• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang -1-

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang -1-"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I. PENDAHULUAN

Bab Pendahuluan terdiri dari subbab (I.1) Latar Belakang; (I.2) Pertanyaan Dan Tujuan Penelitian; (I.3) Manfaat Penelitian; (I.4) Keaslian Penelitian; (I.5) Batasan Penelitian; dan (I.6) Kerangka Pikir Penelitian.

I.1 Latar Belakang

Pada subbab Latar Belakang akan dipaparkan beberapa poin yaitu (I.1.1) arsitektur sebagai wujud kebudayaan; (I.1.2) desa Muslim di Provinsi Bali; dan (I.1.3) rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian.

I.1.1 Arsitektur sebagai wujud kebudayaan.

Arsitektur sebagai wujud kebudayaan fisik memiliki sifat yang paling konkret di antara dua wujud kebudayaan lainnya dikarenakan dapat diidentifikasi dengan panca indera (Koentjaraningrat, 2009: 151). Putra (2011) menyatakan, sebagai wujud fisik dari kebudayaan, arsitektur merupakan manifestasi dari gagasan, bahasa, dan perilaku masyarakat di suatu daerah yang membentuk ciri khas arsitekturnya sebagai representasi dari ciri khas kebudayaan masyarakat pembangunnya.

Arsitektur sebagai wujud kebudayaan fisik, menurut Rapoport (1969: 46), tidak hanya sekedar struktur visual dikarenakan dalam perspektif ini arsitektur merupakan manifestasi dari kebudayaan masyarakat pembangunnya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang beragam, di mana di balik wujud fisiknya memiliki sejumlah makna untuk dikomunikasikan (Rapoport, 1979 dalam Mulyati, 1995: 44). Begitu kompleksnya arsitektur sebagai wujud kebudayaan fisik menjadikannya tidak dapat dijelaskan hanya dari pendekatan fungsional dan teknikal (Habraken, 1988: 3).

Arsitektur sebagai wujud kebudayaan fisik tidak dapat lepas dari proses perkembangan kebudayaan manusia sebagai pihak pembangunnya dari wujudnya yang sederhana menjadi wujudnya yang semakin kompleks, dan tidak dapat lepas pula dari proses mempelajari kebudayaan lain yang disebut dengan akulturasi dan asimilasi. Terkait dengan hal tersebut, sebuah pernyataan menarik diutarakan oleh Putra (2011) bahwa suatu masyarakat yang telah mengalami perkembangan kebudayaan sampai pada tahap yang paling maju sekalipun tetap tidak akan dapat melupakan kebudayaan leluhurnya dan akan senantiasa mencari dan mempelajari nilai-nilai kebudayaan yang

(2)

telah diwarisi oleh leluhurnya. Oleh karenanya Habraken (1988, 3) menyatakan bahwa suatu masyarakat yang senantiasa ingin berhubungan dengan tradisi kebudayaannya haruslah dimulai dengan mempelajari arsitektur sebagai wujud kebudayaan fisik. Untuk mempelajari secara mendalam arsitektur sebagai wujud kebudayaan fisik masyarakat pembangunnya, menurut Habraken (1988: 3) hanya dapat diketahui melalui identitas kultural masyarakat pembangunnya. Perkataan Habraken tersebut dapat dipahami dalam hubungan saling mempengaruhi antara arsitektur sebagai wujud kebudayaan fisik dengan masyarakat sebagai pihak pembangunnya.

Tujuan mempelajari arsitektur sebagai wujud kebudayaan fisik melalui pendekatan identitas kultural masyarakat pembangunnnya, sebagaimana dikatakan oleh Habraken di atas, bukanlah dimaksudkan untuk nostalgia, namun sebagai upaya mempertahankan prinsip-prinsip tradisi arsitektur seiring dengan perkembangan kebudayaan masyarakat pembangunnya yang merupakan urgensi untuk dilakukannya kajian arsitektur dalam perspektif arsitektur sebagai wujud kebudayaan fisik masyarakat pembangunnya.

I.1.2 Desa Muslim di Provinsi Bali.

