• Tidak ada hasil yang ditemukan

CASE STUDY SEXUAL ABUSE AND FACTORS AFFECTING THE ADOLESCENT MALE ACTORS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "CASE STUDY SEXUAL ABUSE AND FACTORS AFFECTING THE ADOLESCENT MALE ACTORS"

Copied!
177
0
0

Teks penuh

(1)

CASE STUDY SEXUAL ABUSE AND FACTORS AFFECTING THE ADOLESCENT MALE ACTORS

Lilik Purwoningsih, Ni Made Taganing, SPsi., MPsi.

Undergraduate Program, Faculty of Psychology, 2009 Gunadarma University

http://www.gunadarma.ac.id

Key Word : Sexual Abuse, Adolescents, Study ABSTRACT :

Goals to be achieved in this research is to know and understand what the factors that cause young men (the subject) of sexual harassment, and knowing how the image of sexual abuse committed by teenagers. In this study, researchers used a qualitative approach. Subjects in this study was an adolescent male sexual abuse whose age ranged between 17-18 years. Technique data collecting by using interviews and observation of the subject, the data collected were analyzed qualitatively kemuadian. The result showed that the subject of sexual harassment with the whistle, telling dirty jokes, kissing dam embrace someone who does not like hugs, as well as show off the body or genitals to someone who does not like it. The factors that cause harassment seksualadalah as follows: the subject has not been able to overcome all permasalahn associated with sexual abuse, the trauma and feelings of hate towards himself and others.

The act of sexual abuse committed by the subject can be spelled out very harmful to others. Because, the subject of sexual acts do affect the behavior patterns of the subject itself and also influential in the life of the community.

(2)

STUDI KASUS PELECEHAN SEKSUAL

DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKU REMAJA PRIA

NPM : 10501172

Nama : Lilik Purwoningsih

Pembimbing : Ni Made Taganing, SPsi., MPsi.

Tahun Sidang : 2009

Subjek : Pelecehan Seksual, Remaja, Studi Judul

STUDI KASUS PELECEHAN SEKSUAL DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKU REMAJA PRIA

Abstraksi

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami apa faktor-faktor yang menyebabkan remaja pria (subjek) melakukan pelecehan seksual, dan mengetahui bagaimana gambaran pelecehan seksual yang dilakukan oleh remaja. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang remaja pria yang melakukan pelecehan seksual yang usianya berkisar antara 17- 18 tahun. Tekhnik pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan menggunakan wawancara dan observasi terhadap subjek, data yang terkumpul kemuadian dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa subjek melakukan pelecehan seksual dengan bersiul, menceritakan lelucon jorok, mencium dam memeluk seseorang yang tidak menyukai pelukan tersebut, serta memamerkan tubuh atau alat kelamin kepada seseorang yang tidak menyukainya. Adapun faktor yang menyebabkan pelecehan seksualadalah sebagai berikut : subjek belum bisa mengatasi semua permasalahn yang berhubungan dengan pelecehan seksual, yakni perasaan trauma dan benci terhadap dirinya sendiri dan juga orang lain. Perbuatan pelecehan seksual yang dilakukan oleh subjek bisa dibilang sangat merugikan orang lain. Karena, perbuatan seksual yang subjek lakukan sangat berpengaruh terhadap pola tingkah laku subjek itu sendiri dan juga berpengaruh didalam kehidupan masyarakat.

(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di zaman era globalisasi ini banyak sekali munculnya remaja yang melakukan perilaku menyimpang terhadap orang lain dengan lebih variatif dan memprihatinkan. Jika perilaku remaja pada zaman dahulu hanya menyebabkan terjadinya senyuman bagi mereka yang melihatnya, tetapi kini mereka mengekpresikannya dengan perilaku yang tidak disukai oleh banyak orang yang melihatnya. Betapa tidak, perilaku remaja kini telah bergeser kepada tindakan perilaku yang menyimpang dan mengancam taraf keselamatan, ketentraman, dan kenyamanan hidup masyarakat. Kita tahu, bahwa persoalan anak adalah persoalan orangtua dan persoalan keluarga. Sebagai salah satu contoh adalah bentuk perilaku yang dilakukan oleh remaja yang melakukan pelecehan seksual.

Dimana kejadian pelecehan seksual yang dilakukan oleh remaja itu terjadi dan hal yang umum yang sering kita jumpai yang ada di sekeliling kita. Pelecehan seksual juga suatu bentuk perilaku yang memberikan dampak yang tidak menyenangkan terhadap korban yang mendapatkan perlakuan tersebut.

Banyak kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh remaja mulai dari yang sekedar gurauan yang bersifat seksual yang tidak diinginkan sampai tindakan yang hampir menjurus ke pemerkosaan. Kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh remaja terhadap perempuan antara lain gurauan yang bersifat seksual seperti meraba-raba tubuh si korban, sampai dengan tindakan-tindakan yang melecehkan orang lain yang menyangkut tentang perendahan harkat dan martabat orang lain. Padahal dampak yang dihasilkan sama, meski mungkin dalam kadar yang berbeda. Hampir setiap hari jenis dari kasus pelecehan seksual terjadi, survei yang dilakukan oleh survey Alfred

(4)

Marks (dalam Collier, 1992) menunjukan bahwa 62% pelaku pelecehan seksual adalah laki-laki, dan hampir semua perempuan mengaku pernah mendapatkan pengalaman pelecehan seksual dari laki-laki. Menurut Red Magazine (tanpa tahun) mengatakan bahwa 90% dari korban perempuan maupun laki-laki pernah mendapatkan pelecehan seksual ditempat umum.

Menurut Collier (1992) biasanya yang merupakan pelaku dari pelecehan seksual adalah laki-laki yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan mempunyai harga diri (self esteem) yang rendah. Hal ini dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan atau menganggap dirinya lebih berkuasa daripada yang dilecehkan, sehingga dapat meningkatkan harga dirinya. Pelecehan seksual lebih sering terjadi sebagai kasus yang dilakukan sekelompok orang terhadap korbannya. Yang terjadi pada kaum perempuan di masyarakat Indonesia secara umum adalah si pelaku belum mengenal korbanya dan lebih sering terjadi di tempat-tempat umum seperti pasar, pusat pembelanjaan, pemberhentian bus (halte bus), didalam kendaraan angkutan umum, gedung bioskop atau sering pula terjadi di jalan umum dimana banyak laki-laki sedang bergerombol dan duduk-duduk.

Pelecehan seksual merupakan komentar verbal, gerakan tubuh atau kontak fisik yang bersifat seksual yang dilakukan seseorang dengan sengaja, dan tidak dikehendaki atau tidak diharapkan oleh target. Menurut Woodrum (dalam Collier, 1992) pelecehan seksual juga dapat terjadi dan dialami oleh perempuan. Sedangkan menurut Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi (2001) pelecehan seksual dapat diartikan sebagai jenis tindakan seksual yang tidak diundang dan tidak dikehendaki oleh korbannya dan menimbulkan perasaan tidak suka. Bentuk tindakan seksual itu dapat berupa menyiuli perempuan di jalanan, menceritakan lelucon kotor pada seseorang yang merendahkan derajatnya hingga tindakan tidak senonoh seperti memamerkan tubuh atau alat kelamin terhadap orang lain.

(5)

Pelecehan seksual itu dapat dikatakan sebagai perbuatan segala bentuk perilaku yang melecehkan atau merendahkan martabat yang berhubungan dengan dorongan seksual, merugikan atau membuat tidak senang pada orang yang dikenai perlakuan itu, atau bisa juga dikatakan setiap perbuatan yang memaksa seseorang terlibat dalam suatu hubungan seksual atau menempatkan sesorang sebagai obyek perhatian seksual yang tidak di inginkannya. Sebagai contoh, pelecehan seksual yang terjadi tidak hanya merugikan korbannya saja tetapi juga menimbulkan dampak dari si pelaku.

Akibat dari tindakan dan perbuatan dari pelaku pelecehan seksual remaja itu bukan saja mengenai dirinya sendiri yang menjadi pelaku pelecehan seksual, tetapi juga melibatkan keluarga, masyarakat dan kehidupan pada umumnya. Pelecehan seksual juga dapat diperiksa yang melibatkan adanya gejala-gejala pendidikan, psikologis dan fisik yang berkaitan dengan kesehatan (Rumini & Sundari, 2004). Para remaja yang melakukan pelecehan seksual pada umumnya kurang memiliki kontrol diri tersebut, dan suka menegakkan standar tingkah laku sendiri. Pelecehan seksual pada pelaku remaja yang mereka lakukan pada umumnya disertai dengan unsur-unsur mental dengan motif-motif subjektif yaitu untuk mencapai objek tertentu yang disertai dengan kekerasan dan agresi (Basri, 1994).

