• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) terhadap kadar gula darah tikus jantan galur wistar yang terbebani glukosa.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) terhadap kadar gula darah tikus jantan galur wistar yang terbebani glukosa."

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

i

INTISARI

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit insufisiensi insulin

karena menurunnya produksi insulin atau resistensi insulin. Penggunaan obat

antidiabetik oral memiliki efek samping serta efek jangka panjang yang kurang

menguntungkan. Oleh karena itu, penggunaan obat tradisional sebagai terapi DM

sangat dianjurkan. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan tanaman yang secara

empiris banyak digunakan di Indonesia sebagai terapi pendamping diabetes.

Kandungan buncis yang berperan sebagai agen antidiabetes adalah

-sitosterol dan

sigmasterol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus

buncis terhadap kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani

glukosa.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan

acak lengkap pola searah menggunakan 30 ekor tikus putih jantan galur Wistar

terbagi dalam enam kelompok. Kelompok I diberi CMC 1% b/v, kelompok II diberi

glibenklamid 0,45mg/kgBB dan pembebanan glukosa, kelompok III diberi CMC

1% b/v dan pembebanan glukosa, kelompok IV, V, dan VI diberi jus buncis dengan

peringkat dosis 22,5, 50,85, dan 115,05g/kgBB, serta pembebanan glukosa. Semua

perlakuan diberikan per oral. Efek hipoglikemik jus buncis diuji dengan metode Uji

Toleransi Glukosa Oral (UTGO). Kadar glukosa darah diukur pada menit ke-0, 15,

30, 45, 60, 90, 120, 180, dan 240 menggunakan metode enzimatik GOD-PAP. Data

LDDK

0-240

tiap kelompok dianalisis secara statistik menggunakan metode

Kolmogorov Smirnov dilanjutkan dengan One Way ANOVA dan uji Post-Hoc

Scheffe bertaraf kepercayaan 95%.

Hasil analisis menunjukkan bahwa jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) dapat

menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa.

Dosis jus buncis yang dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur

Wistar yang terbebani glukosa adalah 22,5g/kgBB, 50,85g/kgBB, 115,05g/kgBB.

(2)

ii

ABSTRACT

Diabetes Mellitus (DM) is an insulin insufficiency disease due to decreased

production of insulin or insulin resistance. The use of oral antidiabetics has few side

effects and harmful long term effects. Therefore, the use of traditional medicine as

a treatment for DM patients is highly recommended. Beans (Phaseolus vulgaris L.)

have been widely used in Indonesia as a complementary therapy for diabetes

patients. Beans contain some chemical compounds which have the antidiabetic

effect, such as flavonoids,

-sitosterol and sigmasterol. This study aimed to

determine the effect of bean juice to decrease blood glucose levels of Wistar male

rats burdened by glucose.

This research was experimental study with randomized controlled design

using 30 Wistar male rats which are divided into six groups. Group I was treated

with CMC 1% w/v, group II was treated with glibenclamide 0,45mg/kgBW and

glucose loading, group III was treated with CMC 1% w/v and glucose loading,

group IV, V, and VI were given 22.5, 50.85, and 115.05g/kgBW doses of bean

juice, and glucose loading. All treatments are administered orally. The

hypoglycemic effect of bean juice was tested by the Oral Glucose Tolerance Test

(OGTT) method. Blood glucose levels were determined at minute 0, 15, 30, 45, 60,

90, 120, 180, and 240 using GOD-PAP enzymatic method. AUC

0-240

for each group

was statistically analyzed using the Kolmogorov-Smirnov method followed by One

Way ANOVA and Post-Hoc Scheffe 95% confidence level.

The analysis showed that bean juice has the ability to decrease blood glucose

levels. Bean juice at 22.5g/kgBW, 50.85g/kgBW, 115.05g/kgBW dose can reduce

blood glucose levels.

(3)

PENGARUH PEMBERIAN JUS BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS JANTAN GALUR

WISTAR YANG TERBEBANI GLUKOSA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mmperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Ludwina Dearesthea Onevita NIM: 128114041

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

i

PENGARUH PEMBERIAN JUS BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS JANTAN GALUR

WISTAR YANG TERBEBANI GLUKOSA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mmperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Ludwina Dearesthea Onevita NIM: 128114041

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(5)
(6)
(7)

iv

PERSEMBAHAN

Hakuna Matatau it means no worry

for the rest of your days.

It’s all-problem-free-philosophy.

//The Lion King

(8)
(9)
(10)

vii PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat yang dilimpahkan terutama dalam proses penyusunan skripsi berjudul “Pengaruh Pemberian Jus Buncis (Phaseolus vulgaris L.) Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Jantan Galur Wistar yang Terbebani Glukosa”, sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Penyusunan skripsi ini juga tak lepas dari doa dan dukungan berbagai pihak dari awal, pertengahan, hingga akhir. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Yunita Linawati, M.Sc., Apt., selaku dosen pembimbing skripsi atas kemurahan hati dan kesabarannya dalam membimbing, memberi masukan, dan arahan kepada penulis.

2. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt., yang telah bersedia menjadi dosen penguji skripsi serta memberikan kritik dan saran demi kemajuan skripsi ini. 3. Bapak Christianus Heru Setiawan, M.Sc., Apt., yang telah bersedia menjadi

dosen penguji skripsi serta memberikan kritik dan saran demi kemajuan skripsi ini.

4. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt., selaku kepala laboratorium farmasi yang telah memberikan pengarahan dan izin penggunaan fasilitas laboratorium selama penelitian skripsi berlangsung.

(11)

viii

6. Pak Heru, Pak Kayat, Pak Parjiman, dan semua laboran farmasi yang telah bersedia membantu jalannya penelitian skripsi ini.

7. Papa Nicolaus Bambang Wijanarko, Mama Eurelia Maria Dewi Perwani Rakyattiningtyas, Nuriani, Abel Sava, Wilfrid Nicholasiva Farrel Dhanesvara, Yullieus Novian Paramarthantio S.Kg., yang selalu memberikan dorongan, semangat, motivasi, dan doa selama proses penyusunan skripsi.

8. Niall James Horan, Cintya Aurora Diah Nastiti, Pasthika Dirda Mayantya, Dian Putri Gupitasari, S.K.H., Wulan Dari Sirait, Johanes Sirait, Inggarestu Pradiptaningtyas, Prisca Nadya Verina Djala, S.Farm., Eunike Lystia Florentien Kelana Jeversoon, S.Farm., Sina Susanti, S.Farm., Januaritha Dara Nastiandari, S.Farm., Mila Karmila Sri Setiomulyo, S.Farm., Martinus Fuji Haryoko, S.Pd., Nicolaus Deka Alvian Putra Pradana, sebagai sahabat dan keluarga kedua yang terus memotivasi untuk menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut membantu selama penyusunan skripsi ini berlangsung

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk menjadi pengembangan ilmu pengetahuan dan acuan bagi penelitian selanjutnya. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini memberikan manfaat di kehidupan mendatang.

(12)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

INTISARI ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan ... 3

2. Keaslian Penelitian... 3

3. Manfaat Penelitian ... 4

B. Tujuan Penelitian ... 5

1. Tujuan Umum ... 5

(13)

x

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 6

A. Diabetes Mellitus ... 6

1. Definisi ... 6

2. Gejala ... 6

3. Klasifikasi ... 7

4. Diagnosis ... 9

B. Metabolisme Karbohidrat... 9

C. Buah Buncis ... 12

1. Uraian Tanaman ... 12

2. Taksonomi ... 13

3. Kandungan Tanaman ... 13

D. Glibenklamid ... 14

E. Metode Uji Efek Antidiabetes ... 15

1. Metode Uji Toleransi Glukosa Oral (UTGO) ... 15

2. Metode Uji Perusakan Pankreas ... 16

3. Metode Resistensi Insulin ... 16

F. Metode Penetapan Kadar Glukosa Darah ... 16

1. Metode Kondensasi dengan Gugus Amina ... 16

2. Metode Enzimatik ... 17

3. Metode Oksidasi-Reduksi ... 17

G. Landasan Teori ... 17

(14)

xi

BAB III. METODE PENELITIAN ... 19

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 19

B. Variabel dan Definisi Operasional... 19

1. Variabel Utama ... 19

2. Variabel Pengacau ... 19

3. Definisi Operasional ... 20

C. Bahan dan Alat Penelitian ... 20

1. Bahan Penelitian ... 20

2. Alat Penelitian ... 21

D. Tata Cara Penelitian ... 22

1. Determinasi Tanaman ... 22

2. Pengumpulan Bahan Uji... 22

3. Pembuatan Jus Buncis ... 22

4. Perhitungan Dosis Pemberian Jus Buncis ... 22

5. Preparasi Bahan ... 23

6. Orientasi Waktu Pemberian Glibenklamid ... 24

7. Orientasi Waktu Pemberian Jus Buncis ... 25

8. Pengelompokkan dan Perlakuan Hewan Uji ... 25

9. Penetapan Kadar Glukosa Darah dengan Metode GOD-PAP .. 28

E. Analisis Hasil ... 28

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

A. Hasil Determinasi Tanaman ... 29

(15)

xii

1. Penetapan Waktu Pemberian Glibenklamid ... 29

2. Penetapan Dosis Sediaan Jus Buncis ... 31

3. Penetapan Waktu Pemberian Jus Buncis ... 32

C. Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Jus Buncis ... 32

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 39

A. Kesimpulan ... 39

B. Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40

LAMPIRAN ... 42

(16)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Kriteria Penegakan DM ... 9

