A. Jumlah dan Sebaran Hotspot
Secara umum, hotspot merupakan istilah yang menggambarkan ambang minimal suhu pada titik tertentu dari suatu wilayah yang dapat terekam oleh satelit pendeteksi panas. Dengan pengertian tersebut maka hotspot yang terekam tersebut dijadikan salah satu indikator awal terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Sebagai salah satu provinsi yang rawan kebakaran hutan, Kalimantan Barat memiliki jumlah hotspot yang cukup tinggi. Berdasarkan data yang terpantau pada Stasiun Bumi Satelit NOAA Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Departemen Kehutanan, jumlah hotspot selama periode Tahun 2004 – 2008 untuk wilayah Kalimantan Barat disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Jumlah rata-rata hotspot bulanan di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2004 – 2008 versi Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Departemen Kehutanan
Bulan Jumlah Hotsopt
Rata-Rata
2004 2005 2006 2007 2008
Januari 36 121 - - 224 76
Februari 49 155 - 28 14 49
Maret 109 153 - 219 16 99
April 26 5 - 55 34 24
Mei 76 31 84 15 346 110
Juni 526 49 443 15 132 233
Juli 86 147 1.911 156 57 471
Agustus 5.630 1.942 19.834 3.349 2.108 6573
Septembar 2.548 386 3.988 3.436 2.284 2528
Oktober 1.212 33 3.006 283 270 961
November 13 - - 4 42 12
Desember 0 - - 1 1 0
Jumlah 10.311 3.022 29.266 7.561 5.528 11.136
Sumber : Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Departemen Kehutanan, 2009
Selain dari data hotspot yang dicatat pada Stasiun Bumi Satelit NOAA
Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Departemen Kehutanan, ASMC juga
mencatat jumlah hotspot seperti pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah hotspot bulanan di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2004 – 2008 versi Kementerian Lingkungan Hidup
Bulan Jumlah Hotspot
Rata-Rata
2004 2005 2006 2007 2008
Januari
1 59 72 10 105 49Februari
9 55 30 62 40 39Maret
5 101 112 65 8 58April
1 6 15 10 26 12Mei
5 2 15 4 266 58Juni
8 12 35 15 68 28Juli
102 51 490 52 - 139Agustus
1.348 650 3.424 801 - 1.245Septembar
795 548 1.410 1.640 - 879Oktober
92 16 809 445 - 272November
- 3 84 - - 17Desember
- 2 11 5 - 4Jumlah
2.366 1.505 6.507 3.109 513 2.800Sumber : Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, 2009
Posisi Provinsi Kalimantan Barat dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2004-2008) menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Bahkan pada tahun 2007 dan 2008, Provinsi Kalimantan Barat berada pada posisi pertama yang memiliki jumlah hotspot terbanyak di Indonesia. Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari jumlah hotspot di 10 provinsi yang paling banyak terdapat titik hotspot di Indonesia yang disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Jumlah rata-rata hotspot tahun 2004 – 2008 pada 10 Provinsi di Indonesia
Dari data hotspot lima tahun terakhir, kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat terjadi pada bulan Agustus dan September. Pada bulan-bulan tersebut, kegiatan pembersihan lahan dengan cara bakar dilakukan oleh masyarakat maupun perusahaan perkebunan dan kehutanan. Kondisi cuaca yag sangat kering dan rendahnya jumlah curah hujan sangat mempengaruhi luas hutan dan lahan yang terbakar.
Jumlah dan sebaran hotspot berdasarkan lokasi di Kalimantan Barat ditunjukkan melalui pembagian sebaran hotspot per kabupaten di Kalimantan Barat seperti pada Tabel 5.
Tabel 5 Jumlah hotspot bulanan per kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2006
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
1 Bengkayang 4 2 22 3 1 8 33 101 10 11 - 3 198
2 Kapuas Hulu - - 3 1 30 191 31 6 6 2 270
3 Ketapang 20 6 16 1 2 5 91 958 775 693 60 1 2628
4 Kota Pontianak 2 - - - 1 1 - - - - 4
5 Kota Singkawang 1 - - - 4 - - - - 5
6 Landak 1 1 3 1 2 3 22 237 11 4 - - 285
7 Melawi 1 3 2 1 2 21 234 107 4 4 1 380
8 Kab. Pontianak 24 6 29 1 1 109 283 25 27 1 - 506
9 Sambas 9 2 21 4 5 47 97 17 23 - - 225
10 Sanggau 4 2 5 2 1 4 44 432 30 4 - - 528
11 Sekadau - 2 4 1 1 3 14 308 138 12 4 - 487
12 Sintang 6 6 7 1 7 4 78 578 266 25 9 4 991
Bulan
Total Kabupaten
No.
Sumber : Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, 2009
Dari Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Ketapang memiliki jumlah hotspot tertinggi di Kalimantan Barat pada tahun 2006 yaitu 2.628 hotspot disusul oleh Kabupaten Sintang sebanyak 991 hotspot. Artinya sekitar 40%
hotspot di Kalimantan Barat berada di Kabupaten Ketapang. Sedangkan jumlah
hotspot terendah berada di Kota Pontianak (4 hotspot) dan Kota Singkawang (5
hotspot).
Gambar 5 Persentase jumlah hotspot per kabupaten di Kalimantan Barat
Dalam penelitian ini pemodelan spasial di lakukan dengan menggunakan data hotspot dari stasiun pengamatan ASMC. Hal ini didasarkan dari hasil penelitian Hadi (2006) dan Thoha (2006) yang menyatakan bahwa jarak rata-rata titik hotspot pengamatan JICA terhadap hotspot lapangan berbeda sangat nyata.
Jarak rata-rata titik hotspot stasiun pengamatan ASMC terhadap titik hotspot di lapangan lebih dekat dibandingan dengan jarak rata-rata titik hotspot stasiun pengamatan JICA terhadap titik hotspot di lapangan.
Dengan menggunakan data hotspot dari stasiun pengamatan ASMC sebagai rujukan dalam pembangunan model spasial penelitian ini maka diharapkan akurasi dari model tingkat kerawanan kebakaran yang dibangun akan memiliki bias yang lebih rendah.
B. Pola Hubungan Hotspot dan Curah Hujan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh aktivitas pembakaran oleh manusia baik masyarakat maupun perusahaan untuk kegiatan pembersihan lahan (land clearing). Meskipun demikian, faktor-faktor alam terutama keadaan iklim sangat menentukan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Rendahnya curah hujan merupakan salah satu kondisi iklim yang mempengaruhi kejadian kebakaran hutan dan lahan. Sebaliknya bila tingkat curah hujan tinggi, kejadian kebakaran hutan dan lahan menjadi sangat rendah. Curah
Bengkayang
3% Kapuas Hulu
4%
Ketapang 40%
Kota Pontianak Kota 0%
Singkawang 0%
Landak 4%
Melawi 6%
Kab. Pontianak 8%
Sambas 4%
Sanggau 8%
Sekadau 8%
Sintang 15%
hujan memberikan kontribusi terhadap besar kecilnya kadar air dalam suatu bahan bakar sehingga memperlambat proses terjadinya kebakaran. Penelitian Adiningsih (2005) mengungkapkan bahwa terdapat kecenderungan meningkatnya curah hujan berkaitan dengan makin menurunnya jumlah hotspot.
Demikian pula dengan penelitian Sukmawati (2006) di Kabupaten Pontianak mengenai hubungan curah hujan dan titik hotspot sebagai indikator terjadinya kebakaran mengungkapkan bahwa parameter curah hujan berpengaruh signifikan terhadap jumlah deteksi hotspot.
Menurut Syaufina (2008), kadar air bahan bakar menunjukkan jumlah air yang dikandung oleh partikel bahan bakar. Besar kecilnya bahan bakar merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perilaku api, terutama dalam kecepatan pembakaran dan kemampuan terbakar dari bahan bakar. Brown dan Davis (1973) menambahkan bahwa kadar air lebih besar atau sama dengan 30% dari bahan bakar dianggap aman terhadap bahaya kebakaran.
