• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV. Hasil dan Pembahasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab IV. Hasil dan Pembahasan"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

Bab IV. Hasil dan Pembahasan

4.1 Periode Basah dan Kering

Deskripsi statistik curah hujan, evapotranspirasi, kelembapan, dan debit sungai bulanan ditunjukkan pada Gambar IV.1. Pola curah hujan bulanan di daerah aliran Sungai Citarum menunjukkan pola curah hujan monsun yang berbentuk “V” dengan curah hujan maksimum berada pada bulan Desember-Januari-Februasi (DJF) dan minimum pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA). Rata-rata curah hujan tiap bulan berkisar antara 51 mm (Agustus) hingga 248 mm (Nopember). Rata-rata evapotransprasi tiap bulan bervariasi antara 95 mm (Januari) hingga 113 mm (September). Rata-rata kelembapan tiap bulan terendah adalah 84,8% (Agustus) dan tertinggi adalah 85,3% (Februari). Rata-rata debit sungai tiap bulan berkisar antara 170 juta m3 (Agustus) hingga 780 juta m3 (Maret).

Frekuensi curah hujan tidak menunjukkan distribusi normal dan frekuensi tertinggi berada antara 25 mm hingga 125 mm. Ini menunjukkan bahwa curah hujan daerah aliran Sungai Citarum didominasi oleh curah hujan rendah. Frekuensi evapotranspirasi menunjukan sebaran normal dengan frekuensi tertinggi berada pada 105 mm. Frekuensi kelembapan juga menunjukkan distribusi yang normal dengan frekuensi tertinggi berada pada 85 % hingga 86%. Berbeda dengan frekuensi evapotranspirasi maupun kelembapan, frekuensi debit sungai tidak menunjukkan distribusi yang normal dimana frekuensi tertinggi menyebar antara 69 juta m3 hingga 622 juta m3 (Gambar IV.2).

Berdasarkan distribusi spasial curah hujan seperti ditunjukkan pada Gambar IV.3, curah hujan tertinggi terjadi di sebelah utara dan selatan daerah aliran Sungai Citarum (sekitar pegunungan) sedangkan curah hujan terendah terjadi di sebelah timur. Hal ini dicirikan dengan kontur distribusi curah hujan yang lebih rapat di sebelah utara dan selatan dan kurang rapat di sebelah timur. Fakta ini mengindikasikan bahwa curah hujan di daerah aliran Sungai Citarum sangat dipengaruhi oleh topografi dimana tipe hujan orografi sangat dominan.

(2)

Gambar IV.1. Distribusi rata-rata hidrometeorologi daerah aliran Sungai Citarum Hulu dan

Tengah (J=Januari, F=Februari, M=Maret, A=April, M=Mei, J=Juni, J=Juli, A=Agustus, S=September, O=Oktober, N=November, D=Desember).

Gambar IV.2. Frekuensi komponen hidrometeorologi daerah aliran Sungai Citarum Hulu dan

Tengah.

Jumlah kumulatif (CUSUM) curah hujan bulanan di daerah aliran Sungai Citarum mempunyai kemiringan naik pada periode 1968-1981 dan turun pada periode 1978-2000 seperti ditunjukkan pada Gambar IV.4.

(3)

107.1 107.2 107.3 107.4 107.5 107.6 107.7 107.8 -7.2 -7.1 -7 -6.9 -6.8 -6.7 -6.6 -6.5 Bandung DAM Jatiluhur DAM Cirata DAM Saguling Purwakarta 107.1 107.2 107.3 107.4 107.5 107.6 107.7 107.8 -7.2 -7.1 -7 -6.9 -6.8 -6.7 -6.6 -6.5 Bandung DAM Jatiluhur DAM Cirata DAM Saguling Purwakarta 107.1 107.2 107.3 107.4 107.5 107.6 107.7 107.8 -7.2 -7.1 -7 -6.9 -6.8 -6.7 -6.6 -6.5 Bandung DAM Jatiluhur DAM Cirata DAM Saguling Purwakarta Gambar IV.3. Distribusi spasial curah hujan daerah aliran Sungai Citarum Hulu dan Tengah

Periode DJF

Periode JJA

(4)

Hal ini mengindikasikan bahwa pada daerah tersebut terdapat tiga periode yaitu basah (1968-1981), normal (1981-1987), dan kering (1987-2000). Periode kering tersebut berkaitan erat dengan makin berkurangnya curah hujan. Sementara itu pola CUSUM evapotranspirasi mempunyai kemiringan turun pada periode 1968-1981 dan kemiringan naik terjadi pada periode 1987-2000 (Ruminta, 2006). Persistensi evapotranspirasi yang turun mencerminkan periode basah sebaliknya persistensi yang naik mencerminkan periode kering.

Sementara itu debit sungai bulanan mempunyai konsistensi mendatar (stabil) pada periode 1968-1987 dan 1994-2000, konsistensi sedikit turun pada periode 1987-1991, dan konsistensi sedikit naik pada periode 1991-1994. Walaupun demikian, sebenarnya debit sungai tidak mempunyai persistensi yang tegas.

Kelembapan bulanan mempunyai konsistensi turun pada periode 1968-1977 kemudian naik pada periode 1978-1989. Konsistensi kelembapan bulanan relatif normal pada periode 1989-2000. Konsistensi kelembapan yang turun diakibatkan adanya konsistensi evapotranspirasi yang turun di daerah aliran Sungai Citarum. Demikian juga dengan sebaliknya konsistensi kelembapan yang naik diakibatkan oleh adanya konsistensi evapotranspirasi naik.

Gambar IV.4. Jumlah kumulatif (CUSUM) hidrometeorologi daerah aliran Sungai Citarum Hulu

dan Tengah (R=Curah Hujan, ET=Evapotranspirasi, RH=Kelembapan, Q=Debit Sungai).

(5)

Pola jumlah kumulatif komponen hidrometeorologi periode tahunan mempunyai kemiripan dengan pola jumlah kumulatif periode bulanan tetapi berbeda dengan pola jumlah kumulatif periode DJF maupun JJA (Lampiran H).

Adanya konsistensi kemiringan naik dan turun pada CUSUM mengindikasikan bahwa di daerah aliran sungai terjadi periode basah dan kering yang sangat tegas (seperti digambarkan oleh tiga komponen hidrometeorologi) dapat disebabkan oleh dinamika penutupan lahan, penggundulan hutan, dan tataguna lahan selain perubahan iklim dan dinamika fenomena iklim Global (Ruminta et al., 2006).

4.2 Variabilitas Hidrometeorologi

Standar deviasi curah hujan, evapotranspirasi, kelembapan, dan debit sungai sangat bervariatif (Tabel IV.1), masing-masing adalah 113, 20, 2, dan 302. Standar deviasi curah hujan dan debit sungai bulanan jauh lebih besar dibanding evapotranspirasi dan kelembapan. Hal ini mengindikasikan bahwa konsistensi curah hujan dan debit sungai bulanan lebih rendah dibanding evapotranspirasi dan kelembapan bulanan.

Tabel IV.1. Nilai statistik curah hujan, evapotranspirasi, kelembapan, dan debit sungai bulanan. Parameter Curah Hujan Evapotranspirasi Kelembapan Debit Sungai

(mm) (mm) (%) (juta m3) Rata-rata Minimum Maksimum STDEV CV (%) 154 105 85 491 0 38 78 0 496 362 90 1382 113 20 2.2 302 73 19 3 62

Dinamika standar deviasi curah hujan, evapotranspirasi, kelembapan, dan debit sungai bulanan (untuk rataan 108 bulanan) ditunjukkan pada Gambar IV.5. Standar deviasi curah hujan bulanan cenderung turun pada periode 1972-1991. Hal ini mengindikasikan bahwa curah hujan bulanan pada periode tersebut cenderung makin stabil. Sebaliknya standar deviasi evapotranspirasi bulanan cenderung naik, mengindikasikan bahwa proses evapotranspirasi bulanan pada periode tersebut cenderung labil.

(6)

Standar deviasi kelembapan bulanan sangat dinamis, naik tajam pada perode 1972-1981 dan turun tajam pada periode 1985-1991. Hal ini mengindikasikan bahwa proses kelembapan bulanan pada periode pertama makin labil dan periode kedua makin stabil. Sementara itu standar deviasi debit sungai bulanan relatif konstan pada periode 1972-1996. Hal ini mengindikasikan bahwa proses debit sungai bulanan pada periode tersebut sangat stabil. Fluktuasi standar deviasi curah hujan dan kelembapan bulanan jauh lebih tinggi dibanding evapotranspirasi maupun debit sungai bulanan. Fakta ini mengindikasikan bahwa proses curah hujan dan kelembaban bulanan di daerah aliran Sungai Citarum merupakan proses yang tidak stabil.

Variabilitas curah hujan bulanan merupakan yang tertinggi kemudian diikuti oleh debit sungai, evapotranspirasi, dan kelembapan bulanan. Nilai variabilitasnya masing-masing adalah 73, 62, 19, dan 3% (Tabel IV.1). Curah hujan dan debit sungai mempunyai variabilitas yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa proses curah hujan dan debit sungai sangat chaotic.

Gambar IV.5. Pola dinamika standar deviasi (STDEV) komponen hidrometeorologi.

