• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPTIMASI PARAMETER INPUT SELAMA PENYIMPANAN PEPAYA IPB 1 (Carica papaya L.) DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DAN ALGORITMA GENETIK ISMI MAKHMUDAH EDRIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "OPTIMASI PARAMETER INPUT SELAMA PENYIMPANAN PEPAYA IPB 1 (Carica papaya L.) DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DAN ALGORITMA GENETIK ISMI MAKHMUDAH EDRIS"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMASI PARAMETER INPUT SELAMA PENYIMPANAN PEPAYA IPB 1 (Carica papaya L.) DENGAN JARINGAN

SYARAF TIRUAN DAN ALGORITMA GENETIK

ISMI MAKHMUDAH EDRIS

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2008

(2)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

OPTIMASI PARAMETER INPUT SELAMA PENYIMPANAN PEPAYA IPB 1 (Carica papaya L.) DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DAN

ALGORITMA GENETIK

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

ISMI MAKHMUDAH EDRIS F14104076

Dilahirkan pada tanggal 29 Juni 1986 Di Wonogiri, Jawa Tengah Tanggal Lulus, Agustus 2008

Menyetujui,

Dr. Ir. Sutrisno, M. Agr Dr. Ir. Suroso, M. Agr Dosen Pembimbing Akademik I Dosen Pembimbing Akademik II

Mengetahui,

Dr. Ir. Wawan Hermawan, M.S.

Ketua Departemen Teknik Pertanian

(3)

Ismi Makhmudah Edris. F14104076. Optimasi Parameter Input Selama Penyimpanan Pepaya IPB 1 (Carica papaya L.) dengan Jaringan Syaraf Tiruan dan Algoritma Genetik. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sutrisno, M. Agr dan Dr. Ir. Suroso, M. Agr.

RINGKASAN

Tuntutan pasar terhadap mutu produk buah-buahan akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya gaya hidup dan pendidikan masyarakat selaku konsumen. Konsumen akan semakin cermat dan spesifik dalam memilih suatu produk. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pasar dan menghasilkan buah segar dengan mutu bagus perlu dilakukan penanganan pasca panen yang tepat, terintegrasi, dan menggunakan teknik komputerisasi yang telah berkembang untuk kegiatan agribisnis. Salah satu komoditas agribisnis yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah pepaya.

Hubungan antara parameter input penyimpanan dan parameter mutu bahan merupakan hubungan yang komplek karena seluruh parameter input penyimpanan pada dasarnya berpengaruh terhadap mutu bahan. Tujuan umum penelitian adalah optimasi parameter input selama penyimpanan buah pepaya IPB 1 (Carica papaya L.) menggunakan jaringan syaraf tiruan dan algoritma genetik.

Jaringan Syaraf Tiruan (JST) digunakan sebagai teknik pendugaan hubungan parameter input dan parameter mutu pepaya. Berdasarkan keberagaman data maka disusun lima skenario. Optimasi struktur algoritma propagasi balik dilakukan dengan trial error iterasi, jumlah unit lapisan tersembunyi, konstanta momentum dan variasi unit input. Dari kelima skenario yang disusun, skenario dengan kinerja terbaik adalah skenario IV dengan struktur JST 3 lapisan: 3 unit pada lapisan input, 8 unit pada lapisan tersembunyi dan 2 unit pada lapisan output;

pada iterasi 50 000; dengan konstanta parameter pembelajaran adalah: laju pembelajaran 0.6, konstanta momentum 0.6 dan konstanta sigmoid 1. Parameter input sebagai unit input adalah tingkat kematangan, suhu simpan dan lama simpan. Sedangkan parameter mutu sebagai unit output adalah TPT dan kekerasan. Skenario IV menunjukkan kinerja JST dengan nilai koefisien determinasi (R2) pelatihan 0.8984, 0.7668 dengan root mean square error 0.00241 dan R2 pengujian 0.3189 dan 0.431.

Algoritma Genetik (AG) digunakan sebagai teknik optimasi parameter input untuk mencari pada set point parameter input berapa terjadi Total Padatan Terlarut (TPT) paling kecil, tingkat kekerasan paling besar dan masa simpan terpanjang selama penyimpanan. Dari running program AG diperoleh nilai TPT 8.810 obrix, kekerasan: 3.623 kgf sebagai parameter mutu, masa simpan: 182.503 jam, tingkat kematangan: 0% dan suhu simpan: 5 oC. Hal ini berarti, jika diinginkan terjadi minimisasi TPT, maksimisasi tingkat kekerasan dan masa simpan maka pepaya disimpan pada tingkat kematangan 0% dan suhu simpan 5 oC.

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wonogiri, Jawa Tengah pada tanggal 29 Juni 1986 sebagai anak kedua dari pasangan Edris, B.A dan Tuti Trihatmi. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN Manjung I pada tahun 1998, SMPN I Wonogiri pada tahun 2001, SMAN I Wonogiri pada tahun 2004 dan pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan memilih Bagian Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian pada tahun 2007.

Penulis telah melaksanakan kegiatan Praktek Lapangan di Pusat Pelatihan

dan Kewirausahaan Sampoerna, Pandaan, Jawa Timur dengan judul

“Mempelajari Aspek Keteknikan Pertanian pada Integrated Farming System di Pusat pelatihan Kewirausahaan Sampoerna (Kajian Khusus pada Teknik Pasca Panen Hortikultura)”

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Petanian, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Optimasi Parameter Input Selama Penyimpanan Pepaya IPB 1 (Carica papaya L.) dengan Jaringan Syaraf Tiruan dan Algoritma Genetik”.

Bogor, Agustus 2008

Penulis

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Optimasi Parameter Input Selama Penyimpanan Pepaya IPB 1 (Carica papaya L.) dengan Jaringan Syaraf Tiruan dan Algoritma Genetik” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian.

Tujuan penelitian ini adalah optimasi lingkungan mikro dan tingkat kematangan selama penyimpanan dingin buah pepaya IPB 1 (Carica papaya L.).

Penyusunan skripsi tidak terlepas dari bantuan semua pihak yang telah memberikan ilmu, meluangkan waktu dan tenaganya di dalam penelitian ini baik secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Sutrisno, M. Agr dan Dr. Ir. Suroso, M. Agr. sebagai dosen pembimbing atas bimbingan dan arahan dalam penyelesaian tugas akhir.

2. Sugiyono, STP., Msi, Enrico Saefullah, STP., Msi, dan Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si sebagai tim proyek dan dosen penguji atas bimbingan dan arahan dalam penyelesaian tugas akhir.

3. Chusnul Arif, S.Tp atas kesediaannya memberikan source code program algoritma genetik.

4. Rekan-rekan satu tim dan satu topik penelitian atas kerjasama, motivasi dan seluruh ilmu dalam penyelesaian tugas akhir.

5. Eko dan Aulia yang telah memberikan petunjuk, motivasi dan bantuan selama satu bimbingan.

6. Sahabat (Vidy, Ananti, Daragantina, Nurul, Uchie dan Viana) yang telah memberi makna dan kehidupan di dalam persahabatan.

7. Ronal dan Udin yang selalu memberikan motivasi, kebijaksanaan dan segala bantuan dalam kondisi apapun. “Kita ingin merasakan sari pati hidup”-Andrea Hirata: Laskar Pelangi-

8. Keluarga Iswara (Eni, Rina, Lala, Wenny, Nona dan Ratih) yang telah menjadi keluarga selama penulis menyelesaikan tugas akhir.

(6)

9. Para pecinta VB (Yudhik dan Abud) atas segala bantuan dan ilmu programnya.

10. Keluarga TEP 41 yang selalu memberikan motivasi, bantuan dan pendewasaan pemikiran selama masa kuliah.

11. Bu Ros dan Bu Mar yang tak henti-hentinya membantu mahasiswa yang buta akan prosedur-prosedur penelitian sampai dengan wisuda kelak.

12. Keluarga besar Departemen Teknik Pertanian dan semua pihak yang telah membantu penulis yang tak mungkin bisa disebutkan satu persatu.

Dan akhirnya, saya persembahkan karya tulis ini kepada orangtua, kakak dan adikku, kakak iparku, keluarga besar dan keluarga Subang. Terima kasih atas dorongan, motivasi dan doa yang tidak akan pernah lekang terhapus waktu.

