i
INTISARI
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit insufisiensi insulin
karena menurunnya produksi insulin atau resistensi insulin. Penggunaan obat
antidiabetik oral memiliki efek samping serta efek jangka panjang yang kurang
menguntungkan. Oleh karena itu, penggunaan obat tradisional sebagai terapi DM
sangat dianjurkan. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan tanaman yang secara
empiris banyak digunakan di Indonesia sebagai terapi pendamping diabetes.
Kandungan buncis yang berperan sebagai agen antidiabetes adalah
-sitosterol dan
sigmasterol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus
buncis terhadap kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani
glukosa.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan
acak lengkap pola searah menggunakan 30 ekor tikus putih jantan galur Wistar
terbagi dalam enam kelompok. Kelompok I diberi CMC 1% b/v, kelompok II diberi
glibenklamid 0,45mg/kgBB dan pembebanan glukosa, kelompok III diberi CMC
1% b/v dan pembebanan glukosa, kelompok IV, V, dan VI diberi jus buncis dengan
peringkat dosis 22,5, 50,85, dan 115,05g/kgBB, serta pembebanan glukosa. Semua
perlakuan diberikan per oral. Efek hipoglikemik jus buncis diuji dengan metode Uji
Toleransi Glukosa Oral (UTGO). Kadar glukosa darah diukur pada menit ke-0, 15,
30, 45, 60, 90, 120, 180, dan 240 menggunakan metode enzimatik GOD-PAP. Data
LDDK
0-240tiap kelompok dianalisis secara statistik menggunakan metode
Kolmogorov Smirnov dilanjutkan dengan One Way ANOVA dan uji Post-Hoc
Scheffe bertaraf kepercayaan 95%.
Hasil analisis menunjukkan bahwa jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) dapat
menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa.
Dosis jus buncis yang dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur
Wistar yang terbebani glukosa adalah 22,5g/kgBB, 50,85g/kgBB, 115,05g/kgBB.
ii
ABSTRACT
Diabetes Mellitus (DM) is an insulin insufficiency disease due to decreased
production of insulin or insulin resistance. The use of oral antidiabetics has few side
effects and harmful long term effects. Therefore, the use of traditional medicine as
a treatment for DM patients is highly recommended. Beans (Phaseolus vulgaris L.)
have been widely used in Indonesia as a complementary therapy for diabetes
patients. Beans contain some chemical compounds which have the antidiabetic
effect, such as flavonoids,
-sitosterol and sigmasterol. This study aimed to
determine the effect of bean juice to decrease blood glucose levels of Wistar male
rats burdened by glucose.
This research was experimental study with randomized controlled design
using 30 Wistar male rats which are divided into six groups. Group I was treated
with CMC 1% w/v, group II was treated with glibenclamide 0,45mg/kgBW and
glucose loading, group III was treated with CMC 1% w/v and glucose loading,
group IV, V, and VI were given 22.5, 50.85, and 115.05g/kgBW doses of bean
juice, and glucose loading. All treatments are administered orally. The
hypoglycemic effect of bean juice was tested by the Oral Glucose Tolerance Test
(OGTT) method. Blood glucose levels were determined at minute 0, 15, 30, 45, 60,
90, 120, 180, and 240 using GOD-PAP enzymatic method. AUC
0-240for each group
was statistically analyzed using the Kolmogorov-Smirnov method followed by One
Way ANOVA and Post-Hoc Scheffe 95% confidence level.
The analysis showed that bean juice has the ability to decrease blood glucose
levels. Bean juice at 22.5g/kgBW, 50.85g/kgBW, 115.05g/kgBW dose can reduce
blood glucose levels.
PENGARUH PEMBERIAN JUS BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS JANTAN GALUR
WISTAR YANG TERBEBANI GLUKOSA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mmperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Ludwina Dearesthea Onevita NIM: 128114041
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
PENGARUH PEMBERIAN JUS BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS JANTAN GALUR
WISTAR YANG TERBEBANI GLUKOSA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mmperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Ludwina Dearesthea Onevita NIM: 128114041
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Hakuna Matatau it means no worry
for the rest of your days.
It’s all-problem-free-philosophy.
//The Lion King
vii PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat yang dilimpahkan terutama dalam proses penyusunan skripsi berjudul “Pengaruh Pemberian Jus Buncis (Phaseolus vulgaris L.) Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Jantan Galur Wistar yang Terbebani Glukosa”, sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Penyusunan skripsi ini juga tak lepas dari doa dan dukungan berbagai pihak dari awal, pertengahan, hingga akhir. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Yunita Linawati, M.Sc., Apt., selaku dosen pembimbing skripsi atas kemurahan hati dan kesabarannya dalam membimbing, memberi masukan, dan arahan kepada penulis.
2. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt., yang telah bersedia menjadi dosen penguji skripsi serta memberikan kritik dan saran demi kemajuan skripsi ini. 3. Bapak Christianus Heru Setiawan, M.Sc., Apt., yang telah bersedia menjadi
dosen penguji skripsi serta memberikan kritik dan saran demi kemajuan skripsi ini.
4. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt., selaku kepala laboratorium farmasi yang telah memberikan pengarahan dan izin penggunaan fasilitas laboratorium selama penelitian skripsi berlangsung.
viii
6. Pak Heru, Pak Kayat, Pak Parjiman, dan semua laboran farmasi yang telah bersedia membantu jalannya penelitian skripsi ini.
7. Papa Nicolaus Bambang Wijanarko, Mama Eurelia Maria Dewi Perwani Rakyattiningtyas, Nuriani, Abel Sava, Wilfrid Nicholasiva Farrel Dhanesvara, Yullieus Novian Paramarthantio S.Kg., yang selalu memberikan dorongan, semangat, motivasi, dan doa selama proses penyusunan skripsi.
8. Niall James Horan, Cintya Aurora Diah Nastiti, Pasthika Dirda Mayantya, Dian Putri Gupitasari, S.K.H., Wulan Dari Sirait, Johanes Sirait, Inggarestu Pradiptaningtyas, Prisca Nadya Verina Djala, S.Farm., Eunike Lystia Florentien Kelana Jeversoon, S.Farm., Sina Susanti, S.Farm., Januaritha Dara Nastiandari, S.Farm., Mila Karmila Sri Setiomulyo, S.Farm., Martinus Fuji Haryoko, S.Pd., Nicolaus Deka Alvian Putra Pradana, sebagai sahabat dan keluarga kedua yang terus memotivasi untuk menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut membantu selama penyusunan skripsi ini berlangsung
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk menjadi pengembangan ilmu pengetahuan dan acuan bagi penelitian selanjutnya. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini memberikan manfaat di kehidupan mendatang.
