CONTENT CAN BE QUOTED WITH THE SOURCE Bul. Tek & Info Pertanian Vol. 18 No. 2 Hal. 78-152 Denpasar
Agustus 2020 ISSN: 1693 - 1262 BULETIN TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN
ISSN: 1693 - 1262
Penanggung Jawab
Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
Dewan Redaksi
Dr. Ir. Ida Bagus Gede Suryawan, M.Si (Hama Penyakit) Dr. Drh. I Made Rai Yasa, M.Si (Sistem Usaha Pertanian) Dr.I Gusti Komang Dana Arsana,SP.M.Si (Budidaya Pertanian)
I Ketut Mahaputra, SP.MP (Sosial Ekonomi Pertanian) Ir. Ida Ayu Parwati, MP (Sistem Usaha Pertanian) Drh. Nyoman Suyasa, M.Si (Sistem Usaha Pertanian) Ir. Wayan Trisnawati, MP (Teknologi Pangan dan Pascapanen)
I Nyoman Adijaya, SP.MP (Budidaya Pertanian)
Mitra Bestari
Prof. Ir.M Sudiana Mahendra, MAppSc, Ph.D (Ilmu Lingkungan) Prof.Ir.I Made S. Utama, M.S,Ph.D (Teknologi Pascapanen Hortikultura) Prof. (Riset) Dr. I Wayan Rusastra, M.S (Agroekonomi dan Kebijakan Pertanian)
Dr. Ir. Rubiyo, M.Si (Pemuliaan dan Genetika Tanaman)
Redaksi Pelaksana
M.A Widyaningsih, SP Annela Retna Kumala Sari, MP.
drh, Berlian Natalia, M.Si
Alamat Redaksi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) - Bali
Jl. By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar Selatan, Denpasar, Bali 80222 PO.BOX 3480
Telepon/ Fax: (+62361) 720498 email: [email protected] website: http://www.bali.litbang.deptan.go.id
Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian memuat pemikiran ilmiah, hasil – hasil kelitbangan, atau tinjuan kepustakaan bidang pertanian secara luas yang belum pernah diterbitkan pada media apapun, yang terbit tiga kali dalam satu tahun setiap bulan April, Agustus, dan Desember
BULETIN TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN
Volume 18 Nomor 2 Agustus 2020
ISSN : 1693 - 1262
TABLE OF CONCENT
ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU (VUB) INPARI DI LOKASI PENGEMBANGAN KAWASAN PADI DI BALI
Sagung Ayu Nyoman Aryawati, I Made Sukarja dan Wayan Sunanjaya ... 78-83
DAYA DUKUNG HIJAUAN PAKAN UNTUK TERNAK KAMBING DI LOKASI TTP DESA SANDA, KECAMATAN PUPUAN, KABUPATEN TABANAN
Ni Luh Gede Budiari dan I Putu Agus Kertawirawan ... 84-90
INOVASI PEMANFAATAN LAHAN KERING MASAM BERBASIS SISTEM USAHA PERTANIAN INOVATIF UNTUK MENDUKUNG KETERSEDIAAN PANGAN
Yennita Sihombing ... 91-98
INTRODUKSI INOVASI TEKNOLOGI PERSEMAIAN BAWANG MERAH ASAL BIJI
Andi Nirma Wahyuni, Saidah, dan Heni SP Rahayu ... 99-106
KERAGAAN PERTUMBUHAN DAN HASIL BEBERAPA VARIETAS DAN GALUR JAGUNG BADAN LITBANG PERTANIAN DI KABUPATEN KARANGASEM
I Nyoman Adijaya ... 107-112
PEMBERDAYAAN KELOMPOK PENANGKAR DALAM PRODUKSI BENIH
SUMBER PADI MELALUI UNIT PENGELOLA BENIH SUMBER (UPBS) BPTP BALI
Ni Putu Sutami dan I.B.K. Suastika ... 113-121
PENGARUH PEMBERIAN LARUTAN MOLASIS YANG MENGANDUNG BEBERAPA JENIS AGEN DEFAUNASI (MOLADEF) TERHADAP PRODUKSI FESES SAPI BALI
Anak Agung Ngurah Badung Sarmuda Dinata, I Wayan Sudarma
dan I Putu Agus Kertawirawan ... 122-127
PERAN TEMU TEKNIS INOVASI PERTANIAN
TERHADAP PERUBAHAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PESERTA I Wayan Alit Artha Wiguna, I Gusti Made Widianta,
Ni Ketut Sudarmini, Agung Prijanto ... 128-138
POTENSI JERAMI PADI BERBAGAI VARIETAS UNTUK MENDUKUNG KEBUTUHAN HIJAUAN PAKAN SAPI BALI DI KABUPATEN TABANAN
Yusti Pujiawati, I Nengah Dwijana, dan Sagung Ayu Nyoman Aryawati ... 139-143
TINGKAT ADOPSI PETANI TERHADAP PAKET TEKNOLOGI INTRODUKSI KAKAO PADA KAWASAN PERKEBUNAN NASIONAL DI SULAWESI BARAT
ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU (VUB) INPARI DI LOKASI PENGEMBANGAN KAWASAN PADI DI BALI
Sagung Ayu Nyoman Aryawati1, I Made Sukarja2 dan Wayan Sunanjaya3 1,2,3)Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
Jl. By Pass Ngurah Rai Denpasar Bali E-mail : [email protected]
Submitted date: 28 Mei 2020 Approved date : 29 Juni 2020
ABSTRACT
Adaptation of Some New Superior Variety (VUB) Inpari Area Development Assistance in Rice in Bali
Assistance in the development of rice areas is an effort to empower farmers on a regional scale, towards increasing the adoption of technological innovations, one of which is a new superior variety (VUB). The adaptation study of several Inpari VUB has been carried out in one subak in the district which is a rice-producing center, Subak Jaka, Kukuh Village, Marga District, Tabanan Regency, Bali in MT. 2016. The purpose of this study is to determine the adaptability of growth and production of several Inpari VUB that have been released by the government. This study used a randomized block design (RBD) with three treatments replicated three times. The treatments were Inpari 16, Inpari 30 and Ciherang, which each was covering 1 hectare. Parameters measured were plant height, number of tillers, number of filled and empty grains per panicle, weight of 1000 grains and productivity per hectare. The analysis showed that the treatment of the varieties had no significant different on all plant parameters observed except the number of empty grains.The results of dry milled grain per hectare produced by VUB Inpari 16 amounted to 7.88 tons, Inpari 30 which was 7.17 tons, and Ciherang 6.65 tons GKG / Ha. Inpari 16 and Inpari 30 varieties can adapt and can be used to rotate varieties to replace Ciherang varieties.
Keywords: Adaptation, VUB and regional assistance.
ABSTRAK
Pendampingan pengembangan kawasan padi merupakan upaya pemberdayaan petani dalam skala kawasan ke arah peningkatan adopsi inovasi teknologi, salah satunya adalah varietas unggul baru (VUB). Kajian adaptasi beberapa VUB Inpari telah dilaksanakan di salah satu subak di kabupaten yang merupakan sentra penghasil beras, Subak Jaka, Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali pada MT. 2016. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui daya adaptasi pertumbuhan dan produksi beberapa VUB Inpari yang telah dilepas oleh pemerintah. Kajian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan diulang tiga kali. Sebagai perlakuan adalah Inpari 16, Inpari 30 dan Ciherang masing-masing seluas 1 hektar. Parameter tanaman yang diukur adalah tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah gabah isi dan hampa per malai, bobot 1000 butir dan produktivitas per hektar. Hasil analisis menunjukkan perlakuan varietas yang dikaji berpengaruh tidak nyata terhadap semua parameter tanaman yang diamati kecuali jumlah gabah hampa. Hasil gabah kering giling per hektar dihasilkan oleh VUB Inpari 16 sebesar 7,88 ton, Inpari 30 yaitu 7,17 ton, dan Ciherang 6,65 ton GKG/Ha. Varietas Inpari 16 dan Inpari 30 dapat beradaptasi dan bisa dipergunakan untuk pergiliran varietas menggantikan varietas Ciherang.
79
PENDAHULUAN
Padi merupakan komoditas yang sangat penting karena saat ini beras menjadi makanan pokok bagi lebih dari 90% rakyat di Indonesia (Wardana, 2012). Kebutuhan terhadap beras di Bali dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk baik untuk konsumsi, industri bahan makanan maupun untuk keperluan upacara agama. Peningkatan jumlah konsumsi tidak seimbang dengan peningkatan jumlah produksi yang dihasilkan secara nasional. Kebutuhan konsumsi beras masyarakat Bali setiap tahun sekitar 451.327 ton atau rata-rata 115,3 kg per kapita per tahun (BKP,2018Produksi padi pada 2014 mencapai 857.944 ton gabah kering giling (GKG) dengan luas panen 142.697 ha, menurun 24.148 ton atau 2,74 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan produksi padi tahun 2015 tercatat 853.899 ton GKG dengan luas panen 137.475 ha, menurun 4,234 ton atau 0,49 persen dibanding tahun sebelumnya (BPS Provinsi Bali, 2016).
Produktivitas padi di Provinsi Bali pada tahun 2019 rata-rata 6,08 t/ha GKG (BPS Provinsi Bali 2019), lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas nasional padi 5,11 t/ha GKG (Bardono 2020). Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan usahatani padi sawah antara lain: (a) kepemilikan lahan yang relatif kecil, (b) terjadinya alih fungsi lahan sawah untuk penggunaan lainnya, (c) keterbatasan debit air irigasi di beberapa wilayah terutama pada musim kemarau yang disebabkan oleh persaingan dalam penggunaan air irigasi, (d) keterbatasan tenaga kerja terutama pada saat panen raya, (e) keterbatasan modal usahatani dan (f) tingkat serangan hama dan penyakit tanaman yang cenderung tinggi dan beragam antar wilayah dan antar musim tanam, seperti wereng cokelat, penggerek batang, tikus, dan tungro (Suharyanto
et al., 2015). Permasalahan tersebut
berpe-ngaruh terhadap penerapan teknologi Penge-lolaan Tanaman Terpadu (PTT) rendah sehingga perlu ditingkatkan melalui pendampingan. Pendampingan pengembangan kawasan padi merupakan upaya pemberdayaan petani dalam skala kawasan ke arah peningkatan adopsi ino-vasi teknologi usahatani padi sesuai target yang ditentukan. Berkenaan dengan kondisi tersebut pendampingan oleh peneliti dan penyuluh menjadi krusial untuk mengatasi permasalahan dan peluang yang ada (Balitbangtan, 2016).