Penyusunan skripsi ini mungkin belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan sebagai perbaikan.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

A. Pepaya (Carica papaya L.) ... 6

B. Fisiologi Pasca Panen ... 8

C. Penyimpanan ... 9

D. Parameter Lingkungan Mikro Penyimpanan ... 10

1. Kelembaban relatif ... 10

2. Suhu simpan ... 11

E. Parameter Mutu Buah ... 12

1. Tingkat kematangan ... 12

2. Kekerasan ... 13

3. Total padatan terlarut ... 14

4. Susut bobot ... 15

5. Warna ... 15

F. Jaringan Syaraf Tiruan ... 16

G. Algoritma Genetik ... 23

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 27

B. Tahapan Penelitian ... 27

1. Persiapan penelitian dan studi pendahuluan ... 27

2. Pengumpulan dan pemilihan data ... 27

3. Penyusunan skenario jaringan syaraf tiruan ... 28

4. Optimasi arsitektur JST ... 33

5. Modifikasi program algoritma genetik ... 34

6. Optimasi dengan algoritma genetik ... 35

IV. Hasil dan Pembahasan ... 40

A. Skenario Pendugaan Mutu dengan Jaringan Syaraf Tiruan ... 40

1. Skenario I ... 41

2. Skenario II ... 48

3. Skenario III ... 51

4. Skenario IV ... 55

5. Skenario V ... 58

B. Analisa Skenario ... 61

C. Algoritma Genetik ... 63

(8)

V. Kesimpulan dan Saran... 69 DAFTAR PUSTAKA ... 70 LAMPIRAN ... 74

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi nutrisi dan vitamin buah dan daun pepaya per 100 gram bahan ... 7

2. Rekomendasi suhu, kelembaban relatif dan daya simpan buah tropik ... 12

3. Data selang skenario I ... 29

4. Data selang skenario II ... 29

5. Data selang skenario III ... 30

6. Data selang skenario IV... 31

7. Data selang skenario V ... 32

8. Parameter inisiasi arsitektur setiap skenario ... 36

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pepaya IPB 1 ... 8

2. Model sederhana JST ... 17

3. Arsitektur propagasi balik ... 21

4. Diagram alir AG ... 24

5. Arsitektur jaringan syaraf tiruan skenario I ... 28

6. Arsitektur jaringan syaraf tiruan skenario II ... 30

7. Arsitektur jaringan syaraf tiruan skenario III ... 31

8. Arsitektur jaringan syaraf tiruan skenario IV ... 32

9. Arsitektur jaringan syaraf tiruan skenario V ... 33

10. Diagram alir tahapan penelitian... 37

11. Grafik hubungan TPT antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I ... 42

12. Grafik hubungan kekerasan antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I ... 43

13. Grafik hubungan derajat kecerahan (L*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I ... 43

14. Grafik hubungan derajat warna hijau (-a*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I ... 43

15. Grafik hubungan derajat warna hijau (+b*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I ... 44

16. Grafik hubungan laju konsumsi CO2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I ... 44

17. Grafik hubungan laju produksi O2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I ... 45

18. Grafik hubungan susut bobot (%) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I ... 45

19. Grafik hubungan TPT antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I ... 45

20. Grafik hubungan kekerasan antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I ... 46

21. Grafik hubungan derajat kecerahan (L*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I ... 46

22. Grafik hubungan derajat warna hijau (-a*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I ... 46

(11)

23. Grafik hubungan derajat warna kuning (+b*) antara hasil pengukuran

dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I ... 47 24. Grafik hubungan laju konsumsi CO2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran

dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I ... 47 25. Grafik hubungan laju produksi O2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran

dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I ... 48 26. Grafik hubungan susut bobot (%) antara hasil pengukuran dengan

pendugaan JST pada proses pengujian skenario I ... 48 27. Grafik hubungan laju produki CO2 antara hasil pengukuran dengan

pendugaan JST pada proses pelatihan skenario II... 50 28. Grafik hubungan laju konsumsi O2 antara hasil pengukuran dengan

pendugaan JST pada proses pelatihan skenario II... 50 29. Grafik hubungan laju produksi CO2 antara hasil pengukuran dengan

pendugaan JST pada proses pengujian skenario II ... 51 30. Grafik hubungan laju konsumsi O2 antara hasil pengukuran dengan

pendugaan JST pada proses pengujian skenario II ... 51 31. Grafik hubungan laju produksi CO2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran

dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario III ... 53 32. Grafik hubungan laju konsumsi O2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran

dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario III ... 53 33. Grafik hubungan susut bobot (%) antara hasil pengukuran dengan pendugaan

JST pada proses pelatihan skenario III... 54 34. Grafik hubungan laju produksi CO2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran

dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario III... 54 35. Grafik hubungan laju konsumsi O2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran

dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario III... 55 36. Grafik hubungan susut bobot (%) antara hasil pengukuran dengan pengujian

JST pada proses pengujian skenario III ... 55 37. Grafik hubungan TPT (obrix) antara hasil pengukuran dengan pendugaan

JST pada proses pelatihan skenario IV ... 57 38. Grafik hubungan kekerasan (kgf) antara hasil pengukuran dengan pendugaan

JST pada proses pelatihan skenario IV ... 57 39. Grafik hubungan TPT (obrix) antara hasil pengukuran dengan pendugaan

JST pada proses pengujian skenario IV ... 57 40. Grafik hubungan kekerasan (kgf) antara hasil pengukuran dengan pendugaan

JST pada proses pengujian skenario IV ... 58 41. Grafik hubungan derajat kecerahan (L*) antara hasil pengukuran dengan

pendugaan JST pada proses pelatihan skenario V ... 59

(12)

42. Grafik hubungan derajat warna hijau (-a*) antara hasil pengukuran dengan

pendugaan JST pada proses pelatihan skenario V ... 60

43. Grafik hubungan derajat warna kuning (+b*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario V ... 60

44. Grafik hubungan derajat kecerahan (L*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario V ... 60

45. Grafik hubungan derajat warna hijau (-a*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario V ... 61

46. Grafik hubungan derajat warna kuning (+b*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario V ... 61

47. Tampilan program AG yang telah di- running ... 66

48. Grafik evolusi Total Padatan Terlarut (TPT) ... 67

49. Grafik evolusi kekerasan ... 67

50. Grafik evolusi tingkat kematangan ... 67

51. Grafik evolusi lama simpan ... 68

52. Grafik evolusi suhu simpan ... 68

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Data hasil penelitian Syska (2006) ... 74

2. Data hasil penelitian Ariyanti (2007) ... 76

3. Data hasi penelitian Krisna (2007) ... 78

4. Data hasil penelitan Silalahi (2007) ... 80

5. Data skenario I ... 81

6. Data skenario II ... 83

7. Data skenario III ... 87

8. Data skenario IV ... 88

9. Data skenario V ... 89

10. Data optimasi backpropagation skenario I ... 91

11. Data optimasi backpropagation skenario II ... 93

12. Data optimasi backpropagation skenario III ... 94

13. Data optimasi backpropagation skenario IV ... 95

14. Data optimasi backpropagation skenario V ... 96

15. Perhitungan di dalam jaringan syaraf tiruan ... 97

16. Data pembobot skenario IV ... 104

17. Data generasi yang terbentuk selama evolusi ... 106

(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Letak geografis Indonesia yang berada di bawah garis khatulistiwa menyebabkan Indonesia beriklim tropik dengan dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan dengan curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 2000-3500 mm/tahun dengan kelembaban rata-rata yang cukup tinggi yaitu 80%. Kondisi geografis ini memungkinkan bagi Indonesia untuk melakukan pembudidayaan aneka tanaman hortikultura sepanjang tahun dan disebutkan pula bahwa Indonesia sebagai pusat plasma nutfah flora dunia karena letak geografisnya (Ashari, 2006).

Dengan dukungan potensi alam dan potensi plasma nutfahnya, maka sangat besar kemungkinan bagi Indonesia untuk mengembangkan buah- buahan tropik Indonesia menjadi komoditas unggulan yang diharapkan dapat bersaing dengan komoditas luar negeri di pasar lokal maupun internasional.

Potensi kekayaan dan keberagaman sumber daya hayati atau plasma nutfah memungkinkan bagi para peneliti, plant breeder, untuk menciptakan genotipe unggul seperti pepaya IPB 1 yang telah dikembangkan oleh pemulia tanaman dari Pusat Kajian Buah-buahan Tropika Institut Pertanian Bogor (PKBT IPB).

Kebijakan pemerintah dalam upaya untuk eksplorasi sumber daya hayati diantaranya adalah menciptakan prioritas terhadap komoditas-komoditas yang memiliki potensi ekonomi tinggi dan berpeluang pasar tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Termasuk di dalamnya adalah pepaya yang menjadi salah satu prioritas komoditas yang ditingkatkan karena memiliki potensi ekspor. Pena (2002) menyajikan data dari FAO (2000) bahwa selama tahun 1998 lebih dari 5.2 juta ton pepaya diproduksi di 47 negara. Brazil adalah negara produsen pepaya terbesar yang menyumbang 32% dari total produksi dunia (1 700 000 ton). Empat negara produsen terbesar lain adalah Nigeria (751 000 ton), Mexico (498 000 ton), Indonesia (489 948 ton), dan India (450 000 ton). Dari data Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), paling tidak, pepaya memiliki pasar di Timur Tengah, Singapura, Perancis, Malaysia,

(15)

dan Jepang. Nilai ekspor pepaya adalah 15 980 dollar AS atau sekitar Rp 143 juta pada tahun 2002 (http://indobic.or.id/berita).