ix DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi
PRAKATA ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
INTISARI ... xvi
ABSTRACT ... xvii
BAB I. PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Permasalahan ... 3
2. Keaslian Penelitian... 3
3. Manfaat Penelitian ... 4
B. Tujuan Penelitian ... 5
1. Tujuan Umum ... 5
x
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 6
A. Diabetes Mellitus ... 6
1. Definisi ... 6
2. Gejala ... 6
3. Klasifikasi ... 7
4. Diagnosis ... 9
B. Metabolisme Karbohidrat... 9
C. Buah Buncis ... 12
1. Uraian Tanaman ... 12
2. Taksonomi ... 13
3. Kandungan Tanaman ... 13
D. Glibenklamid ... 14
E. Metode Uji Efek Antidiabetes ... 15
1. Metode Uji Toleransi Glukosa Oral (UTGO) ... 15
2. Metode Uji Perusakan Pankreas ... 16
3. Metode Resistensi Insulin ... 16
F. Metode Penetapan Kadar Glukosa Darah ... 16
1. Metode Kondensasi dengan Gugus Amina ... 16
2. Metode Enzimatik ... 17
3. Metode Oksidasi-Reduksi ... 17
G. Landasan Teori ... 17
xi
BAB III. METODE PENELITIAN ... 19
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 19
B. Variabel dan Definisi Operasional... 19
1. Variabel Utama ... 19
2. Variabel Pengacau ... 19
3. Definisi Operasional ... 20
C. Bahan dan Alat Penelitian ... 20
1. Bahan Penelitian ... 20
2. Alat Penelitian ... 21
D. Tata Cara Penelitian ... 22
1. Determinasi Tanaman ... 22
2. Pengumpulan Bahan Uji... 22
3. Pembuatan Jus Buncis ... 22
4. Perhitungan Dosis Pemberian Jus Buncis ... 22
5. Preparasi Bahan ... 23
6. Orientasi Waktu Pemberian Glibenklamid ... 24
7. Orientasi Waktu Pemberian Jus Buncis ... 25
8. Pengelompokkan dan Perlakuan Hewan Uji ... 25
9. Penetapan Kadar Glukosa Darah dengan Metode GOD-PAP .. 28
E. Analisis Hasil ... 28
BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29
A. Hasil Determinasi Tanaman ... 29
xii
1. Penetapan Waktu Pemberian Glibenklamid ... 29
2. Penetapan Dosis Sediaan Jus Buncis ... 31
3. Penetapan Waktu Pemberian Jus Buncis ... 32
C. Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Jus Buncis ... 32
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 39
A. Kesimpulan ... 39
B. Saran ... 39
DAFTAR PUSTAKA ... 40
LAMPIRAN ... 42
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel I. Kriteria Penegakan DM ... 9
Tabel II. Kandungan Gizi per 100 gram Buncis ... 14
Tabel III. Isi Reagen GOD-PAP ... 21
Tabel IV. Keseragaman Bobot Tablet ... 24
Tabel V. Volume Pengukuran Kadar Glukosa Darah ... 28
Tabel VI. Hasil UTGO dan Perhitungan Selisih Nilai LDDK0-240 Suspensi Glibenklamid Dosis 0,45mg/kgBB ... 30
Tabel VII. Data Kadar Glukosa Darah Rata-Rata dan LDDK0-240 Tiap Kelompok Perlakuan ... 34
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Sekresi Insulin Akibat Peningkatan Kadar Glukosa Dalam
Darah ... 11
Gambar 2. Tanaman Buncis ... 12
Gambar 3. Struktur Glibenklamid ... 15
Gambar 4. Flowchart Pengelompokkan dan Perlakuan Hewan Uji ... 27
Gambar 5. Reaksi Enzimatik Glukosa dengan Reagen GOD-PAP ... 33
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) ... 43
Lampiran 2. Surat Keterangan Determinasi Tanaman ... 44
Lampiran 3. Bahan dan Alat Penelitian ... 45
Lampiran 4. Preparasi Bahan ... 46
Lampiran 5. Hasil Rangkaian Uji Statistik LDDK0-240: Penetapan Waktu Pemberian Glibenklamid ... 50
Lampiran 6. Hasil Rangkaian Uji Statistik LDDK0-240: Orientasi Dosis Pemberian Jus Buncis ... 52
Lampiran 7. Hasil Rangkaian Uji Statistik LDDK0-240: Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Jus Buncis ... 55
Lampiran 8. Leaflet Reagen GOD-PAP ... 58
xvi INTISARI
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit insufisiensi insulin karena menurunnya produksi insulin atau resistensi insulin. Penggunaan obat antidiabetik oral memiliki efek samping serta efek jangka panjang yang kurang menguntungkan. Oleh karena itu, penggunaan obat tradisional sebagai terapi DM sangat dianjurkan. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan tanaman yang secara empiris banyak digunakan di Indonesia sebagai terapi pendamping diabetes. Kandungan buncis yang berperan sebagai agen antidiabetes adalah β-sitosterol dan sigmasterol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus buncis terhadap kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah menggunakan 30 ekor tikus putih jantan galur Wistar terbagi dalam enam kelompok. Kelompok I diberi CMC 1% b/v, kelompok II diberi glibenklamid 0,45mg/kgBB dan pembebanan glukosa, kelompok III diberi CMC 1% b/v dan pembebanan glukosa, kelompok IV, V, dan VI diberi jus buncis dengan peringkat dosis 22,5, 50,85, dan 115,05g/kgBB, serta pembebanan glukosa. Semua perlakuan diberikan per oral. Efek hipoglikemik jus buncis diuji dengan metode Uji Toleransi Glukosa Oral (UTGO). Kadar glukosa darah diukur pada menit ke-0, 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, dan 240 menggunakan metode enzimatik GOD-PAP. Data LDDK0-240 tiap kelompok dianalisis secara statistik menggunakan metode Kolmogorov Smirnov dilanjutkan dengan One Way ANOVA dan uji Post-Hoc Scheffe bertaraf kepercayaan 95%.
Hasil analisis menunjukkan bahwa jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa. Dosis jus buncis yang dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa adalah 22,5g/kgBB, 50,85g/kgBB, 115,05g/kgBB.
xvii ABSTRACT
Diabetes Mellitus (DM) is an insulin insufficiency disease due to decreased production of insulin or insulin resistance. The use of oral antidiabetics has few side effects and harmful long term effects. Therefore, the use of traditional medicine as a treatment for DM patients is highly recommended. Beans (Phaseolus vulgaris L.) have been widely used in Indonesia as a complementary therapy for diabetes patients. Beans contain some chemical compounds which have the antidiabetic effect, such as flavonoids, β-sitosterol and sigmasterol. This study aimed to determine the effect of bean juice to decrease blood glucose levels of Wistar male rats burdened by glucose.
This research was experimental study with randomized controlled design using 30 Wistar male rats which are divided into six groups. Group I was treated with CMC 1% w/v, group II was treated with glibenclamide 0,45mg/kgBW and glucose loading, group III was treated with CMC 1% w/v and glucose loading, group IV, V, and VI were given 22.5, 50.85, and 115.05g/kgBW doses of bean juice, and glucose loading. All treatments are administered orally. The hypoglycemic effect of bean juice was tested by the Oral Glucose Tolerance Test (OGTT) method. Blood glucose levels were determined at minute 0, 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, and 240 using GOD-PAP enzymatic method. AUC0-240 for each group was statistically analyzed using the Kolmogorov-Smirnov method followed by One Way ANOVA and Post-Hoc Scheffe 95% confidence level.
The analysis showed that bean juice has the ability to decrease blood glucose levels. Bean juice at 22.5g/kgBW, 50.85g/kgBW, 115.05g/kgBW dose can reduce blood glucose levels.
1 BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Terapi pengobatan DM yang paling sering dilakukan adalah penggunaan obat antidiabetik oral, seperti glibenklamid. Glibenklamid merupakan obat golongan sulfonilurea yang memiliki cara kerja merangsang sekresi insulin dari
sel-sel β Langerhans di pankreas (Syarif, Ascobat, Setiabudy, Estuningtyas,
Setiawati, dan Sunaryo, 2009). Glibenklamid memiliki efek samping seperti timbulnya alergi, mual, muntah, diare, gangguan susunan saraf pusat dan mata. Selain itu, konsumsi glibenklamid dalam jangka panjang berpotensi menyebabkan hipoglikemik, yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah berada pada keadaan di bawah normal. Dengan adanya efek samping serta efek jangka panjang penggunaan obat antidiabetik oral, WHO merekomendasikan penggunaan obat tradisional dalam pencegahan dan pengobatan penyakit di negara-negara berkembang (Gunawan, 2007).
Penggunaan obat tradisional untuk mengatasi masalah kesehatan bukanlah hal yang baru di Indonesia. Salah satu aplikasinya adalah pemanfaatan tanaman sebagai agen antidiabetes. Berbagai tanaman telah ditemukan memiliki aktivitas antidiabetes, termasuk diantaranya adalah buncis (Phaseolus vulgaris L.). Dalam buku berjudul “Miracle of Vegetables” yang disusun oleh Rizki (2013), dikatakan bahwa penambahan buncis sebanyak 600 gram/hari dalam diet selama 7 hari menunjukkan terjadinya penurunan kadar glukosa darah hingga 14% pada penderita diabetes, sedangkan buncis dalam bentuk ekstrak juga dapat menurunkan kadar glukosa darah pada kelinci diabetes terinduksi aloksan sampai 30%. Kandungan aktif buncis yang berperan dalam proses menekan tingkat kadar
berperan dalam merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin tanpa menyebabkan terjadinya hipoglikemik. Menurut Rizki (2013), secara empiris, masyarakat Indonesia mengonsumsi 250 gram buncis dalam bentuk jus dengan volume 150 mL. Konsumsi buncis diharapkan dapat menjadi terapi pendamping bagi penderita DM yang menjalani terapi obat-obatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus buncis terhadap penurunan glukosa darah tikus jantan galur Wistar dengan metode Uji Toleransi Glukosa Oral (UTGO).
