahardi (2005: 35) penelitian kesantunan mengkaji penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar belakang situasi sosial dan budaya yang mewadahinya.

Menurut Rahardi (2005: 35) penelitian kesantunan mengkaji penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar belakang situasi sosial dan budaya yang mewadahinya. Fraser (melalui Rahardi, 2005: 38—40) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat empat pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam bertutur:

a. Pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the

socialnorm view). Dalam pandangan ini, kesantunan dalam bertutur

ditentukan berdasarkan norma-norma sosial dan kultural yang ada dan berlaku di dalam masyarakat bahasa itu. Santun dalam bertutur ini disejajarkan dengan etiket berbahasa (language etiquette).

(31)

b. Pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (facesaving). Pandangan kesantunan sebagai maksim percakapan menganggap prinsip kesantunan (politeness

principle) hanyalah sebagai pelengkap prinsip kerja sama (cooperative principle).

c. Pandangan ini melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhipersyaratan terpenuhinya sebuah kontrak percakapan

(conversational contract). Jadi, bertindak santun itu sejajar dengan

bertutur yang penuh pertimbangan etiket berbahasa.

d. Pandangan kesantunan yang keempat berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik. Dalam pandangan ini, kesantunan dipandang sebagai sebuah indeks sosial (social indexing). Indeks sosial yang demikian terdapat dalam bentuk-bentuk referensi sosial (social reference), honorific (honorific), dan gaya bicara (style of speaking) (Rahardi, 2005: 40).

Menurut Chaer (2010:10) secara singkat dan umum ada tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan kita terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur kita.

Ketiga kaidah itu adalah (1) formalitas (formality), (2) ketidaktegasan (hesistancy), dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Jadi, menurut Chaer (2010: 11) dengan singkat dikatakan bahwa sebuah tuturan disebut

(32)

santun kalau ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang.

Kesantunan berbahasa dapat tercermin dalam tata cara berkomunikasi melalui tanda verbal atau tata cara berbahasa. Saat berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya yang berlaku di masyarakat, bukan hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, bahkan dapat dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, besar kepala, besar mulut, dan lain sebagainya.

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis menyimpulkan kesantunan berbahasa adalah bentuk tindakan yang dilakukan kepada mitra tutur secara lisan dengan memperhatikan tuturan yang mengandung nilai kesopanan.

1. Tindak Tutur

Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan. Tindak tutur memiliki bentuk yang bervariasi untuk menyatakan suatu tujuan. Misalnya menurut ketentuan hukum yang berlaku di negara ini, “Saya memerintahkan anda untuk meninggalkan gedung ini segera”. Tuturan tersebut juga dapat dinyatakan dengan tuturan “Mohon anda meninggalkan tempat ini sekarang juga” atau cukup dengan tuturan

(33)

“Keluar”. Ketiga contoh tuturan di atas dapat ditafsirkan sebagai perintah apabila konteksnya sesuai.

Austin (1962) menyebutkan bahwa pada dasarnya pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Pernyataan tersebut kemudian mendasari lahirnya teori tindak tutur. Yule (1996) mendefinisikan tindak tutur sebagai tindakan yang dilakukan melalui ujaran. Sedangkan Cohen (dalam Hornberger dan McKay (1996) mendefinisikan tindak tutur sebagai sebuah kesatuan fungsional dalam komunikasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa tindak tutur merupakan suatu ujaran yang mengandung tindakan sebagai suatu kesatuan fungsional dalam komunikasi yang mempertimbangkan aspek situasi tutur.

Tindak tutur dan peristiwa tutur sangat erat terkait. Keduanya merupakan dua gejala yang terdapat pada satu proses, yakni proses komunikasi. Peristiwa tutur merupakan peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur (inggris: speech act) yang terorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian, tindak tutur selalu berada dalam peristiwa tutur. Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial seperti disebut di atas, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Kalau dalam peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan peristiwanya, tetapi dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.

(34)

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat penulis simpulkan bahwa Tindak tutur dapat dikatakan sebagai suatu yang sebenarnya dilakukan ketika berbicara.

