• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun Image Pustakawan Melalui Keterampilan Berkomunikasi (Communication Skill)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Membangun Image Pustakawan Melalui Keterampilan Berkomunikasi (Communication Skill)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Membangun Image Pustakawan

Melalui Keterampilan Berkomunikasi (Communication Skill)

Pendahuluan

Sampai saat ini image masyarakat tentang pustakawan masih belum banyak berubah. Di Amerika Serikat, orang kalau ditanya atau diminta menggambarkan tentang sosok seorang pustakawan, maka mereka akan menyebutkan Marian, seorang pustakawan dalam film “The Music Man”. Di film tersebut Marian digambarkan sebagai seorang yang picky, hardworking, bookish, dan pitiable. Walaupun usia filmnya sendiri telah mencapai 41 tahunan, gambaran tentang sosok pustakawan sedikit banyak masih terpengaruh. Memang pada umumnya seorang pustakawan itu harus mampu menguasai informasi yang berkembang yaitu dengan cara “bookish”, atau pustakawan itu harus “hardworking” untuk mengatur atau menciptakan suasana buku dan ruang baca yang kondusif.

Di Negara maju lainnya seperti di Inggris, Ruth A. Kneale dalam tulisannya yang berjudul “You Don’t Look Like Librarian”, yang merupakan hasil survey menjelaskan bahwa pustakawan masih dipersepsikan sebagai sosok, jika perempuan dia memakai kacamata, suka mengenakan baju hangat tertutup rapat, mengenakan sepatu yang tidak menarik, sangat menyukai buku, pendiam, tidak suka tertawa, selalu mengucapkan ”sshhh…” untuk mengingatkan pengguna agar tidak ribut, dia berkulit pucat karena jarang terkena matahari, dan dia penuh debu karena selalu ada di antara tumpukan buku, sebagaimana dikutip dalam Damayani (Kneale, 2002: 1).

Delapan belas tahun yang lalu, ketika saya memilih jurusan perpustakaan dalam Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), itulah untuk pertama kalinya saya mendengar kata “perpustakaan”. Dan saya merasa kurang yakin dengan pilihan saya tersebut. Karena selama itu saya hanya terbayang image-image kuno tentang pustakawan yang dianggap sebagai profesi yang kurang menarik. Anggapan bahwa pustakawan itu biasanya berada di belakang rak buku dengan memegang bulu pembersih, memakai

(3)

kacamata dengan model rambut kepang dua, dan ia dapat menghabiskan membaca buku minimal 5 judul dalam sehari.

Beberapa persepsi seperti yang dikemukakan di atas sering kita jumpai dan tampaknya persepsi itu masih melekat dalam benak masyarakat, sehingga apabila kita berjumpa dengan pustakawan yang keren, pintar, mengenal teknologi informasi, gaul, ramah, maka banyak komentar masuk “Masak sih…. Dia pustakawan ?...”. Atau ia seperti sosok seorang pengacara yang mempunyai kemampuan analisis yang kuat. Atau seorang sekretaris dengan penampilan yang menarik. Atau sebagai hucker yang mampu menjebol kartu kredit nasabah. Jadi, pustakawan itu siapa ?...

Ada beberapa catatan kecil yang membuat profesi pustakawan itu lebih baik dari profesi lainnya. Pustakawan itu adalah gudang informasi bagi para pencari informasi. Selalu siap dengan berita-berita yang up to date. Pustakawan mampu menguasai semua bidang ilmu pengetahuan, baik itu eksakta maupun non eksakta. Oleh karena itu, pustakawan masa kini harus membuang image-image negatif dalam masyarakat. Sebaliknya pustakawan masa kini harus mampu menciptakan image-image yang positif dalam masyarakat. Agar keberadaan pustakawan semakin dikenal dan dihargai oleh masyarakat. Salah satu pembentukan image positif ini adalah melalui keterampilan berkomunikasi (Communication Skill).

Image adalah gambaran tentang realitas atau gambaran dunia menurut persepsi kita. Image terbentuk melalui pengalaman berinteraksi dengan objek (Damayani, 2005: 24).

Keterampilan Berkomunikasi (Communication Skill)

Perpustakaan adalah tempat untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan. Sebagai pusat informasi, di perpustakaan selalu terjadi kegiatan komunikasi yaitu antara pustakawan sebagai komunikator dan pengguna perpustakaan sebagai komunikan.

(4)

Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk kesamaan makna atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lainnya. Yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.

Perpustakaan dan komunikasi jika dilihat dari defenisi di atas keduanya saling membutuhkan untuk menyambung informasi pada pengguna perpustakaan. Keduanya melekat bagaikan kertas surat dan perangko yang harus tertempel agar informasi itu sampai kepada sasaran yang tepat, sehingga tercapailah kepuasan bagi pengguna perpustakan.