Keberadaan umat Islam di Provinsi Bali secara historis dapat diidentifikasi melalui keberadaan desa-desa Muslim tradisional1 yang memiliki keterkaitan dengan kedatangan umat Islam ke Pulau Bali dari sejumlah daerah di Indonesia, yaitu Pulau Jawa, Pulau Madura, Pulau Lombok, dan Pulau Sulawesi (Mulyono2, 2009). Patut disayangkan disebabkan hingga saat ini belum terdapat informasi yang valid mengenai jumlah desa Muslim di Provinsi Bali yang terus mengalami pertambahan kuantitas paska penetapan Provinsi Bali sebagai salah satu tujuan wisata pada tahun 1970 yang berdampak pada terjadinya arus migrasi pendatang warga Muslim yang kemudian membentuk komunitas Muslim baru atau bermukim di desa Muslim tradisional yang telah berabad-abad sebelumnya menjadi basis komunitas Muslim di Provinsi Bali. Banyaknya warga pendatang Muslim yang bermukim di desa Muslim tradisional menjadi aktor pendorong pesatnya perkembangan desa dan lamban laun membentuk desa Muslim baru sebagai pecahan desa Muslim tradisional disebabkan jumlah penduduk yang terus bertambah tidak dapat diwadahi dalam wilayah desa yang terbatas (Mashad, 2012).

1 Penggunaan frasa ‘desa Muslim tradisional’ pada penulisan laporan ini tidak merujuk secara kultural

namun merujuk secara historis untuk membedakannya dengan desa Muslim yang terbentuk pada masa yang lebih kemudian. Term tradisional merujuk pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia di mana puri-puri di Provinsi Bali masih memiliki kedaulatan yang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan Desa Muslim yang terbentuk pada masa tersebut.

2Mulyono adalah salah seorang tokoh masyarakat umat Islam di Provinsi Bali yang pernah menjabat sebagai

(3)

Dari penuturan Mashad (2012) berdasarkan perjalanannya mendatangi desa-desa Muslim di Provinsi Bali diketahui bahwa secara historis masyarakat desa Muslim tradisional memiliki kedekatan hubungan sosial dengan masyarakat Hindu-Bali yang hingga masa kekinian masih dapat ditemui dalam aspek penggunaan bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari, hubungan politis masyarakat desa Muslim dengan pihak puri yang merupakan pihak penguasa daerah tersebut, akulturasi antara kebudayaan umat Islam dengan kebudayaan umat Hindu-Bali, serta peranan masyarakat Hindu-Bali dalam pembangunan dan keberadaan desa Muslim tradisional di Provinsi Bali.

Mulyono (2009) menyatakan, sejak masuknya umat Islam ke Pulau Bali telah terjadi akulturasi kebudayaan antara umat Islam dengan kebudayaan umat Hindu-Bali, sehingga terbentuk kebudayaan yang memiliki ciri khas tersendiri, unik, dan menarik jika dibandingkan dengan kebudayaan komunitas Muslim di daerah lainnya di Indonesia. Dari aspek arsitekturnya, menurut Mulyono (2009), pembangunan masjid oleh umat Islam di Pulau Bali sejak abad ke 14 telah mengalami akulturasi dengan arsitektur tradisional Bali yang merupakan tradisi arsitektur masyarakat Hindu-Bali yang menjadikan masjid di Pulau Bali memiliki ciri khas yang berbeda dibandingkan dengan masjid di Pulau Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia. Pernyataan Mulyono tersebut menyiratkan bahwa arsitektur umat Islam di Provinsi Bali merupakan hasil dari akulturasi dengan tradisi arsitektur masyarakat Hindu-Bali sehingga membentuk ciri khas tersendiri, karenanya patut untuk diteliti lebih jauh.

Dikaitkan dengan proses perkembangan kebudayaan yang dialami masyarakat pembangunnya, wujud fisik desa Muslim tradisional di Provinsi Bali telah mengalami perkembangan yang pesat pada masa kekinian, khususnya desa-desa Muslim yang berada di kota-kota besar di Provinsi Bali seperti Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan. Mashad (2012) menyatakan bahwa hampir sebagian besar wujud fisik desa Muslim tradisional di Provinsi Bali telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sehingga tidak dapat lagi ditemui tradisi arsitektur masyarakatnya yang berasal dari masa kelampauan.

