Proposal Penelitian Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)
Psikologi (S.Psi)
FERDHIKA AMIRUL FADJRI B07213006
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara psychological capital dengan komitmen organisasi pada pegawai negeri sipil BPKAD Surabaya.Penelitian ini merupakan penelitian korelasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa skala psychological capital dan skala komitmen organisasi. Subyek penelitian ini berjumlah 50 orang dari jumlah populasi sebanyak 200 melalui teknik pengambilan sampling penelitian ini menggunakan penelitian yakni purposive sampling atau
judgmental sampling Penarikan sampel secara purposif merupakan cara penarikan sample yang dilakukan memilih subjek berdasarkan kriteria spesifik yang dietapkan peneliti.
Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data, yang telah melewati hasil uji validitas dan reliabilitas. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis product moment dengan bantuan komputer program SPSS for windows versi 16. Hasil penelitian harga koefisien korelasi sebesar 0,705, dengan signifikansi sebesar 0,000 artinya p<0,05. Menunjukkan signifikan, bahwa ada hubungan antara psychological capital dengan komitmen organisasi pada pegawai negeri sipil BPKAD Surabaya.
Psychological capital mempunyaihubungan secara positif dengan komitmen organisasi, artinya hubungan kedua variabel adalah berbanding lurus, semakin tinggi psychological capital akan di ikuti dengan tingginya penyesuaian akademik.
Kata Kunci : Psychological Capital, Komitmen Organisasi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
INTISARI ... xi
ABSTRACT ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Rumusan Masalah ... 12
C. Tujuan ... 12
D. Manfaat Penelitian ... 12
E. Keaslian Penelitian ... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 17
A. Komitmen Organisasi ... 17
1. Pengertian Komitmen Organisasi ... 17
2. Kompenen Komitmen Organisasi ... 21
1. Komitmen Afektif ... 21
2. Komitmen Kontinuitans ... 22
3. Komitmen Normatif ... 23
B. Psychological Capital ... 24
1. Pengertian Psychological Capital ... 24
2. Dimensi Psychological Capital ... 24
1. Self-efficacy ... 24
2. Hope (the will and the way) ... 25
3. Optimism ... 26
4. Resiliency ... 28
C. Hubungan Antar Psychological Capital dengan Komitmen Organisasi ... 28
D. Landasan Teoritis... 33
E. Hipotesis Penelitian ... 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 37
A. Variabel dan Definisi Operasional ... 37
B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling... 38
C. Teknik Pengumpulan Data ... 39
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49
A. Deskripsi Subyek ... 49
B. Deskripsi dan Reliabilitas Data ... 57
C. Hasil ... 57
D. Pembahasan ... 63
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 75
A. Kesimpulan ... 75
B. Saran ... 76
DAFTAR PUSTAKA ... 77
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blueprint Komitmen Organisasi ... 40
Tabel 2. Blueprint Psychological Capital ... 41
Tabel 3. Aitem Psychological capital ... 43
Tabel 4. Aitem Komitmen Organisasi ... 44
Tabel 5. Reliability Statistics ... 46
Tabel 6. Reliability Statistics ... 47
Tabel 7. Jenis Kelamin ... 49
Tabel 8. Status ... 49
Tabel 9. Tingkat Pendidikan ... 50
Tabel 10. Tahun Bekerja ... 51
Tabel 11. Pengelompokan Umur ... 52
Tabel 12 Jadwal Penelitian ... 56
Tabel 13. Statistik Deskriptif ... 57
Tabel 14. Tes Normalitas ... 59
Tabel 15. Uji product moment ... 60
Tabel 18. Analisis Faktor hope ... 61
Tabel 19. Analisis Faktor optimism ... 62
Tabel 20. Analisis Faktor resilience ... 62
Tabel 21. Analisis Faktor self-efficacy ... 62
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Uji Realiilitas ... 84
Lampiran 2 Uji Ulang Realiilitas ... 88
Lampiran 3 Uji Ulang 2 Realiilitas ... 91
Lampiran 4 psychological capital ... 94
Lampiran 5 Uji ulang psychological capital ... 98
Lampiran 6 Uji 2 ulang psychological capital ... 100
Lampiran 7 Uji ulang 3 psychological capital ... 102
Lampiran 8 Uji product moment pearson ... 104
Lampiran 9 Uji Independent Gender ... 105
Lampiran 10 Uji Anova latar belakang pendidikan ... 106
Lampiran 11 Uji Normalitas Data ... 107
Lampiran 12 Uji Korelasi Kendal Tau ... 112
Lampiran 13 Uji Independent sample t-test ... 113
Lampiran 14 Angket ... 114
Lampiran 15 Surat Keterangan Penelitian ... 119
Lampiran 16 Struktur Organisasi BPKAD Surabaya... 120
Lampiran 17 Data Mentah Komitmen Organisasi ... 123
Lampiran 18 Data Dikotomik Komitmen Organisasi ... 125
Lampiran 19 Data Mentah Psychological Capital ... 127
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian
Dalam dunia kerja sebuah komitmen terhadap suatu organisasi atau
perusahaan seringkali menjadi isu yang sangat penting. Organisasi atau perusahaan tentunya memakai unsur komitmen sebagai salah satu syarat untuk memegang suatu jabatan yang ditawarkan dalam lowongan pekerjaan.
Meskipun komitmen terhadap organisasi atau perusahaan sudah umum, namun tidak jarang pengusaha maupun pegawai masih belum memahami arti
komitmen secara sungguh-sungguh. Pemahaman tersebut penting untuk terciptanya kondisi kerja yang kondusif sehingga perusahaan dapat berjalan secara efisien dan efektif (Kuncoro,2009).
Komitmen organisasi dipandang sebagai suatu orientasi nilai terhadap organisasi. Orientasi nilai menunjukkan individu sangat memikirkan dan
mengutamakan pekerjaan dan organisasinya. Individu akan berusaha memberikan segala usaha yang dimilikinya dalam rangka membantu organisasi mencapai tujuannya. Komitmen organisasi didefinisikan sebagai “The degree
to which an employee identifies with a particular organization and its goals,
and wishes to maintain membership in the organization” (Robbins, 2003).
Komitmen organisasi merupakan perwujudan psikologis yang mengkarakteristikkan hubungan pekerja dengan organisasi dan memiliki implikasi terhadap keputusan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan
tetap menjadi anggota organisasi, kepercayaan dan penerimaan akan nilai-nilai dan tujuan organisasi, serta kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi
kepentingan organisasi (Mowday,1982).
Menurut Chrysanti (2009) menyatakan bahwa budaya organisasi
memberikan sumbangan efektif terhadap komitmen organisasi. Selain kepuasan kerja, hal lain yang bisa membantu perusahaan untuk semakin berkembang adalah komitmen organisasi karyawan. Menurut Oei (2010)
komitmen organisasi adalah kekuatan relatif pengenalan pada keterlibatan dari dalam diri seorang individu dalam organisasi tertentu. Komitmen merupakan
dedikasi atau pengabdian seseorang terhadap pekerjaannya. Selain dedikasi dan pengabdian komitmen juga sebagai kebutuhan dalam pekerjaannya. Komitmen mencerminkan keinginan pegawai untuk selalu terlibat dalam
kegiatan-kegiatan di organisasinya. Komitmen organisasi yang tinggi biasanya mempengaruhi pekerja memiliki rasa memihak yang tinggi pada suatu
organisasi atau perusahaan. Oei (2010) menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi komitmen organisasi, antara lain: Lama bekerja, kepercayaan, rasa percaya diri, kredibilitas, dan pertanggungjawaban.
Kusjainah (1998) telah melakukan studi empiris mengenai iklim organisasi. Hasil studinya membuktikan bahwa iklim organisasi berpengaruh
positif terhadap pembentukan komitmen karyawan pada perusahaan. Semakin baik iklim organisasi, maka semakin tinggi komitmen karyawan pada organisasi, atau semakin buruk iklim organisasinya, maka akan semakin rendah
Martini (2003) juga menguji hal serupa, hasil studinya menunjukkan bahwa persepsi karyawan terhadap iklim organisasi dapat memberi gambaran
keputusan karyawan untuk berkomitmen pada organisasi. Selain itu, Sumardiono (2005) menguji pengaruh iklim organisasi terhadap komitmen
karyawan dengan subyek penelitian karyawan Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil studinya menunjukkan bahwa faktor-faktor iklim organisasi berpengaruh terhadap komitmen
karyawan. Pendapat para ahli mengenai hubungan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi menyatakan bahwa ”High job satisfaction contributes to organizational comitment...” (Northercraft and Neale, 1993: 281). Hal ini
diperkuat oleh penelitian Wahyu (2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja terdiri atas pembayaran seperti gaji, pekerjaan itu sendiri, promosi pekerjaan, kepenyeliaan (Supervisi), dan
hubungan rekan sekerja.
