• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kejadian Verbal Abuse Orang Tua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan Kejadian Verbal Abuse Orang Tua"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

47

!

"

#

$%&'

1,*

Yade Kurnia Sari, 2 Yuhendri Putra

1,2

STIKes Prima Nusantara Bukittinggi *e mail : yadekurniasari@yahoo.com

# (

atau biasa disebut use adalah tindakan lisan atau perilaku yang menimbulkan konsekuensi emosional yang merugikan. Kekerasan berdampak pada fisik maupun psikologis pada anak dan dapat menganggu pertumbuhan dan perkembangan termasuk perkembangan kognitif anak. Sejak Januari hingga April 2014kasus kekerasan fisik terhadap anak sebanyak 94 kasus, kekerasan emosional sebanyak 12 kasus dan kekerasan seksual sebanyak 459 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kejadian orang tua terhadap anak dengan perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Tarok Dipo Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang, dengan desain penelitian , pada bulan Agustus 2014, jumlah sampel sebanyak 67 orang dengan menggunakan teknik . Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan kuesioner dan observasi menggunakan format data diolah dan dianalisis dengan komputer.Hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian kecil ada kejadian verbal abuse orang tua terhadap anak (46,3%), sebagian besar perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah meragukan (38,8%), normal (31,3%) dan dimana P Value > 0,05 adalah P = 0,710. Berdasarkan variabel yang diteliti, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian

orang tua dengan perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah. Dengan demikian diharapakan kepada masyarakat dan tenaga kesehatan perlunya memperhatikan perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah, dan dapat memberikan penyuluhan tentang informasi perkembangan anak sesuai dengan “asah”, “asih”, dan “asuh” tiap tahap perkembangannya dan dapat mewujudkan Bukittinggi menuju kota layak anak.

! " #$%&

'& %#

&(' ) *

*

+ * , - , , . , /

" #$%& 01

-2 *

3&0 456 347 756

34% 456 where 8$ $( 9 $ 1%$ :

* )

; ; ; ; ; ; 2 : ,

(2)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

48

)*

+

*

Tumbuh kembang anak merupakan peristiwa yang terjadi selama proses pertumbuhan dan perkembangan anak yang dapat terjadi secara fisik, intelektual, maupun emosional. Pertumbuhan dan perkembangan secara fisik dapat berupa perubahan ukuran besar kecilnya fungsi organ mulai dari tingkat sel hingga perubahan organ tubuh. Pertumbuhan dan perkembangan intelektual anak dapat di lihat dari kemampuan secara simbolik maupun abstrak, seperti berbicara, bermain, berhitung, membaca, dan hal ini disebut juga dengan perkembangan kognitif. Pertumbuhan dan perkembangan secara emosional anak dapat dilihat dari prilaku sosial di lingkungan anak (Soetjiningsih, 2012)

Tumbuh kembang anak tidak hanya menyangkut masalah fisik semata, tetapi yang lebih penting adalah keterlibatannya secara mental yaitu aspek kognitif yang berhubungan dengan fungsi intelektual (Wong, 2009). Perkembangan kognitif adalah tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengetahuan atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengetahuan. Proses utama yang digolongkan di bawah istilah kognisi mencakup, mendeteksi, menafsirkan, mengelompokkan dan mengingat informasi, mengevaluasi gagasan, menyimpulkan prinsip dan kaidah, mengkhayal kemungkinan, menghasilkan strategi dan berfantasi (Wong, 2009).

Masa Pra sekolah adalah masa perkembangan yang berlangsung stabil dan masih terjadi peningkatan pertumbuhan dan perkembangan, khususnya pada aktifitas fisik dan kemampuan kognitif (Hidayat, 2008). Perkembangan kognitif pada seorang anak tidak serta merta tumbuh begitu saja. Hal ini berarti bahwa setiap manusia (anak) memiliki karakteristik yang berbeda beda. Perkembangan kognitif pada anak memang tidak dapat dikatakan sama dari anak yang satu dengan anak yang lain. Perbedaan perkembangan ini tidak lepas dari beberapa faktor. Terdapat 2 faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif pada diri seorang anak diantaranyafaktor internal dan faktor eksternal (Muhibbin, 2011).

Faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak tersebut, salah satunya adalah faktor eksternal seperti interaksi sosial yang orang tua sangat berperan dalam faktor ini. Sikap keluarga terhadap

perkembangan anak sering kali berwujud otoriter. Otoriter sering dipertahankan oleh orang tua agar anak patuh dan disiplin untuk mencapai skala keberhasilan yang diinginkan orang tua. Orang tua berlaku kasar dan memberikan hukuman fisik dengan dalih untuk memberikan pelajaran pada anak anak mereka. Padahal seharusnya setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan. Sebagai akibat dari sikap otoriter ini orang tua seringkali menunjukkan perlakuan yang salah (Lianny Solihin, 2009).