Untuk menjelaskan hubungan tingkat kerawanan hutan dan lahan di Kalimantan Barat dengan curah hujan maka diperlukan data-data curah hujan yang ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah Curah Hujan Bulanan di Kalimantan Barat Tahun 2006
Bulan Curah Hujan Pada Stasiun Pencatat Cuaca Rata- rata
Ptk Stg Plh Ktp Pts Nph
Januari
184 219 345 195 392 336 278Februari
345 348 179 168 343 370 292Maret
137 77 94 21 147 117 99April
260 376 89 380 379 422 318Mei
228 312 329 275 457 194 299Juni
220 263 176 295 369 282 268Juli
41 16 143 7 115 83 67Agustus
57 92 190 0 129 41 85Septembar
171 132 178 61 181 263 164Oktober
130 60 434 27 334 140 187November
297 368 361 270 473 278 341Desember
477 308 421 443 654 486 465Jumlah
2.547 2.573 2.939 2.142 3.973 3.011 2.864Rata-rata
212 214 245 179 331 251 239Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika
Catatan : Ptk = Pontianak, Stg = Sintang, Plh = Paloh, Ktp = Ketapang, Pts = Putussibau dan Nph = Nanga Pinoh
Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan bulanan tahun 2006 berkisar antara 67 mm hingga 465 mm dengan curah hujan terendah pada bulan Agustus dan tertinggi pada bulan Desember. Rata-rata curah hujan tertinggi tercatat pada stasiun pengamat cuaca Putussibau (Pts) sebesar 331 mm sedangkan yang terendah pada stasiun pengamat cuaca di Ketapang (Ktp) sebesar 179 mm.
Tabel 7 Jumlah hari hujan bulanan di Kalimantan Barat Tahun 2006
Bulan Jumlah Hari Hujan Pada Stasiun Pemantau Cuaca Rata- rata
Ptk Stg Plh Ktp Pts Nph
Januari
13 19 14 16 18 19 17Februari
14 18 14 17 20 20 17Maret
7 13 16 12 14 16 13April
14 26 14 21 19 27 20Mei
23 20 16 16 25 21 20Juni
14 15 16 19 16 18 16Juli
7 5 12 2 9 5 7Agustus
7 5 12 1 10 7 7Septembar
14 13 11 8 14 15 13Oktober
12 7 23 3 13 9 11November
16 20 24 20 21 22 21Desember
27 26 25 27 26 24 26Rata-rata
14 16 16 14 17 17 16Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika
Catatan : Ptk = Pontianak, Stg = Sintang, Plh = Paloh, Ktp = Ketapang, Pts = Putussibau dan Nanga Pinoh (Nph)
Dari data yang ditunjukkan pada Tabel 7, rata-rata hari hujan bulanan tahun 2006 berkisar antara 7 hari hingga 26 hari dengan rata-rata hari hujan terendah pada bulan Agustus dan tertinggi pada bulan Desember. Rata-rata jumlah hari hujan tertinggi tercatat pada stasiun pengamat cuaca Putussibau (Pts) dan Nanga Pinoh (Nph) yaitu 17 hari sedangkan yang terendah pada stasiun pengamat cuaca di Ketapang (Ktp) dan Pontianak (Ptk) dengan 14 hari hujan.
Pada Tabel 8 dapat diketahui bahwa rata-rata intensitas bulanan di
Kalimantan Barat Tahun 2006 berkisar antara 10,4 mm per hari hingga 18,6 mm
per hari dengan rata-rata intensitas curah hujan terendah pada bulan Agustus dan
tertinggi pada bulan Desember. Rata-rata intensitas curah hujan tertinggi tercatat
pada stasiun pengamat cuaca Putussibau (Pts) sebesar sedangkan yang terendah
pada stasiun pengamat cuaca di Ketapang (Ktp).
Tabel 8 Intensitas curah hujan bulanan di Kalimantan Barat Tahun 2006 Bulan
Intensitas Curah Hujan Pada Stasiun Pencatat
Cuaca (mm/hari) Rata-
Ptk Stg Plh Ktp Pts Nph rata
Januari
14.2 11.5 24.6 12.2 21.8 17.7 17.0Februari
24.6 19.4 12.8 9.9 17.2 18.5 17.1Maret
19.6 6.0 5.9 1.8 10.5 7.3 8.5April
19.0 14.0 6.0 18.0 20.0 15.6 15.4Mei
9.9 15.6 20.6 17.2 18.3 9.2 15.1Juni
15.7 17.5 11.0 15.5 23.3 15.7 16.5Juli
5.9 3.2 11.9 3.4 12.7 16.5 8.9Agustus
8.1 18.3 15.8 0.3 12.9 5.9 10.2Septembar
12.2 10.2 16.2 7.6 12.9 17.5 12.8Oktober
10.8 8.6 18.9 8.9 25.7 15.5 14.7November
18.6 18.4 15.1 13.5 22.5 12.6 16.8Desember
17.7 11.8 16.8 16.4 25.2 20.3 18.0Jumlah
176.3 154.5 175.6 124.7 223.0 172.4 171.1Rata-rata
14.7 12.9 14.6 10.4 18.6 14.4 14.3Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika
Catatan : Ptk = Pontianak, Stg = Sintang, Plh = Paloh, Ktp = Ketapang, Pts = Putussibau dan Nanga Pinoh
Dari data cuaca pada tahun 2006, terlihat bahwa terjadi dua kali puncak jumlah curah hujan terendah di Kalimantan Barat yaitu pada bulan Juli dan bulan Agustus sampai September. Kondisi ini agak berbeda dengan kondisi umum di mana musim penghujan berada pada bulan Oktober – Maret dan musim kemarau berada pada bulan April – September.
Gambar 6 Jumlah curah hujan dan jumlah hotspot tahun 2006 di Provinsi Kalimantan Barat
Jumlahhotsot bulananrata-rata JumlahcurahhujanBlananrata-rata(mm/bulan)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des ASMC JICA Curah Hujan (mm/bulan)
Dari Gambar 6 terlihat bahwa tingkat curah hujan rata-rata bulanan minimum tidak serta merta menyebabkan jumlah hotspot menjadi yang tertinggi.
Curah hujan minimum terjadi pada bulan Juli namun jumlah hotspot tertinggi berada pada bulan Agustus. Ada jangka waktu 1 bulan antara bulan Juli dan Agustus sebagai proses pengeringan bahan bakar.
Proses pengeringan mencapai puncaknya pada bulan Agustus yang merupakan kondisi ideal terjadinya kebakaran. Pada bulan Maret pengeringan bahan bakar tidak menurunkan jumlah hotspot secara signifikan karena pada bulan berikutnya jumlah curah hujan cukup tinggi.
Puncak musim hujan di Kalimantan Barat terjadi pada bulan Desember yang memberikan kontribusi kandungan air yang cukup tinggi pada bahan bakar sehingga kejadian kebakaran sulit untuk terjadi. Hal ini dibuktikan dengan jumlah hotspot terendah selama tahun 2006 terjadi pada bulan Desember.
Gambar 7 Hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlah hotspot
Dengan menggunakan analisis regresi (Gambar 7) terlihat hubungan yang
nyata antara curah hujan dengan titik panas. Bentuk hubungan terbaik ditunjukkan
dengan pola exponential yang memiliki koefisien determinasi (R
2) regresi sebesar
63.5 % sehingga dapat dikatakan bahwa curah hujan hanya dapat menjelaskan
sebagian dari kejadian hotspot. Hal ini menunjukkan adanya faktor-faktor lain
yang juga mempengaruhi terjadinya hotspot di Kalimantan Barat.