Pegawai akan memiliki komitmen terhadap organisasi yang tinggi
apabila merasakan kepuasan dalam pekerjaannya. Dalam sebuah penelitian pada anggota angkatan bersenjata di Amerika Serikat, kepuasan kerja menjadi kontributor utama untuk pembentukan komitmen terhadap organisasi karena
para anggota angkatan tersebut merasakan kenikmatan tersendiri dengan pekerjaan militer (Miner 1992).
Mathiew and Jones (1991) mengatakan bahwa kepuasan kerja dan
organisasi yang tinggi akan mengerahkan usaha yang lebih dalam proyek perubahan guna membangun sikap positif terhadap perubahan (Julita & Wan
Rafaei, 2010). Becker (1996) menyatakan komitmen organisasi adalah variabel kriteria dalam mengukur impact perubahan organisasi dikarenakan adanya
hubungan yang kuat antara karyawan dengan organisasi (Julita & Wan Rafaei, 2010).
Komitmen organisasi merupakan dorongan dalam diri individu untuk
berbuat sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi dengan tujuan dan lebih mengutamakan kepentingan organisasi (Winner, 1982 dalam Yudi
Syarif, 2006). Kalbers dan Fogarty (1995) dalam Sri Trisnaningsih (2001) menggunakan dua pandangan tentang komitmen organisasi yaitu affective dan
continuence. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa komitmen organisasi
yang bersifat affective berhubungan dengan satu pandangan profesionalisme yaitu pengabdian pada profesi. Sedangkan komitmen organisasi continuence
berhubungan secara positif dengan pengalaman dan berhubungan negatif dengan pandangan profesionalisme kewajiban sosial.
Berdasarkan pernyataan di atas, sumber daya manusia menjadi hal yang
penting untuk memajukan suatu organisasi. Meyer dan Allen (1997) mengatakan bahwa suatu organisasi tidak harus memiliki pekerja dengan
dikarenakan pegawai dengan komitmen yang tinggi akan bekerja dengan sepenuh hati untuk mencapai tujuan organisasi.
Kobasa, Maddi dan Kahn (1982, dalam Meyer dan Allen, 1997) menyatakan bahwa komitmen pada pekerja berkembang secara natural dan
seseorang merasa perlu untuk berkomitmen pada sesuatu. Pekerja dengan komitmen tinggi, maka akan memiliki performa maksimal, jarang absen, senang dengan keanggotaannya dan merasa terikat dengan organisasi tempat ia
bekerja. Hal ini sangat erat kaitannya dengan output yang muncul dari pekerja dengan komitmen yang baik. Oleh karena itu, komitmen merupakan salah satu
aspek penting untuk mencapai tujuan perusahaan. Semakin tinggi komitmen yang dimiliki pekerja maka tujuan perusahaan akan semakin cepat tercapai.
Komitmen organisasi penting dalam meningkatkan performa individu dalam
bekerja. Komitmen organisasi yang dimaksud tersebut meliputi keinginan dan sekuat tenaga dalam meningkatkan komitmen berorganisasi. Komitmen dalam
beroganisasi perlu mengembangkan sifat optimis dalam individu karena Penelitian yang dilakukan Yousef & Luthan (2007) menunjukkan bahwa komponen hope dari psychological capital memiliki hubungan terhadap
performa pekerja, kepuasan kerja, kebahagiaan dan komitmen.
Hasil pennelitian dari Luthan, Avolio, Walumba & Li (dalam Shahnawaz &
jafri, 2009) menunjukkan bahwa psychological capital memiliki hubungan positif dengan kepuasan kerja, komitmen, dan kepuasan kerja.yang mempengaruhi komitmen organisasi seperti telah dipaparkan diatas didapatkan
berpengaruh bagi munculnya komitmen organisasi dan salah satunya adalah
psychological capital. Psychological capital sendiri diartikan sebagai sebuah
kapasitas psikologis individu yang berkembang dengan karakteristik yaitu efikasi diri, optimisme, harapan dan resiliensi. Hasil penelitian Luthan (dalam
Luthan, Youssef & Avolio,2007) menunjukkan bahwa terdapat suatu hubungan antara psychological capital dan komitmen organisasi.
Pandangan psikologis yang positif bisa diterapkan pada saat karyawan
bekerja sehingga tercipta suatu keadaan psikologis yang positif. Selain keadaan psikologis yang positif tidak hanya pada diri sendiri tetapi juga pada
lingkungan kerja. Keadaan psikologi positif pada suatu organisasi disebut
Positif Organizational Behavior (POB). Menurut Luthan (dalam Luthan, Youssef & Avolio, 2007), Positif Organizational Behavior didefinisikan
sebagai suatu aplikasi sumber daya manusia secara efektif diatur untuk meningkatkan performa di lingkungan kerja.
Psychological capital merupakan bagian dari possitive organizational behavior yang didefiniskan oleh Luthan. Youssef & Avolio (2007) sebagai suatu perkembangan keadaan psikologis yang positif pada individu sehingga
individu mampu berkembang dengan karakteristik : self-efficacy, optimism, hope dan resilience.
Penelitian mengenai psychological capital dan komitmen organisasi memiliki hasil yang berbeda-beda. Komitmen organisasi itu sendiri bisa didefinisikan sebagai suatu keadaan psikologis yang (a) menggambarkan
keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan keanggotaan pada suatu organisasi. Allen dan Meyer (1990 dalam Palupi, 2004). Hasil
penelitian-penelitian yang sudah ada menunjukkan bahwa terdapat suatu hubungan antar
psychological capital dan komitmen organisasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Youssef dan Luthan (2007 dalam Luthans, Norman, Avolio & Avey, 2008) menunjukkan bahwa komponen hope dari
psychological capital memiliki hubungan terhadap performa pekerja, kepuasan
kerja bekerja, kebahagiaan dan komitmen. Selain itu penelitian dari penelitian dari Peterson and Luthan (2003 dalam Luthans, Norman, Avolio & Avey,
2008) menunjukkan bahwa komponen hope dari psychological capital
memiliki hubungan dengan performa finansial, kepuasan kerja dan employee retention. Hasil penelitian dari Luthan, Avolio, Walumba & Li (2004 dalam
Shahnawas & Jafri, 2009) menunjukkan bahwa psychological capital memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat absen pekerja, ”employee cycnism” dan
intention to quit, akan tetapi memiliki hubungan yang positif dengan kepuasan kerja, komitmen, organizational citizenship behavior, performa kerja dan keefektifan kepemimpinan. Hal ini disebabkan komitmen pegawai pada suatu
organisasi secara tidak langsung akan mempengaruhi absenteism dan turn over.
Hasil penelitian (Larson & Luthans, 2006; Youssef & Luthans, 2007) juga
mengungkapkan bahwa ada hubungan positif karyawan yang mempunyai ketahanan dalam bekerja dengan kepuasan kerja, komitmen dan kebahagiaan. Permasalahan komitmen pada karyawan mungkin saja ditanggulangi pada saat
bertahan seterusnya. Pada saat bekerja mungkin saja terdapat berbagai hal yang mempengaruhi komitmen karyawan itu sendiri sehingga tidak bisa dipastikan
apakah orang yang memiliki komitmen tinggi diawal masa kerjanya akan terus memiliki komitmen yang tinggi untuk seterusnya. Colquitt, Lepine dan Wesson
(2009 dalam Wiyardi, 2010) menjelaskan bahwa semakin tinggi komitmen organisasi seseorang maka perilaku menarik diri dalam organisasi akan semakin minim. Sebaliknya, tingginya perilaku perilaku menarik diri dalam
organisasi yang berujung pada keluarnya anggota organisasi menunjukan komitmen organisasi yang rendah.