Fenomena perlakuan salah dan tidak wajar merupakan suatu permasalahan yang dihadapi anak anak, yang dapat terjadi di lingkungan keluarga, komunitas, sekolah maupun tempat bermain. Khusus untuk kejadian di keluarga, kejadian ini banyak tidak terungkap kepermukaan karena masih ada anggapan bahwa perlakuan salah pada anak menjadi urusan domestik yang tidak layak atau tabu untuk dibuka (Widyastuti Naning, 2009). Kejadian ini telah menyangkut penegakan hak asasi manusia dan hak anak, sehingga permasalahan perlakuan salah dan tidak wajar pada anak menjadi urusan publik, terutama terkait undang undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, penderaan, penganiayaan anak. Kekerasan pada anak tersebut merupakan terjemahan dari

. Istilah meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya, penganiayaan seksual yang termasuk di dalamnya paksaan atau memikat anak atau orang muda untuk ikut ambil bagian dalam aktivitas seksual, penganiayaan emosi merupakan perlakuan menyakiti emosional anak secara terus menerus sehingga menyebabkan pengaruh buruk dan terus menerus pada perkembangan emosional anak, yang meliputi penggunaan bahasa yang salah seperti penyampaian kepada anak bahwa mereka tidak berharga atau tidak disayang, tidak cakap, dan semua yang menggambarkan harapan yang tidak sesuai dengan usia dan perkembangan anak, hal ini biasa disebut

, sampai kepada pengabaian dan penelantaran kebutuhan kebutuhan dasar anak (M.Ihsan, 2013).

(3)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

49

anak. Hal hal tersebut antara lain, penggunaan nada atau intonasi yang tepat, bicara lambat (tidak terburu buru saat berbicara), pengulangan kata perintah dengan pengarahan yang sederhana, menghindari sikap mendesak, memberi kesempatan pada anak untuk menyatakan ketakutan atau perhatian mereka, emosi apa yang boleh/ tidak boleh ditunjukkan saat berkomunikasi (Wong, 2009).

menyebabkan gejala yang tidak spesifik. Kekerasan akan menyebabkan anak menjadi generasi yang lemah, seperti agresif, apatis, gangguan perkembangan dan pertumbuhan, pemarah, menarik diri, kecemasan berat, gangguan tidur, ketakutan yang berlebihan, kehilangan harga diri dan depresi. Bahkan dampak lebih jauh dari kekerasan yang dilakukan orang tua pada anaknya adalah memperpanjang lingkungan kekerasan. Anak yang mengalami tindakan kekerasan, selanjutnya akan cenderung menjadi pelaku tindakan kekerasan terhadap orang lain. Fenomena ini akhirnya menjadi suatu mata rantai yang tidak terputus, dimana setiap generasi akan memperlakukan hal yang sama untuk merespon kondisi situasional yang menekannya, hingga pola perilaku yang diwariskan ini menjadi budaya kekerasan. Jadi, bila pola asuh yang ada saat ini masih tetap membudayakan kekerasan, boleh jadi 20 30 tahun kedepan masyarakat kita akan lebih buruk lagi dari apa yang disaksikan saat ini (Jalaluddin, 2012).

Hal yang paling sering menyebabkan orang tua melakukan kekerasan terutama kekerasan verbal adalah kenakalan anak. Terutama ketika anak memasuki usia 3 tahun, usia ini merupakan masa masa pembentukan otak dan perilaku anak. Pada masa ini anak dianggap sangat kritis untuk perkembangan emosi dan psikologis. Perkembangan superego terjadi selama periode ini dan kesadaran mulai muncul. Kenakalan anak pada usia 3 sampai 6 tahun merupakan hal yang wajar, dengan cara seperti itu anak mempelajari lingkungan secara kreatif, tetapi kadang orang tua melihat hal itu sebagai suatu hal yang mengganggu, dan orang tua tidak segan segan untuk melakukan kekerasan verbal seperti membentak dan mengabaikan anak (Wong, 2009).

Perlakuan salah pada anak ( ) di Amerika Serikat setiap tahunnya lebih dari3 jutalaporankekerasan terhadap anak, Amerika Serikat memilikisalah satu catatanterburuk di antaranegara negara industriyangkehilanganrata rataantara 4 orang sampai 7 oranganak anaksetiap hari

untukpenyalahgunaan dan penelantaran anak. Pada tahun 2012 tercatat bentuk bentuk pelakuan salah terhadap anak ( ) berdasarkan persentasenya sebagai berikut; terdapat 78,3 % perlakuan mengabaikan anak, 18,3 % kekerasan fisik, 9,3% kekerasan seksual, sedangkan bentuk kekerasan emosional sebanyak 8,5 %, 2,3 % pengabaian medis, dan 10,8 % bentuk kekerasan lainnya (<

" , 2012), dan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan verbal pada anak merupakan masalah serius yang terjadi pada anak. Hasil survey yang dilakukan oleh C. S Mott Children’s Hospital National diketahui bahwa kekerasan verbal trmasuk ke dalam 10 masalah kesehatan yang mengkhawatirkan kepada anak (Davis, 2010).

Di Indonesia sendiri masih sedikit data yang menjelaskan mengenai angka kejadian kekerasan verbal terutama yang terjadi pada anak usia Pra sekolah, sebuah studi* .