Gambar 7 Hubungan antara jumlah hari hujan dengan jumlah hotspot
Selain jumlah curah hujan, pengaruh lain yang perlu dipertimbangkan adalah banyaknya hari hujan yang terjadi dalam satu bulan karena memiliki pengaruh yang nyata terhadap hotspot. Dalam Gambar 8 terlihat bahwa koefisien determinasi (R
2) regresi dengan model exponential memiliki nilai 72,8 persen.
Nilai R
2antara hari hujan bulanan dan titik hotspot lebih tinggi dibandingkan dengan nilai R
2jumlah curah hujan bulanan.
Gambar 10 Hubungan antara intensitas curah hujan dengan jumlah hotspot
Berbeda dengan faktor curah hujan dan hari hujan, hubungan intensitas curah hujan dan jumlah hotspot hanya memiliki koefisien determinasi (R
2) sebesar 40.9 % dengan model hubungan exponential. Gambar 9 menunjukkan bahwa intensitas curah hujan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan banyaknya jumlah hotpsot yang terjadi.
Selain curah hujan, peristiwa penyimpangan iklim menjadi faktor penting lain yang menentukan tingkat resiko terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Bentuk penyimpangan iklim tersebut antara lain fenomena El-Nino. Peristiwa El Nino tahun 1997/1998 merupakan contoh penyimpangan iklim yang memberikan dampak kerusakan yang sangat besar. Pada tahun 2006, gejala El Nino juga terjadi walaupun tidak sehebat kejadian kebakaran tahun 1997/1998. Gejala tersebut ditunjukkan dengan rendahnya curah hujan dan musim kemarau yang lebih panjang. Hal ini diperkuat oleh data hotspot 5 tahun terakhir (2004-2008) di mana pada tahun 2006, jumlah hotspot merupakan yang terbanyak.
C. Hubungan Kepadatan Hotspot Dengan Beberapa Variabel Penyebab Kebakaran
1. Kepadatan hotspot dan jarak dari kota
Hubungan antara jarak dari pusat kota dengan jumlah hotspot memperlihatkan bahwa tingkat kepadatan hotspot semakin berkurang bila semakin jauh dari pusat kota. Hal ini berarti tingkat kepadatan hotspot sangat dipengaruhi oleh kedekatan dengan pusat kota yang merupakan pusat aktivitas manusia. Faktor alam sedikit menunjukkan pengaruhnya karena kepadatan hotspot yang semakin menurun dengan bertambahnya jarak. Dengan kata lain, tanpa pengaruh aktivitas manusia, kebakaran hutan dan lahan sangat kecil kemungkinan untuk terjadi di Kalimantan Barat.
Dari Tabel 9 dan Gambar 10 memperlihatkan bahwa koefisien determinasi (R
2) regresi terbaik ditunjukkan dengan model yang memiliki nilai hingga 97,8%.
Nilai ini menjelaskan bahwa kedekatan dengan pusat kota mempengaruhi
tingginya kepadatan hotspot yang terjadi di Kalimantan Barat.
Tabel 9 Kepadatan hotspot berdasarkan jarak dari pusat kota
JarakKota (km)
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot
Kepadatan Hotspot (HS/km2)
Jarak Kota (km)
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot
Kepadatan Hotspot (HS/km2)
1 6610 4 0,0644 25 52.617 12 0,0225
2 19600 13 0,0638 26 50.469 9 0,0178
3 32064 20 0,0638 27 49.405 8 0,0156
4 44511 29 0,0651 28 49.985 7 0,0147
5 57914 38 0,0659 29 49.562 6 0,0126
6 68027 44 0,0646 30 47.776 7 0,0139
7 73061 43 0,0594 31 44.890 7 0,0154
8 77511 41 0,0532 32 42.086 6 0,0150
9 82710 40 0,0489 33 36.337 4 0,0106
10 85211 39 0,0457 34 33.835 3 0,0083
11 87645 39 0,0448 35 29.547 2 0,0084
12 90112 40 0,0443 36 25.441 2 0,0070
13 89716 38 0,0423 37 23.728 1 0,0053
14 87183 37 0,0422 38 22.165 1 0,0043
15 83156 37 0,0440 39 20.539 1 0,0040
16 79780 36 0,0446 40 18.106 1 0,0040
17 75041 32 0,0427 41 15.609 1 0,0040
18 70699 29 0,0404 42 13.738 1 0,0040
19 66891 27 0,0404 43 11.554 0 0,0040
20 64846 25 0,0380 44 9.115 0 0,0040
21 63933 23 0,0365 45 6.125 0 0,0040
22 61769 21 0,0337 46 2.037 0 0,0040
23 59327 19 0,0320 47 930 0 0,0040
24 55973 15 0,0274 48 222 0 0,0040
Gambar 10 Pola hubungan kepadatan hotspot (km
2) terhadap jarak dari pusat kota
y = 1E-06x3- 6E-05x2- 0,000x + 0,066 R² = 0,978
0,0000 0,0100 0,0200 0,0300 0,0400 0,0500 0,0600 0,0700
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 46 48 50
HS/Km2 Poly. (HS/Km2) Jarak dari pusat kota (Km)
KepadatanHotspot(HS/Km2)
Untuk dapat menjelaskan lebih mendalam mengenai hubungan hotspot dengan jarak terhadap pusat kota maka perlu dipisahkan antara ibu kota provinsi, ibu kota kabupaten dan ibu kota kecamatan. Dari hasil overlay antara titik hotspot dengan buffer pada masing-masing tingkatan kota maka maka dapat dijabarkan bahwa kepadatan hotspot di tingkat ibu kota provinsi tidak terlihat hingga jarak lebih dari 5 km.
Table 10 Kepadatan hotspot berdasarkan jarak dari beberapa kelas kota
Jarak dari pusatkota
Provinsi Kabupaten Kecamatan
JH HD JH HD JH HD
0 – 1000 m 1000 – 2000 m 2000 – 3000 m 3000 – 4000 m 4000 – 5000 m 5000 – 6000 m 6000 – 7000 m 7000 – 8000 m 8000 – 9000 m 9000 – 10000 m
0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
0 0 0 0 0 0 0.025 0 0 0.017
0 3 6 12 8 15 14 14 24 24
0 0.029 0.035 0.053 0.028 0.044 0.035 0.031 0.047 0.043
14 37 51 87 120 140 132 156 159 156
0.038 0.034 0.028 0.035 0.038 0.074 0.031 0.033 0.031 0.029
* JH = Jumlah Hotspot, HD = Hotspot Density
Gambar 11 Kepadatan hotspot pada ibu kota provinsi, ibu kota kabupaten dan ibu kota kecamatan pada 10 km pertama
Untuk kepadatan hotspot dari pusat kota kabupaten, hotspot tidak terlihat pada jarak 1 km namun kepadatan hotspot semakin meningkat dan kemudian mengalami penurunan dengan bertambahnya jarak dari pusat kota kabupaten.
0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
0,025
0,000 0,000 0,017
0,000 0,0291
0,0351
0,0526
0,0284
0,0442 0,0353
0,0470
0,0426 0,038
0,034
0,028 0,035
0,038
0,037
0,031 0,033
0,031 0,029
0,000 0,010 0,020 0,030 0,040 0,050 0,060
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
KepadatanHotspotperkm2
Jarak terhadap pusat kota (km)
Ibu Kota Prropinsi Ibu Kota kabupaten Ibu Kota Kecamatan
Untuk ibu kota kecamatan menunjukkan bahwa semakin dekat dengan pusat kota, semakin tinggi tingkat kepadatan hotspot.
Berdasarkan pola hubungan di atas maka strategi dan kebijakan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan perlu memperhatikan data-data di atas. Pola hubungan ini menggambarkan bahwa tingkat pengawasan terhadap aktivitas pembakaran semakin rendah pada kota dengan semakin rendah tingkatannya. Bahkan untuk jarak dari kecamatan kepadatan hotspot yang tertinggi berada di pusat kecamatan.
