Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi ideal aspek-aspek fisik ruang kerja pada manager yang bekerja pada PT .”X” di kota Bandung. Subyek yang diteliti adalah seluruh middle level manager PT. ”X” yang berjumlah 30 orang. Metode yang digunakan pada penelitan ini adalah metode deskriptif.
Peneliti menggunakan teori persepsi lingkungan dari Bell, Fisher dan Loomis serta teori adaptation level dari Wholwill. Alat ukur yang digunakan, disusun sendiri oleh peneliti dengan menggunakan konsep alat ukur PEQI (Perceived Environmental Quality Index) dari Bell, Fisher dan Loomis terdiri dari 62 item. Validitas dari item menggunakan teknik korelasi, sedangkan reliabilitas menggunakan koefisien alpha cronbach menghasilkan reliabilitas dengan kategori kuat. Data yang didapat diolah dengan menggunakan teknik median.
Berdasarkan pengolahan data secara statistik diperoleh persespsi manager PT. ”X” terhadap aspek suara, pencahayaan, ergonomis, aesthetis, warna, polusi, dan angin berada pada kategori rendah sedangkan median
jawaban manager PT.”X” terhadap aspek suhu berada pada kategori tinggi.
Kesimpulan yang diperoleh adalah persepsi ideal manager PT. ”X” terhadap aspek fisik lingkungan ruang kerjanya berupa suara, pencahayaan, ergonomis, aesthetis, warna, polusi, dan angin adalah lebih rendah dibandingkan dengan kondisi ruang kerja yang ditempati saat ini, sedangkan aspek suhu adalah lebih tinggi.
Universitas Kristen Maranatha ABSTRACT
This research is a descriptive studies about perception on physical aspect
in office workroom of middle level manager in “X” company. Purpose on this research is to known the ideal perception about physical aspect in office workroom of middle level manager in “X” company.
This research uses theory about environmental perception from Bell, Fisher and Loomis with additional theory about adaptation level from Wholwill.
This research conduct in all middle level manager in “X” company that consist of
29 person in total. The instrument that being used to collect data in this research, designed by researcher himself from a concept of PEQI (Perceived Environmental Quality Index) developed by Bell, Fisher dan Loomis that consist of 62 items. Standardization had been made for this instrument to search reliability value, with result strong reliability value.
Form final result we can see that median value of ideal perception on physical aspect in an office workroom is in low category for sound, light, ergonomic, aesthetic, color, pollution, and wind. perception of temperature aspect marked in hi catagories.
In conclusion, ideal perception on physical aspect in an office workroom
of middle level manager who works in “X” company is below their current workroom physical aspect for sound, light, ergonomic, aesthetic, color, pollution, and wind. Ideal perception of temperature is above their current workroom physical aspect .
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
Abstrak
Abstract
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GRAFIK ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I : Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 11
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 11
1.4 Kegunaan Penelitian
Universitas Kristen Maranatha
1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 11
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 12
1.5 Kerangka Pemikiran ... 12
1.6 Asumsi ... 26
BAB II : Tinjauan Pustaka 2.1 Persepsi 2.1.1 Pengertian Persepsi ... 27
2.1.2 Proses Perseptual ... 27
2.2 Teori Persepsi 2.2.1 Adaptation level theory ... 29
2.2.2 Under Stimulation Aproach ... 30
2.2.3 Over Stimulation Aproach ... 30
2.3 Persepsi terhadap lingkungan 2.3.1 Pendekatan-pendekatan Persepsi Terhadap Lingkungan ... 30
2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Terhadap Lingkungan ... 33
2.4 Lingkungan Yang mempengaruhi Persepsi 2.4.1 Teori Hubungan Antara Lingkungan Dengan Persepsi ... 38
Universitas Kristen Maranatha
2.4.2 Suara dan persepsi ... 39
2.4.3 Suhu dan persepsi ... 44
2.4.4 Pencahayaan dan persepsi ... 47
2.4.5 Angin dan persepsi... 50
2.4.6 Polusi dan persepsi ... 51
2.4.7 Ergonomi dan persepsi ... 53
2.4.8 Aesthetis dan persepsi ... 54
2.4.9 Warna dan persepsi ... 56
2.5 Ruang Kerja Ideal 2.5.1 Ruangan ... 56
2.5.2 Kerja atau Pekerjaan ... 57
2.5.3 Ideal ... 57
2.6 Industri dan Perusahaan 2.6.1 Definisi Industri ... 57
2.6.2 Perusahaan Perseroan (Persero) ... 57
2.7 Teori-Teori Pekerja 2.7.1 Definisi Pekerja ... 58
2.7.2 Manajemen ... 58
Universitas Kristen Maranatha 2.7.3 Keterampilan dan Tingkatan Manager ... 60
2.7.4 Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Manager ... 62
2.8Masa Dewasa Awal
2.8.1 Perkembangan Fisik ... 62
2.8.2 Perkembangan Kognitif ... 63
2.8.3 Karir dan Pekerjaan ... 65
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.2Rancangan Penelitian ... 67
3.2Bagan Rancangan Penelitian ... 68
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.3.1 Variabel Penelitian ... 68
3.3.2 Definisi Operasional ... 68
3.4Alat Ukur
3.4.1 Alat Ukur Persepsi Terhadap Aspek Lingkungan Fisik ... 68
3.4.2 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 75
3.4.3 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 76
3.5 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
3.5.1 Populasi Sasaran ... 78
3.5.2 Karakteristik Sampel ... 79
3.5.3 Teknik Analisis Data ... 79
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Universitas Kristen Maranatha
4.1Hasil Penelitian ... 80
4.2Pembahasan ... 90
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan ... 109
5.2Saran ... 111
DAFTAR PUSTAKA ... 113
DAFTAR RUJUKAN ... 114
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
3.4.1 Alat Ukur Persepsi Aspek Fisik Ruang Kerja Yang Ideal ... 71
3.4.2 Bobot Nilai Alat Ukur Persepsi Aspek Fisik Ruang Kerja ... 73
4.1.1 Gambaran Sampel Menurut Posisi ... 80
4.1.2 Gambaran Sampel Menurut Usia... 80
4.1.3 Gambaran Sampel Menurut Jenis Kelamin ... 81
4.1.4 Gambaran Sampel Menurut Lama Bekerja ... 81
4.1.5 Gambaran Sampel Menurut Lama Menempati Ruang ... 82
4.1.6 Gambaran Sampel Menurut Pendapat Terhadap Ruangan ... 82
4.1.7 Gambaran Sampel Menurut Faktor Utama Yang Mempengaruhi Idealitas Ruangan ... 83
4.3Tabel Median Persepsi Setiap Terhadap Lingkungan Fisik Tempat Kerja ... 84
4.4Tabel Median Persepsi Jawaban Terhadap Aspek-Aspek Lingkungan Kerja ... 85
4.4 Tabel Persepsi Terhadap Warna... 89
L 2.1 Tabel Gambaran Sampel... 127
Universitas Kristen Maranatha L 2.2 Tabel Data mentah score setiap item ... 129
L 3.1 Validitas Alat Ukur Persepsi Terhadap Aspek Lingkungan Fisik Ruang
Kerja ... 131
L 4.1 Reliabilitas Alat Ukur Persepsi Lingkungan Fisik Ruang Kerja Ideal ... 133
L 5.1 Tabel Median Persepsi Ideal Terhadap Aspek-Aspek Lingkungan
Kerja ... 135
L 5.2 Tabel Kategori Nilai ... 135
L 6.1 Tabel Median Usia Terhadap Aspek-Aspek Fisik Lingkungan Kerja... 136
L 6.2 Tabel Median Lama Bekerja Terhadap Aspek-Aspek Fisik Lingkungan
Kerja ... 137
L 6.3 Tabel Median Jabatan Terhadap Aspek-Aspek Fisik Lingkungan
Kerja ... 137
L 6.4 Tabel Median Lama Manempati Ruang Terhadap Aspek-Aspek Fisik
Lingkungan Kerja ... 138
L6.5 Tabel Median Median Jenis Kelamin dan Median Idealitas Ruangan
Terhadap Aspek-Aspek Fisik Lingkungan Kerja ... 139
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.2 Median Masing-Masing Aspek ... 84
Grafik 4.3.1 Median Suara ... 86
Grafik 4.3.2 Median Pencahayaan ... 86
Grafik 4.3.3 Median Suhu ... 87
Grafik 4.3.4 Median Polusi ... 87
Grafik Median Angin ... 88
Grafik 4.3.6 Median Ergonomi ... 88
Grafik 4.3.7 Median Aesthetis ... 89
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner ... 115
Lampiran 2 Data Mentah Alat Ukur ... 127
Lampiran 3 Validitas Item ... 131
Lampiran 4 Reliabilita Alat Ukur ... 133
Lampiran 5 Median Aspek Lingkungan Fisik ... 135
Lampiran 6 Tabulasi Silang Data Penunjang ... 136
1
Universitas Kristen Maranatha BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Seiring perkembangan zaman, perubahan dalam cara bekerja dan proses
produk perlu dikembangkan agar lebih cepat serta efektif dalam menghasilkan
produk atau jasa. Oleh karena itu, industri atau perindustrian muncul untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang semakin meningkat. Industri secara umum
adalah kelompok bisnis tertentu yang memiliki teknik dan metode yang sama
dalam menghasilkan laba. Dengan adanya industri, maka sebuah produk dapat
diproduksi secara masal karena penggunaan cara yang standar dalam
menghasilkan produk dapat membuat produk semakin mudah dikerjakan dan
dilakukan secara masal.