Variabilitas evapotranspirasi dan kelembapan cukup rendah, menunjukkan bahwa proses evapotranspirasi maupun kelembapan lebih beraturan. Fakta tersebut

(7)

mengindikasikan bahwa konsistensi atau persistensi curah hujan dan debit sungai bulanan lebih kecil.

Dinamika rara-rata atau Moving Average (MA) dan koefisien variasi (KV) hidrometeorologi bulanan (untuk rataan 108 bulanan) ditunjukkan pada Gambar IV.6 dan IV.7. Rata-rata curah hujan bulanan cenderung turun pada periode 1972-1991 dan naik pada periode 1972-1991-1996. Penurunan rata-rata curah hujan tersebut ada indikasi yang kuat akibat adanya penurunan luas hutan di daerah aliran Sungai Citarum sekitar 21% sedangkan kenaikan rata-rata curah hujan pada periode 1991-1996 akibat adanya campur tangan manusia melalui pelaksanaan hujan buatan. Penurunan luas hutan menyebabkan lemahnya fungsi hutan sebagai pemicu terjadinya konveksi sehingga pembentukan awan dan hujan konveksi makin berkurang. Sementara itu koefisien variasi curah hujan bulanan cenderung naik pada periode pertama dan turun pada periode kedua. Hal ini mengindikasikan bahwa curah hujan bulanan cenderung turun akan tetapi variabilitasnya makin besar. Makin besarnya variabilitas curah hujan juga disebabkan adanya penurunan luas hutan dan perubahan penutupan lahan.

(8)

Gambar IV.7. Dinamika rerata dan koefisien variasi kelembapan (RH) dan debit sungai (Q).

Pola rata-rata dan koefisien variasi evapotranspirasi bulanan mempunyai dinamika yang hampir sama yaitu cenderung naik pada periode 1972-1991 dan konstan pada periode 1991-1996. Fakta ini mengindikasikan bahwa evapotranspirasi bulanan cenderung naik dan variabilitasnya makin tinggi. Kenaikan rata-rata evapotranspirasi tersebut akibat adanya kenaikan lahan pemukiman dan industri yang sangat tinggi sekitar 146% (Karsidi, 1998; Fahmudin dan Wahyunto, 2003).

Pola rata-rata kelembapan bulanan agak naik pada periode 1972-1984 dan agak turun pada periode 1984-1996. Dinamika koefisien variasi kelembapan bulanan cenderung konstan pada periode 1972-1983 dan naik tajam pada periode 1983-1993. Fakta ini mengindikasikan bahwa kelembapan bulanan cenderung tidak berubah walaupun variabilitasnya makin tinggi. Kenaikan rata-rata kelembapan tersebut akibat adanya kenaikan evaporasi dari lahan pemukiman dan industri yang sangat tinggi.

Pola rata-rata debit sungai bulanan agak turun pada periode 1972-1986 dan naik pada periode 1986-1996. Dinamika koefisien variasi debit sungai bulanan cenderung konstan pada periode 1972-1983 dan naik tajam pada periode 1983-1989. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa debit sungai bulanan tidak berubah

(9)

dan variabilitasnya sangat dinamis. Penurunan rata-rata debit sungai tersebut terutama disebabkan oleh penurunan curah hujan sebagai konsekwensi adanya penurunan luas hutan dan perubahan penutupan lahan dan setelah tahun 1986 debit sungai cenderung meningkat sebagai akibat campur tangan manusia melalui pelaksanaan hujan buatan.

Hubungan antar komponen hidrometeorologi daerah aliran Sungai Citarum sangat kuat. Uji signifikan korelasi ditunjukkan pada Lampiran I. Hal ini ditunjukkan oleh adanya korelasi yang signifikan di antara komponen hidrometeorologi seperti terlihat pada Tabel IV.2 dan Lampiran J. Debit sungai mempunya korelasi sangat signifikan dengan curah hujan dan evapotranspirasi. Curah hujan tinggi menyebabkan debit sungai meningkat (korelasi positif). Sementara itu evapotranspirasi tinggi menyebabkan debit sungai menurun (korelasi negatif). Pola korelasi antar komponen hidrometeorologi sangat dinamis seperti ditunjukkan pada Gambar IV.8.

Tabel IV.2. Koefisien korelasi antara komponen hidrometeorologi.

Curah Hujan Evapotranspirasi Kelembapan

Evapotranspirasi Kelembapan Debit Sungai -0,191* 0,019 0,130* 0,689** -0,510** -0,063* * = Signifikan pada selang kepercayaan 95% ; ** = Signifikan pada selang kepercayaan 98%

Gambar IV.8. Pola dinamika korelasi antara komponen hidrometeorologi.

(R=Curah hujan, ET=Evapotranspirasi, RH=Kelembapan, Q=Debit Sungai).

Selain itu, komponen hidrometeorologi tersebut juga berhubungan erat dengan fenomena global. Komponen hidrometeorologi mempunyai korelasi yang

(10)

signifikan dengan beberapa fenomena global seperti yang ditunjukkan pada Tabel IV.3 dan Lampiran K. Pola korelasi antara komponen hidrometeorologi dengan fenomena global sangat dinamis seperti ditunjukkan pada Gambar IV.9.

Tabel IV.3. Koefisien korelasi komponen hidrometeorologi dengan fenomena global Fenomena

Global

Komponen Hidrometeorologi

Curah Hujan Evapotranspirasi Kelembapan Debit Sungai

OLR QBO PDO PWP GT SOI DMI CIP PW -0,050 -0,116 -0,038 -0,182* 0,016 0,440** 0,021 0,036 -0,084 -0,084 0,206* -0,020 -0,070 0,309* 0,217* -0,012 -0,108* 0,301* 0,221* 0,035 0,042 -0,292* -0,028 0,020 -0,114* -0,386* 0,026 -0,184* -0,515** 0,220* -0,044 -0,610** 0,169* -0,107 0,361* 0,059

* = signifikan pada selang kepercayaan 95%; ** = signifikan pada selang kepercayaan 98% (Lampiran I)

Gambar IV.9. Pola dinamika korelasi hidrometeorologi dengan fenomena global

(R=Curah hujan, ET=Evapotranspirasi, RH=Kelembapan, Q=Debit Sungai, GT=Global Temperarture, DMI=Dipole Mode Indian, CIP=Central Indian

Precipitation, PW=Precipitable Water, QBO=Quasi-Biennial Oscillation, PWP=Pacific Warm Pool, PDO=Pacific Decadal Oscillation, OLR = Outgoing Longwave Radiation).

Curah hujan berhubungan kuat dengan monsun India. Curah hujan di daerah aliran Sungai Citarum sangat dipengaruhi oleh variabilitas monsun India. Hal ini ditunjukkan oleh korelasi negatif yang sangat signifikan antara curah hujan

(11)

dengan CIP yang merupakan salah satu indikator monsun India pada time lag 1 bulan. Ketika terjadi monsun India sangat intensif, angin monsun dari arah lautan Hindia Timur membawa massa udara lembap yang sangat banyak menuju daratan India sehingga curah hujan daratan India (CIP) sangat tinggi. Dalam perjananannya angin monsun tersebut menyerap uap air dari wilayah Indonesia bagian barat sehingga curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat berkurang. Sebaliknya ketika terjadi monsun India lemah, angin monsun dari arah lautan Hindia Timur menuju daratan India tidak banyak membawa massa udara lembab dari wilayah Indonesia sehingga curah hujan daratan India rendah dan curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat masih tetap tinggi (Saji dan Yamagata, 2003). Pola angin monsson India yang bertiup di lautan Hindia Timur dan wilayah Indonesia bagian barat ditunjukkan pada Gambar IV.10.

Gambar IV.10. Pola arah angin di Samudra Hindia ketika terjadi monsun sangat intensif

(sumber : Saji dan Yamagata, 2003).

Daerah aliran Sungai Citarum berdasarkan posisi geografisnya, lebih terbuka terhadap perubahan sirkulasi massa udara di lautan Hindia dibanding perubahan sirkulasi massa udara lautan Pasifik oleh karena itu dinamika curah hujannya akan lebih dipengaruhi dinamika massa udara lembab fenomena iklim yang terjadi di lautan Hindia termasuk monsun India. Ketika monsun Hindia terjadi sangat kuat,

(12)

pasokan massa udara lembab yang memasuki wilayah Indonesia bagian barat berkurang sehingga curah hujan yang turun juga berkurang. Sebagai konsekwensi kuatnya hubungan antara curah hujan dengan monsun India, maka debit sungai berhubungan kuat juga dengan monsun India. Dengan demikian debit Sungai Citarum secara tidak langsung sangat dipengaruhi oleh variabilitas monsun India. Seperti halnya curah hujan, debit sungai menunjukkan korelasi negatif yang sangat signifikan dengan monsun India (CIP).

Evapotranspirasi mempunyai hubungan yang kuat dengan QBO, DMI, PWP, dan GT (korelasinya cukup signifikan). Proses evapotranspirasi sangat dipengaruhi kondisi atmosfer terutama suhu dan potensi air yang indikasinya dapat diwakili masing-masing oleh GT dan PW. Selain itu, evapotranspirasi juga sangat dipengaruhi angin atau sirkulasi massa udara yang dapat diindikasikan oleh penonmena QBO dan DMI. Sementara itu kelembapan mempunyai hubungan yang cukup signifikan dengan potensi air presipitasi di atmosfer. Kelembapan sangat dipengaruhi oleh potensi air presipitasi di atmosfer, di mana PW merupakan indikatornya. Kelembapan atmosfer yang tinggi merupakan indikasi bahwa potensi air presipitasi di atmosfer tinggi pula.