Skala prioritas kebijakan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan lebih banyak berorientasi pada kebijakan pusat dan provinsi perlu dikaji ulang. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya sarana dan prasarana untuk kegiatan penanggulangan kebakaran berada pada ibu kota provinsi. Selain itu, kelembagaan pemadaman kebakaran hanya kokoh pada tataran provinsi sedangkan di tingkat kabupaten dan kecamatan. Sumber daya manusia yang berkompeten dengan bidang kebakaran hutan dan lahan tidak terdistribusi hingga ke wilayah kabupaten.
Oleh karena itu dalam pengambilan kebijakan perlu ditekankan pada pembangunan kebijakan penanggulanan kebakaran hutan dan lahan untuk memprioritaskan lembaga di tingkat kecamatan untuk memegang kendali dalam upaya-upaya penanggulangan kebakaran di tingkat implementasi dan untuk tingkat pengambil kebijakan, peran pemerintah kabupaten harus menjadi prioritas utama.
2. Kepadatan hotspot dan jarak dari pusat desa
Semakin dekat jarak dari pusat desa maka tingkat kepadatan hotspot semakin tinggi. Di daerah Kalimantan Barat, jarak 3 km dari pusat kota merupakan wilayah dengan tingkat kepadatan tertinggi. Kepadatan hotspot akan semakin rendah dengan bertambahnya jarak dari pusat kota. Gambar 12.
memperkuat pernyataan di atas di mana terdapat hubungan yang erat antara jarak
dari pusat desa dengan titik hotspot. Model polinomial menjelaskan bahwa
koefisien determinasi (R
2) regresi memiliki bilai 96,3%.
Tabel 11 Kepadatan hotspot berdasarkan jarak dari pusat desa
Jarak Desa (km)
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot
Kepadatan Hotspot (HS/km2)
Jarak Desa (km)
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot
Kepadatan Hotspot (HS/km2)
1 55971,8 27 0,0488 18 37.851 7 0,0191
2 153000 77 0,0500 19 34.324 6 0,0176
3 212743 111 0,0521 20 31.706 5 0,0158
4 233117 120 0,0513 21 28.179 4 0,0134
5 226824 109 0,0480 22 25.780 3 0,0131
6 195633 88 0,0452 23 22.354 2 0,0111
7 154230 64 0,0412 24 17.318 2 0,0133
8 120450 43 0,0354 25 13.645 2 0,0146
9 99919,5 33 0,0329 26 10.587 2 0,0158
10 86015,1 26 0,0303 27 9.277 1 0,0149
11 76542,8 21 0,0276 28 7.949 1 0,0143
12 72316,4 21 0,0290 29 6.787 1 0,0118
13 68908,6 18 0,0263 30 5.616 0 0,0084
14 67034,9 18 0,0270 31 2.494 0 0,0065
15 62334,5 16 0,0256 32 1.073 0 0,0045
16 54698 12 0,0216 33 88 0 0,0040
17 44340,4 8 0,0178
Gambar 12 Pola hubungan kepadatan hotspot (km
2) terhadap jarak dari pusat desa Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangkauan jarak sejauh 10 km dari pusat desa merupakan jarak ideal bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas pembakaran lahan. Kedekatan dengan pusat desa (pemukiman) merupakan
y = -8E-07x3+ 8E-05x2- 0,003x + 0,058 R² = 0,963
0,0000 0,0100 0,0200 0,0300 0,0400 0,0500 0,0600
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36
HS/Km2 Poly.(HS/Km2) Jarak dari pusat desa (Km)
KepadatanHotspot(HS/Km2)
pertimbangan yang wajar karena petani akan lebih memilih lokasi yang dekat dengan pemukimannya untuk mempermudah dalam hal transportasi menuju lokasi dan kemudahan pengawasan areal pertanian.
Masyarakat petani di Kalimantan Barat mempunyai tipikal petani subsisten di mana kegiatan pertanian bukan merupakan satu-satunya mata pencaharian. Oleh sebab itu jarak yang dekat dengan lahan pertanian akan memberikan peluang kepada masyarakat menghemat waktu dan tenaga untuk kemudian melakukan kegiatan lainnya seperti menyadap karet, memelihara ternak, mengambil rotan dan pekerjaan lainnya.
3. Kepadatan hotspot dan jarak dari sungai
Walaupun di Kalimantan Barat memiliki jaringan sungai yang cukup banyak namun dalam kegiatan pertanian penggunaan sungai sebagai akses menuju lahan pertanian bukan merupakan pilihan. Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih mengutamakan jalan untuk dapat mencapai lokasi lahan karena alat transportasi dan prasarana jalan dapat membantu kemudahan mencapai lokasi pertanian masyarakat . Kemudahan dalam kepemilikan alat transportasi kendaraan roda dua untuk mencapai lokasi pertanian yang agak jauh, sudah umum digunakan oleh masyarakat. Hal ini didukung oleh data kepadatan hotspot pada Tabel 12 yang menunjukan adanya kecenderungan peningkatan kepadatan hotspot dengan bertambah jauhnya jarak dari sungai.
Tabel 12 Kepadatan hotspot berdasarkan jarak dari sungai
Jarak Sungai
(km)
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot
Kepadatan Hotspot (HS/km2)
Jarak Sungai
(km)
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot
Kepadatan Hotspot (HS/km2)
1 384823 142 0,0370 11 34055 17 0,0491
2 353792 123 0,0348 12 22742 11 0,0489
3 322282 120 0,0371 13 14933 8 0,0531
4 280222 107 0,0382 14 9626 6 0,0590
5 243587 92 0,0379 15 5305 4 0,0810
6 192049 75 0,0390 16 3180 3 0,1060
7 144348 60 0,0414 17 2671 3 0,1197
8 107122 48 0,0444 18 2047 3 0,1226
9 69654,4 32 0,0464 19 504 1 0,1177
10 46166,2 23 0,0493
Gambar 13. Pola hubungan kepadatan hotspot (km
2) terhadap jarak dari sungai Sepertinya kondisi ini bertolak belakang dengan beberapa penelitian sebelumnya (Purnama & Jaya 2007; Thoha 2006). Hal ini perlu dilakukan pengkajian lebih dalam mengenai penyebab penggunaan jaringan sungai sebagai alat transportasi menjadi tidak begitu penting dalam kegiatan pertanian. Ada dugaan bahwa terjadi perbaikan sarana transportasi dan alat transportasi (kendaraan) yang mendukung kegiatan tersebut.
4. Kepadatan hotspot dan jarak terhadap jalan
Kepadatan hotspot berdasarkan jarak dari jalan menunjukkan pola yang jelas yaitu semakin dekat dengan jalan maka jumlah hotspot semakin banyak. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kepadatan tertinggi dengan 0,0531 km
2pada jarak 1000 m dan kepadatan terendah terjadi pada jarak > 20000 m dari jaringan jalan yang hanya sebesar 0,0040 km
2. Pada Gambar 14. terlihat nilai koefisien determinasi (R
2) regeresi dengan model quadratic adalah 84,2 % yang menunjukkan bahwa faktor keberadaan hotspot dapat dijelaskan dengan baik oleh faktor jarak terhadap jalan. Dengan semakin dekat dengan jaringan jalan maka aksesibilitas menuju lokasi pertanian menjadi semakin mudah. Kondisi ini bertolak belakang dengan kepadatan hotspot berdasarkan jarak dari sungai sehingga menjadikan jaringan jalan sebagai transportasi menuju lokasi pertanian.