Perpustakan dan komunikasi jika tidak kondusif bagaikan makan sayur tanpa garam tentu rasanya hambar. Coba bayangkan jika ada sebuah perpustakaan yang sangat besar, memiliki koleksi yang lengkap, fasilitas yang baik, tapi perpustakaan itu kurang diketahui oleh orang banyak, bahkan masyarakat sekitar tidak mengetahui bahwa di dekat rumahnya ada perpustakaan yang menyediakan berbagai informasi yang lengkap. Sangat disayangkan, perpustakaan tersebut kurang bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Karena itu, untuk menunjang keberhasilan suatu perpustakaan maka pustakawannya membutuhkan tehnik berkomunikasi yang baik dan mengikuti perkembangan zaman.

Agar pengguna perpustakaan mendapatkan pelayanan yang baik, maka keterampilan berkomunikasi (communication skill) sangat diperlukan. Kemahiran pustakawan dalam memberikan informasi sangat mempengaruhi keberhasilan perpustakaan dalan memberikan pelayanan kepada para penggunanya. Mengapa demikian? Karena pustakawan tidak hanya memberikan informasi semata, atau menyusun buku di rak menurut nomor klasifikasi saja, namun pustakawan yang professional dituntut untuk dapat bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik, ramah, sopan santun, dan menguasai cakupan segala ilmu pengetahuan dan dapat memahami kebutuhan pengguna.

Keterampilan berkomunikasi (communication skill) adalah kemampuan pustakawan untuk menjalin komunikasi yang baik antara pustakawan dengan pengguna

(5)

perpustakaan yang sering dipergunakan dalam kegiatan memberikan jasa pelayanan perpustakaan.

Untuk menciptakan suatu komunikasi yang “touching”, pustakawan harus mengingat 3 hal dalam berinteraksi dengan pengguna perpustakaan, yaitu:

1. Kontribusi pustakawan dalam komunikasi tersebut.

Kalau pustakawan tidak tahu apa-apa, tentunya ia tidak dapat memberikan informasi apapun kepada penggunanya. Untuk dapat menghadapi tantangan begitu cepatnya arus informasi dan perubahan, tentunya seorang pustakawan tidaklah dapat “tulalit” seperti telepon yang tidak nyambung. Ditanya ini tidak tahu dan ditanya itu tidak mengerti. Hal ini tentunya akan semakin runyam bila menghadapi perkembangan teknologi yang semakin pesat. Meskipun menghadapi buku-buku kuno sehari-hari, tidak berarti ia tidak tahu tentang bagaimana mengakses informasi mengenai buku-buku yang ada dan tidak ada di perpustakaannya.

2. Kemampuan mendengar pustakawan

Kita memang selalu mendengar, akan tetapi fahamkah kita terhadap keinginan orang

lain yang suaranya sedang kita dengar ? Kelihatannya memang mudah, akan tetapi pada kenyataannya tidaklah semudah itu. Kita masih sering mendengar kesalah pahaman dalam menangkap apa yang dikatakan orang lain kepada kita.

3. Bagaimana pustakawan hadir dihadapan penggunanya

Hal ini dimaksudkan agar pustakawan tidak hanya mengerti apa yang dikatakan oleh

pengguna, akan tetapi juga mengetahui bagaimana perasan si pengguna ketika menyampaikan pesannya. Defenisi ini memang terdengar mudah, namun dalam praktek masih sering ditemui ketegangan antara pustakawan dengan penggunanya, misalnya mahasiswa. Dalam kehidupanpun kita masih sering menghadapi ketegangan dengan teman sekantor, atasan, suami atau istri, orang tua, bahkan dengan anak sendiri. Hal ini terjadi karena adanya mis-komunikasi dimana pesan yang diterima ternyata berbeda dengan yang dikirim atau dimaksudkan oleh komunikator. Banyak hal yang menyebabkan ini terjadi, antara lain: pengalaman si komunikan, komunikan

(6)

yang cenderung mengacuhkan pesan yang berlawanan dengan informasi yang diketahuinya, kredibilitas komunikator di mata komunikan, kondisi emosi komunikator maupun komunikan, kerangka berfikir yang berbeda, keterbukaan antara komunikator dan komunikan, perbedaan pendidikan, kemampuan berbicara, dan lain sebagainya.

Dalam masalah ketiga di atas, komunikasi dalam pelayanan perpustakaan lebih ditinjau dari segi komunikasi non-verbalnya. Pernahkan kita mendengar komentar-komentar pengunjung perpustakaan, misalnya:

• “Tampaknya ia terpaksa menjelaskannya”.