Fakta di atas mengindikasikan bahwa proses hidrometeorologi di daerah aliran Sungai Citarum tidak hanya dipengaruhi oleh faktor lokal (perubahan penutupan lahan, penurunan luas hutan, perubahan penggunaan lahan, dan lain-lain) tetapi juga dipengaruhi oleh variabilitas fenomena global. Oleh karena itu dalam pengelolaan (penataan dan konservasi) daerah aliran Sungai Citarum di masa depan harus dilakukan secara komprehensif dengan memperhatikan dinamika faktor lokal dan fenomena global.

4.3. Sifat Chaotic Hidrometeorologi

Korelasi dimensi (exponensial) hidrometeorologi di daerah aliran Sungai Citarum dianalisis dari deret waktu curah hujan, evapotranspirasi, kelembapan, dan debit sungai bulanan. Delay time untuk merekontruksi phase-space ditentukan dengan menggunakan metode fungsi autokorelasi. Berdasarkan fungsi auto-korelasi curah

(13)

hujan, evapotranspirasi, kelembapan, dan debit sungai bulanan, nilai nol dapat dicapai oleh fungsi tersebut pada time lag tertentu (Tabel IV.4). Time lag tersebut dipergunakan sbagai delay time dalam merekontruksi phase-space.

Tabel IV.4. Time lag (τ) komponen hidrometeorologi.

Curah Hujan Evapotranspirasi Kelembapan Debit Sungai Time Lag (τ) Bulanan DJF JJA Tahunan 3 2 1 8 2 2 1 1 9 4 2 5 3 2 1 1

Hubungan antara nilai korelasi integral C(r) dengan radius (r) untuk data deret waktu hidrometeorologi bulanan pada embedding dimensi (d) dari 1 hingga 10 sangat beragam. Demikian juga dengan hubungan nilai korelasi exponensial (v) dengan nilai embedding dimensi (d) sangat bervariasi (Gambar IV.11).

Gambar IV.11. Hubungan antara nilai korelasi integral C(r) dengan radius (r) komponen

(14)

Korelasi dimensi curah hujan bulanan meningkat dengan naiknya dimensi sampai pada d sekitar 2 dan kemudian jenuh setelah nilai d tersebut. Jenuhnya dari korelasi dimensi menunjukkan bahwa curah hujan tersebut mempunyai dinamika deterministik. Dinamika curah hujan bersifat tunggal dan terbatas. Nilai jenuh dari korelasi dimensi curah hujan bulanan adalah 1.83. Korelasi dimensi evapotranspirasi bulanan juga naik dengan naiknya dimensi sampai pada d sekitar 2 dan kemudian jenuh setelah nilai d tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa evapotranspirasi bulanan juga mempunyai dinamika deterministik. Nilai jenuh dari korelasi dimensi evapotranspirasi bulanan adalah 1.68.

Nilai korelasi dimensi kelembapan bulanan meningkat dengan naiknya dimensi sampai pada d sekitar 2 dan kemudian tidak berubah setelah nilai d tersebut. Fakta ini menunjukkan bahwa kelembapan bulanan juga mempunyai dinamika deterministik. Nilai jenuh dari korelasi dimensi kelembapan bulanan adalah 1.23. Sementara itu, korelasi dimensi debit sungai menurun dengan naiknya embedding dimensi sampai pada d sekitar 2, kemudian naik sampai pada d sekitar 4, dan mencapai jenuh setelah nilai d tersebut. Debit sungai bulanan juga mempunyai dinamika deterministik. Nilai jenuh dari korelasi dimensi debit sungai bulanan adalah 2.05.

Korelasi dimensi baik untuk curah hujan, evapotranspirasi, kelembapan, maupun debit sungai bulanan mencapai jenuh dengan bertambahnya d, menunjukkan bahwa ke empat proses hidrometeorologi tersebut adalah proses chaotic (Sivakumar, 2002). Proses hidrometeorologi merupakaan suatu proses yang sangat random, tidak beraturan, dan dinamis. Kompilasi nilai korelasi dimensi hirdometeorologi bulanan di daerah aliran Sungai Citarum ditunjukkan pada Tabel IV.5, menunjukkan bahwa korelasi dimensi hidrometeorologi bulanan cukup beragam akan tetapi variasinya kecil.

Korelasi dimensi untuk deret waktu hidrometeorologi bulanan menunjukkan korelasi dimensi rendah (v<4) dan berarti bahwa deret waktu tersebut mempunyai sifat chaotic dimensi rendah (Ruminta et al., 2007a). Nilai dimensi curah hujan, evapotranspirasi, kelembapan, dan debit sungai bulanan masing-masing adalah

(15)

1.83, 1.68, 1.23, dan 2.05, menunjukkan bahwa jumlah minimum dari variabel penting untuk model dinamik dari proses hidrometeorologi bulanan tersebut masing-masing adalah 2, 2, 2, dan 3. Pola korelasi dimensi komponen hidrometeorologi periode DJF, JJA, maupun tahunan tidak berbeda jauh dengan pola korelasi dimensi periode bulanan seperti ditunjukkan pada Lampiran L.

Tabel IV.5. Nilai korelasi dimensi (ν) komponen hidrometeorologi.

Periode Korelasi Dimensi (v)

Curah Hujan Evapotranspirasi Kelembapan Debit Sungai

Bulanan DJF JJA Tahunan 1.83 2.27 1.98 2.00 1.68 2.05 2.07 2.21 1.23 1.40 1.37 1.65 2.05 2.12 1.71 1.69

4.4. Sifat Fraktal Hidrometeorologi

Fungsi distribusi probabilitas (PDF) empirik dipergunakan untuk mengetahui sifat fraktal (mono-fraktal atau multi-fraktal) dari suatu deret waktu. Jika nilai qD (probabilitas eksponensial) dari deret waktu lebih kecil dari 2.0, menunjukkan bahwa deret waktu tersebut mempunyai sifat mono-fraktal. Sebaliknya jika nilai

qD tersebut lebih besar dari 2 menunjukkan bahwa deret waktu tersebut bersifat

multi-fraktal ((Sivakumar, 2002). Nilai qD merupakan garis regresi linier yang diestimasi dari fungsi distribusi probabilitas empirik menggunakan persamaan regresi.

Fungsi logaritma distribusi probabilitas empirik terhadap logaritma suatu kejadian hidrometeorologi bulanan di daerah aliran Sungai Citarum ditunjukkan pada Gambar IV.12. Distribusi probabilitas empirik hidrometeorologi tersebut mempunyai bentuk hiperbolik. Pendekatan terhadap distribusi probabilitas empirik tersebut ditunjukkan oleh garis lurus berwarna hitam yang mempunyai gradien negatif.

Nilai probabilitas eksponensial (qD) curah hujan dan evapotranspirasi bulanan masing-masing adalah 0.75 dan 3.89. Nilai qD curah hujan bulanan lebih kecil

(16)

dari 2.0, menunjukkan bahwa proses curah hujan bulanan mempunyai sifat mono-fraktal. Sedangkan nilai qD evapotranspirasi bulanan lebih besar dari 2.0, menunjukkan bahwa proses evapotranspirasi bulanan mempunyai sifat multi-fraktal.

Gambar IV.12. Fungsi empirik probabilitas komponen hidrometeorologi

Nilai qD kelembapan dan debit sungai bulanan masing-masing adalah 29.50 dan 0.80. Nilai qD kelembapan bulanan lebih besar dari 2.0, menunjukkan bahwa kelembapan bulanan mempunyai sifat multi-fraktal. Sementara itu nilai qD debit sungai bulanan lebih kecil dari 2.0, menunjukkan bahwa proses debit sungai bulanan mempunyai sifat mono-fraktal.

Kompilasi nilai probabilitas eksponensial (qD) komponen hirdometeorologi di daerah aliran Sungai Citarum ditunjukkan pada Tabel IV.6. Nilai qD untuk curah hujan, evapotranspirasi, kelembapan, dan debit sungai bulanan sangat beragam, ada dua tipe yaitu lebih kecil dari 2 (mono-fraktal) dan lebih besar dari 2 (multi-fraktal). Nilai qD curah hujan dan debit sungai bulanan lebih kecil dari 2 menunjukkan bahwa kedua proses hidrometeorologi tersebut bersifat mono-fraktal. Sementar itu nilai qD evapotranspirasi dan kelembapan bulanan semuanya lebih besar dari 2 menunjukkan bahwa kedau proses hidrometeorologi tersebut bersifat multi-fraktal (Ruminta et al., 2007).

(17)

Tabel IV.6. Nilai probabilitas eksponensial (qD) komponen hidrometeorologi.

Periode Probabilitas Exponensial (qD)

Curah Hujan Evapotranspirasi Kelembapan Debit Sungai

Bulanan DJF JJA Tahunan 0.75 2.13 1.29 5.41 3.89 6.62 4.56 7.29 29.50 45.30 60.10 49.20 0.80 5.63 1.64 4.21

4.5. Periode Ulang Nilai Ekstrim

Analisis periode ulang komponen hidrometeorologi dilakukan untuk mengetahui siklus kejadian-kejadian nilai ekstrim (minimum dan maksimum). Kajian periode ulang nilai ekstrim tersebut dapat dilakukan melalui analisis terhadap variasi penurunan dan distribusi probabilitas dari deret waktu hidrometeorologinya. Periode ulang untuk kejadian-kejadian maksimum dan minimum pada komponen hidrometeorologi bulanan ditunjukkan pada Gambar IV.13.