Tabel II. Kandungan Gizi per 100 gram Buncis ... 14

Tabel III. Isi Reagen GOD-PAP ... 21

Tabel IV. Keseragaman Bobot Tablet ... 24

Tabel V. Volume Pengukuran Kadar Glukosa Darah ... 28

Tabel VI. Hasil UTGO dan Perhitungan Selisih Nilai LDDK0-240 Suspensi Glibenklamid Dosis 0,45mg/kgBB ... 30

Tabel VII. Data Kadar Glukosa Darah Rata-Rata dan LDDK0-240 Tiap Kelompok Perlakuan ... 34

(17)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sekresi Insulin Akibat Peningkatan Kadar Glukosa Dalam

Darah ... 11

Gambar 2. Tanaman Buncis ... 12

Gambar 3. Struktur Glibenklamid ... 15

Gambar 4. Flowchart Pengelompokkan dan Perlakuan Hewan Uji ... 27

Gambar 5. Reaksi Enzimatik Glukosa dengan Reagen GOD-PAP ... 33

(18)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) ... 43

Lampiran 2. Surat Keterangan Determinasi Tanaman ... 44

Lampiran 3. Bahan dan Alat Penelitian ... 45

Lampiran 4. Preparasi Bahan ... 46

Lampiran 5. Hasil Rangkaian Uji Statistik LDDK0-240: Penetapan Waktu Pemberian Glibenklamid ... 50

Lampiran 6. Hasil Rangkaian Uji Statistik LDDK0-240: Orientasi Dosis Pemberian Jus Buncis ... 52

Lampiran 7. Hasil Rangkaian Uji Statistik LDDK0-240: Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Jus Buncis ... 55

Lampiran 8. Leaflet Reagen GOD-PAP ... 58

(19)

xvi INTISARI

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit insufisiensi insulin karena menurunnya produksi insulin atau resistensi insulin. Penggunaan obat antidiabetik oral memiliki efek samping serta efek jangka panjang yang kurang menguntungkan. Oleh karena itu, penggunaan obat tradisional sebagai terapi DM sangat dianjurkan. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan tanaman yang secara empiris banyak digunakan di Indonesia sebagai terapi pendamping diabetes. Kandungan buncis yang berperan sebagai agen antidiabetes adalah β-sitosterol dan sigmasterol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus buncis terhadap kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah menggunakan 30 ekor tikus putih jantan galur Wistar terbagi dalam enam kelompok. Kelompok I diberi CMC 1% b/v, kelompok II diberi glibenklamid 0,45mg/kgBB dan pembebanan glukosa, kelompok III diberi CMC 1% b/v dan pembebanan glukosa, kelompok IV, V, dan VI diberi jus buncis dengan peringkat dosis 22,5, 50,85, dan 115,05g/kgBB, serta pembebanan glukosa. Semua perlakuan diberikan per oral. Efek hipoglikemik jus buncis diuji dengan metode Uji Toleransi Glukosa Oral (UTGO). Kadar glukosa darah diukur pada menit ke-0, 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, dan 240 menggunakan metode enzimatik GOD-PAP. Data LDDK0-240 tiap kelompok dianalisis secara statistik menggunakan metode Kolmogorov Smirnov dilanjutkan dengan One Way ANOVA dan uji Post-Hoc Scheffe bertaraf kepercayaan 95%.

Hasil analisis menunjukkan bahwa jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa. Dosis jus buncis yang dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa adalah 22,5g/kgBB, 50,85g/kgBB, 115,05g/kgBB.

(20)

xvii ABSTRACT

Diabetes Mellitus (DM) is an insulin insufficiency disease due to decreased production of insulin or insulin resistance. The use of oral antidiabetics has few side effects and harmful long term effects. Therefore, the use of traditional medicine as a treatment for DM patients is highly recommended. Beans (Phaseolus vulgaris L.) have been widely used in Indonesia as a complementary therapy for diabetes patients. Beans contain some chemical compounds which have the antidiabetic effect, such as flavonoids, β-sitosterol and sigmasterol. This study aimed to determine the effect of bean juice to decrease blood glucose levels of Wistar male rats burdened by glucose.

This research was experimental study with randomized controlled design using 30 Wistar male rats which are divided into six groups. Group I was treated with CMC 1% w/v, group II was treated with glibenclamide 0,45mg/kgBW and glucose loading, group III was treated with CMC 1% w/v and glucose loading, group IV, V, and VI were given 22.5, 50.85, and 115.05g/kgBW doses of bean juice, and glucose loading. All treatments are administered orally. The hypoglycemic effect of bean juice was tested by the Oral Glucose Tolerance Test (OGTT) method. Blood glucose levels were determined at minute 0, 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, and 240 using GOD-PAP enzymatic method. AUC0-240 for each group was statistically analyzed using the Kolmogorov-Smirnov method followed by One Way ANOVA and Post-Hoc Scheffe 95% confidence level.

The analysis showed that bean juice has the ability to decrease blood glucose levels. Bean juice at 22.5g/kgBW, 50.85g/kgBW, 115.05g/kgBW dose can reduce blood glucose levels.

(21)

1 BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

(22)

Terapi pengobatan DM yang paling sering dilakukan adalah penggunaan obat antidiabetik oral, seperti glibenklamid. Glibenklamid merupakan obat golongan sulfonilurea yang memiliki cara kerja merangsang sekresi insulin dari

sel-sel β Langerhans di pankreas (Syarif, Ascobat, Setiabudy, Estuningtyas,

Setiawati, dan Sunaryo, 2009). Glibenklamid memiliki efek samping seperti timbulnya alergi, mual, muntah, diare, gangguan susunan saraf pusat dan mata. Selain itu, konsumsi glibenklamid dalam jangka panjang berpotensi menyebabkan hipoglikemik, yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah berada pada keadaan di bawah normal. Dengan adanya efek samping serta efek jangka panjang penggunaan obat antidiabetik oral, WHO merekomendasikan penggunaan obat tradisional dalam pencegahan dan pengobatan penyakit di negara-negara berkembang (Gunawan, 2007).

Penggunaan obat tradisional untuk mengatasi masalah kesehatan bukanlah hal yang baru di Indonesia. Salah satu aplikasinya adalah pemanfaatan tanaman sebagai agen antidiabetes. Berbagai tanaman telah ditemukan memiliki aktivitas antidiabetes, termasuk diantaranya adalah buncis (Phaseolus vulgaris L.). Dalam buku berjudul “Miracle of Vegetables” yang disusun oleh Rizki (2013), dikatakan bahwa penambahan buncis sebanyak 600 gram/hari dalam diet selama 7 hari menunjukkan terjadinya penurunan kadar glukosa darah hingga 14% pada penderita diabetes, sedangkan buncis dalam bentuk ekstrak juga dapat menurunkan kadar glukosa darah pada kelinci diabetes terinduksi aloksan sampai 30%. Kandungan aktif buncis yang berperan dalam proses menekan tingkat kadar

(23)

berperan dalam merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin tanpa menyebabkan terjadinya hipoglikemik. Menurut Rizki (2013), secara empiris, masyarakat Indonesia mengonsumsi 250 gram buncis dalam bentuk jus dengan volume 150 mL. Konsumsi buncis diharapkan dapat menjadi terapi pendamping bagi penderita DM yang menjalani terapi obat-obatan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus buncis terhadap penurunan glukosa darah tikus jantan galur Wistar dengan metode Uji Toleransi Glukosa Oral (UTGO).

1. Permasalahan

a. Apakah jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa?

b. Berapakah dosis jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) yang dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian yang menggunakan tanaman buncis yang sudah dilakukan, diantaranya:

a. Pari dan Venkateswaran (2003) melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak air buncis (Phaseolus vulgaris L.) terhadap kadar glukosa darah ekor tikus terinduksi streptozotocin. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu pemberian 200mg/kgBB ekstrak air buncis dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus.

