• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Validitas Pemeriksaan Widal Terhadap Kultur Salmonella Species Sebagai Penunjang Diagnosis Demam Tifoid.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Validitas Pemeriksaan Widal Terhadap Kultur Salmonella Species Sebagai Penunjang Diagnosis Demam Tifoid."

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

UJI VALIDITAS PEMERIKSAAN WIDAL TERHADAP KULTUR SALMONELLA SPECIES SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS DEMAM TIFOID

Larissa, 2007, Pembimbing Utama : Dani Brataatmadja, dr. Sp.PK Pembimbing Pendamping I :Lisawati Sadeli, dr.

Pembimbing Pendamping II:Yanti Mulyana,Dra.Apt.,DMM, MS.

Demam tifoid merupakan masalah kesehatan di negara berkembang termasuk Indonesia yang bila tidak ditangani dapat timbul komplikasi serius hingga fatal, maka perlu diagnosis dini yang cepat dan tepat. Saat ini pemeriksaan widal menjadi pilihan para klinisi sebagai penunjang diagnosis demam tifoid tetapi seringnya hanya diperiksa satu kali. Tujuan penelitian ini adalah ingin mengetahui apakah pemeriksaan widal tunggal cukup bermakna sebagai penunjang diagnosis demam tifoid.

Pemeriksaan retrospektif ini bersifat deskriptif analitik dengan rancangan cross

sectional terhadap data laboratorium pemeriksaaan widal dan kultur Salmonella di

laboratorium Rumah Sakit Immnanuel periode januari 2005 s/d Juni 2006. Data dianalisis dengan uji diagnostik dan uji kesesuaian dengan koefisien Kappa untuk mengetahui validitas pemeriksaan widal terhadap kultur baik dengan media empedu atau Bactec.

Terdapat 2775 penderita yang didiagnosis sebagai tersangka demam tifoid, semuanya diperiksa widal, diantaranya 1385 sampel diperiksa widal dan kultur, 1233 dengan media empedu dan 132 dengan media Bactec. Hasil uji widal terhadap kultur empedu didapatkan ˆK =0,04679 dengan Z>Z(1-α/2) sedangkan uji widal terhadap kultur Bactec didapatkan ˆK =0,1764 dengan Z>Z(1-α/2).

Pemeriksaan widal tunggal pada penelitian ini menunjukkan hasil yang tidak bermakna sebagai pennnjang diagnosis demam tifoid.

(2)

ABSTRACT

VALIDITY TEST OF WIDAL TEST TO SALMONELLA SPECIES CULTURE AS A SUPPORTING DIAGNOSIS FOR TYPHOID FEVER

Larissa, 2007,Tutor I : Dani Brataatmadja, dr. Sp.PK Tutor II :Lisawati Sadeli, dr.

Tutor III :Yanti Mulyana, Dra. Apt., DMM, MS.

Typhoid fever is health problem in developing country as Indonesia typhoid fever if didn’t treat will be a serious complicated and fatal, so need a rapid and accurate early diagnosis.Currently, widal test is a clinician choice to support the diagnosis of typhoid fever because can quick to get the result but frequently, widal test was done as a single test. The standard widal procedure is examination a couple serums with a week interval. The aim of this study was to know the significancy of single widal test to supporting diagnosis of typhoid fever.

This retrospective study was a descriptive analitic with cross sectional design to laboratorium data of widal test and Salmonella culture at Immanuel hospital’s laboratory within the periode of January 2005 to Juni 2006. Data was analyzed with diagnostic test and agreement test with Kappa coefisient to know the widal validity to gall culture or Bactec.

There were 2775 patient those diagnose suspected typhoid fever. All of them have examined widal test, among them 1385 patient have examined widal and culture.1233 with gall culture and 132 with bactec media. Widal test to gall culture, ˆK is 0.04679 with Z>Z(1-α/2), whereas widal test to Bactec media ˆK is 0.1764 with Z>Z(1-α/2).

Single widal test unsignificant as a supporting diagnosis of typhoid fever.