Industri memungkinkan sebuah barang atau benda dibuat dengan jumlah besar
dalam waktu yang singkat serta menggunakan sumber daya seminimal mungkin.
Produksi yang efisien dimungkinkan karena pengunaan sistem produksi yang
sistematis serta penggunaan mesin-mesin produksi. Industri yang berkembang
sangat pesat salah satunya adalah industri elektronika. Sejak diciptakannya
komputer, industri ini berkembang pesat karena memungkinkan otomatisasi
dalam proses produksinya. Sebelum diciptakan komputer, perakitan dan
pembuatan rangkaian elekronik dilakukan manual, sehingga proseos pembuatan
2
dibutuhkan untuk merangkai dan membuat komponen lambat sehingga produksi
masal sulit terwujud. Terbatasnya indera dan kemampuan manusia juga
membatasi bentuk dan ukuran komponen sehingga tidak memungkinkan untuk
membuat rangkaian dengan ukuran sangat kecil. Proses otomatisasi
memungkinkan terwujudnya pembuatan dan perangkaian secara cepat dan akurat
bahkan untuk komponen di bawah batas indera manusia dapat digunakan.
Tingkat produksi yang besar ini memungkinkan suatu indutri elektronik
mencukupi kebutuhan konsumsi dalam masyarakat di sekitarnya. Seiring dengan
perkembangan teknologi maka kapasitas dari industri ini semakin meningkat.
Dekade ini, kemajuan teknologi telah memungkinkan perusahaan elektronik untuk
mencukupi kebutuhan tidak hanya bagi negaranya namun mampu menjual ke
negara lain, dan salah satu negara tujuan dijualnya barang elektronik adalah
Indonesia.
Perkembangan industri elektronik di Indonesia dapat dikatakan lebih lambat
dibanding negara tetangga seperti Malaysia dan Singapore. Indonesia merupakan
negara pengimpor elektronik terbesar di Asia Tenggara. Dirjen Perdagangan Luar
Negeri Kementerian Perdagangan, Diah Maulida, mencatat nilai impor produk
elektronik tahun 2009 sebesar 2,4 miliar dolar AS, terbesar dibanding empat
komoditas lain yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan
(Disperindag-Jabar ,2010). Namun Indonesia mulai menggeliatkan industri elektronik ini
semenjak tahun 2005. Pemerintah menargetkan pertumbuhan industri elektronik
sekitar 13.15% pada periode 2005-2009 dengan target investasi mencapai 2,5
3
industri prioritas yang akan dikembangkan sesuai dengan Kebijakan
Pengembangan Industri Nasional," ujar Menteri Perindustrian Fahmi Idris
(Disperindag-Jabar , 2010). Ia mengatakan saat ini ada sekitar 230 perusahaan di
bidang elektronik yang beroperasi di Indonesia. Pemerintah melihat industri
elektronik termasuk industri unggulan dengan target pertumbuhan rata-rata pada
2005-2009 mencapai 13.15%. "Untuk mencapai target tersebut diperlukan
tambahan investasi tidak kurang dari 2,5 miliar dolar AS”.
Salah satu dari 230 perusahaan yang bergerak dibidang elektronik adalah PT.
“X” yang berkedudukan di Bandung. PT “X” adalah perusahaan Negara yang
bergerak di bidang keelektronikan, terutama pada bidang Pembangkit Listrik
Tenaga Surya (PLTS), radio pemancar, dan pemancar televisi. Omset perusahaan
ini berkisar antara 500 miliar dan berusaha menembus level satu triliun untuk
tahun-tahun belakangan ini. Perusahaan ini selain melayani pesanan dari
perusahan dan lembaga pemerintahan yang berorientasi laba, juga melayani
pesanan dari pemerintah yang bersifat pengembangan masyarakat seperti
pembangunan PLTS di daerah terpencil di seluruh Indonesia guna menyukseskan
program pemerintah untuk program listrik masuk desa. Perusahaan ini berdiri
sejak tahun 1965 dan hingga sekarang telah melahirkan tiga anak perusahaan.
Perusahaan ini baru melahirkan anak perusahaan PT.”Y” pada tahun 2008.
Konsumen terbesar perusahaan ini adalah pemerintah walau tidak menutup
kemungkinan untuk menerima klien dari pihak swasta. Luasnya rentang pekerjaan
dan produksi barang dalam skala nasional membuat perusahaan ini memproduksi
4
produksi barang, membutuhkan seseorang atau sekelompok orang untuk mengatur
dan mengarahkan para pekerja dalam melaksanakan tugasnya, atau biasa disebut
Manager atau jajaran Managerial.
Manager adalah Individu yang harus mampu membuat orang-orang dalam organisasi yang berbagai karakteristik, latar belakang budaya, akan tetapi
memiliki ciri yang sesuai dengan tujuan (goals) dan teknologi (technology). Para
manager juga bekerja secara tidak langsung dalam perindustrian untuk mendukung terciptanya suasana kerja yang kondusif dengan menerapkan
kebijakan serta peraturan bagi pekerjanya. Selain itu, tugas seorang Manager
adalah mengintegrasikan pelbagai macam variabel (karakteristik, budaya,
pendidikan dan lain sebagainya) ke dalam suatu tujuan organisasi yang sama
dengan cara melakukan mekanisme penyesuaian. Adapun mekanisme yang
diperlukan untuk menyatukan variabel di atas adalah Pengarahan (direction) yang
mencakup pembuatan keputusan, kebijaksanaan, supervisi, rancangan organisasi
dan pekerjaan, seleksi, pelatihan, penilaian, pengembangan, sistem komunikasi
dan pengendalian, serta sistem reward. Robert L. Katz (1970) mengemukakan
bahwa setiap Manager membutuhkan minimal tiga keterampilan dasar yaitu
keterampilan konsepsional, keterampilan kemanusiaan, dan keterampilan dalam
bidang skill kerja, serta sarana pendukung eksternal bagi kelancaran proses
koordinasi antara Manager dan bawahan.