: = menyebutkan bahwa antara 40% dan 65% anak anak usia Pra sekolah melaporkan telah ditakut takuti secara verbal atau secara fisik sehingga mereka mengalami luka luka fisik dan psikis. Anak diperkirakan menjadi kekerasan rumah tangga, biasanya melalui pertengkaran antara orangtua, hal ini dapat secara serius mempengaruhi kesejahteraan anak, perkembangan kognitif, dan interaksi sosial dimasa kanak kanak dan dewasa (Eunike & Kusnadi, 2009)

(4)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

50

KPAI pada bulan Maret lalu pernah menerima laporan, dari salah satu anak ada yang menerima perlakuan kekerasan dari temannya, setelah diselidiki ternyata ini ada kaitannya dengan sikap orang tuanya yang sering marah tanpa sebab dan menggunakan bahasa bahasa yang tidak seharusnya di ucapkan oleh orang tua terhadap anaknya, dan orang tuanya ternyata mendidik penuh dengan kekerasan seperti membentak, dan memukul (Liputan6.com, 2014)

Kemungkinan fenomena verbal abuse ini akan semakin banyak ditemui, dan menjadi fenomena gunung es. Hal ini dikarenakan kebanyak orang tua maupun pihak lain tidak menyadari bahwa terjadi salah satu bentuk perlakuan salah pada anak dalam bentuk kekerasan verbal. sering kita kenal seperti mengancam, mengkritik, membentak, memarahi, dan memaki dengan mengeluarkan kata kata yang tidak pantas pada anaknya. merupakan prilaku yang dikarakteristikkan dengan melakukan tindakan yang merugikan bagi anak anak secara sadar dan dilakukan secara berulang ulang yang disertai dengan adanya ketidakseimbangan antara pelaku dan korbannya (Jing, 2009).

Kejadian ini sendiri dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor faktor tersebut terdiri dari faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang dapat menyebabkan munculnya pelakuan

pada anak adalah faktor ekonomi dan faktor lingkungan,. Sedangkan faktor internal meliputi pengetahuan orang tua dan pengalaman orang tua tentang itu sendiri. membuat anak menunjukkan sikap kecemasan, mudah berputus asa, tidak mudah berencana sesuatu, juga penolakan terhadap orang lain, lemah hati dan mudah berprasangka. Tingkah laku yang yang tidak dikehendaki pada diri anak merupakan gambaran dari keadaan di dalam keluarga. Efisiensi konsep orang tua ini akan mengeringkan potensi anak, menghambat perkembangan emosional anak serta menelantarkan minat anak. (Lianny Solihin, 2009).

Dampak dari kejadian verbal abuse yang di alami oleh anak dapat berdampak pada perkembangan intelektual seperti perkembangan kognitif anak dan menimbulkan masalah lain dalam kehidupan anak. Dampak lain dari

kejadian pada anak erat kaitannya dengan prilaku anti sosial pada masa mendatang setelah anak tumbuh menjadi remaja dan dewasa. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuliana Fajrina (2007) meneliti di RW 04 Kelurahan Rangkapan Jaya Baru Depok adanya pengaruh tindak kekerasan orang tua terhadap perkembangan anak usia sekolah. Hasil penelitian menunjukkan dari jumlah responden 40 orang, 56% responden mengalami kekerasan secara verbal oleh orang tua, dan anak mengalami gangguan perkembangan intelektualnya.

Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumatera Barat menemukan tahun 2008 ditemukan 115 kasus kekerasan pada anak, tahun 2009 sebanyak 135 kasus, tahun 2011 sebanyak 92 kasus, tahun 2012 sebanyak 86 kasus, dan pada tahun 2013 sebanyak 154 kasus kekerasan pada anak. Bukittinggi merupakan kota yang memiliki penduduk terpadat di Provinsi Sumatera Barat, berdasarkan data yang diperoleh dari Polresta Kota Bukittinggi didapatkan angka kekerasan pada anak dari tahun ke tahun selalu terjadi peningkatan. Pada tahun 2012 terjadi 32 angka kekerasan pada anak, di tahun 2013 meningkat menjadi 42 angka kekerasan pada anak, ditahun 2014 periode Januari Mei ditemui 18 angka kekerasan pada anak. Kekerasan ini tidak hanya dalam bentuk kekerasan fisik juga dalam bentuk kekerasan seksual dan emosional. (Polresta Kota Bukittinggi, 2014)

(5)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

51

berteriak dan menakut nakuti anak. Dari 6 responden tidak mengatahui bahwa berteriak dan berkata kasar kepada anak merupakan salah satu bentuk perlakuan salah pada anak (

), mereka menganggap berteriak dan menakut nakuti anak merupakan suatu hal yang wajar. 2 diantara responden juga mengatakan bahwa mereka belum dapat mengerti seluruh ucapan yang diungkapkan anak. 4 responden mengetahui bahwa berteriak dan berkata kasar kepada anak merupakan salah satu bentuk perlakuan kasar pada anak, namun mereka masih sering berteriak dan menakut nakuti anak.