Menurut Collier (1992) mengingat amat banyaknya faktor penyebab pelecehan seksual yang diambil dari pelecehan seksual, dapat dikatakan bahwa awal mulanya terjadinya remaja melakukan pelecehan seksual yaitu disebabkan karena adanya rasa traumatis yang mendalam didalam diri remaja itu sendiri, dan juga terhadap orang lain yang telah melakukan perbuatan pelecehan seksual tersebut terhadap remaja itu sendiri..

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pelaku remaja pelecehan seksual adalah remaja yang melakukan pelecehan seksual dalam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang lain yang menjadi sasaran, dan penolakan atau

(6)

penerimaan korban atas perilaku tersebut yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan baik secara implisit maupun eksplisit. Pelecehan seksual itu sendiri merupakan perilaku atau tindakan yang mengganggu, menjengkelkan, dan tidak diundang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain yang berkaitan langsung dengan jenis kelamin yang diganggunya dan dirasakan menurunkan martabat dan harkat diri orang yang diganggunya.

Pelecehan seksual juga bertindak sebagai tindakan yang bersifat seksual atau kecenderungan bertindak seksual yang bersifat non fisik (kata-kata, bahasa, gambar) atau fisik (gerakan kasat mata dengan memegang, menyentuh, meraba, atau mencium) yang dilakukan seorang laki-laki terhadap perempuan.

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan yang timbul dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana gambaran pelecehan seksual yang dilakukan oleh remaja ? 2. Apa faktor-faktor yang menyebabkan remaja pria (subjek) melakukan

pelecehan seksual ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan yang ingin dicapai yaitu :

1. Untuk mengetahui bagaimana gambaran pelecehan seksual yang dilakukan oleh remaja.

2. Untuk mengetahui dan memahami apa faktor-faktor yang menyebabkan remaja pria (subjek) melakukan pelecehan seksual.

(7)

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan agar dapat memenuhi ragam khasanah ilmu psikologi yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam penelitian lebih lanjut, terutama yang mendapat gambaran tentang pelecehan seksual pada perilaku remaja. Dan penelitian ini diharapkan agar menjadi bahan kajian mengenai remaja sebagai studi kasus pelaku pelecehan seksual.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan masukan bagi orang tua, khususnya bagi remaja yang melakukan pelecehan seksual. Dimana remaja dan orang tua dapat mengetahui gambaran dari tingkah laku para remaja yang melakukan pelecehan seksual itu sendiri.

(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pelecehan Seksual

1. Pengertian Pelecehan Seksual

Menurut Collier (1992) pelecehan seksual secara Etiologi dapat diartikan sebagai segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran, dan penolakan atau penerimaan korban atas perilaku tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan baik secara implisit maupun eksplisit.

Pelecehan seksual sebenarnya adalah suatu istilah yang diciptakan sebagai padanan apa yang didalam Bahasa Inggris disebut dengan Sexual Harassement. Menurut Collier (1992) di dalam Kamus Bahasa Indonesia, pelecehan berasal dari kata “Leceh” yang artinya adalah suatu penghinaan atau peremehan. Dihubungkan dengan kata seksual, maka perbuatan “Harassing”

atau pelecehan itu berkaitan dengan perilaku atau pola perilaku (normatif atau tak normatif) yang berkaitan dengan jenis kelamin. Karena kata “Harass” atau pelecehan itu dikonotasikan dengan perilaku seksual yang dinilai negatif dan menyalahi standar. Maka perbincangan tentang pelecehan seksual ini ditinjau dari perspektif sosial budaya adalah untuk menentukan tolok ukur standar, tidak hanya relevan tetapi juga menarik. Dalam setiap perilaku pelecehan seksual selalu terkandung makna yang dinilai negatif, dan yang karena itu mengandung reaksi serta sanksi ialah bahwasanya seks itu boleh dimaknakan sebagai sarana pemuas nafsu dan lawan seks itu boleh dimaknakan sebagai obyek instrumental guna pemuas nafsu seksual itu.

Pelecehan seksual secara umum menurut Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi (2001) adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau

(9)

mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran, sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci, tersinggung, dan sebagainya pada diri individu yang menjadi korban pelecehan tersebut. Sedangkan secara operasional, pelecehan seksual di definisikan berdasarkan hukum sebagai adanya bentuk dari diskriminasi seksual (Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadhi, 2001).

Menurut Collier (1992) pengertian pelecehan seksual disini merupakan segala bentuk perilaku bersifat seksual yang tidak diinginkan oleh yang mendapat perlakuan tersebut, dan pelecehan seksual yang dapat terjadi atau di alami oleh semua perempuan. Sedangkan menurut Rubenstein (dalam collier, 1992) pelecehan seksual sebagai sifat perilaku seksual yang tidak diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang menyinggung penerima.

Pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku yang melecehkan atau merendahkan yang berhubungan dengan dorongan seksual, yang merugikan atau membuat tidak senang pada orang yang dikenai perlakuan itu. Atau bisa juga diartikan setiap perbuatan yang memaksa seseorang terlibat dalam suatu hubungan seksual atau menempatkan seseorang sebagai objek perhatian seksual yang tidak diinginkannya. Pada dasarnya perbuatan itu dipahami sebagai merendahkan dan menghinakan pihak yang dilecehkan sebagai manusia (Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadhi, 2001).

Menurut Collier (1992), mengungkapkan pengertian pelecehan seksual terhadap perempuan terbagi dalam dua bagian, yaitu adanya hubungan seksual, dan tidak adanya hubungan seksual. Maksud dari adanya hubungan seksual yaitu merupakan suatu bentuk tindakan yang dilakukan terhadap pihak lain, baik yang dilakukan perorangan atau lebih dari seorang. Sebaliknya, maksud dari tidak adanya hubungan seksual yaitu tindakan mana yang tidak mengakibatkan luka atau penderitaan pada fisik si korban, dilakukan si pelaku dengan tidak menggunakan kekerasan fisik dan suara (misalnya seperti : siulan, desakan

(10)

tertentu, ucapan yang tidak senonoh), pandangan mata yang tidak sopan secara demontratif, sentuhan-sentuhan fisik (tidak dengan kekerasan) pada bagian- bagian tubuh tertentu si korban lebih banyak merupakan akibat mental-mental fisik dan bukan pada akibat pada fisik.

Pelecehan seksual merupakan komentar verbal, gerakan tubuh atau kontak fisik yang bersifat seksual yang dilakukan seseorang dengan sengaja, dan tidak dikehendaki atau tidak diharapkan oleh target. Menurut Woodrum (dalam Collier, 1992) pelecehan seksual dapat terjadi atau dialami oleh perempuan. Sedangkan menurut Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadhi, 2001 pelecehan seksual dapat diartikan sebagai jenis tindakan seksual yang tidak diundang dan tidak dikehendaki oleh korbannya dan menimbulkan perasaan tidak suka. Bentuk tindakan seksual itu dapat berupa menyiuli perempuan di jalanan, menceritakan lelucon kotor pada seseorang yang merendahkan derajatnya hingga tindakan tidak senonoh dan tindakan pemerkosaan pada orang lain.

Mboek (dalam Basri, 1994) mengatakan bahwa pelecehan seksual merupakan perbuatan yang biasannya dilakukan pria dan ditujukan kepada wanita dalam bidang seksual yang tidak disukai oleh wanita. Sebab ia merasa terhina, tetapi kalau perbuatan itu ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat buruknya.

Dari beberapa definisi pelecehan seksual diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian pelecehan seksual itu sendiri merupakan perilaku atau tindakan yang mengganggu, menjengkelkan, dan tidak diundang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap pihak lain yang berkaitan langsung dengan jenis kelamin pihak yang diganggunya dan diraskan menurunkan martabat dan harkat diri orang yang diganggunya. Pelecehan seksual itu sendiri bertindak sebagai tindakan yang bersifat seksual atau kecenderungan bertindak seksual yang terimtimidasi non fisik (kata-kata, bahasa, gambar) atau fisik

(11)

(gerakan kasat mata dengan memegang, menyentuh, meraba atau mencium) yang dilakukan seorang laki-laki terhadap perempuan.

2. Bentuk-Bentuk Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual mencakup perilaku menetap, berbicara mengenai seksualitas, menyentuh tubuh perempuan, mencoba memaksa perempuan untuk melakukan tindakan seksual yang tidak diinginkan, mengajak kencan berulang kali hingga sampai dengan pemerkosaan (Matlin, 1987).