2. Tindak Tutur versi Austin

Teori tindak tutur muncul sebagai reaksi terhadap ‘descriptive fallacy’, yaitu pandangan bahwa kalimat deklaratif selalu digunakan untuk mendeskripsikan faka atau ‘state of affairs‘, yang harus dilakukan secara benar atau secara salah (Malmkjer, 2006: 560). Padahal, menurut Austin, banyak kalimat deklaratif yang tidak mendeskripsikan, melaporkan, atau menyatakan apapun, sehingga tidak bisa dinyatakan benar-salahnya. Ujaran dari kalimat tersebut adalah (bagian dari) kegiatan/tindakan. Misalnya, kalimat “Saya nikahkan … dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.” yang diucapkan oleh penghulu di sebuah acara pernikahan merupakan “the doing of some action”, dalam hal ini, merupakan tindakan penghulu dalam menikahkan pasangan pengantin, bukan sekedar perkataan belaka, atau “saying something” (hal. 560). Ada dua jenis ujaran, menurut Austin, yaitu:

a. Ujaran konstantif adalah ujaran yang tidak melakukan tindakan dan dapat diketahui salah-benarnya. Menurut Austin (1962), ujaran konstantif adalah jenis ujaran yang melukiskan suatu keadaan faktual, yang isinya boleh jadi merujuk ke suatu fakta atau kejadian historis yang benar-benar terjadi pada masa lalu.Ujaran konstantif memiliki konsekuensi untuk ditentukan benar atau salah berdasarkan hubungan faktual antara si pengujar dan fakta sesungguhnya. Jadi, dimensi pada ujaran konstatif adalah benar-salah.Contoh: Kamu terlihat bahagia.

(35)

b. Ujaran performatif adalah ucapan yang berimplikasi dengan tindakan si penutur sekalipun sulit diketahui salah-benarnya, tidak dapat ditentukan benar-salahnya berdasarkan faktanya karena ujaran ini lebih berhubungan dengan perilaku atau perbuatan si penutur. Ujaran seperti “Kamu dipecat!”, “Dengan ini Saudara saya nyatakan bersalah” merupakan contoh ujaran performatif. Dimensi pada ujaran performatif adalah senang-tidak senang (happy/felicitious-unhappy/infelicitious), yang ditentukan melalui empat jenis kondisi, yaitu: (1) adanya konvensi umum bahwa ujaran kata-kata tertentu oleh orang tertentu dalam situasi tertentu akan menghasilkan efek tertentu, (2) semua partisipan dalam prosedur (1) harus melaksanakan prosedur tersebut secara benar dan lengkap/sempurna, ((3) jika konvensinya adalah bahwa partisipan dalam prosedur tersebut memiliki pikiran, perasaan dan niat tertentu, maka partisipan berarti memiliki pikiran, perasaan dan nita tertentu tersebut, dan (4) jika konvensinya adalah setiap partisipan harus bersikap tertentu, berarti partisipan tersebut harus bersikap tertentu (sesuai konvensinya). Jika satu dari kondisi diatas tidak terpenuhi, berarti ujaran performatif tersebut tidak senang (unhappy).

Sumbangan terbesar Austin dalam teori tindak tutur adalah pembedaan tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi. Menurut Austin, setiap kali penutur berujar, dia melakukan tiga tindakan secara bersamaan, yaitu (a) tindak lokusi (locutionary acts), tindak ilokusi (illocutionary

(36)

andai si penutur berniat menguratakan sesuatu yang pasti secara langsung, tanpa keharusan bagi si penutur untuk melaksanakan isi tuturannya, niatannya disebut tindak tutur lokusi. Bila si penutur berniat mengutarakan sesuatu secara langsung, dengan menggunakan suatu daya yang khas, yang membuat penutur berntindak sesuai dengan apa yang dituturkannya, niatannya disebut tindak tutur ilokusi. Dalam pernyataan lain, tindak ilokusi adalah tindak dalam menyatakan sesuatu (performatif) yang berlawanan dnegan tindak menyatakan sesuatu (konstantif). Sementara itu, jika si penutur berniat menimbulkan respons atau efek tertentu kepada mitra tuturnya, niatannya disebut tindak tutur perlokusi. Bila tindak lokusi dan ilokusi lebih menekankan pada peranan tindakan si penutur, tindak perlokusi justru lebih menekankan pada bagaimana respons si mitra tutur.

Hal yang disebutkan terakhir ini, menurut Austin, berkaitan dengan fungsi bahasa sebagai pemengaruh pikiran dan perasaan manusia. Kendati demikian, ketiga tindak tutur tersebut merupakan satu kesatuan yang koheren di dalam keseluruhan proses tindak pengungkapan bahasa sehingga seharusnya mencerminkan prinsip adanya satu kata dan tindakan atau perbuatan.

a. Tindak lokusi

Adalah melakukan tindakan untuk mengatakan sesuatu. Tindakan lokusi mengandung makna literal. Contoh ‘Saya lapar’, seseorang mengartikan ‘Saya’ sebagai orang pertama tunggal (si penutur), dan ‘lapar’

(37)

mengacu pada ‘perut kosong dan perlu diisi’, tanpa bermaksud untuk meminta makanan. Dengan kata lain, tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Dalam tindak lokusi, Austin membagi tiga subjenis, yaitu:

1) Tindak fonik (phonic), yaitu dikeluarkannya bunyi atau phones. 2) Tindak fatik (phatic) yaitu adanya phemes, bunyi-bunyi tersebut

memiliki kosakata dan mengikuti aturan tata bahasa tertentu (phemes).