Dari data di atas dapat dilihat bahwa pepaya merupakan salah satu produk hortikultura yang memiliki potensi ekonomi yang besar untuk dikembangkan. Selain itu, ditinjau dari aspek pembangunan kesehatan masyarakat, pemerintah telah mencanangkan peningkatan produk hortikultura untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat (Ashari, 2006). Kebijakan ini ditempuh oleh pemerintah mengingat bahwa pemenuhan gizi masyarakat dari bahan hortikultura di Indonesia masih sangat kurang dari standar FAO.

Menurut Napitupulu (2003) di dalam Ashari (2006), konsumsi buah masyarakat Indonesia (1999-2002) mengalami kenaikan dari 50.7 g/kapita/hari (18.51 kg/kapita/tahun) menjadi 74.4 g/kapita/hari (27.16 kg/kapita/tahun). Namun angka ini masih jauh dari kebutuhan minimal standar FAO yaitu 60 kg/kapita/tahun.

Seiring dengan program tersebut maka akan terbentuk pola pikir masyarakat yang akan selalu berusaha untuk memenuhi standar konsumsi buah-buahan sebagai asupan gizi. Tidak diragukan lagi, permintaan terhadap aneka produk hortikultura akan terus meningkat. Selaras dengan pola pikir masyarakat yang terbentuk, pengetahuan terhadap seluruh faktor kualitas atau mutu suatu produk juga akan terbentuk sehingga tuntutan pasar terhadap mutu suatu produk akan semakin meningkat dalam arti bahwa konsumen akan semakin cermat dan spesifik dalam memilih suatu produk. Perubahan mutu hasil hortikultura termasuk warna, kekerasan, aroma dan citarasa merupakan faktor kritis bagi konsumen dalam memutuskan pembelian suatu komoditas (Purwadaria, 1997).

Akan tetapi, ada beberapa kendala yang perlu diperhatikan dalam mengatasi masalah produk buah-buahan Indonesia yaitu: mutu standardisasi produk, keamanan pangan, budidaya tanaman yang baik, penanganan pasca panen, promosi dan pengembangan pasar. Ditinjau dari kajian pasca panen, kendala yang terjadi berasal dari sifat fisik dan kimia bahan itu sendiri.

Selepas panen, secara fisiologis, produk hortikultura merupakan jaringan yang masih hidup karena proses metabolisme di dalam jaringan bahan masih

(16)

berlangsung sehingga bahan akan terus mengalami pematangan sampai terjadi pembusukan. Menurut Pantastico (1986) salah satu upaya untuk memperlambat proses metabolisme tersebut adalah dengan penyimpanan dingin sehingga umur simpan dapat diperpanjang.

Penelitian penyimpanan pepaya IPB 1 yang dilakukan oleh Syska (2006), Ariyanti (2007), Krisna (2007), Silalahi (2007) dan Hamaisa (2008) belum bisa mengetahui hubungan parameter lingkungan mikro penyimpanan yang signifikan mempengaruhi parameter mutu pepaya IPB 1 yang terjadi selama penyimpanan. Selain itu, tingkat kematangan produk ketika dipanen juga menjadi faktor penting dalam penyimpanan. Setiap produk yang akan disimpan harus dalam keadaan matang optimum, karena jika produk kurang matang (immature) ataupun terlalu matang (overripe) maka akan mengurangi waktu simpannya. Hal ini perlu diketahui karena hubungan parameter lingkungan mikro dan tingkat kematangan sebagai faktor input akan mempengaruhi mutu suatu produk yang selanjutnya akan mempengaruhi tingkat penerimaan konsumen.

Untuk melakukan kontrol terhadap mutu terlebih dahulu harus diketahui parameter-parameter input apa saja yang signifikan mempengaruhi parameter mutunya. Untuk mencari hubungan antara parameter-parameter input dengan parameter mutu diperlukan sebuah teknik pencarian yang mampu merepresentasikan permasalahan yang komplek. Nilai yang diperoleh dari teknik pencarian ini merupakan nilai yang merepresentasikan seberapa kuat parameter-parameter input mampu mempengaruhi parameter-parameter outputnya. Teknik pencarian hubungan antara faktor input dan faktor output dapat dilakukan oleh Jaringan Syaraf Tiruan (JST). Hasil akhir dari JST adalah ditemukannya parameter-parameter input yang sangat mempengaruhi parameter outputnya karena di dalam JST terjadi pengolahan bobot dan error antara unit input dan unit output.

Pada saat ini Jaringan Syaraf Tiruan (JST) memang telah banyak digunakan sebagai prosesor penghitung untuk beberapa bidang dalam pengenalan pola (tulisan dan suara), klasifikasi, kompresi data, modelling dan pendugaan. JST merupakan model sistem komputasi yang mampu menirukan

(17)

cara kerja jaringan syaraf biologis. Penerapan JST untuk bidang pertanian diantaranya adalah untuk pengenalan jenis kayu berbasis citra oleh Gasim (2006), pemutuan buah manggis dilakukan oleh Sandra (2007), prediksi gula kristal putih oleh Silvia (2007), identifikasi mutu, tingkat ketuaan dan kematangan buah manggis oleh Nurhasanah (2005), pendugaan total padatan terlarut belimbing manis oleh Widuri (2004), dan pendugaan kekerasan belimbing manis oleh Bachtiar (2004). Hubungan keterkaitan antara parameter lingkungan mikro penyimpanan dan tingkat kematangan sebagai parameter input dengan parameter mutu sebagai parameter output dapat dilakukan dengan pendugaan mutu menggunakan JST. Hubungan keterkaitan ini ditunjukkan dengan nilai pembobot dari JST. Kajian pendugaan dan optimasi ini dilakukan oleh Arif (2003) untuk optimasi penjadwalan pasokan larutan nutrisi pada sistem hidroponik substrat menggunakan JST dan algoritma genetik.

Selanjutnya, untuk menentukan nilai parameter input optimum yang telah diperoleh dari pencarian menggunakan JST masih diperlukan teknik lanjutan yang mampu melakukan optimasi dari sekumpulan nilai solusi. Salah satu teknik optimasi yang banyak digunakan akhir-akhir ini adalah Algoritma Genetik (AG) sebagai salah satu teknik pencarian yang didasarkan atas teori evolusi Darwin yaitu setiap individu akan berevolusi menuju ke keadaan terbaiknya. Penerapan AG telah banyak dilakukan, diantaranya adalah optimasi penjadwalan produksi meubel kayu yang dilakukan oleh Sidharta (2005), optimasi sudut atap dan tinggi dinding pada rumah kaca oleh Sumarni (2007). Dengan AG ini akan diperoleh optimasi parameter input pepaya IPB 1 untuk mengetahui TPT terendah, tingkat kekerasan terbesar dan masa simpan terpanjang selama terjadinya perubahan mutu pada saat penyimpanan.

(18)

B. Tujuan

Secara umum penelitian bertujuan melakukan optimasi parameter input yang menentukan mutu buah pepaya IPB 1 (Carica papaya L.) selama penyimpanan. Parameter input yang dimaksud adalah parameter-parameter yang telah ditentukan sebelum dilakukan penyimpanan. Di dalam penelitian ini, parameter input yang digunakan adalah tingkat kematangan pepaya saat dipanen dan parameter lingkungan mikro penyimpanan. Secara khusus penelitian bertujuan untuk :

1. Mengetahui parameter input yang signifikan mempengaruhi mutu buah pepaya IPB 1 (C. papaya L.) selama penyimpanan dengan jaringan syaraf tiruan.

2. Mengetahui nilai optimum parameter input penyimpanan untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang masa simpan buah pepaya IPB 1 (C. papaya L.) dengan algoritma genetik.

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pepaya (Carica papaya L.)

Pepaya merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tropik. Pusat penyebaran tanaman berada di daerah sekitar Meksiko bagian selatan dan Nikaragua. Klasifikasi taksonomi tumbuhan pepaya adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub-divisi : Angiospermae (berbiji tertutup)

Klas : Dicotyledone (biji berkeping dua)

Ordo : Caricales

Famili : Caricaceae

Genus : Carica

Spesies : papaya L.

Famili caricaceae termasuk famili kecil dari tanaman dikotiledon yang terdiri dari empat genus yaitu : carica, jarilla, jacaratia yang berasal dari Amerika tropik dan cylicomorpha dari daerah Afrika kuatorial. Genus carica adalah genus paling penting dalam famili caricaceae yang terdiri dari 24 spesies, dan salah satunya adalah C. papaya L. Tanaman pepaya dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1000 mdpl dan pada umumnya tumbuh di lokasi yang cukup tersedia air, curah hujan 1000–2000 mm per tahun dan merata sepanjang tahun. Hanya saja, pepaya yang ditanam di dataran tinggi memiliki warna tidak secerah warna pepaya yang ditanam di dataran rendah.

Sedangkan suhu optimal pertumbuhan tanaman berkisar antara 22–26 oC, suhu maksimum 43 oC (Kalie, 1999).