Peneliti menduga bahwa pegawai mempunyai komitmen cukup baik terhadap BPKAD Surabaya dengan melihat berbagai prestasi yang di lakukan dalam setahun dalam menjalankan visi dan misi. Menurut kesaksian dari
beberapa pegawai negeri sipil di BPKAD, peneliti menemukan fakta dari pengakuan beberapa pegawai berdasarkan aspek komitmen organisasi yakni
afektif, rasional dan normatif. Berdasarkan aspek afektif, pegawai menyatakan bahwa pegawai bekerja untuk melayani instansi dalam menjalankan standart operasional prosedur (SOP) pada bidang pengelolaan aset dan keuangan.
Berdasarkan aspek rasional, pegawai mengaku merasa enggan untuk berkontribusi lebih pada pekerjaan lain diluar agenda instansi karena berbagai
tugas yang padat hanya menjalani sesuai prosedur kerja saja tiap pegawai. Kemudian terakhir berdasarkan aspek normatif, pegawai juga mengaku untuk melakukan tugas yang belum terselesaikan dilakukan diluar waktu jam kerja
pekerjaan di BPKAD dan menjalankan tugas diluar kota untuk kepentingan instansi.
Peneliti menduga jika pegawai memiliki komitmen organisasi yang cukup baik dalam menerapkan pekerjaannya, maka dapat dipastikan pegawai tersebut
mempunyai berbagai aspek dari psychological capital Luthan, Youssef & Avolio (2007) seperti self-efficacy dikemukakan bahwa individu mementukan target yang tinggi bagi dirinya dan mengerjakan tugas-tugas yang sulit,
menerima tantangan secara senang dan terbuka, memiliki motivasi diri yang tinggi, melakukan berbagai usaha untuk mencapai target yang telah dibuat,
gigih saat menghadapi hambatan. Dengan penjelasan tersebut orang-orang dengan self-efficacy yang tinggi akan dapat mengembangkan dirinya secara mandiri dan mampu untuk menjalankan tugas secara efektif. Orang yang
memiliki self-efficacy tinggi akan mampu untuk menetapkan tujuan dan memilih tugas yang sulit untuk dirinya.
Penjelasan lebih lanjut dari Luthans, Youssef & Avolio (2007) mengenai orang optimis adalah orang yang akan beranggapan segala sesuatu yang terjadi pada dirinya merupakan hal yang memang sengaja dilakukan dan berada dalam
kontrol dirinya. Orang tersebut secara tidak langsung akan melihat segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya dan apabila terjadi suatu hal yang negatif
dalam hidupnya, individu akan terus bersikap positif dan percaya akan masa depannya. Pada orang yang pesimistis, individu tidak akan perhatian pada hal yang positif dalam hidupnya bahkan hanya fokus pada anggapan hal yang
Individu yang optimis menjadi realistik dan fleksibel. Hal tersebut dikarenakan optimisme dalam psychological capital tidak hanya digambarkan
sebagai perasaan positif danegois tetapi menjadi suatu pembelajaran yang kuat dalam hal disiplin diri. Individu dengan optimisme yang tinggi akan mampu
merasakan implikasi secara kognitif dan emosional ketika mendapatkan kesuksesan. Individu tersebut juga mampu menentukan nasibnya sendiri meskipun mendapatkan tekanan dari orang lain mampu memberikan ucapan
terima kasih kepada semua pihak yang terkait ketika dirinya mencapaii kesuksesan (Luthans, Youssef & Avolio,2007).
Berdasarkan penjelasan diatas menunjukkan bahwa individu yang memiliki optimism akan mampu memandang permasalahan yang terjadi dalam hidupnya secara positif dan menganggap hal negatif bukanlah hambatan untuk
dirinya sehingga individu mampu untuk menghadapi masa depan.
Luthans (2007) menyatakan bahwa ada beberapa cara yang bisa dilakukan
untuk meningkatkan hope pada diri seseorang. Hal yang perlu diperhatikan adalah goal-setting. Individu perlu mengetahui apa yang menjadi tujuannya sehingga mengetahui apa yang di capai dan cara yang tepat. Selain itu, individu
perlu melakukan stepping untuk meningkatkan hope dalam dirinya. Stepping
itu sendiri merupakan suatu cara untuk menjabarkan setiap langkah yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan. Hal terakhir yang dapat meningkatkan hope
Luthans (2007) individu yang memiliki kemampuan resiliensi yang tinggi mampu untuk belajar dan berkembang dari tantangan yang dihadapi. Masten
dan Reed (dalam Luthan, 2007) mendefiniskan resiliensi sebagai fenomena dengan pola adaptasi positif dalam konteks situasi yang menyulitkan dan
berisiko.
Masten dan Reed (dalam Luthan, 2007) menjelaskan bahwa perkembangan dari resiliensi itu sendiri bergantung pada dua faktor yaitu
resiliency assets dan resilience risk (Luthans, Youssef & Avolio,2007).
resiliency assets adalah karakteristik yang dapat diukur pada suatu kelompok
atau individu yang dapat memprediksi keluaran positif dimasa yang akan datang dengan kriteria yang spesifik. Resiliene risk adalah sesuatu yang dapat meningkatkan keluaran yang tidak diinginkan, seperti pengalaman yang tidak
mendukung perkembangan diri, contohnya seperti kecanduan alcohol, obat-obatan terlarang dan terpapar trauma kekerasan.
Baron dan Greenberg (1990 dalam Jiu, 2010), selain itu Meyer et. Al (1993 dalam Scultz T. Th) menunjukan bahwa pekerja yang berkomitmen memiliki ekspektasi yang tinggi kepada pekerjaannya. Baugh & Roberts, (1994
dalam Schultz T. Th) menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki performa yang lebih baik. Peneliti merasa tertarik untuk
melakukan sebuah penelitian mengenai komitmen organisasi dan psychological capital pada pegawai BPKAD Surabaya karena sebelumnya peneliti telah melakukan observasi atau preliminary terlebih dahulu terkait dengan
Peneliti melakukan hal tersebut untuk mengukur tingkat komitmen organisasi dengan melihat susunan program yang terencana untuk mencapai
visi yang ada. Penelitian ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Walaupun demikian, penelitian
sejenis dibidang ini tetap diperlukan untuk memperkaya penelitian
psychological capital terhadap komitmen organisasi di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti mencoba melihat hubungan antara psychological capital dan
komitmen organisasi karyawan.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat disusun berdasarkan uraian latar belakang di atas adalah “adakah terdapat hubungan antara psychological capital dengan
komitmen organisasi pada Pegawai Negeri Sipil (BPKAD) Surabaya ?
C. Tujuan
Berdasarkan permasalahan penelitian diatas, tujuan penelitian ini adalah
untuk melihat hubungan antara psychological capital dengan komitmen organisasi pada Pegawai Negeri Sipil (BPKAD) Surabaya.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
a. Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah pengembangan ilmu pengetahuan dibidang psikologi, khususnya dalam psikologi industri dan organisasi dengan memberikan bukti empiris mengenai hubungan di antara
b. Praktis
Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat bagi instansi.
a. Memberikan informasi tentang seberapa besar modal psikologis
(psychological capital) yang dimiliki para karyawan di instansi.
b. Memberikan informasi tentang komitmen organsasi yang ada pada pegawai di instansi.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh Youssef dan Luthan (2007 dalam
Luthans, Norman, Avolio & Avey, 2008) menunjukkan bahwa komponen
hope dari psychological capital memiliki hubungan terhadap performa pekerja, kepuasan kerja bekerja, kebahagiaan dan komitmen. Selain itu
penelitian dari Peterson and Luthan (2003 dalam Luthans, Norman, Avolio & Avey, 2008) menunjukkan bahwa komponen hope dari psychological
capital memiliki hubungan dengan performa finansial, kepuasan kerja dan
employee retention.
Hasil penelitian dari Luthan, Avolio, Walumba & Li (2004 dalam
Shahnawas & Jafri, 2009) menunjukkan bahwa psychological capital
memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat absen pekerja, ”employee cycnism” dan intention to quit, akan tetapi memiliki hubungan yang positif
dengan kepuasan kerja, komitmen, organizational citizenship behavior,
komitmen pegawai pada suatu organisasi secara tidak langsung akan mempengaruhi absenteism dan turn over.