Banyaknya tenaga kerja dan mesin untuk berproduksi membuat PT. “X”
membagi tingkat Managerial menjadi lima tingkatan, yaitu General Manager,
5
produksi dari perusahaan ini membuat tekanan tersendiri bagi Manager yang
bekerja di dalamnya sehingga selain membutuhkan tiga kemampuan dasar
Managerial, fasilitas pendukung eksternal yang ideal sangatlah diperlukan bagi para Manager ini untuk bekerja secara optimal dalam kesehariannya. Dalam
penelitian ini peneliti berfokus pada middle level Manager karena pada level ini
Manager tidak bersinggungan langsung namun memiliki hubungan yang cukup erat dengan proses produksi, sehingga tugas dan job description yang dikerjakan
berpengaruh besar terhadap pola proses produksi. Di dalam perusahaan PT.”X”
Direktur Teknis, Kepala Bagian, Pimpinan Proyek termasuk middle level
Manager.
Tugas middle level Manager di PT “X” terbagi menurut label jabatanya.
Direktur Teknis, bertanggung jawab terhadap urusan teknis PT.”X” secara umum
tugasnya meliputi penandatanganan perjanjian, perumusan tujuan jangka pendek,
perumusan aturan perusahaan, yang diserahkan kepada kepala bagian untuk
dilaksanakan. Kepala Bagian bertanggung jawab terhadap bagian yang
dibawahinya, tugasnya secara umum meliputi, menjamin terlaksananya peraturan
perusahaan, pembagian tugas kepada kepala proyek, pembuatan proposal, dan
perumusan strategi untuk menjamin terlaksananya proyek. Kepala Proyek
bertanggung jawab pada tersedianya barang, tenaga kerja, mesin, dan dana yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan proyek yang diberikan. Tugas umum Kepala
Proyek meliputi, pembuatan rencana produksi, pembuatan rencana keuangan,
pengawasan terlaksananya proyek, pengadaan barang, mesin dan tenaga kerja bagi
6
Dalam pelaksanaanya, Manager ini memerlukan sarana pendukung dalam
melaksanakan kegiatannya. Salah satu sarana pendukung ini adalah ruang kerja.
Ruang kerja yang kondusif dapat memacu Manager untuk meningkatkan motivasi
dan moral manager dalam bekerja sehingga dapat mengoptimalkan level kerja
manager. Ruang kerja ini tidak hanya berpengaruh pada kondisi fisik dari pekerjaan, namun berpengaruh juga pada kondisi psikologis. Manager banyak
menghabiskan waktu bekerja di dalam ruang kerjanya. Manager tidak hanya
melakukan tugas rutin seperti perencanaan, pengorganisasian, komunikasi dengan
bawahan atau rekan, dan pembukuan. Namun, Manager juga melaksanakan tugas
yang tidak rutin, seperti menerima tamu, membuat pertemuan, mengadakan rapat
di dalam ruang kerjanya.
Masalah yang terjadi pada perusahaan ini adalah ruang kerja manager
yang dianggap kurang ideal, juga kurangnya kebebasan para manager dalam
mengatur dan men-desain ruang kerja manager. Keadaan ini dikeluhkan para
Manager karena dengan terbatasnya kebebasan manager dalam mengatur ruang kerja maka kinerja manager menjadi terganggu. Berdasarkan wawancara yang
dilakukan kepada Manager di beberapa tempat di Bandung, terungkap bahwa
Manager merasa kurang puas dengan ruang kerjanya yang berpengaruh pada kinerja manager.
Ruang kerja yang mendukung pekerjaan manager, membuat Manager
merasa nyaman dan termotivasi dalam bekerja sehingga dapat meningkatkan
kinerja manager. Ruang kerja yang kurang atau bahkan tidak ideal dapat
7
pencapaian tujuan perusahaan. Selain itu, ruang kerja yang nyaman juga memberi
motivasi lebih pada Manager untuk bekerja. Terlepas dari faktor kemampuan,
faktor motivasi mengambil peranan yang penting dalam keseharian Manager
dalam melakukan pekerjaannya. Ruang kerja yang ideal juga dapat meningkatkan
kesehatan mental para Manager dalam bekerja yakni dengan mengurangi hal-hal
yang mengganggu kinerja, yang menurunkan motivasi, atau yang menyebabkan
stress berkaitan dengan seting fisik dan psikis dalam bekerja. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan membuat atau menambahkan hal-hal yang dapat memacu
kinerja Manager. Mengingat alokasi waktu yang dihabiskan Manager dalam
ruang kerjanya, maka merupakan hal yang penting bagi Manager untuk memiliki
sebuah ruang kerja yang ideal.
Secara garis besar ruang kerja Manager PT.”X” memiliki ukuran sekitar
12 x 6 x 4 m3 dengan rata-rata empat hingga delapan orang bawahan berada di
dalam ruangan yang sama. Di dalam ruangan tersebut terdapat kabinet arsip,
beberapa meja untuk bawahan, sekat untuk ruang kerja Manager, mesin fotokopi,
komputer, serta AC. Jarak antara bawahan dengan Manager bervariasi dengan
pola penempatan meja yang saling berhadapan. Suhu ruangan terasa dingin suara
di dalam ruang kerja senyap terkecuali pada bagian produksi yang terdengar suara
mesin. Pencahayaan di dalam ruang dapat dikatakan cukup terang untuk
membaca dengan letak lampu menempel pada salah satu dinding. Komputer
terletak diatas meja kerja setinggi pinggang. Tidak terdapat ornament di dalam
ruang kerja terkecuali ornament yang berhubungan dengan pekerjaan (contoh:
8
Berdasarkan hasil wawancara kepada sepuluh orang Manager PT.”X”
didapatkan bahwa 100% dari Manager tersebut merasa pencahayaan merupakan
hal yang penting yang harus diperhatikan dalam ruang kerja manager. Hal ini
dikarenakan Manager bekerja dengan dokumen dan surat sehingga dibutuhkan
pencahayaan yang cukup untuk melakukannya. Namun hanya lima orang yang
mengatakan bahwa pencahayaan di ruang kerja manager telah ideal.
Sebanyak empat orang mengatakan bahwa ruang kerja yang tenang
membantu manager untuk bekerja, lima orang mengatakan bahwa ruang kerja
manager harus ramai untuk membantu manager dalam bekerja, dan satu orang merasa tidak keberatan bekerja baik dengan suasana yang tenang maupun ramai.
Sebanyak tiga orang merasa ruang kerjanya telah ideal dan tujuh orang
lainnya mengatakan bahwa ruang kerjanya belum ideal untuk mendukung
kinerjanya. Enam orang mengatakan bahwa kemudahan serta ketersediaan alat
dalam ruangan merupakan hal yang penting untuk mendukung kinerjanya namun
sisanya mengatakan hal itu bukanlah sesuatu yang penting.
Sirkulasi udara bagi tiga orang Manager yang diwawancara merupakan
hal yang perlu, tujuh orang tidak mengetahui pengaruhnya terhadap kinerja
manager. Meskipun enam orang Manager merasa tidak masalah dengan sirkulasi udara yang ada di ruangan manager, namun empat orang dari Manager
mengatakan bahwa ruang kerjanya terkadang terasa pengap sehingga manager
sering keluar ruangan untuk menghirup udara segar.