Mashad (2012) menjelaskan penyebab terjadinya perkembangan wujud fisik desa Muslim tradisional di Provinsi Bali dikarenakan masyarakatnya telah membuka diri dengan dunia luar disebabkan kebijakan pemerintah daerah setempat untuk mengembangkan daerahnya sebagai daerah tujuan pariwisata. Dengan terbukanya akses dengan dunia luar berdampak pada mata pencaharian masyarakat desa Muslim tradisional yang pada awalnya berprofesi sebagai petani dan peternak beralih profesi menjadi pedagang, pengerajin, dan penjual jasa yang menjadikan taraf perekonomian

(4)

masyarakatnya meningkat. Selain hal tersebut, terbukanya akses dengan dunia luar juga mendorong masyarakat desa Muslim tradisional di Provinsi Bali untuk mempelajari agama Islam di Pulau Jawa yang menjadikan pemahaman agama masyarakatnya lebih baik sehingga sedikit demi sedikit masyarakatnya mulai merubah tradisi arsitekturnya yang dirasa bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Di tengah pesatnya perkembangan kebudayaan yang melanda desa Muslim di Provinsi Bali, berdasarkan tulisan dan penuturan Mashad (2012), masih terdapat desa-desa Muslim di Provinsi Bali yang mengalami perkembangan kebudayaan yang lebih lambat yaitu desa-desa Muslim yang berada di daerah pedalaman dikarenakan masyarakatnya masih mengalami keterbatasan akses dengan dunia luar yang mengakibatkan lambannya perkembangan kehidupan perekonomian dan keagamaan masyarakatnya. Berdasarkan pernyataan Mashad tersebut, kemungkinan besar di desa-desa Muslim di Provinsi Bali yang berada di daerah pedalaman masih dapat diidentifikasi tradisi arsitekturnya yang berasal dari masa kelampauan.

Dari tulisan Mashad (2012) dapat diidentifikasi desa-desa Muslim di Provinsi Bali yang berada di daerah pedalaman mencakup Desa Muslim Soko di Kabupaten Tabanan, Desa Muslim Toya Pakeh di Pulau Nusa Penida, dan Desa Muslim Kutuh di Kabupaten Bangli. Di antara ketiga desa Muslim tersebut yang dikategorikan ke dalam desa Muslim tradisional hanya Desa Muslim Soko di Kabupaten Tabanan yang diperkirakan keberadaannya mulai awal atau pertengahan abad ke-18 jika merujuk pada keberadaan Desa Muslim Serangan di Kota Denpasar yang terbentuk sejak pertengahan abad ke-17. Sedangkan keberadaan Desa Muslim Toya Pakeh dan Desa Muslim Kutuh baru terbentuk pada awal dan pertengahan abad ke-20, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai desa Muslim tradisional di Provinsi Bali.

Dari pemaparan di atas dipandang penting dilakukannya kajian arsitektur permukiman desa Muslim tradisional di Provinsi Bali yang berada di daerah pedalaman dengan dasar pertimbangan desa Muslim tradisional memiliki keterkaitan historis dengan masa-masa awal masuknya umat Islam ke Provinsi Bali dan memiliki usia yang lebih tua sehingga masyarakatnya mengalami masa akulturasi kebudayaan yang lebih panjang dengan kebudayaan masyarakat Hindu-Bali. Jika tidak segera dilakukan kajian mengenai hal tersebut dikhawatirkan seiring waktu, desa Muslim tradisional di daerah pedalaman di Provinsi Bali akan terus mengalami perkembangan yang menyebabkan tidak dapat lagi diidentifikasi tradisi arsitektur masyarakatnya yang berasal dari masa kelampauan, sehingga tidak dapat diketahui hasil akulturasi antara tradisi arsitektur umat Islam tradisional di Provinsi Bali dengan arsitektur tradisional Bali setempat yang membentuk

(5)

ciri khas tersendiri, unik, dan menarik yang menjadikannya berbeda dengan arsitektur umat Islam di daerah lainnya di Indonesia, sebagaimana pernyataan Mulyono (2009). I.1.3 Rumusan masalah.

Arsitektur permukiman Desa Muslim Soko3 masih memperlihatkan tradisi wujud arsitektur dari masa nenek moyang masyarakatnya sehingga menarik untuk diteliti sebagai hasil akulturasi antara tradisi arsitektur masyarakat umat Islam tradisional dengan arsitektur tradisional Bali setempat. Arsitektur permukiman Desa Muslim Soko sebagai wujud kebudayaan fisik masyarakat pembangunnya jika dilihat dari perspektif Rapoport (1969: 46) tidaklah sekedar wujud fisik, namun di balik wujud fisiknya memiliki sejumlah makna yang ingin dikomunikasikan oleh masyarakat pembangunnya yang dibentuk oleh berbagai faktor yang beragam. Berdasarkan perspektif Rapoport tersebut untuk memahami secara mendalam arsitektur permukiman Desa Muslim Soko tidak hanya cukup sebatas deskripsi wujud dan prinsip wujud arsitekturnya, namun makna dibalik wujud fisiknya merupakan poin yang lebih penting yang dapat diketahui melalui faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya wujud dan prinsip wujud arsitektur permukiman Desa Muslim Soko.