(24)

terhadap kadar glukosa darah kelinci jantan yang dibebani glukosa. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu pemberian 200, 300, dan 450 mg/kgBB ekstrak etanol 70% buncis dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus. c. Luka, Ollatunde, Tijjani, dan Olisa-Enewe (2013) melakukan penelitian

mengenai pengaruh pemberian ekstrak buncis (Phaseolus vulgaris L.) terhadap kadar glukosa darah tikus terinduksi aloksan. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu pemberian 400mg/kgBB ekstrak buncis dapat memberikan efek antidiabetik pada tikus.

Perbedaan dengan penelitian yang telah dilakukan terletak pada hewan uji, yaitu tikus jantan galur Wistar, jenis sediaan yang digunakan, yaitu jus buncis, dan metode induksi yang digunakan, yaitu pembebanan glukosa. Sejauh penelusuran pustaka oleh penulis, penelitian mengenai efek pemberian jus buncis terhadap kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa belum pernah dilakukan.

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jus buncis sebagai obat tradisional yang mampu menurunkan kadar glukosa darah. b. Manfaat Praktis

(25)

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian jus buncis terhadap kadar glukosa darah. 2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengaruh jus buncis terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa.

(26)

6 BAB II

Penelaahan Pustaka

A. Diabetes Mellitus

1. Definisi

Diabetes Mellitus (DM) yang umumnya dikenal sebagai kencing manis

didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis yang

ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan

metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi

insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi

produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan

oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes RI, 2006).

2. Gejala

Penyakit DM ditandai dengan adanya gejala klasik ‘trio-P’, yaitu:

a. Poliuria (banyak berkemih)

Kadar glukosa darah pada pasien dengan defisiensi insulin umumnya

melampaui 120mg/dL. Setelah kadar glukosa darah >180mg/dL, taraf maksimal

reabsorbsi glukosa pada tubulus renalis akan dilampaui, dan glukosa akan

diekskresikan ke dalam urin (glukosuria). Glukosa bersifat diuresis osmotik,

sehingga diuresis sangat meningkat disertai dengan hilangnya elektrolit

(Syahputra, 2003).

b. Polidipsi (banyak minum)

Banyaknya elektrolit yang hilang bersamaan dengan urin menyebabkan

(27)

dehidrasi menimbulkan rasa haus pada penderita DM dan badan berusaha untuk

mengatasinya dengan banyak minum air (Handoko dan Suharto, 1995).

c. Polifagi (banyak makan)

Penderita DM mengalami kekurangan pasokan glukosa dalam sel-sel

tubuh, meskipun kadar glukosa dalam darah tinggi. Pemenuhan kebutuhan

glukosa dalam sel dilakukan dengan ekskresi cadangan glukosa, yang diiringi

dengan hilangnya empat kalori untuk tiap gram glukosa yang diekskresi. Tubuh

menerima sinyal terkait rasa lapar akibat berkurangnya cadangan glukosa dan

kalori dalam tubuh. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya rasa lapar pada

penderita DM (Lanywati, 2001).

3. Klasifikasi

Menurut American Diabetes Association (2010), DM diklasifikasikan

menjadi 4 tipe, antara lain:

a. Diabetes Mellitus Tipe 1 (DMT1)

DMT1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β Langerhans yang

disebabkan oleh reaksi autoimun yang menyebabkan defisiensi sekresi insulin,

dan ada juga yang bersifat idiopatik (tidak diketahui dengan jelas penyebabnya).

Sekresi glukagon yang berlebihan juga ditemukan pada penderita DMT1, dimana

pada kondisi normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon. Pada

kasus DMT1 sekresi glukagon tetap tinggi seiring terjadinya hiperglikemia,

sehingga memperparah kondisi hiperglikemia. Walaupun bentuk diabetes ini

kebanyakan terjadi pada anak-anak dan remaja, namun tipe ini dapat terjadi juga

(28)

memperbaiki katabolisme, mencegah ketoasidosis, dan menurunkan

hiperglukagonemia, serta menurunkan kadar glukosa darah.

b. Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2)

DMT2 merupakan suatu penyakit akibat ketidakmampuan tubuh untuk

merespon dengan wajar terhadap aktivitas insulin yang dihasilkan oleh pankreas

(resistensi insulin). Penderita DMT2 mengalami kerusakan sel beta pankreas yang

disebabkan oleh adanya oksidasi radikal bebas, yang menyebabkan penurunan

sekresi hormon insulin, baik dari segi jumlah maupun kualitas. DMT2 merupakan

jenis diabetes yang paling sering ditemukan, diperkirakan 90% dari seluruh

penderita DM di Indonesia. Sebagian besar DMT2 disebabkan oleh gaya hidup

yang tidak sehat seperti konsumsi junk food, minuman beralkohol, dan jarang

berolahraga. Penderita DMT2 tidak membutuhkan insulin untuk pengobatan.

c. Diabetes Mellitus Gestasional (DMG)

DMG merupakan nama lain dari DM dalam masa kehamilan. DMG

merupakan suatu kondisi kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan

resistensi insulin, yang umumnya dijumpai pada trimester kedua atau ketiga.

Faktor risiko GDM yang utama yaitu faktor genetik dan obesitas. Wanita yang

memiliki sejarah keluarga positif DM, dianjurkan untuk menjalani skrining pada

minggu 24-48 usia kehamilannya. Deteksi awal ini sangat penting karena dapat

mengurangi angka kelahiran bayi abnormal dan kematian bayi.

d. Diabetes Mellitus Bentuk Lain

DM bentuk lain merupakan diabetes yang berkaitan dengan

(29)

defek genetik fungsi insulin, endokrinopati, penyakit akibat obat atau zat kimia,

infeksi, imunologi, dan sindrom genetik.

4. Diagnosis

Diagnosis DM dapat ditegakkan berdasarkan penemuan gejala-gejala

klasik diabetes (poliuria, polidipsia, dan polifagia) dan hiperglikemia yang

ditunjukkan dengan pengukuran kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL atau

glukosa darah puasa ≥126 mg/dL. Selain pengukuran kadar glukosa darah,

International Diabetes Federation (IDF) merekomendasikan tes HbA1c sebagai

penegak diagnosis DM pada tahun 2012. Hasil tes positif DM ditunjukkan dengan

ketetapan nilai HbA1c ≥ 6,5%. Diagnosis DM juga dapat dilakukan berdasarkan

kadar glukosa darah pada UTGO seperti pada Tabel I berikut ini.

Tabel I. Kriteria Penegakan Diagnosis DM Kadar glukosa darah

puasa (mg/dL)

Kadar glukosa darah 2 jam setelah makan (mg/dL)

Normal <110 <140

Pra-diabetes: IFG atau IGT

110-125 -

- 140-199

Diabetes ≥126 ≥200

Keterangan:

Pra-diabetes : kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi daripada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikategorikan ke dalam DM. Ada dua kondisi pra-diabetes, yaitu:

IFG : Impaired Fasting Glucose, keadaan dimana kadar glukosa darah puasa seseorang 110-125 mg/dL;

IGT : Impaired Glucose Tolerance, keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang pada UTGO berada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikategorikan ke dalam kondisi diabetes. Diagnosa IGT ditetapkan apabila kadar glukosa darah seseorang 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosa per oral berada antara 140-199 mg/dL.

(Merentek, 2006)

B. Metabolisme Karbohidrat

Pencernaan karbohidrat sudah dimulai sejak makanan masuk ke dalam

(30)

luas permukaan kontak dengan enzim pencernaan juga lebih besar. Karbohidrat

akan diuraikan menjadi molekul yang lebih sederhana dengan bantuan enzim

amilase. Penguraian ini berkaitan dengan penyerapan karbohidrat dalam bentuk

disakarida pada usus halus. Disakarida kemudian diubah ke dalam bentuk glukosa

untuk selanjutnya memasuki fase metabolisme. Setelah melalui dinding usus

halus, glukosa akan diangkut menuju ke hepar. Apabila jumlah karbohidrat yang

dimakan melebihi kebutuhan tubuh, sebagian karbohidrat akan diikat di dalam

hati dan disimpan dalam bentuk glikogen untuk mempertahankan kadar glukosa

darah dalam batas normal. Kapasitas pembentukan glikogen memiliki batas

maksimum 350 gram, selebihnya karbohidrat akan diubah menjadi lemak dan

disimpan di jaringan lemak (Merentek, 2006).

Glukosa di dalam tubuh berperan sebagai bahan bakar proses metabolisme

dan sumber energi utama bagi kerja otak. Glukosa digunakan untuk mensintesis

molekul ATP (adenosine triphosphate). Tubuh yang memerlukan energi akan

melakukan pembakaran glukosa yang diambil dari dalam aliran darah. Kadar gula

darah akan diisi kembali oleh glikogen dalam hati dan dalam kebutuhan besar

disusul dengan mobilisasi lemak (Merentek,2006).