Berkaitan dengan suhu ruangan, lima orang dari Manager mengatakan
9
sesuatu, dimana tujuh orang dari Manager manyatakan suhu adalah faktor yang
penting dalam mendukung kinerja manager.
Sebanyak enam orang Manager menginginkan ruang kerja manager tertata
rapih dan indah, sedangkan empat orang lainya menganggap hal ini tidak terlalu
penting, manager lebih mementingkan pada kemudahan mencari dokumen dan
kebiasaan manager dibanding keindahan dan kerapihan.
Dari data di atas sebanyak tiga orang di antara Manager tersebut tidak
mengetahui apakah setting fisik ruang kerja manager ideal atau tidak dikarenakan
keterbatasan pengetahuan manager terhadap kondisi kerja yang ideal.
Hal tersebut dirasakan oleh para Manager cukup mengganggu dan
menghambat kinerja manager. Sebagian menganggap hal ini adalah beban yang
membuat manager kurang nyaman atau kurang dapat berkonsentrasi dalam
bekerja. Hal ini tentu menurunkan kadar optimalisasi manager dalam bekerja,
selain itu pencapaian tujuan perusahaan pun menjadi terhambat karena pekerja
manager berada dalam kondisi yang kurang optimal.
Kondisi lingkungan psikis seperti keindahan atau kondisi fisik seperti
suhu ruangan di atas akan dirasakan oleh para Manager melalui alat-alat
inderanya dan kemudian dimaknakan sehingga akhirnya Manager dapat memiliki
penghayatan tertentu. Proses pemaknaan ini disebut persepsi. Menurut Stephen P.
Robbins (1996), persepsi adalah suatu proses dimana individu-individu
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera manager agar memberi makna
kepada lingkungan manager. Menurut Bell, Fisher dan Loomis (1978), interaksi
10
akan memperlihatkan dampak lingkungan terhadap tingkah laku manusia.
Lingkungan fisik yang dapat berpengaruh pada tingkah laku manusia antara lain
kebisingan, suhu, angin, ergonomi dan polusi udara sedangkan faktor psikisnya
adalah keindahan (aesthetic) (Bell, Fisher, Loomis 1978), sedangkan ergonomic
menngambil peranan penting dalam mempengaruhi tingkah laku manusia
terutama dalam bekerja.
Melihat pentingnya pekerjaan Manager pada sebuah perusahaan, maka
merupakan hal yang penting untuk memiliki sarana pendukung kerja untuk
memaksimalkan kinerja manager. Meskipun demikian, terdapat fenomena yang
menyatakan bahwa persepsi Manager terhadap ruang kerja yang ideal ialah
berbeda anatar saru dengan lainnya. Meskipun Manager mengetahui apa yang
menurutnya ideal, namun dari sepuluh Manager yang diwawancara, hanya 20%
yang manganggap ruang kerjannya telah ideal. Hal ini menurut beberapa Manager
disebabkan peraturan kantor, kesibukan manager, dan beberapa bahkan ada yang
tidak mengetahui bagian mana dari ruang kerjanya yang kurang ideal, namun
dirinya merasa kurang nyaman bekerja di dalamnya terutama pada waktu yang
lama dalam mengerjakan tugas yang rutin.
Melihat pentingnya ruang kerja yang ideal bagi Manager , maka peneliti
tertarik untuk meneliti bagaimana persepsi Manager terhadap ruang kerja yang
ideal dalam sebuah penelitian “Studi Deskriptif Mengenai Persepsi Manager
11
1.2 Identifikasi Masalah
Dari penelitian ini, peneliti ingin mengetahui persepsi lingkungan fisik
ruang kerja yang ideal bagi para Manager di PT.“X” kota Bandung
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud: Maksud penelitian adalah untuk memperoleh gambaran
mengenai persepsi ideal Manager di PT. “X” kota Bandung terhadap aspek fisik
ruang kerjanya.
Tujuan: Tujuan penelitian adalah ingin mengetahui persepsi ideal
Manager PT. ”X” terhadap aspek suara, pencahayaan, suhu ruangan, polusi, angin, ergonomi, aesthetis dan warna di dalam ruang kerja yang membantu dalam
melaksanakan tugas keseharian para Manager.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoretis
Memberikan gambaran umum mengenai persepsi terhadap ruang kerja yang
ideal bagi para peneliti di bidang psikologi.
Memberikan masukan bagi peneliti lain mengenai persepsi terhadap ruang
kerja terutama ruang kerja Manager di PT.”X” Bandung.
Memberikan landasan awal bagi penelitian mengenai persepsi terhadap
12
1.4.2 Kegunaan Praktis
Memberikan masukan bagi Direktur PT.”X” mengenai gambaran ruang
kerja Manager yang ideal sehingga dapat menjadi masukan bagi
pengembangan ruang kerja berikutnya agar Manager dapat bekerja di dalam
ruangannya dengan optimal.
Memberikan gambaran pada Manager HRD atau Manager Bagian Umum PT.”X sehingga penyusunan ruang kerja atau perubahan ruang kerja dimasa
mendatang dapat lebih optimal dalam mendukung kinerja manager.
Memberikan gambaran pada para Manager bagaimana pengaturan ruang
kerjanya yang ideal agar dapat menyesuaikan ruang kerjanya dengan
gambaran ruang kerja yang ideal.
1.5 Kerangka Pemikiran
Persepsi adalah ketika sejumlah sensasi dijadikan satu oleh sistem saraf
dengan struktur yang lebih tinggi (misalnya otak) sehingga seseorang akan dapat
mengenali atau mengorganisasikan pola dari beberapa sensasi (Bell, Fisher dan
Loomis, 1978). Melalui persepsi, para Manager PT. “X” akan mengamati kondisi
lingkungan fisik tempat kerja manager dan kemudian mengolahnya hingga
akhirnya menghasilkan suatu makna mengenai kondisi lingkungan tersebut.
Ideal dapat diartikan sebagai kesesuaian harapan dengan kenyataan, dalam hal
ini peneliti memberikan beberapa parameter terhadap konsep ruang kerja yang
ideal yaitu: ruang kerja yang dapat memudahkan manager dalam bekerja. Ruang
13
Ruang kerja dianggap ideal jika dapat meningkatkan moral dan mengurangi stress
kerja bagi para Manager.
Persepsi dapat terjadi karena adanya proses perseptual. Proses perseptual
terdiri atas bottom-up feature analysis, unitization, dan top-down processing
(Wickens, Lee, Liu dan Becker, 2004:124-125). Pada proses bottom-up feature
analysis, seseorang menangkap kondisi lingkungan fisik tempat kerjanya melalui alat inderanya untuk memahami kondisi tersebut. Pada proses ini Manager
mengenali terlebih dahulu stimulus yang muncul baru mencari informasi dalam
pikirannya untuk mengenali stimulus tersebut. Pada proses unitization, seseorang
yang sedang menangkap kondisi lingkungan fisik tempat kerjanya dibantu oleh
segala sesuatu yang pernah di pahami sebelumnya sehingga dapat memaknakan
kondisi lingkungan fisiknya dengan lebih cepat. Namun demikian, ada kalanya
kondisi lingkungan fisik tidak dapat ditangkap oleh alat indera. Pada saat seperti
itu, individu tetap dapat memperkirakan kondisi fisik yang ada berdasarkan apa
yang individu ingat dari pengalamannya. Proses ini disebut proses top-down.
Proses ini terjadi saat manager tidak dapat menyensasikan stimulus dari
lingkungan lalu mencari informasi dalam pikirannya untuk disesuaikan untuk
memperkirakan makna dari stimulus yang tidak dapat disensasikan tersebut.
kedua proses ini menentukan bagaimana seseorang memaknakan suatu stimulus.
dalam botom-up proses pemaknaan berasal dari obyek yang kemudian
disesuaikan dengan informasi yang dimiliki. sedangkan proses top-down.