3) Tindak retik (rhetic), yaitu adanyamakna dan referensi

(rhemes)Semua tindak tersebut dilakukan pada saat melakukan

tindak lokusi. Malmkjer (2006) menyatakan bahwa setiap penutur melakukan tindak lokusi, dia juga melakukan tindak ilokusi, misalnya menyatakan, berjanji, mengingatkan, dan sebagainya.

b. Tindak ilokusi

Adalah melakukan suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu. Pada tindak tutur ilokusi, penutur menyatakan sesuatu dengan menggunakan suatu daya yang khas, yang membuat si penutur bertindak sesuai dengan apa yang dituturkanya. Tindakan ini mengandung makna yang berhubungan dengan fungsi sosial. Pada kalimat “It is hot here”, makna ilokusinya mungkin permintaan (request) agar membuka jendela lebar-lebar, atau bila kalimat tersebut diulang-ulang, mungkin mengisyaratkan keluhan (complaint). Contoh lain: “ Sudah hampir pukul tujuh.” Kalimat di atas bila

(38)

dituturkan oleh seorang suami kepada istrinya di pagi hari, selain memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan yaitu mengingatkan si istri bahwa si suami harus segera berangkat ke kantor, jadi minta disediakan sarapan. Oleh karena itu, si istri akan menjawab mungkin seperti kalimat berikut, “Ya Pak! Sebentar lagi sarapan siap.”

Austin membagi tindak ilokusi kedalam lima subjenis:

1) verdiktif (verdictives), tindak tutur yang ditandai oleh adanya keputusan yang bertalian dengan benar-salah, misalnya (perhatikan kata yang bergaris bawah), “Hamdan dituduh menjadi dalang unjuk rasa”.

2) Eksersitif (exercitives), tindak tutur yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak, atau pengaruh, misalnya “saya meminta Anda untuk datang ke kantor pagi-pagi,” ujar Zacky kepada sekretarisnya;

3) Komisif (commissives), tindak tutur yang ditandai oleh adanya perjanjian atau perbuatan yang menyebabkan si penutur melakukan sesuatu, misalnya “Universitas Nasional menandatangani kerja sama dengan University Malaya dalam penerbitan jurnal ilmiah,” ucap Lina di muka rapat pimpinan. 4) Behavitif (behavitives), tindak tutur yang mencerminkan

kepedulian sosial atau rasa simpati, misalnya “Pemerintah Singapura ikut prihatin terhadap TKI Indonesia yang mengalami penyiksaan di Arab Saudi”, dan

(39)

5) Ekspositif (expositives), tindak tutur yang digunakan dalam menyederhanakan pengertian atau definisi, misalnya “bail out” itu ibarat seseorang yang utang-nya kepada seseorang dibayari oleh orang lain yang tidak dikenalrnya.”

c. Tindak perlokusi

Adalah melakukan suatu tindakan dengan mengatakan sesuatu. Tindak perlokusi menghasilkan efek atau hasil. yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar, sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat itu. Tanggapan tersebut tidak hanya berbentuk kata-kata, tetapi juga berbentuk tindakan atau perbuatan. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Contoh: ‘Saya lapar’, yang dituturkan oleh si penutur menimbulkan efek kepada pendengar, yaitu dengan reaksi memberikan atau menawarkan makanan kepada penutur. Pada kalimat “It is hot here”, berdasarkan konteks tertentu (udara panas, berada dalam ruangan yang jendela dan pintu tertutup semua, misalnya), maka hasil yang akan diperoleh adalah jendela akan dibuka lebar-lebar atau tidak dihiraukan sama sekali.

3. Tindak Tutur Versi Searle

Searle (dalam Rahardi, 2005: 35-36) menyatakan bahwa dalam praktiknya terdapat tiga macam tindak tutur antara lain:

a. tindak lokusioner, b. tindak ilokusioner, c. tindak perlokusi.