Dengan diketahuinya wujud dan prinsip tatanan wujud arsitektur permukiman Desa Muslim Soko serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat memberikan manfaat dalam memperkaya khazanah keilmuan arsitektur mengenai arsitektur permukiman Desa Muslim tradisional di Provinsi Bali yang merupakan hasil akulturasi antara tradisi arsitektur umat Islam tradisional di Provinsi Bali sebagai masyarakat pendatang dengan tradisi arsitektur umat Hindu-Bali. Tidak hanya dalam aspek teoritis, penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Desa Muslim Soko sebagai dokumentasi tertulis mengenai tradisi arsitektur permukimannya. Pentingnya penelitian ini bagi masyarakat Desa Muslim Soko diungkapkan oleh Saudin (2012) kepada penyusun, bahwa jika tidak dilakukan dokumentasi secara tertulis mengenai tradisi arsitektur permukiman Desa Muslim Soko maka dipastikan tradisi arsitektur yang berasal dari masa nenek moyang masyarakatnya akan hilang seiring perkembangan kebudayaan yang melanda masyarakatnya pada masa kekinian dikarenakan hingga masa kini belum terdapat satu pun dokumentasi tertulis mengenai kebudayaan masyarakat Desa Muslim Soko, terkhusus tradisi arsitektur permukimannya.

3 Penggunaan frasa ‘Desa Muslim Soko’ tidak merujuk secara administratif namun merupakan penamaan

yang diberikan oleh masyarakat Desa Soko untuk membedakan wilayah Desa Soko berdasarkan entitas masyarakat yang menempatinya yaitu Desa Muslim Soko yang merupakan wilayah Desa Soko yang ditempati oleh masyarakat Muslim dan Desa Hindu Soko yang merupakan wilayah Desa Soko yang ditempati oleh masyarakat Hindu-Bali.

(6)

Apa yang dirasakan para sesepuh masyarakat Desa Muslim Soko selaras dengan pernyataan Putra (2011), bahwa ditengah perkembangan kebudayaan yang melanda masyarakat Desa Muslim Soko, mereka tetap tidak dapat melupakan kebudayaan nenek moyangnya dan akan senantiasa mencari dan mempelajari nilai-nilai kebudayaan yang telah diwarisi oleh nenek moyangnya; termasuk arsitektur yang merupakan kebudayaan fisik. Berdasarkan pernyataan Habraken (1988: 3), hasil penelitian ini dapat digunakan oleh masyarakat Desa Muslim Soko untuk mempelajari dan mempertahankan ciri khas arsitektur permukimannya di tengah perkembangan kebudayaan masyarakatnya yang akan terus berjalan seiring waktu.

I.2 Pertanyaan Dan Tujuan Penelitian

1.2.1 Pertanyaan penelitian.

Pertanyaan penelitian yang diangkat berdasarkan paparan rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut:

1. Seperti apakah wujud dan prinsip wujud arsitektur permukiman Desa Muslim Soko?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terbentuknya wujud dan prinsip wujud arsitektur permukiman Desa Muslim Soko?

1.2.2 Tujuan penelitian.

Sasaran yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses dan hasil akulturasi antara tradisi arsitektur umat Islam tradisional di Provinsi Bali dengan arsitektur tradisional Bali setempat, sehingga dapat diketahui identitas kultural masyarakatnya dan strategi-strategi adaptasi secara arsitektural yang dilakukan masyarakatnya untuk mendapatkan penerimaan serta pengakuan akan keberadaannya dan berbagai upaya masyarakatnya untuk mempertahankan identitas dan tradisi arsitekturnya di tengah lingkungan mayoritas masyarakat Hindu-Bali.

Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan penelitian ini didasarkan atas pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan wujud dan merumuskan prinsip wujud arsitektur permukiman Desa Muslim Soko.