14
Setelah melalui proses perseptual, persepsi juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor lain sehingga walaupun melalui proses perseptual yang sama, Manager
dapat memberikan pemaknaan yang berbeda. Faktor-faktor tersebut adalah
kebutuhan Manager; jarak dan lokasi; pembiasaan dan perubahan; dan pengaruh
sosial dan kebudayaan (Bell, Fisher dan Loomis, 1978:26). Setiap Manager tentu
memiliki kebutuhan yang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Perbedaan
kebutuhan Manager ini akan berpengaruh pada persepsi Manager terhadap
lingkungan fisik tempat kerjanya.
Persepsi terhadap lingkungan dipengaruhi oleh jarak dan lokasi objek yang
akan dipersepsi karena merupakan dasar dalam memahami ruang. Dalam hal ini,
jarak tempat Manager bekerja dari sumber suara, pencahayaan, polusi, dan angin,
akan mempengaruhi persepsinya terhadap suara, pencahayaan, polusi, dan angin.
Misalnya, Manager yang berada lebih dekat dengan sumber angin dapat
mempersepsi suhu ruangan lebih dingin dibandingkan Manager yang berada lebih
jauh dari sumber angin, atau Manager yang berada lebih dekat dengan sumber
pencahayaan, akan mempersepsi ruangan lebih terang dibanding Manager yang
bekerja jauh dari sumber penerangan. Jika Manager yang berada lebih dekat
dengan sumber angin merasa kedinginan, hal ini dapat berakibat pada lebih tidak
nyamannya persepsi Manager tersebut terhadap tempat ruang kerjanya.
Selain jarak dan lokasi, persepsi juga dapat dikaitkan dengan waktu karena
waktu juga akan mempengaruhi persepsi seseorang terhadap lingkungan. Setelah
melibatkan variabel waktu, maka munculah proses pembiasaan dan perubahan.
15
kerja yang tidak nyaman dengan cara yang berbeda bila Manager tersebut telah
bekerja dalam waktu yang lama dengan lingkungan yang sama. Contohnya,
Manager PT. “X” yang telah bekerja cukup lama biasanya akan lebih terbiasa dengan kondisi suhu ruangannya jika dibandingkan dengan Manager yang baru
mulai bekerja sehingga mempersepsi suhu ruang kerja yang ideal adalah suhu
pada ruang kerjanya. Kondisi ini menunjukkan proses pembiasaan. Namun, jika
kemudian lingkungan kerja yang telah ditempati bertahun-tahun oleh Manager
tersebut berubah, Manager dapat menyadarinya dan kemudian memberikan
persepsi yang baru. Contohnya, saat Manager terbiasa dengan peletakan
komputernya, kemudian letak komputer tersebut dirubah, maka Manager akan
mempersepsi letak komputernya yang baru sebagai letak yang kurang ideal.
Terakhir, Manager yang bekerja di PT. “X” dapat berasal dari daerah, suku,
kelas ekonomi dan jenjang pendidikan yang berbeda-beda. Contohnya, Manager
yang berasal dari daerah dataran tinggi dan terbiasa dengan suhu udara yang
dingin akan mempersepsi suhu ruangan dengan cara yang berbeda dengan
Manager yang berasal dari dataran rendah atau lingkungan yang lebih hangat. Hal ini menunjukkan bahwa faktor sosial budaya akan turut mempengaruhi persepsi
Manager terhadap lingkungan fisik ruang kerjanya.
Dalam mempersepsi lingkungan Manager akan menggabungkan kondisi
lingkungan dengan persepsinya terhadap lingkungan untuk beradaptasi dengan
lingkungannya secara efektif. Keadaan ideal dari sebuah lingkungan adalah
bagaimana seorang Manager memaknakan keadaan lingkungan dibandingkan
16
beradaptasi terhadap lingkungannya namun lingkungan yang berada diluar batas
adaptasi tersebut akan dianggap tidak ideal dan mengganggu Manager dalam
bekerja. Adaptasi ini selain dari Manager yang bersangkutan dapat pula dengan
menghadirkan ruangan dengan keadaan yang adaptif bagi Manager.
Untuk mendapatkan keadaan adaptif peneliti menggunakan Pendekatan
adaptation level theory. Dalam mempersepsikan suatu rangsang pada pendekatan adaptation level theory, Manager dihadapkan pada suatu pergerakan dalam distribusi respon dari penilaian dan kemampuan untuk merasakan suatu stimulus
dalam sebuah kontinum sebagai fungsi dimana terus dihadapkan stimulus tersebut
untuk membuat sebuah perilaku adaptif terhadap lingkungan (Whowill, 1974).
Dalam pendekatan ini, dikatakan bahwa terdapat tiga dimensi yakni intensity,
paterning dan diversity.
Dimensi yang pertama adalah intensity, terlalu lemah atau terlalu kuat
stimulus dapat mengganggu secara psikologis, dalam hal ini Manager di dalam
ruang kerjanya memerlukan stimulus dari lingkungan yang tepat dan berimbang,
terlalu banyak stimulus atau terlalu tinggi stimulus dapat menyebabkan
terganggunya kinerja Manager dan membuat ruang kerja kurang ideal.
Dimensi yang kedua adalah diversity atau keberagaman dari stimulus,
stimulus yang terlalu sedikit keberagaman atau terlalu banyak keberagaman dalam
stimulus dapat membuat perasaan yang kurang nyaman dalam diri individu dalam
hal ini Manager memerlukan adanya perubahan berkala dari stimulus yang ada
pada ruang kerjanya untuk mengurangi efek pembiasaan dan menghilangkan rasa
17
Dimensi yang ketiga adalah patterning atau pola, adalah derajat persepsi
dimana sejumlah stimulus mengandung persepsi yang bisa dan jelas sehingga
membentuk sebuah pola persepsi terhadap stimulus. Sehingga dalam membuat
pola persepsi ini Manager memerlukan kepastian dan ketidakpastian dari stimulus
untuk memacunya dalam bekerja dan menghadirkan nuansa baru dalam ruang
kerjanya.
Menurut Whowill (1974), manusia memiliki derajat optimalisasi dari dimensi
ini yang berbeda-beda, tergantung dari pengalaman masa lalunya terutama dalam
mengolah dan membuat pola persepsinya. Dengan adanya proses perseptual dan
faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi, Manager dapat memberikan makna
atau mempersepsi beberapa aspek dari lingkungan fisik tempat kerjanya secara
berbeda satu sama lain. Lingkungan fisik yang dipersepsi adalah suara,
pencahayaan, suhu ruangan, polusi, angin, ergonomi, aesthetis dan warna (Bell,
Fisher dan Loomis, 1978)
Suara adalah gelombang udara yang dapat ditangkap dan dimakanakan oleh
Manager. Suara dapat dibedakan menjadi dua yaitu sound (suara yang diinginkan) dan noise (suara yang tidak diinginkan). Noise merupakan suara yang tidak
diinginkan (Bell, Fisher, Loomis, 1978). Suatu suara dapat menjadi mengganggu
atau tidak karena adanya tiga variabel, yaitu volume suara, kemampuan suara
tersebut untuk diperkirakan kemunculannya dan anggapan mengenai kemampuan
mengontrol kebisingan tersebut. Suara yang mengganggu adalah suara dengan
volume suara yang mengganggu yaitu di atas 90 DB atau volume yang
18
kemunculannya dan suara yang dianggap tidak dapat dikontrol kebisingannya
(Bell, Fisher dan Loomis, 1978). Menurut Whowill (1974), suara mencakup
ketiga dimensi adaptation level, sura yang ideal harus berada dalam keberagaman,
intensitas dan pola yang dapat diprediksi dan diterima oleh Manager .