Sejalan dengan hal tersebut, upaya peningkatan produksi padi difokuskan pada kawasan tanaman pangan melalui pendampingan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). PTT adalah suatu pendekatan inovatif dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani serta sebagai suatu pendekatan pembangunan tanaman pangan khususnya dalam mendorong peningkatan produksi padi (Badan Litbang, 2014).
Di Provinsi Bali, lebih dari 95% kawasan sentra produksi padi ditanami varietas Ciherang (BPSB 2013). Penggunaan varietas padi sawah mengalami pergeseran dari sebelumnya IR64 yang merupakan varietas dominan, kemudian petani beralih menggunakan varietas Ciherang, Cigeulis, Cibogo, Mekongga, dan Inpari. Hal ini karena IR64 telah mengalami penurunan daya hasil dan rentan terhadap hama dan penyakit (Suharyanto et al., 2015). Penggunaan varietas secara terus menerus dari musim ke musim dalam satu hamparan berdampak negatif pada produktivitas padi. Untuk memperoleh varietas alternatif pengganti varietas Ciherang perlu diuji beberapa VUB padi sawah berpotensi hasil tinggi dengan rasa nasi enak di sentra-sentra produksi padi di Bali, diantaranya di Kabupaten Tabanan Salah satu komponen teknologi dalam PTT adalah varietas unggul baru. Selain berdaya hasil tinggi, varietas unggul baru memiliki pertumbuhan yang lebih seragam sehingga dapat dipanen serempak, mutu hasil lebih baik, tekstur nasi pulen dengan kadar amilosa 18,0-22,7%, dan disukai oleh umumnya petani (Mejaya et al., 2014).
Badan Litbang Pertanian telah melepas lebih dari 200 varietas padi sejak tahun 1930an. Varietas yang dilepas mempunyai karakteristik yang beragam, baik yang mempunyai umur genjah, produktivitas tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit tertentu, dan karakter unggul lainnya. VUB Inpari 16 potensi hasil 7,6 ton/ha, tekstur nasi pulen, tahan Hawar Daun Bakteri patotipe III dan blas ras 033. Inpari 30 Ciherang Sub 1 mempunyai keunggulan tahan terhadap rendaman air, umur genjah hanya 111 hari setelah semai dengan potensi hasil 9,6 ton/ha. Tekstur nasi pulen yang disukai sebagian besar masyarakat (Bardono,2020).
VUB padi yang mendominasi dan belum tergantikan sampai saat ini yakni varietas Ciherang dan IR64. Kedua varietas ini semakin rentan terhadap serangan hama dan penyakit sehingga sangat diperlukan varietas pengganti
Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru (VUB) Inpari di Lokasi Pengembangan Kawasan Padi di Bali | Sagung Ayu Nyoman Aryawati, dkk.
yang lebih toleran dan berdaya hasil tinggi. VUB yang mendekati diantaranya Inpari 16 dan Inpari 30. Untuk mengenalkan VUB Inpari tersebut perlu dilakukan pengujian untuk melihat adaptasinya. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui daya adaptasi dari varietas unggul baru (VUB) Inpari 16, Inpari 30 dan Ciherang di subak sentra produksi padi di Kabupaten Tabanan, Bali.
METODOLOGI
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah pupuk anorganik dan pupuk organik, seperti pupuk urea, phonska, pupuk kandang sapi dan bahan lainnya. Selain itu digunakan varietas unggul baru (VUB) Inpari 16 dan Inpari 30 yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian Padi (BB Padi). Sedangkan alat yang digunakan adalah alat untuk bercocok tanam, meteran, timbangan dan alat-alat yang lainnya.
Rancangan Percobaan
Kajian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan diulang tiga kali. Sebagai perlakuan adalah : (1) varietas unggul baru (VUB) Inpari 16, (2) VUB Inpari 30 dan (3) VUB Ciherang. Luas petak yang digunakan disesuaikan dengan luas petak alami petani, dimana petani kooperator (27 orang) total luasan 3 hektar.
Lokasi dan Waktu Kajian
Kajian dilakukan di lahan sawah di Subak Jaka, Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali pada MT. 2016. Subak
Jaka merupakan salah satu sentra penghasil padi di Kabupaten Tabanan, kabupaten lumbung pangan di Bali, merupakan lahan sawah dataran rendah karena terletak < 400 m dpl.
Pendekatan
Kajian ini, menggunakan pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu). Adapun komponen PTT yang digunakan dalam kegiatan ini diantaranya tertera pada Tabel 1.
Pengumpulan dan Analisis Data
Parameter tanaman padi yang diamati: tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah gabah isi dan hampa per malai dan hasil gabah kering panen (GKP) per hektar. Data yang dikumpulkan dianalisis secara sidik ragam. Uji rata-rata pengaruh perlakuan dilakukan dengan uji DMRT pada taraf 5 % (Gomez dan Gomez, 1984)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis statistik terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan produktif (malai) dan jumlah gabah isi per malai disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis statistik terhadap tinggi tanaman menunjukkan pengaruh berbeda nyata. Tinggi tanaman tertinggi dihasilkan oleh VUB Inpari 30 dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan lain. Sedangkan tinggi tanaman terendah dihasilkan oleh VUB Inpari 16. Tinggi tanaman pada saat panen yang diamati bervariasi antar VUB yang dibudidayakan. Beberapa ahli dibidang budidaya padi berbeda pendapat mengenai pengaruh tinggi tanaman terhadap produktivitas padi. Tinggi tanaman merupakan faktor genetik dari tanaman itu sendiri dan keragaman tanaman akibat faktor lingkungannya (Suryanugraha et al., 2017).
Tabel 1. Teknologi budidaya padi model PTT yang digunakan di lapangan.
Perlakuan Komponen Teknologi PTT
Varietas Varietas unggul baru (VUB)
Tanam bibit 15 HSS.
Jumlah bibit/lubang 1-3 bibit untuk tanam pindah
Dosis pupuk anjuran Rekomendasi Katam (150 kg urea ha-1 dan 200 kg Phonska ha-1) dan 2,0 ton
pupuk organik ha-1.
Pengendalian hama/penyakit Prinsip PHT
81 Selain faktor sifat genetik, tinggi tanaman juga
dipengaruhi kondisi lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh (Sujitno et al., 2011). Tanaman yang tinggi sangat mudah rebah sehingga dapat menurunkan hasil gabah (Sutaryo dan Sudaryono 2012). Hasil kajian Suwijana et al. (2013) terhadap beberapa VUB Inpari (Inpari 7, 14, 15) menunjukkan semakin tinggi tanaman padi, maka produksi tanaman juga semakin meningkat. Hal yang sama dikemukakan oleh Duwijana et al. (2013) yang mendapatkan komponen pertumbuhan dari beberapa VUB Inpari (7, 14, 15) yang dikaji di Subak Tibu Beleng, Jembrana, Bali menunjukkan data yang bervariasi juga. Hasil analisis statistik terhadap variabel jumlah anakan dan jumlah gabah isi per malai, menunjukkan pengaruh yang tidak nyata, seperti terlihat pada Tabel 2.
Hasil analisis statistik terhadap jumlah gabah hampa per malai, bobot 1000 butir dan produktivitas padi disajikan pada Tabel 3. Pada Tabel 3 terlihat perlakuan berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah hampa per malai. Jumlah gabah hampa per malai terbanyak dihasilkan oleh VUB Inpari 16 dan tidak berbeda nyata dengan Inpari 30. Jumlah gabah hampa terendah dihasilkan oleh VUB Ciherang. Sedangkan terhadap bobot 1000 butir tidak berbeda nyata,
begitu pula dengan produktivitas. Produktivitas varietas Inpari 16 dan Inpari 30 tidak jauh berbeda dibandingkan dengan varietas Ciherang. Dengan demikian varietas Inpari 16 dan Inpari 30 dapat beradaptasi dan bisa dipergunakan untuk pergiliran varietas menggantikan varietas Ciherang.
Di Provinsi Bali, lebih dari 95,0 % kawasan sentra produksi padi telah ditanami VUB dan lima varietas diantaranya lebih dominan pengembangannya dengan luas tanam 94,30 % dari total luas sawah di Bali (BPSB, 2013). Dari lima VUB tersebut VUB Ciherang menggeser dominasi VUB IR 64 yang telah ditanam petani secara luas pada 5-10 tahun terakhir. Penggunaan varietas secara terus menerus dari musim ke musim dalam satu hamparan akan berdampak negatif yaitu produktivitas padi cenderung menurun. Oleh karena itu, perlu dilakukan pergiliran varietas dengan penggunaan varietas unggul lainnya.
Varietas Inpari 16 dan Inpari 30 telah berkembang dan beradaptasi sampai saat ini di beberapa subak di Bali. Berdasarkan kegiatan SL Mandiri Benih, sebaran varietas Inpari 16 sejumlah 12.850 kg yaitu di Kabupaten Jembrana (di Subak Tibubeleng, Jagaraga, Pecelengan, Pohsanten, Tegal Wangi, Pangkung Buluh),
Tabel 2. Keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan beberapa VUB Inpari di lahan sawah di Bali MT. 2016
Varietas Tinggi tanaman (cm) Jumlah Anakan Jumlah gabah isi
(batang/rumpun) per malai
Inpari 16 106,33 a 13,53 a 123,67 a
Inpari 30 117,80 b 15,53 a 133,20 a
Ciherang 107,47 a 13,40 a 126,20 a
KK (%) 4,07 9,79 10,66
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 5 %.
Tabel 3. Keragaan jumlah gabah hampa per malai dan produksi beberapa VUB Inpari di lahan sawah di Bali MT. 2016.
Varietas Jumlah gabah hampa per malai Bobot gabah 1000 butir Produktivitas (ton GKG/ha)
Inpari 16 17,13 b 26,97 a 7,88 a
Inpari 30 15,63 b 26,97 a 7,17 a
Ciherang 12,13 a 24,57 a 6,65 a
KK (%) 7,91 5,78 13,35
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 5 %.
Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru (VUB) Inpari di Lokasi Pengembangan Kawasan Padi di Bali | Sagung Ayu Nyoman Aryawati, dkk.