(3)

vi

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian………...3

1.3.1 Maksud Penelitian………...3

1.8Lokasi dan Waktu Penelitian………..5

(4)

2.1 Demam Tifoid………..6

2.4 Etiologi dan karakteristiknya………..10

2.5 Patofisiologi………11

2.8 Diagnosis Penunjang………..19

(5)

viii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan……….53

5.2 Saran………53

DAFTAR PUSTAKA………54

LAMPIRAN………...57

(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tabel frekuensi gejala pada demam tifoid dan paratifoid...16 Tabel 2.2 Tabel pemeriksaan fisis demam tifoid dan paratifoid……….20 Tabel 4.1 Distribusi jumlah sampel tersangka demam tifoid berdasarkan jenis

pemeriksaan yang dilakukan………38 Tabel 4.2 Tabel kesesuaian hasil pemeriksaan kultur empedu terhadap widal penderita tersangka demam tifoid…...………...………40 Tabel 4.3 Tabel kesesuaian hasil pemeriksaan kultur dengan Bactec terhadap

widal penderita tersangka demam tifoid...……….…44 Tabel 4.4 Gambaran perbandingan jumlah sampel tersangka demam tifoid yang

(7)

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Salmonella typhi………9

Gambar 2.2 Salmonella enterica………...………..11

Gambar 2.3 Prinsip kerja pada mesin inkubator Bactec………..26

Gambar 2.4 Mesin inkubator Bactec………...27

Gambar 2.5 Mesin inkubator Bactec (tampak dalam)……….27

Gambar 2.6 Widal metode slide...………...30

Gambar 2.7 Aglutinasi pada widal………..31

(8)

DAFTAR GRAFIK

(9)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lampiran gambar...57 Lampiran 2 Data hasil pemeriksaan widal dan kultur empedu Januari 2005 s/d Juni 2006……….58 Lampiran 3 Data hasil pemeriksaan widal dan kultur dengan media Bactec Januari

(10)

a b Keterangan : a. Koloni bakteri yang memfermentasikan laktosa b. Koloni bakteri yang tidak memfermentasikan laktosa

a b

(11)

58

(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)

68

Lampiran 5

Analisis Data

Berdasarkan data pengamatan dilakukan perhitungan koefisien kesesuaian dan pengujian koefisien kesesuaian anatar hasil yang diidentifikasi berdasarkan kultur empedu dengan hasil pemerksaan widal,

Langkah pertama berdasarkan data pengamatan yang diperoleh dibentuk tabel 2 x 2 dengan faktor pertama adalah Hasil Pemeriksaan kultur empedu yang terdiri dari dua taraf, positif dan Negatif, sedangkan faktor kedua adalah hasil pemeriksaan widal yang terdiri dari dua taraf positif dan Negatif. Hasil tabulasi silang dari data pengamatan disajikan pada tabel berikut,

Tabel 4.1. Kesesuaian hasil pemeriksaan Kultur Empedu

terhadap Widal Penderita Tersangka Demam Tifoid

Kultur Empedu Positif Negatif

Total

Positif 36 389 425

Widal

Negatif 38 770 808

(22)

Dengan angka-angka dalam sel menunjukan :

36 : Banyaknya penderita yang diidentifikasi positif berdasarkan hasil pemeriksaan kultur empedu dan juga diidentifikasi positif berdasarkan pemeriksaan widal. (jumlah subjek dengan hasil positif benar).

389 : Banyaknya penderita yang diidentifikasi negatif berdasarkan hasil pemeriksaan kultur empedu tetapi diidentifikasi positif berdasarkan hasil pemeriksaan widal (jumlah subjek dengan hasil positif semu)

38 : Banyaknya penderita yang diidentifikasi positif berdasarkan hasil hasil pemeriksaan kultur empedu tetapi diidentifikasi negatif berdasarkan hasil pemeriksaan widal (jumlah subjek dengan hasil negatif semu)

770 : Banyaknya penderita yang diidentifikasi negatif berdasarkan hasil pemeriksaan kultur empedu juga diidentifikasi negatif berdasarkan hasil pemeriksaan widal (jumlah subjek dengan hasil negatif benar)

74 : Jumlah penderita yang diidentifikasi positif oleh hasil pemerksaan kultur empedu

1159 : Jumlah penderita yang diidentifikasi negatif oleh hasil pemeriksaan kultur empedu

425 : Jumlah penderita yang diidentifikasi positif oleh hasil pemeriksaan widal

808 : Jumlah penderita yang diidentifikasi negatif oleh hasil pemeriksaan widak

(23)