1. Permasalahan
a. Apakah jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa?
b. Berapakah dosis jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) yang dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian yang menggunakan tanaman buncis yang sudah dilakukan, diantaranya:
a. Pari dan Venkateswaran (2003) melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak air buncis (Phaseolus vulgaris L.) terhadap kadar glukosa darah ekor tikus terinduksi streptozotocin. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu pemberian 200mg/kgBB ekstrak air buncis dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus.
terhadap kadar glukosa darah kelinci jantan yang dibebani glukosa. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu pemberian 200, 300, dan 450 mg/kgBB ekstrak etanol 70% buncis dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus. c. Luka, Ollatunde, Tijjani, dan Olisa-Enewe (2013) melakukan penelitian
mengenai pengaruh pemberian ekstrak buncis (Phaseolus vulgaris L.) terhadap kadar glukosa darah tikus terinduksi aloksan. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu pemberian 400mg/kgBB ekstrak buncis dapat memberikan efek antidiabetik pada tikus.
Perbedaan dengan penelitian yang telah dilakukan terletak pada hewan uji, yaitu tikus jantan galur Wistar, jenis sediaan yang digunakan, yaitu jus buncis, dan metode induksi yang digunakan, yaitu pembebanan glukosa. Sejauh penelusuran pustaka oleh penulis, penelitian mengenai efek pemberian jus buncis terhadap kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa belum pernah dilakukan.
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jus buncis sebagai obat tradisional yang mampu menurunkan kadar glukosa darah. b. Manfaat Praktis
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh pemberian jus buncis terhadap kadar glukosa darah. 2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengaruh jus buncis terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa.
6 BAB II
Penelaahan Pustaka
A. Diabetes Mellitus
1. Definisi
Diabetes Mellitus (DM) yang umumnya dikenal sebagai kencing manis
didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis yang
ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi
insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi
produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan
oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes RI, 2006).
2. Gejala
Penyakit DM ditandai dengan adanya gejala klasik ‘trio-P’, yaitu:
a. Poliuria (banyak berkemih)
Kadar glukosa darah pada pasien dengan defisiensi insulin umumnya
melampaui 120mg/dL. Setelah kadar glukosa darah >180mg/dL, taraf maksimal
reabsorbsi glukosa pada tubulus renalis akan dilampaui, dan glukosa akan
diekskresikan ke dalam urin (glukosuria). Glukosa bersifat diuresis osmotik,
sehingga diuresis sangat meningkat disertai dengan hilangnya elektrolit
(Syahputra, 2003).
b. Polidipsi (banyak minum)
Banyaknya elektrolit yang hilang bersamaan dengan urin menyebabkan
dehidrasi menimbulkan rasa haus pada penderita DM dan badan berusaha untuk
mengatasinya dengan banyak minum air (Handoko dan Suharto, 1995).
c. Polifagi (banyak makan)
Penderita DM mengalami kekurangan pasokan glukosa dalam sel-sel
tubuh, meskipun kadar glukosa dalam darah tinggi. Pemenuhan kebutuhan
glukosa dalam sel dilakukan dengan ekskresi cadangan glukosa, yang diiringi
dengan hilangnya empat kalori untuk tiap gram glukosa yang diekskresi. Tubuh
menerima sinyal terkait rasa lapar akibat berkurangnya cadangan glukosa dan
kalori dalam tubuh. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya rasa lapar pada
penderita DM (Lanywati, 2001).
3. Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (2010), DM diklasifikasikan
menjadi 4 tipe, antara lain:
a. Diabetes Mellitus Tipe 1 (DMT1)
DMT1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β Langerhans yang
disebabkan oleh reaksi autoimun yang menyebabkan defisiensi sekresi insulin,
dan ada juga yang bersifat idiopatik (tidak diketahui dengan jelas penyebabnya).
Sekresi glukagon yang berlebihan juga ditemukan pada penderita DMT1, dimana
pada kondisi normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon. Pada
kasus DMT1 sekresi glukagon tetap tinggi seiring terjadinya hiperglikemia,
sehingga memperparah kondisi hiperglikemia. Walaupun bentuk diabetes ini
kebanyakan terjadi pada anak-anak dan remaja, namun tipe ini dapat terjadi juga
memperbaiki katabolisme, mencegah ketoasidosis, dan menurunkan
hiperglukagonemia, serta menurunkan kadar glukosa darah.
b. Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2)
DMT2 merupakan suatu penyakit akibat ketidakmampuan tubuh untuk
merespon dengan wajar terhadap aktivitas insulin yang dihasilkan oleh pankreas
(resistensi insulin). Penderita DMT2 mengalami kerusakan sel beta pankreas yang
disebabkan oleh adanya oksidasi radikal bebas, yang menyebabkan penurunan
sekresi hormon insulin, baik dari segi jumlah maupun kualitas. DMT2 merupakan
jenis diabetes yang paling sering ditemukan, diperkirakan 90% dari seluruh
penderita DM di Indonesia. Sebagian besar DMT2 disebabkan oleh gaya hidup
yang tidak sehat seperti konsumsi junk food, minuman beralkohol, dan jarang
berolahraga. Penderita DMT2 tidak membutuhkan insulin untuk pengobatan.
c. Diabetes Mellitus Gestasional (DMG)
DMG merupakan nama lain dari DM dalam masa kehamilan. DMG
merupakan suatu kondisi kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan
resistensi insulin, yang umumnya dijumpai pada trimester kedua atau ketiga.
Faktor risiko GDM yang utama yaitu faktor genetik dan obesitas. Wanita yang
memiliki sejarah keluarga positif DM, dianjurkan untuk menjalani skrining pada
minggu 24-48 usia kehamilannya. Deteksi awal ini sangat penting karena dapat
mengurangi angka kelahiran bayi abnormal dan kematian bayi.
d. Diabetes Mellitus Bentuk Lain
DM bentuk lain merupakan diabetes yang berkaitan dengan
defek genetik fungsi insulin, endokrinopati, penyakit akibat obat atau zat kimia,
infeksi, imunologi, dan sindrom genetik.
4. Diagnosis
Diagnosis DM dapat ditegakkan berdasarkan penemuan gejala-gejala
klasik diabetes (poliuria, polidipsia, dan polifagia) dan hiperglikemia yang
ditunjukkan dengan pengukuran kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL atau
glukosa darah puasa ≥126 mg/dL. Selain pengukuran kadar glukosa darah,
International Diabetes Federation (IDF) merekomendasikan tes HbA1c sebagai
penegak diagnosis DM pada tahun 2012. Hasil tes positif DM ditunjukkan dengan
ketetapan nilai HbA1c ≥ 6,5%. Diagnosis DM juga dapat dilakukan berdasarkan
kadar glukosa darah pada UTGO seperti pada Tabel I berikut ini.
Tabel I. Kriteria Penegakan Diagnosis DM Kadar glukosa darah
puasa (mg/dL)
Kadar glukosa darah 2 jam setelah makan (mg/dL)
Normal <110 <140
Pra-diabetes: IFG atau IGT
110-125 -
- 140-199
Diabetes ≥126 ≥200
Keterangan:
Pra-diabetes : kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi daripada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikategorikan ke dalam DM. Ada dua kondisi pra-diabetes, yaitu:
IFG : Impaired Fasting Glucose, keadaan dimana kadar glukosa darah puasa seseorang 110-125 mg/dL;
IGT : Impaired Glucose Tolerance, keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang pada UTGO berada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikategorikan ke dalam kondisi diabetes. Diagnosa IGT ditetapkan apabila kadar glukosa darah seseorang 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosa per oral berada antara 140-199 mg/dL.
(Merentek, 2006)
B. Metabolisme Karbohidrat
Pencernaan karbohidrat sudah dimulai sejak makanan masuk ke dalam
luas permukaan kontak dengan enzim pencernaan juga lebih besar. Karbohidrat
akan diuraikan menjadi molekul yang lebih sederhana dengan bantuan enzim
amilase. Penguraian ini berkaitan dengan penyerapan karbohidrat dalam bentuk
disakarida pada usus halus. Disakarida kemudian diubah ke dalam bentuk glukosa
untuk selanjutnya memasuki fase metabolisme. Setelah melalui dinding usus
halus, glukosa akan diangkut menuju ke hepar. Apabila jumlah karbohidrat yang
dimakan melebihi kebutuhan tubuh, sebagian karbohidrat akan diikat di dalam
hati dan disimpan dalam bentuk glikogen untuk mempertahankan kadar glukosa
darah dalam batas normal. Kapasitas pembentukan glikogen memiliki batas
maksimum 350 gram, selebihnya karbohidrat akan diubah menjadi lemak dan
disimpan di jaringan lemak (Merentek, 2006).
Glukosa di dalam tubuh berperan sebagai bahan bakar proses metabolisme
dan sumber energi utama bagi kerja otak. Glukosa digunakan untuk mensintesis
molekul ATP (adenosine triphosphate). Tubuh yang memerlukan energi akan
melakukan pembakaran glukosa yang diambil dari dalam aliran darah. Kadar gula
darah akan diisi kembali oleh glikogen dalam hati dan dalam kebutuhan besar
disusul dengan mobilisasi lemak (Merentek,2006).