Koptan Sri Ananta Buwana, dan UD. Bisma Perkasa. Sebaran varietas Inpari 30 sejumlah 2.000 kg di Kabupaten Buleleng (di Subak Babakan, Sambangan, Kresek, Cengana, Muara, Lebah Mantung, Gede Swakarsa) dan UD Swandewi. Produktivitas rata-rata Inpari 16 sebesar 7,2 ton/ha dan Inpari 30 sebesar 8,3 ton GKP/ha (Sugiarta et al., 2019).
Berdasarkan deskripsi padi, asal seleksi dari varietas Inpari 16 adalah Ciherang/Cisadane/ Ciherang dan Inpari 30 adalah Ciherang/ IR64Sub1/Ciherang. Kedua varietas tersebut merupakan keturunan varietas Ciherang dengan tekstur nasi pulen, sama seperti tekstur nasi varietas Ciherang (Sasmita et al., 2019). Dengan demikian varietas tersebut bisa dipergunakan sebagai pergiliran varietas, untuk memutus serangan hama penyakit.
KESIMPULAN
Perlakuan yang dicoba tidak berbeda nyata terhadap seluruh parameter tanaman yang diamati, kecuali jumlah gabah hampa per malai. VUB Inpari 16 dan Inpari 30 produktivitasnya tidak berbeda nyata dengan VUB Ciherang, sehingga kedua varietas tersebut dapat disimpulkan mampu beradaptasi di lokasi kajian dan bisa dipergunakan untuk pergiliran varietas. VUB Inpari 16 dan 30 berkembang sampai saat ini di beberapa Subak di Bali dengan produktivitas rata-rata Inpari 16 sebesar 7,2 t/ha dan Inpari 30 sebesar 8,3t/ha.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada tim kegiatan Pendampingan Pengembangan Kawasan Komoditas Padi Tahun Anggaran 2016, petani kooperator dan semua pihak yang memberikan kontribusinya pada pelaksanaan kegiatan.
KONTRIBUSI PENULIS
Penulis pertama atas nama Sagung Ayu Nyoman Aryawati dalam artikel ilmiah ini merupakan kontributor utama dan penulis berikutnya adalah kontributor anggota dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2014. Panduan Pendampingan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Balai Penelitian Pengembangan Pertanian. 2016. Petunjuk Pendampingan Pengembangan Kawasan Padi, Jagung dan Kedelai. Balai Penelitian Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Bardono, S. 2020. Inpari 30 Ciherang Sub 1 tahan rendaman air hingga 15 hari. Inovasi Pertanian. Technology_Indonesia.com. 21 Januari 2020.
Bardono, S. 2020. BPS Rilis Data produksi padi 2019 metode kerangka sampel area. Jakarta.Technology_Indonesia.com. 6 Februari 2020.
BKP, 2018. Statistik Ketahanan Pangan. Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian 2019. http://bkp.pertanian.go.id/storage/app/ media/uploaded-files/STATKP18_page number.pdf
BPS Provinsi Bali, 2016. Luas panen, rata-rata produksi padi sawah dan padi ladang di Bali 2011-2015. https://bali.bps.go.id/ dynamictable/2016/07/25/56/luas-panen- ratarataproduksidanproduksipadisawahdanpadiladangdibali2011 -2015.html[BPSB] Balai Pengawas Sertifikasi Benih. 2013. Laporan inventarisasi penyebaran varietas. BPSB Bali. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi, Bali, ID.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali. 2016. Produktivitas Padi Bali Capai Peringkat Tiga Nasional. Antara News Bali. Berita Terkini Bali.
Duwijana, IN., SAN. Aryawati dan IB. Aribawa. 2013. Tampilan beberapa varietas unggul baru (VUB) Inpari di Subak Tibu Beleng, Mendoyo, Jembrana Bali. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian. Vol. 11 (34) 2013. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Hlm : 55-61.
83 Gomez and Gomez. 1984. Statistical Procedures
for Agricultural Research. Second Edition. An International Rice Research Instute Book. A Wiley Interscience Publ. John Wiley and Sons. New York, USA.
Mejaya, M.J., Satoto, P. Sasmita, Y. Baliadi, A. Guswara, dan Suharna. 2014. Deskripsi varietas unggul baru padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Sasmita, P., Satoto, Rahmini, N. Agustiani, D. D.
Handoko, Suprihanto, A. Guswara dan Suharna. 2019. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta,
Sugiarta, P., K.K. Sukraeni, M. Budiartana, dan M. Sukarja. 2019. Laporan Akhir Tahun SL Desa Mandiri Benih. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
Sujitno, E., T. Fahmi, dan S. Teddy. 2011. Kajian adaptasi beberapa varietas unggul padi gogo pada lahan kering dataran rendah di
Kabupaten Garut. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 14(1): 6-69.
Suryanugraha, W.A., Supriyanta, Kristamtini. 2017. Keragaan Sepuluh Kultivar Padi Lokal (Oryza sativa L.) Daerah Istimewa Yogyakarta. Vegetalika 6 : 55-70.
Sutaryo, B., T. Sudaryono. 2012. Tanggap sejumlah genotip padi terhadap tiga tingkat kepadatan tanaman. Jurnal Ilmiah Pertanian. 14(1): 45-53
Suwijana, I Made., IB. Aribawa dan SAN. Aryawati. 2013. Display beberapa varietas unggul baru Inpari di Subak Kusamba, Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, Klungkung Bali. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian. Vol. 11 (32) 2013. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Hlm : 6-11.
Wardana, P., E. Y. Purwani, Suhartini, A. T. Rakhmi, Z. Mardiah, S.D. Ardiyanti, Jumali, dan Lasmini . 2012. Almanak Padi Indone-sia. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Badan Penelitian dan Pengembangan Per-tanian, Kementerian Pertania. Hlm : 1-80.
Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru (VUB) Inpari di Lokasi Pengembangan Kawasan Padi di Bali | Sagung Ayu Nyoman Aryawati, dkk.
DAYA DUKUNG HIJAUAN PAKAN UNTUK TERNAK KAMBING DI LOKASI TTP DESA SANDA, KECAMATAN PUPUAN, KABUPATEN TABANAN
Ni Luh Gede Budiari1 dan I Putu Agus Kertawirawan2 1,2)Balai PengkajianTeknologi Pertanian Bali
Jl. By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar Selatan, Bali, 80222 E-mail :[email protected]
Submitted date : 9 Juni 2020 Approved date : 29 Juni 2020
ABSTRACT
The Carrying Capacity of Forage Feed for Goat Livestock at Agricultural Technology Park in Sanda Village, Pupuan District, Tabanan Regency
The purpose of this study was to study the carrying capacity of land for the provision of animal feed (HPT) and the carrying capacity of livestock in the location of agricultural technology parks (TTP).The study was conducted at the TTP location in Sanda Village, Pupuan District, Tabanan Regency from February to October 2018. The calculation of the carrying capacity of HPT can be done by calculating the production of odot grass, cetaria and indigofera at 8 months.Observations were made on the number of clumps, total number of clumps, average weight / clumps, wet production, total production / year and cattle capacity. Calculations using the formula: Land carrying capacity = Land area / plant population X crop production. Livestock Capacity = number of production / year: consumption / cycle. The data collected was analyzed descriptively to determine the production of the observed variables and the capacity of livestock. The results showed that the production of odot, setaria and indigofera grass at the age of 8 months of cutting was 13,546 kg / year, 5,911 kg / year and 4,243 kg / year, could accommodate 25.08 goats.
Keywords: Carrying capacity, forage, goat livestock
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui daya dukung lahan untuk penyediaan hpt dan daya dampung ternak kambing yang ada di lokasi TTP. Penelitian dilaksanakan di Lokasi TTP Desa Sanda, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan dari bulan Pebruari sampai Oktober 2018. Penghitungan daya dukung HPT dapat dilakukan dengan menghitung produksi rumput odot, rumput setaria dan indigofera dilakukan pada umur tanaman 8 bulan. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah rumpun, total jumlah rumpun, rata-rata berat/rumpun, produksibasah, Total produksi/tahun dan dayatampungternak. Perhitungan dengan menggunakan rumus: Daya dukung lahan = Luas lahan/ populasi tanaman X produksi tanaman. DayaTampungTernak = jumlah produksi/ tahun :konsumsi/siklus. Data yang dikumpulkan dianalisis deskriptif untuk mengetahui produksi dari variabel yang diamati dan daya tampung ternak. Hasil penelitian menunjukan produksi rumput odot, setaria dan indigofera pada umur pemotongan 8 bulan masing-masing sebanyak 13.546 kg/tahun, 5.911 kg/tahun dan 4.243 kg/ tahun, dapat menampung ternak kambing sebanyak 25,08 ekor.
Kata kunci :Daya dukung, hijauan, ternak kambing
PENDAHULUAN
Produktivitas ternak kambing sangat tergantung dari kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan. Semakin baik kualitas pakan yang diberikan maka pertumbuhannya semakin
bagus. Tanaman pakan merupakan salah satu pendukung peningkatan produktivitas ternak, oleh karena itu ketersediaan dan kualitasnya harus tetap terjaga agar dapat memenuhi kebutuhan ternak.Namun kenyataan dilapangan peternak jarang yang memperhatikan kualitas
85 dan kuantitas pakan yang diberikan keternaknya.
Hal ini disebabkan karena selama ini budidaya ternak kambing yang dilakukan oleh peternak hanya sebagai sambilan saja. Sebagian besar ternak kambing dipelihara secara tradisional dengan pakan seadanya sehingga tidak mampu memberikan pertumbuhan yang maksimal. Rumput yang diberikan selama ini mempunyai kualitas yang jelek dengan palatabilitas yang rendah. Usaha untuk menanam dan membu-didayakan hijauan pakan ternak jarang dilakukan oleh peternak. As -Syakure t al . (2011) melaporkan produktivitas ternak akan terjaga apabila pakan yang diberikan kualitas dan kuantitasnya stabil. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tanaman pakan merupakan salah satu pendukung peningkatan produktivitas ternak, oleh karena itu ketersediaan dan kualitasnya harus tetap terjaga agar dapat memenuhi kebutuhan ternak.