Pasar buah pepaya meliputi konsumen rumah tangga dan dunia industri.

Sebagai buah segar, pepaya relatif digemari oleh semua lapisan masyarakat karena citarasanya yang enak, kaya vitamin A dan C serta memperlancar pencernaan. Buah pepaya mengandung 4-10% gula dan sangat berair (± 90%).

Komposisi nutrisi, vitamin buah dan daun pepaya selengkapnya disajikan di Tabel 1.

(20)

Tabel 1 Komposisi nutrisi dan vitamin buah dan daun pepaya per 100 gram bahan

Komposisi Kandungan Protein

Lemak Karbohidrat Kalsium Fosfor Zat Besi Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C Air Kalori

0.5 g - 12.2 g 23 g 12 g 1.7 g 365 SI 0.04 mg 78 mg 86.7 g 46 kal.

Sumber: Rukmana (1995)

Selain kandungan serat, vitamin dan nutrisi, di dalam pepaya juga terkandung beberapa macam enzim antara lain papain yaitu suatu enzim protease yang bermanfaat untuk membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencerna protein, kaya akan antioksidan karoten, vitamin C dan flafanoid yang berperan sebagai anti kanker, mengandung karpaina yaitu suatu alkaloid yang dapat berfungsi untuk mengurangi serangan jantung, anti amuba, dan peluruh cacing. Selain itu, pepaya dapat memperlancar pencernaan dan buang air, sehingga sangat baik dikonsumsi oleh penderita jantung dan darah tinggi yang sering mengalami kesulitan buang air. Jus pepaya sangat baik digunakan untuk mengurangi kadar keasaman lambung sehingga dapat mengatasi penyakit maag (PKBT, 2006).

PKBT (2008) menyebutkan beberapa genotip unggul pepaya yaitu:

pepaya IPB 1 (Arum Bogor), IPB 2 (Prima Bogor), IPB 3, IPB 4, IPB 5, IPB 6c, IPB 8, IPB 9 dan IPB 10 (Walung Bogor) (www.rusnasbuah.or.id). Buah pepaya genotip IPB 1 (Arum Bogor) merupakan hasil pemuliaan tanaman pepaya (C. papaya L.) dengan deskripsi varietas adalah sebagai berikut: 1)

(21)

Bentuk buah: lonjong, 2) Ukuran buah: kecil, 3) Panjang buah (cm): 14±1, 4) Diameter buah (cm): 10±1, 5) Bobot per buah (g): 654±146, 6) Warna daging buah: kemerahan/ jingga, 7) Kulit buah: Hijau sedang, 8) Rasa daging buah:

Sangat manis (11-12 obrix), 9) Kadar air (%): 88±2, 10) kadar vitamin C/mg/100/g: 122±30, 11) Umur petik: ±140 hari setelah anthesis (bunga mekar), 12) Kekerasan: 0.832 mm/s. Secara visual, contoh buah pepaya IPB 1 disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Pepaya IPB 1

Sjaifullah (1996) di dalam Hamaisa (2008) menyebutkan bahwa setiap jenis buah mempunyai keunikan dan daya tarik tersendiri, seperti rasa lezat, aroma yang khas serta warna dan bentuk yang mengandung nilai-nilai estetis.

Pepaya IPB 1 memiliki ciri khas yaitu ukurannya yang kecil dan memang diperuntukkan bagi konsumen yang mengkonsumsi pepaya dalam volume kecil dan untuk sekali makan.

B. Fisiologi Pasca Panen

Pantastico (1986) menyatakan bahwa laju respirasi sangat mempengaruhi metabolisme oksidatif produk hortikultura selepas panen yang sebagian besar memberi dampak terhadap perubahan fisikokimiawi bahan.

Respirasi merupakan proses oksidasi glukosa yang menggunakan oksigen (O2) dari udara sehingga dapat menghasilkan karbondioksida (CO2) , air (H2O) dan sejumlah energi. Besar kecilnya energi respirasi dapat diukur dengan menentukan jumlah substrat yang hilang, O2 yang diserap, CO2 yang dikeluarkan, panas yang dihasilkan, dan energi yang timbul. Proses respirasi yang terjadi dapat digambarkan sebagai berikut:

C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O + 674 kkal (energi)

(22)

Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1981), laju respirasi buah dan sayuran dipengaruhi oleh umur panen, suhu penyimpanan, komposisi udara, adanya luka dan komposisi bahan kimia. Laju respirasi pada buah pepaya setelah panen dapat dihitung dari laju produksi CO2 dan konsumsi O2. Perbedaan laju produksi CO2 selama penyimpanan disebabkan oleh perbedaan suhu penyimpanan. Besarnya perbedaan laju respirasi pada penyimpanan suhu 10 °C dan 15 °C menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu 10 °C dapat menghambat laju respirasi, aktifitas enzim, reaksi-reaksi kimia-biokimia maupun pertumbuhan mikroorganisme pada buah pepaya (Syska, 2006).

Dalam kajian pasca panen, secara fisiologis, buah dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok buah klimakterik dan non-klimakterik. Kader et al., (1985) mengklasifikasikan buah yang masuk ke dalam kelompok klimakterik adalah buah apel, alpukat, pisang, blueberry, jambu, kiwi, nangka, mangga, melon, pepaya, pir, plum, tomat dan semangka. Sedangkan buah yang masuk ke dalam kelompok non-klimakterik adalah blackberry, kopi, cherry, mentimun, anggur, lemon, leci, jeruk dan nenas.

C. Penyimpanan

Penyimpanan buah-buahan dan sayuran segar memperpanjang daya gunanya dan dalam keadaan tertentu memperbaiki mutunya. Selain itu juga menghindarkan banjirnya produk ke pasar, memberi kesempatan yang luas untuk memilih buah-buahan dan sayuran sepanjang tahun, membantu pemasaran yang teratur, meningkatkan keuntungan produsen dan mempertahankan mutu produk yang masih hidup. Tujuan utama penyimpanan adalah pengendalian laju transpirasi, respirasi, infeksi penyakit, dan mempertahankan produk dalam bentuk paling berguna bagi konsumen.

Penyimpanan buah segar diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dan mempertahankan mutu (Pantastico, 1986).

Winarno (2002) menyatakan bahwa usaha untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang umur simpan adalah dengan menekan laju respirasi serendah mungkin. Laju respirasi dapat ditekan dengan mengondisikan suhu lingkungan penyimpanan produk serendah mungkin di atas titik beku produk

(23)

sehingga terjadi perpindahan panas dari produk ke media pendingin.

Terjadinya transfer panas ini mampu menurunkan suhu produk sehingga laju repirasi dapat ditekan dan selanjutnya suhu dipertahankan pada tingkat yang diinginkan. Suhu merupakan faktor terpenting dalam pengendalian laju repirasi selepas panen. Oksidasi glukosa yang terjadi selama proses respirasi menghasilkan energi yang digunakan kembali oleh tanaman untuk pembentukan ATP (Adenosine Triphosphat) hanya sebesar 50%, sedangkan sisa energi yang lain dilepaskan ke lingkungan dalam bentuk panas (vital heat) sehingga suhu produk meningkat. Sesuai dengan Hukum Hoffs bahwa dengan kenaikan suhu produk menyebabkan laju respirasi meningkat dua atau tiga kali setiap peningkatan suhu 10 oC (Winarno, 2002).

Penelitian terhadap pepaya IPB 1, merekomendasikan bahwa penyimpanan dingin pepaya IPB 1 sebaiknya dilakukan pada suhu 10 oC dengan umur simpan 10 hari (Krisna, 2007), penyimpanan pada suhu 10 oC menunjukkan laju respirasi buah pepaya IPB 1 yang paling kecil dibandingkan dengan suhu simpan 15 oC dan suhu ruang (Silalahi, 2007). Suhu simpan 10

oC dan 15 oC hanya memberikan pengaruh besar terhadap susut bobot tetapi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap warna, kekerasan dan total padatan terlarut. Sedangkan lama simpan (selanjutnya disebut dengan masa simpan) kurang berpengaruh terhadap mutu buah pepaya (Ariyanti, 2007). Sumber lain menyebutkan bahwa penyimpanan pepaya hijau pada suhu 50 oF, kelembaban nisbi (RH) 85-90% menyebabkan susut bobot 5.8% dengan umur simpan 3–4 minggu dan penyimpanan pepaya menguning pada suhu 47

oF, RH 85-90 % selama umur simpan 2–3 minggu (Anonim di dalam Pantastico, 1986).

D. Parameter Lingkungan Mikro Penyimpanan 1. Kelembaban Relatif

Kelembaban udara sistem penyimpanan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kualitas bahan selama penyimpanan. Jika kadar air bahan rendah sedangkan kelembaban relatif (RH) udara tinggi maka akan terjadi penyerapan uap air dari udara sehingga bahan menjadi lembab atau

(24)

kadar airnya meningkat. Jika suhu bahan lebih rendah daripada sekitarnya akan terjadi kondensasi uap air pada permukaan bahan dan dapat merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kapang atau perkembangbiakan bakteri (Ashari, 2006).