Nilai curah hujan bulanan antara 300-400 mm, 400-500 mm, dan di atas 500 mm mempunyai periode ulang masing-masing antara 7-40 bulan, 40-170 bulan, dan di atas 170 bulan. Curah hujan bulanan antara 0-25 mm dan 25-50 mm mempunyai periode ulang masing-masing di atas 200 bulan dan 25-200 bulan. Sementara itu periode ulang curah hujan ekstrim tinggi (>234 mm atau Quartil 3) dan ekstrim rendah (<63 mm atau Quartil 1) masing-masing adalah di atas 5 dan 25 bulan. Periode ulang evapotranspirasi bulanan antara 130-145 mm dan di atas 145 mm mempunyai periode ulang masing-masing antara 10-100 bulan dan di atas 100 bulan. Sementara itu untuk evapotranspirasi bulanan di bawah 70 mm dan antara 70-100 mm mempunyai periode ulang masing-masing di atas 50 bulan dan 3-50 bulan. Periode ulang kelembapan bulanan di atas 88% adalah di atas 30 bulan. Sementara itu untuk nilai kelembapan bulanan di bawah 80% mempunyai periode ulang di atas 100 bulan.

Debit sungai bulanan antara 1000-1200 juta m3 dan di atas 1200 juta m3 mempunyai periode ulang masing-masing antara 15-80 bulan dan di atas 80 bulan. Debit sungai bulanan minimum antara 150-200 juta m3 dan di bawah 150

(18)

juta m3 mempunyai periode ulang masing-masing antara 40-500 bulan dan di atas 500 bulan. Sementara itu periode ulang curah hujan ekstrim tinggi (>702 juta m3 atau Quartil 3) dan ekstrim rendah (< 239 juta m3 atau Quartil 1) masing-masing adalah di atas 5 dan 25 bulan.

Gambar IV.13. Periode ulang nilai ekstrim komponen hidrometeorologi.

Nilai-nilai parameter (a, b, dan c) dan variasi penurunan untuk komponen hidrometeorologi di daerah aliran Sungai Citarum sangat beragam seperti ditunjukkan pada Tabel IV.7. Namun demikian variasi penurunan komponen hidrometeologi tersebut mempunyai pola yang sama yaitu garis linier.

(19)

Tabel IV.7. Nilai parameter a, b, dan c dan variasi penurunan komponen hidrometeorologi.

Komponen Hidrometeorologi

Parameter Variasi Penurunan

y1/a =(x-b)/c a b c Curah Hujan Evapotranspirasi Kelembapan Debit Sungai 1.769 5.315 13.959 2.133 178.0 95.1 22.5 261.2 23 18 63 101 0 . 187 / ) 23 (xi − 1 . 95 / ) 18 (xi − 5 . 22 / ) 63 (xi − 2 . 561 / ) 101 (xi4.6. Periodisitas Hidrometeorologi

Analisis power spektrum digunakan untuk mengkaji siklik atau periodisitas komponen hidrometeorologi. Power spektrum komponen hidrometeorologi periode bulanan di daerah aliran Sungai Citarum mempunyai pola yang beragam (Gambar IV.14). Demikian juga untuk power spektrum komponen hidrometeorologi periode DJF, JJA, maupun tahunan mempunyai pola yang sangat beragam seperti ditunjukkan pada Lampiran M.

Power spektrum curah hujan bulanan mempunyai puncak utama pada frekuensi 0.008-0.01, puncak ke-2 pada frekuensi 0.05-0.11, dan puncak ke-3 pada frekuensi 0.15-0.17. Ini mengindikasikan bahwa curah hujan bulanan mempunyai siklik utama yaitu 100-125 bulanan dan siklik ke-2 dan ke-3 masing-masing yaitu 9-20 bulanan dan 5-7 bulanan. Siklik utama curah hujan hampir sama dengan siklik sunspot matahari yang berkisar antara 10-11 tahunan. Indikasi ini menunjukkan bahwa siklus curah hujan berhubungan kuat dengan siklus matahari. Evapotranspirasi bulanan mempunyai puncak utama pada frekuensi 0.0 dan puncak ke-2 pada frekuensi 0.08. Ini mengindikasikan bahwa evapotranspirasi bulanan tidak mempunyai siklik utama dan hanya mempunyai siklik ke-2 yaitu 12 bulanan. Kelembapan bulanan mempunyai puncak utama juga pada frekuensi 0.0 dan puncak ke-2 pada frekuensi 0.06, ini berarti bahwa kelembapan bulanan juga tidak mempunyai siklik utama tetapi hanya mempunyai siklik ke-2 yaitu 16 bulanan. Sementara itu power spektrum debit sungai bulanan mempunyai puncak utama pada frekuensi 0.04-0.11, puncak ke-3 pada 0.14-0.15, dan puncak ke-3 pada frekuensi 0.19-0.20. Fakta ini mengindikasi bahwa debit sungai bulanan

(20)

mempunyai siklik utama yaitu 9-25 bulanan dan siklik ke-2 dan ke-3 masing-masing yaitu 6-7 bulanan dan 5 bulanan.

Gambar IV.14. Power spektrum komponen hidrometeorologi.

Analisis hubungan logaritmik power spektrum dengan interval frekwensinya menghasilkan nilai spektrum eksponensial (β) yang beragam (Tabel IV.8 dan Lampiran N). Hubungan antara log S(f) dengan log f untuk curah hujan, evapotranspirasi, kelembapan, dan debit sungai bulanan ditunjukkan pada Gambar IV.15. Pendekatan linier terhadap kemiringan (gradien) grafik log S(f) vs log f untuk curah hujan dan evapotranspirasi bulanan masing-masing adalah -0.452 dan -0.251, ini menunjukkan bahwa nilai spektrum eksponensial (β) kedua komponen tersebut masing-masing adalah -0.452 dan -0.251. Nilai β tersebut lebih kecil dari 1, menunjukkan bahwa proses curah hujan dan evapotransirasi bulanan di daerah aliran Sungai Citarum merupakan hasil dari proses kontinue (tanpa batas). Sementara itu, pendekatan linier terhadap kemiringan grafik log S(f) vs log f untuk kelembapan dan debit sungai bulanan masing-masing adalah 0.542 dan 0.096, ini menunjukkan bahwa nilai spektrum eksponensial (β) kedua komponen tersebut masing-masing adalah -0.542 dan -0.096. Kedua nilai β debit sungai tersebut juga lebih kecil dari 1, ini menunjukkan bahwa proses kelembapan dan debit sungai bulanan juga merupakan hasil dari proses kontinue (tanpa batas).

(21)

Gambar IV.15. Log S(f) versus log f komponen hidrometeorologi.

Tabel IV.8. Nilai spektrum eksponensial (β) komponen hidrometeorologi.

Periode Spektrum Exponensial (β)

Curah Hujan Evapotranspirasi Kelembapan Debit Sungai

Bulanan DJF JJA Tahunan -0.452 -0.409 0.244 -0.630 -0.251 -0.037 -0.989 -0.107 -0.542 -0.554 -0.407 -0.704 -0.096 0.257 -0.854 0.168

Fakta di atas menegaskan bahwa proses hidrometeorologi di daereah aliran Sungai Citarum dapat dianggap sebagai hasil dari suatu proses yang kontinue atau tanpa batas (unbounded).

4.7. Kecenderungan Hidrometeorologi

Arah dan nilai kecenderungan komponen hidrometeorologi bulanan di daerah aliran Sungai Citarum ditunjukkan pada Tabel IV.9. Curah hujan bulanan cenderung turun pada periode 1968-2000. Nilai rasio odds (θ ) curah hujan

bulanan adalah -3.64, menunjukkan bahwa curah hujan bulanan mengalami penurunan sebesar 3.64% setiap 100 bulan atau 14.41% selama periode 1968-2000 (Gambar IV.16). Fakta ini sejalan dengan hasil penelitian Yue et al. (2002), Leon (2002), dan Cheng et al. (2004) yang juga menunjukkan curah hujan

(22)

cenderung menurun di beberapa tempat lain. Penurunan curah hujan berkaitan dengan adanya penurunan luas hutan (21%), perubahan penutupan lahan, dan variabilitas iklim global (Karsidi, 1998). Penurunan luas hutan dan penutupan lahan menyebabkan berkurangnya fungsi vegetasi hutan sebagai pemicu proses konveksi sehingga pembentukan awan dan hujan konveksi juga berkurang. Oleh karena itu sangat logis jika curah hujan di daerah tersebut cenderung turun.

Evapotranspirasi bulanan menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Nilai rasio odds (θ) evapotranspirasi bulanan adalah 3.88 berarti evapotranspirasi bulanan mengalami peningkatan sebesar 3.88% setiap 100 bulan atau 15.36% selama periode 1968-2000. Kelembapan udara bulanan juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Nilai θ kelembapan bulanan adalah 4.21 berarti

kelembapan bulanan mengalami peningkatan sebesar 4.21% setiap 100 bulan atau 18.67% selama periode 1968-2000. Peningkatan evapotranspirasi dan kelembapan udara tersebut disebabkan oleh tingginya pemindahan uap air dari permukaan ke atmosfer baik melalui evaporasi maupun transpirasi.