Berdasarkan penelitian Armalis (2012) meneliti di sekolah dasar negeri 09

Padang Barat adanya hubungan bermakna antara kekerasan emosional dengan kesehatan Jiwa anak usia Sekolah. Lebih dari sebagian responden (54,9%) mengalami kekerasan fisik, (68,3%) responden mengalami kekerasan emosional. Sebagian besar responden (76,8%) mempunyai kesehatan jiwa yang kurang baik.

Dengan maraknya fenomena ini bidan seharusnya juga memegang peran perawatan dan perlindungan anak, dan kesehatan jiwa. Peran tersebut dijalankan di bawah kerangka kerja " Tahun 1989 dan > = " Tahun 1983. Bidan dapat memberikan perhatian mengenai potensi penganiayaan anak pada masa keadaan mental yang dipengaruhi oleh faktor riwayat wanita saat ini atau situasi kehidupannya. Perhatian ini mencakup kekerasan dalam rumah tangga terhadap wanita itu sendiri, dan penelitian menunjukkan bahwa terdapat kaitan kuat antara kekerasan dalam rumah tangga dan penganiayaan anak (Cleaver et al, 1999). Asuhan antenatal merupakan masa terbaik bekerja dengan wanita dan memberikan dukungan, atau membantu wanita memperoleh dukungan yang dibutuhkannya, guna mencegah kemungkinan munculnya masalah setelah bayi lahir. Bahkan banyak persoalan keluarga yang sering kali di asosiasikan dengan tingkat penganiayaan yang tinggi adalah mereka yang orang tuanya, khususnya ibu, mendapatkan manfaat dari tingkat dukungan ante dan pascanatal yang tinggi (Diane, 2009)

Begitu juga dengan di Kota Bukittinggi sendiri sekarang ini adanya kebijakan dan program perlindungan anak di Kota Bukittinggi, hal ini tidak hanya semata untuk pemenuhan hak dasar anak. Namun juga untuk pengembangan empat hak dasar anak melalui berbagai program. Guna mewujudkan kota layak anak tersebut, saat ini pihak Pemko sedang membuat Ranperda Perlindungan

Perempuan dan Anak, yang memberikan jaminan pendidikan, kesehatan, dan jaminan mendapatkan pengakuan identitas (Padang Ekspres, 2014)

Dari data yang telah penulis dapatkan, penulis merasa perlu untuk mengetahui adanya hubungan kejadian orang tua terhadap anak dengan perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah di wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang Kelurahan Tarok Dipo Bukittinggi. Penelitian ini penting dilakukan untuk memperoleh sejumlah kesimpulan sebagai dasar bagi perlindungan anak dengan mencari sebab sebab kekerasan sehingga akan mendorong upaya preventif yang lebih baik bagi upaya penghapusan kekerasan terhadap anak.

#,)

* -)

) )*)+. . *

Subjek dalam penelitian ini adalah ibu yang memilki anak usia Pra sekolah dan anak usia Pra sekolah di Kelurahan Tarok Dipo Wilayah Kerja Puskesmas Bukittinggi Tahun 2014 yang berjumlah 673 orang dengan sampel 67 responden. Metode yang digunakan yaitu penelitian survey analitik dengan pendekatan . Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah

(Arikunto, 2010) Dimana penelitian ini untuk mengetahui hubungan kejadian

orang tua terhadap anak dengan perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah di Kelurahan Tarok Dipo wilayah kerja Puskesmas Guguk Panjang Bukittinggi tahun 2014. Variabel independen (intervensi) dalam penelitian ini adalah kejadian . Sedangkan variabel dependentnya (efek) adalah perkembangan kognitif anak. Teknik analisa data dengan menggunakan analisa univariat dan bivariat menggunakan uji

dengan tingkat kepercayaan 95%. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tarok Dipo Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang Tahun 2014 dan waktu penelitian bulan Agustus 2014.

.+

* )-#

*

(6)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

52

/

'0& 1

! " # $%&'

1 2

Tidak Ada Kejadian Ada Kejadian

36 31

53,7 % 46,3 %

, 34 &%% 2

Hasil tabel 4.1 bahwa dari 67 orang responden, ditemukan sebagian kecil ada kejadian yaitu sebanyak 46,3 % (31 orang tua) terhadap anak usia Pra sekolah.

'0$ 1

! " # $%&'

1 2

Abnormal Meragukan Tidak Dites Normal

10 26 10 21

14,9 % 38,8 % 14,9 % 31,3 %

, 34 &%% 2

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa dari 67 responden anak usia Pra sekolah sebagian besar memiliki perkembangan kognitif meragukan yaitu sebanyak 38,8 % (26 anak), untuk perkembangan kognitif normal sebanyak 31,3 % (21 anak) dan untuk perkembangan kognitif anak abnormal dan tidak dites masing masingnya sebanyak 14,9 % (10 anak).

# / '05

!