y = 2E-05x3- 6E-05x2- 0,000x + 0,037 R² = 0,936
0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 0,14 0,16
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 HS/Km2 Poly.(HS/Km2)
Jarak dari sungai (Km)
KepadatanHotspot(HS/Km2)
Tabel 13 Kepadatan hotspot berdasarkan jarak dari jalan
Jarak Jalan (km)
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot
Kepadatan Hotspot (HS/km2)
Jarak Jalan (km)
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot
Kepadatan Hotspot (HS/km2)
1 572566 220 0,0531 11 35254 14 0,0199
2 381310 146 0,0479 12 26000 10 0,0228
3 290576 112 0,0402 13 19943 8 0,0248
4 230994 89 0,0339 14 15533 6 0,0273
5 184983 71 0,0294 15 12611 5 0,0315
6 143132 55 0,0242 16 10909 4 0,0334
7 107510 41 0,0192 17 7735 3 0,0305
8 83855 32 0,0192 18 4796 2 0,0334
9 62772 24 0,0175 19 1760 1 0,0077
10 46469 18 0,0166 20 401 0 0,0040
Gambar 14 Pola hubungan kepadatan hotspot (km
2) terhadap jarak dari jalan Alasan ini sangat logis mengingat kemudahan akses menuju lokasi pertanian akan menghemat waktu, tenaga dan biaya. Artinya pertimbangan ekonomis menjadi dasar berpikir dari masyarakat untuk menentukan lokasi lahan pertaniannya. Selain itu bila musim panen tiba maka pengangkutan hasil akan mudah dan mempunyai daya saing dengan kawasan yang jauh dari jaringan jalan.
Dari beberapa hasil penelitian Arianti (2006); Purnama dan Jaya (2007);
Samsuri (2008) menunjukkan bahwa kedekatan dengan jaringan jalan memiliki korelasi yang positif terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Oleh sebab itu maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor kedekatan dengan jalan merupakan faktor penting yang mempengaruhi kejadian kebakaran di Kalimantan Barat pada tahun 2006.
y = -5E-05x3+ 0,001x2- 0,017x + 0,075 R² = 0,842
0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 HS/Km2 Poly. (HS/Km2)
Jarak dari jalan (Km)
KepadatanHotspot(HS/Km2)
5. Kepadatan hotspot dan penggunaan lahan
Kepadatan hotspot tertinggi berada di wilayah transmigrasi karena dalam wilayah tersebut aktivitas utama mata pencaharian merupakan pertanian. Dalam program transmigrasi selalu beriringan dengan pemberian lahan pertanian untuk diolah oleh masyarakat transmigrasi. Kegiatan pertanian yang dilakukan akan menggunakan api sebagai sarana dalam kegiatan pembersihan lahan karena biaya rendah, hemat waktu dan tenaga.
Tabel 14 Kepadatan hotspot berdasarkan penggunaan lahan
Penggunaan lahan Luas (Ha) Hotspot (Oi) Kepadatan Hotspot (HS/km2)
Transmigrasi (TRANS) 23367 24 0,1013
Areal Penggunaan Lain (APL) 421273 226 0,0536
Perkebunan (KBN) 124692 63 0,0505
Hutan Tanaman Industri (HTI) 177259 63 0,0357
Eks HPH (E-HPH) 1000609 353 0,0353
HPH Aktif (HPH-A) 250554 74 0,0297
Kawasan Konservasi (KK) 64450 18 0,0274
Hutan Lindung (HL) 176905 24 0,0135
Gambar 15 Kepadatan hotspot per km
2berdasarkan tipe penggunaan lahan
Kepadatan hotspot tinggi juga berada pada kawasan APL dan perkebunan.
Namun demikian penggunaan api skala besar sedikit terhambat oleh pelarangan pembakaran lewat peraturan pemerintah. Hal ini dapat dilihat pengaruhnya pada tingkat kepadatan hotspot di wilayah HTI yang lebih kecil. Namun demikian
0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12
TRANS APL KBN HTI E-HPH HPH-A KK HL
Jenis Penggunaan Lahan KepadatanHotspot(km2)
akibat pengawasan dan legal action yang masih lemah, kegiatan pembersihan lahan menggunakan api masih ditemukan.
Sedangkan kepadatan hotspot yang paling rendah terjadi di dalam kawasan konservasi dan hutan lindung. Hal ini dikarenakan beberapa hal antara lain adanya satuan pemadam kebakaran BRIGDALKAR yang dibentuk dengan tugas, pokok dan fungsi utama adalah menjaga kawasan konservasi dari ancaman kebakaran hutan. Selain itu kondisi hutan yang masih baik dibanding dengan areal lainnya menyebabkan kejadian kebakaran sedikit terjadi di dalam kawasan konservasi maupun hutan lindung.
6. Kepadatan hotspot dan tutupan lahan
Berdasarkan tingkat kepadatan hotspot, sawah merupakan jenis penutupan lahan yang memiliki tingkat kepadatan hotspot tertinggi yaitu 0,1013 hotspot/km
2dan diikuti oleh areal penggunaan lain (APL) sebesar 0,0536 hotspot/km
2dan perkebunan sebesar 0,0505 hotspot/km
2. Sedangkan untuk tingkat kepadatan hotspot terendah berada pada area bervegetasi hutan yaitu hutan mengrove (0,0242 hotspot per km
2), hutan lahan kering (0,0357 hotspot per km
2) dan hutan rawa (0,0564 hotspot per km
2).
Kepadatan tinggi yang tinggi di perkebunan dikarenakan oleh aktivitas
pembersihan lahan untuk kegiatan penanaman. Untuk tutupan lahan berupa
sawah, kegiatan pembersihan lahan dari sisa-sisa kegiatan panen memberikan
kontribusi terhadap tingkat kepadatan hotspot. Sedangkan untuk area bervegetasi
hutan, kepadatan hotspot umumnya rendah karena bahan bakar yang dikandung
oleh vegetasi berhutan memiliki kadar air yang tinggi. Oleh karena itu proses
pembakaran terhadap bahan bakar di tipe tutupan lahan bervegetasi hutan berjalan
lambat dan memerlukan panas yang lebih besar. Dapat disimpulkan bahwa
penutupan berupa hutan memberikan lingkungan yang aman dari terjadinya
peristiwa kebakaran tersebut.
Tabel 15. Kepadatan hotspot berdasarkan tutupan lahan
Tutupan lahan Luas (Ha) Hotspot (Oi) Kepadatan Hotspot (HS/km2)
Sawah (SWH) 44402,997 29 0,0658
Perkebunan (KBN) 51663,435 32 0,0615
Tanah kosong (TK) 52301,172 27 0,0515
Pertaniana lahan kering (PLK) 751143,686 380 0,0506
Semak belukar (SB) 248434,7 109 0,0439
Pemukiman (PMKM) 8073,462 3 0,0426
Hutan rawa (HR) 452468,907 140 0,0309
Hutan lahan kering (HLK) 531462,343 93 0,0175
Hutan mangrove (HM) 99157,877 17 0,0173
Gambar 16 Kepadatan hotspot per km
2berdasarkan tipe tutupan lahan 7. Kepadatan hotspot dan keberadaan gambut
Lahan gambut merupakan ekosistem yang sensitif terhadap perubahan lingkungan, terutama kondisi iklim dan hidrologi. Perubahan lahan gambut berupa hutan menjadi areal pertanaian dan perkebunan mengakibatkan gangguan terhadap fungsi ekosistemnya. Hal itu diperparah dengan sifat khas gambut, yaitu irreversible drying (pengeringan tak terbalik), apabila gambut telah kering maka sangat sulit untuk membasahinya lagi (Syaufina 2008).
Tabel 16 Kepadatan hotspot berdasarkan keberadaan gambut
0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07
SWH KBN TK PLK SB PMKM HR HLK HM
Jenis Tutupan Lahan
KepadatanHotspot(km2)
Keberadaan Gambut Luas (Ha) Jumlah Hotspot
Kepadatan Hotspot (HS/k m2)
Non Gambut 1850428 753 0,0407
Gambut 388681 134 0,0346
Di Kalimantan Barat, kepadatan hotspot di lahan gambut berkisar 0,0346 hotspot/km
2yang menunjukkan tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan areal non gambut dengan kepadatan 0,0407. Kenyataan ini berbeda dengan hasil penelitian di Kalimantan Tengah yang dilakukan oleh Samsuri (2008) yang menyatakan bahwa kepadatan hotspot di lahan gambut lebih tinggi dibandingkan dengan lahan non gambut. Kesimpulan yang berbeda antara dua lokasi di atas dikarenakan perbedaan kondisi tutupan lahan di atas lahan gambut.