Sementara itu debit sungai bulanan cenderung tidak berubah (kecenderungan turunnya tidak signifikan). Nilai θ debit sungai bulanan adalah -1.11. Artinya bahwa pada periode tersebut debit sungai bulanan mengalami penurunan sebesar 1.11 % setiap 100 bulan atau 4.40% selama periode 1968-2000. Penurunan debit sungai bulanan ini terutama disebabkan oleh adanya penurunan curah hujan (Ruminta, et al., 2006). Selain itu, menurut Huntington (2003) penurunan debit sungai tersebut disebabkan oleh adanya pemanasan global yang berdampak pada berkurangnya curah hujan.

Tabel IV.9. Nilai rasio odds (θ) komponen hidrometeorologi.

Periode Rasio Odds (θ)

Curah Hujan Evapotranspirasi Kelembapan Debit Sungai

Bulanan DJF JJA Tahunan -3.64 -9.67 -9.61 -24.30 3.88 5.87 6.18 9.07 4.21 24.53 4.81 31.69 -1.11 2.81 -2.43 -1.19

(23)

Komponen hidrometeorologi bulanan di daerah aliran Sungai Citarum mengalami kecenderungan yang berbeda baik arah maupun nilainya. Perubahan komponen hidrometeorologi tersebut tidak terlepas dari adanya perubahan tata guna lahan, pertumbuhan pemukiman dan industri (146%), penurunan luas hutan (21%), dan lain-lain (Karsidi, 1998; Santoso dan Warrick, 2003). Tetapi perubahan lingkungan tersebut bukan satu-satunya pengendali kecenderungan komponen hidrometeorologi di daerah tersebut.

Hal ini bisa dipahami mengingat proses hidrometeorologi di daerah tersebut sangat terbuka terhadap perubahan iklim dan dinamika perubahan fenomena Global, seperti yang diindikasikan oleh hasil penelitian Shinjiro et al., (2000) dan Braud, et al.(2001). Kecenderungan komponen hidrometeorologi terutama curah hujan berkaitan dengan adanya perubahan ENSO yang cenderung melemah.

(24)

Sementara itu kecenderungan komponen hidrometeorologi periode DJF, JJA, maupun tahunan mempunyai pola yang hampir sama dengan periode bulanan seperti ditunjukkan pada Lampiran O. Curah hujan dan debit sungai mempunyai kecenderungan turun sedangkan evapotranspirasi dan kelembapan udara cenderung meningkat.

Pola kecenderungan kejadian curah hujan dan debit sungai bulanan untuk periode ulang 1, 3, 6, dan 12 bulan (π-1 =1, 3, 6, dan 12) ditunjukkan pada Gambar IV.17. Kejadian-kejadian curah hujan dan debit sungai bulanan dengan periode ulang makin pendek mempunyai nilai rasio odds makin kecil. Dengan kata lain untuk kejadian-kejadian curah hujan dan debit sungai dengan periode ulang lebih panjang mempunyai kecenderungan turun yang lebih besar.

Gambar IV.17. Probabilitas kecenderungan curah hujan dan debit sungai.

Kecenderungan pergeseran rerata atau Moving Average (MA) dan koefisien variasi komponen hidrometeorologi bulanan (untuk rataan 108 bulanan) masing-masing ditunjukkan pada Gambar IV.18 dan IV.19. Rerata curah hujan bulanan cenderung turun pada periode 1972-1991 kemudian naik lagi pada periode 1991-2000. Nilai terendah dari rerata curah hujan bersamaan dengan terjadinya El Niño kuat tahun 1991. Sementara itu koefisien variasi curah hujan bulanan cenderung naik pada periode 1972-2000. Nilai tertinggi dari koefisien variasi curah hujan bersamaan dengan terjadinya El Niño kuat tahun 1991.

Pola dinamika rerata dan koefisien curah hujan adalah berlawanan, hal ini mengindikasikan bahwa curah hujan bulanan cenderung turun akan tetapi

(25)

variabilitasnya makin besar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Akinremi dan Mc Ginn (1998) yang mengindikasikan curah hujan global cenderung berkurang. Fakta tersebut merupakan indikasi kuat bahwa ke depan fenomena kekeringan dan kebanjiran di daerah aliran Sungai Citarum akan semakin ekstrim.

Gambar IV.18. Pola kecenderungan rerata komponen hidrometoerologi.

(26)

Rerata dan koefisien variasi evapotranspirasi bulanan mempunyai pola dinamika yang hampir sama yaitu cenderung naik pada periode 1972-2000. Fakta ini mengindikasikan bahwa evapotranspirasi bulanan cenderung naik dan variabilitasnya makin tinggi. Nilai tertinggi dari koefisien variasi evapotranspirasi bersamaan dengan terjadinya tahun El Niño pada 1993.

Peningkatan evapotranspirasi tersebut ada indikasi kuat akibat peningkatan evaporasi dari aktivitas pemukiman dan industri yang perkembangannya meningkat tajam (146%).

Rerata kelembapan bulanan cenderung naik pada periode 1972-2000. Fakta ini mengindikasikan adanya peningkatan uap air di atmosfer sebagai akibat peningkatan evapotranspirasi yang signifikan dan dilakukannya hujan buatan secara rutin di daerah tersebut. Sementara itu dinamika koefisien variasi kelembapan bulanan relatif tetap pada periode 1985-2000. Fakta ini mengindikasikan bahwa variabilitas kelembapan bulanan tidak berubah.

Sementara itu rerata debit sungai bulanan cenderung turun tajam pada periode 1972-1987. Nilai terendah rerata debit sungai dengan terjadinya El Niño tahun 1987. Penurunan debit sungai ini terutama akibat adanya penurunan curah hujan yang sangat signifikan sebagai akibat penurunan luas hutan (21%) dan variabilitas iklim global. Sementara itu pada periode 1988-2000 debit sungai mengalami kenaikan sangat signifikan sebagai akibat dilakukannya hujan buatan secara rutin. Dinamika koefisien variasi debit sungai bulanan sangat bervariasi pada periode 1972-2000. Fakta ini mengindikasikan bahwa variabilitas debit sungai bulanan cenderung naik dan sangat dinamis seperti yang diindikasikan hasil penelitian serupa di daerah lain seperti aliran sungai Rio Pueco (Molnar dan Ramirez, 2000). Secara kuantitatif besarnya perubahan rerata dan koefisien variasi komponen hidrometeorologi daerah aliran Sungai Citarum masing-masing disajikan pada Tabel IV.10 dan IV.11. Selama periode 1968-2000 perubahan yang sangat signifikan terjadi pada curah hujan, evapotranspirasi, dan kelembapan. Sedangkan debit sungai menunjukkan relatif tetap pada periode tersebut.

(27)

Sementara itu, kecuali kelembapan, semua koefisien variasi komponen hidrometeorologi lainnya mengalami peningkatan secara signifikan. Hal ini mengindikasikan indikasi yang kuat bahwa fenomena banjir dan kekeringan di daerah aliran Sungai Citarum akan semakin ekstrim di masa datang (Ruminta et

al., 2007b).

Hasil kajian kecenderungan rerata komponen hidrometeorologi ini dapat menghasilkan indikasi yang sama dengan hasil kajian kecenderungan komponen tersebut dengan menggunakan analisis regresi logistik linier (rasio odds). Curah hujan mempunyai kecenderungan turun secara signifikan sedangkan evapotranspirasi dan kelembapan udara cenderung meningkat juga secara signifikan. Sementara itu debit sungai menunjukkan relatif tetap (kecenderungannya tidak signifikan).

Tabel IV.10. Nilai perubahan rerata komponen hidrometeorologi. Komponen

Hidrometeorologi

Perubahan Rerata

(1968-2000) Standar Deviasi Ket.

Curah Hujan -84.26 (mm) 27.30 (mm) Turun

Evapotranspirasi 11.16 (mm) 3.81 (mm) Naik

Kelembapan 1.03 (%) 0.74 (%) Naik

Debit Sungai 10.95 (juta m3) 21.58 (juta m3) Tetap

Tabel IV.11. Nilai perubahan koefisien variasi komponen hidrometeorologi. Komponen

Hidrometeorologi

Perubahan Koefisien Variasi (1968-2000)

Standar

Deviasi Ket.

Curah Hujan 0.201 0.068 Naik

Evapotranspirasi 0.041 0.014 Naik

Kelembapan 0.016 0.005 Tetap

Debit Sungai 0.084 0.035 Naik

4.8. Sensitivitas Hidrometeorologi

Nilai sensitivitas suatu sistem input-output diperoleh dari perbandingan perubahan input terhadap perubahan output. Sistem hidrometeorologi dapat diasumsikan sebagai sistem tersebut dimana curah hujan dan debit sungai masing-masing

(28)

dianggap sebagai input dan ouputnya. Jadi nilai sensitivitas diperoleh dari perbandingan perubahan debit sungai dibagi perubahan curah hujan. Nilai sensitivitas (S) di atas nol menunjukkan bahwa jika ada kenaikan curah hujan dari nilai ratanya akan menyebabkan pula kenaikan debit sungai dari nilai rata-ratanya dan demikian juga sebaliknya. Sedangkan nilai S<0 menunjukkan bahwa perubahan curah hujan mempunyai arah yang berlawanan dengan perubahan debit sungai. Jika nilai S<0, maka perubahan input (curah hujan) terhadap output (debit sungai ) adalah tidak sensitif.