Kondisi ini tidak sesuai dengan kondisi dilapangan dimana ketersediaan pakan terhalang dengan keterbatasan lahan untuk pengembangannya. Lahan, tanaman dan ternak kambing merupakan satu kesatuan organis yang erat hubungannya serta memiliki ketergantungan yang tinggi satu dengan lainnya. Ketiga komponen tersebut merupakan sistem segitiga yang harus berfungsi secara sinergis untuk berproduksi secara optimal. Terlebih jika produktivitas diharapkan berjalan secara lestari dan berkelanjutan (Soedjana, 2007).Yusdja dan Ilham, (2006) menyatakan penurunan produksi pakan akan mempengaruhi daya dukung ternak untuk menyediakan pakan, bahkan menye-babkan penurunan populasi karena petani merasakan kesulitan untuk mengembangkan ternak, padahal keberlanjutan pogram pengembangan ternak pada suatu wilayah, ditentukan oleh ketersediaan pakan. Oleh karena upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas ternak kambing dengan system integrasi antara ternak kambing dengan tanaman pertanian ataupun perkebunan.
Taman Teknologi Pertanian (TTP) meru-pakan lokasi percontohan teknologi pertanian yang salah satunya adalah percontohan budidaya ternak kambing yang terintegrasi dengan tanaman kopi. Sistem integrasi tanaman ternak dalam usaha pengembangan ternak kambing saling keterpaduan dengan tanaman, dalam konsep tersebut sudah mengedepankan
keseimbangan pemanfaatan limbah dari masing-masing komoditi untuk dimanfaatkan secara optimal. Konsep ini dapat dilakukan dengan pemanfaatan lahan seoptimal mungkin untuk tanaman pakan, pemanfaatan limbah pertanian atau perkebunan sebagai pakan dan memanfaatan teknologi pengolahan pakan. Pakan asal limbah memiliki kandungan serat kasar yang tinggi dengan nilai nutrisi yang rendah oleh karena itu perlu inovasi yang dapat mengolah bahan pakan lokal yang ketersediaannya banyak, kandungan gizinya cukup tinggi dan belum dimanfaatkan secara optimal.
Proses awal dalam usaha untuk memba-ngun pertanian terintegrasi di lokasi ini dibu-tuhkan perencanaan yang matang untuk menghitung ketersediaan lahan untuk pengem-bangan HPT, budidaya kopi dan areal kandang ternak kambing. Kegagalan pengembangan populasi ternak pada suatu wilayah biasanya akibat dari kurang memperhitungkan daya dukung pakan yang tersedia. Padahal pakan merupakan input terbesar pada sistem peternakan (Hidayatet al., 2006)
Oleh karena itu untuk pengembangan ternak kambing di lokasi TTP dibutuhkan perhitungan penyediaan pakan secara berkelanjutan dengan cara menghitung potensi penyediaan hijauan pakan untuk ternak kambing, agar diketahui berapa ekor idealnya ternak kambing bisa dikembangkan.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui daya dukung lahan untuk penyediaan hpt dan daya tampung ternak kambing yang ada di lokasi TTP.
METODOLOGI
Lokasi dan waktu
Kajian dilaksanakan di Lokasi TTP Desa Sanda, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan dari bulan Pebruari sampai Oktober 2018.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam kajian ini bibit rumput odot, rumput setaria, Indigofera, pupuk organik dan NPK. Alat-alat yang dipergunakan timbangan digital, meteran, tali dan sabit.
Daya Dukung Hijauan Pakan Untuk Ternak Kambing di Lokasi TTP Desa Sanda, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan | Ni Luh Gede Budiari, dkk.
Pengumpulan Variabel
Penghitungan daya dukung HPT dapat dilakukan dengan menghitung produksi rumput odot, rumput setaria dan indigofera dilakukan pada umur tanaman 8 bulan. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah rumpun, total jumlah rumpun, rata-rata berat/rumpun, produksi basah, Total produksi/tahun dan daya tampung ternak. Daya dukung lahan = Luas lahan/ populasi tanamanX produksi tanaman
DayaTampungTernak = jumlah produksi/ tahun :konsumsi/siklus
Analisis data
Data yang dikumpulkan dianalisis deskriptif untuk mengetahui produksi dari variabel yang diamati dan daya tampung ternak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Ketersediaan Pakan
Ketersediaan hijauan makanan ternak sangat tergantung pada ketersediaan lahan. Daerah Sanda, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan lokasi TTP memiliki lahan dengan luas (6 Ha) dapat mendukung ketersediaan hijauan pakan. Ketersediaan pakan ini berasal dari Jenis rumput lapang, gulma dibawah tanaman kopi, dapdap, gamal dan limbah kulit kopi. Penyediaan pakan baik dari segi kualitas, kuantitas maupun kesinambungan ketersediaannya merupakan faktor utama dalam upaya peningkatan produktifitas ternak. Ketersediaan hijauan pakan ternak berfluktuatif sepanjang tahun. Pada musim hujan produksi hijauan akan banyak bahkan sampai kelebihan sedangkan pada musim kemarau ketersediaan dan kualitas nutrisi rumput alam juga akan makin menurun, hal ini akan berpengaruh langsung terhadap produktivitas ternak yang kekurangan pakan.
Damryet al. (2008) menyatakan bahwa rumput alam tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrien ternak, dan ternak yang sedang dalam periode pertumbuhan akan memperlihatkan tingkat pertambahan bobot badan yang rendah. Karakteristik yang dimiliki rumput alam diantaranya tumbuh dengan sendirinya, serta rendah produksinya. Pada musim kemarau, nilai
nutrisi rumput alam mengalami penurunan. Kandungan nutrisi dalam rumput alam yaitu 21,60% bahan kering, 10,20% protein, 52% energi, kalsium 0,37%, fosfor 0,23%, dan 76% air (Rukmana, 2005).Hal ini merupakan kendala pada peningkatan produktifitas ternak. Disamping itu adanya persaingan dalam penyediaan pakan dengan kebutuhan penyediaan pangan seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan ruang, menyebabkan semakin berkurangnya ketersediaan lahan pertanian karena dikonversi menjadi ruang untuk pengembangan pemukiman dan berbagai kebutuhan hidup manusia lainnya (Umela dan Nurfitriyanti, 2016).
Suarna et al (2015 ) menyatakan upaya yang diperlukan untuk meningkatkan daya dukung hijauan pakan untuk pengembangan ternak adalah melalui pengadaan dan perbaikan vegetasi hutan dan pemanfaatan lahan perkebunan yang ditumpangsarikan dengan tanaman pakan. Tanaman yang tumbuh sebagian besar di bawah lahan perkebunan dapat dimanfaatkan sebagai sumber hijauan pakan tetapi produktivitasnya masih rendah. Rumput yang tumbuh dan diberikan keternak dapat sebagai rumput potong ataupun gembala. Rumput gembala sebaiknya tumbuh rendah, vertikal atau merambat, tahan injakan, dan tumbuh cepat (Purbajanti, 2012). Strategi penyediaan hijauan pakan memerlukan pendekatan/dukungan seperti berikut: 1. Meningkatkan jumlah, jenis, dan efektivitas, berbagai kebun bibit; 2. Melibatkan berbagai pemangku kepentingan; 3. Meningkatkan efektivitas pemanfaatan sumberdaya untuk pengembahan tumbuhan pakan; 4. Menerapkan prinsip-prinsip bioteknologi lingkungan dalam, dan pembudidayaan dan pengolahan HMT. Berdasarkan sumber pengadaannya pakan ternak dapat berasal dari: budidaya tanaman hijauan pakan ternak, padang penggembalaan umum (native pasture), lahan tanaman perkebunan, limbah pertanian dan limbah agroindustri.
Upaya untuk meningkatkan ketersediaan pakan di lokasi TTP dilakukan dengan membudidayakan hijauan pakan unggul seperti rumput odot, rumput setia, indigofera, turi dan gamal. Disamping itu pemanfaatan potensi biomasa pakan alternatif yang bersumber dari tanaman pangan sangat besar baik dalam jumlah maupun keragaman jenisnya. Potensi lain
87 berasal dari sektor tanaman perkebunan,
terutama kopi dan kakao. Sebagian besar bahan pakan tersebut termasuk kelompok pakan berserat tinggi (roughage) dan memiliki keterbatasan fisik maupun kimiawi, apabila dijadikan pakan konsentrat. Ginting (2009) menyatakan bahan pakan asal limbah memiliki kehambaan yang tinggi, defisiensi serta ketidak seimbangan kandungan nutrien esensial sering menyebabkan bahan-bahan tersebut kurang disukai ternak ataupun sulit dicerna yang mengakibatkan rendahnya konsumsi pakan dan asupan nutrisi.Oleh karena itu dibutuhkan teknologi pengolahan pakan untuk meningkatkan gizi biomasa tersebut. Salah satu teknologi yang dapat digunakan adalah fermentasi pakan.
Limbah kulit kopi selama belum dimanfaatkan secara optimal. Kulit kopi hanya dibiarkan begitu saja sebagai sampah dan sebagian kecil dipergunakan sebagai pupuk tanaman. Secara fisik, potensi kulit kopi cukup besar yaitu kulit biji kopi sebanyak 6% dan daging buah kopi 42% dari berat glondongan kering (Zaenuddin et al., 1995). Dalam proses pengolahan kopi basah akan menghasilkan 65% biji kopi dan 35% kulit kopi. Dari angka tersebut di Bali diprediksi akan tersedia 2.959 ton kulit kopi segar. Untuk meningkatkan nilai gizi kulit kopi dilakukan dengan fermentasi menggunakan fermentor aspergillus niger. Bidura (2008) menyatakan bahwa limbah yang difermentasi kandungan protein dan energinya meningkat sedangkan kandungan serat kasarnya menurun. Lebih lanjut Budiari (2009) menyatakan bahwa kulit kopi yang difermentasi dengan Aspergillus
niger meningkatkan kandungan proteinnya dari
9,94 % menjadi 17,81%, dan kandungan serat kasar menurun dari 18,74% menjadi 13,05%.
Penggunaan kulit kopi sebagai pakan ternak kambing telah dilakukan oleh Guntoro et al. (2003) melaporkan bahwa pemberian kulit kopi
sebanyak 100 – 200 g/ekor/hari dibandingkan pemanfaatan pakan tradisional pada kambing peranakan etawa rata-rata meningkatkan pertumbuhan dari 68,15 g/ekor/hari menjadi 99,25 – 100,10 g/ekor/hari. Guntoro (2008) juga melaporkan pemberian dedak kulit kopi terfermentasi sebanyak 11% dari total ransum pada ayam buras Bali produksi telurnya rata-rata 35 – 40 %, sedangkan ayam buras Bali dengan pakan konvensional produksi telurnya rata-rata 25%.