Apabila dilakukan overlay terhadap tutupan lahan berhutan (hutan lahan kering, hutan mangrove dan hutan rawa) dengan sebaran gambut di Kalimantan Barat maka luas lahan gambut berhutan adalah 1.178.188 Ha (67,39%) sedangkan luas lahan gambut bukan hutan hanya memiliki luas 570.021 (32,61%). Luasan ini berbanding terbalik dengan kepadatan hotspot di mana lahan gambut berhutan memiliki kepadatan hotspot hanya 0,0115 hotspot per km
2sedangkan lahan gambut bukan hutan memiliki kepadatan hotspot 0,0451 hotspot/km
2.
Tabel 17 Kepadatan hotspot berdasarkan keberadaan tutupan hutan di lahan gambut
Kondisi Gambut Luas Jumlah
hotspot
Kepadatan hotspot (HD/km2)
(Ha) %
Lahan gambut berhutan Lahan gambut bukan hutan
1178188 570021
67,39 32,61
135 257
0,0115 0,0451
Gambar 17 Luas lahan gambut berdasarkan keberadaan tutupan hutan dan
kepadatan hotspot-nya
Di Kalimantan Barat, jumlah lahan gambut yang sudah dibuka lebih kecil
dibandingkan di Kalimantan Tengah yang terkenal dengan proyek gambut 1 juta
hektarnya. Tanah gambut yang belum dibuka dan yang memiliki tutupan hutan
yang baik maka kejadian kebakaran akan sangat sulit terjadi. Daya serap air oleh
gambut yang tinggi dengan tutupan hutan yang baik menyebabkan kebakaran
hutan sangat sulit untuk terjadi. Salah satu daerah gambut dengan tingkat hotspot
yang rendah di Kalimantan Barat terdapat di Taman Nasional Danau Sentarum.
G am ba r 18 S eb ar an la h an ga m but di K al im ant an B ar at (S um be r : W et la n d Int er na si ona l, 2004)
8. Kepadatan hotspot dan curah hujan
Dengan membagi wilayah Kalimantan Barat dengan 5 kelas jumlah curah hujan bulanan yang didasarkan pada pencatatan jumlah curah hujan di 6 stasiun cuaca di Kalimantan Barat maka tingkat kepadatan hotspot dapat dilihat seperti pada Tabel 18.
Tabel 18 Kepadatan hotspot berdasarkan kelas wilayah curah hujan
Curah Hujan (mm/bulan) Luas (Ha) Hotspot (Oi)
Kepadatan Hotspot (HS/km2)
179,0 ~ 209,4 760609 251 0,0330
209,4 ~ 239,8 661690 380 0,0574
239,8 ~ 207,2 553129 154 0,0278
207,2 ~ 300,6 236785 27 0,0116
300,6 ~ 331,0 26897 1 0,0043
Gambar 19 Kepadatan hotspot berdasarkan kelas curah hujan
Seperti dijabarkan pada Gambar 7 tentang hubungan antara jumlah curah hujan dengan jumlah hotspot menggambarkan bahwa semakin rendah jumlah curah hujan akan mempengaruhi tingginya jumlah hotspot. Namun pada Gambar 19 kepadatan hotspot tertinggi tidak berada pada jumlah curah hujan terendah (179 ~ 209.4 mm/bulan) melainkan pada kelas curah hujan 209,4~239,8 mm/bulan. Adanya dugaan bahwa faktor lain seperti aktivitas manusia dalam pembersihan lahan yang menyebabkan kondisi di atas terjadi.
0,0000 0,0100 0,0200 0,0300 0,0400 0,0500 0,0600
179.0 ~ 209.4 209.4 ~ 239.8 239.8 ~ 207.2 207.2 ~ 300.6 300.6 ~ 331.0 Curah Hujan (mm/bulan)
KepadatanHotspot(km2)
D. Pembangunan Skor
Pembangunan skor aktual (actual score), skor dugaan (estimated score) dan skor skala (rescale score) untuk masing-masing variabel ditentukan berdasarkan pada kepadatan hotspotnya. Skor aktual merupakan perbandingan antara jumlah hotspot aktual dengan hotspot harapan, sedangkan skor dugaan dihitung menggunakan model regresi yang diturunkan dari masing-masing variabel. Skor skala (rescaled score) dihitung berdasarkan persamaan 3 untuk mendapatkan nilai minimum 10 dan nilai maksimum 100.
1. Skor jarak dari pusat kota
Skor dugaan (estimated score) yang dihasilkan dari persamaan regresi antara skor aktual dan jarak, mengikuti pola polinomial (cubic) dengan koefisien determinasi (R
2) 97,8 % dimana menunjukkan suatu kecenderungan semakin dekat dengan pusat kota nilai skor dugaan semakin besar.
Tabel 19. Skor faktor jarak terhadap pusat kota
Jarak Kota (km)
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot (Oi)
Jumlah Hotspot Harapan (Ei)
Oi / Ei HS / Km2
Skor Aktual
Skor Dugaan
Rescaled Score
1 6610 4 2 1,78 0,0644 4,74 4,82 100,00
2 19600 13 7 1,77 0,0638 4,69 4,74 98,43
3 32064 20 12 1,77 0,0638 4,69 4,65 96,71
4 44511 29 16 1,80 0,0651 4,79 4,56 94,86
5 57914 38 21 1,83 0,0659 4,85 4,46 92,87
6 68027 44 25 1,79 0,0646 4,75 4,35 90,77
7 73061 43 26 1,65 0,0594 4,37 4,24 88,55
8 77511 41 28 1,47 0,0532 3,91 4,12 86,23
9 82710 40 30 1,35 0,0489 3,60 4,00 83,82
10 85211 39 31 1,27 0,0457 3,36 3,87 81,32
11 87645 39 32 1,24 0,0448 3,30 3,74 78,75
12 90112 40 33 1,23 0,0443 3,26 3,60 76,11
13 89716 38 32 1,17 0,0423 3,11 3,46 73,42
14 87183 37 31 1,17 0,0422 3,10 3,32 70,67
15 83156 37 30 1,22 0,0440 3,24 3,18 67,89
16 79780 36 29 1,24 0,0446 3,28 3,04 65,07
17 75041 32 27 1,18 0,0427 3,14 2,89 62,24
18 70699 29 26 1,12 0,0404 2,97 2,75 59,39
19 66891 27 24 1,12 0,0404 2,97 2,60 56,53
20 64846 25 23 1,05 0,0380 2,80 2,46 53,68
21 63933 23 23 1,01 0,0365 2,68 2,31 50,85
22 61769 21 22 0,93 0,0337 2,48 2,17 48,03
Tabel 19 (Lanjutan)
Gambar 20. Pola skor dugaan dari faktor jarak terhadap pusat kota
Jarak Kota (km)
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot (Oi)
Jumlah Hotspot Harapan (Ei)
Oi / Ei HS / Km2
Skor Aktual
Skor Dugaan
Rescaled Score
23 59327 19 21 0,89 0,0320 2,35 2,03 45,25
24 55973 15 20 0,76 0,0274 2,02 1,89 42,51
25 52617 12 19 0,62 0,0225 1,66 1,75 39,82
26 50469 9 18 0,49 0,0178 1,31 1,61 37,19
27 49405 8 18 0,43 0,0156 1,15 1,48 34,62
28 49985 7 18 0,41 0,0147 1,08 1,36 32,14
29 49562 6 18 0,35 0,0126 0,93 1,23 29,73
30 47776 7 17 0,39 0,0139 1,02 1,12 27,42
31 44890 7 16 0,43 0,0154 1,13 1,00 25,22
32 42086 6 15 0,42 0,0150 1,10 0,90 23,12
33 36337 4 13 0,29 0,0106 0,78 0,80 21,15
34 33835 3 12 0,23 0,0083 0,61 0,70 19,31
35 29547 2 11 0,23 0,0084 0,62 0,61 17,61
36 25441 2 9 0,19 0,0070 0,51 0,54 16,05
37 23728 1 9 0,15 0,0053 0,39 0,46 14,65
38 22165 1 8 0,12 0,0043 0,32 0,40 13,42
39 20539 1 7 0,11 0,0040 0,29 0,35 12,36
40 18106 1 7 0,11 0,0040 0,29 0,30 11,48
41 15609 1 6 0,11 0,0040 0,29 0,27 10,80
42 13738 1 5 0,11 0,0040 0,29 0,24 10,32
43 11554 0 4 0,11 0,0040 0,29 0,23 10,05
44 9115 0 3 0,11 0,0040 0,29 0,23 10,00
45 6125 0 2 0,11 0,0040 0,29 0,24 10,18
46 2037 0 1 0,11 0,0040 0,29 0,26 10,59
47 930 0 0 0,11 0,0040 0,29 0,29 11,25
48 222 0 0 0,11 0,0040 0,29 0,34 12,17
Total 2239109 808 808 37,66 1,3595 100
Rata-Rata 46648 16,84 16,84 0,78 0,0283
y = 8E-05x3- 0,004x2- 0,068x + 4,894 R² = 0,978
0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Jarak dari pusat kota (km)
Skorjarakdaripusatkota
2. Skor jarak terhadap pusat desa/pemukiman
Skor dugaan (estimated score) yang dihasilkan dari persamaan regresi antara skor aktual dan jarak, mengikuti pola polinomial (cubic) dengan koefisien determinasi (R
2) 96,3 % yang berarti dapat menjelaskan 96,3% variasi hubungan tersebut. Dari Gambar 21 menunjukkan bahwa semakin dekat dengan pusat desa nilai skor dugaan semakin besar.