Regulasi glukosa darah selain tergantung pada glukagon dan lemak, juga

dipengaruhi oleh adanya hormon insulin (Gambar 1). Kadar glukosa darah akan

segera meningkat setelah makan dan akan menurun saat tidak ada asupan

makanan. Hormon insulin berperan dalam mencegah terjadinya fluktuasi glukosa

yang signifikan. Hormon insulin disekresikan oleh sel β pankreas ketika kadar

(31)

fase, yaitu early peak

makan, memanfaatkan

lanjut (fase 2) yang terja

Sekresi insulin te

ditangkap oleh sel β pa

kemudian dibawa ke da

fosfat (G6P) dengan ban

menjadi asam piruvat.

jumlah besar akan me

mengakibatkan depolaris

Kalsium akan masuk k

(Merentek, 2006).

Gambar 1. Sekresi Insu (Mahendra

k (fase 1) yang terjadi pada 3-10 menit pertam

n insulin yang disimpan dalam sel β pankreas

rjadi 20 menit setelah stimulasi glukosa (Merentek

terjadi saat kadar glukosa darah meningkat dan

pankreas melalui glucose transporter 2 (GLUT2

dalam sel dan mengalami fosforilase menjadi

antuan enzim glukokinase. G6P akan mengalam

t. Proses glikolisis juga menghasilkan ATP, ya

menutup kanal kalium. Penumpukan kalium

risasi sel sehingga menyebabkan terbukanya kana

ke dalam sel dan insulin akan dilepaskan ke

sulin Akibat Peningkatan Kadar Glukosa Dala ra, Tobing, Krisnatuti, Alting, 2008)

tama setelah

as, dan fase

tek, 2006).

an sinyalnya

2). Glukosa

i

glukosa-6-mi glikolisis

yang dalam

dalam sel

nal kalsium.

e dalam sel

(32)

C. Buncis 1. Uraian Tanaman

Buncis (Gambar 2) dikenal dengan

nama latin Phaseolus vulgaris L. Buncis

merupakan tanaman berhari pendek (pada

fase pembungaan tanaman ini memerlukan

penyinaran matahari dengan jumlah kurang

dari dua belas jam setiap harinya), oleh

karena itu tanaman buncis mudah

dikembangkan di Indonesia. Tanaman buncis

merupakan tumbuhan yang memiliki dua tipe pertumbuhan, yakni tegak dan

merambat. Tanaman buncis tipe tegak memiliki tinggi 35-40 cm dari permukaan

tanah, sedangkan tipe merambat batangnya dapat mencapai 2,5-3,5 m. Tanaman

buncis terdiri atas akar, batang, bunga, daun, buah serta biji. Akar tanaman buncis

merupakan akar tunggang, akar cabang, dan akar serabut. Batangnya tidak

berkayu, tidak keras, dan umumnya berbuku-buku. Buncis memiliki bunga yang

berukuran besar dan mudah terlihat. Bunga tersebut berwarna putih, merah jambu,

atau ungu. Daun buncis beranak daun-tiga dan menyirip, berbentuk jorong

segitiga dan bersifat majemuk tiga. Bakal buah buncis berbentuk panjang bulat

atau panjang pipih. Polong buncis muda berwarna putih hijau muda segar

kekuningan sedangkan yang tua berwarna kecoklatan (Amin, 2014). Gambar 2. Tanaman Buncis

[image:32.612.91.516.120.613.2]
(33)

2. Taksonomi

Kingdom : Plantae

Sub Kingdom : Tracheobionta

Divisi : Spermathophyta

Super Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Sub Kelas : Calyciflorae

Ordo : Leguminales

Famili : Papilionaceae

Sub Famili : Papilionoideae

Genus : Phaseolus

Spesies : Phaseolus vulgaris L. (Amin, 2014).

3. Kandungan Tanaman

Buah buncis memiliki kandungan kimia pada biji dan kulitnya. Biji buncis

mengandung glukoprotein, tripsin inhibitor, hemaglutinin, β-sitosterol,

stigmasterol, kampesterol, alantonin, dan inositol. Kulit buncis mengandung

leukopelargonidin, leukosianidin, leukodelpinidin, kuersetin, pelargonidin,

sianidin, kaempferol, petunidin, delfinidin, malvidin, dan mirsetin (Dalimartha,

2003). Adanya kandungan senyawa flavonoid, seperti misalnya kuersetin,

memiliki dua peranan penting dalam pencegahan DM. Senyawa flavonoid dapat

berperan sebagai antioksidan berfungsi untuk melindungi sel β pankreas dari

kerusakan akibat radikal bebas sekaligus sebagai α-amylase inhibitor (Judge dan

(34)

berfungsi sebagai agen antidiabetes yang dapat merangsang sekresi insulin dari

pankreas (Setyadhini, 2006).

Selain kandungan kimia, buncis juga memiliki kandungan gizi yang baik.

Buncis merupakan sayuran yang cocok bagi orang yang ingin menjaga asupan

kalorinya, dimana setiap 100 gram buncis hanya mengandung 35 kalori dengan

kandungan protein dan serat yang cukup tinggi. Kandungan gizi per 100 gram

[image:34.612.93.516.215.598.2]

buncis dapat dilihat pada Tabel II berikut ini.

Tabel II. Kandungan Gizi per 100 Gram Buncis

Kandungan Gizi Jumlah

Energi 35 kal

Protein 2,4 g

Lemak 0,2 g

Karbohidrat 7,7 g

Kalsium 6,5 g

Serat 1,2 g

Fosfor 4,4 g

Zat besi 1,1 g

Vitamin A 630 µg

Vitamin B1 0,08 mg

Vitamin B2 0,1 mg

Vitamin B3 0,7 mg

Vitamin C 19 mg

Air 89 g

(Waluyo dan Djuariah, 2013)

D. Glibenklamid

Glibenklamid (Gambar 3) merupakan obat antidiabetik oral golongan

sulfonilurea generasi II yang sering disebut sebagai insulin secretagogue.

Mekanisme kerja glibenklamid adalah merangsang sekresi insulin dari sel

ß-pankreas pulau Langerhans dengan menutup kanal ion K+. Penutupan kanal ini

(35)

Dengan terbukanya kana

[image:35.612.93.515.176.560.2]

pankreas dan mendorong

Gambar 3.

Dosis awal pem

makan dan maksimum

Penggunaan glibenklam

berlangsung selama 12

sehari. Efek samping ya

gangguan susunan saraf

E

Uji efek antidiab

1. Metode Uji Tolerans

Toleransi glukos

dalam tubuh. Kadar gluk

secara oral. Puncak kad

kembali normal setelah 2

Prinsip UTGO a

dipuasakan selama 10-16

nal ion Ca2+ maka terjadi pasokan ion Ca2+ ke da

ng insulin keluar menuju sel (Syarif, 2009).

. Struktur Glibenklamid (Depkes RI, 1995)

emberian glibenklamid adalah sebesar 5 mg/ha

um 15 mg/hari (Royal Pharmaceutical Socie

lamid dapat menimbulkan efek hipoglikem

12-24 jam, sehingga penggunaannya cukup 1 k

yang dapat terjadi adalah alergi, mual, muntah,

af pusat dan mata (Sustraini, Alam, Hadibroto, 200

E. Metode Uji Efek Antidiabetes

abetes dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu:

nsi Glukosa Oral (UTGO)

osa adalah kemampuan tubuh untuk menggunaka

lukosa darah akan naik dengan pemberian glukosa

adar glukosa terjadi dalam setengah atau 1 jam

h 2-3 jam (Depkes RI, 2006).

adalah pemberian glukosa terhadap hewan uji

16 jam, kemudian diambil darahnya sebanyak 0,5

dalam sel

β-/hari setelah

iety, 2011).

emia yang

kali dalam

h, diare, dan

005).

u:

kan glukosa

sa 1 g/kgBB

m dan akan

ji yang telah

(36)

mengukur kadar glukosa awal. Hewan uji kemudian dibebani larutan glukosa

monohidrat secara peroral. Pengambilan darah diulangi sesuai dengan interval

waktu yang ditentukan (Adam, 2000).

2. Metode Uji Perusakan Pankreas

Metode ini dilakukan dengan memberikan diabetogen yang dapat

menyebabkan kerusakan pada pankreas hewan uji sehingga terkondisi seperti

penderita DM. Diabetogen yang banyak digunakan antara lain aloksan dan

streptozotosin. Prinsip dari metode ini adalah induksi diabetes yang diberikan

pada hewan uji dengan injeksi diabetogen secara intravena (Permatasari, 2008).

3. Metode Resistensi Insulin

Metode ini biasanya dilakukan dengan menggunakan spontaneous diabetic

rats (tikus biobreeding, WBN/KOB, dan Goto-Kakizaki) yang merupakan tikus

non-obesitas yang mengalami resistensi insulin. Akan tetapi, metode ini belum

dapat diterapkan di Indonesia karena ketersediaan hewan uji ini masih jarang.