Disamping itu, untuk antisipasi kekurangan pakan di musim kemarau, telah dilakukan pengolahan pakan dengan membuat silase dari rumput dan gulma yang produksinya berlebih pada saat musim hujan. Silase yang dibuat dapat dijadikan stok pakan pada saat musim kemarau. Disamping itu pembuatan silase sangat bermanfaat untuk mempertahankan gizi dari tanaman, dimana kelebihan hijauan dapat dipanen dan dijadikan silase. Hasil analisis proksimat yang dilakukan diperoleh silase dari rumpu todot, rumput setia, rumput lapang dan gulma memiliki kandungan protein yang cukup tinggi dan dapat dijadikan pakan ternak kambing (Tabel 1).
Daya Dukung Lahan Terhadap Penyediaan Pakan
Daya dukung wilayah dapat didefinisikan sebagai kemampuan wilayah berdasarkan sumberdaya yang tersedia untuk memungkinkan sejumlah makhluk dapat hidup secara wajar dan terpenuhi segala kebutuhan pokok hidupnya (Umela dan Nurfitriyanti, 2016). Lebih lanjut dijelaskan daya dukung wilayah dapat diartikan sebagai kemampuan suatu wilayah untuk dapat menampung dan menahan tekanan/kerusakan akibat aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tetap menjaga
Tabel 1. Kandungan gizi dari silase
Hasil analisis proksimat (%) Jenis Sample
K. Air Bk PK LK SK K. Abu BETN TDN
Odot 13,78 86,22 13,7 4,21 19,33 22,49 40,27 56,05
Setaria 12,99 87,01 14,38 4,23 21,2 13,34 46,85 61,41
R. Lapang 9,12 90,88 9,88 2,76 30,43 13,13 43,81 51,14
Gulma 7,01 92,99 12,59 2,01 24,32 14,53 46,54 55,23
Keterangan : Hasil analisis proksimat dari Laboratorium Nutrisi dan MakananTernak, Loka Sapi Potong, Grati
Daya Dukung Hijauan Pakan Untuk Ternak Kambing di Lokasi TTP Desa Sanda, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan | Ni Luh Gede Budiari, dkk.
keseimbangan ekosistemnya. Direktorat Jenderal Peternakan, (1985) menyatakan daya dukung suatu wilayah yang diperuntukkan bagi pengembangan ternak adalah kemampuan wilayah untuk menampung sejumlah populasi ternak secara optimal. Pemanfaatan lahan didasarkan pada : (1) lahan sebagai sumber pakan ternak, (2) semua jenis lahan cocok sebagai sumber pakan, (3) pemanfaatan lahan untuk peternakan diartikan sebagai usaha penyerasian antara peruntukkan lahan dengan sistem pertanian, dan (4) hubungan antara lahan dan ternak bersifat dinamis.
Daya dukung “Stocking rate” juga dapat didefinisikan :kemampuan lahan untuk menyediakan hijauan untuk pakan ternak selama satu musim (Musim hujan atau musim kering).Ketersediaan lahan sangat mempengaruhi komposisi dan kualitas pakan yang diberikan kepada ternak. Pengembangan ternak kambing yang berbasis lahan (land base) penggunaan pakan hijauan dapat mencapai 100 persen. Sebaliknya yang tidak berbasis lahan
(non land base) penggunaan pakan konsentrat
cenderung meningkat. Bahkan pemberian pakan (ransum) yang padat gizi, volume pemberian pakan dapat dikurangi hingga 40 persen dan konsumsi normalnya tanpa mengurangi kebutuhan normal (Sutardi, 2003).
Ketersediaan lahan yang luas di lokasi TTP sangat mendukung penyediaan pakan ternak kambing, baik yang dilakukan dengan membudidayakan ataupun ketersediaan rumput lapang dan limbah perkebunan. Seekor ternak membutuhkan makanan sesuai dengan berat badannya. Secara umum seekor kambing membutuhkan makanan dalam bentuk bahan kering sebanyak 3% dari berat badannya dan 15% dalam bentuk segar atau basah. Jumlah makanan yang akan diberikan harus bersisa 10 – 15%, jumlah ini menunjukan pemberian makanan sudah berlebihan (ad libitum).Ternak kambing yang berat badannya 35 kg membutuhkan pakan hijauan segar/ekor/hari adalah 15% dari berat badannya yaitu 5,25 kg. Kebutuhan pakan hijauan setiap bulan untuk satu ekor kambing penggemukan adalah 5,25kg x 30 hari = 157,5 kg/bulan atau 945 kg/ 6 bulan hijauan.
Produksi rumput odot, rumput setaria, dan indigofera dalam setahun masing-masing sebanyak13.546 kg/tahun, 5.911 kg/tahun dan 4.243 kg/tahun (tabel 2). Apabila ransum yang diberikan pada ternak kambing terdiri dari 30%
rumput odot + 30% rumput setaria + 40% indigofera, maka kebutuhan masing-masing hijauan per 6 bulan untuk ternak kambing sebanyak 283,5 kg (R. Odot), 283,5 kg (R. Setaria) dan 378 kg (Indigofera).Kebutuhan pakan per tahun sebanyak 1.890 kg.Santosa (2017) menyatakan jumlah daya dukung pakan ber-gantung terhadap jumlah hasil produksi pertanian tanaman pangan dan luas areal perkebunan. Semakin tinggi jumlah hasil produksi dan luas areal pertanian, semakin tinggi pula daya dukung pakan mendukung populasi ternak kambing.
Daya Tampung Ternak
Daya Tampung “Carryng capacity” adalah kemampuan menampung ternak dalam satu tahun yang mencakup musim hujan dan kering. Perhitungan tentang kapasitas tampung suatu lahan terhadap jumlah ternak yang dapat dipelihara adalah berdasarkan pada produksi hijauan pakan yang tersedia. Dalam perhitungan ini digunakan norma SatuanTernak (ST) yaitu ukuran yang digunakan untuk menghubungkan bobot badan ternak dengan jumlah pakan yang dikonsumsi (Delima et al. 2015). Hardjosubroto dan Astuti, (1993) menyatakan bahwa di Indonesia, satu ST setara dengan seekor sapi dewasa dengan bobot badan 300 kg yang berumur 2,5 tahun. Lebih lanjut Subdit Pakan Hijauan (2013) menyatakan standar kebutuhan hijauan pakan berdasarkan Satuan Ternak adalah : Ternak dewasa (1 ST) memerlukan hijauan pakan sebanyak 30 kg/ekor/hari , Ternak muda (0,50 ST) memerlukan hijauan pakan sebanyak 15 –17,5 kg/ekor/hari, dan Anak ternak (0,25 ST) memerlukan hijauan pakan sebanyak 7,5-9 kg/ekor/hari. Standar kebutuhan tersebut digunakan untuk memprediksi kebutuhan luas lahan dalam upaya mencukupi kebutuhan hijauan pakan. Sedangkan untuk mengukur kebutuhan hijauan pakan didasarkan pada kemampuan ternak mengkonsumsi hijauan.
Hasil kajian memperoleh produksi rumput odot, setaria dan indigofera pada umur 8 bulan masing-masing sebanyak 13.546 kg, 5.911 kg dan 4.243 kg (Tabel 2). Produksi ini akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya umur tanaman. Berdasarkan ketersediaan pakan dari tiga jenis rumput yang dibudidayakan di lokasi TTP, maka jumlah ternak kambing yang dapat dipelihara dapat dihitung berdasarkan produksi
89 rumput dan jumlah pakan yang dibutuhkan
selama satu siklus pemeliharaan. Dari hasil perhitungan : Total produksi pakan/tahun : (bagi) jumlah pakan per siklus = (23.700 kg : 945 kg =25,08 ekor). Ini berarti untuk lokasi TTP Desa Sanda dalam setahun dapat menanpung ternak kambing sebanyak 25 ekor, setara dengan 3,5 ekor ternak sapi (1 ST ternak sapi = 7 ekor ternak kambing). Penambahan populasi ternak kambing masih mungkin dilakukan di lokasi TTP dengan mengoptimalkan pemanfaatan limbah perkebunan dan pembuatan pakan awetan silase dari gulma yang tumbuh dibawah pohon kopi.
KESIMPULAN
Produksi rumput odot, setaria dan indigofera pada umur pemotongan 8 bulan masing – masing sebanyak 13.546 kg/tahun, 5.911 kg/tahun dan 4.243 kg/tahun,dapat menampung ternak kambing sebanyak 25,08 ekor. Produksi ini akan meningkat seiring meningkatnya umur tanaman sehingga jumlah ternak yang bisa ditampung juga semakin banyak.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Kepala Balai BPTP Bali atas dana yang telah diberikan untuk pelaksanaan penelitian ini, dan seluruh tim ternak TTP Bali, yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
As- Syakur. A.R., I.W.Suarna, I.W.Rusna, dan I.N.Dibia. (2011). Pemetaan Kesesuaian Iklim Tanaman Pakan Serta Kerentanannya Terhadap Perubahan Iklim Dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) di Propinsi Bali. Pastura. Journal Of Tropical Forage Science. Jurnal Ilmu Tumbuhan Pakan Tropik. Himpunan Ilmuwan Tumbuhan Pakan Indonesia (HITPI). Vol 1 Agustus 2011. Hal 9-13.
Bidura, I.G.N.G., T. G. O. Susila, dan I. B. G. Partama. 2008. Limbah, Pakan Ternak Alternatif dan Aplikasi Teknologi. Udayana University Press, Unud., Denpasar
Budiari, N.L.G. 2009. Potensi dan Pemanfaatan Pohon Dadem sebagai Pakan Ternak Sapi pada Musim Kemarau. Bulletin Teknologi dan Informasi Pertanian. Edisi 22, Desember,2009. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali : 10-12.