Tabel 20 Skor faktor jarak terhadap pusat desa/pemukiman
Jarak Desa (km)
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot (Oi)
Jumlah Hotspot Harapan (Ei)
Oi / Ei HS / Km2
Skor Aktual
Skor Dugaan
Rescaled Score
1 55972 27 21 1,29 0,0488 6,04 6,87 100,00
2 153000 77 58 1,32 0,0500 6,19 6,48 94,24
3 212743 111 81 1,37 0,0521 6,45 6,11 88,76
4 233117 120 88 1,35 0,0513 6,35 5,76 83,55
5 226824 109 86 1,27 0,0480 5,94 5,43 78,61
6 195633 88 74 1,19 0,0452 5,59 5,11 73,93
7 154230 64 58 1,09 0,0412 5,10 4,81 69,49
8 120450 43 46 0,93 0,0354 4,38 4,53 65,28
9 99919 33 38 0,87 0,0329 4,07 4,26 61,31
10 86015 26 33 0,80 0,0303 3,75 4,01 57,55
11 76543 21 29 0,73 0,0276 3,41 3,77 54,00
12 72316 21 27 0,77 0,0290 3,59 3,54 50,65
13 68909 18 26 0,69 0,0263 3,25 3,33 47,49
14 67035 18 25 0,71 0,0270 3,34 3,13 44,51
15 62335 16 24 0,68 0,0256 3,17 2,94 41,70
16 54698 12 21 0,57 0,0216 2,67 2,76 39,06
17 44340 8 17 0,47 0,0178 2,20 2,59 36,57
18 37851 7 14 0,50 0,0191 2,36 2,43 34,22
19 34324 6 13 0,46 0,0176 2,18 2,28 32,01
20 31706 5 12 0,42 0,0158 1,95 2,14 29,92
21 28179 4 11 0,35 0,0134 1,66 2,01 27,95
22 25780 3 10 0,35 0,0131 1,62 1,88 26,08
23 22354 2 8 0,29 0,0111 1,37 1,76 24,32
24 17318 2 7 0,35 0,0133 1,65 1,65 22,64
25 13645 2 5 0,39 0,0146 1,81 1,54 21,04
26 10587 2 4 0,42 0,0158 1,95 1,44 19,51
27 9277 1 4 0,39 0,0149 1,84 1,34 18,05
28 7949 1 3 0,38 0,0143 1,77 1,24 16,63
29 6787 1 3 0,31 0,0118 1,46 1,15 15,26
30 5616 0 2 0,22 0,0084 1,04 1,06 13,92
31 2494 0 1 0,17 0,0065 0,80 0,97 12,60
32 1073 0 0 0,12 0,0045 0,56 0,88 11,30
33 88 0 0 0,11 0,0040 0,49 0,80 10,00
Total 2239109 849 849 21,33 0,8083 100
Rata-Rata 67852 25,71 25,71 0,65 0,0245
Gambar 21 Pola skor dugaan dari faktor jarak terhadap pusat desa/pemukiman 3. Skor jarak terhadap sungai
Skor dugaan untuk jarak dari sungai mengikuti pola polinomial (cubic) dengan koefisien determinasi (R
2) 93,6% yang menunjukkan bahwa kedekatan jarak dengan sungai tidak mempengaruhi tingginya kepadatan hotspot.
Tabel 21 Skor faktor jarak terhadap sungai
Jarak Sungai
(km)
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot (Oi)
Jumlah Hotspot Harapan (Ei)
Oi / Ei HS / Km2
Skor Aktual
Skor Dugaan
Rescaled Score
1 384823 142,38 151 0,94 0,0370 3,18 3,23 10,57
2 353792 123,12 139 0,89 0,0348 2,99 3,20 10,26
3 322282 119,57 126 0,95 0,0371 3,19 3,18 10,04
4 280222 107,04 110 0,98 0,0382 3,29 3,18 10,00
5 243587 92,32 95 0,97 0,0379 3,26 3,20 10,25
6 192049 74,90 75 1,00 0,0390 3,35 3,26 10,88
7 144348 59,76 57 1,06 0,0414 3,56 3,36 12,01
8 107122 47,56 42 1,13 0,0444 3,82 3,52 13,72
9 69654 32,32 27 1,18 0,0464 3,99 3,74 16,11
10 46166 22,76 18 1,26 0,0493 4,24 4,03 19,30
11 34055 16,72 13 1,25 0,0491 4,22 4,41 23,38
12 22742 11,12 9 1,25 0,0489 4,21 4,88 28,44
13 14933 7,93 6 1,36 0,0531 4,57 5,44 34,59
14 9626 5,68 4 1,51 0,0590 5,07 6,12 41,93
15 5305 4,30 2 2,07 0,0810 6,97 6,92 50,57
16 3180 3,37 1 2,71 0,1060 9,12 7,84 60,59
17 2671 3,20 1 3,06 0,1197 10,30 8,90 72,10
18 2047 2,51 1 3,13 0,1226 10,55 10,11 85,21
19 504 0,59 0 3,00 0,1177 10,12 11,47 100,00
Total 2239109 877 877 29,68 1,1626 100
Rata-Rata 57413 22,49 22,49 0,76 0,0298
y = -0,0001x3+ 0,010x2 - 0,417x + 7,276 R² = 0,963
0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00
0 5 10 15 20 25 30 35
Skorjarakdaripusatdesa
Jarak dari pusat desa (km)
Gambar 22 Pola skor dugaan faktor jarak dari sungai 4. Skor jarak terhadap jalan
Skor dugaan (estimated score) untuk jarak dari jalan mengikuti pola polinomial (cubic) dengan koefisien determinasi (R
2) 84,2% yang berarti dapat menjelaskan 84,2% variasi hubungan tersebut. Dari Gambar 23 menunjukkan bahwa semakin dekat dengan jalan nilai skor dugaan semakin besar.