Penggunaan hewan uji yang lebih umum digunakan di Indonesia yaitu Wistar

Fatty Rat (WFR), yang dikembangkan dengan pemberian asupan glukosa/sukrosa

dan pakan tinggi kalori dalam waktu jangka panjang (Ghani, DeFronzo, 2010).

F. Metode Penetapan Kadar Glukosa Darah

Menurut Widowati, Dzulkarnain, dan Sa’roni (1997) penetapan kadar

glukosa darah dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu:

1. Metode Kondensasi dengan Gugus Amina

Prinsip dari metode ini adalah pengondensasian aldosa dengan

(37)

dengan perubahan warna larutan menjadi hijau. Intensitas warna yang dihasilkan

berbanding lurus dengan kadar glukosa darah terukur.

2. Metode Enzimatik

Kadar glukosa darah dapat diukur secara enzimatik, menggunakan enzim

glukosa oksidase (GOD). Glukosa akan dioksidasi menjadi asam glukoronat

disertai dengan pembentukan hidrogen peroksida (H2O2). Adanya enzim

peroksidase (POD) akan mendorong H2O2 untuk membebaskan oksigen yang akan

mengoksidasi akseptor kromogen (aminoantipirin dan fenol) menghasilkan warna

merah. Kadar glukosa darah ditentukan berdasarkan intensitas warna yang

terbentuk.

3. Metode Oksidasi-Reduksi

Pada metode ini, terjadi proses oksidasi dengan menggunakan oksidan

ferrisiamida. Oksida akan direduksi menjadi ferrosiamida oleh glukosa dalam

suasana basa dengan pemanasan. Kelebihan ferri pada larutan dititrasi secara

iodometri.

G. Landasan Teori

DM merupakan suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis yang

ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah disertai dengan gangguan

metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi

insulin. Terapi DM menggunakan obat antidiabetik oral dapat menimbulkan efek

samping dan efek jangka panjang yang kurang menguntungkan. Pada tahun 2003,

WHO merekomendasikan penggunaan obat tradisional untuk menyembuhkan atau

(38)

jangka panjang. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan salah satu tanaman

yang memiliki daya hipoglikemik. Mekanisme utama penurunan kadar glukosa

darah oleh buncis adalah β-sitosterol serta sigmasterol sebagai stimulan sel β

pankreas dalam sekresi insulin.

H. Hipotesis

Jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) dapat menurunkan kadar glukosa darah

(39)

19

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian eksperimental

murni, yaitu penelitian dengan melakukan percobaan terhadap kelompok

perlakuan dan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak dikenai

perlakuan. Penelitian ini dikerjakan dengan rancangan acak lengkap pola searah,

yaitu cara menetapkan sampel dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol

dengan pengacakan agar setiap sampel punya peluang yang sama untuk dapat

dikategorikan dalam kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Penelitian

dilakukan secara lengkap yaitu dalam penelitian terdapat kelompok kontrol

normal, kelompok kontrol positif, kelompok kontrol negatif, dan kelompok

perlakuan. Pola searah ditunjukkan dengan adanya perlakuan yang sama pada

kelompok perlakuan, yaitu pemberian jus buncis (Phaseolus vulgaris L.)

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel utama

a. Variabel bebas. Dosis jus buncis (Phaseolus vulgaris L.)

b. Variabel tergantung. Kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali

1) Subjek uji : tikus putih

2) Jenis kelamin : jantan

(40)

4) Berat badan subjek uji : 150-200 gram

5) Umur subjek uji : 2-3 bulan

6) Jalur pemberian : peroral

b. Variabel pengacau tak terkendali.

1) Variabel biologis hewan uji yaitu proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan

eliminasi hewan uji terhadap pemberian jus buncis.

2) Kondisi patofisiologis hewan uji.

3. Definisi operasional

a. Jus buncis adalah potongan buah buncis yang dijus dalam air putih

menggunakan blender kemudian disaring sehingga dihasilkan jus buncis.

b. Uji Toleransi Glukosa Oral (UTGO) merupakan suatu metode penetapan

kadar glukosa dengan cara memberikan beban glukosa terhadap tikus dengan

larutan glukosa monohidrat secara oral dengan dosis 1,75 g/kgBB.

c. LDDK0-240 kadar glukosa dalam darah adalah besaran yang menggambarkan

jumlah kadar glukosa dalam darah pada rentang waktu menit ke-0 sampai

menit ke-240 yang dihitung menggunakan metode trapezoid.

C. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan Penelitian

a. Hewan uji. Tikus putih jantan galur Wistar, umur 2-3 bulan, berat badan

150-200 gram diperoleh dari Bantul, Yogyakarta.

b. Bahan uji. Buncis, diperoleh dari Condong Catur, Yogyakarta.

(41)

d. Pereaksi untuk pengukuran kadar glukosa. Reagen GOD-PAP (Glucose GOD

[image:41.612.91.520.152.674.2]

FS* oleh DiaSys®, Jerman).

Tabel III. Isi reagen GOD-PAP

Isi Jumlah

Phosphat buffer (pH 7,5) 250 mmol/L

Phenol 5 mmol/L

4-aminoantipyrine 0,5 mmol/L Glucose oxidase (GOD) ≥10 kU/L Peroxidase (POD) ≤1 kU/L Standard 100 mg/dL (5,5 mmol/L)

(DiaSys, 2014)

e. Lain-lain

1) EDTA sebagai antikoagulan

2) Glukosa monohidrat p.a. dengan dosis 1,75 g/kgBB sebagai bahan untuk

UTGO

3) Aquadest

4) Aquabidest sebagai blanko pada pengukuran kadar glukosa darah

5) CMC 1% sebagai kontrol normal dan pelarut glibenklamid

2. Alat Penelitian

a. Seperangkat alat gelas (Beaker glass, labu ukur, gelas ukur, pengaduk)

b. Jarum suntik (injeksi peroral)

c. Pipa kapiler hematokrit

d. Tabung effendorf

e. Tabung reaksi

f. Mikropipet 100µL, 1000µL

g. Glassfin dan pipet volum

(42)

i. Sentrifuge

j. MicroVitalab-200

k. Alat timbang elektrik

l. Vortex

m. Blender

n. Penyaring

o. Stopwatch

D. Tata Cara Penelitian

1. Determinasi tanaman

Determinasi dilakukan dengan mencocokkan kesamaan buah buncis yang

dibeli dengan ciri-ciri yang terdapat dalam buku taksonomi dan determinasi oleh

ahli determinan sehingga diperoleh surat keterangan determinasi. Determinasi

dilakukan di Bagian Biologi Farmasi, Unit II Fakultas Farmasi Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta oleh Bapak Djoko Santoso, M.Si.

2. Pengumpulan bahan uji

Buncis yang digunakan diperoleh dari Condong Catur Yogyakarta.

3. Pembuatan jus buncis

Jus buncis dibuat dengan mencampurkan 250 gram potongan buah buncis

dan 100 mL air yang diblender dan disaring, sehingga didapatkan jus buncis

(volume 150 mL).

4. Perhitungan dosis pemberian jus buncis

Konsentrasi konsumsi jus buncis untuk manusia dewasa (70 kg) adalah

(43)

(150 mL). Dosis untuk tikus didapat dari konversi empiris manusia ke tikus,

sehingga diperoleh dosis sebesar 22,5g/kgBB. Dosis ini ditetapkan sebagai dosis

terendah. Selanjutnya dilakukan penentuan peringkat dosis untuk dosis tengah dan

dosis tertinggi. Dosis tertinggi ditentukan dengan melihat konsentrasi maksimum

jus buncis yang masih dapat masuk ke dalam spuit injeksi oral tanpa memberikan

penyumbatan dan konsentrasi maksimum jus buncis yang tidak menyebabkan

kematian pada hewan uji, diperoleh hasil 115,05g/kgBB. Dosis tengah didapatkan

dengan mencari faktor peringkat terlebih dahulu, dengan rumus ≥ = ,

dimana n adalah jumlah kelompok peringkat dosis jus buncis, D3 adalah dosis

tertinggi jus buncis dan D1 adalah dosis terendah jus buncis. Diperoleh nilai f

sebesar 2,26. Dosis tengah dihitung dengan cara mengalikan dosis terendah jus

buncis dengan faktor peringkat, sehingga diperoleh dosis sebesar 50,85g/kgBB

(Lampiran 4d).