Hasil penelitian (Larson & Luthans, 2006; Youssef & Luthans, 2007) juga mengungkapkan bahwa ada hubungan positif karyawan yang
mempunyai ketahanan dalam bekerja dengan kepuasan kerja, komitmen dan kebahagiaan. Permasalahan komitmen pada karyawan mungkin saja ditanggulangi pada saat melakukan rekrutmen tetapi hal tersebut tidak bisa
menjamin komitmen tersebut bertahan seterusnya. Pada saat bekerja mungkin saja terdapat berbagai hal yang mempengaruhi komitmen
karyawan itu sendiri sehingga tidak bisa dipastikan apakah orang yang memiliki komitmen tinggi diawal masa kerjanya akan terus memiliki komitmen yang tinggi utnuk seterusnya.
Colquitt, Lepine dan Wesson (2009 dalam Wiyardi, 2010) menjelaskan bahwa semakin tinggi komitmen organisasi seseorang maka
perilaku menarik diri akan semakin minim. Sebaliknya, tingginya perilaku menarik diri dalam organisasi akan berujung kepada keluarnya anggota organisasi menunjukkan komitmen organisasi yang rendah.
Baron dan Greenberg (1990 dalam Jiu, 2010), selain itu Meyer, J. P., Allen, N. J,, & Smith, C. A. (1993) menunjukan bahwa pekerja komitmen
Persamaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah untuk mengetahui komitmen organisasi, sama–sama menggunakan
variable psychological capital. Di beberapa penelitian-penelitian sebelumnya adalah psychological capital terdapat hubungan dengan
komitmen organisasi
Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah bahwa didalam penelitian ini menggunakan alat ukur
sendiri dan tidak menggunakan alat ukur pada peneliti sebelumnya. Dalam menganalisis data peneliti juga menambahkan berbagai varian analisis
dengan menggunakan sampel lima puluh pegawai negeri sipil di BPKAD. Penelitian ini menggunakan tempat di BPKAD Surabaya dikarenakan tempat tersebut tidak banyak dilakukan sebuah penelitian khususnya pada
komitmen organisasi, pada lokasi penelitian BPKAD tidak sedikit meneliti tentang system manajemen keuangan dibanding aspek komitmen
organisasi dari aspek psikologis yaitu self-efficacy, hope, resilience, dan
optimisme. Didalam penelitian-penelitian sebelumnya ini, didapati bahwa aspek psikologis yaitu self-efficacy, hope, resilience dan optimism terbukti
terdapat hubungan dengan komitmen organisasi. Penelitian ini ingin membuktikan apakah aspek psikologis yaitu self-efficacy, hope, resilience,
dan optimism terdapat hubungan dengan komitmen organisasi.
Berdasarkan berbagai penelitian dan fakta-fakta empiris diatas, beberapa penelitian mendapatkan kesimpulan bahwa aspek psikologis
dengan komitmen organisasi, maka dalam penelitian ini , peneliti tertarik untuk meneliti “Hubungan Antara Psychological Capital Dengan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA A. Komitmen Organisasi
1. Pengertian Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi merupakan perwujudan psikologis yang mengkarakteristikkan hubungan pekerja dengan organisasi dan memiliki implikasi terhadap keputusan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan
keanggotaannya dalam organisasi (Meyer & Allen, 1990). Keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi, kepercayaan dan penerimaan akan
nilai-nilai dan tujuan organisasi, serta kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi (Mowday,1982).
Menurut Iverson (1996) komitmen organisasi adalah prediktor terbaik
dalam perubahan dibandingkan dengan kepuasan kerja. karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi akan mengerahkan usaha lebih
dalam proyek perubahan guna membangun sikap positif terhadap perubahan (Julita & Wan Rafaei, 2010). Becker (1996) menyatakan komitmen organisasi adalah variabel kriteria dalam mengukur impact perubahan
organisasi dikarenakan adanya hubungan yang kuat antara karyawan dengan organisasi (Julita & Wan Rafaei, 2010).
Komitmen organisasi merupakan dorongan dalam diri individu untuk berbuat sesuatu agar dapat menunjang keberhasilan organisasi dengan tujuan dan lebih mengutamakan kepentingan organisasi (Winner, 1982 dalam Yudi
menggunakan dua pandangan tentang komitmen organisasi yaitu affective dan
continuence. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa komitmen organisasi
yang bersifat affective berhubungan dengan satu pandangan profesionalisme yaitu pengabdian pada profesi. Sedangkan komitmen organisasi continuence
berhubungan secara positif dengan pengalaman dan berhubungan negatif dengan pandangan profesionalisme kewajiban sosial.
Selanjutnya, Porter, Lyman W., and Steers R.M. (1973) mendefinisikan
komitmen organisasional sebagai kekuatan relatif individu terhadap suatu organisasi dan keterlibatannya dalam organisasi tertentu, yang dicirikan oleh
tiga faktor psikologis: (1) Keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi tertentu, (2) Keinginan untuk berusaha sekuat tenaga demi organisasi dan (3) Kepercayaan yang pasti dan penerimaan terhadap
nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Berdasarkan pernyataan diatas, sumber daya manusia menjadi hal yang
penting untuk memajukan suatu organisasi. Meyer dan Allen (2003) mengatakan bahwa suatu organisasi tidak harus memiliki pekerja dengan jumlah banyak, akan tetapai pekerja yang menjadi “hati, otak dan otot” dari
organisasi. Dengan kata lain, organisasi atau perusahaan membutuhkan orang-orang yang benar-benar berkomitmen untuk dapat memajukan
Kobasa, Maddi dan Kahn (1982, dalam Meyer dan Allen, 1997) menyatakan bahwa komitmen pada pekerja berkembang secara natural dan
seseorang merasa perlu untuk berkomitmen pada sesuatu. Pekerja dengan komitmen tinggi, maka pekerja tersebut akan memiliki performa maksimal,
jarang absen, senang dengan keanggotaannya dan merasa terikat dengan organisasi tempat ia bekerja. Hal ini sangat erat kaitannya dengan output yang muncul dari pekerja dengan komitmen yang baik. Oleh karena itu, komitmen
merupakan salah satu aspek penting untuk mencapai tujuan perusahaan. Semakin tinggi komitmen yang dimiliki pekerja maka tujuan perusahaan akan
semakin cepat tercapai.
Berdasarkan pernyataan diatas bahwa pegawai yang kurang berkomitmen pada organisasi, pegawai akan menyalurkan komitmennya
tersebut pada hal lainnya seperti karir, hobi dan kelompok sosial. Seorang pekerja yang tidak berkomitmen pada organisasinya, ia akan mulai
mengevaluasi kemampuan dan pengalamannya untuk kemudian mencari tahu seberapa besar ia dihargai diluar organisasi daripada memikirkan pekerjaannya yang sekarang atau karir kedepannya di organisasi tersebut. Hal
ini secara tidak langsung memicu pekerja untuk tidak memperhatikan pekerjaannya, dan memiliki kemungkinan untuk tidak memperhatikan
pekerjaannya, dan memiliki kemungkinan untuk meninggalkan organisasi tersebut.
Mengacu pada pernyataan diatas bahwa pegawa yangi sampai
karena organisasi harus mencari sumber daya manusia baru untuk direktur dan dikembangkan agar sesuai dengan kebutuhan organsasi. Hal ini
menyebabkan komitmen merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Allen dan Meyer (1990) mengatakan bahwa komitmen organisasi sangat
berhubungan dengan turnover, seseorang yang komitmennya tinggi akan lebih terikat dengan organisasinya daripada pekerja yang komitmennya rendah. Pekerja dengan komitmen rendah akan memiliki kecenderungan
untuk meninggalkan organisasinya.
Berdasarkan penjelasan dari Allen dan Meyer (1990) tersebut dapat
ditinjau dari pentingnya komitmen organisasi untuk dimiliki pada pekerja agar organisasi bisa berjalan dengan optimal dan mencapai tujuannya. Komitmen seseorang pada organisasi bisa dikarenakan pegawai memang
senang untuk bekerja di organisasi tersebut karena merasa mendapatkan keuntungan karena pegawai tersebut tidak memiliki pilihan lain. Hal ini
menyebabkan pentingnya untuk mengetahui komitmen organisasi yang dimiliki individu.