Damry., Marsetyo., S. P. Quigley., dan D. P. Poppi. 2008. Strategi untuk Meningkatkan Pertumbuhan Sapi Bali (Bos sondaicus) Muda yang Disapih pada Peternak Kecil di kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi tengah. Animal Production Vol. 10 No. 3 : 135- 139
Delima, M., Karim, A., &Yunus, M. (2015). Kajian potensi produksi hijauan pakan pada lahan eksisting dan potensial untuk meningkatkan populasi ternak ruminansia di kabupaten Aceh Besar. Jurnal Agripet, 15(1), 33-40. Tabel 2. Potensi penyediaan hijauan pakan ternak kambing di lokasi TTP Desa Sanda, Kec. Pupuan, Kab.
Tabanan tahun 2018
Jenis Hijauan Luas Luas Jlh Total Rata- Jlh Produksi Produksi/ Jlh lahan ubinan rumpun berat rata rumpun (basah) tahun Kambing
(m2) basah berat/r (kg) dipelihara
(kg) umpun (ekor)
Rumput Odot 200 6,25 25 70,55 2,82 800 2.258 13.546
Rumput Setaria 100 6,25 49 61,57 1,26 784 985 5.911
Indigofera 200 6,25 25 22,1 0,88 800 707 4.243
Total 3.950 23.700 25
Sumber : Data primer
Daya Dukung Hijauan Pakan Untuk Ternak Kambing di Lokasi TTP Desa Sanda, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan | Ni Luh Gede Budiari, dkk.
Direktorat Jenderal Peternakan dengan PUSDI PSL, IPB. 1985. Pedoman dan Pemanfaatan
Lahan untuk Peternakan. Kerjasama antara
Direktorat Penyebaran dan Pengembangan Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan dengan PUSDI PSL, IPB. Bogor.
Guntoro, S. 2008. Membuat Pakan Ternak dari Limbah Perkebunan. PT. Agromedia Pustaka, Jakarta. 76p.
Guntoro, S., dan I.M.R. Yasa. 2003. Pemanfaatan Kopi Terfermentasi Untuk Penggemukan Peranakan Ettawah (PE) Muda. Prosiding. Seminar Nasional Revitalisasi Teknologi Kreatif Dalam mendukung Agribisnis dan Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hal.379-382
Ginting, S.P. 2009. Prospek Penggunaan Pakan Komplit Pada Kambing: Tinjauan Manfaat dan Aspek Bentuk Fisik Pakan Serta Respon Ternak. Wartazoa Vol 19. No 2 : 64 -75 Hardjosubroto, W. dan J. M. Astuti. 1993. Bake
Pintar Peternakan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Hidayat, H. 2015. Pengelolaan Hutan Lestari : Partisipasi, Kolaborasi, dan Konflik. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.
Purbajanti, E. D. 2012. Rumput dan Legum. Graha Ilmu. Yogyakarta
Rukmana, R. 2005. Budi Daya Rumput Unggul. Kanisius. Yogyakarta
Santoso, A. B., & Nurfaizin, N. (2017). Proyeksi Daya Dukung Pakan dan Populasi Sapi di Provinsi Maluku. Agriekonomika, 6(1), 1-11. Soedjana, Tj. D. 2007. Sistem usahatani terintegrasi tanaman-ternak sebagai respons petani terhadap faktor risiko. Jurnal Litbang Pertanian, 26(2): 82-87.
Suarna, I. W., Duarsa, M. A. P., Mariani, N. P., Sumardani, L. G., & Lindawati, S. A. (2015). Daya Dukung Hijauan Pakan Dalam Konservasi Sapi Putih Taro. Bumi Lestari
Journal of Environment, 16(1).
Sutardi, T. 2003. Penggunaan Limbah Perkebunan Sebagai Pakan Ruminansia. Makalah disampaikan pada kunjungan ke PTPN VII Bandar Lampung.
Subdit PH (Pakan Hijauan). 2013. Pedoman pelaksanaan optimalisasi sumber bibit/benih HPT di kelompok tahun 2014. Direktorat Jenderal Peternakan Dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.
Umela, S., & Bulontio, N. (2016). Daya dukung jerami jagung sebagai pakan ternak sapi potong. Jurnal Technopreneur (JTech), 4(1), 64-72.
Yusdja Y dan N. Ilham. 2006. Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan Rakyat. Analisis Kebijakan Pertanian 2 (2) : 183 – 203. Zainuddin, D., I.P. Kompiang dan H. Hamid. 1995.
Pemanfaatan Kopi dalam Ransum Ayam. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian APBN T.A. 94/95. Balai Penelitian Ternak Ciawi – Bogor.
91 INOVASI PEMANFAATAN LAHAN KERING MASAM BERBASIS SISTEM USAHA
PERTANIAN INOVATIF UNTUK MENDUKUNG KETERSEDIAAN PANGAN Yennita Sihombing
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 10, Bogor, 16114
E-mail: [email protected]
Submitted date : 5 Mei 2020 Approved date : 30 Juni 2020
ABSTRACT
Innovation of Acid Dried Land Utilization Based on Inovative Farming System to Support Food Availability
There is still wide chance to fullfill sustainable national food requirement (security and soverignty) derived from annual crops, estate plantation, and husbandry though it faces potency of sub-optimal land of dry acid and dry climate that has lower fertility than optimal land. Acid dry land is basicallybecome alternatives of our efforts to increase food commodity productions and has several constraints so that it requires extra effort to be converted into productive cultivation land for crops and livestocks. The purpose of this paper was to identify types of dry land agricultural technology innovations based on innovative agricultural business systems in support of food availability. The assessment was conducted using secondary data analyzed qualitatively by using the Research Desk Method.The effective and local spesific technologies include mapping of land capability and suitability, comodity zonation, analysis of farm bussines, optimalization of land utilization, agrotechnology apllication, integrated farming sytem, providing of farm production input, improvement of infrastructure, training assistance empowerment, development of technology, control of agricultural land conversion, and institution arrangement.
Keywords: Acid dry land,innovative agricultural business system, technology innovation
ABSTRAK
Upaya berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan pangan nasional (ketahanan dan kedaulatan pangan) yang bersumber dari tanaman setahun, perkebunan, dan peternakan masih terbuka luas, walaupun dihadapkan pada potensi lahan yang sub-optimal kering masam dan iklim kering bukan lahan optimal.Lahan kering masam pada dasarnya merupakan alternatif upaya meningkatkan produksi komoditi pangandimana lahan-lahan yang secara alami mempunyai satu atau lebih kendala sehingga butuh upaya ekstra agar dapat dijadikan lahan budidaya yang produktif untuk tanaman dan ternak.Tujuan penulisan ini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis inovasi teknologi pertanian lahan kering berbasis sistem usaha pertanian inovatif dalam mendukung ketersediaan pangan. Pengkajian dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan Metoda Desk Research.Teknologi tepat guna dan spesifik lokasi meliputi pemetaan kemampuan dan kesesuaian lahan, pewilayahan komoditas, analisis usahatani, optimalisasi pemanfaatan lahan, aplikasi agroteknologi, pertanian terpadu, penyediaan input produksi pertanian, perbaikan infrastruktur, pelatihan pendampingan pemberdayaan, pengembangan teknologi, pengendalian konversi lahan pertanian, dan penataan kelembagaan
Kata kunci: Lahan kering masam, sistem usaha pertanian inovatif, inovasi teknologi
PENDAHULUAN
Lahan sawah irigasi subur yang beralih fungsi untuk kepentingan non pertanian sangat meningkat jumlahnya pada saat ini, yang
disebabkan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus bertambah. Hal ini memberikan dampak pengembangan potensi lahan kering yang harus secepatnya dilakukan untuk budidaya tanaman pangan (padi, jagung, dan kedelai), untuk
Inovasi Pemanfaatan Lahan Kering Masam Berbasis Sistem Usaha Pertanian Inovatif Untuk Mendukung Ketersediaan Pangan | Yennita Sihombing
mendorong pencapaian program upaya khusus dalam memenuhi kebutuhan pangan di masa depan. Lahan pertanian subur sudah sangat terbatas dan lahan yang tersisa sebagai cadangan masa depan sebagian besar adalah lahan suboptimal dengan segala keterbatasannya.Lahan suboptimal yang paling luas ialah lahankering yaitu 122,1 juta ha yang terdiri atas lahan kering masam 108,8 juta ha dan lahan kering iklim kering 13,3 jutaha (Mulyani dan Sarwani 2013).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa inovasi teknologi yang telah diintroduksikan kepada masyarakat petani, beberapa diantaranya tidak diadopsi lebih lanjut oleh petani, misalnya pada pengendalian hama terpadu (Nilasari et al. 2016) disebabkan oleh tingkat kerumitan dan kurang menguntungkan hasil dari inovasi teknologi tersebut.Untuk membangun dan mengembangkan usaha pertanian berkelanjutan berbasis inovasi dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, perlu menggunakan pendekatan baru yang mengakomodasikan keberhasilan implementasi model terdahulu dan memperbaiki kelemahan-kelemahannya. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis inovasi teknologi pertanian lahan kering berbasis sistem usaha pertanian inovatif dalam mendukung ketersediaan pangan.
METODOLOGI
Bahan literatur yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah beberapa referensi yang berasal dari hasil penelitian, kajian, dan ulasan dari beberapa tulisan yang kemudian dirangkum menjadi suatu karya tulisan ilmiah. Pengkajian dilakukan dengan menggunakan Metoda Desk Research, data yang digunakan adalah data sekunder yang berasal dari berbagai
sumber yaitu; Badan Penelitian dan Pengem-bangan Kementerian Pertanian dan berbagai literatur yang mendukung.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi dan Permasalahan Lahan Kering Masam
Potensi lahan kering untuk pengembangan pertanian di Indonesia sangat besar. Data Badan Litbang Pertanian diperkirakan mencapai 76 juta hektar (ha). Luasan tersebut berada di dataran rendah-tinggi dengan iklim basah dan kering. Wilayah yang cukup luas potensi lahan kering berada di NTT dan NTB.Sekitar 70,41 juta hektar (58%) dari 122,05 juta hektar lahan sub-optimal sesuai untuk pengembangan pertanian (Tabel 1). Hal ini senada dengan Hasbi (2014) yang menyebutkan bahwa secara keseluruhan potensi luas lahan sub optimal sebesar 156,5 juta ha, yang terdiri atas 123,1 juta ha berupa lahan kering dan 33,4 juta ha berupa lahan basar (rawa).