(40)

Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Kalimat ini dapat disebut sebagai the act of saying something. Dalam lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Jadi, tuturan “tanganku gatal” misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan memberitahukan si mitra tutur bahwa pada saat dimunculkannya tuturan itu tangan penutur sedang dalam keadaan gatal. Sedangkan menurut Malmkjer (2005), jika Austin membagi tiga tindak tutur, Searle membaginya menjadi 4 tindak tutur. Dalam tindak lokusioner khususnya, Austin membaginya menjadi tiga, sedangkan Searle membaginya menjadi dua, yaitu:

a. Tindak ujar (utterance act), yaitu mengujarkan kata (morfem kalimat). Tindak tutur ini mencakup dua tindak tutur lokusi dari Austin.

b. Tindak preposisi (prepositional act), yaitu merujuk dan memprediksi. Tindak ini merupakan tindak lokusi ketiga pada Austin. Tindak tutur jenis inilah yang kemudian akan diekspresikan melalui tindak ilokusi dan perlokusi.

c. Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the

act of doing something. Tuturan “tanganku gatal” diucapkan penutur

bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya tuturan tersebut, rasa gatal sedang bersarang pada tangan penutur, namun lebih dari itu bahwa penutur

(41)

menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa gatal pada tangan penutur, misalnya mitra tutur mengambil balsem.

d. Tindakan perlokusi adalah tindak menumbuh pengaruh (effect) kepada mitra tutur. Tindak tutur ini disebut dengan the act of affecting

someone. Tuturan “tanganku gatal”, misalnya dapat digunakan untuk

menumbuhkan pengaruh (effect) rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul, misalnya, karena si penutur itu berprofesi sebagai seseorang tukang pukul yang pada kesehariannya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain.

Selanjutnya, Searle (dalam Rahardi, 2005:36) menggolongkan tindak tutur ilokusi itu ke dalam lima macam bentuk tuturan yang masing-masing memiliki fungsi komunikatif. Kelima macam bentuk tuturan yang menunjukkan fungsi itu dapat dirangkum sebagai berikut:

a. Asertif (Assertives) yakni bentuk tuturan yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan (stating), menyarankan (suggesting), menbual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming).

b. Direktif (Directives) yakni bentuk tuturan yang dimaksudkan penuturannya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan, misalnya, memesan (orderin), memerintah (commanding), memohon (requesting), menasehati (advising), dan merekomendasi (recommending).

(42)

c. Ekspresif (Expressives)adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thanking), memberi selamat (congratulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan (blambing), memuji (praising), berbelasungkawa (condoling).

d. Komisif (Commissives)yakni bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promising), bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering)

e. Deklarasi (Declarations)Yaitu bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya berpasrah (resigning), memecat (dismissing), menbaptis (chistening), memberi nama (naming), mengangkat (appointing), mengucilkan (excommicating), dan menghukum (sentencing).

Teori tindak tutur Austin merupakan teori tindak tutur yang berdasarkan pembicara, dimana focus perhatiannya adalah pada bagaimana penutur mewujudkan maksude (intention) dalam berbicara; sebaliknya, Searle melihat tindak tutur berdasarkan pendengar, yaitu bagaimana pendengar merespons ujaran tersebut, yaitu bagaimana ia mengira-ngira tujuan penggunaan penutur menggunakan ujaran tertentu (Wadhaugh, 2006). Jadi, Searle berusaha melihat bagaimana nilai ilokusi itu ditangkap dan dipahami pendengar. Dalam membuat janji misalnya, ada lima aturan yang mengaturnya, yaitu propositional content

rule, bahwa kata-kata tersebut harus memprediksi future action penutur, preparatory rules sebagai aturan kedua dan ketiga mengisyaratkan bahwa baik

(43)

orang yang berjanji dan diberi janji harus menginginkan janji tersebut ditepati; selain itu orang yang berjanji harus percaya bahwa dia bisa melakukan hal yang dijanjikan. Aturan keempat, sincerity rule, mengharuskan pembuat janji berniat melakukan janji tersebut. Aturan kelima, essential rule menyatakan bahwa dengan pengucapan kata-kata tersebut berarti orang yang berjanji wajib/harus melakukan tindakan yang dijanjikannya.

2. Prinsip kesantunan

Terdapat sejumlah pakar yang mengemukakan mengenai teori kesantunan berbahasa, di antaranya Leech (1983), Brown dan Levinson (1978), dan Fraser (1978). Namun teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah toeri yang dipaparkan oleh Geoffrey Leech.