Selain itu secara lebih jelas, bentuk-bentuk yang dianggap sebagai pelecehan seksual (Collier, 1992) adalah sebagai berikut :

a. Menggoda atau menarik perhatian lawan jenis dengan siulan.

b. Menceritakan lelucon jorok atau kotor kepada seseorang yang merasakannya sebagai merendahkan martabat.

c. Mempertunjukan gambar-gambar porno berupa kalender, majalah, atau buku bergambar porno kepada orang yang tidak menyukainya.

d. Memberikan komentar yang tidak senonoh kepada penampilan, pakaian, atau gaya seseorang.

e. Menyentuh, menyubit, menepuk tanpa dikehendaki, mencium dan memeluk seseorang yang tidak menyukai pelukan tersebut.

f. Perbuatan memamerkan tubuh atau alat kelamin kepada orang yang terhina karenanya.

Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi (2001) membagi kategori pelecehan seksual yang dipakai dalam dasar pengukuran dalam Sexual Experience Questionnaire (SEQ), yaitu dalam bentuk yang lebih tersistematis : a. Gender Harassment yaitu pernyataan atau tingkah laku yang bersifat

merendahkan berdasarkan jenis kelamin.

b. Seductive Behaviour yaitu permintaan seksual tanpa ancaman, rayuan yang bersifat tidak senonoh atau merendahkan.

(12)

c. Sexual Bribery yaitu penyuapan untuk melakukan hal yang berbau seksual dengan memberikan janji akan suatu ganjaran.

d. Sexual Coercion yaitu tekanan yang disertai dengan ancaman untuk melakukan hal-hal yang bersifat seksual.

e. Sexual Assault yaitu serangan atau paksaan yang bersifat seksual, gangguan seksual yang terang-terangan atau kasar.

Sedangkan Kelly (1988) membaginya dalam bentuk pelecehan seksual yang dapat dilihat sebagai berikut :

a. Bentuk Visual : tatapan yang penuh nafsu, tatapan yang mengancam, gerak- gerik yang bersifat seksual.

b. Bentuk Verbal : siulan-siulan, gosip, gurauan seksual, pernyataan- pernyataan yang bersifat mengancam (baik secara langsung maupun tersirat).

c. Bentuk Fisik : menyentuh, mencubit, menepuk-nepuk, menyenggol dengan sengaja, meremas, mendekatkan diri tanpa diinginkan.

Menurut Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi (2001) ciri-ciri utama yang membedakan pelecehan seksual adalah sebagai berikut :

a. Tidak dikehendaki oleh individu yang menjadi sasaran.

b. Seringkali dilakukan dengan disertai janji, iming-iming ataupun ancaman.

c. Tanggapan (menolak atau menerima terhadap tindakan sepihak tersebut dijadikan pertimbangan dalam penentuan karir atau pekerjaan.

d. Dampak dari tindakan sepihak tersebut menimbulkan berbagai gejolak psikologis, diantarannya : malu, marah, benci, dendam, hilangnya rasa aman dan nyaman dalam bekerja, dan sebagainya.

3. Penyebab Pelecehan Seksual

Secara umum tentang asal penyebab pelecehan seksual menurut Collier (1992) dibagi menjadi lima bagian, yaitu :

(13)

a. Pengalaman pelecehan seksual dari faktor biologik.

Dikarenakan melihat kecenderungan biologiknya, bahwa lelaki itu berperilaku sebagai seks yang aktif-ofensif (dalam fungsi reproduktifnya untuk mencari dan membuahi lewat suatu aktivitas yang relative cuma sesaat) dan perempuan itu pelaku seks yang pasif-defensif (dalam fungsi reproduktifnya untuk menunggu, dan selanjutnya menumbuh kembangkan kehidupan baru didalam rahim dan dipangkuannya lewat suatu aktivitas dan proses yang berjangka panjang). Oleh karena itu, dalam kasus pelecehan seksual bolehlah diduga bahwa lelaki itulah yang berkemungkinan lebih besar sebagai “pelaku jahatnya”. Sedangkan perempuan itulah yang lebih berkemungkinan untuk diposisikan sebagai korbannya.

Selain itu, atribut pelecehan seksual terhadap perempuan merupakan kelemahan laki-laki dalam mengontrol dorongan alamiahnya tersebut. Laki- laki melakukan pelecehan seksual untuk memenuhi kebutuhannya sendiri yaitu melakukan rangsangan erotis untuk menutupi dan mengatasi kelemahannya. Ketidakmampuannya dalam menahan keinginan dan dorongan-dorongan seksualnya sendiri yang diungkapkan melalui pelecehan seksual.

b. Peristiwa pelecehan seksual dari faktor sosial budaya

Pada garis besarnya, masyarakat Indonesia yang sarat dengan berbagai etnis terbagi dalam dua garis besar sistem kekeluargaan, yakni berdasarkan garis ibu (Matrilineal) dan garis bapak (Patrilineal). Akan tetapi, pada umumnya garis yang dianut oleh masyarakat Indonesia adalah berdasarkan garis bapak (Patrilineal). Hal tersebut disadari atau tidak, seakan akan telah mendominasi pola kehidupan dalam masyarakat. Pola kehidupan sosial budaya yang dijalani seseorang semenjak kecil dalam etnis keluarganya, tanpa disadari sedikit banyak berpengaruh terhadap pola tingkah laku seseorang kemudian dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya

(14)

realita bahwa fisik lelaki lebih kuat daripada perempuan telah turut mempengaruhi pola pikir, sikap dan tingkah laku lelaki terhadap perempuan dan sebaliknya.

Selain itu, budaya pun mempengaruhi perlakuan seksualitas yang memungkinkan pelecehan seksual terjadi. Hal ini berdasarkan peran jenis kelamin atau social-role stereotype, dimana dengan kebudayaan Indonesia yang partiakal tersebut menempatkan laki-laki pada posisi superordinat dan perempuan dalam posisi subordinat. Hal ini lebih memungkinkan timbulnya pelecehan (perendahan secara harkat dan martabat) sampai timbulnya pelecehan seksual.

c. Pengaruh pendidikan terhadap pelecehan seksual

Pendidikan dalam hal ini juga berpengaruh terhadap adanya pelecehan seksual. Hal ini, khususnya di Indonesia, perempuan belum punya banyak kesempatan untuk menikmati jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Sehingga belum mampu menolak perlakuan, sikap dan anggapan yang diskriminatif terhadap dirinya. Kejadian ini terjadi, biasanya dengan keberadaan atau posisi laki-laki sebagai atasan dan perempuan sebagai bawahannya. Dimana, perempuan dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah daripada laki-laki.

d. Keluarga dilihat dari faktor ekonomi

Pada masyarakat dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi rendah, mobilitas (dalam artian untuk kepentingan rekreasi) sangat rendah frekuensinya hingga realisasi mobilitas tersebut terpaku pada lingkungannya saja. Hal mana mendorong budaya kekerasan sebagai jalan keluarnya dan sasaran paling mudah adalah kaum perempuan. Hali ini dilakukan dengan anggapan sebagai pelarian yang paling mudah mengingat adanya anggapan bahwa secara fisik perempuan lemah. Apalagi adanya budaya kekerasan

(15)

yang mendominir realitas kehidupan sehari-hari, hingga kekuatan fisik atau jasmani, kekuatan kelompok merupakan symbol dan status sosial dalam masyarakat tersebut dan hal mana berdampak pula terhadap pandangan, anggapan serta sikap dalam mengartikan kehadiran kaum perempuan di lingkungan tersebut.

e. Timbulnya pelecehan seksual yang diambil dari faktor pembelajaran sosial dan motivasi.

Dengan adanya pengkondisisan tingkah laku yang dianggap disetujui secara sosila budaya seperti yang telah dikemukakan diatas, maka pengkondisian tingkah laku tersebut dianggap disetujui untuk tetap dilakukan dalam masyarakat. Hal ini mengingat bahwa hukum yang menindak dengan tegas kasus-kasus pelecehan seksual belum juga sempurna, malah memperkuat dan menegaskan bagi timbulnya pelecehan seksual. Selain itu, seseorang selalu belajar dari lingkungan di sekitarnya dan apabila hal ini dipertegas dari hasil observasinya, maka kecenderungan tingkah laku ini akan terus berulang. Dalam beberapa kasus, pelecehan seksual dilakukan agar laki-laki tetap menempati posisinya. Hal ini di dorong oleh motif ekonominya.

4. Pelaku Pelecehan Seksual

Biasanya yang merupakan pelaku dari pelecehan seksual adalah laki-laki yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan yang mempunyai harga diri (self esteem) yang rendah. Hal ini dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan atau menganggap dirinya lebih berkuasa daripada yang dilecehkan, sehingga dapat meningkatkan harga dirinya. Pelecehan seksual lebih sering terjadi sebagai kasus yang dilakukan sekelompok orang terhadap korbannya.