70

Berdasarkan tabel diperoleh nilai sensitivitas, spesifitas, nilai prediksi positif (NPP) dan nilai prediksi negatif (NPN),

Sensitivitas = a

Nilai Prediksi Positif (NPP) = a

a b+ =

36

425 = 0,0847

Nilai Prediksi Negatif (NPN) = d

c+d =

770

808 = 0,9529

Langkah selanjutnya untuk setiap sel dalam tabel kontingensi dibagi oleh total

banyaknya pengamatan sehingga terbentuk tabel 2 x 2 untuk proporsi seperti nampak

pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Proporsi kesesuian hasil pemeriksaan kultur empedu

terhadap Widal Penderita Tersangka Demam Tiroid

(24)

Dengan angka-angka dalam sel menunjukan :

P11 = 0,0292 : Proporsi penderita yang diidentifikasi positif

berdasarkan hasil pemeriksaan kultur empedu dan

juga diidentifikasi positif berdasarkan

pemeriksaan widal. (jumlah subjek dengan hasil

positif benar).

P12 = 0,3155 : Proporsi penderita yang diidentifikasi negatif

berdasarkan hasil pemeriksaan kultur empedu

tetapi diidentifikasi positif berdasarkan hasil

pemeriksaan widal (jumlah subjek dengan hasil

positif semu)

P21 = 0,0308 : Proporsi penderita yang diidentifikasi positif

berdasarkan hasil hasil pemeriksaan kultur

empedu tetapi diidentifikasi negatif berdasarkan

hasil pemeriksaan widal (jumlah subjek dengan

hasil negatif semu)

P22 = 0,6245 : Proporsi penderita yang diidentifikasi negatif

berdasarkan hasil pemeriksaan kultur empedu

juga diidentifikasi negatif berdasrkan hasil

pemeriksaan widal (jumlah subjek dengan hasil

negatif benar)

P•1 = 0,0600 : Proporsi penderita yang diidentifikasi positif oleh

hasil pemerksaan kultur empedu

P•2 = 0,9400 : Proporsi penderita yang diidentifikasi negatif oleh

hasil pemeriksaan kultur empedu

(25)

72

hasil pemeriksaan widal

P2• = 0,6553 : Proporsi penderita yang diidentifikasi negatif oleh

hasil pemeriksaan widal

Untuk menghitung Koefisien kesesuaian (coefficient agreement) antara kedua

metoda pemeriksaan, berdasarkan tabel dihitung nilai θ1, θ2 melalui persamaan

sehingga diperoleh hasil perhitungan koefisien Kesesuaian sebagai berikut,

1 2

kesimpulan terlebih dahulu dilakukan pengujian kemaknaan (signifikansi), dengan

pasangan hipotesis dan alternatif yang akan diuji sebagai berikut,

0: 0

H κ = ; artinya koefisien yang diperoleh tidak bermakna

1: 0

H κ ≠ ; artinya koefisien yang diperoleh bermakna

Untuk menguji pasangan hipotesis yang diajukan terlebih dahulu dihitung standar

(26)

(

)

sehingga diperoleh nilai Z untuk menguji pasangan hipotesis dan alternatif yang

diajukan ,

(27)

74

Tabel 4.3. Kesesuaian hasil pemeriksaan Kultur dengan Bactec terhadap

Widal Penderita Tersangka Demam Tifoid

Kultur dengan Bactec

Positif Negatif

Dengan angka-angka dalam sel menunjukan :

11 : Banyaknya penderita yang diidentifikasi positif berdasarkan

hasil pemeriksaan kultur dengan Bactec dan juga diidentifikasi

positif berdasarkan pemeriksaan widal. (jumlah subjek dengan

hasil positif benar).