Menurut Winarno (2002), RH (Relative Humidity) dalam suatu ruang penyimpanan secara langsung berpengaruh terhadap masa simpan produk yang disimpan di dalamnya. Jika RH terlalu rendah, akan terjadi pengeriputan kulit produk dan bila RH terlalu tinggi, akan menciptakan kondisi yang memungkinkan mikroba pembusuk tumbuh dan berkembangbiak. Satuhu (2004) mempertegas kembali bahwa RH yang rendah dapat mempercepat terjadinya transpirasi atau penguapan sehingga dapat menyebabkan susut bobot yang cukup besar selama penyimpanan.

2. Suhu Simpan

Beberapa penelitian dan kajian penyimpanan dingin menyebutkan terjadinya kerusakan fisik dan kimia bahan pada suhu-suhu tertentu. Nazeeb dan Broughton (1978) dalam Jagtiani et al. (1998) menyatakan buah pepaya sensitif terhadap suhu rendah dan chilling injury terjadi pada suhu di bawah 7

oC. Menurut Sjaifullah (1996), buah pepaya akan mengalami chilling injury jika disimpan pada suhu 6 oC dengan gejala buah matang sebagian, kulit berlekuk dan mengeras serta daging buah seperti tersiram air mendidih. Selain itu, Salunkhe (1991) mendeskripsikan bahwa chilling injury merupakan kerusakan pada produk buah dan sayuran yang mengindikasikan terjadinya pembusukan. Hal ini dapat dihindari dengan menyimpan produk pada suhu yang lebih tinggi, direkomendasikan bahwa pepaya dapat disimpan pada suhu terendah 7 oC.

Ashari (2006) menyatakan bahwa hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan adalah kerusakan hasil panen justru karena suhu terlalu dingin atau suhu beku. Buah yang tidak tahan suhu dingin biasanya mengalami perubahan warna kulit buah menjadi kecoklatan, kisut dan tidak dapat sempurna waktu dilakukan pematangan. Tabel 2 menunjukkan kondisi penyimpanan optimum untuk buah-buahan.

(25)

Tabel 2 Rekomendasi suhu, kelembaban relatif dan daya simpan buah tropik

Komoditi Suhu simpan

(oC)

RH (%) Masa simpan Kadar air (%) Advokat

Jambu biji Jeruk Bali Jeruk keprok Pepaya

4-13 7-10 10-16 0-9 7

85-90 90 85-90 85-90 85-90

2-4 minggu 2-3 minggu 4-6 minggu 3-12 minggu 1-3 minggu

65 83 89 87 91 Sumber: Winarno (2002)

E. Parameter Mutu Buah 1. Tingkat Kematangan

Pantastico et al. (1986) menyatakan bahwa buah-buahan yang belum masak, jika dipanen akan menghasilkan mutu jelek dan proses pematangan yang salah. Sebaliknya penundaan waktu panen dapat meningkatkan kepekaan buah-buahan itu terhadap pembusukan yang mengakibatkan mutu dan nilai jualnya rendah. Indikator kematangan secara visual dapat dilakukan dengan melihat warna kulit buah. Jika pada ujung buah pepaya terdapat warna kuning atau semburat maka pepaya segera dipanen. Buah pepaya yang dipanen pada tingkat kematangan ini akan masak dalam waktu empat sampai lima hari.

Pemanenan buah pepaya pada umumnya dilakukan dengan melihat warna kulit buah. Munculnya garis berwarna kuning pada kulit buah pepaya memberikan indikasi bahwa buah siap dipanen (Villegas, 1997 dalam Hamaisa, 2008).

Metode pemanenan yang tepat meliputi penggunaan alat panen, waktu pemanenan yang berkaitan dengan tingkat kemasakan dan waktu dilakukan panen merupakan faktor on farm yang penting dalam menentukan kualitas produk selepas panen. Rukmana (1995) menjelaskan bahwa waktu panen yang tepat ditentukan dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) Warna buah telah menunjukkan ¾ dari bagian buah berwarna kuning, 2) Getah berwarna bening dan encer, 3) Tangkai buah menguning atau terdapat garis-garis kuning pada ujung buah dan 4) Buah telah mencapai ukuran maksimal.

(26)

Penelitian yang mengkaji hubungan antara tingkat kemasakan dengan suhu simpan dan daya simpan buah pepaya IPB 1 dilakukan oleh Purba (2006) di dalam Hamaisa (2008) dengan hasil bahwa pepaya IPB 1 yang dipanen pada umur yang berbeda yaitu 130 Hari Setelah Anthesis (HSA), 135 HSA, 140 HSA dan disimpan pada suhu ruang mempunyai daya simpan masing- masing yaitu 7-9 hari, 6-8 hari, dan 6-7 hari. Sedangkan Priyono (2005) di dalam Hamaisa (2008) menyatakan bahwa buah pepaya IPB 1 yang dipanen pada 120-130 HSA dan disimpan pada suhu dingin (16-20 °C) akan masak pada 9 Hari Setelah Panen (HSP). Hasil ini dipertegas oleh Hamaisa (2008) bahwa buah pepaya IPB 1 dengan tingkat kematangan 0% mempunyai daya simpan yang lebih lama dibanding buah dengan tingkat kematangan 10%. Hal ini disebabkan oleh buah pepaya yang dipanen pada tingkat kematangan 0%

mengalami proses pematangan yang lebih lambat dibandingkan buah pepaya yang dipanen pada tingkat kematangan 10%. Semakin tinggi tingkat kematangan buah pepaya pada saat dipanen maka semakin rendah daya simpan buah pepaya tersebut.

2. Kekerasan

Pada berbagai hasil tanaman terkandung pektin yang merupakan senyawa protopektin. Penggabungan senyawa protopektin menjadi pektin ini disebabkan oleh aktifitas enzim protopektinase, dimana pembentukannya terjadi di bagian luar membran sel pada lamella. Aktifnya enzim-enzim pektimetilasterase dan poligalakturonase pada buah dalam proses pemasakan, ternyata telah melangsungkan pemecahan atau kerusakan pektin menjadi senyawa-senyawa lain. Pemecahan atau kerusakan tersebut menyebabkan berubahnya tekstur buah dari keras menjadi lunak (Kartasapoetra, 1994).

Nilai kekerasan buah pepaya selama penyimpanan semakin menurun yang berarti buah menjadi semakin lunak. Keadaan ini disebabkan selama penyimpanan buah pepaya mengalami proses pematangan yang mengakibatkan tekanan turgor sel selalu berubah. Perubahan turgor pada umumnya disebabkan komposisi dinding sel berubah dan mempengaruhi

(27)

kekerasan buah. Biasanya buah menjadi lebih lunak apabila telah matang (Muchtadi, 1992 dalam Hamaisa, 2008).

Hamaisa (2008) menyatakan bahwa buah pepaya genotipe IPB 1 yang disimpan pada suhu 10 °C mempunyai penurunan nilai kekerasan yang lebih rendah dibandingkan dengan buah pepaya yang disimpan pada suhu 15 °C.

Ariyanti (2007) menyatakan bahwa suhu memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap perubahan nilai kekerasan pada pengukuran hari ke-9, ke-12 dan ke-15. Sedangkan masa simpan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan nilai kekerasan. Silalahi (2007) melakukan penelitian penyimpanan pepaya IPB 1 pada dua suhu berbeda yaitu 10 oC dan 15 oC.

Penurunan kekerasan terbesar terjadi pada suhu 15 oC dengan masa penyimpanan 14 hari.

Matto et al. (1986) dalam Pantastico (1986) menjelaskan bahwa pada suhu tinggi terjadi perubahan kekerasan lebih cepat dibandingkan dengan suhu rendah. Hamaisa (2008) juga memberikan hubungan antara faktor kekerasan, suhu penyimpanan dan tingkat ketuaan. Penurunan nilai kekerasan pada buah pepaya yang disimpan pada suhu ruang cenderung sama. Namun, buah pepaya IPB 1 dengan tingkat kematangan 0% memiliki masa simpan yang lebih lama dibandingkan dengan buah pepaya IPB 1 dengan tingkat kematangan 10%.

3. Total Padatan Terlarut

Sjaifullah (1996) di dalam Hamaisa (2008) menyatakan bahwa kandungan gula atau total padatan terlarut (TPT) merupakan refleksi dari rasa manis, yang juga menunjukkan derajat ketuaan dan kematangan. Wills et al., (1989) di dalam Hamaisa (2008), menyatakan bahwa perubahan TPT disebabkan oleh proses pematangan yang diawali dengan pemecahan pati menjadi gula sederhana dan adanya penumpukan gula yang digunakan sebagai substrat selama proses respirasi. Total padatan terlarut buah pepaya genotipe IPB 1 selama penyimpanan umumnya mengalami peningkatan.