Yang terjadi pada kaum perempuan di masyarakat Indonesia secara umum adalah si pelaku belum mengenal korbannya dan lebih sering terjadi

(16)

ditemapt-tempat umum seperti pasar, pusat pembelanjaan, pemberhentian bus, di dalam kendaraan angkutan umum, gedung bioskop atau sering pula terjadi di jalan umum dimana banyak laki-laki bergerombol duduk-duduk.

Pelaku pelecehan seksual menurut Collier (1992) terbagi dalam :

a. Normal dari sisi kejiwaan, karena baru berani melakukan pelecehan seksual apabila beramai-ramai dan tidak punya keberanian mental apabila sendirian.

b. Abnormal atau mempunyai kelainan kejiwaan dari sisi kejiwaan, karena berani melakukan tindak pelecehan walaupun hanya seorang diri yang biasannya dalam golongan ini tindak pelecehan yang dilakukannya langsung mengarah pada masalah seksualitas dan bahkan berani melakukan pelecehan secara fisik seperti memegang-megang bagian terlarang dari tubuh perempuan atau memperlihatkan secara fisik bagian terlarang dari dirinya (si pelaku) terhadap perempuan yang menjadi sasaran pelecehannya.

5. Respon Terhadap Pelecehan Seksual

Seperti yang dikemukakan oleh Collier (1992), yang biasanya dilakukan sebagai respon terhadap pelecehan seksual meliputi :

a. Strategi yang Terfokus Secara Internal

1) Menjaga jarak (detachment) yaitu seseorang yang menggunakan strategi memisah atau menjaga jarak, termasuk dengan meminimalisasi situasi, menganggapnya sebagai lelucon, menceritakan kepada diri sendiri sebagai hal yang tidak penting, dan sebagainya.

2) Menyangkal (denial) yaitu seseorang menyangkal pelecehan yang terjadi, menganggapnya tidak ada atau tidak menghiraukannya, dan menganggap tidak mau melanjutkannya dan berusaha melupakannya.

3) Pemberian nama ulang (relabeling) yaitu seseorang menilai ulang situasi sebagai hal yang kurang mengancam, memaafkan peleceh atau menginterprestasikan tingkah laku tersebut sebagai menggoda.

Misalnya : dia tidak bermaksud mengecewakan saya.

(17)

4) Ilusi pengendalian (illusory control), yaitu seseorang berusaha untuk mengontrol dengan mengambil tanggung jawab terhadap kejadian dengan memberikan atribusi pelecehan kepada tingkah lakunya sendiri.

5) Menyerah (endurance), yaitu secara esensial, seseorang tidak melakukan apa-apa, dia menyerah terhadap tingkah laku tersebut; baik dengan rasa takut (terhadap rasa sakit, menyakiti peleceh, tidak percaya, merasa bersalah, atau malu) atau karena dia percaya bahwa tak ada sumber yang tersedia untuk dimintai tolong.

b. Strategi yang Terfokus secara Eksternal

1) Menjauh (avoidance), yaitu seseorang berusaha untuk menghindari situasi dengan menjauh dari pelaku pelecehan (misalkan, keluar kelas, ganti guru, berhenti kerja, dan lain-lain)

2) Melakukan asertivitas atau konfrontasi (assertion/confrontation), yaitu seseorang menolak ancaman seksual atau sosial tersebut. Secara verbal melakukan konfrontasi terhadap peleceh atau membuat tingkah laku tersebut tidak diterima.

3) Mencari institusi atau organisasi yang dapat menangani (seeking institutional or ganizational relief), yaitu seseorang melaporkan kejadian, mengkonsultasikannya dengan bantuan administrator, dan berkas pertentangan/perlawanan.

4) Mendapatkan dukungan sosial (social support), yaitu seseorang mencari dukungan dari orang-orag yang signifikan, mencari validasi dari persepsinya, atau pengetahuan dari kenyataan yang ada.

5) Mendapatkan kesepakatan (appeasement), yaitu seseorang erusaha untuk mendapat kesepakatan, tanpa konfrontasi atau asertivitas. Dia memaafkannya atau berusaha tidak marah terhadap pelaku pelecehan.

(18)

6. Dampak Psikologis Pelecehan Seksual

Menurut Collier (1992), dampak-dampak psikologis pelecehan seksual tergantung pada :

a. Frekuensi terjadi pelecehan : semakin sering terjadi, semakin dalam pula luka yang ditimbulkan.

b. Parah tidaknya (halus atau kasar, taraf) : semakin parah tindak pelecehan seksual dan semakin tindakan tersebut menghina martabat dan integritas seseorang, semakin dalam pula luka yang ditimbulkan, apalagi jika menyangkut keluarga korban.

c. Apakah secara fisik juga mengancam atau hanya verbal : semakin tindakan pelecehan ini dirasakan mengancam korban secara fisik, lebih dalam dampak dan luka yang ditimbulkan. Bila pelecehan seksual dilakukan dengan ancaman pemecatan dan korban tidak yakin mampu menemukan pekerjaan lain, maka dampak psikologis akan lebih besar.

d. Apakah menggangu kinerja pekerja : bila ya, maka akan disertai dengan rasa frustasi. Ini tentunya juga tergantung seberapa parah dan jauh pelecehan itu mengganggu kinerja korban. Semakin parah gangguan yang dialaminya, semakin tinggi taraf frustasi dan semakin parah kerusakan psikologisnya.

Secara umum, menurut Kelly (1998) dampak utama psikologis pelecehan seksual yang paling sering tampil adalah:

a. Jengkel, senewen, marah, stress hingga breakdown b. Ketakutan, frustasi, rasa tidak berdaya dan menarik diri c. Kehilangan rasa percaya diri

d. Merasa berdosa atau merasa dirinya sebagai penyebab

e. Kebencian pribadi hingga generalisasi kebencian pada pelaku atau mereka dari jenis kelamin yang sama dengan pelaku.

Menurut Rumini & Sundari (2004) wanita yang mengalami pelecehan seksual dapat mengalami akibat fisik seperti gangguan perut, nyeri tulang belakang, gangguan makan, gangguan tidur rasa cemas dan mudah marah.

(19)

Sedangkan akibat psikologis ynag dirasakan antara lain adalah perasaan terhina, terancam dan tidak berdaya. Hasil ini diperkiat oleh penelitian Goodman (dalam Rumini & Sundari, 2004) yang menyatakan bahwa wanita korban pelecehan seksual sebagian besar mengalami simtom-simtom fisik dan stress emosional.

Beberapa peneliti mencoba menyimpulkan akibat dari pelecehan seksual pada kehidupan perempuan dan kesejahteraannya dapat diperiksa dari tiga perspektif utama yaitu yang berkaitan dengan pekerjaan atau pendidikan, faktor psikologis dan fisik yang berkaitan dengan masalah kesehatan (Basri, 1994).

(20)

B. Remaja

1. Pengertian Remaja

Menurut Agustiani (2006) masa remaja identik dengan keceriaan, kebingungan, persahabatan, pengenalan diri, dan sebagainya. Masa remaja (Adolescence) berasal dari bahasa latin yaitu Adolescere yang berarti bertumbuh menjadi matang (grow into maturity) yang merupakan tahapan perkembangan antara masa kanak–kanak dan masa dewasa. Bila ditinjau dari sudut pandang ilmu psikologi dalam memberikan definisi mengenai remaja mengaitkannya dengan kematangan mental, emosi, dan kematangan fisik yang dialami oleh remaja.

Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju ke masa dewasa (Agustiani, 2006). Sedangkan menurut Rumini dan Siti Sundari (2004) masa remaja adalam masa peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek atau fungsi untuk memasuki masa depan.

Menurut Basri (1994) remaja adalah mereka yang telah meninggalkan masa kanak–kanak yang penuh dengan ketergantungan dan menuju masa pembentukan tanggung jawab.

Remaja adalah salah satu tahap perkembangan manusia yang sangat penting. Pada masa remaja ini mengalami perkembangan fisik yang sangat pesat, sehingga mempengaruhi aspek kehidupannya. Perkembangan fisik ini ditandai dengan mulai matangnya karakteristik seksual seperti orang dewasa.

Walaupun demikian, bila dilihat dari perkembangan biologisnya, remaja adalah individu yang berbeda diantara anak-anak dan orang dewasa (Agustiani, 2006).

Sedangkan remaja menurut Sarwono (2002) ialah masa peralihan dari anak- anak menuju orang dewasa yang mengalami perubahan fisik dan psikologis dengan pembagian batas usia. Sarwono sendiri mengajukan definisi remaja

(21)

yang khusus dutujukan untuk masyarakat Indonesia, yaitu seseorang yang berusia 11 sampai dengan 24 tahun dan belum menikah.