" # $%&'

Kejadian "

Perkembangan Kognitif

Jumlah Abnormal Meragukan Tidak Dites Normal

Frek % Frek % Frek % Frek % Frek %

Tidak Ada Kejadian Ada Kejadian

5 5

7,5 7,5

12 14

17,9 20,9

6 4

9,0 6,0

13 8

19,4 11,9

36 31

53,7

46,3 0,710

Total 10 14,9 26 38,8 10 14,9 21 31,3 67 100

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa dari 36 responden yang tidak ada kejadian orang tua terhadap anak didapatkan sebangian kecil yaitu 7,5 % (5 orang) anak usia Pra sekolah dengan perkembangan kognitif abnormal, dan sebagian besar 19,4 % (13 orang) dengan perkembangan kognitif normal, 9,0 % (6 orang) tidak dites atau menolak saat dites, dan 17,9 % (12 orang) perkembangan kognitif meragukan, (Ha ditolak) terbukti > 0,05 yaitu 0,710.

!

" #

$%&'

Dari hasil penelitian berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa sebagian besar dari 67 responden yaitu sebanyak 36 orang (53,7%) tidak ada kejadian orang tua terhdap anak di Kelurahan Tarok Dipo Wilayah

Kerja Puskesmas Guguk Panjang Bukittinggi Tahun 2014.

Angka kejadian ini relatif lebih tinggi dibandingkan penelitian penelitian sebelumnya yang diteliti oleh Atlas (2008) yang menyatakan yang terjadi terhadap anak dalam keluarga tercatat 35 % (n=120).

(7)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

53

penelitian menunjukkan dari jumlah responden 40 orang, 46 % responden mengalami kekerasan secara verbal oleh orang tua

atau biasa juga disebut adalah tindakan lisan atau perilaku yang menimbulkan konsekuensi emosional yang merugikan (Wong, 2009). terjadi ketika orang tua menyuruh anak untuk diam atau jangan menangis. Jika anak mulai bicara, ibu terus menerus menggunakan kekerasan verbal seperti “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”. Anak akan mengingat itu semua jika kekerasan verbal itu berlangsung dalam satu periode hal ini yang membuat anak menunjukkan sikap kecemasan, mudah berputus asa tidak mudah berencana sesuatu juga penolakan terhadap orang lain (Lianny Solihin, 2009). Bentuk yang sering terjadi pada anak seperti tidak sayang dan dingin, intimidasi, mengecilkan atau mempermalukan anak, kebiasaan mencela anak, tidak mengindahkan atau menolak anak, dan hukuman ekstrim (Amartha, 2010).

Masih tingginya angka kejadian pada penelitian ini yaitu sebanyak 46,3 %, tindakan yang sering dilakukan orang tua seperti orang tua jarang memeluk anak, jarang memanggil anak dengan kata sayang, dan sering menjerit atau berteriak kepada anak. Lahirnya tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan orang tua yang tidak begitu mengetahui atau mengenal informasi mengenai kebutuhan perkembangan anak, misalnya anak belum memungkinkan untuk melakukan sesuatu tetapi karena sempitnya pengetahuan orang tua, anak dipaksa melakukan dan ketika anak memang belum bisa melakukan orang tua menjadi marah, membentak dan mencaci anak.

Pengalaman orang tua pada sewaktu kecilnya mendapat perlakuan salah yang merupakan situasi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh M. Ihsan (2013) yang menyatakan bahwa tindakan

yang terjadi dalam keluarga disebabkan oleh tidak adanya kehangatan antara orangtua dan anak. Orang tua juga sering menjerit atau berteriak kepada anak karena anak tidak mengindahkan perkataannya, ataupun karena anak sering berada jauh dari orang tua sehingga untuk memanggilnya orang tua harus berteriak agar anak cepat datang. Gaya kontrol yang biasa digunakan orang tua ini adalah otoriter atau diktator yaitu orang tua mencoba mengontrol prilaku dan sikap anak melalui perintah yang

tidak boleh dibantah, dan gaya kontrol permisif yaitu orang tua memiliki sedikat kontrol atau tidak sama sekali atas tindakan anak mereka.

Umur orang tua juga mempengaruhi pola asuh dari orang tua itu sendiri. Pada penelitian ini terdapat 2 kelompok besar golongan usia yaitu < 30 tahun dan ≥ 30 tahun. Dijelaskan menurut (Hurlock, 2012) bahwa usia 20 40 tahun merupakan usia dewasa awal atau masa reproduksi dimana peran pada masa ini antara lain peran sebagai pasangan hidup dan sebagai orang tua yang selalu mempersembahkan waktu untuk mendidik dan merawat anak. Usia orang tua mempengaruhi peranan dalam menentukan pola asuh, setiap tahap perkembangan mempunyai peran masing masing, semakin tua usia orang tua maka berbeda pula peran dari usia sebelumnya (Hurlock 2012).

Berdasarkan kesimpulan peneliti, responden yang tidak melakukan

disebabkan mereka jarang merendahkan anak, jarang mencela anak, dan jarang menjatuhkan harga diri anak dimuka umum. Tindakan ini dilakukan orang tua karena mereka tidak ingin anak anaknya juga direndahkan orang lain, terutama dalam persaingan sesama orang tua yang saling membanggakan anak. Sebagian dari orang tua tersebut mengetahui dan mengenal informasi mengenai kebutuhan perkembangan anak, dan kebutuhan pendidikan anak. Orang tua menganggap bahwa anak adalah anugrah di dalam keluarga yang kedudukannya sama dengan yang lain dan harus dihargai. Biasanya didalam keluarga yang tidak ada kejadian

ini adalah orang tua yang memiliki gaya kontrol demokratik, orang tua mengarahkan sikap anak dengan keterbukaan, orang tuanmenghormati individualitas dari setiap anak dan mengizinkan mereka untuk menyuarakan keberatannya terhadap standar atau peraturan keluarga. Gaya kontrol difokuskan pada masalah tidak pada penarikan rasa cinta dan ungkapan sayang pada anak.