Hal yang umum dari ketiga pendekatan tersebut adalah pandangan
bahwa komitmen merupakan kondisi psikologis yang mencirikan hubungan antara karyawan dengan organisasi dan memiliki implikasi bagi keputusan
individu untuk tetap berada atau meninggalkan organisasi. Namun demikian sifat dari kondisi psikologis untuk tiap bentuk komitmen sangat berbeda. Karyawan dengan komitmen afektif yang kuat tetap berada dalam organisasi
yang kuat tetap berada dalam organisasi karena membutuhkannya (need to), sedangkan karyawan yang memiliki komitmen normatif kuat tetap berada
dalam organisasi karena mereka harus melakukan (ought to) (Allen and Meyer, 1990).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan definisi komitmen organisasi dari Allen dan Meyer (1991 dalam Palupi 2004) yaitu keadaan psikologis yang (a) menggambarkan hubungan pekerja dengan organisasi dan
(b) memiliki implikasi pada keputusasn dirinya untuk melanjutkan atau menghentikan keanggotaan pada suatu organisasi.
2. Komponen Komitmen Organisasi
Sesuai dengan definisi yang telah dipaparkan di atas, terdapat 3 komponen dalam komitmen organisasi yaitu komitmen afektif, komitmen
kontinuitas dan komitmen normatif. 1. Komitmen Afektif
Komitmen afektif merupakan komitmen yang berasal dari keterlibatan secara emosional individu pada organisasi dimana ia bekerja. Hal ini berarti individu dengan komitmen aktif yang tinggi
adalah individu yang memiliki keinginan untuk tetap berada pada organisasi tersebut berdasarkan komponen afektif yang dimilikinya
Megyer dan Allen (1997, dalam Wiyardi, 2010). Jadi komitmen afektif berkaitan dengan adanya keterkaitan emosional, identifikasi dan keterlibatan pekerja dalam organisasi. Meyer dan Allen (1997,
secara emosional terhadap organisasi membuat individu memiliki motivasi yang lebih kuat untuk memberikan kontribusi organisasinya.
Sebagai contoh, seseorang akan memilih untuk tidak absen dari pekerjaannya dan menunjukkan performa yang baik,
mengidentifikasikan dirinya terlibat dalam organisasi dan menikmati keanggotaannya tersebut.
2. Komitmen Kontinuitans ( Komitmen Rasional)
Menurut Meyer dan Allen (1990) komitmen rasional adalah komitmen berdasarkan persepsi akan untung dan rugi yang diperoleh
apabila ia memutuskan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan keanggotaannya. Orang yang memiliki komitmen kontinuans yang tinggi akan bertahan pada suatu perusahaan karena perhitungan biaya
yang akan ia keluarkan apabila ia meninggalkan perusahaan dan bukan karena keterikatan emosi. Orang tersebut akan tetap berada
didalam organisasi karena ia membutuhkan organisasi tersebut. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingginya komitmen kontinuans adalah kondisi ekonomi, angka pengangguran dan
kurangnya alternatif pekerjaan lain (Colquitt, Lepine & Wesson 2009 dalam Wiyardi 2010). Seseorang yang bekerja diperusahaan dengan
3. Komitmen Normatif
Komitmen normatif berkaitan dengan adanya rasa wajib dari dalam
diri seseorang untuk tetap bertahan atau berhenti bekerja dari perusahaan (Meyer & Allen, 1990). Dengan kata lain, komitmen ini
melihat seberapa jauh loyalitas pekerja terhadap perusahaan berdasarkan rasa “wajib” yang dimilikinya untuk tetap tinggal di
organisasi tersebut.
Wiener (1982 dalam Palupi 2004) mengatakan bahwa komitmen normatif merupakan tekanan yang muncul sebagai akibat dari adanya
tekanan normatif. Tekanan normatif yang dimaksud adalah adanya “imbalan dimuka” yang diberikan organisasi kepada pekerjanya
sehingga membuat orang tersebut merasa “tidak enak” untuk
meninggalkan organisasinya sampai “utangnya” terbayarkan. Individu yang mempunyai komitmen normatif tinggi akan tetap bertahan dalam
organisasi, karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas.
Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa aspek dari komitmen normatife terdiri dari perasaan akan memotivasi individu untuk
bertingkahlaku secara baik dan melakukan tindakan yang tepat bagi organisasi. Adanya komitmen normatif diharapkan memiliki
hubungan yang positif dengan tingkah laku dalam pekerjaan, seperti
job performance, work attendance, dan organizational citizenship
komitmen normatife akan berdampak kuat pada suasana pekerjaan
B. Psychological Capital
1. Pengertian Psychological Capital
Menurut Luthan (2007:3) Psychological Capital adalah kondisi perkembangan positif seseorang dan karakteristik oleh : (1) memiliki
kepercayaan diri (self-efficacy) untuk menghadapi tugas–tugas yang menantang dan memberikan usaha yang cukup untuk sukses dalam tugas–tugas tersebut ; (2) membuat atribusi yang positif (optimism)
tentang kesuksesan dimana masa kini dan masa depan ; (3) tidak mudah menyerah dalam mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan untuk
mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan untuk mencapai tujuan
(hope) ; dan (4) ketika dihadapkan pada permasalahan dan halangan dapat bertahan dan kembali (resiliency), bahkan lebih untuk mencapai
kesuksesan.
2. Dimensi Psychological Capital 1. Self–efficacy
Bandura (dalam Betz, 2004), menyatakan bahwa self-efficacy
merupakan keyakinan individu bahwa ia dapat berhasil menjalankan
perilaku yang dibutuhkan oleh situasi tertentu. Dengan kata lain, self-efficacy merupakan kepercayaan seseorang terhadap keyakinan diri dan
kemampuannya dalam melakukan suatu pekerjaan, sehingga memperoleh suatu keberhasilan. Keberhasilan diri adalah kepercayaan orang lain terhadap kemampuan seseorang untuk berhasil dalam situasi tertentu
2. Hope (the will and the way)
Istilah hope digunakan secara luas dalam kehidupan sehari–hari.
Namun, sebagai kekuatan psikologis, terjadi banyak salah persepsi tentang hope itu sebenarnya dan apa karakteristik dari individu,
kelompok atau organisasi yang memiliki hope. Banyak yang mencampur adukan istilah hope dan wishfull thingking. C.Rick Synder (dalam Synder, Irving & Anderson 1991) mendefinisikan hope sebagai keadaan
psikologis positif yang didasarkan pada kesadaran yang saling mempengaruhi antara : agency (energi untuk mencapai tujuan), path
ways (perencanaan untuk mencapai tujuan).
Penelitian Synder (2002), mendukung ide bahwa hope adalah seseorang yang mampu menetapkan tujuan-tujuan dan pengharapan yang
menantang namun realistis dan kemudian mencoba mencapai tujuan– tujuan tersebut dengan kemampuan sendiri, energi dan persepsi control
internal. hal inilah yang disebut oleh Synder sebagai agency atau
willpower (kekuatan kehendak).
Seringkali terlewatkan dalam penggunaan istilah ini secara umum,
namun seperti yang didefinisikan oleh Snyder, C. R., Irving, L., & Anderson, J. (1991) komponen yang sama sama penting dan integralnya
dari hope adalah disebut sebagai pathways atau ways power (kemampuan untuk melakukan). Pada komponen ini, seseorang mampu menciptakan jalur–jalur alternatif untuk mencapai tujuan yang meereka inginkan
Synder, Luthan (dalam bisnis horizon, 2004) memberikan panduan khusus yang bisa digunakan dalam mengembangkan hope : 1) goal
setting untuk menetapkan dan memperjelas dengan detail apa yang menjadi tujuan selama ini 2) stepping memberikan penjelasan tengang
langkah–langkah kongkrit dalam mencapai tujuan tersebut 3)
participative initiatives membuat beberapa alternatif apabila satu alternatif sulit dilalui, maka menggunakan alternatif yang selanjutnya
untuk tetap mencapai tujuan 4) showing confidence memberikan pengakuan pada diri individu bahwa proses yang dikerjakan untuk
mencapai tujuan adalah hal yang disenangi dan tidak semata – mata fokus pada pencapapian akhir, 5) preparedness, selalu siap menghadapi rintangan.
Harapan didefinisikan sebagai keadaan motivasi positif yang didasarkan pada interaktif berasal rasa sukses (1) lembaga (energi yang
diarahkan pada tujuan) dan (2) jalur (perencanaan untuk memenuhi tujuan) "(Snyder, Irving, & Anderson, 1991).