Masa remaja adalah suatu tahap kehidupan yang bersifat peralihan dan tidak mantap (Agustiani, 2006). Sedangkan menurut Zakiyah Darajat (dalam Rumini dan Siti Sundari 2004)) remaja adalah usia transisi. Maksudnya, seorang individu telah meninggalkan usia anak–anak yang lemah dan penuh ketergantungan, akan tetapi belum mampu ke usia yang kuat dan penuh tanggung jawab, baik terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat.

Banyaknya masa transisi ini tergantung kepada keadaan dan tingkat sosial masyarakat dimana ia hidup. Semakin maju masyarakat semakin panjang usia remaja, karena ia harus mempersiapkan diri untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang banyak syarat dan tuntutannya.

Turner dan Helms (dalam Mukhtar, 1996) mengatakan masa remaja sebagai suatu masa dimana terjadi perubahan besar yang memberikan suatu tantangan pada individu remaja untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya dan mampu mengatasi perubahan fisik dan seksual yang sedang dialaminnya, juga sedang mengalami apa yang dinamakan proses pencarian identitas diri dan berusaha membangun suatu hubungan interaksi yang sifatnya baru. Namun disaat bersamaan nampaknya remaja dihadapkan pada situasi yang sulit mengingat seluruh rangkaian perubahan ini berkaitan satu dengan yang lainnya, dan terjadi pada waktu yang bersamaan.

Piaget (dalam Hurlock, 2000) secara psikologis mengatakan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang–orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang–kurangnya dalam masalah hak. Termasuk juga perubahan secara intelektual yang mencolok.

Transformasi intelektual yang khas dari cara berfikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang

(22)

dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan ini.

Pada masa remaja menurut teori Piaget terjadi perkembangan kognitif masuk pada tahap formal operations. Pada tahap ini remaja mulai dapat memahami dan mengeksplorasi dunianya. Kognitif remaja pada tahap ini dapat dikatakan fleksibel, dimana remaja sudah mampu untuk belajar konsep–konsep baru serta memperbaiki konsep – konsep yang salah, dapat memecahkan persoalan dengan cara berfikir yang logis (Ester, dalam Psikologi Remaja, 2002)

Masa remaja dimaksudkan sebagai periode transisi antara masa kanak–

kanak dan masa dewasa. Selama periode ini, orang muda membentuk maturitas seksual dan menegakkan identitas sebagai individu yang terpisah dari keluarga (Atkinson, dkk tanpa tahun).

Menurut Muangman (dalam Sarwono, 2002) pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria yaitu biologik, psikologik, dan sosial ekonomi. Sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut, remaja adalah :

a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukan tanda–tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

Dari pengertian diatas batasan sesuai dengan penelitian ini adalah pengertian remaja yaitu masa dimana sedang terjadi perubahan besar yang memberikan suatu tantangan pada individu remaja untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya dan mampu mengatasi perubahan fisik dan seksual yang sedang dialaminnya, juga sedang mengalami apa yang dinamakan

(23)

proses pencarian identitas diri, dan berusaha membangun suatu hubungan interaksi yang sifatnya baru.

2. Batasan Usia Remaja

Menurut Monks (2002) suatu analisis yang cermat mengenai semua aspek dalam masa remaja, yang secara global berlangsung antara umur 12 dan 21 tahun, dengan pembagian masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun), masa remaja akhir (18-21 tahun), akan mengemukakan banyak faktor yang masing–masing perlu mendapat tinjauan sendiri.

Hurlock (2000) membagi masa remaja dalam dua periode, yaitu remaja awal (13-17 tahun) dan remaja akhir (17-18 tahun). Sementara Konopa (dalam Agustiani, 2006) membedakan masa remaja menjadi tiga yaitu remaja awal (12-15 tahun), remaja menengah (15-18 tahun), dan remaja akhir (19-22 tahun).

Menurut Erikson (dalam Monks, 2002) masa remaja berkisar antara usia 13–19 tahun atau 12-20 tahun. Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak–kanak ke masa dewasa. Batasan usia remaja berbeda–beda sesuai dengan sosial budaya setempat. Sedangkan dari segi usia, menurut Monks & Haditono (1996) membagi masa remaja menjadi tiga bagian yaitu remaja awal (12-15 tahun), remaja pertengahan (15-18 tahun), dan remaja akhir (18-21 tahun).

Menurut Muangman (dalam Sarwono, 2002) pada tahun 1974 WHO dari badan PBB untuk kesehatan dunia menjelaskan batasan usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun. Sedangkan dari segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan adalah mereka yang berusia 10 sampai 19 tahun Dan belum kawin / menikah. Sementara itu, menurut BKKBN tahun 2002 (Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak Produksi) batasan usia remaja adalah 10 sampai 21 tahun.

(24)

Dalam penelitian ini batasan remaja yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah remaja akhir yang berdasarkan kriteria diatas, maka batasan usia remaja akhir yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 17- 18 tahun (Hurlock, 2000).

3. Karakteristik Remaja.

Menurut Zulkifli (1999) ada beberapa ciri-ciri remaja yang harus diketahui, diantaranya ialah :

a. Pertumbuhan Fisik.

Pertumbuhan fisik ini mengalami perubahan dengan cepat, lebih cepat dibandingkan masa anak–anak dan dewasa.

b. Perkembangan Seksual.

Tanda-tanda perkembangan seksual pada anak laki–laki diantaranya ialah alat reproduksi sperma mulai bereproduksi, ia mengalami mimpi yang pertama yang tanpa sadar mengeluarkan sperma. Sedangkan pada anak perempuan rahimnya sudah bisa untuk dibuahi karena ia sudah mendapatkan menstruasi untuk pertama kalinya.

c. Cara Berfikir Kausalitas.

Ciri ketiga ialah cara berfikir kausalitas, yaitu menyangkut hubungan sebab dan akibat. Remaja sudah mulai berfikir kritis sehingga ia akan melawan bila orang tua, guru, lingkungan yang menganggapnya masih sebagai anak kecil.

d. Emosi Yang Meluap–Luap.

Keadaan emosi remaja masih labil karena erat hubungannya dengan keadaan hormon. Suatu saat ia bisa sedih sekali, di lain waktu ia bisa marah sekali. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri mereka dari pada pikiran realistis.

(25)

e. Mulai Tertarik Kepada Lawan Jenis.

Dalam kehidupan sosial remaja, mereka mulai tertarik kepada lawan jenisnya dan mulai berpacaran. Jika dalam hal ini orang tua kurang mengerti, kemudian melarangnya akan menimbulkan masalah dan remaja akan bersikap tertutup terhadap orang tuanya.

f. Menarik Perhatian Lingkungannya.

Pada masa ini remaja mulai mencari perhatian di lingkungannya, berusaha mendapatkan status dan peranan seperti kegiatan remaja dikampung–kampung yang diberi peranan.

g. Terikat Dengan Kelompok

Remaja dalam kehidupan sosial sangat tertarik dengan kelompok sebayanya sehingga tidak jarang orang tuanya dinomorduakan, sedangkan kelompoknya dinomorsatukan. Apa–apa saja yang diperbuatnya ingin sama dengan anggota kelompok lainnya, kalau tidak sama maka ia akan merasa turun harga dirinya dan menjadi rendah diri.

4. Tugas Perkembangan Remaja Akhir.

Menurut Pikunas (dalam Agustiani, 2006) mengemukakan tugas perkembangan remaja menengah dan akhir , sebagai berikut :

a. Menerima bentuk tubuh orang dewasa yang dimiliki dan hal-hal yang berkaitan dengan fisiknya.

b. Mengembangkan keterampilan dalam komunikasi interpersonal, belajar membina relasi dengan teman sebaya dan orang dewasa, baik secara individu maupun dalam kelompok

c. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan figur-figur otoritas.

d. Menemukan model untuk identifikasi.

e. Menerima diri sendiri dan mengandalkan kemampuan dan sumber-sumber yang ada pada dirinya.

(26)

f. Memperkuat kontrol diri berdasarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang ada.

g. Meninggalkan bentuk-bentuk reaksi dan penyesuaian kekanak-kanakan.

Menurut Pikunas (dalam Agustiani, 2006), pada masa remaja ini ada satu tugas perkembangan yang harus diselesaikan oleh remaja yaitu menemukan identitas diri. Identitas diri merupakan perasaan keunikan seseorang, keinginan untuk menjadi orang berarti dan mendapat pengakuan dari lingkungan seseorang.

Tugas perkembangan lanjut menurut Hurlock (2000) remaja lanjut (17- 20 tahun), dirinya ingin menjadi pusat perhatian, ia ingin menonjolkan diri, caranya lain yaitu dengan remaja awal. Ia idealis, mempunyai cita–cita tinggi, bersemangat dan memantapkan identitas diri, serta ingin mencapai ketidaktergantungan emosional. Sedangkan Blos (dalam Sarwono, 2002) berpendapat perkembangan pada hakikatnya adalah usaha penyesuaian diri, yaitu untuk secara efektif mengatasi “stess” dan mencari jalan keluar baru dari berbagai masalah.

Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, remaja akhir (late adolescence) merupakan tahap konsilidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu :

a. Minat yang makin mantap terhadap fungsi–fungsi intelek.

b. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang–orang lain dan dalam pengalaman–pengalaman baru.

c. Terbentuk indentitas seksual yang tidak akan berubah lagi.

d. Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.

e. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinnya (private self) dan masyarakat umum (the public).

(27)

5. Penyesuaian Diri Remaja.

Carballo (dalam Sarwono, 2002) berpendapat, terdapat enam penyesuaian diri yang harus dilakukan oleh remaja, yaitu :

a. Menerima dan mengintegrasikan pertumbuhan badannya dalam kepribadiannya.

b. Menentukan peran dan fungsi seksualnya yang adekwat dalam kebudayaan dimana ia berada.

c. Mencapai kedewasaan dengan kemandirian, kepercayaan diri dan kemampuan untuk menghadapi kehidupan.

d. Mencapai posisi yang diterima oleh masyarakat.

e. Mengembangkan hati nurani, tanggung jawab, moralitas dan nilai – nilai yang sesuai dengan lingkungan dan kebudayaan.

f. Memecahkan problem – problem nyata dalam pengalaman sendiri dan dalam kaitannya dengan lingkungannya.

Menurut Mu’tadin (dalam Sarwono, 2002) pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan lingkungannya. Beberapa lingkungan yang dianggap dapat menciptakan penyesuaian diri yang cukup sehat bagi remaja, diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Lingkungan Keluarga.

Semua konflik dan tekanan yang ada dapat dihindarkan atau dipecahkan bila individu dibesarkan dalam keluarga dimana keamanan, cinta, kehangatan, dan respek toleransi. Dengan demikian penyesuaian diri akan menjadi lebih baik bila dalam keluarga individu merasakan bahwa kehidupannya berarti.

b. Lingkungan Teman Sebaya.

Begitu pula dalam kehidupan pertemanan, pembentukan hubungan yang erat diantara kawan–kawan semakin penting pada masa remaja dibandingkan masa–masa lainnya. Suatu hal yang sulit bagi remaja menjauh

(28)

dari temannya, individu mencurahkan kepada teman-temannya apa yang tersimpan didalam hatinya, dari angan–angan, pemikiran dan perasaan. Ia mengungkapkan kepada mereka secara bebas tentang rencananya, cita–cita dan dorongan–dorongannya.

c. Lingkungan Sekolah.

Sekolah mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah pengetahuan dan informasi saja, akan tetapi juga mencakup tanggung jawab pendidikan secara luas. Demikian pula dengan guru, tugasnya tidak hanya mengajar, tetapi juga berperan sebagai pendidik yang menjadi pembentuk masa depan, ia adalah langkah pertama dalam pembentukan kehidupan yang menuntut individu untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya.

(29)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penelitian Pelecehan seksual pada pelaku usia remaja ini, peneliti menggunakan studi kasus. Berikut ini akan lebih di jelaskan beberapa hal yang berkaitan, yaitu : pendekatan penelitian, subjek penelitian, tahap-tahap penelitian, teknik pengumpulan data, alat bantu penelitian data, keakuratan penelitian, dan teknik analisis data.

A. Pedekatan Penelitian

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah pendekatan kualitatif yang berbentuk studi kasus. Hal ini dikarenakan untuk mengetahui secara mendalam permasalahan-permasalahan apa saja yang muncul dalam gambaran yang mempengaruhi pelecehan seksual, dan untuk melihat gambaran faktor-faktor yang menyebabkan remaja pria (subjek) melakukan pelecehan seksual. Selama ini metode penelitian kuantitatif dan kualitatif yang banyak digunkan dalam berbagai penelitian ilmiah, studi kasus selama ini belum banyak digunakan oleh para peneliti (Moleong, 2002). Dengan menggunakan metode ini berarti kita akan mendapatkan pemahaman terhadap gejala-gejala tersebut, sehingga akan diperoleh gambaran yang sesuai dengan subjek dan bukan kesimpulan sebab akibat yang dipaksakan. Peneliti kualitatif dilakukan jika peneliti tertarik untuk mengetahui meaning, yaitu bagaimana orang memahami hidupnya, pengalaman-pengalamannya dan struktur dunia mereka. Selain itu peneliti juga ingin mendeskripsikan proses, arti dan pemahaman melalui kata-kata atau ganbar-gambar (Narbuko, 2002).

Menurut Creswell & dkk (Basuki, 2006) penelitia kualitaif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam

(30)

tentang masalah-masalah manusia dan sosial bukan mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas sebagaimana yang dilakukan penelitian kuantitaif dengan positivisme. Penelitian menginterprestasikan bagian sunjek memperoleh makna dari lingkunagn sekeliling dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka. Penelitian dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah (naturalistik) bukan hasil perlakuan (tratment) atau manipulasi variabel yang dilibatkan.

Denzin & Lincoln (Basuki, 2006) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif tidak memperkenalkan perlakuan (treatment) atau memanipulasi variabel atau memaksakan definisi operasional penelitiu mengenai variabel- variabel pada peserta penelitian. Sebaliknya penelitian kualitatif membiarkan sebuah makna muncul dari partisipant-partisipant itu sendiri. Peneliti sifatnya lebih fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan latar yang ada. Konsep- konsep, alat-alat pengumpulan data dan metode pengumpulan data dapat disesuaikan dengan pengembangan penelitian.

Penelitian kualitatif dapat didefinisikan sebagai suatu penelitian yang menggunakan data kualitatif yang bersifat deskriptif, yang dikumpulkan melalui berbagai macam cara seperti observasi, wawancara, rekaman (recording), intisari dokumen dan proses melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan, atau alih tulisan (Poerwandari, 2001). Penelitian kualitatif memungkinkan pemahaman yang utuh atau holistik akan suatu fenomena, serta mampu menampilkan suatu objek studi secara detail dan mendalam. Sehingga dapat diperolehnya gambaran yang lengkap dan komprehensif tentang suatu objek studi (Poerwandari, 2001).

1. Pengertian Studi Kasus

Studi kasus ditujukan untuk meneliti suatu kasus atau lebih secara mendetail dan mendalam guna memahami kompleksitasnya dalam alamiah.

(31)

Studi kasus dapat dilakukan secara kualitatif, kuantitatif, atau gabungan dari keduanya (Moleong, 2002).

Menurut Moleong (2002) studi kasus adalah studi yang berusaha memahami isu-isu yang rumit atau objek dan dapat memperluas pengalaman atau menambah kekuatan terhadap apa yang dikenal melalui hasil penelitian yang lalu. Lebih lanjut dikatakan bahwa studi kasus menekankan pada rincian analisis kontekstual tentang sejumlah kecil kejadian atau kondisi dan hubungan- hubungan yang ada padanya. Sedangkan American Psychological Association (APA) mendefinisikan studi kasus adalah sebuah penelitian yang dibuat oleh peneliti untuk memberikan gambaran mengenai suatu kasus baik itu pada individu maupun organisasi (Moleong, 2002)

Menurut Nawawi (dalam Maaruf, 1998) mengemukakan studi kasus adalah penelitian yang memusatkan diri secara intensif terhadap objek tertentu.

Objek tersebut dapat berupa unit sosial seperti individu ataupun kelompok individu. Unit sosial tersebut diselidiki secara intensif, baik secara menyeluruh maupun mengenai aspek-aspek tertentu yang perlu mendapat perhatian khusus.

Selain itu alasan peneliti menggunakan metode ini antara lain mengingat ke khususan dari metode ini seperti yang dikemukakan oleh Maaruf (1998) adalah sebagai berikut :

a. Sikap peneliti yang lebih menampung dan mengumpulkan data dari pada menguji keterangan-keterangan yang diterima.

b. Intensitas dari studi ini adalah selain menunjukan dan menjelaskan keunikan gejala juga berusaha mempelajari seseorang individu, studi kasus tidak hanya memperhatikan keadaan masa kini tetapi mencakup seluruh riwayat hidup.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pendekatan kualitatif yang bersifat studi kasus adalah suatu penelitian yang menghasilkan dan mengolah data bersifat deskriptif yang dikumpulkan melalui berbagai cara seperti observasi, wawancara, rekaman (recording), intisari dokumen dan dicatat melalui proses

(32)

pencatatan, pegetikan dan penyuntingan yang menekankan pada rincian analisis, kontekstual tentang suatu kejadian atau kondisi serta berusaha memahami dan memberikan gambaran mengenai fenomena-fenomena dan isu-isu yang rumit berdasarkan penelitian yang mendalam mengenai studi kasus dan sudut pandang serta pengalaman pada individu maupun kelompok.