Pencahayaan adalah jumlah cahaya yang terdapat di dalam ruangan
(iluminance), jumlah cahaya ini kemudian dipantulkan oleh objek sehingga dapat
ditangkap oleh indera pengelihatan (luminance) (Christopher D. Wickens, Jhoon
D. Lee, Yili Liu, Sallie E.G.B, 2004). Sumber cahaya dalam ruangan termasuk
dalam dimensi diversity, intensity, dan patterning (Wholwill,1974) yang berarti
kekuatan dan pola kemunculan dari sumber cahaya harus diatur dalam batas
optimal.Tingkat pencahayaan ideal secara fisik lingkungan dapat dilihat dari
beberapa hal yaitu, sumber cahaya, letak pencahayaan, warna dari cahaya,
intensitas dari ke-empat hal ini akan mempengaruhi tingkat reflektivitas dari objek
yang tercena cahaya sehingga tingkat cahaya yang dapat dipersepsi oleh indera
akan berbeda. Tingkat pencahayaan yang berbeda akan menghasilkan kontras
antara dua objek yang berbeda, pencahayaan yang terlalu rendah atau terlalu
tinggi akan menyebabkan kontras yang homogen antara dua objek sehingga akan
sulit membedakan kedua objek. Dalam hal ini Manager dengan ruang kerja yang
memiliki tingkat pencahayaan yang tidak optimal (terlalu tinggi atau terlalu
rendah), akan memerlukan lebih banyak tenaga untuk membedakan objek-objek
yang terdapat dalam ruang kerjanya terutama dalam hal membaca dan mengetik,
karena kedua tugas ini merupakan tugas yang paling sering dilakukan Manager di
19
Suhu sekitar merupakan suhu yang ada di lingkungan sekitar (Bell, Fisher dan
Loomis, 1978:116). Suhu dapat dipersepsikan sebagai suhu yang panas atau
dingin berdasarkan perbandingannya dengan suhu di dalam tubuh. Selain itu, suhu
juga dapat dipengaruhi oleh faktor lain dari lingkungan yaitu kelembaban udara
dan keberadaan sirkulasi. Menurut Wholwill (1974), suhu, kelembaban dan
sirkulasi termasuk dalam dimensi intensity, oleh karena itu kekuatan dari
munculnya stimulus harus diatur agar dapat dipersepsikan ideal. Kelembaban
udara yang tinggi akan membuat suhu lingkungan menjadi lebih tinggi, dan
demikian pula sebaliknya. (Bell, Fisher dan Loomis, 1978:118-119). Menurut
(Fanger, 1977) baik panas ataupun dingin yang berlebih dapat menimbulkan
penurunan terhadap kinerja, dalam hal ini zona nyaman perlu diciptakan dimana
temperatur dan kelembaban berada pada jarak optimal bagi seseorang untuk
bekerja.
Polusi adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan
atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan
oleh kegiatan individu atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau
tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Undang-undang Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982). Semua benda atau zat dapat
dikategorikan sebagai polusi jika jumlahnya melebihi jumlah normal, berada pada
waktu yang tidak tepat, berada pada tempat yang tidak tepat, di dalam ruang kerja
terdapat berbagai jenis polusi, seperti polusi udara, polusi cahaya, polusi suara.
20
kapasitas yang terbatas dalam menerima stimuli, saat stimulus dari lingkungan
melebihi kapasitas individu dalam mengolah stimulus maka individu akan
mengabaikan pekerjaannya dan mengarahkan atensi pada stimulus tersebut,
stimulus tersebut akan memerlukan respon adaptif dari individu dan atensi yang
diberikan terhadap stimulus tidaklah tetap, dapat habis seiiring berjalannya waktu.
Selain jenis dan intensitas dari polusi, durasi menjadi bagian yang menentukan
apakah suatu polusi dapat mengganggu atau tidak. Polusi dalam ruang kerja dapat
muncul dari berbagai sumber, polusi “bau”, polusi suara, dan polusi pandangan
adalah jenis polusi yang sering terdapat pada dalam ruang kerja.
Angin yaitu udara yang bergerak yang diakibatkan adanya perbedaan tekanan
udara (tekanan tinggi ke tekanan rendah) di sekitarnya. Angin merupakan udara
yang bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan rendah atau dari suhu udara yang
rendah ke suhu udara yang tinggi. 95% Tubuh individu dapat merasakan angin
karena angin dapat menstimulasi reseptor suhu dan tekanan. Pergerakan udara ini
ketika menyentuh tubuh dapat menimbulkan tekanan yang dirasakan reseptor
tekanan, juga menimbulkan wind chill effect yang dirasakan reseptor suhu.
Menurut Wholwill (1974), angin termasuk dalam dimensi intensity, paterning dan
diversity, sehingga pola, intensitas, serta keberagaman intensitas perlu diatur untuk menciptakan lingkungan kerja yang ideal. Angin memegang peranan
penting dalam gambaran ideal ruang kerja karena angin baik secara langsung
dapat menstimulasi empat indera individu, yaitu indera tekanan, suhu, suara
(hembusan angin dapat menggetarkan benda dan menimbulkan suara),
21
bervariasi di dalam ruang kerja tergantung pada intensitas, arah, dan benda yang
berada di dalam ruang kerja. Keadaan ideal angin dalam ruangan dapat terlihat
dari tiga indikator yaitu, intensitas, arah dan pengaruh angin pada lingkungan.
Ergonomi berbicara mengenai individu sebagai komponen dari suatu sistem
kerja mencakup karakteristik fisik maupun nirfisik, keterbatasan individu, dan
kemampuannya dalam rangka merancang suatu sistem yang efektif, aman, sehat,
nyaman, dan efisien (Christopher D. Wickens, Jhoon D. Lee, Yili Liu, Sallie
E.G.B, 2004). Ergonomi merujuk pada kesesuaian alat kerja dengan bentuk dan
keterbatasan fisik individu. Dalam ruang kerja Manager komputer dan alat tulis
menjadi alat kerja sehari hari sehingga bentuk, letak, dan penggunaan harus sesuai
dengan bentuk dan keterbatasan Manager sebagai individu guna menghasilkan
kinerja yang optimal. Ergonomi dapat diukur dengan membandingkan keadaan
ideal penempatan, bentuk dan fungsi alat kerja Manager sekarang dengan
penempatan, bentuk dan fungsi alat kerja yang diharapkan Manager. Menurut
Wholwill (1974) dimensi ergonomi adalah paterning dan diversity yang berarti
pola penempatan dan banyaknya alat harus disesuaikan dengan keadaan Manager
dalam bekerja. Pola penempatan dan keberagaman alat yang sesuai dapat
mengurangi stress dalam kerja dan memudahkan Manager dalam menggunakan
alat tersebut.
Aesthetis adalah coherence, tekstur, identifiability, kompleksitas dan misteri
terhadap benda yang berada di dalam ruang kerja (Bell, Fisher, Loomis, 1978).
Kelima indikator ini menentukan keindahan (aesthetis) atau kenyamanan dari
22
pada Manager saat mengalami under stimulation, dan mengurangi atau
mengalihkan stimulus saat Manager mangalami over stimulation. Indikator
pertama adalah proporsi yaitu kesesuaian antara penempatan alat dan ruang kerja.