5. Preparasi bahan

a. Pembuatan larutan stok glukosa p.a 15,0% b/v. Glukosa monohidrat p.a

ditimbang sebanyak 3,75 gram dilarutkan dalam aquadest panas dalam labu

takar 25,0 mL sampai tanda batas.

b. Pembuatan larutan CMC 1% b/v. CMC ditimbang sebanyak 1 gram dan

dilarutkan dengan akuades dalam labu ukur 100 mL hingga batas tanda.

c. Penentuan keseragaman bobot tablet glibenklamid. Timbang 20 tablet

glibenklamid secara acak, hitung dan catat masing-masing bobotnya. Saat

penimbangan, tidak boleh ada lebih dari dua tablet yang masing-masing

(44)

lebih besar daripada harga yang ditetapkan pada kolom A, dan tidak satu

tabletpun menyimpang dari bobot rata-ratanya, dengan persentase

penyimpangan lebih besar dari harga yang ditetapkan pada kolom B (Tabel

[image:44.612.93.515.189.614.2]

IV)

Tabel IV. Keseragaman Bobot Tablet

Bobot rata-rata Penyimpangan bobot rata-rata (%)

A B

25 mg 15 30

26-150 mg 10 20

151-300 mg 7,5 15

> 300 mg 5 20

(Depkes RI, 1979)

d. Pembuatan suspensi glibenklamid 0,1125 mg/mL. Timbang sebanyak 20

tablet glibenklamid dan gerus hingga homogen. Timbang 25 mg serbuk

glibenklamid, larutkan dengan CMC 1% dalam labu takar 10 mL sampai batas

tanda sebagai larutan stok glibenklamid. Supensi glibenklamid dengan

konsentrasi 0,1125 mg/mL dibuat dengan mengambil 0,45 mL larutan stok,

larutkan dengan aquadest dalam labu ukur 10 mL hingga batas tanda.

e. Penentuan dosis glibenklamid. Dosis glibenklamid untuk manusia 70 kgBB

yaitu 5 mg, sehingga dosis untuk tikus yaitu:

faktor konversi manusia ke tikus = 0,018

5 mg × 0,018 = 0,09mg/200gBB

= 0,45mg/kgBB

6. Orientasi waktu pemberian glibenklamid

Orientasi dilakukan dengan menggunakan dua belas ekor tikus yang

terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok 15, 30, dan 45 menit sebelum

(45)

tikus mendapat perlakuan kontrol positif (suspensi glibenklamid 0,45mg/kgBB

dan pembebanan glukosa 0,45mg/kgBB) dan dua ekor tikus mendapat perlakuan

kontrol negatif (CMC 1% b/v dan pembebanan glukosa 0,45mg/kgBB).

Semua pemberian dilakukan dilakukan secara peroral kemudian dilakukan

UTGO dengan memberikan larutan glukosa monohidrat 15% b/v dosis 1,75

mg/kgBB. Pengambilan darah dilakukan sesaat sebelum UTGO sebagai menit

ke-0 dan pada menit ke-15, 3ke-0, 45, 6ke-0, 9ke-0, 12ke-0, 18ke-0, dan 24ke-0 setelah UTGO.

Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar glukosa darah dengan metode

GOD-PAP dan dibuat kurva UTGO serta perhitungan harga LDDK0-240. Penentuan

waktu pemberian glibenklamid berdasarkan pada nilai LDDK0-240 kontrol positif

terkecil.

7. Orientasi waktu pemberian jus buncis

Penetapan waktu pemberian jus buncis mengikuti waktu yang diperoleh

dari hasil orientasi penetapan waktu pemberian glibenklamid.

8. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji

Penelitian ini mengikuti rancangan acak lengkap pola searah, yaitu tiga

puluh ekor tikus dibagi secara acak menjadi 6 kelompok, masing-masing terdiri

dari lima ekor. Tiap hewan uji diadaptasikan dalam laboratorium dengan kondisi

yang sama, jauh dari kebisingan dan dihindarkan dari stress selama 7 hari.

Sebelum diberi perlakuan, masing-masing kelompok dipuasakan selama 10-16

jam dengan tetap diberi minum ad libitum, lalu diberi perlakuan sebagai berikut:

(46)

b. Kelompok II yaitu pemberian glibenklamid 0,45 mg/kgBB dan pembebanan

glukosa monohidrat p.a 15% b/v dosis 1,75 mg/kgBB (kontrol positif).

c. Kelompok III yaitu pemberian CMC 1% b/v dan pembebanan glukosa

monohidrat p.a 15% b/v dosis 1,75 mg/kgBB (kontrol negatif).

d. Kelompok IV yaitu pemberian jus buncis dosis 22,5g/kgBB dan pembebanan

glukosa monohidrat p.a 15% b/v dosis 1,75 mg/kgBB.

e. Kelompok V yaitu pemberian jus buncis dosis 50,85g/kgBB dan pembebanan

glukosa monohidrat p.a 15% b/v dosis 1,75 mg/kgBB.

f. Kelompok VI yaitu pemberian jus buncis dosis 115,05g/kgBB dan

pembebanan glukosa monohidrat p.a 15% b/v dosis 1,75 mg/kgBB.

Masing-masing kelompok kemudian diambil darahnya sebagai menit ke-0.

UTGO dilakukan dengan memberikan larutan glukosa monohidrat p.a 15% b/v

dosis 1,75mL/kgBB. Waktu pemberian jus buncis disesuaikan dengan hasil

orientasi pemberian glibenklamid. Semua perlakuan dilakukan secara per oral.

Pengambilan cuplikan darah dilanjutkan untuk menit ke-15, 30, 45, 60, 90, 120,

180, dan 240 setelah UTGO. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan dengan

metode GOD-PAP, dibuat kurva UTGO dan perhitungan harga LDDK0-240

(47)

Keterangan:

Kelompok dengan kotak perlakuan berwarna biru aqua (kelompok II, III, IV, V, dan VI) diberikan pembebanan glukosa monohidrat 15% b/v dosis 1,75mg/kgBB, sedangkan kelompok dengan kotak perlakuan berwarna putih (kelompok I) tidak diberikan pembebanan glukosa.

Gambar 4. Flowchart Pengelompokkan dan Perlakuan Hewan Uji

30 ekor tikus

Pengambilan cuplikan darah menit ke-0

Injeksi per oral glukosa monohidrat 15% b/v dosis 1,75mg/kgBB

Pengambilan cuplikan darah menit ke-15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240

(setelah UTGO)

selang waktu antara pengambilan cuplikan darah dengan UTGO (pembebanan

glukosa) menyesuaikan hasil penetapan waktu pemberian glibenklamid

Sentrifugasi selama 30 menit, 3000 rpm

Peracikan blanko dan sampel

Operating time 20 menit

Vortex

Pengukuran kadar glukosa darah pada microVitalab 200 Kelompok I (n=5) Kelompok V (n=5) Kelompok II (n=5) Kelompok VI (n=5) Kelompok IV (n=5) Kelompok III (n=5)

injeksi per oral CMC 1% b/v

injeksi per oral suspensi glibenklamid 0,45mg/kgBB

injeksi per oral CMC 1% b/v

injeksi per oral jus buncis 22,5g/kgBB

injeksi per oral jus buncis 50,85g/kgBB

(48)

9. Penetapan kadar glukosa darah dengan metode GOD-PAP

Darah tikus diambil pada waktu-waktu yang telah ditentukan melalui

carvenous sinus (belakang mata) sebanyak 0,5 mL ditampung dalam effendorf

yang telah diberi EDTA dan disentrifuge selama 30 menit dengan kecepatan 3000

rpm. Plasma diambil, dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambahkan reagen,

divortex dan diukur kadar gula darahnya menggunakan microVitalab pada λ 500

nm. Kadar glukosa dinyatakan dalam mg/dL. Pengukuran kadar glukosa

dilakukan di laboratorium Fisiologi-Biokimia Fakultas Farmasi Universitas

[image:48.612.95.513.218.585.2]

Sanata Dharma, Yogyakarta.

Tabel V. Volume Pengukuran Kadar Glukosa Darah

Bahan Sampel (mL) Standar (mL) Blanko (mL)

Supernatan 0,01 - -

Larutan baku glukosa - 0,01 -

Pereaksi GOD-PAP 1 1 1

(DiaSys, 2014)

E. Analisis Hasil

Data LDDK0-240 glukosa darah setiap kelompok dianalisis secara statistik,

diawali dengan uji distribusi dan uji homogenitas menggunakan uji Kolmogorov

Smirnov. Apabila distribusi termasuk normal dan variansinya homogen (p > 0,05)

maka dilanjutkan dengan analisis One Way ANOVA dan uji Post Hoc Test

Scheffe dengan tingkat kepercayaan 95%. Apabila distribusi tidak normal dan nilai

LDDK0-240 memiliki variansi yang berbeda (p < 0,05) maka dilakukan uji Kruskal

Wallis dan dilanjutkan uji Mann Whitney dengan tingkat kepercayaan 95% untuk

mengetahui perbedaan tiap kelompok apakah bermakna (p<0,05) atau tidak

(49)

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Determinasi Tanaman

Pada penelitian ini dilakukan determinasi tanaman uji berupa tanaman

buncis (Phaseolus vulgaris L,) dengan tujuan untuk memastikan bahwa tanaman

yang digunakan adalah benar tanaman buncis. Buncis yang diperoleh dari

Condong Catur, Yogyakarta, kemudian dideterminasi di Bagian Biologi Farmasi,

Unit II Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta oleh Bapak Djoko

Santoso, M.Si. Bagian tanaman yang digunakan untuk determinasi meliputi akar,

batang, daun, buah, dan bunga.