Nilai sensitivitas perubahan debit sungai akibat perubahan curah hujan ditunjukkan pada Tabel IV.12. Hasil perhitungan nilai rata-rata sensitivitas perubahan debit sungai bulanan terhadap perubahan curah hujan bulanan adalah 0.185. Sementara itu nilai sensitivitas perubahan curah hujan terhadap debit sungai periode DJF, JJA, dan tahunan masing-masing adalah 1.074, 1.690, dan 0.265. Nilai-nilai sensitivitas tersebut lebih besar dari nol, fakta ini mengindikasikan bahwa perubahan curah hujan periode bulanan, DJF, JJA, maupun tahunan cukup sensitif terhadap perubahan debit sungai. Artinya perubahan debit sungai sangat dipengaruhi perubahan curah hujan. Curah hujan yang naik menyebabkan debit sungai naik pula.

Sensitivitas curah hujan periode JJA mempunyai nilai yang lebih besar dibanding debit sungai periode bulanan, DJF maupun tahunan, hal ini menunjukkan bahwa perubahan curah hujan periode Juni-Juli-Agustus (JJA) lebih sensitif terhadap perubahan debit sungai dibandingkan curah hujan periode lainnya.

Tabel IV.12. Nilai sensitivitas (S) rata-rata perubahan debit sungai akibat perubahan curah hujan. Debit Sungai

Bulanan DJF JJA Tahunan

Sensitivitas (S) 0.185 1.074 1.690 0.265

Pola dinamika senstivitas perubahan debit sungai akibat perubahan curah hujan sangat dinamis seperti ditunjukkan pada Gambar IV.20. Perubahan debit sungai bulanan dan periode JJA mempunyai kecenderungan makin sensitif terhadap

(29)

perubahan curah hujan yang dinyatakan dengan makin meningkatnya nilai sensitivitas (S) yang berada di atas nilai nol.

Gambar IV.20. Pola dinamika sensitivitas debit sungai terhadap perubahan curah hujan.

(DJF=Desember-Januari-Februari, JJA=Juni-Juli-Agustus).

4.9. Pola Air Cadangan dan Koefisien Limpasan

Neraca air pada suatu daerah aliran sungai secara sederhana dapat digambarkan dengan adanya hubungan antara unsur masukan yaitu curah hujan dan keluaran yaitu berupa aliran (debit sungai), evapotranspirasi, perkolasi dan infiltrasi. Adanya hujan tertentu akan menghasilkan debit sungai tertentu pula. Debit sungai ini selain dipengaruhi oleh karakteristik daerah aliran sungai juga sangat tergantung pada karakteristik curah hujan.

Sebagaimana diketahui, curah hujan yang jatuh tidak semuanya akan menjadi limpasan. Sebagian air hujan akan mengalami perkolasi dan infiltrasi ke dalam tanah, sebagian terintersepsi oleh tanaman dan evapotranspirasi ke udara. Air hujan yang mengalami perkolasi, infiltrasi, dan intersepsi tersebut bersama-sama dengan air yang ada pada badan-badan air seperti kolam, sungai, dan reservoir air lainnya membentuk cadangan air daerah aliran sungai.

(30)

Hasil analisis beberapa parameter yang berkaitan dengan neraca air di daerah aliran Sungai Citarum disajikan pada Tabel IV.13. Nilai rasio debit sungai maksimum-minimum (Qmax/Qmin ratio) Sungai Citarum relatif tinggi yaitu berkisar antara 2.173 – 15.481. Meskipun batasan nilai rasio Qmax/Qmin berbeda untuk

setiap sungai, namun data tersebut memberikan gambaran bahwa telah terjadi kerusakan sumber daya air di daerah aliran Sungai Citarum.

Rata-rata cadangan air (ΔS) daerah aliran Sungai Citarum menunjukkan defisit baik untuk periode bulanan, DJF, JJA, maupun tahunan (Tabel IV.13). Fakta ini mengindikasikan bahwa daerah aliran Sungai Citarum merupakan daerah yang sangat rawan kekeringan terutama pada musim kemarau (JJA). Hal ini sejalan dengan adanya bukti bahwa curah hujan di daerah aliran sungai tersebut yang cenderung berkurang (Ruminta dkk., 2007b).

Pola dinamika air cadangan (ΔS) cenderung berkurang secara signifikan baik untuk periode bulanan maupun tahunan (Gambar IV.21), terutama dari tahun 1968 hingga 1988. Fakta ini mengindikasikan bahwa daerah resapan air, reservoir, dan luas hutan di daerah aliran Sungai Citarum makin berkurang. Sehingga air hujan yang dapat disimpan sebagai air cadangan di daerah tersebut makin berkurang. Hal ini berkaitan dengan makin pesatnya pembangunan di daerah tersebut. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena ke depan daerah aliran Sungai Citarum semakin rawan kekeringan kalau upaya lain tidak dilakukan. Namun sejak dilakukannya hujan buatan yang cukup teratur di daerah aliran Sungai Citarum kondisi air cadangan perlahan naik lagi dari tahun 1989 hingga 2000 walapun kenaikannya tidak begitu drastis. Nampaknya proses hujan buatan harus tetap dilakukan di daerah aliran Sungai Citarum untuk mempertahankan atau meningkatkan air cadangan di wilayah tersebut

Rata-rata koefisien limpasan (C) di daerah tersebut cukup besar (di atas 52%) baik untuk periode bulanan, DJF, JJA, maupun tahunan. Hal ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa rata-rata koefisien limpasan di daerah tersebut adalah 55% (Wangsaatmaja dkk., 2006). Padahal menurut

(31)

Suprapto (2003) koefisien limpasan pada kawasan hutan bervegetasi berkisar antara 20% - 40%. Fakta ini mengindikasikan bahwa kondisi penutup lahan oleh hutan di daerah Sungai Citarum telah mengalami kerusakan, sehingga memerlukan perhatian dan penanganan serius.

Tabel IV.13. Nilai rasio Qmax/Qmin , rata-rata koefisien limpasan dan air cadangan daerah aliran

Sungai Citarum Hulu dan Tengah.

Parameter Periode

DJF JJA Tahunan

Qmax (juta m3) 3075 1610 6170

Qmin (juta m3) 1415 104 3691

Rasio Qmax/Qmin 2,173 15,481 2,213

Koefisien Limpasan 0.623 (s = 0.188) 0.478 (s = 0.188) 0.525 (s = 0.133) Cadangan Air (ΔS) (juta m3

) -400 (s = 1066) -1460 (s = 670) -2142 (s = 3085) Ket. : Q = Debit sungai; max = maksimum; dan min = minimum

s = standar deviasi

Gambar IV.21. Pola dinamika air cadangan (ΔS) daerah aliran Sungai Citarum Hulu dan Tengah.

Pola dinamika koefisien limpasan cenderung naik secara signifikan baik untuk periode bulanan maupun tahunan (Gambar IV.22). Fakta ini jiga mengindikasikan bahwa kondisi penutup lahan oleh hutan di daerah aliran Sungai Citarum makin berkurang. Daerah terbuka dan penutupan oleh bangunan, beton, dan lain-lain makin bertambah akibat makin berkembangnya pembangunan di daerah tersebut. Selain itu juga akibat adanya proses pendangkalan di sepanjang

(32)

badan Sungai Citarum yang semakin serius akibat adanya proses sendimentasi yang sangat tinggi.

Gambar IV.22. Pola dinamika koefisien limpasan (RO) daerah aliran Sungai Citarum Hulu dan

Tengah.

4.10. Pola Curah Hujan Ekstrim.

Daerah aliran Sungai Citarum terbuka terhadap pengaruh fenomena iklim global baik yang ada di Samudra Hinda maupun Samudra Pasifik. Oleh karena itu ada indikasi kuat bahwa pola curah hujan ekstrim di daerah aliran Sungai Citarum berhubungan kuat dengan fenomena iklim global yaitu CIP, DMI, GT, PW, SOI, dan sunpot seperti ditunjukkan pada Gambar IV.23, IV.24, dan IV.25. Curah hujan mempunyai fasa yang sama dengan fenomena PW, SOI, dan sunspot dan mempunyai fasa yang berlawanan dengan fenomena GT, CIP, dan DMI.

Curah hujan maksimum terjadi bersamaan dengan potensi air atmosfer (PW), osilasi selatan (SOI), dan bilangan sunspot maksimum. Pada saat itu bersamaan

(33)

pula dengan fenomena monsun India (CIP), dipole mode (DMI), dan temperatur global (GT) terjadi minimum.

Sunspot yang tinggi menyebabkan penerimaan energi di permukaan bumi tinggi pula dan energi untuk proses penguapan air dari lautan maupun daratan dan energi untuk proses dinamika atmosfer sangat tinggi. Akibatnya osilasi selatan terjadi sangat intensif pula yang pada gilirannya massa udara lembap dari lautan Pasifik bergerak ke wilayah Indonesia termasuk daerah aliran Sungai Citarum sehingga potensi air, dinamika atmosfer, dan proses konveksi meningkat dan akhirnya curah hujan di wilayah tersebut maksimum.

Gambar IV.23. Pola hubungan curah hujan ekstrim dengan CIP dan SOI.