36 : Banyaknya penderita yang diidentifikasi negatif berdasarkan

hasil pemeriksaan kultur dengan Bactec tetapi diidentifikasi

positif berdasarkan hasil pemeriksaan widal (jumlah subjek

dengan hasil positif semu)

9 : Banyaknya penderita yang diidentifikasi positif berdasarkan

hasil hasil pemeriksaan kultur dengan Bactec tetapi

diidentifikasi negatif berdasarkan hasil pemeriksaan widal

(jumlah subjek dengan hasil negatif semu)

96 : Banyaknya penderita yang diidentifikasi negatif berdasarkan

(28)

negatif berdasrkan hasil pemeriksaan widal (jumlah subjek

dengan hasil negatif benar)

20 : Jumlah penderita yang diidentifikasi positif oleh hasil

pemerksaan kultur dengan Bactec

132 : Jumlah penderita yang diidentifikasi negatif oleh hasil

pemeriksaan kultur dengan Bactec

47 : Jumlah penderita yang diidentifikasi positif oleh hasil

pemeriksaan widal

105 : Jumlah penderita yang diidentifikasi negatif oleh hasil

pemeriksaan widak

152 : Jumlah penderita keseluruhan yang diamati

Berdasarkan tabel diperoleh nilai sensitivitas, spesifitas, nilai prediksi

positif (NPP) dan nilai prediksi negatif (NPN),

Sensitivitas = a

Nilai Prediksi Positif (NPP) = a

a b+ =47 11

= 0,2340

Nilai Prediksi Negatif (NPN) = d

c+d =105 96

= 0,9143

Langkah selanjutnya untuk setiap sel dalam tabel kontingensi dibagi oleh total

banyaknya pengamatan sehingga terbentuk tabel 2 x 2 untuk proporsi seperti nampak

(29)

76

Tabel 4.4. Proporsi kesesuian hasil pemeriksaan kultur dengan

Bactec terhadap Widal Penderita Tersangka Demam

Tiroid

Dengan angka-angka dalam sel menunjukan :

P11 = 0.0724 : Proporsi penderita yang diidentifikasi positif

berdasarkan hasil pemeriksaan kultur dengan

Bactec dan juga diidentifikasi positif berdasarkan

pemeriksaan widal. (jumlah subjek dengan hasil

positif benar).

P12 = 0.2368 : Proporsi penderita yang diidentifikasi negatif

berdasarkan hasil pemeriksaan kultur dengan

Bactec tetapi diidentifikasi positif berdasarkan

hasil pemeriksaan widal (jumlah subjek dengan

(30)

P21 = 0.0592 : Proporsi penderita yang diidentifikasi positif

berdasarkan hasil hasil pemeriksaan kultur

dengan Bactec tetapi diidentifikasi negatif

berdasarkan hasil pemeriksaan widal (jumlah

subjek dengan hasil negatif semu)

P22 = 0.6316 : Proporsi penderita yang diidentifikasi negatif

berdasarkan hasil pemeriksaan kultur dengan

Bactec juga diidentifikasi negatif berdasrkan hasil

pemeriksaan widal (jumlah subjek dengan hasil

negatif benar)

P•1 = 0.1316 : Proporsi penderita yang diidentifikasi positif oleh

hasil pemerksaan kultur dengan Bactec

P•2 = 0.8684 : Proporsi penderita yang diidentifikasi negatif oleh

hasil pemeriksaan kultur dengan Bactec

P1• = 0.3092 : Proporsi penderita yang diidentifikasi positif oleh

hasil pemeriksaan widal

P2• = 0.6908 : Proporsi penderita yang diidentifikasi negatif oleh

hasil pemeriksaan widal

Untuk menghitung Koefisien kesesuaian (coefficient agreement) antara kedua

(31)

78

sehingga diperoleh hasil perhitungan koefisien Kesesuaian sebagai berikut,

1 2

kesimpulan terlebih dahulu dilakukan pengujian kemaknaan (signifikansi), dengan

pasangan hipotesis dan alternatif yang akan diuji sebagai berikut,

0: 0

H κ = ; artinya koefisien yang diperoleh tidak bermakna

1: 0

H κ ≠ ; artinya koefisien yang diperoleh bermakna

Untuk menguji pasangan hipotesis yang diajukan terlebih dahulu dihitung standar

error, diperoleh hasil :

sehingga diperoleh nilai Z untuk menguji pasangan hipotesis dan alternatif yang

(32)

Jika ditetapkan kekeliruan (α) pada saat pengujian sebesar 5% (0,05) dari

Tabel Normal Z (dapat dilihat pada lampiran) diperoleh nilai Z(1-α/2) = Z(1 – 0,05/2) =

Z0,975 = 1,96. Oleh karena nilai Z > Z(1-α/2) hipotesis nol ditolak sehingga dapat

disimpulkan koefisien kesesuaian yang diperoleh bermakna.