Determinasi dilakukan hingga tingkat spesies dan hasil yang diperoleh

menunjukkan bahwa bahwa tanaman yang dideterminasi adalah benar tanaman

buncis (Phaseolus vulgaris L.) (Lampiran 2).

B. Hasil Percobaan Pendahuluan

1. Penetapan waktu pemberian glibenklamid

Tujuan dilakukannya penetapan waktu pemberian glibenklamid adalah

untuk melihat pengaruh selang waktu pemberian glibenklamid terhadap daya

penurunan glukosa darah, agar pada saat uji toleransi glukosa oral (UTGO)

dengan pembebanan larutan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v,

glibenklamid dapat memberikan efek penurunan kadar glukosa darah yang

optimal.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah UTGO yaitu uji yang

(50)

setelah pembebanan glukosa. Metode ini juga memberikan gambaran mengenai

efek penurunan kadar glukosa darah secara cepat oleh obat atau zat yang memiliki

efek menurunkan kadar glukosa darah karena glukosa cepat dimetabolisme.

Kelemahan dari UTGO adalah metode ini hanya dapat menggambarkan kenaikan

kadar glukosa darah yang bersifat sementara. Untuk itu perlu dilakukan uji

lanjutan dengan menggunakan metode uji efek antidiabetes yang lain seperti uji

perusakan pankreas atau metode resistensi insulin, dimana hewan uji dapat

terindikasi DM secara permanen.

Waktu pemberian glibenklamid pada hewan uji didasarkan pada

penurunan harga luas daerah dibawah kurva dari menit ke-0 sampai menit ke-240

(LDDK0-240), dimana waktu pemberian yang dipilih merupakan waktu pemberian

yang memiliki nilai LDDK0-240 kontrol positif paling kecil.

Tabel VI. Hasil UTGO dan Perhitungan Selisih Nilai LDDK0-240 Rata-Rata Suspensi Glibenklamid Dosis 0,45mg/kgBB

Selang waktu pemberian

suspensi glibenklamid sebelum UTGO

LDDK0-240 Rata-Rata(mg.menit/dL) Selisih LDDK0-240 (mg.menit/dL) Kontrol negatif

(CMC 1% b/v)

Kontrol positif (glibenklamid

dosis 0,45mg/kgBB)

15 33000,0 21701,5 11298,5

30 32951,5 17783,0 15168,5

45 33907,5 20483,0 13424,5

Tabel VI menunjukkan bahwa glibenklamid pada menit ke-30 sebelum

UTGO memiliki nilai LDDK0-240 kontrol positif paling kecil (17783,0

mg.menit/dL) bila dibandingkan dengan menit ke-15 (21701,5 mg.menit/dL) dan

menit ke-45 (20483,0 mg.menit/dL), sehingga waktu pemberian glibenklamid

[image:50.612.97.520.216.598.2]
(51)

2. Penetapan dosis sediaan jus buncis

Penetapan dosis sediaan jus buncis bertujuan untuk menentukan dosis

yang optimal dalam memberikan penurunan kadar glukosa darah namun tidak

memberikan efek letal pada hewan uji. Penggunaan jus buncis secara empiris

adalah 250 gram buncis dijus dalam 100 mL air dan disaring, sehingga didapatkan

konsentrasi 250g/150mL.

Orientasi dosis dilakukan menggunakan peringkat dosis yang diperoleh

dari konversi empiris manusia 70 kg ke tikus 200 gram. Dosis yang diperoleh

digunakan sebagai peringkat dosis tertinggi, kemudian diturunkan masing-masing

1,5x untuk peringkat dosis kedua dan ketiga. Diperoleh peringkat dosis 10

g/kgBB, 15 g/kgBB, dan 22,5 g/kgBB. Hasil orientasi menunjukkan bahwa dosis I

(10 g/kgBB) dan dosis II (15 g/kgBB) belum memberikan efek penurunan kadar

glukosa darah yang signifikan terhadap kontrol positif (Lampiran 6), sehingga

dilakukan penyesuaian dosis lanjutan.

Dosis empiris manusia (22,5g/kgBB) kemudian dijadikan dosis terendah

(dosis I). Peringkat dosis tertinggi (dosis III) ditentukan dengan mencari

konsentrasi maksimum jus yang masih bisa masuk ke dalam spuit injeksi oral

tanpa memberikan penyumbatan terhadap spuit dan tidak memberikan efek letal

pada hewan uji. Diperoleh konsentrasi maksimum sebesar 1150g/150mL dan

dilakukan perhitungan dosis dengan rumus D × BB = C × V, maka didapatkan

dosis tertinggi sebesar 115,05g/kgBB. Dosis tengah didapatkan dengan

menghitung faktor peringkat berdasarkan rumus f = , dimana f adalah

(52)

D1 adalah dosis terendah. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai f sebesar 2,26.

Dosis tengah kemudian dihitung dengan mengalikan dosis terendah (dosis I)

dengan faktor peringkat. Diperoleh dosis tengah sebesar 50,85g/kgBB.

3. Penetapan waktu pemberian jus buncis

Pemberian jus buncis mengikuti waktu yang ditetapkan pada penetapan

waktu pemberian glibenklamid, yaitu 30 menit sebelum UTGO (Lampiran 5).

C. Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Jus Buncis

Hewan uji dikelompokkan dan diberi perlakuan seperti pada Gambar 4.

Semua perlakuan diberikan secara per oral. Pengukuran kadar glukosa darah

dilakukan menggunkan instrument microVitalab-200 dengan metode enzimatis

yaitu menggunakan reagen GOD-PAP pada λ 500 nm. Reagen GOD-PAP berisi

dapar fosfat 250 mmol/L, fenol 5 mmol/L, 4-amino antipirin 0,5 mmol/L, glukosa

oksidase (GOD) ≥10ku/L, dan peroksidase (POD) ≥10ku/L. Prinsip reaksinya

adalah adanya GOD akan mengkatalisis oksidasi glukosa menjadi asam glukonat

dan hidrogen peroksida. Glukosa akan bereaksi dengan reagen GOD-PAP dan

akan membentuk kompleks kuinonimin yang berwarna merah muda.

Pembentukan kompleks kuinonimin memerlukan waktu inkubasi

(operating time) selama 20 menit pada suhu ruang agar terjadi reaksi yang

optimum antara glukosa dengan enzim yang terdapat dalam reagen GOD-PAP.

Selama waktu inkubasi, terjadi perubahan warna dari bening menjadi merah muda

yang kemudian dilakukan pembacaan kadar pada microVitalab. Hasil pembacaan

(53)
[image:53.612.94.519.104.598.2]

Gambar 5. Reakzi Enzimatik Antara Glukosa dengan Reagen GOD-PAP (Barham dan Trinder, 1972).

Tabel VII menunjukkan nilai rata-rata kadar glukosa darah dan nilai LDDK

0-240

masing-masing kelompok perlakuan. Nilai LDDK0-240 dari tiap kelompok

dihitung menggunakan metode trapezoid.

LDDK = t − t2 × C + C + t − t2 × C + C

+ t − t2 × C + C + … !

Keterangan:

t = waktu (menit)

C = konsentrasi zat dalam darah (mg/mL)

LDDKto-tn = luas daerah di bawah kurva dari waktu ke-0 sampai ke-n

Kelompok I memiliki nilai LDDK0-240 (19503,0) paling kecil dibandingkan

kelompok lainnya. Hal ini dikarenakan kelompok I hanya diberi CMC 1% b/v,

dimana CMC 1% b/v tidak memiliki efek terapeutik yang dapat meningkatkan

atau menurunkan kadar glukosa darah.

Kelompok II (20862,0) memiliki nilai LDDK0-240 yang lebih tinggi

daripada kelompok I (19503,0) namun lebih rendah daripada kelompok III

(54)

glukosa darah. Hewan uji pada kelompok II diberikan suspensi glibenklamid,

dimana glibenklamid merupakan obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea

yang memiliki efek menurunkan kadar glukosa darah dengan menstimulasi sekresi

insulin pada sel ß pankreas, sehingga kadar glukosa yang diperoleh mendekati

[image:54.612.94.546.179.589.2]

kadar normal.