Leech dalam Chaer (2010: 56) mengemukakan teori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan (politeness principles), yang dijabarkan menjadi maksim (ketentuan). Keenam maksim itu adalah maksim (1) kearifan (tact); (2) kedermawanan (Generosity); (3) pujian (approbation); (4) kerendahan hati(modesty); (5) kesepakatan (agreement); (6) simpati (sympathy) (Leech dalam Rusminto, 2012: 111—118).

a. Maksim Kearifan (tact)

Maksim kearifan mengandung prinsip sebagai berikut : 1. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin; 2. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.

(44)

Maksim kearifan ini mengacu pada mitra tutur (Rusminto, 2012: 112). Maksim ini menggariskan bahwa setiap peserta pertuturan harus meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain (Chaer, 2010: 56). Jadi, ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, hendaknya kita berbicara yang memberi keuntungan kepada mitra tutur, bukan memberikan kerugian kepadamitra tutur.

Dalam kaitannya dengan ini Leech dalam Rusminto (2012: 113) mengemukakan bahwa ilokusi tidak langsung cenderung lebih sopan daripada ilokusi yang bersifat langsung. Hal ini didasari dua alasan sebagai berikut yaitu.

1) Ilokusi tidak langsung menambah derajat kemanasukaan, dan

2) Ilokusi tidak langsung memiliki daya yang semakin kecil dan semakintentatif.

Contoh :

(a) Saya ingin Anda mengangkat telepon itu. (b) Maukah Anda mengangkat telepon itu? (c) Dapatkah Anda mengangkat telepon itu?

(d) Apakah Anda keberatan mengangkat telepon itu?

Contoh-contoh (1) sampai dengan (4) memperlihatkan bahwa semakin tidak langsung ilokusi disampaikan semakin tinggi derajat kesopanan yang tercipta, demikian pula yang terjadi sebaliknya.

(45)

b. Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Maksim kedermawanan mengandung prinsip sebagai berikut. 1. Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin,

2. Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin (Rusminto, 2012: 111). Maksim kedermawanan ini menggunakan skala pragmatik yang sama dengan maksim kearifan, yakni skala untung rugi, karena maksim kedermawanan mengacu pada diri penutur. Hal inilah yang menyebabkan maksim kedermawanan berbeda dengan maksim kearifan, sebab dalam maksim kearifan tidak tersirat adanya unsur kerugian pada diri penutur, sedangkan dalam maksimkedermawanan tersirat adanya kerugian pada diri penutur meskipun sedikit.

Untuk menjelaskan maksim ini, Leech dalam Rusminto (2012: 114) menyajikan contoh seperti pada kalimat-kalimat berikut.

1. Kamu dapat meminjamkan mobilmu kepadaku. 2. Aku dapat meminjamkan mobilku kepadamu. 3. Kamu harus datang dan makan siang di rumah kami. 4. Kami harus datang dan makan siang di rumahmu.

Kalimat (2) dan kalimat (3) dianggap sopan karena dua hal tersebut menyiratkan keuntungan bagi mitra tutur dan kerugian bagi penuturnya. Sedangkan kalimat (1) dan (4) sebaliknya. Dengan demikian, analisis terhadap keempat kalimat tersebut tidak cukup hanya dijelaskan dengan maksim kearifan, sebab dalam maksim kearifan tidak tersirat adanya unsur kerugian pada diri penutur, seperti pada contoh berikut.

(46)

“Kamu dapat mengambil formulir pendaftaran lomba itu di Gedung Rektorat Unila”. Nasihat ini memberikan keuntungan bagi mitra tutur tetapi tidak memberikan kerugian kepada penutur.

c. Maksim Pujian (Approbation Maxim)

Maksim Pujian berbunyi “kecamlah mitra tutur sesedikit mungkin; pujilah mitra tutur sebanyak mungkin” (Rusminto, 2012: 115). Oleh sebab itu, penutursebaiknya tidak mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan untuk orang lain khususnya mitra tutur.

Berikut ini contoh untuk memperjelas uraian mengenai maksim pujian ini.

1. Motormu bagus sekali. 2. Wajahnya cantik sekali. 3. Badanmu kucal sekali.

Contoh (1) dan (2) merupakan wujud tuturan yang menaati maksim pujian. Pada tuturan (1) pujian ditujukan kepada mitra tutur, sedangkan pada tuturan (2) ditujukan kepada orang lain. Namun tuturan (3) merupakan contoh yang melanggar maksim pujian karena sama sekali tidak memuji.

d. Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim) Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut. 1. Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin;

(47)

Memuji diri sendiri merupakan pelanggaran maksim ini. Pada maksim kerendahan hati, penutur harus mengecam dirinya sendiri, karena dalam percakapan hal tersebut merupakan tindakan yang sopan, semakin penutur mengecam dirinya maka semakin sopanlah tuturan tersebut. Lebih dari itu, sepakat dan mengiyakan pujian orang lain terhadap diri sendiri juga merupakan pelanggaran pada maksim kerendahan hati ini (Rusminto, 2012: 116).