Interpretasi hasil perhitungan koefisien Kappa (κ) dapat dilakukan berdasarkan tabel

berikut (Altman, 1991) :

Value of K Strength of agreement

< 0.20 Poor (rendah)

0.21 – 0.40 Fair (sedang)

0.41 – 0.60 Moderate (layak)

0.61 – 0.80 Good (baik)

(33)

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

(34)

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ ⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

(35)

⊕ Τ ⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ ⊕

⊕ Τ ⊕

⊕ Τ ⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

(36)

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

(37)

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

(38)

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ ⊕ Τ

(39)

⊕ Τ

⊕ Τ ⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

⊕ Τ

(40)

' ) (

(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)

⊕ ⊕

⊕ !

(74)
(75)
(76)
(77)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella sp. Demam tifoid merupakan masalah yang serius di negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah (Djoko W., 2006). Jumlah insidensinya di dunia diperkirakan sekitar 16 juta kasus per tahun, 600 ribu diantaranya menyebabkan kematian (M. Sabir, dkk., 2003). Di Indonesia tercatat jumlah insidensi tifoid adalah 357-810 / 100 ribu populasi per tahun dengan angka kematiannya (Case Fatality Rate) mencapai 0.6-2% (Albert M. V., dkk.,2003). Surveilans Departeman Kesehatan Republik Indonesia melaporkan rata-rata insidensi penyakit ini meningkat dari 9.2 di tahun 1990 sampai 15.4 di tahun 1994 per 10.000 penduduk (Djoko W., 2006). Diperkirakan jumlah total kematian karena demam tifoid di Indonesia adalah sangat bervariasi yaitu antara 6.480-50.160 per tahun (Albert M. V., dkk.,2003).

Di negara berkembang seperti Indonesia ini, tingkat sosial ekonomi, higienis, dan kebersihan masih merupakan masalah. Hal-hal tersebut dapat dikatakan sebagai

faktor terjadinya demam tifoid, mengingat penularan bakteri S. typhi atau

S. paratyphi adalah secara oral fecal (lewat makanan-minuman yang tercemar oleh

(78)

lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan (Djoko W., 2006).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Ujung Pandang dan Semarang tentang faktor resiko demam tifoid menunjukkan bahwa insidensi demam tifoid berhubungan dengan kebiasaan mencuci tangan, higienis, sumber air selain persediaan air dari pemerintah (PDAM), dan kebiasaan sering makan di luar (Albert M.V., dkk.,2003). Sekilas demam tifoid hanya seperti penyakit biasa yang ringan yang tidak akan menyebabkan kematian, tetapi bila tidak ditangani dengan baik, penyakit akan terus berkembang dan akhirnya menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah perforasi usus yang tidak jarang menyebabkan kematian, oleh karena itu diagnosa dan penanganan yang tepat dan cepat sangat menentukan prognosa pasien.

Bakteri yang masuk kedalam tubuh dapat menyebabkan infeksi sistemik atau lokal. Infeksi sistemik bakteri atau bakteriemi ini yang menyebabkan tubuh akan merespon dengan membentuk antibodi. Pemeriksaan laboratorium memungkinkan untuk dapat membuat diagnosa suatu penyakit dengan keberadaan antigen dan antibodi di dalam tubuh, dalam hal ini pemeriksaan kultur darah untuk mendeteksi adanya antigen dan tes widal yang merupakan suatu tes serologi untuk mendeteksi adanya antibodi didalam tubuh.

Diagnosis demam tifoid sukar untuk ditegakkan hanya atas dasar gejala klinis saja, sebab gambaran klinis penyakit ini amat bervariasi dan umumnya mirip dengan penyakit lain. Dengan demikian peranan laboratorium dalam menunjang menegakkan diagnosis amat penting. Saat ini pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk mendiagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan kultur darah dan tes widal.

(79)

3

pemeriksaannya terpenuhi, misalnya waktu pengambilan sampel darah yang tepat dan ada kenaikan titer 4X, oleh karena itu tes widal harus dilakukan 2X.