• “Kelihatannya kok galak sekali , saya tidak dapat menyela pembicaraan sedikitpun”. • “Dia tidak tulus, omongannya cuma basa-basi”’

• “Saya tidak mengerti dan saya tidak mendapatkan kesimpulan apapun dari apa yang anda bicarakan”.

Mungkin saja komentar di atas bukan karena sikap atau perilaku yang sengaja dilakukan oleh pustakawan. Dengan kata lain hal itu muncul dari persepsi pengguna saja. Apapun itu, komentar-komentar yang tidak mengenakkan tersebut tentunya dapat dihindari dengan tahu dan mempraktekkan cara-cara berinteraksi yang menyenangkan. Dan interkasi seperti itu merupakan keterampilan biasa yang dapat dipelajari dan dilatih sehingga pustakawan perlu meningkatkan kemampuan berkomunikasi.

Dalam mempelajari dan melatih kemampuan berkomunikasi, ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seorang pustakawan:

1. Ia harus dapat menyampaikan pesan dengan jelas dan tidak membingungkan. 2. Menciptakan kesan positif terhadap pengguna perpustakaan.

3. Menciptakan iklim kerja yang baik sehingga mampu membantu mengangkat citra institusi di mata pengguna perpustakaan.

(7)

Untuk mencapai hal tersebut maka seorang pustakawan haruslah memiliki: 1. Emphaty, yaitu kemauan untuk mengerti orang lain.

2. Kepercayaan diri

3. Ketulusan untuk berhubungan dengan orang lain.

4. Keramahan, rasa simpati dan sikap hormat terhadap orang lain.

Dalam bekerja umumnya pustakawan lebih banyak diam (tidak berbicara) dan interaksinya seringkali lebih banyak dengan bahasa-bahasa non verbal, karena ruangan perpustakaan haruslah diciptakan sedemikian rupa sehingga pengguna mendapatkan suasana yang tenang dan nyaman untuk berpikir. Akibatnya hal ini menimbulkan suasana yang tidak kondusif untuk berkomunikasi secara verbal. Informasi-informasi seringkali diberikan secara minimal. Karena minimalisasi interaksi verbal inilah yang akhirnya menyebabkan pustakawan kaku dalam berinteraksi dengan pengguna, misalnya senyum menjadi mahal, malas berkata-kata, dan ekspresi suara tidak menyenangkan.

Informasi tentang bagaimana pengguna dapat memanfaatkan perpustakaan dengan maksimal, belum tentu dipahami oleh semua pengguna tanpa meminta penjelasan dari pustakawan. Keadaan terkadang bertambah runyam dengan adanya kebiasaan di antara pengguna yang seringkali bertanya “di mana ini ?”, “di mana itu ?”. Informasi-informasi yang menempel di sana-sini terkadang belumlah maksimal, sehingga kita masih sering mendengar pengguna perpustakaan mengajukan pertanyaan yang sangat sederhana: “Pak, toiletnya di mana ?”, atau “Bu, kalau cari buku prosesnya bagaimana ?”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sebenarnya dapat dicari sendiri. Pengguna perpustakaanpun belum tentu terbiasa membaca petunjuk karena mereka terbiasa bertanya karena banyak orang yang berada di sekelilingnya yang bersedia memberikan informasi. Hal ini menyebabkan pustakawan menjadi sumber informasi yang vital terhadap beroperasinya perpustakaan. Mereka berperan sangat penting dalam berinteraksi lisan dengan pengguna. Padahal seperti telah dijelaskan sebelumnya, mereka bukanlah orang yang banyak menggunakan mulut dalam bekerja. Ini belum terhitung dengan perpustakaan yang menyelenggarakan sistem pelayanan tertututup dalam pelayanannnya. Untuk meminjam buku misalnya,

(8)

mahasiswa harus meminta kepada petugas untuk mencarikan. Sehingga fungsi pustakawan menjadi sangat vital dalam menyelenggarakan operasional perpustakaan.

Ada hal lain yang menyebabkan pelayanan perpustakaan menjadi kurang maksimal. Sering kita mendengar ada mahasiswa yang merobek-robek buku referensi, mencuri buku, atau tidak mengembalikan buku yang dipinjamnya, atau memindah-mindahkan letak buku seenaknya, mencoret-coret buku, melipat-lipat buku, dan lain sebagainya. Hal ini menyebabkan para pustakawan terbiasa curiga terhadap pengguna. Pengawasan dan peraturannya menjadi ketat karena menghindari kebiasaan mahasiswa yang tidak baik tersebut. Akibatnya, pustakawan selalu berpikir negatif. Padahal seseorang akan dapat melayani dengan baik kalau terbiasa berpikir positif. Bagaimana kita dapat tersenyum kalau dalam pikiran kita selalu berjaga-jaga terhadap bahaya yang selalu menghadang kita.