2. Ciri-Ciri Studi Kasus

Menurut Basuki (2006) ciri-ciri studi kasus adalah sebagai berikut : a. Studi kasus bukan sutu metodologi penelitian, tetapi suatu bentuk studi

(penelitian) tentang masalah yang khusus (particular).

b. Sasaran studi kasus dapat bersifat tunggal (ditujukan perorangan atau individual) atau suatu kelompok, misalnya kelas, dan lain-lain.

c. Masalah yang dipelajari atau diteliti dapat bersifat sederhana atau komleks, misalnya seperti anak yang mengalami penyimpangan perilaku (masalah yang sederhana) dan hal-hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan (masalah yang kompleks).

d. Tujuan yang ingin dicapai adalah pemahaman yang mendalam tentang suatu kasus, atau dapat dikatakan untuk mendapatkan verstehen bukan sekedar erklaren (deskripsi suatu fenomena).

e. Suatu kasus tidak bertujuan melakukan generalisasi, walaupun studi kasus dapat dilakukan terhadap beberapa kasus. Studi yang dilakukan terhadap beberapa kasus bertujuan untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap, sehingga pemahaman yang dihasilkan terhadap satu kasus yang dipelajari lebih mendalam.

Moleong (2002) menyebutkan bahwa studi kasus memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Partikularistik : studi ini berfokus pada situasi khusus, sesuatu program atau sesuatu fenomena seperti seseorang, keluarga, sebuah kantor, satu keluarga, sebuah perusahaan, sesuatu kelas, atau bangunan apartement.

(33)

b. Naturalistik : studi kasus mempersoalkan orang-orang yang sebenarnya atau situasi dan terbanyak dari proses pengumpulan data dilakukan dalam situasi sebenarnya.

c. Data Uraian Rinci : studi kasus termasuk pengamat berperan serta atau tidak berperan serta, wawancara, sumber historis dan naratif, sumber tertulis seperti jurnal dan buku harian, sumber data kuantitatif seperti tes, dan apa saja yang dapat dikumpulkan.

d. Induktif : sebagian besar studi kasus bergantung kepada alasan induktif, konsep, generalisasi, hipotesis yang muncul dari pengujian data-data berasal dari suatu konteks tertentu.

e. Heuristik : studi kasus dapat membawa pembaca pada pemahaman tentang fenomena yang diteliti. Studi kasus dapat membawa pada pemahaman baru memperluas pengalaman pembaca, atau mengkonfirmasikan apa yang telah diketahui sebelumnya.

Menurut Poerwandari (2005) studi kasus dapat dibedakan dalam beberapa tipe-tipe yaitu :

1. Studi Kasus Instrinsik : penelitian ini dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus khusus. Apa penelitian ini dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsep atau teori ataupun tanpa upaya menggeneralisasikan.

2. Studi Kasus Instrumental : penelitian pada suatu kasus unik tertentu dilakukan untuk memahami isu dengan lebih baik, juga untuk mengembangkan, memperhalus teori.

3. Studi Kasus Kolektif : studi kasus instrumental yang diperluas, sehingga mencakup benerapa kasus. Tujuannya adalah untuk mempelajari fenomena atau kondisi umum dengan lebih mendalam. Karena menyangkut kasus majemuk, atau studi kasus komparatif.

(34)

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif berupa studi kasus yang unik dan mempunyai karakteristik tertentu.

Peneliti juga ingin memperoleh pemehaman yang utuh dan terintegrasi dari suatu kasus yang diteliti (Poerwandari, 2005).

3. Kelebihan dan Kelemahan Studi Kasus a. Kelebihan Studi Kasus

Menurut Basuki (2006) kelebihan studi kasus dibagai menjadi dua, yaitu :

1) Studi kasus mampu mengungkapkan hal-hal yang spesifik, unik, dan hal-hal yang amat mendetail yang tidak dapat diungkap oleh studi yang lain. Studi kasus mampu mengungkap makna dibalik fenomena dalam kondisi apa adanya (natural)

2) Studi kasus tidak sekedar memberi laporan faktual, tetapi juga memberi nuansa, suasana kebatinan dan pikiran-pikiran yang berkembang dalam kasus yang menjadi bahan studi yang tidak dapat ditangkap oleh nelitian kualitatif yang sangat ketata.

b. Kelemahan Studi Kasus

Menurut Basuki (2006) penelitian studi kasus dilihat dari kaca mata penelitian kualitatif merupakan studi kasus yang dipersoalkan dari segi validitas, reliabilitas, dan generalisasi. Namun studi kasus yang sifatnya unik dan kualitatif tidak dapat diukur dengan parameter yang digunakan dalam penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mencari generalisasi.

B. Subjek Penelitian 1. Karakteristik Subjek

Karakteristik subjek dalam penelitian ini akan ditentukan sebagai berikut : subjek yang melakukan pelecehan seksual adalah remaja pria yang usianya berkisar antara 17-18 tahun (Hurlock, 2000).

(35)

2. Jumlah Subjek

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001) jumlah subjek sangat tergantung pada apa yang ingin diketahui oleh peneliti, tujuan penelitian, pertimbangan waktu, dan sumber yang tersedia. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah satu orang.

C. Tahap-Tahap Penelitian

Dalam melakukan penelitian studi kasus ini dibutuhkan pula serangkaian persiapan dan pelaksanaan dari peneliti agar bukti penelitian ini dapat digunakan sebagaimana mestinya. Adapun tahap-tahap penelitian tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tahap Persiapan Penelitian

Untuk dapat melakukan wawancara terhadap subjek secara terfokus dan tidak menyimpang dari tujuan penelitian, maka dibuatlah pedoman wawancara yang didasari literature yang sesuai dengaan tujuan penelitian.

Kemudian peneliti memberikan pedoman wawancara tersebut kepada pembimbing untuk dipertimbangkan apakah item-item pertanyaan dapat menggali informasi yang dibutuhkan apakah kalimat pertanyaan tersebut dapat dimengerti subjek. Setelah melakukan perbaikan pada pedoman wawancara, peneliti menyerahkan wawancara yang telah direvisi kepada pembimbing untuk meminta persetujuan bahwa wawancara siap digunakan.

Untuk subjeknya, peneliti mencari sendiri subjek yang akan diwawancarai lewat bantuan teman atau saudara. Kemudian meminta ixin kepada mereka baik melalui telepon ataupun langsung bertemu, dan membuat janji pertemuan untuk melalukan wawancara. Peneliti tidak lupa menggunakan alat perekam, kaset, kertas dan alat tulis, serta baterai ekstra untuk berjaga- jaga agar wawancara tetap berlangsung dengan lancar.

(36)

Berikut ini adalah langkah-langkah dalam tahap persiapan : a. Pertanyaan masalah penelitian.

b. Mengkaji konsep dan teori berdasarkan referensi.

c. Menentukan subjek penelitian.

d. Penyusunan pedoman wawancara dan pedoman observasi.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian.

Pada tahap ini melakukan metode pengambilan data dengan metode wawancara dan metode observasi, berdasarkan pedoman yang telah disusun sebelumnya ditahap awal. Setelah data diperoleh dari penelitian kualitatif merupakan data yang bersifat deskriptif. Dalam melakukan proses analisa, peneliti melakukan beberapa prosedur untuk mengolah data yang dapat dijadikan informasi yang nantinya akan dihubungkan dengan teori yang melatarbelakanginya. Pengolahan data hasil wawancara dapat dilakukan dengan pencatatan hasil wawancara secara memyeluruh (verbatim). Analisis hasil wawancara dengan koding, serta pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari hasil wawancara tersebut, kemudian dilanjutkan dengan keseluruhan hasil dibuatkan analisis psikologis. Data yang didapat dibuat kesimpulan, kemudian di analisis dengan teori-teori yang melatar belakanginya dan yang sudah terlebih dahulu tertuang dalam bab tinjauan pustaka. Setelah itu maka dibuat hasil penelitian secara menyeluruh yang berisi gambaran hasil penelitian berupa analisis data hubungannya dengan teori yang ada, berupa poin-poin kesimpulan penelitian. Lalu saran baik itu untuk subjek, atau pihak-pihak yang berkaitan maupun demi kepentingan penelitian lebih lanjut.

Secara sistematis, berikut ini adalah langkah-langkah penelitian pada tahap pelaksanaan, yaitu :

a. Pengambilan data dengan metode wawancara dan observasi.

b. Pengolahan data dan analisi data.

(37)

c. Analisis data penelitian teori.

d. Simpulan dan saran.