(28)

4. Susut Bobot

Susut bobot sebagian besar dipengaruhi oleh transpirasi dan respirasi (Pantastico, 1986). Kandungan air buah pada umumnya berkisar antara 70- 90% dan apabila buah telah dipetik maka kandungan buah ini secara alamiah akan berkurang sehingga menyebabkan terjadinya penyusutan melalui proses transpirasi. Transpirasi merupakan proses penguapan air dari dalam sel, baik melalui stomata, lentisel, maupun retakan kutikula. Selain menyebabkan kehilangan berat, transpirasi juga dapat menyebabkan pengeriputan. Proses respirasi dan transpirasi dapat menyebabkan kehilangan cadangan makanan dan kadar air buah karena digunakan dalam reaksi metabolisme. Kehilangan substrat dan air itu tidak dapat digantikan sehingga kerusakan buah mulai terjadi (Santoso dan Purwoko, 1995 di dalam Hamaisa, 2008).

Satuhu (2004) menyatakan bahwa penyusutan bobot menyebabkan buah mengerut dan layu serta dapat mempercepat pertumbuhan jasad renik pembusuk sehingga bahan yang disimpan menjadi cepat rusak. Hamaisa (2008) menyatakan bahwa masa penyimpanan dan suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap susut bobot buah pepaya selama penyimpanan.

Umumnya peningkatan persentase susut bobot buah pepaya IPB 1 yang disimpan pada suhu 15 °C lebih tinggi dibandingkan dengan buah pepaya yang disimpan pada suhu 10 °C.

5. Warna

Warna pada buah-buahan dan sayuran disebabkan oleh pigment yang dikandungnya yaitu klorofil, anthocianin (flavonoid) dan karotenoid. Klorofil bersifat non polar yang menyebabkan warna hijau pada bahan. Warna merah, biru dan ungu disebabkan oleh pigmen anthocianin (flavonoid) yang bersifat polar. Sedangkan warna jingga umumnya disebabkan oleh pigmen karotenoid yang bersifat non polar dan memiliki peran penting sebagai pro-vitamin A (Winarno, 2002).

Warna merupakan indikator pertama yang digunakan konsumen untuk menentukan kematangan buah. Oleh karena itu, perubahan warna dalam pemeraman dan penyimpanan buah menjadi faktor penting yang perlu

(29)

mendapatkan perhatian khusus. Perubahan warna kulit buah merupakan perubahan yang paling menonjol (Kays, 1991).

F. Jaringan Syaraf Tiruan

Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network) diadaptasi dari kinerja aliran syaraf otak, dilakukan pertama kali oleh Mc-Culloch dan Pitts (1940-an) yang merancang model perhitungan dasar unit. Setelah penemuan itu mulai berkembang penelitian-penelitian berbasis Jaringan Syaraf Tiruan (JST). Arif (2003) melakukan pendugaan outflow volume untuk penjadwalan pasokan larutan nutrisi sistem hidroponik substrat tanaman mentimun pada fase vegetatif dengan koefisien determinasi pelatihan 0.9895. Soedibyo et al.

(2006) melakukan pemutuan edamame dengan JST yang terintegrasi pada program pengolahan citra dengan target Root Mean Square Error (RMSE) 0.28, Sofi’i et al. (2005) juga mengaplikasikan JST yang terintegrasi dengan program pengolahan citra untuk penentuan jenis biji kopi dengan penyusunan dua model JST yang didasarkan pada jumlah parameter inputnya.

Perbandingan antara penggunaan JST dan model matematika sebagai teknik pendugaan kekerasan dan total padatan terlarut dilakukan oleh Bachtiar dan Widuri (2004), hasil menunjukkan bahwa teknik pendugaan dengan JST lebih mendekati hasil pengukuran daripada teknik dengan model matematika.

JST menurut Puspitaningrum (2006) adalah salah satu cabang ilmu dari bidang ilmu kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan merupakan alat untuk memecahkan masalah terutama di bidang-bidang yang melibatkan pengelompokan dan pengenalan pola (pattern recognition). JST bisa dianalogikan sebagai kumpulan unit-unit (sel syaraf) yang terdapat di jaringan syaraf biologis yang saling terkoneksi membentuk suatu aliran penerimaan, pengolahan dan pengiriman informasi. Setiap unit tersusun atas badan sel (soma), dendrit dan akson. Informasi (sinyal) diterima oleh dendrit melalui celah sinapsis berupa impuls sinyal dari unit lain yang diteruskan ke badan sel untuk diolah. Selanjutnya sinyal yang dibangkitkan dari badan sel diteruskan ke unit lain melalui akson dengan cara mengirimkan impuls melalui sinapsis.

(30)

Kekuatan sinapsis bisa menurun atau meningkat tergantung dari besar tingkat propagasi (penyiaran) sinyal yang diterimanya.

Seperti halnya dengan jaringan syaraf biologi, Kusumadewi (2003), Puspitaningrum (2006) dan Siang (2007) mendeskripsikan cara kerja JST sebagai berikut: sejumlah sinyal input diterima oleh node (unit) input melalui celah sinapsis kemudian dibangkitkan sejumlah nilai bobot secara acak.

Pembobot inilah yang menunjukkan kekuatan hubungan atau sinyal antar node pada JST. Selanjutnya dilakukan penjumlahan bobot (Persamaan 1) dan diaktivasi menggunakan fungsi aktivasi sigmoid (Persamaan 2). Jika nilai hasil aktivasi lebih dari nilai ambang batas (threshold) maka nilai ini dibangkitkan sebagai sinyal output dan dikirim ke lapisan di atasnya. Cara kerja model aliran ini dapat dengan mudah dipahami melalui Gambar 2.

Sumber: www.dacs.dtic.mil

Gambar 2 Model sederhana JST Keterangan simbol Gambar 2:

X : Set data setiap unit ke-n di lapisan input (sinyal input) vi : Nilai pembobot setiap sinyal input

∑ : Summing function (Persamaan 1)

Menurut Siang (2007), kemampuan dasar JST adalah mampu mempelajari contoh input dan output yang diberikan (memorisasi), kemudian belajar beradaptasi dengan lingkungan (generalisasi), sehingga dapat memecahkan masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan metode

Xo v0i

Summing Function vko: bias

Yk

X1 vi

Xn vi

Fungsi Aktivasi

Threshold

Output

(31)

komputasi konvensional. Selain itu JST mampu memecahkan permasalahan di mana hubungan antara input dan output tidak diketahui dengan jelas. Kinerja JST ditentukan oleh tiga hal yaitu pola hubungan antar unit (arsitektur jaringan), metode untuk menentukan bobot penghubung (metode learning/

algoritma) dan fungsi aktivasi.

Proses pembelajaran JST menurut Kusumadewi (2003) dan Puspitaningrum (2006) terbagi menjadi dua metode yaitu metode pembelajaran terawasi (supervised learning), metode pembelajaran tidak terawasi (unsupervised learning) dan metode pembelajaran hibrida (hybrid).

Metode pembelajaran disebut terawasi jika output yang diharapkan telah diketahui sebelumnya. Sedangkan metode pembelajaran disebut tidak terawasi jika tidak memerlukan target output. Metode pembelajaran hibrida merupakan kombinasi dari metode pembelajaran terawasi dan tidak terawasi. Salah satu metode pembelajaran terawasi adalah algoritma propagasi balik (backpropagation) yang memiliki lapisan tersembunyi di antara lapisan input dan output. Tujuan utama penggunaan propagasi balik adalah mendapatkan keseimbangan antara pengenalan pola pelatihan (data pelatihan) secara benar dan respon yang baik untuk pola lain yang sejenis (data pengujian). Arsitektur jaringan propagasi balik disajikan di Gambar 3.

Merujuk pada Kusumadewi (2003), algoritma propagasi balik yang berlangsung selama proses pengolahan sinyal adalah sebagai berikut:

1. Inisialisasi pembobot

Mula-mula pembobot dipilih secara acak kemudian setiap sinyal dikirim ke dalam unit pada lapisan input lalu sistem akan mengirim sinyal ke unit pada lapisan di atasnya.

2. Feedforward

Tiap unit tersembunyi menerima sinyal dari lapisan input (i = 1, 2, .., n) yang selanjutnya dilakukan penjumlahan dengan Persamaan 1.

………. (1)

= +

= n

i ij i oj

j v xv

in z

1 _

(32)

Nilai z_inj yang masuk ke lapisan tersembunyi selanjutnya diaktifasi menggunakan fungsi aktivasi sigmoid (Persamaan 2) untuk menghasilkan sinyal output dari lapisan ini.

………. (2)

Sinyal output teraktifasi dikirim ke semua unit di lapisan atasnya (lapisan output). Di setiap unit lapisan output (Yk (k = 1, 2, 3, …, m)) kembali dilakukan pengolahan sinyal dengan Persamaan 3.

………..………(3)

Nilai y_ink yang masuk ke lapisan output selanjutnya diaktifasi menggunakan fungsi aktivasi sigmoid (Persamaan 4) untuk menghasilkan sinyal output dari lapisan ini.