Mengingat kelemahan-kelemahan tes widal seperti adanya positif dan negatif palsu pada pemeriksaan widal tunggal, maka perlu dipertimbangkan penggunaan tes widal tunggal sebagai diagnosis penunjang demam tifoid, mengingat pada kenyataannya banyak diantara para klinisi yang hanya melakukan pemeriksaan widal tunggal saja tanpa kultur yang merupakan diagnosis pasti untuk demam tifoid.

I.2 Identifikasi Masalah

Bagaimana validitas dari tes widal tunggal sebagai sarana laboratorium penunjang diagnosis demam tifoid ?

I.3 Maksud dan tujuan penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti bagaimana hasil pemeriksaan kultur dan pemeriksaan Widal sebagai sarana laboratorium penunjang demam tifoid. Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana validitas tes widal sebagai sarana laboratorium penunjang diagnosis demam tifoid.

2. Untuk mengetahui spesies Salmonella penyebab demam tifoid yang paling sering terdeteksi di Rumah Sakit Immanuel.

(80)

I.4 Manfaat penelitian

Manfaat akademis diharapkan dengan karya tulis ini dapat menjadi masukan yang dapat membantu menegakkan diagnosis demam tifoid pada pemeriksaan laboratorium sebagai diagnosis penunjang.

Manfaat praktisnya adalah memberi tambahan wacana tentang pemeriksaan laboratorium apa saja yang dapat digunakan sebagai diagnosis penunjang demam tifoid.

1.5 Kerangka pemikiran

Pemeriksaan widal adalah pemeriksaan serologis yang sering diusulkan oleh klinisi sebagai sarana laboratorium penunjang diagnosis demam tifoid. Klinisi sering mengusulkan pemeriksaan ini mungkin karena lebih murah dan pemeriksaannya membutuhkan waktu relatif singkat dibandingkan kultur yang membutuhkan waktu 3-5 hari untuk mendapatkan hasil (Imam Supardi, 1978).

Bila suatu mikroorganisme (antigen) masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan merespon dengan membentuk antibodi. Hal ini yang menjadi dasar pemeriksaan serologi, yaitu mendeteksi keberadaan antigen atau antibodi di dalam tubuh. Pada pemeriksaan widal, antigen adalah berupa reagen dan antibodi adalah bahan pemeriksaan berupa serum penderita.

(81)

5

widal pada praktek sehari-hari sering tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada yaitu dilakukan 2 kali untuk melihat kenaikan titer. Alasan tersebut diatas yang mendorong penulis untuk mengetahui apakah pemeriksaan widal mempunyai aspak klinik sebagai penunjang diagnosis demam tifoid bila hanya dilakukan satu kali. Pada penelitian ini penulis membandingkan hasil pemeriksaan widal dengan kultur sebagai baku emas dengan bahan pemeriksaan yang sama. Kultur yang digunakan pada penelitian ini adalah kultur empedu dan kultur media Bactec.

I.6 Hipotesis penelitian

Hasil pemeriksaan widal tunggal sebagai penunjang diagnosis demam tifoid adalah tidak bermakna.

I.7 Metodologi penelitian

Metodologi yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan rancangan cross

sectional study. Pengambilan data periode Januari 2005 s/d Juni 2006 dilakukan

secara retrospektif dari Laboratorium Rumah Sakit Immanuel Bandung.

I.8 Lokasi dan waktu penelitian

Lokasi penelitian bertempat di Instalasi Laboratorium Rumah Sakit Immanuel Bandung, dengan waktu penelitian April 2006 sampai dengan Agustus 2006.

(82)

Hasil pemeriksaan widal tunggal sebagai penunjang diagnosis demam tifoid pada penelitian ini adalah tidak bermakna.

5.2 Saran

1. Untuk mendiagnosis demam tifoid dengan menggunakan pemeriksaan widal, sebaiknya dilakukan pemeriksaan widal dua kali dengan selang waktu > 5 hari untuk melihat kenaikan titer 4X.

2. Pengambilan sampel untuk pemeriksaan harus adekuat dengan memperhatikan waktu pengambilan sampel berdasarkan patogenesis penyakit. 3. Untuk mempermudah penelitian retrospektif diperlukan kelengkapan data

(83)

DAFTAR PUSTAKA

Albert M.V.,Soegianto Ali, Suwandi W., Charles S., Henri Van Asten, Leo G.V. 2003. Risk factors for typhoid fever in Jakarta, Indonesia: Preliminary results of a case control study. Maj. Kedokt. Atma Jaya. 2: 70.