2. Merumuskan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya wujud dan prinsip wujud arsitektur permukiman Desa Muslim Soko.

(7)

I.3 Manfaat Penelitian

Penelitian arsitektur permukiman Desa Muslim Soko dapat memberikan manfaat dari lingkup teoritis hingga lingkup praksis dibidang arsitektur. Dalam lingkup teoritis, hasil penelitian ini akan memperkaya khazanah keilmuan dibidang arsitektur terkait dengan arsitektur permukiman desa Muslim tradisional di Provinsi Bali sebagai hasil akulturasi antara tradisi arsitektur umat Islam tradisional di Provinsi Bali dengan arsitektur tradisional Bali setempat. Perlu ditekankan bahwa penelitian ini tidak bertujuan untuk menghasilkan temuan yang bersifat general yang dapat menjelaskan arsitektur permukiman di seluruh desa Muslim tradisional di Provinsi Bali dikarenakan setiap desa memiliki ciri khas arsitektur yang berbeda yang dibentuk dari perjalanan historis serta identitas dan kebudayaan masyarakatnya.

Hasil penelitian ini sebagai dokumentasi tertulis untuk mempelajari dan memahami arsitektur permukiman Desa Muslim Soko dalam lingkup praksisnya bermanfaat bagi masyarakat Desa Muslim Soko sendiri, terkhusus dalam rangka mempertahankan dan mewariskan kepada penerus tradisi arsitekturnya yang berasal dari nenek moyangnya, dan bagi umat Islam di Indonesia pada umumnya dan seluruh masyarakat di Provinsi Bali pada khususnya. Tingkat pentingnya penelitian ini bagi masyarakat Desa Muslim Soko disampaikan langsung kepada penyusun oleh beberapa tokoh masyarakat warga Desa Muslim Soko yaitu Saudin, Muksin, dan Ramsudin yang merasa khawatir dengan keberlangsungan tradisi arsitekturnya yang merupakan warisan dari nenek moyang dikarenakan hingga masa kini belum terdapat satu pun dokumen tertulis mengenai tradisi arsitektur permukiman Desa Muslim Soko.

Bagi umat Islam di Indonesia pada umumnya dan seluruh masyarakat di Provinsi Bali pada khususnya, hasil penelitian ini sebagai dokumentasi tertulis selain dapat memberikan informasi mengenai arsitektur permukiman masyarakat Muslim tradisional di Provinsi Bali di tengah keterbatasan referensi mengenai topik tersebut, secara lebih mendalam dapat dimanfaatkan untuk mempelajari pola-pola adaptasi arsitektural yang dilakukan masyarakatnya sebagai warga pendatang di lingkungan mayoritas Hindu-Bali melalui akulturasi antara tradisi arsitekturnya dengan tradisi arsitektur tradisional Bali yang pada dasarnya mencerminkan identitas kultural masyarakatnya.

I.4 Keaslian Penelitian

Penelitian ini memiliki lokus di Desa Muslim Soko yang terletak di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali dengan fokus penelitian mendeskripsikan

(8)

wujud, merumuskan prinsip wujud arsitektur permukiman Desa Muslim Soko, dan mencari faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya wujud dan prinsip wujud arsitektur permukiman Desa Muslim Soko. Terkait dengan keaslian penelitian, penyusun tidak menemukan referensi; baik dalam bentuk laporan penelitian, jurnal, maupun buku teks yang mengangkat Desa Muslim Soko. Hal tersebut semakin diyakinkan oleh kesaksian Saudin (2012) yang menyatakan bahwa selama keberadaan Desa Muslim Soko tidak pernah dilangsungkan kegiatan penelitian di Desa Muslim Soko.

Terdapat dua poin kebaharuan dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Pertama, kebaharuan terletak pada obyek penelitian yang merupakan desa Muslim tradisional di di Provinsi Bali. Kedua, kebaharuan terletak pada fokus penelitian. Sampai pada penulisan lembar keaslian penelitian ini, penyusun belum menemukan penelitian yang menjadikan desa Muslim tradisional di Provinsi Bali sebagai lokus penelitian yang dikaji berdasarkan fokus yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini.