3. Optimism
Optimism adalah suatu explanatory style memberikan atribusi peristiwa–peristiwa positif pada sebab–sebab yang personal permanen
serta pervasive dan menginterpretasikan peristiwa–peristiwa negatif pada faktor–faktor yang eksternal, sementara, serta situasional. Sebaliknya
explanatory style yang pestimistis akan menginterpretasikan peristiwa
situasional dan mengatribusi peristiwa negatif pada penyebab yang personal, permanent dan pervasive (Seligman,1998).
Berdasarkan penjelasan Optimism di atas, maka individu yang
Optimism akan merasa ikut andil dalam keadaan positif terjadi dalam
hidupya. Mereka memandang bahwa penyebab dari peristiwa–peristiwa yang menyenangkan dalam hidup mereka berada daam kekuasaan dan kontrol diri mereka. Seseorang yang Optimism akan berfikir bahwa
penyebab peristiwa–peristiwa tersebut akan terus ada dimasa depan dan akan membantu mereka menangani peristiwa lain dalam hidupnya.
Mereka memandang bahwa penyebab dari peristiwa–peristiwa yang menyenangkan dalam hidup mereka berada dalam kekuasaan dan kontrol mereka.
Seorang yang Optimism akan berpikir bahwa penyebab peristiwa– peristiwa tersebut akan terus ada dimasa depan dan akan membantu
mereka menangani peristiwa–peristiwa lain didalam hidupnya.
Optimism explanatory style yang dimiliki membuat mereka memandang secara positif serta mengatribusikan secara internal
aspek-aspek kehidupan baik bukan hanya dimasa lalu melainkan juga masa depan. Misalkan seorang karyawan mendapatkan umpan balik yang
positif dari pengawasannya maka ia akan menganggap bahwa hal tersebut dikarenakan sikap kerja sendiri, ia akan memastikan dirinya bahwa karyawan tersebut atau mampu untuk bekerja keras dan sukses
lakukan. Selain itu, ketika mereka mengalami peristiwa negatif atau dihadapkan pada situasi yang tidak di inginkan, orang yang Optimism
akan mengatribusikan penyebab hal tersebut pada sebab–sebab yang
eksternal dan situasional. Oleh karenanya, mereka tetap bersikap positif
dan percaya terhadap masa depannya (Seligman, 1998). 4. Resiliency
Dari sudut pandang psikologi klinis, Masten dan Reed (2002)
mendefinisikan resiliency sebagai kumpulan fenomena yang dikarakteristikan oleh pola adapatasi positif pada kontek keterpurukan
namun juga kegiatan–kegiatan yang positif dan menantang. Resiliency
adalah kemampuan individu dalam mengatasi tantangan hidup serta mempertahankan energi yang baik sehingga dapat melanjutkan hidup
secara sehat.
C. Hubungan Antara Psychological Capital dengan Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi merupakan perwujudan psikologis yang mengkarakteristikkan hubungan pekerja dengan organisasi dan memiliki
implikasi terhadap keputusan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan keanggotaannya dalam organisasi (Meyer & Allen, 1990).
Porter (1973) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kekuatan relatif individu terhadap suatu organisasi dan keterlibatannya dalam organisasi tertentu, yang dicirikan oleh tiga faktor psikologis: (1)
Keinginan untuk berusaha sekuat tenaga demi organisasi dan (3) Kepercayaan yang pasti dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan
organisasi.
Dengan mengacu pada pemaparan terkait dengan komitmen
organisasi, karyawan memiliki tugas untuk memelihara mutu kinerja pada organisasi atau perusahaan. mutu kinerja yang cukup baik sangat erat kaitannya dengan perkembangan keadaan psikologis secara positif dari
dalam diri karyawan itu sendiri. Luthans, Avolio, Walumbwa & Li (2004, dalam Shahnawaz & Jafri, 2009) menunjukkan bahwa psychological
capital memiliki hubungan yang signifikan dengan performa pekerja dan komitmen pekerja.
Komitmen organisasi memiliki hasil yang berbeda-beda. Komitmen
organisasi itu sendiri bisa didefinisikan sebagai suatu keadaan psikologis yang (a) mengambarkan hubungan pekerja dengan organisasi dan (b)
memiliki implikasi pada keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan keanggotaan pada suatu organisasi. Allen dan Meyer (1991 dalam Palupi, 2004). Hasil penelitian-penelitian yang sudah ada menunjukkan bahwa
terdapat suatu hubungan antar psychological capital dan komitmen organisasi. Begitu juga yang dilakukan oleh Larson & Luthans (2006,
orang yang memiliki psychological capital tinggi akan memiliki komitmen organisasi yang tinggi pula.
Sejalan dengan penelitian Larson dan Luthan (2006), hasil penelitian Youssef & Luthan (2007, dalam Luthans. Avolio, Bruce, Avey and
Norman,2007) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara komponen hope dan resilency apabila dikaitkan dengan komitmen organisasi. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Etabarian, Tavakoli
dan Abzari (2012) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara psychological capital terhadap komponen hope dan self-efficacy
pada komitmen organisasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Youssef dan Luthan (2007 dalam Luthans, Norman, Avolio & Avey, 2008) menunjukkan bahwa komponen
hope dari psychological capital memiliki hubungan terhadap performa pekerja, kepuasan kerja, kebahagiaan dan komitmen. Selain itu penelitian
dari penelitian dari Peterson and Luthan (2003 dalam Luthans, Norman, Avolio & Avey, 2008) menunjukkan bahwa komponen hope dari
psychological capital memiliki hubungan dengan performa finansial,
kepuasan kerja dan employee retention. Baron dan Greenberg (1990 dalam Jiu, 2010), selain itu Meyer et. Al (1993 dalam Scultz T. Th) menunjukkan
bahwa pekerja yang berkomitmen memiliki ekspektasi yang tinggi kepada pekerjaannya. Baugh & Roberts, (1994 dalam Schultz T. Th) menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki komitmen tinggi akan
Hasil penelitian dari Luthan, Avolio, Walumba & Li (2004 dalam Shahnawas & Jafri, 2009) menunjukkan bahwa psychological capital memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat absen pekerja, ”employee
cycnism” dan intention to quit, akan tetapi memiliki hubungan yang positif
dengan kepuasan kerja, komitmen, organizational citizenship behavior,
performa kerja dan keefektifan kepemimpinan. Hal ini disebabkan komitmen pegawai pada suatu organisasi secara tidak langsung akan
mempengaruhi absenteism dan turn over.
Hasil penelitian (Larson & Luthans, 2006; Youssef & Luthans, 2007)
juga mengungkapkan bahwa ada hubungan positif karyawan yang mempunyai ketahanan dalam bekerja dengan kepuasan kerja, komitmen dan kebahagiaan. Permasalahan komitmen pada karyawan mungkin saja
ditanggulangi pada saat melakukan rekrutmen tetapi hal tersebut tidak bisa menjamin komitmen tersebut bertahan seterusnya. Pada saat bekerja
mungkin saja terdapat berbagai hal yang mempengaruhi komitmen karyawan itu sendiri sehingga tidak bisa dipastikan apakah orang yang memiliki komitmen tinggi diawal masa kerjanya akan terus memiliki
komitmen yang tinggi untuk seterusnya. Colquitt, Lepine dan Wesson (2009 dalam Wiyardi, 2010) menjelaskan bahwa semakin tinggi komitmen
organisasi seseorang maka perilaku perilaku menarik diri dalam organisasi
akan semakin minim. Sebaliknya, tingginya perilaku perilaku menarik diri dalam organisasi yang berujung kepada keluarnya angota organisasi
Peneliti menduga karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang cukup baik akan mempengaruhi pula pada psychological capital, Peneliti
merasa tertarik untuk melakukan sebuah penelitian mengenai komitmen organisasi dan psychological capital pada pegawai BPKAD Surabaya
karena sebelumnya peneliti telah melakukan observasi terlebih dahulu terkait dengan aspek-aspek psychological capital yang terdapat pada pegawai di BPKAD. Peneliti melakukan hal tersebut untuk mengukur
tingkat komitmen organisasi dengan melihat susunan program yang terencana untuk mencapai visi yang ada. Penelitian ini merupakan salah
satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. Walaupun demikian, penelitian sejenis dibidang ini tetap diperlukan untuk memperkaya penelitian psychological capital terhadap komitmen
organisasi di Indonesia. Oleh karena itu, peneliti mencoba melihat hubungan antara psychological capital dan komitmen organisasi
karyawan.