Regulasi glukosa darah selain tergantung pada glukagon dan lemak, juga
dipengaruhi oleh adanya hormon insulin (Gambar 1). Kadar glukosa darah akan
segera meningkat setelah makan dan akan menurun saat tidak ada asupan
makanan. Hormon insulin berperan dalam mencegah terjadinya fluktuasi glukosa
yang signifikan. Hormon insulin disekresikan oleh sel β pankreas ketika kadar
fase, yaitu early peak
makan, memanfaatkan
lanjut (fase 2) yang terja
Sekresi insulin te
ditangkap oleh sel β pa
kemudian dibawa ke da
fosfat (G6P) dengan ban
menjadi asam piruvat.
jumlah besar akan me
mengakibatkan depolaris
Kalsium akan masuk k
(Merentek, 2006).
Gambar 1. Sekresi Insu (Mahendra
k (fase 1) yang terjadi pada 3-10 menit pertam
n insulin yang disimpan dalam sel β pankreas
rjadi 20 menit setelah stimulasi glukosa (Merentek
terjadi saat kadar glukosa darah meningkat dan
pankreas melalui glucose transporter 2 (GLUT2
dalam sel dan mengalami fosforilase menjadi
antuan enzim glukokinase. G6P akan mengalam
t. Proses glikolisis juga menghasilkan ATP, ya
menutup kanal kalium. Penumpukan kalium
risasi sel sehingga menyebabkan terbukanya kana
ke dalam sel dan insulin akan dilepaskan ke
sulin Akibat Peningkatan Kadar Glukosa Dala ra, Tobing, Krisnatuti, Alting, 2008)
tama setelah
as, dan fase
tek, 2006).
an sinyalnya
2). Glukosa
i
glukosa-6-mi glikolisis
yang dalam
dalam sel
nal kalsium.
e dalam sel
C. Buncis 1. Uraian Tanaman
Buncis (Gambar 2) dikenal dengan
nama latin Phaseolus vulgaris L. Buncis
merupakan tanaman berhari pendek (pada
fase pembungaan tanaman ini memerlukan
penyinaran matahari dengan jumlah kurang
dari dua belas jam setiap harinya), oleh
karena itu tanaman buncis mudah
dikembangkan di Indonesia. Tanaman buncis
merupakan tumbuhan yang memiliki dua tipe pertumbuhan, yakni tegak dan
merambat. Tanaman buncis tipe tegak memiliki tinggi 35-40 cm dari permukaan
tanah, sedangkan tipe merambat batangnya dapat mencapai 2,5-3,5 m. Tanaman
buncis terdiri atas akar, batang, bunga, daun, buah serta biji. Akar tanaman buncis
merupakan akar tunggang, akar cabang, dan akar serabut. Batangnya tidak
berkayu, tidak keras, dan umumnya berbuku-buku. Buncis memiliki bunga yang
berukuran besar dan mudah terlihat. Bunga tersebut berwarna putih, merah jambu,
atau ungu. Daun buncis beranak daun-tiga dan menyirip, berbentuk jorong
segitiga dan bersifat majemuk tiga. Bakal buah buncis berbentuk panjang bulat
atau panjang pipih. Polong buncis muda berwarna putih hijau muda segar
kekuningan sedangkan yang tua berwarna kecoklatan (Amin, 2014). Gambar 2. Tanaman Buncis
[image:32.612.91.516.120.613.2]2. Taksonomi
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Tracheobionta
Divisi : Spermathophyta
Super Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Sub Kelas : Calyciflorae
Ordo : Leguminales
Famili : Papilionaceae
Sub Famili : Papilionoideae
Genus : Phaseolus
Spesies : Phaseolus vulgaris L. (Amin, 2014).
3. Kandungan Tanaman
Buah buncis memiliki kandungan kimia pada biji dan kulitnya. Biji buncis
mengandung glukoprotein, tripsin inhibitor, hemaglutinin, β-sitosterol,
stigmasterol, kampesterol, alantonin, dan inositol. Kulit buncis mengandung
leukopelargonidin, leukosianidin, leukodelpinidin, kuersetin, pelargonidin,
sianidin, kaempferol, petunidin, delfinidin, malvidin, dan mirsetin (Dalimartha,
2003). Adanya kandungan senyawa flavonoid, seperti misalnya kuersetin,
memiliki dua peranan penting dalam pencegahan DM. Senyawa flavonoid dapat
berperan sebagai antioksidan berfungsi untuk melindungi sel β pankreas dari
kerusakan akibat radikal bebas sekaligus sebagai α-amylase inhibitor (Judge dan
berfungsi sebagai agen antidiabetes yang dapat merangsang sekresi insulin dari
pankreas (Setyadhini, 2006).
Selain kandungan kimia, buncis juga memiliki kandungan gizi yang baik.
Buncis merupakan sayuran yang cocok bagi orang yang ingin menjaga asupan
kalorinya, dimana setiap 100 gram buncis hanya mengandung 35 kalori dengan
kandungan protein dan serat yang cukup tinggi. Kandungan gizi per 100 gram
[image:34.612.93.516.215.598.2]buncis dapat dilihat pada Tabel II berikut ini.
Tabel II. Kandungan Gizi per 100 Gram Buncis
Kandungan Gizi Jumlah
Energi 35 kal
Protein 2,4 g
Lemak 0,2 g
Karbohidrat 7,7 g
Kalsium 6,5 g
Serat 1,2 g
Fosfor 4,4 g
Zat besi 1,1 g
Vitamin A 630 µg
Vitamin B1 0,08 mg
Vitamin B2 0,1 mg
Vitamin B3 0,7 mg
Vitamin C 19 mg
Air 89 g
(Waluyo dan Djuariah, 2013)
D. Glibenklamid
Glibenklamid (Gambar 3) merupakan obat antidiabetik oral golongan
sulfonilurea generasi II yang sering disebut sebagai insulin secretagogue.
Mekanisme kerja glibenklamid adalah merangsang sekresi insulin dari sel
ß-pankreas pulau Langerhans dengan menutup kanal ion K+. Penutupan kanal ini
Dengan terbukanya kana
[image:35.612.93.515.176.560.2]pankreas dan mendorong
Gambar 3.
Dosis awal pem
makan dan maksimum
Penggunaan glibenklam
berlangsung selama 12
sehari. Efek samping ya
gangguan susunan saraf
E
Uji efek antidiab
1. Metode Uji Tolerans
Toleransi glukos
dalam tubuh. Kadar gluk
secara oral. Puncak kad
kembali normal setelah 2
Prinsip UTGO a
dipuasakan selama 10-16
nal ion Ca2+ maka terjadi pasokan ion Ca2+ ke da
ng insulin keluar menuju sel (Syarif, 2009).
. Struktur Glibenklamid (Depkes RI, 1995)
emberian glibenklamid adalah sebesar 5 mg/ha
um 15 mg/hari (Royal Pharmaceutical Socie
lamid dapat menimbulkan efek hipoglikem
12-24 jam, sehingga penggunaannya cukup 1 k
yang dapat terjadi adalah alergi, mual, muntah,
af pusat dan mata (Sustraini, Alam, Hadibroto, 200
E. Metode Uji Efek Antidiabetes
abetes dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu:
nsi Glukosa Oral (UTGO)
osa adalah kemampuan tubuh untuk menggunaka
lukosa darah akan naik dengan pemberian glukosa
adar glukosa terjadi dalam setengah atau 1 jam
h 2-3 jam (Depkes RI, 2006).
adalah pemberian glukosa terhadap hewan uji
16 jam, kemudian diambil darahnya sebanyak 0,5
dalam sel
β-/hari setelah
iety, 2011).
emia yang
kali dalam
h, diare, dan
005).
u:
kan glukosa
sa 1 g/kgBB
m dan akan
ji yang telah
mengukur kadar glukosa awal. Hewan uji kemudian dibebani larutan glukosa
monohidrat secara peroral. Pengambilan darah diulangi sesuai dengan interval
waktu yang ditentukan (Adam, 2000).
2. Metode Uji Perusakan Pankreas
Metode ini dilakukan dengan memberikan diabetogen yang dapat
menyebabkan kerusakan pada pankreas hewan uji sehingga terkondisi seperti
penderita DM. Diabetogen yang banyak digunakan antara lain aloksan dan
streptozotosin. Prinsip dari metode ini adalah induksi diabetes yang diberikan
pada hewan uji dengan injeksi diabetogen secara intravena (Permatasari, 2008).