Lahan kering masam berpotensi sangat besar mendukung pembangunan pertanian di Indonesia khususnya dalam upaya mencapai kemandirian pangan. Lahan kering masam di Indonesia seluas 107,4 juta ha (Balitbangtan 2014) dan 48% dari total luas lahan kering masam terletak pada kemiringan lahan <15% sehingga relatif sesuai untuk pertanian tanaman pangan. Dalam mengoptimalisasi pemanfaatan lahan kering masam untuk kegiatan usahatani, khususnya tanaman pangan diperlukan pemahaman mengenai karakter tanah-tanah masam sehingga teknologi yang direkomen-dasikan sesuai dan dapat meningkatkan produktivitas lahan (Irawan, et al. 2015).
Tabel 1. Luas lahan kering sub optimal yang potensial untuk pengembangan pertanian (hektar)
Lahan suboptimal Luas lahan suboptimal Potensi untuk pertanian
Lahan kering masam 108.775.830 62.647.199
Lahan kering iklim kering 13.272.094 7.762.543
Total 122.047.924 70.409.742
93
Potensi Lahan Kering Masam
Tanaman pangan lahan kering diarahkan pada lahan dengan bentuk wilayah datar bergelombang (lereng < 15) dan mempunyai drainase baik. Namun pada kenyataannya, banyak lahan datar bergelombang digunakan untuk tanaman tahunan/perkebunan, dan sehingga tanaman pangan (tegalan) tersisihkan danbanyak diusahakan di lahan berbukit hingga bergunung (Sukarman et al. 2012).
Dari total luas 148 juta ha, lahan kering yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%), sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 jutaha atau 93%) dan sisanya di dataran tinggi.Di wilayah dataran rendah, lahan datar bergelombang (lereng <
15%) yang sesuaiuntuk pertanian tanaman pangan mencakup23,26 juta ha. Lahan dengan lereng15"30% lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman panganhanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha (Abdurachman et al. 2008).
Luas lahan kering masam di Indonesia sekitar 108,8 juta hektar atau sekitar 69,4% dari total lahan kering di Indonesia. Lahan kering masam dengan jenis tanah ultisols dan oxisols merupakan areal terluas di Indonesia, yang tingkat kesuburannya rendah sehingga dibutuhkan inovasi teknologi untuk dapat meningkatkan produktivitasnya (BBSDLP, 2012). Produktivitas tanaman pangan pertanian, perkebunan, dan peternakan di lahan suboptimal
Tabel 2. Luas tanah masam berdasarkan ordo dan kemiringan lahan per pulau
Ordo tanah Kemiringan lahan (%) Pulau
Ultisols Inceptisols Oxisols Entisols Spodosols <15 >15
Kalimantan 20,09 10,97 4,68 1,45 2,06 20,95 18,29 Sumatera 9,39 13,41 5,93 0,59 0,02 16,59 12,76 Sulawesi 4,25 4,41 0,66 0,21 0 0,96 8,57 Jawa 1,17 2,13 0,27 0,24 0 1,6 2,21 Papua 5,75 7,88 2,41 1,22 0 8,44 8,82 Maluku 1,24 2,05 0,19 0,05 0 0,74 2,8 Bali+Nusa Tenggara 0,03 0,04 0 0,04 0 0,04 0, 06 Total 41,92 40,89 14,14 3,8 2,08 49,32 53,51
Sumber: Irawan, et al. 2015
Tabel 3. Lahan potensial untuk pertanian lahan kering iklim basah dan lahan kering iklim kering per Pulau/ Kepulauan di Indonesia.
Luas lahan kering (x1000ha) Pulau/Kepulauan
Iklim basah Iklim kering Jumlah
Sumatera 7.747 - 7.747 Jawa 1.078 886 1.964 Kalimantan 8.953 8.953 8.953 Sulawesi 572 219 791 Bali 108 - 108 Nusa Tenggara - 1.122 1.122 Maluku 218 - 218 Papua 4.185 - 4.185 Jumlah 22.861 2.227 25.088
Sumber: Sukarman dan Suharta (2010)
Inovasi Pemanfaatan Lahan Kering Masam Berbasis Sistem Usaha Pertanian Inovatif Untuk Mendukung Ketersediaan Pangan | Yennita Sihombing
kering masam dan iklim kering dapat ditingkatkan apabila dikelola secara berkelanjutan memanfaatkan teknologi tepat guna hasil-hasil penelitian, melalui rekayasa fisik, kimia, biologi serta pemanenan air sesuai karakteristik tanahnya (Lakitan dan Gofar, 2013).
Permasalahan Lahan Kering Masam
Lahan kering masam dicirikan oleh karakternya yang kurang subur, mengandung Al tinggi sehingga dapat meracuni tanaman dan mengganggu penyerapan hara,miskin hara terutama N, P, K, Ca, dan Mg, miskin bahan organik, dan miskin mikroba tanah (Subandi 2012). Variasi iklim dan curah hujan yang relatif tinggi di sebagian besar wilayah Indonesia mengakibatkan sebagian besar tanah di lahan kering bereaksi masam (pH 4,6-5,5) dan miskin unsur hara, yang umumnya terbentuk dari tanah mineral. Dalam pemanfataan lahan kering masam, masalah yang dihadapi ialah perubahan iklim yang antara lain diindikasikan oleh curah hujan yang semakin tidak menentu, perubahan pola hujan dengan periode hujan lebih singkat tetapi dengan intensitas yang lebih tinggi, sebaliknya curah hujan di musim kemarau semakin rendah dengan durasi yang lebih panjang (Kartiwa et al.2010).
Pada saat musim hujan air berlebih, namun pada saat musim kemarau sebagian besar lahan kering masam menjadi bera/bero karena ketersediaan air berkurang. Oleh karena itu peningkatan indeks pertanaman pada lahan kering masam harus dilakukan dengan merubah paradigma yang biasanya berlaku pada lahan kering pada umumnya, yaitu hanya menggantungkan kebutuhan air untuk tanaman terhadap curah hujan (Rochayati dan Dariah 2012). Rendahnya produksi juga disebabkan lahan tidak dikelola secara tepat sehingga mudah terdegradasi, sedangkan upaya konservasi membutuhkan biaya tinggi yang sulit dipenuhi
oleh individu maupun masyarakat berkemam-puan terbatas (Suradisastra 2013).
Solusi Lahan Kering Masam
Solusi dukungan irigasi mampu mendis-tribusikan air tersebut secara efisien bagi tanaman budidaya, penanaman komoditas yang sesuai akan sangat membantu. Penanaman sayuran di lahan kering dengan sistem irigasi yang tepat akan menghasilkan produk dengan kualitas yang tinggi (Sobir, 2013).
Dukungan untuk membantu terlaksananya solusi tersebut yaitu: ketersediaan infrastruktur yang baik dan kelembagaan yang kuat. Faktor infrastruktur terkait dengan produksi langsung seperti pengelolaan tata air, irigasi, maupun penanganan pasca panen,sarana pendukung seperti jalan akses utama dan jalan usaha tani, serta sarana produksi.Pengembangan kelembagaan tani yang kuat sangat membantu petani dalam akses pemasaran produk dan akses ke permodalan (Muazam et al., 2017)
Inovasi Teknologi Lahan Kering Masam Berbasis SUP Inovatif
Pemanfaatan lahan kering masam perlu didukung dengan teknologi pengelolaan sumber daya lahan seperti benih unggul toleran lahan masam, pemupukan berimbang,serta konservasi tanah dan air untuk lahan berlereng (Hafif et al. 2014). Penyusunan rancang bangun SUP Inovatif dilakukan dengan pendekatan : (1) berbasis pengembangan kawasan (terintegrasi, holistik dan spasial) pada agroekosistem lahan kering, (2) mencakup wilayah administratif desa, (3) berorientasi SUP inovatif dengan skala usaha agribisnis, dan (4) pemberdayaan dan partisipasi aktif petani.
Adapun strategi umum dalam merancang bangun SUP Inovatif adalah (1) Menerapkan teknologi inovatif tepat guna secara partisipatif, Tabel 4. Luas lahan kering suboptimal yang potensial untuk pengembangan pertanian (hektar)
Lahan sub optimal Luas lahan sub optimal Potensi untuk pertanian
Lahan kering masam 108.775.830 62.647.199
Lahan kering iklim kering 13.272.094 7.762.543
Total 122.047.924 70.409.742
95 (2) Membangun percontohan pembangunan
pertanian LSO berbasis teknologi inovatif yang mengintegrasikan sistem inovasi dan kelembagaan dengan sistem agribisnis, (3), Mendorong proses difusi dan replikasi model sistem usaha pertanian inovatif melalui ekspose dan demonstrasi lapang, sistem informasi, advokasi dan fasilitasi/pendampingan, dan (4) Mengembangkan agroindustri pedesaan berdasarkan karakteristik wilayah LSO dan kondisi sosial ekonomi setempat. Beberapa inovasi teknologi berbasis SUP inovatif yang telah diterapkan untuk pemanfaatan lahan kering masam diantaranya:
Konservasi Tanah
Teknik konservasi tanah spesifik lahan kering masam merupakan salah satu inovasi teknologi yang terus dikembangkan. P lahan kering pada umumnya, erosi merupakan penyebab utama degradasi pada lahan kering masam (Kurnia et al. 2010). Sinukaban, (2013) menyatakan bahwa sistem pertanian konservasi merupakan sistem terbaik untuk diterapkan sehingga pembangunan lahan kering bisa berkelanjutan. Ciri-ciri dari sistem pertanian konservasi yaitu: (a) produktivitas tanah cukup tinggi, (b) pendapatan petani cukup tinggi, (c) teknologi yang diterapkan sesuai dengan kemampuan dan diterima petani, sehingga teknologi tersebut dapat dikembangkan secara mandiri, (d) komoditas yang diusahakan sesuai dengan kondisi biofisik lahan, selera petani, dan kebutuhan pasar, (e) erosi rendah atau lebih kecil dari pada tolerable soil loss sehingga produktivitas lahan bisa dipertahankan bahkan ditingkatkan, dan (f) penguasaan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang.