Tabel 22 Skor faktor jarak terhadap jalan
Jarak jalan (km)
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot (Oi)
Jumlah Hotspot Harapan (Ei)
Oi / Ei HS / Km2
Skor Aktual
Skor Dugaan
Rescaled Score
1 572566 304,03 220 1,38 0,0531 9,90 11,15 100,00
2 381310 182,65 146 1,25 0,0479 8,93 8,77 77,82
3 290576 116,81 112 1,05 0,0402 7,49 6,91 60,59
4 230994 78,31 89 0,88 0,0339 6,32 5,54 47,79
5 184983 54,39 71 0,77 0,0294 5,48 4,58 38,88
6 143132 34,64 55 0,63 0,0242 4,51 3,98 33,34
7 107510 20,64 41 0,50 0,0192 3,58 3,69 30,62
8 83855 16,10 32 0,50 0,0192 3,58 3,65 30,19
9 62772 10,99 24 0,46 0,0175 3,26 3,79 31,52
10 46469 7,71 18 0,43 0,0166 3,09 4,07 34,09
11 35254 7,02 14 0,52 0,0199 3,71 4,42 37,34
12 26000 5,93 10 0,59 0,0228 4,25 4,78 40,76
13 19943 4,95 8 0,65 0,0248 4,62 5,11 43,81
14 15533 4,24 6 0,71 0,0273 5,09 5,34 45,96
15 12611 3,97 5 0,82 0,0315 5,87 5,42 46,67
16 10909 3,64 4 0,87 0,0334 6,23 5,28 45,41
17 7735 2,36 3 0,79 0,0305 5,68 4,88 41,64
18 4796 1,60 2 0,87 0,0334 6,23 4,15 34,84
19 1760 0,14 1 0,20 0,0077 1,44 3,03 24,47
20 401 0,02 0 0,10 0,0040 0,75 1,48 10,00
Total 2239109 860 860 13,97 0,5365 100
Rata-Rata 111955 43,01 43,01 0,70 0,0268 y = 0,001x3- 0,005x2- 0,023x + 3,258
R²= 0,936
0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jarak dari sungai (km)
Skorjarakdarisungai
Gambar 23 Pola skor dugaan faktor jarak dari jalan
5. Skor faktor penggunaan lahan
Skor dugaan (estimated score) yang dihasilkan dari persamaan regresi antara skor aktual dan tipe penggunaan lahan, mengikuti pola polinomial (cubic) dengan koefisien determinasi (R
2) 96,9 % yang berarti dapat menjelaskan 96,9%
variasi hubungan tersebut. Dari Gambar 25 menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk transmigrasi memiliki skor dugaan tertinggi dan hutan lindung memiliki.
Tabel 23 Skor faktor penggunaan lahan
Penggunaan lahan
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot (Oi)
Jumlah Hotspot Harapan (Ei)
Oi / Ei HS / Km2
Skor Aktual
Skor Dugaan
Rescaled Score
TRANS 23367 23,67 9 2,68 0,1013 29,19 28,25 100,00
APL 421273 225,80 159 1,42 0,0536 15,45 18,09 62,77
KBN 124692 62,97 47 1,34 0,0505 14,55 12,60 42,65
HTI 177259 63,28 67 0,95 0,0357 10,29 10,31 34,24
E-HPH 1000609 353,22 378 0,94 0,0353 10,17 9,74 32,16
HPH-A 250554 74,41 95 0,79 0,0297 8,56 9,43 31,02
KK 64450 17,66 24 0,73 0,0274 7,90 7,90 25,43
HL 176905 23,88 67 0,36 0,0135 3,89 3,69 10,00
Total 2239109 845 845 9,20 0,3470 100
Rata-Rata 447822 105,61 105,61 1,15 0,0434
y = -0,009x3+ 0,323x2- 3,288x + 14,12 R² = 0,842
0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Jarak dari jalan(km)
Skorjarakdarijalan
Gambar 24 Pola skor dugaan faktor penggunaan lahan
6. Kepadatan hotspot terhadap skor tutupan lahan
Tipe tutupan lahan memiliki skor dugaan (estimated score) dengan pola polinomial (cubic) dan nilai koefisien determinasi (R
2) adalah 96,80%. Skor dugaan ini kemudian dikonversi nilainya menjadi skor skala (rescaled score) dari nilai 10 sampai dengan 100. Dari Gambar 25 menunjukkan bahwa tipe tutupan lahan berupa sawah dan perkebunan memiliki skor dugaan tertinggi yaitu 17,14 dan 15,84 sedangkan untuk tutupan lahan bervegetasi hutan mangrove memiliki skor tutupan lahan terendah yaitu 8,23.
Tabel 24 Skor faktor tutupan lahan
Tutupan lahan
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot (Oi)
Jumlah Hotspot Harapan (Ei)
Oi / Ei HS / Km2
Skor Aktual
Skor Dugaan
Rescaled Score
SWH 44403 29,22 16,47 1,77 0,0658 17,24 17,14 100,00
KBN 51663 31,77 19,16 1,66 0,0615 16,12 15,84 86,83
TK 52301 26,94 19,40 1,39 0,0515 13,50 14,59 74,20
PLK 751144 380,08 278,60 1,36 0,0506 13,26 13,39 62,13 SB 248435 109,06 92,14 1,18 0,0439 11,50 12,25 50,60
PMKM 8073 3,44 2,99 1,15 0,0426 11,16 11,17 39,63
HR 452469 139,81 167,82 0,83 0,0309 8,10 10,14 29,20
HLK 531462 93,01 197,12 0,47 0,0175 4,59 9,16 19,33
HM 99158 17,15 36,78 0,47 0,0173 4,53 8,23 10,00
Total 2239109 830 830 10,29 0,3816 100
Rata-Rata 447822 92,28 92,28 1,14 0,0424
y = -0,245x
3+ 3,804x
2- 19,85x + 44,54 R² = 0,969
0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Tipe penggunaan lahan
Sk or pe ng gu na an la ha n
TRANS APL KBN HTI E-HPH HPH-A KK HL
y = -0,006x3+ 0,034x2- 1,387x + 18,50 R² = 0,968
- 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00 20,00
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tipe tutupan lahan
Sk or tu tu pa n la ha n
y = -8,100x + 62,15 R² = 1
45,00 46,00 47,00 48,00 49,00 50,00 51,00 52,00 53,00 54,00 55,00
0,9 1,4 1,9
Keberadaan gambut
Sk or ke be ra da an ga m bu t
Gambar 25 Pola skor dugaan faktor tutupan lahan
7. Kepadatan hotspot terhadap skor keberadaan gambut
Skor dugaan (estimated score) untuk variabel keberadaan gambut mengikuti pola linier karena hanya memiliki 2 sub faktor. Dari Gambar 26 menunjukkan bahwa skor dugaan non gambut lebih dari skor dugaan gambut.
Tabel 25 Skor faktor keberadaan gambut
Gambar 26 Pola skor dugaan faktor keberadaan gambut
Keberadaan Gambut
Luas (Ha)
Jumlah Hotspot (Oi)
Jumlah Hotspot Harapan (Ei)
Oi / Ei HS / Km2
Skor Aktual
Skor Dugaan
Rescaled Score
Non Gambut 1850428 753 734 1,027 0,0407 54,05 54,05 100,00 Gambut 388681 134 154 0,873 0,0346 45,95 47,56 10,00
Total 2239109 888 888 1,9 0,0753 100,00
Rata-Rata 101778 443,80 443,80 0,95 0,0377
Non Gambut Gambut
SWH KBN TK PLK SB PMKM HR HLK HM
Tipe tutupan lahan
Skortutupanlahan