3. Metode Resistensi Insulin
Metode ini biasanya dilakukan dengan menggunakan spontaneous diabetic
rats (tikus biobreeding, WBN/KOB, dan Goto-Kakizaki) yang merupakan tikus
non-obesitas yang mengalami resistensi insulin. Akan tetapi, metode ini belum
dapat diterapkan di Indonesia karena ketersediaan hewan uji ini masih jarang.
Penggunaan hewan uji yang lebih umum digunakan di Indonesia yaitu Wistar
Fatty Rat (WFR), yang dikembangkan dengan pemberian asupan glukosa/sukrosa
dan pakan tinggi kalori dalam waktu jangka panjang (Ghani, DeFronzo, 2010).
F. Metode Penetapan Kadar Glukosa Darah
Menurut Widowati, Dzulkarnain, dan Sa’roni (1997) penetapan kadar
glukosa darah dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu:
1. Metode Kondensasi dengan Gugus Amina
Prinsip dari metode ini adalah pengondensasian aldosa dengan
dengan perubahan warna larutan menjadi hijau. Intensitas warna yang dihasilkan
berbanding lurus dengan kadar glukosa darah terukur.
2. Metode Enzimatik
Kadar glukosa darah dapat diukur secara enzimatik, menggunakan enzim
glukosa oksidase (GOD). Glukosa akan dioksidasi menjadi asam glukoronat
disertai dengan pembentukan hidrogen peroksida (H2O2). Adanya enzim
peroksidase (POD) akan mendorong H2O2 untuk membebaskan oksigen yang akan
mengoksidasi akseptor kromogen (aminoantipirin dan fenol) menghasilkan warna
merah. Kadar glukosa darah ditentukan berdasarkan intensitas warna yang
terbentuk.
3. Metode Oksidasi-Reduksi
Pada metode ini, terjadi proses oksidasi dengan menggunakan oksidan
ferrisiamida. Oksida akan direduksi menjadi ferrosiamida oleh glukosa dalam
suasana basa dengan pemanasan. Kelebihan ferri pada larutan dititrasi secara
iodometri.
G. Landasan Teori
DM merupakan suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis yang
ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi
insulin. Terapi DM menggunakan obat antidiabetik oral dapat menimbulkan efek
samping dan efek jangka panjang yang kurang menguntungkan. Pada tahun 2003,
WHO merekomendasikan penggunaan obat tradisional untuk menyembuhkan atau
jangka panjang. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan salah satu tanaman
yang memiliki daya hipoglikemik. Mekanisme utama penurunan kadar glukosa
darah oleh buncis adalah β-sitosterol serta sigmasterol sebagai stimulan sel β
pankreas dalam sekresi insulin.
H. Hipotesis
Jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) dapat menurunkan kadar glukosa darah
19
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian eksperimental
murni, yaitu penelitian dengan melakukan percobaan terhadap kelompok
perlakuan dan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak dikenai
perlakuan. Penelitian ini dikerjakan dengan rancangan acak lengkap pola searah,
yaitu cara menetapkan sampel dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol
dengan pengacakan agar setiap sampel punya peluang yang sama untuk dapat
dikategorikan dalam kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Penelitian
dilakukan secara lengkap yaitu dalam penelitian terdapat kelompok kontrol
normal, kelompok kontrol positif, kelompok kontrol negatif, dan kelompok
perlakuan. Pola searah ditunjukkan dengan adanya perlakuan yang sama pada
kelompok perlakuan, yaitu pemberian jus buncis (Phaseolus vulgaris L.)
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel utama
a. Variabel bebas. Dosis jus buncis (Phaseolus vulgaris L.)
b. Variabel tergantung. Kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar.
2. Variabel pengacau
a. Variabel pengacau terkendali
1) Subjek uji : tikus putih
2) Jenis kelamin : jantan
4) Berat badan subjek uji : 150-200 gram
5) Umur subjek uji : 2-3 bulan
6) Jalur pemberian : peroral
b. Variabel pengacau tak terkendali.
1) Variabel biologis hewan uji yaitu proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan
eliminasi hewan uji terhadap pemberian jus buncis.
2) Kondisi patofisiologis hewan uji.
3. Definisi operasional
a. Jus buncis adalah potongan buah buncis yang dijus dalam air putih
menggunakan blender kemudian disaring sehingga dihasilkan jus buncis.
b. Uji Toleransi Glukosa Oral (UTGO) merupakan suatu metode penetapan
kadar glukosa dengan cara memberikan beban glukosa terhadap tikus dengan
larutan glukosa monohidrat secara oral dengan dosis 1,75 g/kgBB.
c. LDDK0-240 kadar glukosa dalam darah adalah besaran yang menggambarkan
jumlah kadar glukosa dalam darah pada rentang waktu menit ke-0 sampai
menit ke-240 yang dihitung menggunakan metode trapezoid.
C. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan Penelitian
a. Hewan uji. Tikus putih jantan galur Wistar, umur 2-3 bulan, berat badan
150-200 gram diperoleh dari Bantul, Yogyakarta.
b. Bahan uji. Buncis, diperoleh dari Condong Catur, Yogyakarta.
d. Pereaksi untuk pengukuran kadar glukosa. Reagen GOD-PAP (Glucose GOD
[image:41.612.91.520.152.674.2]FS* oleh DiaSys®, Jerman).
Tabel III. Isi reagen GOD-PAP
Isi Jumlah
Phosphat buffer (pH 7,5) 250 mmol/L
Phenol 5 mmol/L
4-aminoantipyrine 0,5 mmol/L Glucose oxidase (GOD) ≥10 kU/L Peroxidase (POD) ≤1 kU/L Standard 100 mg/dL (5,5 mmol/L)
(DiaSys, 2014)
e. Lain-lain
1) EDTA sebagai antikoagulan
2) Glukosa monohidrat p.a. dengan dosis 1,75 g/kgBB sebagai bahan untuk
UTGO
3) Aquadest
4) Aquabidest sebagai blanko pada pengukuran kadar glukosa darah
5) CMC 1% sebagai kontrol normal dan pelarut glibenklamid
2. Alat Penelitian
a. Seperangkat alat gelas (Beaker glass, labu ukur, gelas ukur, pengaduk)
b. Jarum suntik (injeksi peroral)
c. Pipa kapiler hematokrit
d. Tabung effendorf
e. Tabung reaksi
f. Mikropipet 100µL, 1000µL
g. Glassfin dan pipet volum
i. Sentrifuge
j. MicroVitalab-200
k. Alat timbang elektrik
l. Vortex
m. Blender
n. Penyaring
o. Stopwatch
D. Tata Cara Penelitian
1. Determinasi tanaman
Determinasi dilakukan dengan mencocokkan kesamaan buah buncis yang
dibeli dengan ciri-ciri yang terdapat dalam buku taksonomi dan determinasi oleh
ahli determinan sehingga diperoleh surat keterangan determinasi. Determinasi
dilakukan di Bagian Biologi Farmasi, Unit II Fakultas Farmasi Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta oleh Bapak Djoko Santoso, M.Si.
2. Pengumpulan bahan uji
Buncis yang digunakan diperoleh dari Condong Catur Yogyakarta.
3. Pembuatan jus buncis
Jus buncis dibuat dengan mencampurkan 250 gram potongan buah buncis
dan 100 mL air yang diblender dan disaring, sehingga didapatkan jus buncis
(volume 150 mL).
4. Perhitungan dosis pemberian jus buncis
Konsentrasi konsumsi jus buncis untuk manusia dewasa (70 kg) adalah
(150 mL). Dosis untuk tikus didapat dari konversi empiris manusia ke tikus,
sehingga diperoleh dosis sebesar 22,5g/kgBB. Dosis ini ditetapkan sebagai dosis
terendah. Selanjutnya dilakukan penentuan peringkat dosis untuk dosis tengah dan
dosis tertinggi. Dosis tertinggi ditentukan dengan melihat konsentrasi maksimum
jus buncis yang masih dapat masuk ke dalam spuit injeksi oral tanpa memberikan
penyumbatan dan konsentrasi maksimum jus buncis yang tidak menyebabkan
kematian pada hewan uji, diperoleh hasil 115,05g/kgBB. Dosis tengah didapatkan
dengan mencari faktor peringkat terlebih dahulu, dengan rumus ≥ = ,
dimana n adalah jumlah kelompok peringkat dosis jus buncis, D3 adalah dosis
tertinggi jus buncis dan D1 adalah dosis terendah jus buncis. Diperoleh nilai f
sebesar 2,26. Dosis tengah dihitung dengan cara mengalikan dosis terendah jus
buncis dengan faktor peringkat, sehingga diperoleh dosis sebesar 50,85g/kgBB
(Lampiran 4d).