Tabel VII. Data Kadar Glukosa Darah Rata-Rata dan LDDK0-240± SD Tiap Kelompok Perlakuan (n=5)

Waktu

(menit) I II III IV V VI

0 79,8 79,6 87,6 79,4 78,6 79,0

15 81,4 110,4 127,8 109,4 108,8 107,2

30 81,4 115,4 138,2 129,4 128,2 127,4

45 80,6 104,6 132,2 119,0 118,0 117,2

60 81,0 101,2 126,8 109,8 108,4 107,4

90 81,4 92,0 122,6 99,8 98,0 96,6

120 81,4 84,0 118,0 89,6 87,4 85,8

180 81,6 76,0 112,0 80,0 77,6 70,4

240 81,0 64,4 102,4 71,8 72,2 48,6

LDDK0-240 19503,0 ± 177,292 20862,0 ± 337,775 28206,0 ± 507,329 22413,0 ± 675,304 22048,5 ± 1107,913 20727,0 ± 851,285 Keterangan:

I : Kontrol normal (CMC 1% b/v)

II : Kontrol positif (suspensi glibenklamid dosis 0,45mg/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)

III : Kontrol negatif (CMC 1% b/v + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v) IV : Sediaan uji dosis I (jus buncis dosis 22,5g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a

dosis 15,0% b/v)

V : Sediaan uji dosis II (jus buncis 50,85g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)

VI : Sediaan uji dosis III (jus buncis 115,05g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)

Kelompok III (28206,0) memiliki nilai LDDK0-240 yang paling tinggi dari

semua kelompok. Hal ini dikarenakan hewan uji pada kelompok III diberi CMC

1% serta pembebanan glukosa monohidrat, dimana CMC 1% tidak memiliki efek

(55)

Kelompok II (2

daripada kelompok IV (

240

yang sama dengan

kelompok IV dan V me

sebaik glibenklamid. Efe

V dapat dilihat dari nil

yang lebih rendah dari

kesamaan nilai LDDK

0-memiliki efek penurunan

Gambar 6. Kurva Hu Darah Keterangan:

I : Kontrol normal (CM II : Kontrol positif (su

monohidrat p.a dosis III : Kontrol negatif (CM IV : Sediaan uji dosis I (

dosis 15,0% b/v) V : Sediaan uji dosis II (

15,0% b/v) VI : Sediaan uji dosis II

dosis 15,0% b/v)

0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 K a d a r g lu k o sa d a ra h ( m g /d L)

(20862,0) memiliki nilai LDDK0-240 yang leb

(22413,0) dan V (22048,0), namun memiliki nila

n kelompok VI (20727,0). Hal ini menunjukk

emiliki efek penurunan kadar glukosa darah, na

fek penurunan kadar glukosa darah pada kelomp

nilai LDDK0-240 kelompok IV (22413,0) dan V

aripada nilai LDDK0-240 kelompok III (28206,0

-240

kelompok II dan VI menandakan bahwa kel

an kadar glukosa darah yang sama dengan gliben

ubungan Antara Waktu dan Rerata Kadar

MC 1% b/v)

suspensi glibenklamid dosis 0,45mg/kgBB + pembeba sis 15,0% b/v)

MC 1% b/v + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 1 I (jus buncis dosis 22,5g/kgBB + pembebanan glukosa mo

II (jus buncis 50,85g/kgBB + pembebanan glukosa monohid

III (jus buncis 115,05g/kgBB + pembebanan glukosa mo

15 30 45 60 90 120 180 240

Waktu (menit) Kelompo Kelompo Kelompo Kelompo Kelompo Kelompo

ebih rendah

ilai LDDK

0-kkan bahwa

namun tidak

pok IV dan

V (22048,5)

,0). Adanya

elompok VI

enklamid.

ar Glukosa

banan glukosa

15,0% b/v) monohidrat p.a

hidrat p.a dosis

monohidrat p.a

(56)

Data LDDK0-240 kemudian dianalisis menggunakan uji statistik (Lampiran

7). Untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data, dilakukan uji

normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas data menunjukkan

bahwa data memiliki distribusi yang normal dengan nilai p=0,125 (p>0,05). Uji

kemudian dilanjutkan dengan Test of Homogeneity of Variances untuk

mengetahui homogenitas data, apakah ada perbedaan nilai LDDK0-240 yang

bermakna dari masing-masing kelompok perlakuan. Hasil pengujian homogenitas

data menunjukkan nilai p=0,199 (p>0,05) yang berarti bahwa variansi data

LDDK0-240 homogen. Dari kedua hasil uji tersebut diatas, uji dapat dilanjutkan

menggunakan One Way ANOVA. Hasil uji One Way ANOVA menunjukkan nilai

p=0,000 (p<0,05) yang kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc Scheffe untuk

[image:56.612.97.514.192.677.2]

mengetahui pasangan kelompok yang berbeda secara signifikan.

Tabel VIII. Hasil Uji Post Hoc Scheffe LDDK0-240 Glukosa Darah Tikus yang Terbebani Glukosa

1 2 3 4 5 6

1 - BTB BB BB BB BTB

2 BTB - BB BTB BTB BTB

3 BB BB - BB BB BB

4 BB BTB BB - BTB BTB

5 BB BTB BB BTB - BTB

6 BTB BTB BB BTB BTB -

Keterangan:

1 : Kontrol normal (CMC 1% b/v)

2 : Kontrol positif (suspensi glibenklamid dosis 0,45mg/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)

3 : Kontrol negatif (CMC 1% b/v + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v) 4 : Sediaan uji dosis I (jus buncis dosis 22,5g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a

dosis 15,0% b/v)

5 : Sediaan uji dosis II (jus buncis 50,85g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)

6 : Sediaan uji dosis III (jus buncis 115,05g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)

(57)

Hasil uji Post Hoc Scheffe pada Tabel VIII menunjukkan bahwa sediaan

uji dosis I, II, dan III berbeda bermakna terhadap kontrol negatif. Hal ini

menunjukkan bahwa sediaan uji memiliki kemampuan untuk menurunkan kadar

glukosa darah.

Sediaan uji dosis I dan sediaan uji dosis II berbeda tidak bermakna dengan

kontrol positif namun berbeda bermakna dengan kontrol normal. Hal ini

menunjukkan bahwa jus buncis dosis I (22,5g/kgBB) dan dosis II (50,85g/kgBB)

mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus sebaik glibenklamid namun belum

dapat menurunkan kadar glukosa darah hingga mencapai normal.

Sediaan uji dosis III berbeda tidak bermakna dengan kontrol normal dan

kontrol positif. Hal ini menunjukkan bahwa jus buncis dosis III (115,05g/kgBB)

mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus sebaik glibenklamid hingga

mencapai kadar normal.

Sediaan uji dosis I, II, dan III menunjukkan perbedaan yang tidak

bermakna. Hal ini berarti bahwa ketiga peringkat dosis tersebut sama-sama dapat

menurunkan kadar glukosa darah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa buncis (Phaseolus vulgaris L.) dapat

digunakan untuk menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang

terbebani glukosa. Namun demikian, perlu dilakukan perhitungan ED50 Menurut

Jannah, Sudarma, dan Andayani (2013), senyawa yang bertanggung jawab dalam

menurunkan kadar glukosa darah adalah β-sitosterol dan stigmasterol yang

termasuk dalam golongan fitosterol. β-sitosterol dan stigmasterol dapat

(58)

yang di dalam hati merupakan enzim utama untuk konversi karbohidrat menjadi

gula darah. Wahyuntari (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Penghambat

α-Amilase: Jenis, Sumber, dan Potensi Pemanfaatannya Dalam Kesehatan”

menyebutkan bahwa buncis memiliki kandungan flavonoid yang berfungsi

sebagai penghambat enzim α-amilase. Enzim ini memegang peranan penting

dalam pemecahan karbohidrat kompleks, seperti pati. Beberapa me

Gambar

Tabel I. Kriteria Penegakan DM ......................................................
Gambar 1. Sekresi Insulin Akibat Peningkatan Kadar Glukosa Dalam
Tabel I. Kriteria Penegakan Diagnosis DM
Gambar 2. Tanaman Buncis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Permintaan pakan ikan air tawar di Kecamatan Lingsar di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu luas kolam/keramba yang digunakan oleh petani dalam membudidayakan ikan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh input (tebu, jam tenaga kerja, dan jam mesin) terhadap jumlah gula pasir yang dihasilkan, besarnya tingkat elastisitas input

(Undang- Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menyatakan bahwa prinsip pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional adalah kesetaraan

ftr rinijoro

Fungsi ini digunakan oleh pemilik (owner) untuk melakukan proses peramalan permintaan timba cor, dengan menggunakan data penjualan yang telah direkap oleh bagian penjualan di

[r]

Adapun Afektif berasal dari bahasa inggris affective yang berarti ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai, jadi dapat disimpulkan evaluasi afektif adalah

Penelitian fungsi bahasa Sumbawa ini berdasarkan dugaan bahwa bahasa Sumbawa mempunyai fungsi penting dalam kegiatan sosial budaya masyara-.. Peran yang menandai