Berikut ini contoh untuk memperjelas uraian di atas mengenai maksim kerendahan hati.

1. Jelek sekali saya. 2. Pintar sekali saya. 3. Jelek sekali Anda. 4. Pintar sekali Anda.

5. Ambillah sedikit makanan ini sebagai tanda terima kasihku. 6. Ambillah banyak makanan ini sebagai tanda terima kasihku.

(1) A : Mereka ramah sekali kepada saya. B : Ya, Benar.

(2) A : Anda ramah sekali kepada saya. B : Ya, memang.

Contoh (1) memperlihatkan bahwa mengecam diri sendiri merupakan tindakan yang sopan, sebaliknya memuji diri sendiri pada contoh (2) merupakan pelanggaran terhadap maksim kerendahan hati. Demikian juga sebaliknya pada contoh (3) dan (4). Sementara itu, mengecilkan arti kebaikan

(48)

hati diri sendiri seperti pada contoh (5) merupakan tindakan yang sopan; sebaliknya membesarbesarkan kebaikan hati diri sendiri seperti pada contoh (6) merupakan pelanggaran terhadap maksim kerendahan hati. Demikian juga yang terjadi pada contoh (7) dan (8). Menyetujui pujian terhadap orang lain merupakan tindakan yang sopan, sebaliknya sependapat dengan pujian yang ditujukan kepada diri sendiri merupakan pelanggaran terhadap maksim kerendahan hati (Rusminto, 2012: 116).

e. Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim) Maksim ini mengandung prinsip sebagai berikut.

1. Setiap penutur dan lawan tutur memaksimalkan kesetujuan di antara mereka;

2. Meminimalkan ketidaksetujuan di antara mereka (Leech dalam Chaer, 2010: 59)

Maksim kesepakatan ini berdiri sendiri dan menggunakan skala kesepakatannya sebagai dasar acuannya. Dalam sebuah percakapan diusahakan untuk lebih banyak kesepakatan daripada ketidaksepakatan. Sebab apabila dalam tuturan tidak sepakat maka itu merupakan pelanggaran terhadap maksim kesepakatan.

Berikut ini contoh untuk memperjelas uraian di atas. (1) A : Wanita itu cantik sekali, bukan?

B : Tidak, wanita itu tidak cantik sama sekali. (2) A : Sebaiknya kita tunda terlebih dahulu rapat ini.

(49)

(3) A : Indah sekali bukan taman ini?

B : Iya, tetapi masih kurang dalam perawatannya.

Contoh (1) memperlihatkan ketidaksepakatan sehingga itu melanggar maksim kesepakatan, sedangkan pada contoh (2) sudah menaati maksim kesepakatan. Sementara itu, contoh (3) merupakan percakapan yang memperlihatkan ketidaksepakatan sebagian.

f. Maksim Simpati (Sympaty Maxim)

Sama halnya dengan maksim kesepakatan, maksim simpati tidak berpasangan dengan maksim lainnya. Maksim ini menggunakan skala simpati sebagai dasar acuannya dan sasaran pada maksim simpati ini adalah penutur dan mitra tutur.

Maksim Simpati berbunyi “Maksimalkan rasa simpati; minimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya” (Chaer, 2010: 61). Bila lawan tutur memperolehkeberuntungan atau kebahagiaan penutur wajib memberikan ucapan selamat. Jika lawan tutur mendapat kesulitan atau musibah penutur sudah sepantasnya menyampaikan rasa duka atau bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian (Chaer,2010: 61).

Berikut ini dihadirkan contoh untuk memperjelas uraian di atas. (1) A: Novelku yang kedua sudah terbit.

B: Selamat ya kamu memang hebat.

(2) A: Aku tidak terpilih menjadi Gubernur FKIP padahal aku sudah kampanye sungguh-sungguh.

(50)

B: Oh, aku ikut prihatin, tetapi bisa dicoba lagi Pemira tahun mendatang.

Bandingkan dengan tuturan (3) dan (4) di bawah ini yang melanggar maksim simpati.

(3) A: Novelku yang kedua sudah terbit.

B: Belum apa-apa, penulis lainnya bahkan sudah puluhan. (4) A: Aku tidak terpilih menjadi Gubernur FKIP padahal aku sudah

kampanye sungguh-sungguh.

B: Wah, selamat ya! Kamu memang selalu bersungguh-sungguh setiap pekerjaan apapun.