5. Preparasi bahan
a. Pembuatan larutan stok glukosa p.a 15,0% b/v. Glukosa monohidrat p.a
ditimbang sebanyak 3,75 gram dilarutkan dalam aquadest panas dalam labu
takar 25,0 mL sampai tanda batas.
b. Pembuatan larutan CMC 1% b/v. CMC ditimbang sebanyak 1 gram dan
dilarutkan dengan akuades dalam labu ukur 100 mL hingga batas tanda.
c. Penentuan keseragaman bobot tablet glibenklamid. Timbang 20 tablet
glibenklamid secara acak, hitung dan catat masing-masing bobotnya. Saat
penimbangan, tidak boleh ada lebih dari dua tablet yang masing-masing
lebih besar daripada harga yang ditetapkan pada kolom A, dan tidak satu
tabletpun menyimpang dari bobot rata-ratanya, dengan persentase
penyimpangan lebih besar dari harga yang ditetapkan pada kolom B (Tabel
[image:44.612.93.515.189.614.2]IV)
Tabel IV. Keseragaman Bobot Tablet
Bobot rata-rata Penyimpangan bobot rata-rata (%)
A B
≤ 25 mg 15 30
26-150 mg 10 20
151-300 mg 7,5 15
> 300 mg 5 20
(Depkes RI, 1979)
d. Pembuatan suspensi glibenklamid 0,1125 mg/mL. Timbang sebanyak 20
tablet glibenklamid dan gerus hingga homogen. Timbang 25 mg serbuk
glibenklamid, larutkan dengan CMC 1% dalam labu takar 10 mL sampai batas
tanda sebagai larutan stok glibenklamid. Supensi glibenklamid dengan
konsentrasi 0,1125 mg/mL dibuat dengan mengambil 0,45 mL larutan stok,
larutkan dengan aquadest dalam labu ukur 10 mL hingga batas tanda.
e. Penentuan dosis glibenklamid. Dosis glibenklamid untuk manusia 70 kgBB
yaitu 5 mg, sehingga dosis untuk tikus yaitu:
faktor konversi manusia ke tikus = 0,018
5 mg × 0,018 = 0,09mg/200gBB
= 0,45mg/kgBB
6. Orientasi waktu pemberian glibenklamid
Orientasi dilakukan dengan menggunakan dua belas ekor tikus yang
terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok 15, 30, dan 45 menit sebelum
tikus mendapat perlakuan kontrol positif (suspensi glibenklamid 0,45mg/kgBB
dan pembebanan glukosa 0,45mg/kgBB) dan dua ekor tikus mendapat perlakuan
kontrol negatif (CMC 1% b/v dan pembebanan glukosa 0,45mg/kgBB).
Semua pemberian dilakukan dilakukan secara peroral kemudian dilakukan
UTGO dengan memberikan larutan glukosa monohidrat 15% b/v dosis 1,75
mg/kgBB. Pengambilan darah dilakukan sesaat sebelum UTGO sebagai menit
ke-0 dan pada menit ke-15, 3ke-0, 45, 6ke-0, 9ke-0, 12ke-0, 18ke-0, dan 24ke-0 setelah UTGO.
Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar glukosa darah dengan metode
GOD-PAP dan dibuat kurva UTGO serta perhitungan harga LDDK0-240. Penentuan
waktu pemberian glibenklamid berdasarkan pada nilai LDDK0-240 kontrol positif
terkecil.
7. Orientasi waktu pemberian jus buncis
Penetapan waktu pemberian jus buncis mengikuti waktu yang diperoleh
dari hasil orientasi penetapan waktu pemberian glibenklamid.
8. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji
Penelitian ini mengikuti rancangan acak lengkap pola searah, yaitu tiga
puluh ekor tikus dibagi secara acak menjadi 6 kelompok, masing-masing terdiri
dari lima ekor. Tiap hewan uji diadaptasikan dalam laboratorium dengan kondisi
yang sama, jauh dari kebisingan dan dihindarkan dari stress selama 7 hari.
Sebelum diberi perlakuan, masing-masing kelompok dipuasakan selama 10-16
jam dengan tetap diberi minum ad libitum, lalu diberi perlakuan sebagai berikut:
b. Kelompok II yaitu pemberian glibenklamid 0,45 mg/kgBB dan pembebanan
glukosa monohidrat p.a 15% b/v dosis 1,75 mg/kgBB (kontrol positif).
c. Kelompok III yaitu pemberian CMC 1% b/v dan pembebanan glukosa
monohidrat p.a 15% b/v dosis 1,75 mg/kgBB (kontrol negatif).
d. Kelompok IV yaitu pemberian jus buncis dosis 22,5g/kgBB dan pembebanan
glukosa monohidrat p.a 15% b/v dosis 1,75 mg/kgBB.
e. Kelompok V yaitu pemberian jus buncis dosis 50,85g/kgBB dan pembebanan
glukosa monohidrat p.a 15% b/v dosis 1,75 mg/kgBB.
f. Kelompok VI yaitu pemberian jus buncis dosis 115,05g/kgBB dan
pembebanan glukosa monohidrat p.a 15% b/v dosis 1,75 mg/kgBB.
Masing-masing kelompok kemudian diambil darahnya sebagai menit ke-0.
UTGO dilakukan dengan memberikan larutan glukosa monohidrat p.a 15% b/v
dosis 1,75mL/kgBB. Waktu pemberian jus buncis disesuaikan dengan hasil
orientasi pemberian glibenklamid. Semua perlakuan dilakukan secara per oral.
Pengambilan cuplikan darah dilanjutkan untuk menit ke-15, 30, 45, 60, 90, 120,
180, dan 240 setelah UTGO. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan dengan
metode GOD-PAP, dibuat kurva UTGO dan perhitungan harga LDDK0-240
Keterangan:
Kelompok dengan kotak perlakuan berwarna biru aqua (kelompok II, III, IV, V, dan VI) diberikan pembebanan glukosa monohidrat 15% b/v dosis 1,75mg/kgBB, sedangkan kelompok dengan kotak perlakuan berwarna putih (kelompok I) tidak diberikan pembebanan glukosa.
Gambar 4. Flowchart Pengelompokkan dan Perlakuan Hewan Uji
30 ekor tikus
Pengambilan cuplikan darah menit ke-0
Injeksi per oral glukosa monohidrat 15% b/v dosis 1,75mg/kgBB
Pengambilan cuplikan darah menit ke-15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240
(setelah UTGO)
selang waktu antara pengambilan cuplikan darah dengan UTGO (pembebanan
glukosa) menyesuaikan hasil penetapan waktu pemberian glibenklamid
Sentrifugasi selama 30 menit, 3000 rpm
Peracikan blanko dan sampel
Operating time 20 menit
Vortex
Pengukuran kadar glukosa darah pada microVitalab 200 Kelompok I (n=5) Kelompok V (n=5) Kelompok II (n=5) Kelompok VI (n=5) Kelompok IV (n=5) Kelompok III (n=5)
injeksi per oral CMC 1% b/v
injeksi per oral suspensi glibenklamid 0,45mg/kgBB
injeksi per oral CMC 1% b/v
injeksi per oral jus buncis 22,5g/kgBB
injeksi per oral jus buncis 50,85g/kgBB
9. Penetapan kadar glukosa darah dengan metode GOD-PAP
Darah tikus diambil pada waktu-waktu yang telah ditentukan melalui
carvenous sinus (belakang mata) sebanyak 0,5 mL ditampung dalam effendorf
yang telah diberi EDTA dan disentrifuge selama 30 menit dengan kecepatan 3000
rpm. Plasma diambil, dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambahkan reagen,
divortex dan diukur kadar gula darahnya menggunakan microVitalab pada λ 500
nm. Kadar glukosa dinyatakan dalam mg/dL. Pengukuran kadar glukosa
dilakukan di laboratorium Fisiologi-Biokimia Fakultas Farmasi Universitas
[image:48.612.95.513.218.585.2]Sanata Dharma, Yogyakarta.
