• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskriminasi yang paling menonjol dalam masyarakat ialah pendidikan orang-orang bergolongan ata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Diskriminasi yang paling menonjol dalam masyarakat ialah pendidikan orang-orang bergolongan ata"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

23

4. Kajian Teologi Sosial mengenai Peran Transformatif GKS Payeti Menyikapi Diskriminasi terhadap Jemaat Berkasta Ata

4.1. Diskriminasi Terhadap Jemaat Berkasta Ata

Menurut Theodorson diskriminasi merupakan suatu tindakan yang tidak adil atau tidak seimbang kepada perorangan maupun kelompok berdasarkan status sosial yang dimiliki dalam masyarakat.1 Oleh karena itu, berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditemui ada berbagai bentuk diskriminasi atau tindakan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dialami oleh orang-orang berkasta ata, dimulai dari pendidikan, pernikahan, ekonomi bahkan kehidupan sosial golongan ata. Diskriminasi yang paling menonjol dalam masyarakat ialah pendidikan orang-orang bergolongan ata. Hal ini menjadi fokus utama karena pendidikan memengaruhi segala aspek kehidupan setiap orang/individu, sehingga kurangnya pendidikan baik secara formal maupun non formal dapat mengakibatkan orang-orang bergolongan ata mengalami keterbelakangan secara intelektual, karena masih banyak dari mereka yang tidak bisa membaca, menulis bahkan berhitung. Oleh karena itu golongan ata belum bisa berkembang dalam berbagai segi kehidupan mereka, sebab mereka tidak mempunyai pengetahuan yang luas serta tidak mengetahui cara untuk mengembangkan kreatifitas dalam diri mereka.

Beberapa hal yang meyebabkan golongan ata tidak bisa bersekolah ialah masih banyak maramba yang tidak mengijinkan ata-nya untuk bersekolah, serta belum ada kebijakan tegas dari pemerintah setempat yang mengharuskan anak-anak bergolongan ata mendapatkan pendidikan yang layak dan setara. Setiap indvidu mempunyai hak untuk menempuh pendidikan, hal ini tertulis jelas dalam undang- undang yang mengatur hak asasi manusia, bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, yaitu berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidup mereka.2 Maka untuk itulah diskriminisi merupakan tindakan yang merugikan orang-orang yang

1 Abdul Khobir dan Nur Khasanah, Potret Diskriminasi Pendidikan, (Jawa Tengah : Anggota IKAPI, 2020), 15

2 Abdul dan Nur , Potret Diskriminasi Pendidikan, 17.

(2)

24

terdiskriminasi karena kasta atau kelas sosial yang paling rendah, hak asasi mereka dirampas serta dimiskinkan karena perbedaan di dalam masyarakat tersebut.

Theodorson menjelaskan bahwa diskriminasi melukiskan suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, untuk itulah perilaku mereka bersifat tidak bermoral dan tidak demokratis.3 Sistem kasta di Sumba Timur mengambarkan suatu sistem yang tidak bermoral dari orang-orang mayoritas (bangsawan/maramba) terhadap orang yang minoritas (ata/hamba). Otoritas yang dimiliki para golongan maramba menutup pintu para golongan ata untuk berkembang dan hak sebagai manusia yang bebas dikurung dalam bungkusan tradisi budaya yang tidak adil dan merugikan para golongan ata sebagai kelompok minoritas dalam struktur budaya Sumba Timur. Tradisi menutup moral dan hati nurani para golongan maramba, serta tradisi yang tidak adil membuat golongan ata menjadi korban dari sebuah ideologi golongan maramba karena kurangnya pendidikan yang mereka dapatkan.

4.2. Analisis Sosisal Terhadap Realita Kasta Ata

Ada beberapa faktor yang menyebabkan diskriminasi terhadap orang-orang berkasta ata masih bertahan hingga saat ini. Dimulai dari para golongan maramba yang masih melestarikan (hubungan antara maramba dan ata), dengan terus mewariskan ata (hamba) kepada anak atau cucu mereka, sehingga membuat jumlah orang-orang berkasta ata semakin bertambah seiring berjalannya waktu, oleh karena itulah ikatan antara tuan dan hamba masih belum bisa dilepaskan atau dihapuskan. Orang-orang bergolongan maramba lebih banyak menduduki posisi- posisi terpenting dalam masyarakat, serta dalam bidang politik, ekonomi, pedidikan serta memliki jaringan sosial yang lebih kuat dibandingkan dengan golongan kabihu (orang-orang merdeka) maupun golongan ata (hamba). Inilah alasan yang membuat golongan maramba lebih unggul dari para golongan ata. Semakin tinggi status sosial para golongan maramba, maka semakin kuat ketergantungan mereka pada tenaga golongan ata (hamba) untuk terus melayani mereka seumur hidup.