Azhali MS., Herry Garna, Alex C., Djatnika S. 2005. Infeksi. Dalam: Herry Garna dan Heda Melinda D.N, editor. Pedoman diagnosis dan terapi. Edisi ke-3. Bandung: (tp). h. 217.

Becton and Dickinson Company. 1996. Sparks, Maryland 21152 USA.

Cook G. 1996. Salmonella infection. In: Manson’s tropical diseases. 20th ed. London: ELBS. p. 850-853.

.

Corales R. 2004. Typhoid fever. http//www.emedicinehealth.com/med/htm. 12 Juli 2006.

Djoko Widodo. 2006. Demam tifoid. Dalam: Aru. W. Sudoyo, editor. Buku ajar ilmu

penyakit dalam jilid 3. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat penerbitan Departemen ilmu

penyakit dalam Fakultas Kedokteran UI. h. 1774-1775.

Fakultas Kedokteran UI. 1999. Demam tifoid. Dalam: Arif Mansjoer, Kuspuji T., Rakhmi Savitri, Wahyu I.W., Wiwiek S., editor. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Media Aesculapius. h. 421-422.

Fakultas Kedokteran UI. 1994. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Edisi revisi. Jakarta: Binarupa Aksara. h. 168-169, 172.

Herdiman T Pohan. 2004. Clinical and laboratory manifestation of typhoid fever at Persahabatan hospital. Indonesian J Intern Med., 36: 80.

Holt J.G., Krieg N.R., Sneath Peter H.A., Staley J.T., Williams S.T. 1994. Facultatively anaerobic gram-negative rods. In: Hensyl William.R. ed. Bergey’s

Manual of determinative bacteriology. 9th ed. Baltimore,Maryland: Williams and Wilkins. p.186.

(84)

Indro Handojo, S.P. Edijanto, Aryati, Paulus Patrianto. 2004. Widal slide agglutination test using antigens from locally prevalent Salmonella typhii for diagnosis of typhoid fever in children. J Kedokter Trisakti. 23: 42.

Joshi Y.K. 2000. Typhoid fever: Clinical features. http://www.Indegene.com/main/featArt/indMainFeatArt1a.htm. 12 Juli 2006

Karnen Garna Bratawidjaja. 2002. Antigen dan antibodi. Dalam: Imunologi dasar Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. h.25, 28, 34, 36.

Lange. 2005. Infectious diseases: bacterial and chlamydial. In: Tierney Lawrence M, McPhee Stephen J, Papadakis Maxine A., ed. Current medical diagnosis &

therapy. 44th ed. New York: McGraw-Hill. p. 1375.

Lesser C.F and Miller S.I. 2005. Salmonelosis. In: Kasper D.L., Fauci Anthony S., Longo D.L., Braunwald Eugene, Hauser S.L, Jameson J.L, ed. Harrison’s

principles of internal medicine. 16th ed. United States: McGraw-Hill. p. 899.

Levinson W. and Jawetz E. 2003. Gram-negative rods related to the enteric tract. In: Medical microbiology & immunology : examination & board review. 7th ed. United States: MGaw-Hill. p. 121-123, 404.

Loho et al. 2005. Kemampuan uji tabung widal menggunakan antigen import dan antigen lokal. Dalam: Puspa W, Prihatini, Probohoesodo M.Y, editor. Indonesian

Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 12: 33.

M. Sabir, Yadi, Firdaus, Mochammad Hatta. 2003. Perbandingan tes serologi dipstick dengan widal untuk diagnosis demam tifoid. J Kedokter Trisakti. 22: 83.

Mardi Santoso dan Angelia. 2005. Pola pengobatan pada pasien demam tifoid di RSUD Koja periode 2001-Juni 2005. Meditek. 13: 28.

Mardi Santoso, Kusdiantomo, Yani C.S., Haniarta G.S. 2004. Anemia pada penderita demam tifoid yang dirawat di RSUD Koja tahun 2000-2004. Meditek. 12:53.

Marlina Chandra, Linda Sinto, Soegianto Ali. 2003. Vaksin polisakarida Vi: Suatu calon vaksin tifoid yang menjanjikan dalam pencegahan demam tifoid. Maj.