(51)

B. Kerangka Pikir

Berdasarkan permasalahan di atas, penelitian ini termasuk kajian pragmatik. Pragmatik adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan antara konteks luar bahasa dan maksud tuturan. Peneliti menfokuskan pada dua bidang yaitu tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin (1962) dan prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech (1993). Secara umum ada tiga macam tindak tutur dalam penggunaan bahasa, yaitu (1) lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung dalam kata, frasa, dan kalimat itu, (2) tindak tutur ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu, (3) tindak tutur perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh kepada mitra tutur. Sedangkan prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech ada enam yaitu maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim permufakatan, dan maksim kesimpatian. Prinsip Leech digunakan sebagai alat untuk menunjukan kesantunan percakapan pada data penelitian ini. Untuk memperjelas kerangka pikir dalam penelitian ini akan ditampilkan dalam bentuk gambar. Berikut disajikan bagan kerangka pikir:

(52)

Bagan Kerangka Pikir

Tuturan Interaksi verbal di lingkungan terminal Malengkeri Kota Makassar

PRAGMATIK Kesantunan Kesantunan Berbahasa Tindak Tutur Prinsip Kesantunan

-

Lokusi

-

Ilokusi

-

Perlokusi MaksimKebijaksanaan MaksimKedermawanan MaksimPenghargaan MaksimKerendahanHati MaksimPemufakatan MaksimKesimpatian Analisis Temuan

(53)

39

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif menggunakan data berupa kata-kata yang memfokuskan pada penunjukan makna, mendeskripsikan suatu fenomena yang dikaji oleh peneliti. Penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif, kemudian data digali hingga mendapatkan hipotesis yang konsisten. Dalam hal ini peneliti mendeskripsikan bentuk-bentuk penggunaan prinsip kesantunan dan jenis tindak tutur pada interaksi sosial oleh sopir, penumpang, dan masyarakat lainnya di lingkungan terminal Mallengkeri Kota Makassar.

B. Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini adalah tindak tutur yang dikemukakan oleh Austin (1962) dan prinsip kesantunan yang dikemukakan oleh Leech (1993). Dalam penggunaan bahasa, ada tiga macam tindak tutur yaitu, lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Sedangkan prinsip kesantunan yang menurut leech ada enam yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim pemufakatan, dan maksim kesimpatian.

C. Defenisi Istilah

Berdasarkan Rumusan masalah penelitian, maka uraian defenisi istilah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kesantunan : adalah perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik atau beretika.

(54)

2. Kesantunan berbahasa : adalah sikap berbahasa yang mengikuti norma-norma budaya pada suatu tempat sehingga tejadi keharmonisan dalam tindak komunikasi verbal.

3. Tindak tutur : adalah entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik.

4. Prinsip kesantunan : adalah aturan dalam komunikasi verbal yang mengatur penutur dan petutur untuk menumbuhkan sopan santun dalam percakapan.

D. Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah peristiwa tutur berbahasa yang terjadi dalam interaksi sosial di lingkungan terminal Malengkeri Kota Makassar. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah bentuk tindak tutur, penggunaan prinsip pada interaksi sosial di lingkungan terminal Mallengkeri Kota Makassar dan persepsi penyimak bahasa yang berasal dari luar lingkungan terminal Mallengkeri Kota makassar.

E. Teknik Pengumpulan Data

Beberapa langkah yang ditempuh untuk mengumpulkan data penelitian yaitu menggunakan teknik observasi, catat, rekam dan wawancara.

1. Teknik Observasi

Observasi biasa diartikan sebagai pengamatan secara sistematik terhadap gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian dan perhatian terfokus terhadap gejala, kejadian, sesuatu dengan maksud menafsirkannya,

(55)

mengungkapkan faktor penyebabnya dan menemukan kaidah-kaidah yang mengaturnya (Emzir, 2010:38).Pada teknik observasi ini, penulis akan mengamati kesantunan berbahasa Indonesia di lingkungan terminal Mallengkeri Kota Makassar.

2. Teknik Catat

Teknik catat adalah teknik yang digunakan penulis untuk mencatat data-data yang dapat mendukung penelitian telaah kesantunan berbahasa Indonesia di lingungan terminal Mallengkeri Kota Makassar.

3. Teknik Record/Rekam

Teknik record atau teknik rekam adalah teknik yang digunakan penulis untuk merekam data berupa percakapan lisan masyarakat di lingkungan terminal Mallengkeri Kota Makassar. Pada teknik ini penulis akan merekam setiap interaksi lisan yang dilakukan oleh masyarakat terminal guna mendukung penelitian telaah kesantunan berbahasa Indonesia di lingkungan terminal Mallengkeri Kota Makassar.