Pada saat bersamaan jika fenomena monsun India dan dipole mode lautan Hindia sangat lemah, maka uap air dari wilayah Indonesia bagian barat tidak banyak yang terbawa angin monsun dan sirkulasi udara ke arah lautan Hindia sehingga curah hujan di derah aliran Sungai Citarum akan semakin tinggi. Selain itu jika suhu

(34)

atmosfer minimum proses kondesasi uap air mudah terjadi sehingga potensi curah hujan sangat tinggi.

Curah hujan minimum terjadi bersamaan dengan fenomena osilasi selatan, potensi air atmosfer, dan bilangan Sunspot terjadi minimum yang bersamaan pula dengan monsun India, dipole mode lautan Hindia, dan temperatur global (GT) terjadi maksimum. Pada kondisi itu pergerakan dan pasokan massa udara lembap dari lautan Pasifik ke wilayah Indonesia berkurang sehingga proses konveksi berku-rang pula.

Jika monsun India dan DMI terjadi maksimum sebagain uap air dari wilayah Indonesia bagian barat akan terbawa oleh angin monsun dan sirkulasi udara ke arah lautan Hindia sehinga curah hujan di daerah aliran Sungai Citarum sangat minimum. Demikian juga jika suhu atmosfer maksimum proses kondesasi uap air sulit terjadi sehingga potensi curah hujan sangat rendah.

(35)

Gambar IV.25. Pola hubungan antara curah hujan ekstrim dengan GT dan PW.

4.11. Model Temporal Hidrometeorologi

Penerapan ANFIS untuk mengidentifikasi model dinamika temporal curah hujan dan debit sungai periode tahunan mendapatkan hasil yang signifikan. Dalam mengidentifikasi model dinamika temporal curah hujan tahunan, penerapan ANFIS menunjukkan bahwa untuk simulasi selama tahap training dan testing menghasilkan nilai kesalahan (RMSE dan MAPE) sangat rendah dan nilai presisi (E) yang cukup tinggi. Model tersebut sangat potensial untuk digunakan dalam memprediksi curah hujan tahunan dengan menggunakan input evapotranspirasi dan temperatur global (GT). Nilai prediksi dan simulasi selama tahap training dibandingkan dengan nilai observasi ditunjukkan pada Gambar IV.26.

Pengukuran statistik menunjukkan kesesuaian yang sangat baik antara nilai prediksi dan nilai observasi dengan nilai RMSE untuk tahap training dan testing

(36)

masing-masing adalah 1.159 mm dan 1.156 mm. Model temporal curah hujan tahunan mempunyai presisi (E) sebesar 69.3% (Tabel IV.14). Selama verifikasi, curah hujan tahunan hasil prediksi model berkisar antara 2905 mm hingga 4539 mm, hal ini tidak berbeda nyata dengan curah hujan hasil observasi yang berkisar antara 2932 mm hingga 4642 mm (Tabel IV.15).

Penggunaan ANFIS untuk mengidentifikasi model temporal debit sungai tahunan menunjukkan bahwa selama tahap simulasi training dan testing, juga ANFIS dapat memberikan nilai kesalahan (RMSE dan MAPE) cukup rendah dan nilai presisi (E) cukup tinggi. Model tersebut juga sangat potensial untuk digunakan dalam memprediksi debit sungai tahunan dengan menggunakan input evapotranspirasi dan curah hujan. Nilai simulasi selama tahap training dibandingkan dengan nilai hasil observasi ditunjukkan pada Gambar IV.26.

Gambar IV.26. Model dinamika temporal hidrometeorologi tahunan.

Pengukuran statistik menunjukkan ada pendekatan yang sangat baik antara nilai prediksi dengan nilai observasi dengan nilai RMSE untuk tahap training dan testing masing-masing adalah 18.87 juta m3 dan 17.41 juta m3. Model dinamika temporal hasil identifikasi ANFIS mempunyai nilai presisi (E) sebesar 66.6%. Selama verifikasi, debit sungai tahunan hasil prediksi model berkisar antara 3611

(37)

juta m3 hingga 7565 juta m3, hal ini tidak berbeda nyata dengan debit sungai hasil observasi yang berkisar antara 3691 juta m3 hingga 8170 juta m3.

Tabel IV.14. Nilai statistik simulasi model temporal curah hujan dan debit sungai.

Model

Training Testing Presisi

(E) (%)

Uji χ2 Ket.

RMSE MAPE RMSE

Debit Sungai Bulanan 168.32 37.444 164.714 54.5 212.34 * Curah Hujan Bulanan 82.689 64.548 80.986 27.3 71.09 * Debit Sungai Tahunan 18.872 0.151 17.410 66.6 4.80 * Curah Hujan Tahunan 1.159 0.013 1.156 69.3 6.41 *

RMSE=(Root Mean Square Error) dan MAPE=(Mean Absolute Percentage Error)

* = signifikan pada selang kepercayaan 95%, Uji signifikansinya ditunjukkan pada Lampiran P

Tabel IV.15. Nilai statistik hasil prediksi curah hujan dan debit sungai.

Model Data Prediksi Data Observasi

Minimum Maksimum Minimum Maksimum Debit Sungai Bulanan 0 juta m3 2265 juta m3 0 juta m3 1382 juta m3

Curah Hujan Bulanan 0 mm 399 mm 0 mm 496 mm Debit Sungai Tahunan 3641 juta m3 7565 juta m3 3691 juta m3 8170 juta m3

Curah Hujan Tahunan 2905 mm 4539 mm 2832 mm 4642 mm

Nilai statistik hasil validasi dan verifikasi model temporal curah hujan dan debit sungai tahunan ditunjukkan pada Tabel IV.16 dan IV.17. Hasil validasi menunjukkan bahwa model cukup valid dengan penyimpangan 10.98% dengan

r=0.855 dan 19.08% dengan r=0.734 untuk masing-masing model temporal curah

hujan dan debit sungai tahunan. Hal ini mengindikasikan bahwa model temporal curah hujan dan debit sungai tahunan hasil identifikasi ANFIS sangat layak dan potensial untuk dipergunakan dalam memprediksi curah hujan dan debit sungai tahunan di daerah aliran Sungai Citarum.

Tabel IV.16. Nilai statistik hasil validasi model temporal curah hujan tahunan.

No Observasi (mm) Prediksi (mm) Penyimpangan (%) 1 3519 3806 7.53 2 4039 4233 4.57 3 2905 3249 10.58 4 4298 4196 34.41 5 3788 3485 8.69 6 3626 3629 0.08 Minimum 2905 3249 0.08 Maksimum 4298 4149 34.41 Rataan 3695 3600 10.98 Korelasi (r) 0.855** ** = sangat signifikan pada selang kepercaayaan 98%, Uji signifikansinya ditunjukkan pada Lampiran I

(38)

Tabel IV.17. Nilai statistik hasil validasi model temporal debit sungai tahunan. No Observasi (juta m3) Prediksi (juta m3) Penyimpangan (%) 1 6351 5568 14.06 2 6963 6671 4.37 3 3691 4663 20.85 4 7675 5557 68.41 5 5766 5401 6.76 6 5338 5339 0.02 Minimum 3691 4663 0.02 Maksimum 7675 6671 68.41 Rataan 5964 5367 19.08 Korelasi (r) 0.734** ** = sangat signifikan pada selang kepercaayaan 98%, Uji signifikansinya ditunjukkan pada Lampiran I

Pola hubungan antara input dan output model temporal curah hujan dan debit sungai tahunan ditunjukkan pada Gambar IV.27 dan IV.28. Berdasarkan analisis model ANFIS tahunan, pengaruh individual temperatur global dapat menyebabkan penurunan curah hujan tahunan secara drastis jika rata-rata temperatur global berada di atas 14.4 oC. Sebaliknya pengaruh individual evapotranspirasi dapat menyebabkan curah hujan tahunan naik secara drastis jika evapotranspirasi tersebut melebihi 1500 mm/tahun.

Pengaruh individual evapotranspirasi dapat menyebabkan penurunan debit sungai tahunan secara drastis jika evapotranspirasi berada antara 980 mm hingga 1080 mm/tahun. Sebaliknya pengaruh individual curah hujan dapat menyebabkan limapasan tahunan naik secara drastis jika curah hujan tersebut melebihi 4000 mm/tahun.

(39)

Gambar IV.28. Hubungan antara input individual dan output model hidrometeorologi tahunan.

Sementara itu penerapan ANFIS untuk mengidentifikasi model dinamika temporal curah hujan dan debit sungai periode bulanan juga memperoleh hasil yang signifikan walaupun tidak sebaik periode tahunan. Simulasi selama tahap training dan testing menunjukkan bahwa ANFIS tidak dapat memberikan nilai kesalahan (RMSE dan MAPE) dan nilai presisi (E) sebaik seperti pada model dinamika temporal periode tahunan.

Nilai simulasi selama tahap training dibandingkan dengan data curah hujan dan debit sungai hasil observasi ditunjukkan pada Gambar IV.29. Model temporal curah hujan menggunakan input monsun India (CIP) dan evapotranspirasi, sedangkan model temporal debit sungai bulanan menggunakan input curah hujan dan evapotranspirasi. Pengukuran statistik untuk simulasi model dinamika temporal curah hujan dan debit sungai periode bulanan ditunjukkan pada Tabel

(40)

IV.14. Perbandingan antara nilai prediksi dengan data observasi curah hujan dan debit sungai bulanan disajikan pada Tabel IV.15.