!

" #

$%&'

Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa dari 67 responden yang diobservasi menggunakan format penilaian skrening

(8)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

54

(2008) menyatakan bahwa 38 % (n=132) anak mengalami keterlambatan kognitif dan ini relatif lebih tinggi.

Menurut Wong (2009) perkembangan kognitif merupakan perubahan terkait usia yang terjadi dalam aktivitas mental. Intelegnsia memungkinkan individu melakukan adaptasi terhadap lingkungan sehingga meningkatkan kemungkinan bertahan hidup, dan melaliu prilakunya individu membentuk dan mempertahankan keseimbangan dengan lingkungan.

Perkembangan kognitif anak terdiri dari bahasa dan visual motor. Bahasa merupakan salah satu indikator perkembangan keseluruhan dari perkembangan kognitif anak. Keterlambatan perkembangan awal kemampuan bahasa dapat mempengaruhi berbagai fungsi dalam kehidupan sehari hari, selain mempengaruhi kehidupan personal sosial, juga akan menimbulkan kesulitan belajar, bahkan hambatan saat terjun ke dunia pekerjaan kelak (Sari Pediatri, 2009).

Berdasarkan kesimpulan peneliti, banyaknya anak dengan perkembangan kognitif yang meragukan disebabkan karena rendahnya persepsi anak tersebut yaitu kemampuan membedakan informasi yang masuk rendah, gangguan kognisi, dan prematuritas seperti berat badan lahir, juga menentukan perkembangan kognitif anak. Kemudian kurangnya perhatian dari orang tua untuk memacu dan mendukung anak dalam setiap langkah perkembangannya sehingga anak menjadi tidak diperhatikan dan akan menyibukkan diri dengan pekerjaan atau kegiatan yang sama tanpa berusaha untuk menambah kosa kata dan tata bahasa baru. Selain itu, perkembangan kognitif ini juga dipengaruhi oleh stimulasi yang kurang dalam mengarahkan perkembangan anak, orang tua yang melakukan pada anak mengakibatkan anak takut untuk melakukan berkata dan melakukan suatu perbuatan, kurangnya kasih sayang yang didapat dari anggota keluarga, jumlah anggota keluarga yang banyak menyebabkan anak kurang terarahkan dengan baik, serta kepribadian orang tua yang cenderung otoriter dalam memberikan pengasuhan pada anak.

Menurut Maslow dalam Mubarak dan Chayatin (2007), Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling dasar yang disusul dengan kebutuhan ditingkat atasnya yaitu rasa aman dan nyaman,

hargadiri dan aktualisasi. Bila keadaan sosial ekonomi dan tingkat pekerjaan mapan maka

orang tua cenderung memanfaatkan waktu luang dengan kegiatan kegiatan yang lebih memiliki latar belakang dan reputasi yang tinggi misalnya: rekreasi, les atau pendidikan tambahan. Sedangkan keadaan sosial ekonomi dan tingkat pekerjaan yang rendah orang tua lebih otoriter dan tidak memilki waktu untuk dapat bersama sama memberikan “asuh”, “asih”, dan “asah” yang layak dan sesuai dengan kebutuhan anak.

Sementara bagi anak dengan perkembangan kognitif normal disebabkan karena banyaknya waktu ibu bersama anak sehingga dengan kebersamaan dengan anak tersebut ibu dapat memperhatikan setiap perkembangan anak dan memberikan stimulasi agar anak dapat berkembang dengan normal sesuai usianya, terutama dalam setiap tahap perkembangan kognitifnya.

Faktor lain menyebutkan bahwa perencanaan kehamilan maupun kehamilan dengan bantuan mempengaruhi perkembangan kognitif anak pada usia 3 – 6 tahun bahwa anak anak yang lahir setelah kehamilan yang direncanakan lebih baik perkembangan kognitifnya dibandingkan dengan rekan rekan mereka yang kehamilannya tidak direncanakan, sementara itu anak dengan kehamilan yang dengan bantuan proses reproduksi memiliki kemampuan verbal yang lebih baik (Carson, 2013).

!

" #

$%&'

(9)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

55

Sebanding dengan penelitian yang dilakukan oleh Munawati (2011) menyatakan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara orang tua terhadap anak dengan perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah di RW 04 Kelurahan Rangkapan Jaya Baru Depok. Berbeda dengan penelitian Armalis faktor faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah di SDN.09 Padang Barat tahun 2012 bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kekerasan verbal orang tua terhadap perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah.