3 Fultoni et al, Memahami Diskriminasi. 3.

(3)

25

Golongan bangsawan (maramba) menciptakan ideologi mereka sendiri untuk bisa mempertahankan kekuasaan mereka terhadap golongan ata, bahwa

“kasta ata tidak bisa dihapuskan karena merupakan tradisi leluhur”. Hal inilah yang menyebabkan hampir semua golongan ata terdoktrin oleh berbagai aturan dan ajaran yang dibuat para bangsawan demi kepentingan diri sendiri, sehingga hampir semua orang-orang bergolongan ata memilih menyerah dan pasrah dengan keadaan hidup sebagai seorang ata, tidak berani memberontak dan tunduk pada berbagai peraturan yang dibuat oleh tuan mereka. Sebagian orang-orang bergolongan ata memilih untuk berdiam diri dan tidak mencari akses untuk mendapatkan keadilan dan hak mereka sebagai manusia yang berharga dan setara di hadapan Tuhan.

Pemerintah atau bahkan gereja belum mampu terlibat secara langsung dalam berbagai ketidakadilan yang dialami orang-orang berkasta ata, walaupun pada realitanya pemerintah dan gereja tetap berupaya memperjuangkan keadilan kasta ata, akan tetapi tradisi budaya atau adat yang ada membuat mereka lebih banyak menutup mata terhadap beberapa realita golongan ata yang masih membutuhkan perhatian khusus, karena apapun terkait para ata harus kembali pada keputusan para maramba. Oleh karena itu gereja maupun pemerintah tidak terlalu mengambil andil dalam hubungan tuan dan ata-nya, akan tetapi seharusnya hal ini menjadi perhatian khusus bagi gereja dan permerintah untuk kembali memperbaharui suatu sistem tradisi budaya yang tidak adil tersebut, karena gereja dan pemerintah mempunyai dasar yang kuat untuk untuk mendorong umat gereja maupun masyarakat umum agar bersama-sama menghadirkan perubahan dan kesetaraan bagi kedudukan para golongan ata ditengah-tengah masyarakat maupun jemaat.

4.3. Kajian Teologi Sosial terhadap Peran Transformatif GKS Payeti

Teologi sosial mendorong gereja (GKS Payeti) untuk melakukan analisis sosial terhadap berbagai bentuk ketidakadilan sosial maupun diskriminasi yang dialami oleh jemaat berkasta ata, karena teologi gereja harus berciri sosial dan kontekstual yaitu keterlibatan langsung dalam berbagai pergulatan atau masalah-masalah sosial jemaat yang dapat menolong gereja untuk merealisasikan peran sosialnya di dalam realita sosial jemaat ata. Analisis sosial menghantar GKS Payeti untuk menganalisis struktur dari sistem kasta tersebut, dengan tujuan memperoleh

(4)

26

gambaran yang lebih detail dan konkret terkait situasi sosial yang sedang dihadapi oleh jemaat-nya, serta untuk menggali dan lebih memahami sebab akibat dari struktur sosial yang tidak adil dalam kehidupan masyarakat Sumba Timur, bahwa terdapat berbagai permasalahan dalam struktur sosial tersebut yang perlu dan harus diperbaharui oleh gereja.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor utama penyebab diskriminasi kasta ata masih bertahan di era yang modern ini, ialah jemaat bergolongan maramba yang masih mempertahankan sistem kasta yang tidak adil, karena yang menjadi akar dari persoalan ini adalah tradisi/adat yang masih dipertahankan oleh orang-orang bergolongan maramba (bangsawan). Tradisi/ adat istiadat leluhur tersebut yang menjadi dasar paling kuat untuk mempertahankan kasta ata, karena adat tersebut harus dilestarikan dan diwariskan kepada anak cucu menurut paham maupun ideologi para golongan maramba di Sumba Timur. Untuk itulah sistem kasta belum bisa dihapuskan karena sudah melekat didalam kebudayaan masyarakat Sumba Timur.

Sistem kasta yang dipertahankan oleh para bangsawan merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan dalam terang injil, dan sudah sepatutnya untuk diperangi dan dikritisi oleh GKS Payeti, karena mengandung ketidakadilan sosial di dalamnya. Sebenarnya tidak akan ada tembok pemisah antara gereja dan sistem kasta tersebut, akan tetapi gerejalah yang membatasi diri untuk tidak terlibat dalam berbagai pergulatan antara hubungan maramba dan ata, dikarenakan tanpa disadari gereja masih tunduk pada adat/tradisi leluhur di Sumba Timur. Gereja tidak semestinya tunduk pada adat/tradisi yang mengandung sistem yang tidak adil, tetapi gereja (GKS Payeti) harus kembali tunduk dan berpusat pada apa yang menjadi teladan Yesus Kristus, Allah dalam diri Yesus Kristus adalah penggerak dari aksi memperjuangkan keadilan dan pembebasan bagi orang-orang yang terpinggirkan dan termajinalkan. Yesus tidak hanya mengunakan pewartaan dalam mengupayakan kesetaraan dan keadilan bagi orang-orang yang mengalami penderitaan.4 Yesus turun langsung dalam kehidupan mereka dan terus menyatakan pembelaan bagi mereka yang tertindas, pengalaman yang harus direfleksikan oleh gereja adalah persoalan kehidupan jemaat ata yang masih terkurung dalam sistem

4 Banawiratma dan Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu, 24.

(5)

27

perbudakan, dan menyingkirkan berbagai penyebab yang membuat mereka menderita.