Penempatan alat yang sesuai dapat menambah kesan artistik dari ruang kerja juga
dapat menentukan luas sempitnya dari ruang kerja. Penempatan alat juga
mendukung indikator yang kedua yaitu tekstur. Tekstur adalah bagaimana sebuah
ruangan terlihat halus atau kasar. Kasar halusnya ruangan ini bergantung pada
posisi dari alat kerja seperti meja, kursi dan alat-alat pendukung kerja seperti
komputer, alat tulis dan sebagainya. Penempatan dengan arah atau posisi yang
universal pada umumnya memberi kesan halus pada sebuah ruangan. Kesan halus
ini dapat menurunkan stimulus atau mengalihkan stimulus pada diri Manager saat
mengalami over stimulation. Identifiability adalah seberapa dikenalnya ruang
kerja oleh Manager. Identifiability ini memungkinkan Manager mengetahui
semua sudut ruang kerjanya, yang memudahkan Manager dalam bekerja
(menemukan alat kerja). Keluasan ruang adalah persepsi mengenai luas atau
sempitnya ruang kerja. Dalam bekerja Manager membutuhkan personal space
yang cukup untuk bekerja, namun Manager tidak boleh terputus dengan
membutuhkan sosial space untuk dapat bekerja secara optimal. Complexity adalah
ragam dari benda yang terdapat dari ruang kerja. Complexcity dapat memberikan
stimulus pada Manager saat mengalami under stimulation karena ruang kerja
yang bervariasi menimbulkan efek novelty. Misteri adalah keadaan situasi dimana
sebuah keadaan menimbulkan rasa penasaran dalam diri Manager. Misteri dapat
23
jangka pendek pengalihan stimuli ini dapat memberikan kesempatan bagi
Manager untuk beristirahat dari pekerjaanya yang monoton.
Warna adalah panjang gelombang yang tertentu dalam cahaya dan
dimaknakan menjadi label warna oleh otak. Pemaknaan warna oleh otak
berdasarkan pantulan cahaya terhadap objek yang menyerap warna. Aspek
psikologis dari warna berhubungan erat dengan budaya, latar belakang dan
kondisi psikologis dari individu. Warna biru, hijau secara umum dianggap
menenangkan karena kedua warna ini secara alamiah terdapat dalam jumlah yang
banyak di dalam. Warna merah, dalam beberapa budaya melambangkan
keberanian, putih dalam beberapa budaya melambangkan kesucian. Secara umum
warna dengan rentang gelombang lebih pendek akan membawa efek
menenangkan dan mengurangi stress serta kelelahan mata.
Manager dapat memberikan persepsi terhadap suara, pencahayaan, suhu ruangan, polusi, angin, ergonomi, aesthetis dan warna secara berbeda-beda. Saat
persepsi subjek terhadap lingkungan ini berada dalam kisaran stimulasi yang
optimal, maka hasilnya adalah situasi homeotasis (Bell, Fisher dan Loomis, 1978).
Jika Manager mempersepsikan suara, pencahayaan, suhu ruangan, polusi, angin,
ergonomi, aesthetis dan warna yang ada di tempat kerjanya sebagai sesuatu yang
masih berada dalam kisaran stimulasi optimal maka Manager akan
mempersepsikan suara, pencahayaan, suhu ruangan, polusi, angin, ergonomi,
aesthetis dan warna sebagai sesuatu yang nyaman. Hal ini akan berakibat pada
24
lingkungan berada di luar kisaran stimulasi optimal hasilnya adalah kecemasan,
ketergugahan, stress, kekurangan informasi, kelebihan informasi atau reaksi (Bell,
Fisher dan Loomis, 1978). Jika Manager mempersepsikan suara, pencahayaan,
suhu ruangan, polusi, angin, ergonomi, aesthetis dan warna yang ada di tempat
kerjanya sebagai stimulasi yang berada di luar batas optimal maka Manager akan
mempersepsikan suara, Pencahayaan, suhu ruangan, polusi, angin, ergonomi,
aesthetis dan warna di tempat kerjanya sebagai sesuatu yang tidak nyaman. Hal
ini akan berakibat pada persepsi Manager terhadap lingkungan fisik tempat
kerjanya adalah tidak ideal.
Manager juga dapat mempersepsikan salah satu kondisi lingkungan fisiknya ideal namun tidak ideal dengan kondisi lingkungan fisik yang lain. Contohnya,
Manager mempersepsikan suara-suara di tempat kerjanya sebagai suara yang bising atau tidak ideal namun mempersepsikan suhu dan angin di tempat kerjanya
sebagai sesuatu yang ideal. Jika secara keseluruhan Manager masih
mempersepsikan stimulasi-stimulasi yang ia terima, baik dari suara, pencahayaan,
suhu ruangan, polusi, angin, ergonomi, aesthetis dan warna, sebagai stimulasi
yang berada pada batas optimal maka ia mempersepsikan lingkungan fisik tempat
kerjanya sebagai tempat kerja yang ideal. Namun jika secara keseluruhan
Manager mempersepsikan stimulasi-stimulasi yang ia terima sebagai stimulasi yang berada di luar batas optimal maka ia mempersepsikan lingkungan fisik
25
Melalui penelitian ini, ingin dilihat bagaimana persepsi ideal Manager PT.
“X” terhadap lingkungan fisik ruang kerjanya. Bagan dari persepsi ini terjadi
26
Bagan 1.1 Kerangka Pikir Manager PT “X” Persepsi terhadap
ruang kerja Proses Perseptual:
1. bottom-up feature analysis 2. unitization
3. top-down processing
Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi: 1. persepsi terhadap jarak, ukuran dan lokasi 2. persepsi terhadap pergerakan, pembiasaan
dan persepsi terhadap perubahan 3. persepsi terhadap bahaya dari alam 4. pengaruh sosial dan kebudayaan pada
persepsi terhadap lingkungan
Suhu
Polusi udara
Angin
Ergonomic
Tinggi Pencahayaan
Warna
Rendah Adaptation
level
Kebisingan
27
1.6 Asumsi
1) Persepsi Manager terhadap lingkungan fisik ruang kerja dapat dilihat dari
beberapa aspek, antara lain suara, pencahayaan, suhu, polusi, angin,
aesthetis, ergonomi dan warna.
2) Setiap Manager dapat mempersepsikan lingkungan fisik tempat kerjanya
secara berbeda.
3) Perbedaan persepsi pada setiap Manager adalah akibat adanya
faktor-faktor lain yang mempengaruhi persepsi seperti persepsi terhadap jarak,
ukuran dan lokasi; persepsi terhadap pergerakan, pembiasaan dan persepsi
terhadap perubahan; persepsi terhadap bahaya dari alam; pengaruh sosial
dan kebudayaan pada persepsi terhadap lingkungan.
4) Ruang kerja yang ideal dapat membantu Manager dalam bekerja dengan
meningkatkan motivasi.
109
Universitas Kristen Maranatha BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian, maka
didapatkan suatu gambaran mengenai persepsi ruang kerja yang ideal bagi
Manager PT. ”X” Bandung yang telah bekerja selama minimal satu tahun terhadap lingkungan fisik ruang kerjanya dengan kesimpulan sebagai berikut:
1. Jika dilihat secara keseluruhan, ruang kerja yang ideal merupakan ruang
kerja dengan aspek fisik berada pada kategori rendah bagi aspek suara,
pencahayaan, aesthetis, polusi, ergonomis, angin, dan warna sedangkan
aspek suhu berada pada kategori tinggi.
2. Dari 8 aspek yang diukur, data menunjukan hanya aspek ergonomi yang
telah ideal pada ruang kerja Manager sedangkan aspek suara,
pencahayaan, suhu ruangan, polusi, angin, aesthetis, dan warna tidak ideal
menurut pandangan Manager.