Berdasarkan beberapa penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi seperti telah dipaparkan diatas
didapatkan suatu kesimpulan bahwa aspek psikologis individu merupakan faktor yang berpengaruh bagi munculnya komitmen organisasi dan salah
D. Landasan Teoritis
Kerangka teoritis penelitian ini adalah suatu uraian dan visualisasi
hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya atau antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang
ingin diteliti (Soekidjo Notoatmodjo, 2010). Kerangka teoritis dalam penelitian ini adalah variabel yang saling berhubungan. Adapun variabel bebas dari penelitian ini adalah psychological capital sedangkan variabel
terikatnya adalah komitmen organisasi.
Pegawai memiliki komitmen organisasi yang cukup baik dalam
menerapkan pekerjaannya, maka dapat dipastikan karyawan tersebut mempunyai berbagai aspek dari psychological capital Luthan, Youssef & Avolio (2007) seperti self-efficacy dikemukakan bahwa individu
mementukan target yang tinggi bagi dirinya dan mengerjakan tugas-tugas yang sulit, menerima tantangan secara senang dan terbuka, memiliki
motivasi diri yang tinggi, melakukan berbagai usaha untuk mencapai target yang telah dibuat, gigih saat menghadapi hambatan. Dengan penjelasan tersebut orang-orang dengan self-efficacy yang tinggi akan dapat
mengembangkan dirinya secara mandiri dan mampu untuk menjalankan tugas secara efektif. Orang yang memiliki self-efficacy tinggi akan mampu
untuk menetapkan tujuan dan memilih tugas yang sulit untuk dirinya. Penjelasan lebih lanjut dari Luthans, Youssef & Avolio (2007) mengenai orang optimis adalah orang yang akan beranggapan segala
dilakukan dan berada dalam kontrol dirinya. Orang tersebut secara tidak langsung akan melihat segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya dan
apabila terjadi suatu hal yang negatif dalam hidupnya, individu akan terus bersikap positif dan percaya akan masa depannya. Pada orang yang
pesimistis, individu tidak akan perhatian pada hal yang positif dalam hidupnya bahkan hanya fokus pada anggapan hal yang terjadi tersebut dikarenakan kesalahan semata.
Individu yang optimis menjadi realistik dan fleksibel. Hal tersebut dikarenakan optimisme dalam psychological capital tidak hanya
digambarkan sebagai perasaan positif dan egois tetapi menjadi suatu pembelajaran yang kuat dalam hal disiplin diri. Individu dengan optimisme
yang tinggi akan mampu merasakan implikasi secara kognitif dan
emosional ketika mendapatkan kesuksesan. Individu tersebut juga mampu menentukan nasibnya sendiri meskipun mendapatkan tekanan dari orang
lain mampu memberikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terkait ketika dirinya mencapaii kesuksesan (Luthans, Youssef & Avolio,2007).
Berdasarkan penjelasan diatas menunjukkan bahwa individu yang memiliki optimism akan mampu memandang permasalahan yang terjadi
Luthans (2007) menyatakan bahwa ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk meningkatkan hope pada diri seseorang. Hal yang perlu
diperhatikan adalah goal-setting. Individu perlu mengetahui apa yang menjadi tujuannya sehingga mengetahui apa yang di capai dan cara yang
tepat. Selain itu, individu perlu melakukan stepping untuk meningkatkan
hope dalam dirinya. Stepping itu sendiri merupakan suatu cara untuk menjabarkan setiap langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan.
Hal terakhir yang dapat meningkatkan hope adalah reward. Reward
mampu mendorong seseorang untuk mencapai harapannya sehingga
individu akan termotivasi untuk bekerja.
Luthans (2007) individu yang memiliki kemampuan resiliensi yang tinggi mampu untuk belajar dan berkembang dari tantangan yang dihadapi.
Masten dan Reed (dalam Luthan, 2007) mendefiniskan resiliensi sebagai fenomena dengan pola adaptasi positif dalam konteks situasi yang
menyulitkan dan berisiko.
Masten dan Reed (dalam Luthan, 2007) menjelaskan bahwa perkembangan dari resiliensi itu sendiri bergantung pada dua faktor yaitu
resiliency assets dan resilience risk (Luthans, Youssef & Avolio,2007).
resiliency assets adalah karakteristik yang dapat diukur pada suatu
pengalaman yang tidak mendukung perkembangan diri, contohnya seperti kecanduan alcohol, obat-obatan terlarang dan terpapar trauma kekerasan.
Baron dan Greenberg (1990 dalam Jiu, 2010), selain itu Meyer et. Al (1993 dalam Scultz T. Th) menunjukan bahwa pekerja yang
berkomitmen memiliki ekspektasi yang tinggi kepada pekerjaannya. Baugh & Roberts, (1994 dalam Schultz T. Th) menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki performa yang
[image:49.595.135.514.261.513.2]lebih baik. Peneliti merasa tertarik untuk melakukan sebuah pene
Gambar 1. Skema Konsep Penelitian
E. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan
masalah penelitian (Sugiono, 2008 : 96). Hipotesis dalam penelitian ini dijelaskan menjadi dua hipotesis yaitu hipotesis alternatif dan hipotesis null.
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
Terdapat hubungan antara psychological capital dengan komitmen
organisasi.
2. Hipotesis Null (H0)
Tidak terdapat hubungan antara psychological capital dengan
komitmen organisasi.
Psychological
BAB III
METODE PENELITIAN A.Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel bebas
Menurut Luthan (2007:3) Psychological Capital adalah kondisi
perkembangan positif seseorang dan karakteristik oleh : (1) memiliki kepercayaan diri (self-efficacy) untuk menghadapi tugas–tugas yang menantang dan memberikan usaha yang cukup untuk sukses dalam tugas–
tugas tersebut ; (2) membuat atribusi yang positif (optimism) tentang kesuksesan dimana masa kini dan masa depan ; (3) tidak mudah menyerah dalam mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan jalan untuk mencapai
tujuan dan bila perlu megnalihkan jalan untuk mencapai tujuan (hope) ; dan (4) ketika dihadapkan pada permasalahan dan halangan dapat bertahan
dan kembali (resiliency), bahkan lebih untuk mencapai kesuksesan.
2. Definisi Operasional
Psychological capital adalah kondisi perkembangan positif
seseorang dan karakteristik oleh : (1) memiliki kepercayaan diri ( self-efficacy) untuk menghadapi tugas–tugas yang menantang dan memberikan
usaha yang cukup untuk sukses dalam tugas–tugas tersebut ; (2) membuat atribusi yang positif (optimism) tentang kesuksesan dimana masa kini dan
dihadapkan pada permasalahan dan halangan dapat bertahan dan kembali (resiliency), bahkan lebih untuk mencapai kesuksesan.
3. Variabel Tergantung (Komitmen Organisasi)
Allen dan Meyer (1990) Komitmen organisasi yaitu keadaan psikologis yang (a) menggambarkan hubungan pekerja dengan organisasi
dan (b) memiliki implikasi pada keputusan dirinya untuk melanjutkan atau menghentikan keanggotaan pada suatu organisasi komitmen organisasi
mempunyai 3 yaitu komitmen afektif, komitmen kontinuitas dan komitmen normatif.
4. Definisi Operasional
Komitmen organisasi yaitu keadaan psikologis yang didalamnya memuat 3 komponen yaitu komitmen afektif, komitmen kontinuitas dan
komitmen normatif.
B.Populasi, Sampel dan Teknik Sampling 1. Populasi
Penelitian ini adalah pegawai yang bekerja di Pegawai Negeri Sipil (BPKAD) Surabaya dengan jumlah 200 pegawai negeri sipil.
2. Sampel
Subyek yang digunakan dalam penelitian adalah 50 pegawai negeri
3. Teknik Sampling
Menggunakan teknik Acceidental sampling yang bersifat non probability
sampling dengan teknik ini yang peneliti memberikan alat ukur secara kebetulan pada subjek yang ditemui atau mudah ditemui dilokasi.
C.Teknik Pengumpulan Data
Dalam Sugiono (2008) teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standart data yang ditetapkan.
Dalam Azwar (2000) menurut Gable, 1986 metode rating yang
dijumlahkan populer dengan nama penskalaan model Likert merupakan metode penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai
dasar penentuan nilai skalanya. Dalam pendekatan ini tidak diperlukan adanya kelompok panel penilai (judging group) dikarenakan nilai skala setiap
pernyataan tidak akan ditentukan derajat favorabelnya masing-masing akan tetapi ditentukan oleh distribusi respon setuju atau tidak setuju dari sekelompok responden yang bertindak sebagai kelompok uji coba (pilot study).