Menurut Soetjiningsih (2012) bahwa kekerasan yang dialami oleh anak dapat berdampak pada fisik maupun psikologi. Namun biasanya tidak berdampak secara fisik kepada anak, tetapi dapat merusak anak beberapa tahun ke depan. Dampak akibat kekerasan verbal pada anak antara lain anak menjadi tidak peka dengan perasaan orang lain, mengganggu perkembangan dan pertumbuhan anak, anak menjadi agresif, gangguan emosional, hubungan sosial terganggu, kepribadian , menciptakan lingkaran setan dalam keluarga, dan bunuh diri.

Pada penelitian ini yang terjadi justru sebaliknya dimana tidak terdapat hubungan antara kejadian orang tua terhadap anak dengan perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah. Hal ini disebabkan, perkembangan kognitif tidak hanya semata mata dipengaruhi oleh kejadian orang tua tetapi juga di pengaruhi oleh faktor lainnya yaitu internal dan eksternal. Faktor internal antara lain berhubungan dengan persepsi anak, kognisi anak, dan prematuritas. Sedangkan faktor eksternal seperti riwayat keluarga, pola asuh orang tua, lingkungan verbal, pendidikan, jumlah anak. Apabila faktor lain ini lebih dominan mempengaruhi prilaku tentu saja dapat mengakibatkan pola asuh atau komunikasi adanya kejadian tidak lagi mempengaruhi perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah.Orang tua yang melakukan menyebabkan anak cendrung tertekan, merasa takut untuk berbuat dan berkata kata serta pemalu, hal ini tentunya akan menghambat perkembangan anak dan mereka mengalami keterlambatan perkembangan dibandingkan anak seusianya (Muhibbin, 2011). Berdasarkan kuesioner pada penelitian ini dapat kita ketahui bahwa rata rata orang tua sering memeluk anak, memanggil anak dengan kata sayang, dan orang tua pernah mengucapkan selamat atas hal positif yang dilakukan oleh anak. Dan juga dapat diketahui bahwa rata rata

orang tua pernah bahkan kadang kadang dan sering orang tua berteriak pada anak, mengancam anak, mencela anak, dan tidak memperhatikan anak atau mempedulikan anak, orang tua sering kali tidak memberikan respon terhadap apapun aktifitas anak dan orang tua sering memberikan hukuman kepada anak.

Sementara bagi yang tidak ada kejadian orang tua terhadap anak dan memiliki anak dengan perkembangan kognitif meragukan maupun abnormal disebabkan karena kurangnya pengetahuan orang tua tentang cara menstimulasi perkembangan kognitif anak dan orang tua yang disibukkan dengan pekerjaan, sehingga anak dibiarkan bermain sendiri tanpa pengawasan dan arahan dari orang tua. Walaupun orang tua tidak pernah berkata kasar dan meremehkan anak, namun karena jarang diajak bicara, diajarkan tentang gambar, berhitung ataupun menggunakan tata bahasa, menyebabkan anak mengalami keterlambatan dalam hal tersebut. Terbukti dari hasil penelitian bahwa cukup banyak anak yang tidak mengerti dengan kata sifat, kata depan, anak tidak bisa berhitung > 10, sulitnya anak membedakan warna dan anak juga kesulitan dalam menggambar. Kemudian pada penelitian ini juga ditemukan dengan tidak adanya kejadian perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah yang normal dan tidak dites. Perkembangan kognitif dengan hasil tidak dites, merupakan penilaian yang diberikan pada saat observasi beberapa dari anak tersebut tidak mau atau menolak untuk dites dan tidak mau melakukan item item penilaian. Hal ini menjadi faktor faktor lain yang membuat tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara kejadian orang tua terhadap anak dengan perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah.

(10)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

56

dikarenakan anak memiliki 2 keterlambatan pada 1 sektor penilaian, sedangkan untuk hasil perkembangan kognitif yang tidak dites, pada saat dilakukan tes atau penilaian anak menolak untuk melakukan tes yang diajukan dan perkembangan kognitif yang normal anak dapat melakukan dengan baik dan tidak terdapat keterlambatan dari item item tes tersebut.

Keterkaitan antara status sosial, ekonomi dan pekerjaan dengan pola asuh orng tua memiliki hubungan yang sangat erat. Keluarga dengan status ekonomi dan pekerjaan kelas rendah cenderung lebih keras dalam pengasuhan dan sering menggunakan hukuman fisik maupun emosional dalam mengasuh anakanaknya. Sedangkan untuk kelas ekonomi dan pekerjaan menengah atau sedang lebih cenderung memberikan pengawasan dan perhatiannya sebagai orang tua, dan menerapkan kontrol lebih halus. Hal tersebut terjadi karena orang tua lebih berfokus pada pengembangan kreativitas anak dibanding masalah ekonomi keluarga sehingga anak dapat berkembang dengan baik (Yusuf, 2010).

) .-

+ *

*

( *

) .- + *

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 67 orang responden tentang hubungan kejadian orang tua terhadap anak dengan perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah (5 – 6 tahun) di Kelurahan Tarok Dipo Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang Bukittingi tahun 2014, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Sebagian besar responden ditemukan tidak

ada kejadian orang tua terhadap anak, yaitu (53,7 %)

2. Sebagian besar anak memiliki perkembangan kognitif meragukan yaitu (38,8 %) dan normal sebanyak (31,3 %) 3. Tidak terdapat hubungan bermakna antara

kejadian orang tua terhadap anak dengan perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah di Kelurahan Tarok Dipo

Wilayah Kerja Puskesmas Guguk Panjang Bukittingi tahun 2014, P value 0,710.