Kedokt. Atma Jaya. 2: 175,177.

MIMS. 2005. Demam tifoid. Dalam: MIMS Indonesia petunjuk konsultasi. Jakarta: PT InfoMaster. h. 22-23.

(85)

56

Murray P.R., Baron E.J., Tenover F.C., Yolken R.H. 1995. Immunoassays for the diagnosis of infectious diseases. In: Manual of clinical microbiology. 6th ed. Massachusetts Avenue: ASM PRESS. p. 110-111.

Puspa Wardhani, Prihatini, Probohoesodo M.Y. 2005. Kemampuan uji tabung widal menggunakan antigen import dan antigen lokal. Indonesian Journal of Clinical

Pathology and Medical Laboratory. 12: 33.

Singh Bir. 2000. Typhoid fever: Epidemiology.

http://www.Indegene.com/main/featArt/indMainFeatArt1a.htm. 12 Juli 2006

Singh Sarman. 2000. Typhoid fever: Pathogenesis and laboratory diagnosis.

http://www.Indegene.com/main/featArt/indMainFeatArt1a.htm. 12 Juli 2006. T.H. Rampengan. 2005. Vaksin untuk tujuan khusus. Dalam: I.G.N. Ranuh, Hariyono

Suyitno, Sri Rezeki S.H., Cissy B.Kartasasmita, editor. Pedoman imunisasi di

Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.

h. 137-9.

Todar K. 2005. Salmonella and salmonellosis.

http://textbookofbacteriology.net/salmonella.html. 15 November 2006

Vandepitte J., Engbaek K., Piot P., Heuck C.C. 1991a. Quality assurance in microbiology. . In: Basic laboratory procedures in clinical bacteriology. England: WHO. p. 5-6.

_______1991b. Bacteriological investigation. In: Basic laboratory procedures in

clinical bacteriology. England: WHO. p. 21-22.

WenerK.2006.Culture-bile. www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003734.htm. 15 November 2006

Wikipedia. 2006. Salmonella. http://en.wikipedia.org/wiki/salmonella. 15 November 2006

Wilson W.R., and Sande M.A. 2001. Enteritis caused by Eschericia coli & shigella & salmonella species. In: Henry N.K., Drew W.Lawrence, Relman David A., Steckelberg James M., Garberding Julie L., ed. Current diagnosis & treatment in

Infectious diseases. International edition. United States: McGraw-Hill.p.

559-562.

Gambar

Tabel 4.1.
Tabel 4.2.
Tabel 4.3. Kesesuaian hasil pemeriksaan Kultur dengan Bactec terhadap Widal Penderita Tersangka Demam Tifoid
Tabel 4.4.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Untuk pembangunan bangunan pengendali tersebut diperlukan suatu kegiatan Pengukuran dan Perencanaan Teknis pada aliran muara sungai Batang Muaro Samuik yang akan

Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi usahatani tidak saja ditentukan oleh kemampuan manajerial dari petani yang lebih banyak diukur dari kemampuan petani untuk

Dengan sasaran partai politik yang ada di Kabupaten Pelalawan, partai-partai politik yang sepakat untuk berkoalisi, serta pasangan calon bupati dan wakil bupati

 Menjadikan FIKP UMRAH sebagai fakultas unggulan berorientasi pada iptek bidang kelautan dan perikanan berbasis kemaritiman sesuai kebutuhan lapangan kerja  Mengikut

Berbeda apabila tanaman pangan menjadi alternatif pemanfaatan lahan tidak ditambang, manfaat ekonomi dirasakan oleh masyarakat sekitar tambang, dengan pemberian hak pengelolaan

Pengarah Eksekutif Kanannya, Wan Heng Choon, berkata GST juga adalah lebih telus dan seragam berbanding cukai jualan dan perkhidmatan (SST) yang dikenakan ketika ini yang

- Toleran karat dan bercak daun Keterangan : Toleran kekeringan &amp; kemasaman Benih Penjenis (BS) : Dirawat dan diperbanyak Balitkabi Pemulia : Astanto Kasno, Novita

Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara memerlukan suatu instrumen, yaitu interview guide (pedoman wawancara) yang dibuat sebelum peneliti terjun ke lapangan. Hal ini untuk