3. Tahap Analisis

Setelah melakukan wawancara peneliti memindahkan hasil rekaman wawancara ke dalam bentuk transkrip verbatim tertulis. Peneliti membuat gambaran dan analisis tiap–tiap kasus. Kemudian peneliti menganalisis antar kasus, dengan membuat perbandingan hasil analisis dari semua subjek penelitian.

Maka berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hasil analisis dan kesimpulan yang dilakukan, peneliti mengajukan saran–saran untuk penelitian selanjutnya.

D. Tekhnik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini digunakan metode pengumpulan data yaitu wawancara, dan observasi. Berikut adalah penjabaran lengkap mengenai dua metode yang digunakan dalam penelitian :

1. Wawancara

a. Definisi Wawancara

Menurut Kerlinger (dalam Basuki, 2006) mengutarakan bahwa wawancara merupakan situasi peran antar pribadi berhadapan muka (face to face) ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan – pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relefan dengan masalah penelitian pada seseorang yang diwawancarai atau informan.

Wawancara menurut Kartono adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu, ini merupakan proses tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik (dalam

(38)

Basuki, 2006). Sedangkan menurut Denzin & Lincoln (dalam Basuki, 2006) wawancara merupakan suatu percakapan, seni tanya jawab dan mendengarkan. Ini bukan merupakan suatu alat yang netral, pewawancara menciptakan situasi tanya jawab yang nyata.

Menurut Gulo (2000) wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan responden. Dalam wawancara, komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya jawab dan biasanya peneliti dan responden berhadapan langsung atau tatap muka, sehingga gerak dan mimik responden merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal. Dengan demikian selama berlangsungnya wawancara, peneliti tidak hanya menangkap pemahaman dan ide, tetapi dapat pula menangkap hal–hal yang tersirat, seperti emosi dan motif .

Wawancara adalah suatu percakapan tahap muka dengan tujuan memperoleh informasi faktual untuk menaksir atau menilai kepribadian seseorang atau dipakai untuk maksud-maksud bimbingan atau terapis (Chaplin, 2000).

Wawancara menurut Narbuko (2002) yaitu proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi–informasi atau keterangan–keterangan. Sedangkan menurut Banister (dalam Poerwandari, 2001) mengatakan bahwa wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna–makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan dalam upaya melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut.

Kesimpulan dari beberapa tokoh diatas yaitu wawancara adalah metode pengumpulan data dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secra lisan pula. Jadi, wawancara merupakan bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan responden, peneliti dapat

(39)

mengamati perilaku responden saat wawancara berlangsung. Setiap percakapan dan tanya jawab diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Basuki, 2006).

b. Jenis-Jenis Wawancara

Secara umum ada tiga pendekatan dalam memperoleh data kualitatif melalui wawancara (Patton dalam Poerwandari, 1998) antara lain :

1). Wawancara Konvensional Informal

Proses wawancara didasarkan sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaan-pertanyaan secara spontan dalam interaksi alamiah. Tipe wawancara demikian umumnya dilakukan peneliti yang melakukan observasi parsipasif. Dengan demikian, orang-orang yang diajak berbicara mungkin tidak menyadari bahwa ia sedang di wawancarai secara sistematis untuk menggali data.

2). Wawancara Pedoman Umum

Dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, yang menentukan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahwa mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas sekaligus menjadi daftar pengecekan (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman yang demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut dapat dijabarkan secara kongkrit dalam kalimat pertanyaan, sekaligus menyesuaikan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung.

3). Wawancara Berstruktur (Pedoman Terstandar yang Terbuka)

Dalam bentuk wawancara ini, pedoman wawancara ditulis secara rinci, lengkap dengan set pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat.

Peneliti diharapkan dapat melaksanakan wawancara sesuai konsekuensi

(40)

yang tercantum, serta menanyakan dengan cara yang sama dengan responden yang berbeda. Keluwesan dalam menjalani jawaban terbatas, tergantung pada sifat wawancara dan keterampilan peneliti. Bentuk ini akan efektif dilakukan bila penelitian melibatkan banyak pewawancara, sehingga peneliti perlu mengadministrasikan upaya-upaya tertentu untuk meminimalkan variasi sekaligus mengambil langkah-langkah menyeragaman pendekatan tersebut terhadap subjek.

Menurut Narbuko (2002) prosedur wawancara dibagi atas tiga macam, yaitu :

a) Wawancara Bebas (Wawancara Tak Terpimpin)

Proses wawancara dimana interviewer tidak secara sengaja mengarahkan tanya jawab pada pokok – pokok persoalan dari fokus penelitian dan interviewer (orang yang diwawancarai).

b) Wawancara Terpimpin

Disebut dengan interviewer guide. Controlled interviewer atau Structured interview yaitu wawancara yang menggunakan panduan pokok– pokok masalah yang diteliti.

c) Wawancara Bebas Terpimpin

Merupakan kombinasi antara wawancara bebas dan terpimpin. Jadi, pewawancara hanya membuat pokok–pokok masalah yang akan diteliti, selanjutnya dalam proses wawancara berlangsung mengikuti situasi pewawancara harus pandai mengarahkan yang diwawancarai apabila ternyata ia menyimpang.

Sedangkan menurut Narbuko (2002), sasaran penjawabnya wawancara terbagi atas dua macam, yaitu :

a) Wawancara Perorangan adalah apabila proses tanya jawab tatap muka itu berlangsung secara langsung antara pewawancara dengan seseorang yang diwawancarai.

(41)

b) Wawancara Berkelompok adalah apabila proses interview itu berlangsung sekaligus dua orang pewawancara atau lebih menghadapi dua orang atau lebih yang diwawancarai.

Menurut (Poerwandari,2001) sebuah wawancara dikatakan ilmiah bila telah memenuhi beberapa persyaratan seperti :

1. Sebelum wawancara dilakukan, pewawancara harus sudah tahu akan hal–hal apa yang hendak ditanyakannya.

2. Menciptakan hubungan baik (rapport) guna menghilangkan kecemasan dan membangkitkan keinginannya untuk bekerjasama.

3. Peneliti atau wawancara harus waspada terhadap saat–saat kritis, dimana responden mengalami kesulitan untuk memberi jawaban.

4. Setelah wawancara selesai usahakan agar responden tidak merasa “habis manis sepah dibuang”.

c. Kekurangan dan Kelebihan Teknik Wawancara

Menurut Poerwandari (2001) teknik wawancara memiliki kekurangan dan kelebihan, yaitu :

1). Kekurangan Teknik Wawancara

a) Peneliti seakan-akan hanya mengkonsentrasikan diri pada jawaban dalam mengupayakan untuk menyalinnya.

b) Apabila pengetahuannya dibidang penelitian sangat terbatas berakibat kurang pengembangan lebih lanjut, sehingga hasilnya kurang luas atau dalam.

c) Dapat mempengaruhi psikologis pada responden, sehingga timbul kesan diperiksa atau dinterogasi.

2). Kelebihan Teknik Wawancara

a) Dapat menghasilkan data yang cukup lengkap, karena saat iti dapat langsung dilakukannya.

Gambar

Tabel 1  Hasil Observasi ke-1  No  Bentuk-Bentuk
Tabel 2  Hasil Observasi ke-2  No  Bentuk-Bentuk
Tabel 3  Hasil Observasi ke-3  No  Bentuk-Bentuk

Referensi

Dokumen terkait

Kecamatan Luas Mina Padi (Ha.) Karper Produksi (Kw.) Nilai (Ribu Rp) 257 Temanggung Dalam Angka Tahun

Namun, disebabkan teknologi serta populasi manusia yang semakin meningkat maka, air bawah tanah yang bersih mula tercemar dengan bahan-bahan pencemar seperti logam berat,

Kawan-kawan Teknik Informatika angkatan 2011, selama 4,5 tahun kita lewati bersama dan terima kasih yang selalu memberi dukungan dan motivasi sampai akhir, sehingga saya

Operating Assets Turnover area Lintasarta yang tertinggi adalah pada tahun 2010 sebesar 1.90 kali, artinya menunjukkan tingkat efektifitas operasional Lintasarta

Hal ini dibuktikan dengan menggunakan uji user, 75% dari 20 responden menyatakan bahwa dengan memanfaatkan multimedia sebagai Media Pembelajaran Matematika

Ekstensifikasi merupakan suatu strategi yang dilakukan oleh UPPD Provinsi Wilayah XXII Bandung Timur untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah dengan melakukan

Praktik Pengalaman Lapangan meliputi semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sabagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh

penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas, time interest earned memiliki pengaruh signifikan terhadap struktur modal sedangkan ukuran perusahaan, risiko usaha dan pertumbuhan