……….(4)

Sinyal output lapisan terluar teraktifasi ini dikirim kembali ke semua unit di lapisan tersembunyi.

3. Backforward

Tiap-tiap unit output (Yk, k = 1, 2, ., m) menerima target pola yang berhubungan dengan pola input pembelajaran, informasi error dihitung dengan Persamaan 5.

………..………(5) Informasi error ini selanjutnya digunakan sebagai faktor pengali untuk perhitungan koreksi bobot yang nantinya digunakan memperbaiki nilai wjk.

Koreksi pembobot di lapisan tersembunyi dihitung dengan Persamaan 6.

……….(6)

Koreksi bias untuk memperbaiki nilai wok dihitung dengan Persamaan 7.

……….(7)

( )

(

z inj

)

zj

_ exp 1

1

= +

= +

= p

i

jk i ok

k w z w

in y

1 _

(

k k

) (

k

)

k= ty f' y_in δ

j k

jk z

w =αδ

k wok =αδ

( )

(

y ink

)

yk

_ exp 1

1

= +

(33)

Tiap-tiap unit di lapisan tersembunyi (Zj, j = 1, 2, …., p) menerima sinyal input dari lapisan terluar berupa nilai pembobot dengan Persamaan 8.

……….(8)

Informasi error dihitung dengan Persamaan 9.

……..………(9)

Koreksi pembobot untuk memperbaiki nilai vij (Persamaan 10).

………..(10)

Koreksi bias untuk memperbaiki nilai voj (Persamaan 11).

……….(11)

Tiap-tiap unit output (Yk, k = 1, 2, …, m) memperbaiki nilai pembobot (wjk(baru) (j = 0, 1, 2, …, p)) dengan Persamaan 12.

………(12) Tiap-tiap unit tersembunyi (Zj, j = 1, 2, .., p) memperbaiki nilai pembobot (vij (baru)) dengan Persamaan 13.

………..(13) Root Mean Square Error (RMSE) dihitung dengan Persamaan 14:

………(14) Keterangan simbol:

z_inj : sinyal tiap unit di lapisan tersembunyi voj : pembobot bias unit di lapisan input xi : sinyal tiap unit di lapisan input

vij : pembobot penghubung antara lapisan input dengan lapisan tersembunyi

zj : sinyal aktivasi z_inj, sebagai output dari lapisan tersembunyi

y_ink : sinyal tiap unit di lapisan output

wok : pembobot bias unit di lapisan tersembunyi

wjk : pembobot penghubung antara lapisan tersembunyi dengan

=

= m k

jk k

j w

in

1

_ δ

δ

(

j

)

j

j δ _in f' z_in δ =

i j

ij x

v =αδ

jk jk

jk baru w lama w

w ( )= ( )+∆

j voj =αδ

ij ij

ij baru v lama v

v ( )= ( )+∆

( )

n y RMSE=

tk k

(34)

lapisan output

yk : sinyal aktivasi y_ink, sebagai output dari lapisan output δk : informasi error di lapisan output

tk : nilai target (nilai aktual pengukuran)

∆wjk : perubahan pembobot di lapisan output dengan lapisan tersembunyi

α : laju pembelajaran

∆wok : perubahan pembobot bias di lapisan tersembunyi δ_inj : informasi error belum teraktivasi di lapisan tersembunyi δj : informasi error di lapisan tersembunyi

∆vjk : perubahan pembobot bias di lapisan tersembunyi dengan lapisan input

∆voj : perubahan pembobot bias di lapisan input µ : konstanta momentum

n : jumlah data yang diberikan

Gambar 3 Arsitektur propagasi balik Keterangan Gambar 3:

: feedforward

: backforward

W32

W31

W22 W21

W12

V32

V22

V21

V13 V12

V11

X1

X2

Z1

Z3 Z2

Y2

Y1 W11

Lapisan input

Lapisan hidden

Lapisan output

(35)

Kinerja jaringan dinilai berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2).

Hasil dari JST yang selanjutnya digunakan sebagai input ke algoritma genetik adalah nilai pembobot yang menghubungkan input dan output.

Dalam pengolahan data menggunakan JST belum terdapat prosedur standar untuk optimasi pendugaan variasi arsitektur dalam algoritma backpropagation. Algoritma ini belum bisa memberikan kepastian tentang berapa iterasi yang harus dilalui untuk mencapai kondisi yang diinginkan (Siang, 2002). Soedibyo et al. (2006) melakukan penentuan variasi JST terbaik dengan menentukan karakteristik struktur JST terlebih dahulu yaitu trial error variasi lapisan tersembunyi, trial error variasi normalisasi input, dan penentuan target Root Mean Square Error (RMSE): 0.28, learning rate:

0.2 dan momentum: 0.9. Sofi’i et al. (2005) melakukan pendugaan dengan trial error variasi iterasi 25 000 sampai dengan 40 000. Kinerja JST diketahui dari nilai akurasi validasi. Adrizal et al. (2007) menggunakan trial error variasi unit jumlah lapisan tersembunyi dan variasi iterasi. Kinerja JST hasil pelatihan diketahui melalui Standard Error of Calibration (SEC), sedangkan kinerja hasil validasi diketahui dari Standard Error of Prediction (SEP), Coefficient of Variation (CV) dan rasio antara standar deviasi dan SEP. Arif (2003) menggunakan nilai konstanta laju pembelajaran (learning rate) dan konstanta momentum 0.6. Kinerja JST diketahui dari koefisien determinasi (R2) antara data pengukuran aktual dengan data pendugaan JST.

Siang (2002) menunjukkan bahwa jaringan dengan satu layar tersembunyi sudah cukup bagi backpropagation untuk mengenali sembarang hubungan antara input dan output dengan tingkat ketelitian yang telah ditentukan. Tidak ada kepastian mengenai berapa jumlah pola yang digunakan agar jaringan memiliki tingkat akurasi mendekati 100%. Jika nilai RMSE terus menurun maka pelatihan terus dijalankan. Akan tetapi jika RMSE sudah meningkat, pelatihan harus dihentikan karena jaringan sudah mulai mengambil sifat yang dimiliki secara spesifik oleh data pelatihan tetapi tidak dimiliki oleh data pengujian dan sudah mulai kehilangan kemampuan generalisasi.

(36)

G. Algoritma Genetik

Algoritma genetik (genetic algorithms) diadaptasi dari mekanisme evolusi biologis, dikembangkan pertama kali oleh John Holland dari Universitas Michigan (1975). John Holland menyatakan bahwa setiap masalah yang berbentuk adaptasi (alami maupun buatan) dapat diformulasikan dalam terminologi genetika. Algoritma genetika adalah simulasi dari proses evolusi Darwin dan operasi genetika kromosom (Kusumadewi, 2003).

Setelah penemuan itu mulai berkembang penelitian-penelitian berbasis Algoritma Genetik (AG) sebagai teknik optimasi. Arif (2003) menggunakan AG sebagai teknik optimasi dalam penjadwalan pasokan larutan nutrisi pada sistem hidroponik substrat tanaman mentimun. Sebelum masuk ke program AG, digunakan program jaringan syaraf tiruan dalam pendugaan hubungan antara parameter input dan output. Penelitian lain yang menggunakan AG sebagai teknik optimasi adalah manajemen transponder satelit komunikasi oleh Simanjuntak (2005), perencanaan golongan pemberian air oleh Soehadi et al. (2006), optimasi sudut atap dan tinggi dinding pada rumah kaca di daerah tropika oleh Sumarni (2007).

Algoritma genetik (genetic algorithms) adalah algoritma pencarian yang didasarkan atas teori seleksi alam yaitu individu yang lebih kuat akan memiliki tingkat bertahan hidup (survive) dan tingkat reproduksi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan individu yang kurang fit di dalam populasinya “survival of the fittest”.

AG di dalam Sumarni (2007) dirumuskan sebagai berikut: populasi terdiri dari sekumpulan individu (kromosom) yang masing-masing mempresentasikan penyelesaian di dalam wilayah solusi untuk suatu permasalahan. Masing-masing kromosom mempunyai nilai fitness yang bersesuaian dengan kelayakan solusi permasalahan. Beberapa individu dalam populasi dengan nilai fitness lebih baik berpeluang untuk bereproduksi, proses ini disebut sebagai seleksi kromosom. Selanjutnya kromosom yang lolos dari seleksi akan mengalami penyilangan (cross over) dan mutasi untuk menghasilkan individu baru (offspring). Agar jumlah individu (popsize) baru sama dengan individu generasi sebelumnya, maka individu dengan nilai

(37)

Tidak Ya

Individu- individu tebaik Kriteria

optimasi tercapai?

Seleksi Bangkitkan

populasi awal

Mulai

Evaluasi fungsi tujuan

Populasi baru dibangkitkan

Hasil

Rekombinasi

Mutasi

fitness rendah dibuang. Generasi berikutnya hanya dipilih yang mempunyai nilai fitness terbaik. Proses ini diulang sampai generasi yang diinginkan atau nilai fungsi fitness yang paling tinggi untuk penyelesaian permasalahan.