Dalam telaah pustaka yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, penyusun menemukan beberapa referensi yang memiliki korelasi dengan kegiatan penelitian yang dilakukan. Pertama, artikel jurnal yang ditulis oleh Ngakan Ketut Dwijendra yang berjudul Perumahan Dan Permukiman Tradisional Bali dalam jurnal Permukiman Natah, Vol. 1 No. 1, Februari 2003. Dalam artikel jurnalnya, Dwijendra menjadikan perumahan dan permukiman tradisional Bali sebagai lokus amatannya dengan fokus untuk mengetahui pola permukiman tradisional Bali berikut dengan nilai-nilai tradisional yang mendasarinya. Dengan metode kualitatif, kajian yang dilakukan menghasilkan rumusan (1) kategorisasi permukiman tradisional Bali berdasarkan pola ruangnya yang mencakup pola catus patha, pola linier, dan pola kombinasi; dan (2) Perumahan dan permukiman tradisional Bali dilandasi nilai-nilai agama Hindu-Bali yang bertujuan mencapai Dharma yaitu hubungan yang harmonis antara makro kosmos dengan mikro kosmos. Untuk mencapai tujuan tersebut, perumahan dan permukiman tradisional Bali menerapkan konsep tri hita karana, manik ring cucupu, tri angga, hulu-teben yang membentuk konsep sanga mandala yaitu membagi ruang menjadi sembilan bagian yang memiliki tingkatan nilai utama-madya-nista.

Kedua, artikel jurnal yang ditulis oleh I Made Adhika yang berjudul Pola Penataan Ruang Unit Pekarangan Di Desa Bongli Tabanan dalam jurnal Permukiman Natah, Vol. 2 No. 1, Februari 2004. Adhika menjadikan Desa Bongli di Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan sebagai obyek amatan dengan fokus mendeskripsikan pola penataan ruang di Desa Bongli berdasarkan nilai-nilai setempat. Untuk mencapai tujuan kajian digunakan metode kualitatif-induktif sehingga menghasilkan rumusan, (1) konsep-konsep arsitektur

(9)

tradisional Bali tidak dapat digeneralkan dikarenakan terdapat pola-pola penataan ruang yang khas berdasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di daerah setempat; (2) Pola tata ruang unit-unit pekarangan di Desa Bongli tidak berdasarkan konsep sanga

mandala, namun berdasarkan pada tata nilai ketinggian ruang sebagai nilai utama; dan

(3) Bale paon mengalami perkembangan paling pesat di antara tipe bale lainnya yang terdapat di dalam unit pekarangan di Desa Bongli, yaitu walaupun perletakannya tetap mengikuti tata nilai yang berlaku di daerah setempat namun telah menggunakan bahan bangunan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Ketiga, disertasi di Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada yang disusun oleh I Wayan Runa berjudul Sistem Spasial Desa Pegunungan Di Bali Dalam Perspektif Sosial Budaya pada tahun 2004. Runa menjadikan desa-desa tradisional di daerah pegunungan di Provinsi Bali sebagai lokus dalam penelitiannya dengan fokus mendeskripsikan nilai-nilai sistem spasial desa-desa pegunungan di Bali serta merumuskan konsep-konsep yang berlaku dalam pembentukan sistem spasialnya. Penelitian yang dilakukan oleh Runa menerapkan metode kualitatif induktif fenomenologi sehingga pada akhir penelitian disimpulkan, (1) dalam skala makro, kegiatan bersama terpusat di ruang terbuka bersama di tengah yang diatur berdasarkan orientasi kaja-kelod dan kangin-kauh yang memiliki titik pusat keseimbangan di tengah dengan ruang yang membujur kaja-kelod sebagai poros orientasi. Dalam skala meso, pintu keluar-masuk rumah pada umumnya mengarah ke ruang terbuka atau jalan sehingga memperkuat poros orientasi desa. Dalam skala mikro, penempatan unit-unit hunian didasarkan orientasi kaja-kelod dan kangin-kauh dengan titik tengah sebagai pusatnya; (2) faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsistensi sistem spasial di obyek penelitian adalah faktor agama, organisasi, anggota desa, serta wilayah desa; dan (3) konsep-konsep sistem spasial yang terbentuk adalah tri hita karana, pura puseh, orientasi hulu-teben, desa adat, penguasaan tanah oleh desa, dan rumah tinggal keluarga batih dengan dinding bersama yang transparan.