Dalam Azwar (2000) Kelompok uji coba ini hendaknya memiliki karakteristik yang semirip mungkin dengan karakteristik individu yang hendak
sebagai kelompok uji coba ini, menurut saran Gable (1986) adalah sekitar 6
sampai 10 kali lipat banyaknya pernyataan yang akan dianalisis.
Dalam Azwar (2000) prosedur penskalaan dengan metode rating yang dijumlahkan didasari oleh dua asumsi, yaitu (1) setiap pernyataan sikap yang telah ditulis dapat disepakati sebagai termasuk pernyataan yang favorabel atau
pernyataan yang tak–favorabel (2) jawaban yang diberikan oleh individu yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot atau nilai yang lebih tinggi
daripada jawaban yang diberikan oleh responden yang mempunyai sikap negatif.
Pada penelitian ini tipe skala yang akan digunakan adalah skala Likert.
Alasan peneliti menggunakan skala Likert yaitu untuk memudahkan partisipan untuk memberikan tanda pada setiap instrumen yang telah di pahami. Skala
Likert memiliki asumsi bahwa setiap item yang digunakan memiliki bobot yang sama dan bertujuan untuk mengukur sikap seseorang terhadap suatu
[image:54.595.118.517.270.720.2]persoalan (Azwar, 2000).
Tabel 1.
Blueprint Komitmen Organisasi
Dimensi Indikator No item pernyataan Total
1. Komitmen Afektif
Keterlibatan secara emosional, keinginan tetap berada, identifikasi, memiliki motivasi kuat, memberikan kontribusi, tidak absen, performa baik, menikmati keanggotaannya 5,8,11,18,21,24,31,34,41,44 ,47,94,97,100,103 15 2. Komitmen Rasional
Persepsi akan untung dan rugi melanjutkan atau tidak melanjutkan keanggotaannya, bertahan pada suatu perusahaan, 6,9,12,19,22,29,32,35,42,45 ,48,95,98,101,104 15 3. Komitmen Normatif
Tetap bertahan, rasa wajib 7,10,17,20,23,30,33,36,43,4 6,93,96,99,102,105
Tabel 2.
Blueprint Psychological Capital
D. Validitas dan Reliabilitas Data
1. Uji Validitas
(Azwar, 1997) Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketetapan dan kecermatan suatu alat ukur dalam
melakukan fungsi ukurnya, suatu tes atau instrumen pengukuran dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut
Dimensi Indikator No item pernyataan Total
1. Hope
a. Keinginan yang didasari interaksi
akan perasaan sukses
1,13,53,65,81 5
b. Berfikir positif dalam merencanakan
tujuan
25,37,49,54,57,61,
69,73,77,85,89
11
2. Self Efficacy
a. Mampu memberikan motivasi diri
sendiri dan orang lain
4,52,72,76,80 5
b. Yakin akan kemampuan yang
dimiliki
28,40,50,56,60,
64,68,84,88,92
10
3. Resilience (Ketahanan)
a. Menghindarkan diri dari
ketidakbaikkan, ketidakpastian,
konflik, kegagalan
3,15,27,39,59,63,67,7
9,91,71
9
b. Menciptakan perubahan positif,
kemajuan dan peningkatan
tanggungjawab
51,55,75,83,87 5
4. Optimism (Optimis)
a. Berharap dan yakin akan sukses di
masa depan
2,14,16,26,38,58,62,6
6,
menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil alat ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut.
Data yang digunakan merupakan hasil skor dari kuisioner yang disebarkan dalam bentuk kualitatif dan diubah dalam bentuk kuantitatif.
Data kuantitatif tersebut kemudian diuji validitasnya dengan menggunakan program SPSS 16 for windows dalam perhitungan korelasi. Uji validitas item–item pernyataan terdapat dalam kuesioner dilakukan
dengan jalan melihat nilai probabilitasnnya atas nilai signifikansinya. Apabila nilai signifikansinya kurang dari taraf kesalahan ( 5% atau 0,05)
maka dapat disimpulkan bahwa alat tersebut valid.
Pengukuran validitas adalah dengan menentukan besarnya nilai r tabel dengan ketentuan. Adapun kaidah yang digunakan adalah
sebagai berikut : 1) Jika harga corrected item total correlation
bertanda positif dan < r tabel, maka item tidak valid, 2) Jika harga
corrected item total correlation bertanda negatif dan < r tabel, maka item tidak valid, 3) Jika harga corrected item total correlation
bertanda negatif dan < r tabel, maka item tidak valid, dan 4) Jika harga
corrected item total correlation bertanda positif dan > r tabel, maka item valid.
a. Skala Psychological Capital
Dari hasil uji validitas 59 item skala Psychological Capital
[image:56.595.148.514.255.534.2]aitem nomor 4, 14, 28, 37, 38, 40, 49, 51, 52, 55, 58, 61, 69, 74, 75, 76, 80, 86, 87, 88, 90, 91 dengan taraf signifikansi 5 %.
Tabel 3.
Aitem Psychological Capital
Aitem Aitem -total korelasi
r-tabel Keterangan
Aitem 4 0.323 0.250 Tinggi
Aitem14 0.288 0.250 Rendah
Aitem28 0.285 0.250 Rendah
Aitem37 0.361 0.250 Tinggi
Aitem38 0.341 0.250 Tinggi
Aitem40 0.372 0.250 Tinggi
Aitem49 0.346 0.250 Tinggi
Aitem51 0.472 0.250 Tinggi
Aitem52 0.473 0.250 Tinggi
Aitem55 0.446 0.250 Tinggi
Aitem58 0.347 0.250 Tinggi
Aitem61 0.441 0.250 Tinggi
Aitem69 0.383 0.250 Tinggi
Aitem74 0.431 0.250 Tinggi
Aitem75 0.518 0.250 Tinggi
Aitem76 0.331 0.250 Tinggi
Aitem80 0.391 0.250 Tinggi
Aitem86 0.297 0.250 Rendah
Aitem87 0.444 0.250 Tinggi
Aitem88 0.468 0.250 Tinggi
Aitem90 0.452 0.250 Tinggi
Aitem91 0.415 0.250 Tinggi
b. Skala Komitmen Organisasi
Dari hasil uji validitas 29 item skala Komitmen Organisasi terdapat 22 item yang aitem yang mempunyai nilai rendah dan
29, 31, 32, 32, 34, 35, 42, 43, 44, 45, 46, 93, 96, 97, 98, 103, 104 dengan taraf signifikansi 5 %.
Tabel 4.
Aitem Komiten Organisasi
Aitem Aitem Total
korelasi
r-tabel Keterangan
Aitem 6 0.456 0.250 Tinggi
Aitem 7 0.352 0.250 Tinggi
Aitem 8 0.316 0.250 Tinggi
Aitem 9 0.308 0.250 Tinggi
Aitem 10 0.451 0.250 Tinggi
Aitem 11 0.370 0.250 Tinggi
Aitem 17 0.395 0.250 Tinggi
Aitem 18 0.462 0.250 Tinggi
Aitem 19 0.509 0.250 Tinggi
Aitem 21 0.419 0.250 Tinggi
Aitem 22 0.607 0.250 Tinggi
Aitem 23 0.346 0.250 Tinggi
Aitem 24 0.327 0.250 Tinggi
Aitem 29 0.769 0.250 Tinggi
Aitem 31 0.325 0.250 Tinggi
Aitem 32 0.544 0.250 Tinggi
Aitem 34 0.299 0.250 Tinggi
Aitem 35 0.370 0.250 Tinggi
Aitem 42 0.389 0.250 Tinggi
Aitem 43 0.395 0.250 Tinggi
Aitem 44 0.566 0.250 Tinggi
Aitem 45 0.545 0.250 Tinggi
Aitem 46 0.478 0.250 Tinggi
Aitem 93 0.616 0.250 Tinggi
Aitem 96 0.272 0.250 Rendah
Aitem 97 0.437 0.250 Tinggi
Aitem 98 0.279 0.250 Rendah
Aitem 103 0.434 0.250 Tinggi
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas sebenarnya mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecermatan
pengukuran. Reliabilitas ini ditunjukkan oleh konsistensi sk