Tabel V. Volume Pengukuran Kadar Glukosa Darah
Bahan Sampel (mL) Standar (mL) Blanko (mL)
Supernatan 0,01 - -
Larutan baku glukosa - 0,01 -
Pereaksi GOD-PAP 1 1 1
(DiaSys, 2014)
E. Analisis Hasil
Data LDDK0-240 glukosa darah setiap kelompok dianalisis secara statistik,
diawali dengan uji distribusi dan uji homogenitas menggunakan uji Kolmogorov
Smirnov. Apabila distribusi termasuk normal dan variansinya homogen (p > 0,05)
maka dilanjutkan dengan analisis One Way ANOVA dan uji Post Hoc Test
Scheffe dengan tingkat kepercayaan 95%. Apabila distribusi tidak normal dan nilai
LDDK0-240 memiliki variansi yang berbeda (p < 0,05) maka dilakukan uji Kruskal
Wallis dan dilanjutkan uji Mann Whitney dengan tingkat kepercayaan 95% untuk
mengetahui perbedaan tiap kelompok apakah bermakna (p<0,05) atau tidak
29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Determinasi Tanaman
Pada penelitian ini dilakukan determinasi tanaman uji berupa tanaman
buncis (Phaseolus vulgaris L,) dengan tujuan untuk memastikan bahwa tanaman
yang digunakan adalah benar tanaman buncis. Buncis yang diperoleh dari
Condong Catur, Yogyakarta, kemudian dideterminasi di Bagian Biologi Farmasi,
Unit II Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta oleh Bapak Djoko
Santoso, M.Si. Bagian tanaman yang digunakan untuk determinasi meliputi akar,
batang, daun, buah, dan bunga.
Determinasi dilakukan hingga tingkat spesies dan hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa bahwa tanaman yang dideterminasi adalah benar tanaman
buncis (Phaseolus vulgaris L.) (Lampiran 2).
B. Hasil Percobaan Pendahuluan
1. Penetapan waktu pemberian glibenklamid
Tujuan dilakukannya penetapan waktu pemberian glibenklamid adalah
untuk melihat pengaruh selang waktu pemberian glibenklamid terhadap daya
penurunan glukosa darah, agar pada saat uji toleransi glukosa oral (UTGO)
dengan pembebanan larutan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v,
glibenklamid dapat memberikan efek penurunan kadar glukosa darah yang
optimal.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah UTGO yaitu uji yang
setelah pembebanan glukosa. Metode ini juga memberikan gambaran mengenai
efek penurunan kadar glukosa darah secara cepat oleh obat atau zat yang memiliki
efek menurunkan kadar glukosa darah karena glukosa cepat dimetabolisme.
Kelemahan dari UTGO adalah metode ini hanya dapat menggambarkan kenaikan
kadar glukosa darah yang bersifat sementara. Untuk itu perlu dilakukan uji
lanjutan dengan menggunakan metode uji efek antidiabetes yang lain seperti uji
perusakan pankreas atau metode resistensi insulin, dimana hewan uji dapat
terindikasi DM secara permanen.
Waktu pemberian glibenklamid pada hewan uji didasarkan pada
penurunan harga luas daerah dibawah kurva dari menit ke-0 sampai menit ke-240
(LDDK0-240), dimana waktu pemberian yang dipilih merupakan waktu pemberian
yang memiliki nilai LDDK0-240 kontrol positif paling kecil.
Tabel VI. Hasil UTGO dan Perhitungan Selisih Nilai LDDK0-240 Rata-Rata Suspensi Glibenklamid Dosis 0,45mg/kgBB
Selang waktu pemberian
suspensi glibenklamid sebelum UTGO
LDDK0-240 Rata-Rata(mg.menit/dL) Selisih LDDK0-240 (mg.menit/dL) Kontrol negatif
(CMC 1% b/v)
Kontrol positif (glibenklamid
dosis 0,45mg/kgBB)
15 33000,0 21701,5 11298,5
30 32951,5 17783,0 15168,5
45 33907,5 20483,0 13424,5
Tabel VI menunjukkan bahwa glibenklamid pada menit ke-30 sebelum
UTGO memiliki nilai LDDK0-240 kontrol positif paling kecil (17783,0
mg.menit/dL) bila dibandingkan dengan menit ke-15 (21701,5 mg.menit/dL) dan
menit ke-45 (20483,0 mg.menit/dL), sehingga waktu pemberian glibenklamid
[image:50.612.97.520.216.598.2]2. Penetapan dosis sediaan jus buncis
Penetapan dosis sediaan jus buncis bertujuan untuk menentukan dosis
yang optimal dalam memberikan penurunan kadar glukosa darah namun tidak
memberikan efek letal pada hewan uji. Penggunaan jus buncis secara empiris
adalah 250 gram buncis dijus dalam 100 mL air dan disaring, sehingga didapatkan
konsentrasi 250g/150mL.
Orientasi dosis dilakukan menggunakan peringkat dosis yang diperoleh
dari konversi empiris manusia 70 kg ke tikus 200 gram. Dosis yang diperoleh
digunakan sebagai peringkat dosis tertinggi, kemudian diturunkan masing-masing
1,5x untuk peringkat dosis kedua dan ketiga. Diperoleh peringkat dosis 10
g/kgBB, 15 g/kgBB, dan 22,5 g/kgBB. Hasil orientasi menunjukkan bahwa dosis I
(10 g/kgBB) dan dosis II (15 g/kgBB) belum memberikan efek penurunan kadar
glukosa darah yang signifikan terhadap kontrol positif (Lampiran 6), sehingga
dilakukan penyesuaian dosis lanjutan.
Dosis empiris manusia (22,5g/kgBB) kemudian dijadikan dosis terendah
(dosis I). Peringkat dosis tertinggi (dosis III) ditentukan dengan mencari
konsentrasi maksimum jus yang masih bisa masuk ke dalam spuit injeksi oral
tanpa memberikan penyumbatan terhadap spuit dan tidak memberikan efek letal
pada hewan uji. Diperoleh konsentrasi maksimum sebesar 1150g/150mL dan
dilakukan perhitungan dosis dengan rumus D × BB = C × V, maka didapatkan
dosis tertinggi sebesar 115,05g/kgBB. Dosis tengah didapatkan dengan
menghitung faktor peringkat berdasarkan rumus f = , dimana f adalah
D1 adalah dosis terendah. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai f sebesar 2,26.
Dosis tengah kemudian dihitung dengan mengalikan dosis terendah (dosis I)
dengan faktor peringkat. Diperoleh dosis tengah sebesar 50,85g/kgBB.
3. Penetapan waktu pemberian jus buncis
Pemberian jus buncis mengikuti waktu yang ditetapkan pada penetapan
waktu pemberian glibenklamid, yaitu 30 menit sebelum UTGO (Lampiran 5).
C. Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Jus Buncis
Hewan uji dikelompokkan dan diberi perlakuan seperti pada Gambar 4.
Semua perlakuan diberikan secara per oral. Pengukuran kadar glukosa darah
dilakukan menggunkan instrument microVitalab-200 dengan metode enzimatis
yaitu menggunakan reagen GOD-PAP pada λ 500 nm. Reagen GOD-PAP berisi
dapar fosfat 250 mmol/L, fenol 5 mmol/L, 4-amino antipirin 0,5 mmol/L, glukosa
oksidase (GOD) ≥10ku/L, dan peroksidase (POD) ≥10ku/L. Prinsip reaksinya
adalah adanya GOD akan mengkatalisis oksidasi glukosa menjadi asam glukonat
dan hidrogen peroksida. Glukosa akan bereaksi dengan reagen GOD-PAP dan
akan membentuk kompleks kuinonimin yang berwarna merah muda.
Pembentukan kompleks kuinonimin memerlukan waktu inkubasi
(operating time) selama 20 menit pada suhu ruang agar terjadi reaksi yang
optimum antara glukosa dengan enzim yang terdapat dalam reagen GOD-PAP.
Selama waktu inkubasi, terjadi perubahan warna dari bening menjadi merah muda
yang kemudian dilakukan pembacaan kadar pada microVitalab. Hasil pembacaan
Gambar 5. Reakzi Enzimatik Antara Glukosa dengan Reagen GOD-PAP (Barham dan Trinder, 1972).
Tabel VII menunjukkan nilai rata-rata kadar glukosa darah dan nilai LDDK
0-240
masing-masing kelompok perlakuan. Nilai LDDK0-240 dari tiap kelompok
dihitung menggunakan metode trapezoid.
LDDK = t − t2 × C + C + t − t2 × C + C
+ t − t2 × C + C + … !
Keterangan:
t = waktu (menit)
C = konsentrasi zat dalam darah (mg/mL)
LDDKto-tn = luas daerah di bawah kurva dari waktu ke-0 sampai ke-n
Kelompok I memiliki nilai LDDK0-240 (19503,0) paling kecil dibandingkan
kelompok lainnya. Hal ini dikarenakan kelompok I hanya diberi CMC 1% b/v,
dimana CMC 1% b/v tidak memiliki efek terapeutik yang dapat meningkatkan
atau menurunkan kadar glukosa darah.