( * #

Agar menambah pengetahuan dan wawasan peneliti dalam mengembangkan pengetahuan yang dimanfaatkan dalam menghadapi anak usia Pra sekolah yang telah diperoleh peneliti.

# .

Agar hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan atau informasi dalam pemberian asuhan kepada orang tua yang memiliki anak usia Pra sekolah.

# (

Agar dapat dijadikan sebagai media informasi tentang dampak tindak kekerasan verbal orang tua terhadap anak dengan perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah, sehingga orang tua mengetahui akibat yang di timbulkan hanyak tampak dari segi fisik tetapi dari segi psikologi yang berdampak jangka panjang.

# "

Agar dapat dijadikan sebagai media informasi tentang dampak tindak kekerasan verbal dan diharapkan tindak kekerasan terhadap anak dapat dicegah, dan memperhatikan perkembangan kognitif anak usia Pra sekolah, dan dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat luas tentang informasi perkembangan anak sesuai dengan “asah”, “asih”, dan “asuh” tiap tahap perkembangannya dan dapat mewuujudkan Pemkot Bukittinggi dalam upaya menciptakan Bukittinggi menuju kota layak anak.

1

(

1. Armalis. (2012). = + ,

? + ! " ,

, . Padang: UNAND

2. Amartha. (2010). + , @ * " ,. In google.com: URL:

ABB B(31 Mei

2014).

3. Arief, Jallaludin. (2008 December 27). Child abuse. In google.com [serial online]

ABB , 74 B (8

April 2014).

4. Ayi Setia Budi. (2008). - In google.com [serial online] URL:

ABB B B

B%741'17 B(17 April

2014).

5. Carson. C, Kelly, Y. ?

4 (A

. BMJ 2011;343:d4473. [PubMed]

6. Fajriana, Yuliana. (2007). * ,

(11)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

57

Alih Bahasa Istiwidayati. Jakarta: Erlangga 11. Ihsan. (2013). Perlindungan Anak dari

Tindak kekerasan

12. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008). In google.com [serial online] URL:

ABB , B, B )

(20 Mei 2014).

13. Lembaga Mitra KPAI. (2014). In google.com [serial online] URL:

ABB , . (24 Juni 2014) 14. Liputan6.com. (2014). In google.com [serial

online] URL: BB 0 . (24 google.com [serial online]

URL: ABB B B

(24 Juni 2014)

18. Narendra, M. B. (2003).

, " ,.

Jakarta: EGC

19. Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). >

+ . Jakarta: Rineka Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu 27. Soetiningsih. (2012). * , 30. Sostroasmoro, Sudigdo. (2006).

-- > + ? .

Jakarta: Sagung Seto.

31. ____ ________. (2013). -

-> + ? .

Jakarta: Sagung Seto.

32. STIKes Prima Nusantara. (2013)

+ Bukittinggi : Prima Nusantara.

33. Subbagian Tumbuh Kembang. (2004).

, - .

Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUGM/RS Sardjito.

Bandung: PT Remaja Rosda Karja 38. Tanuwijaya, S. (2003). + C

* + . Jakarta: EGC

4' Tim Dirjen Pembinaan Kesmas. (1997).

- , - * +

(12)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol 5 No 2 Juli 2014

58

Gambar

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa dari 67 responden anak usia Pra�sekolah sebagian besar memiliki

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisa di atas dan pengolahan data pada Bab IV maka dapat kita bandingkan bahwa dari segi tingkat kesalahan, metode Trend Analysis mempunyai

Hasil pengujian hipotesis diperoleh bahwa pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif jigsaw memberikan peningkatan yang signifikan terhadap keterampilan peserta didik

Analisis laporan keuangan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas dan untuk membatasi ruang lingkup permasalahan di atas, maka penulis hanya akan membahas tentang analisis

Bentuk ruang gerak penari digambarkan secara bermakna ke dalam; desain atas dan disain lantai (La Meri: 1979: 12). Ruang gerak tari diberi makna melalui garis lintasan penari

KONTRIBUSI KEMAMPUAN MANAJERIAL KEPALA MADRASAH DAN KINERJA MENGAJAR GURU TERHADAP MUTU MADRASAH ALIYAH SWASTA DI KABUPATEN BANDUNG BARAT.. Universitas Pendidikan Indonesia

terjadi perubahan warna dari yang awalnya bening menjadi biru muda.Selain itu bisa juga saat kita memanaskan lempeng tembaga yang berwarna merah dengan serbuk belerang yang

sesama manusia ditinjau dari segi teknis pelaksanaannya dibagi menjadi dua. Pertama, utang yang berhubungan dengan wujud harta. Kedua, utang yang tidak

Alfread Muhsin, Mahasiswa Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Gorontalo, Dr. Lilan Dama, M.Pd, Dosen Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Negeri