Diagram alir AG disajikan di Gambar 4.

Gambar 4 Diagram alir AG

Di dalam proses optimasi, parameter yang digunakan pada AG adalah sebagai berikut: 1) Fungi fitness yang dimiliki oleh masing-masing individu untuk menentukan tingkat kesesuaian individu tersebut dengan kriteria yang dicapai, 2) Jumlah individu (popsize) yang dilibatkan dalam setiap generasi, 3) Probabilistik terjadinya penyilangan (peluang cross over) pada suatu generasi, 4) Peluang terjadi mutasi pada setiap transfer gen, 5) Jumlah generasi yang akan dibentuk yang menentukan lama dari penerapan AG.

Kusumadewi (2003) menyebutkan komponen-komponen utama AG adalah teknik penyandian, prosedur inisiasi, fungsi evaluasi, seleksi, operator genetika dan penentuan parameter. Teknik penyandian meliputi penyandian gen dari kromosom. Gen merupakan bagian dari kromosom yang merupakan perwakilan dari satu variabel atau parameter. Gen dapat direpresentasikan dalam bentuk string bit, pohon, array bilangan real, daftar aturan, elemen permutasi, elemen program atau representasi lainnya yang dapat diimplementasikan untuk operator genetika. Ukuran populasi tergantung pada

(38)

masalah yang akan dipecahkan dan jenis operator genetika yang akan diimplementasikan. Setelah ukuran populasi ditentukan kemudian harus dilakukan inisiasi terhadap kromosom yang terdapat pada populasi tersebut.

Prosedur yang dilakukan dalam melakukan evaluasi adalah evaluasi fungsi objektif (fungsi tujuan) dan konversi fungsi objektif ke dalam fungsi fitness. Seleksi bertujuan memberikan kesempatan reproduksi yang lebih besar bagi anggota populasi yang fit. Seleksi akan menentukan individu-individu mana saja yang akan dipilih untuk dilakukan penyilangan dan bagaimana kromosom anak (offsping) terbentuk dari individu-individu terpilih tersebut.

Langkah pertama yang dilakukan dalam seleksi ini adalah pencarian nilai fitness. Nilai fitness inilah yang nantinya akan digunakan pada tahap-tahap seleksi berikutnya.

Crossover (penyilangan) dilakukan atas dua kromosom untuk menghasilkan kromosom anak. Kromosom anak yang terbentuk akan mewarisi sebagian sifat kromosom induknya. Peluang penyilangan menunjukkan rasio dari anak yang dihasilkan dalam setiap generasi dengan ukuran populasi. Penyilangan bilangan biner dapat dilakukan dengan pemotongan di satu titik, banyak titik dan seragam dengan posisi penyilangan gen di dalam satu kromosom dilakukan secara acak. Gen ditukar antar kromosom pada titik tersebut untuk menghasilkan anak.

Contoh penyilangan satu titik dengan posisi pemotongan di gen ke-dua adalah sebagai berikut:

Induk 1: 0 1 1 1 0 1 Anak 1: 0 1 1 1 1 0 Induk 2: 1 0 1 1 1 0 Anak 2: 1 0 1 1 0 1

Setelah mengalami penyilangan, pada kromosom anak dapat dilakukan mutasi. Variabel offspring dimutasi dengan menambahkan angka yang sangat kecil dengan probabilitas yang rendah. Peluang mutasi (pm) didefinisikan sebagai persentasi dari jumlah total gen yang mengalami mutasi. Jika peluang mutasi terlalu kecil, banyak gen yang mungkin berguna tidak pernah dievaluasi. Tetapi jika peluang mutasi terlalu besar, maka akan terlalu banyak gangguan acak sehingga anak akan kehilangan kemiripan dari induknya, dan juga algoritma akan kehilangan kemampuan untuk belajar dari histori

(39)

pencarian. Mutasi pada bilangan biner dilakukan dengan inversi gen kromosom yaitu mengubah gen yang semula bernilai 0 menjadi 1 dan sebaliknya. Posisi gen yang dimutasi ditentukan secara acak.

Sidharta (2005) menyebutkan bahwa fungsi fitness adalah sebuah nilai yang menentukan apakah string dapat bertahan hidup pada populasi atau tidak.

Parameter genetik yaitu ukuran populasi, jumlah generasi, peluang penyilangan dan peluang mutasi berguna untuk pengendalian operator- operator genetika dan tidak ada aturan yang pasti tentang berapa nilai-nilai ini.

Ukuran populasi kecil berarti hanya tersedia sedikit pilihan untuk penyilangan dan sebagian kecil saja yang dieksplorasi untuk setiap generasinya. Sedangkan bila terlalu besar, kinerja AG menurun. Ukuran populasi yang disarankan antara 20-30, peluang penyilangan berkisar 80-95% dan peluang mutasi kecil berkisar 0.5-1%. Syska (2005) menggunakan ukuran populasi 20, jumlah generasi 100, peluang penyilangan 80% dan peluang mutasi 1%. Arif (2003) menggunakan ukuran populasi 20, jumlah generasi 400, peluang penyilangan 40% dan peluang mutasi 1%. Hasil penjadwalan penyiraman optimum untuk fase vegetatif tanaman mentimun terjadi pada lama penyiraman 240 detik pada selang 240-600 detik, selang penyiraman 3 jam pada selang 3-8 jam dan menghasilkan outflow volume 10.138 ml pada selang 0-140 ml.

Sumarni (2007) menyebutkan karakteristik AG yang membedakan dengan teknik optimasi lainnya adalah: 1) AG bekerja dengan pengkodean himpunan solusi permasalahan berdasarkan parameter yang telah ditetapkan, 2) AG melakukan pencarian pada sebuah populasi dari sejumlah individu yang merupakan solusi permasalahan, bukan hanya dari sebuah individu, 3) AG menggunakan informasi fungsi objektif (fitness) sebagai cara untuk mengevaluasi individu yang mempunyai solusi terbaik, bukan turunan dari suatu fungsi.

(40)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Agustus 2008.

B. Tahapan Penelitian

1. Persiapan Penelitian dan Studi Pendahuluan

Pada tahap persiapan penelitian dilakukan perumusan masalah dan penentuan tujuan penelitian. Studi pendahuluan dilakukan dengan cara penelusuran sumber pengetahuan dan informasi untuk memperoleh

pengetahuan dasar tentang hubungan antara tingkat kematangan dan parameter lingkungan mikro penyimpanan dengan parameter mutu produk hortikultura.

Diagram alir tahapan penelitian disajikan di Gambar 10.

2. Pengumpulan dan Pemilihan Data

Data penelitian yang digunakan merupakan dokumentasi data sekunder dari penelitian yang telah dilakukan oleh Syska (2006), Ariyanti (2007), Krisna (2007) dan Silalahi (2007). Dari kajian penelitian tersebut diperoleh informasi bahwa parameter output yang diukur selama penyimpanan adalah total padatan terlarut (obrix), kekerasan (kgf), laju respirasi (ml/kg jam), warna dan susut bobot (%). Sedangkan untuk parameter input yaitu parameter yang telah ditentukan kondisinya. Parameter input tersebut adalah suhu simpan (oC), perlakuan pra penyimpanan, tingkat kematangan (%), kelembaban udara (%) dan masa simpan (jam). Dokumentasi data sekunder dapat dilihat di Lampiran 1, 2, 3 dan 4.

Referensi

Dokumen terkait

Dimana dalam mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan rasa minat dan prestasi belajar pada siswa dengan menggunakan berbagai metode

7.1.7 Selepas mendapat pengesahan dari Kumpulan Tuntutan Potongan, disket tuntutan sedia untuk di hantar kepada jabatan ( Prosedur 8 dan fail di e- mail kepada Jabatan Bendahari

Hal ini berarti pelayanan yang selama ini dilakukan oleh FE UNY dengan variabel Keandalan, Ketulusan, Keberwujudan dan Ketanggapan berpengaruh terhadap Kepuasan

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross sectional dengan melihat gambaran karakteristik, status gizi dan risiko malnutrisi pada pasien tuberkulosis

Berdasarkan hasil penelitian dari tiga subjek, didapatkan gambaran perkembangan motorik kasar sebagai berikut yaitu Cc dan Ad sudah mampu melakukan semua

Dari data hasil percobaan didapat bahwa semakin besar kecepatan pengadukan yaitu pada 600 rpm maka CNSL yang didapat (Ca) akan semakin besar pada waktu ekstraksi

Gejala penyakit pada tanaman cabai disebabkan virus gemini yang termasuk dalarn kelompok virus tanaman dengan genom berukuran 2,6-2,8 kb berupa utas tunggal DNA yang melingkar,

Nilai persamaan tidak berubah jika pada ruas kiri dan kanan dikalikan atau dibagi dengan bilangan negatif atau bilangan positif yang sama... MGMP Matematika SMK