Kelompok II (20862,0) memiliki nilai LDDK0-240 yang lebih tinggi
daripada kelompok I (19503,0) namun lebih rendah daripada kelompok III
glukosa darah. Hewan uji pada kelompok II diberikan suspensi glibenklamid,
dimana glibenklamid merupakan obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea
yang memiliki efek menurunkan kadar glukosa darah dengan menstimulasi sekresi
insulin pada sel ß pankreas, sehingga kadar glukosa yang diperoleh mendekati
[image:54.612.94.546.179.589.2]kadar normal.
Tabel VII. Data Kadar Glukosa Darah Rata-Rata dan LDDK0-240± SD Tiap Kelompok Perlakuan (n=5)
Waktu
(menit) I II III IV V VI
0 79,8 79,6 87,6 79,4 78,6 79,0
15 81,4 110,4 127,8 109,4 108,8 107,2
30 81,4 115,4 138,2 129,4 128,2 127,4
45 80,6 104,6 132,2 119,0 118,0 117,2
60 81,0 101,2 126,8 109,8 108,4 107,4
90 81,4 92,0 122,6 99,8 98,0 96,6
120 81,4 84,0 118,0 89,6 87,4 85,8
180 81,6 76,0 112,0 80,0 77,6 70,4
240 81,0 64,4 102,4 71,8 72,2 48,6
LDDK0-240 19503,0 ± 177,292 20862,0 ± 337,775 28206,0 ± 507,329 22413,0 ± 675,304 22048,5 ± 1107,913 20727,0 ± 851,285 Keterangan:
I : Kontrol normal (CMC 1% b/v)
II : Kontrol positif (suspensi glibenklamid dosis 0,45mg/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)
III : Kontrol negatif (CMC 1% b/v + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v) IV : Sediaan uji dosis I (jus buncis dosis 22,5g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a
dosis 15,0% b/v)
V : Sediaan uji dosis II (jus buncis 50,85g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)
VI : Sediaan uji dosis III (jus buncis 115,05g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)
Kelompok III (28206,0) memiliki nilai LDDK0-240 yang paling tinggi dari
semua kelompok. Hal ini dikarenakan hewan uji pada kelompok III diberi CMC
1% serta pembebanan glukosa monohidrat, dimana CMC 1% tidak memiliki efek
Kelompok II (2
daripada kelompok IV (
240
yang sama dengan
kelompok IV dan V me
sebaik glibenklamid. Efe
V dapat dilihat dari nil
yang lebih rendah dari
kesamaan nilai LDDK
0-memiliki efek penurunan
Gambar 6. Kurva Hu Darah Keterangan:
I : Kontrol normal (CM II : Kontrol positif (su
monohidrat p.a dosis III : Kontrol negatif (CM IV : Sediaan uji dosis I (
dosis 15,0% b/v) V : Sediaan uji dosis II (
15,0% b/v) VI : Sediaan uji dosis II
dosis 15,0% b/v)
0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 K a d a r g lu k o sa d a ra h ( m g /d L)
(20862,0) memiliki nilai LDDK0-240 yang leb
(22413,0) dan V (22048,0), namun memiliki nila
n kelompok VI (20727,0). Hal ini menunjukk
emiliki efek penurunan kadar glukosa darah, na
fek penurunan kadar glukosa darah pada kelomp
nilai LDDK0-240 kelompok IV (22413,0) dan V
aripada nilai LDDK0-240 kelompok III (28206,0
-240
kelompok II dan VI menandakan bahwa kel
an kadar glukosa darah yang sama dengan gliben
ubungan Antara Waktu dan Rerata Kadar
MC 1% b/v)
suspensi glibenklamid dosis 0,45mg/kgBB + pembeba sis 15,0% b/v)
MC 1% b/v + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 1 I (jus buncis dosis 22,5g/kgBB + pembebanan glukosa mo
II (jus buncis 50,85g/kgBB + pembebanan glukosa monohid
III (jus buncis 115,05g/kgBB + pembebanan glukosa mo
15 30 45 60 90 120 180 240
Waktu (menit) Kelompo Kelompo Kelompo Kelompo Kelompo Kelompo
ebih rendah
ilai LDDK
0-kkan bahwa
namun tidak
pok IV dan
V (22048,5)
,0). Adanya
elompok VI
enklamid.
ar Glukosa
banan glukosa
15,0% b/v) monohidrat p.a
hidrat p.a dosis
monohidrat p.a
Data LDDK0-240 kemudian dianalisis menggunakan uji statistik (Lampiran
7). Untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data, dilakukan uji
normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas data menunjukkan
bahwa data memiliki distribusi yang normal dengan nilai p=0,125 (p>0,05). Uji
kemudian dilanjutkan dengan Test of Homogeneity of Variances untuk
mengetahui homogenitas data, apakah ada perbedaan nilai LDDK0-240 yang
bermakna dari masing-masing kelompok perlakuan. Hasil pengujian homogenitas
data menunjukkan nilai p=0,199 (p>0,05) yang berarti bahwa variansi data
LDDK0-240 homogen. Dari kedua hasil uji tersebut diatas, uji dapat dilanjutkan
menggunakan One Way ANOVA. Hasil uji One Way ANOVA menunjukkan nilai
p=0,000 (p<0,05) yang kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc Scheffe untuk
[image:56.612.97.514.192.677.2]mengetahui pasangan kelompok yang berbeda secara signifikan.
Tabel VIII. Hasil Uji Post Hoc Scheffe LDDK0-240 Glukosa Darah Tikus yang Terbebani Glukosa
1 2 3 4 5 6
1 - BTB BB BB BB BTB
2 BTB - BB BTB BTB BTB
3 BB BB - BB BB BB
4 BB BTB BB - BTB BTB
5 BB BTB BB BTB - BTB
6 BTB BTB BB BTB BTB -
Keterangan:
1 : Kontrol normal (CMC 1% b/v)
2 : Kontrol positif (suspensi glibenklamid dosis 0,45mg/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)
3 : Kontrol negatif (CMC 1% b/v + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v) 4 : Sediaan uji dosis I (jus buncis dosis 22,5g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a
dosis 15,0% b/v)
5 : Sediaan uji dosis II (jus buncis 50,85g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)
6 : Sediaan uji dosis III (jus buncis 115,05g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)
Hasil uji Post Hoc Scheffe pada Tabel VIII menunjukkan bahwa sediaan
uji dosis I, II, dan III berbeda bermakna terhadap kontrol negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa sediaan uji memiliki kemampuan untuk menurunkan kadar
glukosa darah.
Sediaan uji dosis I dan sediaan uji dosis II berbeda tidak bermakna dengan
kontrol positif namun berbeda bermakna dengan kontrol normal. Hal ini
menunjukkan bahwa jus buncis dosis I (22,5g/kgBB) dan dosis II (50,85g/kgBB)
mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus sebaik glibenklamid namun belum
dapat menurunkan kadar glukosa darah hingga mencapai normal.
Sediaan uji dosis III berbeda tidak bermakna dengan kontrol normal dan
kontrol positif. Hal ini menunjukkan bahwa jus buncis dosis III (115,05g/kgBB)
mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus sebaik glibenklamid hingga
mencapai kadar normal.
Sediaan uji dosis I, II, dan III menunjukkan perbedaan yang tidak
bermakna. Hal ini berarti bahwa ketiga peringkat dosis tersebut sama-sama dapat
menurunkan kadar glukosa darah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa buncis (Phaseolus vulgaris L.) dapat
digunakan untuk menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang
terbebani glukosa. Namun demikian, perlu dilakukan perhitungan ED50 Menurut
Jannah, Sudarma, dan Andayani (2013), senyawa yang bertanggung jawab dalam
menurunkan kadar glukosa darah adalah β-sitosterol dan stigmasterol yang
termasuk dalam golongan fitosterol. β-sitosterol dan stigmasterol dapat
yang di dalam hati merupakan enzim utama untuk konversi karbohidrat menjadi
gula darah. Wahyuntari (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Penghambat
α-Amilase: Jenis, Sumber, dan Potensi Pemanfaatannya Dalam Kesehatan”
menyebutkan bahwa buncis memiliki kandungan flavonoid yang berfungsi
sebagai penghambat enzim α-amilase. Enzim ini memegang peranan penting
dalam pemecahan karbohidrat kompleks, seperti pati. Beberapa me