Akan tetapi, sesulit apapun kemampuan seseorang dalam berkomunikasi yang baik dan menyenangkan orang lain dapatlah dilatih asalkan kita mau. Ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh seorang pustakawan dalam menciptakan komunikasi yang menyenangkan antara pengguna dengan si pustakawaan, yaitu hendaknya pustakawan mempertanyakan pada dirinya:

• Apakah saya tahu apa yang akan saya katakana atau tanyakan ?

• Apakah orang lain dapat menangkap makna kata-kata atau pertanyaan saya ? • Apakah saya menerima dan menanggapi apa yang dikatakan orang ?

• Apakah saya mengajukan pertanyaan atau menyampaikan informasi dengan ramah dan bersahabat ? Apakah saya cukup waktu untuk mendengarkan mereka ?

• Apakah saya tahu apa yang sebenarnya ingin mereka katakana ?

• Apakah jawaban-jawaban saya membuat pengguna perpustakaan puas ? • Apakah saya cukup baik bila memberikan penjelasan.

Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut senantiasa akan dapat mengkondisikan pustakawan untuk selalu meningkatkan kemampuan dalam berinteraksi atau berkomunikasi yang menyenangkan dengan pengguna perpustakaan.

(9)

Penutup

Pekerjaan menuntut pustakawan banyak berinteraksi, berkomunikasi, dan membangun hubungan baik dengan pengguna, maka kemampuan berkomunikasi dengan baik akan berpengaruh pada hasil pekerjaan mereka.

Kemampuan ini tidak saja menuntut keterampilan dalam berinteraksi dan berkomunikasi secara efektif, tapi juga keterampilan membina hubungan yang baik dengan individu lain (pengguna). Dengan keterampilan ini seorang pustakawan diharapkan dapat membangun dan menanamkan image positif seperti yang diinginkan, karena dia tahu bagaimana memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan, keinginan, dan karakter pengguna.

Seorang pustakawan yang professional harus dapat menguasai keterampilan berkomunikasi (communication skill) yang baik, guna tercapainya tujuan yakni memberikan informasi yang tepat dan mempengaruhi pengguna perpustakaan untuk selalu memakai jasa perpustakaan.

(10)

Daftar Rujukan

1. Adi, Ida Rochani. Interaksi Pustakawan dan Pemakai. Bandung: Universitas Gajah Mada, 2005.

Atau: http://www//ugm.ac.id

2. Budyatna, Muhammad. Manajemen Komunikasi. Dibawakan Pada Lokakarya Manajemen Perpustakaan Perguruan Tinggi Negeri se-Indonesia. Bali: DEPDIKBUD Proyek pengembangan Staf dan Sarana Perguruan Tinggi, 1994.

3. Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

4. Damayani, Ninis Agustina. Interpersonal Skill Dalam Pelayanan Perpustakaan. Jurnal Pustaha. Vol. 1, No. 1. Medan: USU Press, 2005.

Referensi

Dokumen terkait

Gerakan pemurnian Islam di Indonesia tersebut diimplemen- tasikan dengan didirikannya lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren dan sekolah formal, pelembagaan tersebut

Penelitian ini menghasilkan sebuah sistem e-WaUKM yang memberikan kemudahan bagi para pewaralaba dan terwaralaba dalam grup UKM untuk mempromosikan waralaba mereka, memudahkan

Standar deviasi vertikal yang didapat menghasilkan nilai terkecil 0,7 cm pada baseline 2 km dan nilai tertinggi 37,78 cm pada baseline 20 km; (2) pada pengujian kepresisian

crtani film Zagreb filma nije preuzeo izradu lutka film, nego je nastavio s dominantnim njegovanjem crtanog filma.. Scenografski stil u crtanom filmu bio je, naravno,

pengembangan pasar atas produk spesifik lokalita yang bersifat unik (konsep "uniqueness"). Salah satu bidang usaha dalam penciptaan pasar yang didasarkan kepada

(3) Dalam menjalankan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Ketua dibantu pengelola keuangan Sekolah Tinggi wajib menatausahakan dan mempertanggungjawabkan

dan dua sampel proporsi dan varian dua sampel proporsi dan varian sampel proporsi dan varian 12 Mahasiswa mampu melakukan analisis regresi sederhana - Mahasiswa mampu

kesuksesan yang terbuka terhadap perubahan & cerdas merespon tantangan global (visioner) serta peduli terhadap pengembangan masyarakat sebagai media pengembangan entrepreuner