Irigasi Mikro
Irigasi mikro adalah salah satu inovasi yang bisa dilakukan. Teknologi ini adalah suatu istilah bagi sistem irigasi yang mengaplikasikan air hanya di sekitar zona penakaran tanaman. Irigasi mikro ini meliputi irigasi tetes (drip irrigation), microspray, dan mini-sprinkler. BBP Mekanisasi Pertanian telah melakukan pengembangan sistem irigasi mikro. Pengembangan sistem irigasi tetes atau drip diterapkan untuk budidaya cabai dan jagung manis. Sistem irigasi sprinkler
diterapkan pada tanaman kacang tanah.Menurut Yanto (2014), debit air rata-rata tetesan yang memanfaatkan tekanan gravitasi sebesar 0,78 L/jam pada setiap titik irigasi. Hasil uji penggunaan irigasi mikro dapat dikatakan dalam katagori baik.
Pengelolaan Bahan Organik
Pengembangan inovasi teknologi pengelo-laan bahan organik pada lahan kering masam sudah banyak dilakukan, akan tetapi tingkat adopsi oleh petani masih belum optimal. Penggunaan pupuk organik selain ditujukan untuk memperbaiki kualitas tanah juga ditujukan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air dan pupuk anorganik (Dariah 2013). Sumber bahan organik masih banyak yang tidak termanfaatkan, sedangkan petani sering merasa kekurangan sumber bahan organik. Oleh karena itu inovasi teknologi pengelolaan lahan yang bersifat nir limbah (zero waste) mulai dikembangkan untuk berbagai bentuk agroekosistem, termasuk pada lahan kering masam (Rochayati dan Dariah 2012).
Ekstensifikasi Lahan Pertanian
Ekstensifikasi lahan pertanian memiliki peluang yang tinggi apabila dilakukan pada lahan kering masam, dibandingkan pada lahan suboptimal lainnya. Luas lahan kering masam mencapai 57% dari luas total Indonesia atau 74% dari total lahan kering Indonesia. Berdasarkan hasil tumpang tepat luas lahan kering yang potensial tersedia untuk pengembangan pertanian pada lahan APL (Areal Penggunaan Lain) sekitar 5,97 juta ha, HPK (Hutan Produksi Konversi) seluas 7,09 juta ha (Balitbangtan 2014). Sebagian besar lahan yang potensial tersedia tersebut merupakan lahan kering masam yang sebarannya paling banyak terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua, sehingga lahan kering masam yang tersedia dapat dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan lahan (Irawan et al. 2015).
Biosilika
Biosilika merupakan pemanfaatan dari sekam padi untuk bahan bakar dan energi panas dari pembakaran tersebut digunakan untuk
me-Inovasi Pemanfaatan Lahan Kering Masam Berbasis Sistem Usaha Pertanian Inovatif Untuk Mendukung Ketersediaan Pangan | Yennita Sihombing
ngeringkan gabah, dan abu sekam hasil pemba-karan digunakan sebagai bahan produksinya. Biosilika sangat dibutuhkan untuk jenis tanaman Graminiae seperti padi, walaupun silika hanya unsur mikro bagi tanaman. Padi yang diberi silika akan menjadi lebih kuat, tidak mudah rebah, serta lebih tahan terhadap serangan hama penyakit dan dampak kekeringan. Biosilika merupakan salah satu unsur hara yang sangat perlu diberikan ke tanaman agar potensi produktivitas padi dapat tercapai.
Largo Super
Inovasi pertanaman padi largo super (Larikan Gogo Super) menerapkan sistem tanam larikan jajar legowo 2:1 dan telah berhasil meningkatkan produktivitas padi di lahan kering secara nyata. Pertanaman sistem ini merupakan provitas padi gogo dapat mencapai produksi 7,9 ton/ha dengan varietas Inpago 8 5.00 t/ha, Inpago 9 6.14 t/ha, Inpago 10 7.93 t/ha, dan Inpago 11 7.10 t/ha. Capaian ini meningkat hampir 3 ton dibandingkan rata-rata di tingkat petani yang hasilnya sekitar 4 ton/ha.Teknologi largo super ini dapat terus dikembangkan di seluruh lahan kering di Indonesia yang potensinya masih sangat besar, sehingga pertanian padi di lahan kering yang tangguh berbasis inovasi teknologi dapat terwujud untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai lumbung pangan dunia 2045.
Pengembangan Kawasan Pertanian Berkelanjutan
Kegiatan yang terkait dengan pengem-bangan kawasan pertanian yang berkelanjutan mencakup : (1) membangun dan mengem-bangkan sistem usaha pertanian inovatif berkelanjutan berbasis pengembangan kawasan, (2) melibatkan secara terintegrasi dan sinergistik UK/UPT lingkup Balitbangtan, (3) sinkron terhadap program pemda dan melibatkan kelembagaan/lembaga terkait lingkup pemda secara lebih dominan termasuk sharing sumber daya secara kolaboratif, (4) dapat meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya, dan (5) memposisikan capacity building penyuluh lapangan dan kelompok tani sebagai salah satu
core business dalam pengembangan sistem
usaha pertanian berkelanjutan.
Implikasi Kebijakan
Berdasarkan proyeksi produksi bahan pangan dan kapasitas produksinya, untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan sampai tahun 2050, sebagian besar menghendaki adanya perluasan areal baru, terutama untuk mendorong swasembada komoditas pangan selain padi dan jagung yang sudah lebih dulu swasembada (Mulyani dan Hidayat, 2010).
Untuk menghindari konversi lahan dari pertanian produktif ke non pertanian dan konversi lahan dari lahan tanaman pangan ke non pangan (perkebunan), maka penerapan Undang -undang No. 41 Tahun 2009, tentang Perlindungan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5068) perlu segera diimplementasikan di lapangan.
KESIMPULAN
Lahan kering masam merupakan lahan suboptimal yang lebih potensial untuk pengembangan sektor pertanian, dibandingkan lahan gambut dan pasang surut. Tingkat kesuburan tanah lahan kering masam yang tergolong rendah diperlukan inovasi teknologi, dengan tujuan untuk mengurangi terbatasnya lahan pertanian dan mengoptimalkan produktivitasnya sehingga pembangunan pertanian pada lahan kering masam dapat berkelanjutan. Teknologi tepat guna dan spesifik lokasi meliputi penyediaan input produksi pertanian, perbaikan infrastruktur, pelatihan pendampingan pemberdayaan, pengembangan teknologi, pengendalian konversi lahan pertanian, dan penataan kelembagaan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., A. Dariah, dan A. Mulyani. 2008. Strategi dan teknologi pengelolaan lahan kering mendukung pengadaan pangan nasional. Jurnal Litbang Pertanian. 27(2): 43-49.
Balitbangtan. 2014. Sumberdaya lahan pertanian Indonesia: luas, penyebaran, dan potensi
97 ketersediaan. Badan Litbang Pertanian.
Kementerian Pertanian. Jakarta.
BBSDLP. 2012. Lahan sub optimal: potensi, peluang, dan permasalahannya untuk mendukung program ketahanan pangan. Disampaikan dalam Seminar Lahan Sub Optimal, Palembang, Maret 2012. Kementerian Ristek dan Teknologi.
Dariah, A. 2013. Sistem pertanian efisien karbon sebagai bentuk adaptasi dan mitigasi sektor pertanian terhadap perubahan iklim dalam Politik Pembangunan Pertanian menghadapi perubahan iklim. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Erlina, M.D., Manadiyanto, dan Mursidin. 2010. Strategi akselerasi diseminasi teknologi perikanan mendukung kebijakan program ketahanan pangan. Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (Laporan).
Fatchiya, A.,S. Amanah, Y. I. Kusumastuti. 2016. Penerapan inovasi teknologi pertanian dan hubungannya dengan ketahanan pangan rumah tangga petani. Jurnal Penyuluhan. 12(2): 191-197.
Hafif, B., B. Prastowo, dan B.R. Prawiradiputra. 2014. Pengembangan perkebunan kopi berbasis inovasi di lahan kering masam. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian. 7(4) : 199-206.
Haryono. 2013. Strategi kebijakan kementrian pertanian dalam optimalisasi lahan suboptimal mendukung ketahanan pangan nasional. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal “Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional”, Palembang 20-21 September 2013. Unsri Press. Hlm 1-4.
Haryono. 2014. Kebijakan Kementerian Pertanian dalam Mengembangkan Sistem Pembangunan Pertanian yang Inklusif untuk Memajukan Petani Lahan Sub Optimal. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014. Palembang (Indonesia): ISBN 979-587-529-9 1. Hlm. 1-4
Hasbi. 2014. Potensi, kendala dan solusi dalam pengembangan lahan suboptimal untuk mendukung kedaulatan pangan nasional. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014. Palembang (Indonesia). ISBN 979-587-529-9 U6-1. Hlm. 39-45. Irawan, A. Dariah dan A. Rachman. 2015.
Pengembangan dan diseminasi inovasi teknologi pertanian mendukung optimalisasi pengelolaan lahan kering masam. Jurnal Sumberdaya Lahan. 9 (1) : 37-50.
Kartiwa, B., K. Sudarman, dan Sawiyo. 2010. Teknologi pengelolaanair di lahan kering beriklim kering. Laporan Penelitian. BalaiPenelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor.
Kartiwa, B. dan A. Dariah. 2012. Teknologi pengelolaan air lahan kering dalam prospek pertanian lahan kering dalam mendukung ketahanan pangan. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian.Hlm 103-122.
Kurnia, U., N. Sutrisno, dan I. Sungkawa. 2010. Perkembangan lahan kritis dalam membalik kecenderungan degradasi sumber daya lahan dan air. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian.Hlm 144-160. Lakitan, B. dan N. Gofar. 2013. Kebijakan inovasi
teknologi untuk pengelolaan lahan suboptimal berkelanjutan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Sub Optimal “Intensifikasi Pengelolaan Lahan Suboptimal dalam Rangka Mendukung Kemandirian Pangan Nasional”, Palembang 20-21 September 2013. Unsri Press. hlm. 5-14. Muazam, A., N. Nugroho dan S. Handoko. 2017.
Potensi ekonomi, permasalahan dan upaya optimalisasi lahan kering daerah sulawesi selatan menuju swasembada pangan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2017, Palembang 19-20 Oktober 2017. Hlm.156 - 163.
Mulyani, A. dan A. Hidayat. 2010. Kapasitas produksi bahan pangan lahan kering. Analisis sumberdaya lahan menuju ketahanan pangan berkelanjutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Hlm. 53 - 70.
Inovasi Pemanfaatan Lahan Kering Masam Berbasis Sistem Usaha Pertanian Inovatif Untuk Mendukung Ketersediaan Pangan | Yennita Sihombing