Keempat, buku berjudul Arsitektur Rumah Tradisional Bali ditulis oleh Ngakan Ketut Acwin Dwijendra yang terbit pada tahun 2008. Di dalam bukunya, Dwijendra melakukan identifikasi elemen-elemen arsitektur rumah tradisional Bali yang terdiri dari aspek pemilihan karang, angkul-angkul dan telajakan, natah, lumbung, bale dangin, bale

daja, bale dauh, dan ragam hias beserta dengan konsep-konsep arsitektur yang

mendasarinya yaitu konsep tri hita karana, tri angga, tri loka, sanga mandala, asta

(10)

Kelima, buku berjudul Arsitektur Dan Kebudayaan Bali Kuno ditulis oleh Ngakan Ketut Acwin Dwijendra yang terbit pada tahun 2009. Di dalam bukunya, Dwijendra mengidentifikasi karakteristik arsitektur desa tradisional Bali Aga yaitu Desa Tradisional Bayung Gede, Desa Adat Pengotan, Desa Adat Tenganan, Desa Tradisional Bugbug, Desa Tradisional Penglipuran, Desa Adat Bungaya, Desa Adat Tengkudak, Desa Adat Taro, dan Desa Adat Pinggan yang mencakup aspek (1) pola permukiman; (2) pola hunian; (3) zonasi; (4) orientasi; serta (5) struktur, utilitas, dan bahan bangunan yang dibentuk oleh faktor (1) geografis; (2) sistem sosial; (3) sistem ekonomi; dan (4) sistem budaya.

I.5 Batasan Penelitian

Untuk memudahkan jalannya kegiatan penelitian sehingga dapat merumuskan hasil penelitian sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan mengingat keterbatasan kemampuan penyusun serta waktu yang dimiiki penyusun untuk melakukan kegiatan penelitian ini, maka obyek penelitian dibatasi dalam lingkup Desa Muslim Soko yang telah jelas batas-batas wilayah desanya secara kultural dan visual. Walaupun area penelitian dibatasi oleh batas-batas wilayah Desa Muslim Soko, namun dalam pencarian data tidak dibatasi oleh wilayah sehingga area pencarian dan pengumpulan data bersifat “cair” dikarenakan narasumber yang memiliki data berkaitan dengan obyek penelitian berasal dari berbagai kalangan di wilayah yang berbeda yaitu, masyarakat Desa Muslim Soko, masyarakat Desa Hindu Soko, maupun masyarakat Desa Muslim Angan Tiga.

Fokus dalam penelitian ini dibatasi dalam skala arsitektur permukiman, yaitu keseluruhan area permukiman, kelompok bangunan, dan bangunan, serta penghubung di antaranya dalam wujud ruang terbuka dan jalur sirkulasi. Digunakannya skala arsitektur permukiman didasarkan atas observasi awal yang dilakukan penyusun dan ketersediaan data di lapangan melalui tradisi lisan masyarakatnya, sedangkan dalam skala bangunan hanya akan diangkat dari aspek luar bangunan dikarenakan ruang dalam bangunan telah mengalami perubahan secara keseluruhan sehingga tidak dapat lagi diidentifikasi wujudnya yang dari masa kelampauan.

I.6 Kerangka Pikir Penelitian

Kerangkan pikir penelitian merupakan gambaran logis dari keseluruhan proses kegiatan penelitian yang dilakukan oleh penyusun dan berfungsi untuk memudahkan penyusun dalam memahami secara keseluruhan kegiatan penelitian yang dilakukan. Berikut adalah kerangka pikir penelitian yang digunakan sebagai alur berpikir dalam kegiatan penelitian ini:

(11)

Diagram 1.1: Kerangka pikir penelitian. Sumber: Analisis, 2012.

Gambar

Diagram 1.1: Kerangka pikir penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

In terms of faculty driven by different motivations be- fore and after receiving tenure, our results indicate that, for pretenured faculty, research productivity is dominated by

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

The students were reportedly enjoy studying in the Monolingual class and support the use of English–only in their English classes for enhancing learning. In spite of their

[r]

Tinea pedis adalah infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari kaki dan telapak kaki, dengan lesi terdiri dari beberapa tipe, bervariasi dari ringan, kronis

algoritma kompresi LZW akan membentuk dictionary selama proses kompresinya belangsung kemudian setelah selesai maka dictionary tersebut tidak ikut disimpan dalam file yang

terlibat melakukan transaksi tidak harus bertemu atau berhadapan secara langsung. Bisa saja para pihak yang telah melakukan transaksi tersebut berada pada tempat atau.