Gereja dapat mengembalikan penghayatan akan Allah yang adil kepada jemaat yang bergolongan bangsawan, bahwa Allah menciptakan manusia dengan tujuan saling melengkapi, menolong dan menopang akan satu dengan yang lain, bukan saling menguasai dan dikuasai, karena semuanya setara dan satu dihadapan Allah.

Seperti yang dikemukan oleh GKS Payeti bahwa tidak ada kekuasaan yang mendominasi demi keuntungan diri sendiri namun merampas kebebasan hidup orang lain. Kurangnya keterlibatan gereja dalam memperjuangkan keadilan bagi jemaat ata, disebabkan oleh kepentingan pribadi yang masih melekat dalam kepengurusan gereja, bahwa didalam kepengurusan gereja terdapat orang-orang yang berasal dari golongan maramba (yang mempunyai ata) dan secara tidak langsung adalah pelaku dari pembedaan sistem kasta tersebut. Untuk itu, GKS Payeti tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah diskriminasi di luar gereja, jika sesungguhnya para pelayan yang ditetapkan untuk mengabarkan injil adalah bagian dari penyebab diskriminasi atau kesenjangan sosial itu terjadi.

Gereja dihadirkan untuk mengutamakan orang-orang yang mengalami ketidakadilan dan penindasan, serta bagi mereka yang terpinggirkan dan dilupakan, untuk itu penderitan jemaat atau orang-orang bergolongan ata menjadi seruan agar gereja menganalisis situasi jemaatnya berdasarkan Injil/Kitab Suci, dan ajaran Gereja mula-mula yang sangat memedulikan situasi hidup manusia dan keadilan.

Gereja selalu bergumul dengan dunia di mana ia diutus, oleh karena itu gereja tidak bisa hidup untuk dirinya sendiri melainkan untuk kerajaan Allah, umat manusia dan dunia yang penuh dengan berbagai masalah-masalah sosial yang harus diperhatikan oleh gereja. Menghayati iman berarti mengalami secara langsung situasi sosial yang dialami oleh jemaat. Oleh karena itu, gereja harus berani mengambil keputusan dan tindakan yang dimulai dari mengkritisi dirinya sendiri sebelum terlibat dalam berbagai masalah di dalam kehidupan jemaatnya, agar gereja tidak dipandang sebagai pelaku ketidakadilan tersebut tetapi dapat dipandang sebagai pembela orang-orang minoritas (kasta ata) yang sedang tertindas.

Teologi sosial membawa refleksi teologis bagi GKS Payeti terkait bagaimana seharusnya penghayatan iman yang dilakukan oleh gereja. Gereja hadir untuk berperan sebagai Kristus di muka bumi guna meyatakan kemanusiaan-Nya dengan

(6)

28

memperjuangkan keadilan sosial bagi kaum miskin dan tertindas, yang diciptakan oleh orang-orang bergolongan maramba. Akar permasalahan ada dalam diri jemaat atau bahkan pelayan gereja bergolongan maramba yang mempertahankan adat/tradisi tersebut, maka akar tersebutlah yang harus disingkirkan oleh gereja.

Dimulai dari dalam gereja menuju kepada berbagai pergulatan di dalam kehidupan jemaat, lewat berbagai perencanan pastoral yang dilakukan bukan saja untuk jemaat tetapi untuk gereja terlebih dahulu. Dari situlah, gereja melakukan suatu peran yang bersifat transformatif secara keseluruhan, jika pada realitanya sistem kasta tersebut masih sulit untuk dihapuskan, maka gereja harus mengupayakan berbagai cara untuk meminimalisir bentuk diskriminasi yang masih dialami oleh jemaat berkasta ata.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) ada kontribusi lingkungan sekolah dan tingkat pendidikan orang tua terhadap hasil belajar secara tidak langsung

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) ada kontribusi lingkungan sekolah dan tingkat pendidikan orang tua terhadap hasil belajar secara tidak langsung

Inti dari proyek filsafat untuk anak-anak adalah mengajak anak terlibat langsung di dalam proses dialog untuk menjawab berbagai pertanyaan yang ada secara kreatif, rasional,

Status sosial ekonomi orang tua tidak memiliki pengaruh secara langsung terhadap prestasi belajar siswa Kelas II SMK di Kota Malang; (4) Motivasi belajar memiliki pengaruh

A B C D E F D1 Nama Program >> gunakan kode di bawah Kira-kira berapa persen dari semua KK desa ini terlibat dalam program tersebut secara langsung?. Program

Secara praktis dalam pembahasan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah, lembaga-lembaga sosial, masyarakat, maupun para orang tua dalam memberikan

Adapun hasil penelitian ini yaitu: (1) Bentuk kerjasama orang tua dengan guru dalam pembinaan keagamaan siswa berupa: melakukan konsultasi secara langsung antara guru dan

Dalam penyiaran memperhatikan hal berikut ini: a membagikan secara luas jadwal program dengan berbagai cara agar diketahui masyarakat dan orang tua/wali; b melakukan siaran langsung