Model temporal curah hujan dan debit sungai bulanan hasil identifikasi ANFIS belum dapat menghasilkan prediksi yang akurat walaupun secara statistik sudah layak dipergunakan untuk memprediksi curah hujan dan debit sungai di masa datang. Perbedaan antara data observasi dengan nilai prediksi masih cukup besar dan nilai presisinya (E) masih kecil (Tabel IV.15). Oleh karena itu, untuk mendapatkan model temporal curah hujan dan debit sungai bulanan yang lebih potensial, maka dilakukan transformasi terhadap curah hujan dan debit sungai bulanan asal untuk menghilangkan sifat chaotic dan nois-nya. Transformasi tersebut menggunakan pergeseran rata-rata (moving average) 108 bulanan dari data curah hujan dan debit sungai bulanan asal.

Gambar IV.29. Model dinamika temporal hidrometeorologi bulanan.

Nilai simulasi dan observasi untuk curah hujan dan debit sungai bulanan hasil transformasi ditunjukkan pada Gambar IV.30. Pada tahap training dan tersting, nilai statistik simulasi dan hasil prediksi dari model temporal curah hujan dan debit sungai bulanan hasil transformasi sangat signifikan seperti disajikan masing-masing pada Tabel IV.18 dan IV.19.

(41)

.Tabel IV.18. Nilai statistik simulasi model temporal curah hujan dan debit sungai bulanan hasil transformasi.

Model

Training Testing Presisi

(E) (%)

Uji χ2 Ket.

RMSE MAPE RMSE

Debit Sungai Bulanan 19.087 0.145 22.041 77.6 3.91 * Curah Hujan Bulanan 21.471 2.039 21.713 49.9 18.20 *

RMSE=(Root Mean Square Error) dan MAPE=(Mean Absolute Percentage Error)

* = signifikan pada selang kepercayaan 95%, Uji signifikansinya ditunjukkan pada Lampiran P

Tabel IV.19. Nilai statistik hasil prediksi curah hujan dan debit sungai bulanan hasil transformasi.

Model Data Prediksi Data Observasi

Minimum Maksimum Minimum Maksimum Debit Sungai Bulanan 381 juta m3 576 juta m3 392 juta m3 587 juta m3

Curah Hujan Bulanan 85 mm 181 mm 90 mm 197 mm

Nilai RMSE pada tahap training maupun testing untuk curah hujan cukup kecil masing-masing adalah 19.087 dan 22.043 mm. Demikian juga nilai RMSE pada tahap training maupun testing untuk debit sungai cukup kecil masing-masing adalah 21.471 dan 21.713 juta m3. Presisi (E) model temporal curah hujan dan debit sungai bulanan masing-masing adalah 77.6 dan 49.9%.

Selama tahap verifikasi, perbedaan antara nilai prediksi dengan data observasi curah hujan dan debit sungai bulanan cukup kecil atau secara signifikan tidak berbeda (Tabel IV.19). Debit sungai bulanan minimum hasil prediksi dan data observasi masing-masing adalah 381 dan 392 juta m3. Sedangkan debit sungai bulanan maksimum hasil prediksi dan data observasi masing-masing adalah 576 dan 587 juta m3. Sementara itu curah hujan bulanan minimum hasil prediksi dan data observasi masing-masing adalah 85 dan 90 mm, sedangkan curah hujan bulanan maksimum hasil prediksi dan data observasi masing-masing adalah 181 dan 197 mm.

Nilai statistik hasil validasi dan verifikasi model temporal curah hujan dan debit sungai bulanan hasil transformasi ditunjukkan pada Tabel IV.20 dan IV.21. Hasil validasi menunjukkan bahwa model temporal bulanan hasil transformasi cukup valid dengan penyimpangan 12.07% dengan r=0.509 dan 5.77% dengan r=0.536 untuk masing-masing model temporal curah hujan dan debit sungai bulanan.

(42)

Fakta ini mengindikasikan bahwa model temporal curah hujan dan debit sungai bulanan hasil identifikasi ANFIS sangat layak dan potensial untuk dipergunakan dalam memprediksi curah hujan dan debit sungai bulanan di daerah aliran Sungai Citarum.

Tabel IV.20. Nilai statistik hasil validasi model temporal curah hujan bulanan hasil transformasi. Observasi (mm) Prediksi (mm) Penyimpangan (%) Minimum 107.64 122.26 0.56 Maksimum 153.53 196.62 29.11 Rataan 132.48 148.47 12.07 Korelasi (r) 0.509** ** = sangat signifikan pada selang kepercaayaan 98%, Uji signifikansinya ditunjukkan pada Lampiran I

Tabel IV.21. Nilai statistik hasil validasi model temporal debit sungai bulanan hasil transformasi.

Observasi (juta m3) Prediksi (juta m3) Penyimpangan (%) Minimum 434.57 412.12 0.21 Maksimum 519.58 524.11 14.02 Rataan 467.44 485.32 5.77 Korelasi (r) 0.536** ** = sangat signifikan pada selang kepercaayaan 98%, Uji signifikansinya ditunjukkan pada Lampiran I

Gambar IV.30. Model dinamika temporal hidrometeorologi bulanan hasil transformasi.

Model temporal curah hujan dan debit sungai bulanan hasil transformasi lebih potensial dibanding model temporal curah hujan dan debit sungai asal karena

(43)

mempunyai nilai kesalahan (RMSE) yang cukup kecil tetapi mempunyai nilai presisi (E) yang cukup besar. Hal ini tentu sebagai akibat berkurangnya sifat

chaotic dan nois dari curah hujan maupun debit sungai bulanan hasil transformasi.

Fakta ini menunjukkan bahwa analisis ANFIS dapat memberikan hasil yang lebih baik jika dipergunakan untuk analisis data yang tidak chaotic atau tidak mengandung nois.

Pola hubungan antara input dan output model temporal curah hujan dan debit sungai periode bulanan tidak linier seperti ditunjukkan pada Gambar IV.31 dan IV.32 serta Lampiran Q. Secara individual monsun India mempunyai hubungan yang berlawanan dengan curah hujan daerah aliran Sungai Citarum. Pengaruh individual monsun India (CIP) dapat menyebabkan penurunan curah hujan, sedangkan pengaruh individual evapotranspirasi dapat menyebabkan curah hujan naik. Sementara itu, pengaruh individual curah hujan dapat menyebabkan debit sungai bulanan naik, sebaliknya pengaruh individual evapotranspirasi dapat menyebabkan debit sungai turun.

Berdasarkan analisis model ANFIS bulanan, curah hujan ekstrim rendah kurang dari 63 mm/bulan (Quartil 1) terjadi jika CIP lebih dari 1400 mm/bulan dan evapotranspirasi kurang dari 142 mm/bulan. Sementara itu curah hujan ekstrim tinggi lebih dari 234 mm/bulan (Quartil 3) terjadi jika CIP sangat rendah (0 mm/bulan) dan evapotranspirasi lebih dari 157 mm/bulan (Gambar IV.32).

(44)

Sementara itu, debit sungai ekstrim rendah kurang dari 239 juta m3 /bulan (Quartil 1) terjadi jika curah hujan kurang dari 30 mm/bulan dan evapotranspirasi lebih dari 155 mm/bulan. Sedangkan debit sungai ekstrim tinggi lebih dari 702 juta m3/bulan (Quartil 3) terjadi jika curah hujan lebih dari 295 mm/bulan dan evapotranspirasi kurang dari 95 mm/bulan

Gambar IV.32. Hubungan antara input individual dan output model hidrometeorologi bulanan.

Gambar

Gambar IV.2.  Frekuensi komponen hidrometeorologi daerah aliran Sungai Citarum Hulu dan  Tengah
Tabel IV.3. Koefisien korelasi komponen hidrometeorologi dengan fenomena global  Fenomena
Gambar IV.10. Pola arah angin di Samudra Hindia ketika terjadi monsun sangat intensif                                     (sumber : Saji dan Yamagata, 2003)
Gambar IV.11.   Hubungan antara nilai korelasi integral C(r) dengan radius (r) komponen      hidrometeorologi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Barang komoditi ini dikirim ke wilayah IBT melalui pelabuhan-pelabuhan utama di pulau Sulawesi, Nusatenggara, Maluku, dan Papua seperti Makassar, Ambon, Sorong,

Penelitian ini betujuan untuk mengungkap sekaligus mencari konsep pendidikan yang sesuai dengan etika profetik sebagai basisnya, menghilangkan dikotomik ilmu

Salah satu contoh seseorang yang menggunakan media sosial Instagram dalam menjalankan usaha dan juga membangun personal branding nya adalah seorang Tirta Mandira Hudhi,

Kasus yang diangkat pada artikel ini yaitu tentang pengobatan penyakit ringan dengan menggunakan obat tradisional, oleh karena itu terdapat rancangan dari mulai data pakar hingga

Untuk membuat bentuk disain dari benda kerja dengan waktu pengerjaan yang efektif, telah dilakukan perhitungan kinematika balik pada mesin perkakas 5 axis untuk

Kata 'heritage' juga merupakan kata yang unik dan estetik, bukan istilah yang biasa digunakan secara umum di Indonesia sehingga akan mudah membangun persepsi bahwa 'Heritage'

ini, menjelaskan keunikan atau kelebihan yang dimiliki oleh PT. Mina Wisata Islami Surabaya.. 18 tersebut yaitu, memiliki reputasi yang baik dalam persaingan.

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai spermatogenesis setelah pemberian alkohol secara kronis selama 48 hari