4. Teknik Wawancara

Wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti untuk dapat mengetahui secara langsung persepsi penyimak bahasa bahasa yang berasal dari luar lingkungan terminal tehadap kesantunan berbahasa di lingkungan terminal Mallengkeri Kota Makassar.

(56)

F. Teknik Analisis Data

Teknik yang digunakan penulis dalam menganalisis data yang diperoleh yaitu pertama dengan teknik rekam, dengan merekam setiap percakapan masyarakat terminal akan memudahkan penulis untuk mengambil data yang dibutuhkan. Yang kedua dengan teknik catat, dengan mencatat fenomena kebahasaan yang diperoleh dari hasil observasi dan rekam , lalu dari hasil transkripsi telah diperoleh data tulis yang selanjutnya dapat diidentifikasi. Proses identifikasi dari setiap data yang dilakukan untuk memisahkan kalimat mana yang dibutuhkan dan tidak dibutuhkan lagi. Setelah selesai melakukan dengan teknik catat, selanjutnya adalah dengan penyalinan ke dalam kartu data dan menganalisisnya, sehingga akan diperoleh data yang relevan.

1. Mentranskrip Data Hasil Observasi

Setelah penulis memperoleh data primer berupa tuturan dari masyarakat, oleh karena itu selanjutnya mentranskripsi, memindahkan data tersebut dengan cara menulis kembali semua hasil tuturan yang diujarkan oleh masyarakat terminal.

2. Mengidentifikasi dan Mengklarifikasi Data

Berdasarkan hasil transkripsi diperoleh data tertulis yang selanjutnya siap untuk diidentifikasi. Proses identifikasi berarti mengenali/menandai data untuk memisahkan kalimat mana yang dibutuhkan untuk tahap selanjutnya, dan mana yang tidak dibutuhkan. 3. Menyalin kedalam Kartu Data

(57)

Setelah data yang diperlukan sudah terkumpul, oleh karena itu selanjutnya adalah penyalinan tiap tuturan yang telah diidentifikasi ke dalam kartu data. Hal itu dimaksudkan agar mudah untuk mengelompokkan tuturan tersebut menurut karakteristik tertentu.

4. Menganalisis Kartu Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan prinsip kesantunan menurut Leech untuk memperoleh data tentang kesantunan berbahasa Indonesia di lingkungan terminal Mallengkeri Kota Makassar. 5. Menyimpulkan

Untuk tahap akhir, hasil analisis akan menghasilkan simpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.

Gambar

Tabel 1 : Rekapitulasi Data percakapan  Interaksi sosial di
Tabel 1.  menunjukkan hasil penelitian  wujud  tindak tutur dalam interaksi  sosial  di  lingkungan  terminal  Mallengkeri  kota  Makassar
Tabel 2. menunjukkan hasil penelitian penggunaan prinsip kesantunan  dalam  interaksi  sosial  di  lingkungan  masyarakat  terminal  Mallengkeri

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan karakteristik rasio Poisson, kekuatan geser rekat, elastisitas longitudinal dan kekuatan tekan berdasarkan arah longitudinal dan

Selain kotoran ternak, bahan untuk pembuatan bokashi mudah diperoleh yaitu jerami sisa pakan ternak yang terbuang dalam kandang, serasa atau daun – daun kering dipekarangan

Kegiatan magang kedua belah pihak saling mendapatkan keuntungan, kedua belah pihak tersebut disini yakni pemagang dan juga perusahaan, para peserta magang mendapat

Dari hasil wawancara dengan pemustaka yang peneliti dapatkan, kelengkapan/ kesesuaian koleksi di Perpustakaan Mahkamah Syar’iyah Aceh sudah sesuai dengan kebutuhan

Laporan yang disusun oleh penulis merupakan tindak lanjut setelah melewati tahap ujian komprehensif yang dilaksanakan selama 2 hari sejak hari Senin sampai Selasa, 22 - 23 April

Keberadaan produk dodol juga merupakan faktor pendukung untuk mewujudkan agroindustri rosela yang berkelanjutan karena bahan dasar yang digunakan untuk membuat

 mengetahui dan memahami teknik-teknik yang digunakan dalam menyelesaikan masalah OR..  Mahasiswa memahami contoh-contoh penggunaan teknik opti-masi dalam

Untuk sektor-sektor ekonomi yang terdapat dikawasan agropolitan, baik dalam hal penyerapan tenaga kerja, produksi dan PDRB, terutama di sektor pertanian di Kecamatan