3. Aspek suara yang ideal adalah suara dengan noise pengoperasian alat yang
rendah, noise lingkungan didalam ruang yang lemah, noise lingkungan di
luar ruangan yang lemah, dan noise insidental yang lemah, serta sound
berupa musik dengan intensitas sedang.
4. Aspek pencahayaan yang ideal adalah pencahayaan dengan intensitas
Universitas Kristen Maranatha 110
menempel pada langit-langit, warna cahaya putih dengan sumber
pencahayaan alami.
5. Aspek suhu yang ideal adalah suhu dengan kelembaban sedikit lebih
rendah dan temperatur yang sedikit lebih tinggi dari ruangan yang
ditempati Manager saat ini dengan sirkulasi udara yang sedikit cepat.
6. Aspek polusi yang ideal polusi dengan intensitas yang rendah dengan
durasi kemunculan dibawah 45 menit.
7. Aspek angin yang ideal adalah angin yang menerpa bagian depan
Manager dengan intensitas yang lemah dan tidak menggerakan benda di sekeliling Manager.
8. Ergonomi yang ideal bagi ruang kerja adalah ergonomi ruang kerja yang
ditempati oleh Manager sekarang.
9. Aesthetis ruang kerja yang ideal adalah aesthetis dengan letak meja, dan letak jendela, sedikit ornament alami maupun buatan yang terletak agak
berjauhan, meja kerja yang menyediakan ruang kosong pada bagian tengah
meja dan tidak menghalangi pandangan Manager ke sekelilingnya.
10.Warna ruang kerja yang ideal adalah warna hijau dengan gradasi menuju
putih.
11.Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jabatan, usia, lama
bekerja, lama menempati ruang, jenis kelamin, dan anggapan mengenai
ruang kerjanya sekarang dengan pilihan persepsi aspek fisik dalam ruang
Universitas Kristen Maranatha 111
12.Faktor suara, pencahayaan, dan suhu merupakan faktor-faktor utama
dalam menentukan idealitas sebuah ruangan (20 dari 30 orang Manager).
5.2 Saran
Bagi peneliti selanjutnya:
a) Metode Penelitian menggunakan metode experimental atau korelasional
antara aspek fisik ruang kerja dengan kinerja Manager di dalam ruangan,
untuk mengetahui seberapa besar pengaruh ruang kerja yang ideal terhadap
peningkatan kinerja Manager.
b) Penelitian dapat pula dikembangkan menjadi penelitian korelasional yang
menghubungkan persepsi para terhadap aspek fisik (lingkungan kerja)
dengan aspek psikologis (latar belakang, budaya, pendidikan, dan kebiasaan)
yang turut berpengaruh terhadap persepsi Manager.
c) Perlu juga dilakukan pengembangan terhadap alat ukur agar analisis data
dapat menggunakan ukuran pemusatan yang lebih reliable (rata-rata).
d) Peneliti dapat pula mencari teori yang lebih sesuai dengan setting psikologi
industri bagi aspek lingkungan fisik ruang kerja.
Bagi Manager HRD dan bagian umum:
a) Mengingat bahwa suhu aspek suara, Pencahayaan, suhu ruangan, polusi,
angin, Aesthetis, warna belum ideal dan dapat berpengaruh pada kesehatan
fisik serta psikologis, maka Manager HRD dan bagian umum disarankan
untuk dapat merubah secara berkala aspek fisik dari lingkungan ruang kerja
Universitas Kristen Maranatha 112
b) Adaptasi Manager terhadap tempat kerjanya akan dipengaruhi oleh kognisi
Manager mengenai aspek suara, Pencahayaan, suhu ruangan, polusi, angin, Aesthetis dan warna terhadap kondisi kesehatan dan psikologisnya maka Manager HRD dan bagian umum disarankan untuk menyediakan fasilitas yang mendukung terciptanya ruang kerja yang ideal, antara lain AC,
penambahan jendela, peletakan lampu, meja kerja, dan alat kerja yang sesuai
serta perubahan warna ruangan jika diperlukan.
c) Bagi perancangan ruang kerja atau perubahan ruang kerja selanjutnya agar
dapat merujuk pada penelitian ini untuk memberi gambaran mengenai
penyusunan ruang kerja yang ideal dari aspek fisik lingkungan.
Bagi Manager PT.”X”:
a) Mengingat persepsi terhadap aspek suara, pencahayaan, suhu ruangan,
polusi, angin, aesthetis dan warna akan berpengaruh pada kinerja, maka
Manager disarankan untuk melakukan cara-cara yang dapat mendukung adaptasinya terhadap aspek suara, pencahayaan, suhu ruangan, polusi, angin,
aesthetis, dan warna yang ada di tempat kerjanya dengan melihat kesimpulan dari penelitian. Penyesuaian ini dapat dilakukan antara lain
dengan mengatur suhu ruangan, pencahayaan ruangan, letak meja bawahan,
letak alat kerja, letak AC, dan orientasi letak meja dengan jendela agar lebih
113
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Bell, Fisher, Loomis. 1978. Environmental Psychology. Philadelphia: W.B. Saunders Co.
D.Wickens, Christopher, John Lee, Yili Liu, Sallie Gordon Becker. 2004. An Introduction To Human Factor Engineering Second Edition. Prentice Hall. Garvin, & Aaker. 2002. :Early K. H.
Gulo, W. 2003. Metodologi penelitian. Jakarta: Grasindo.
Katz, Daniel and Kahn, Robert L. 1978. The Social Psychology of Organizations, Hardcover.
Milton, Charles R. 1981. Human Behavior in Organization : Three Level of Behavior. New Jersey: Prentic – Hall, Engel Wood, Book Co.
Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia. Robbins, Steven P. 1990. Organization Theory, 3rd ed. Prentice Hall. Robbins, Steven P. 2005. Essentials of Organizational Behavior.
8th ed. Prentice Hall
Siegel, Sidney, 1994. Statistik Non Prametrik : Untuk ilmu – ilmu Sosial. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sudjana, M. A. 2002. Metoda statistika. Bandung: Tarsito.
Gekakis, Nicholas, Staknis, David, Nguyen, Hubert B., Davis, Fred C., Wilsbacher, Lisa D., King, David P., Takahashi, Joseph S.; Weitz, Charles J. 1998. Role of the CLOCK Protein in the Mammalian Circadian Mechanism
114
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
http://annahape.com/2007/09/14/tip12-ruangkerja/ (diakses 11 September 2009)
http://channel.nationalgeographic.com/ (diakses 22 September 2009)
http://dsc.discovery.com/ (diakses 14 September 2009)
http://dboxstudio.indonetwork.co.id (diakses 13 September 2009)
http://encarta.msn.com/ (diakses 13 September 2009)
http://en.wikipedia.org/wiki/Colour (diakses 13 September 2009)
http://en.wikipedia.org/wiki/Noise_pollution (diakses 24 September 2009)
http://en.wikipedia.org/wiki/Sound (diakses 13 September 2009)
http://en.wikipedia.org/wiki/Temperature (diakses 13 September 2009)
http://en.wikipedia.org/wiki/Wind (diakses 16 September 2009)
http://ergonomics.about.com/od/bodymechanics/ (diakses 6 Oktober 2009)
http://www.fsrd.itb.ac.id/ (diakses 12 September 2009)
http://www.guideline.gov/ (diakses 5 Januari 2010)
http://kbbi.web.id/ (diakses 11 September 2009)
http://kbbi.web.id/beranda-kbbi-online.html (diakses 19 September 2009)
http://www.pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/ (diakses 13 September 2009)
http://www.wikipedia.org/ (diakses 22 September 2009)