PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ALAT PERAGA KONKRET DENGAN ALAT PERAGA MAYA (VIRTUAL MANIPULATIVE)
TERHADAP PENINGKATAN VISUAL THINKING SISWA
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh
Nia Kania, S.Pd.
1101161
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
Halaman Hak Cipta untuk Mahasiswa S2
==================================================================
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ALAT PERAGA KONKRET DENGAN ALAT PERAGA MAYA (VIRTUAL MANIPULATIVE)
TERHADAP PENINGKATAN VISUAL THINKING SISWA
Oleh Nia Kania, S.Pd
Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
2013
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidika
Matematika
© Nia Kania 2013
Universitas Pendidikan Indonesia Juli 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
HALAMAN PENGESAHAN
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ALAT PERAGA KONKRET DENGAN ALAT PERAGA MAYA (VIRTUAL MANIPULATIVE)
TERHADAP PENINGKATAN VISUAL THINKING SISWA
Oleh:
Nia Kania 1101161
Disetujui dan Disahkan oleh:
Pembimbing I,
Prof. H. Yaya S. Kusumah, M.Sc., Ph.D.
Pembimbing II,
DR. Jarnawi Afgani Dahlan, M.Kes.
Mengetahui:
Ketua Pogram Studi Pendidikan Matematika,
pembelajaran matematika sebagai upaya mendongkrak kemampuan siswa dalam kemampuan geometri. Salah satu variabel yang dapat membantu siswa dalam memiliki kemampuan persepsi (visualisasi) adalah dengan menggunakan media pembelajaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perbandingan efektivitas penggunaan alat peraga konkret dengan alat peraga maya (virtual manipulative) terhadap peningkatan visual thinking siswa. Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen dengan desain penelitian berbentuk kelompok pretes-postes. Kedua kelompok merupakan kelompok eksperimen, kelompok eksperimen I menggunakan alat peraga konkret dan eksperimen II menggunakan alat peraga maya (virtual manipulative) dalam pembelajaran matematika. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMPN 1 Jatiwangi. Sementara itu, sampel yang dipilih secara purposif melibatkan 78 siswa kelas VIII sebanyak dua kelas Instrumen penelitian berupa tes kemampuan visual thinking, wawancara dan lembar observasi. Analisis data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, uji Levene, Uji t. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Kualitas pencapaian visual thinking siswa yang menggunakan alat peraga konkret dikategorikan tinggi; (2) Kualitas pencapaian visual thinking siswa yang menggunakan alat peraga maya (virtual manipulative) dikategorikan tinggi; (3) Kualitas peningkatan visual thinking siswa yang menggunakan alat peraga konkret adalah kategori sedang; (4) Kualitas peningkatan kemampuan visual thinking siswa yang menggunakan alat peraga maya (virtual manipulative) adalah kategori sedang; (5) Tidak terdapat perbedaan peningkatan visual thinking antara siswa yang menggunakan alat peraga konkret dengan siswa yang menggunakan alat peraga maya (virtual manipulative) dalam pembelajaran matematika; (6) Aktivitas siswa yang menggunakan alat peraga konkret terhadap peningkatan visual thinking dapat meningkat secara signifikan; (7) Aktivitas siswa yang menggunakan alat peraga maya (virtual manipulative) terhadap peningkatan visual thinking dapat meningkat secara signifikan; (8) kedua alat peraga memiliki efektivitas yang signifikan terhadap peningkatan visual thinking siswa dalam pembelajaran matematika.
Kata kunci: efektivitas, alat peraga konkret, alat peraga maya (virtual
Judul ... i A. Pembelajaran Matematika ... 17
B. Media Pembelajaran ... 18
M. Teori Belajar Pendukung Matematika Geometri. ... 39
N. Penelitian yang Relevan. ... 46
O. Kerangaka Berfikir. ... 47
P. Hipotesis ... 50
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian ... 51
a. Variabel Penelitian. ... 52
b. Operasional Variabel Penelitian. ... 52
B. Populasi dan Sampel ... 54
2. Reliabilitas Instrumen. ... 61
3. Daya Pembeda. ... 62
4. Indeks Kesukaran. ... 64
b. Lembar Observasi. ... 66
c. Wawancara. ... 67
E. Kelengkapan Penelitian a. Silabus. ... 67
b. RPP. ... 67
c. Pengembangan Bahan Ajar. ... 68
1) Alat dan Bahan. ... 68
2) Ilustrasi Pembelajaran. ... 69
F. Prosedur Penelitian ... 71
G. Teknik Pengumpulan Data ... 73
H. Analisis Data... 74
I. Jadwal Kegiatan... 80
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Data Deskriptif Pembelajaran dengan Menggunakkan Alat Peraga ... 82
1. Kelompok Alat Peraga Konkret. ... 83
2. Kelompok Alat Peraga Maya (Virtual Manipulative).. 85
B. Hasil Penelitian. ... 87
a) Analisis Data Tes Awal (Pretes) Kemampuan Visual Thinking Siswa... 89
b) Analisis Data Tes Akhir (Postes) Kemampuan Visual Thinking Siswa... 91
c) Analisis Peningkatan (n-gain) Kemampuan Visual Thinking Siswa... 96
d) Pencapaian Hasil Belajar Siswa ... 100
e) Efektivitas Penggunaan Alat Peraga ... 101
C. Pembahasan Hasil Penelitian... 102
1. Kualitas Pencapaian Visual Thinking Siswa yang Menggunakan Alat Peraga Konkret dalam Pembelajaran Matematika... 102
2. Kualitas Pencapaian Visual Thinking Siswa yang Menggunakan Alat Peraga Maya (Virtual Manipulative) dalam Pembelajaran Matematika... 104
3. Kualitas Peningkatan Kemampuan Visual Thinking Siswa yang Menggunakan Alat Peraga Konkret dalam Pembelajaran Matematika... 105 4. Kualitas Peningkatan Kemampuan Visual Thinking
5. Peningkatan Kemampuan Visual Thinking Siswa... . 108
6. Aktivitas Siswa yang Menggunaan Alat Peraga Konkret terhadap Kualitas Peningkatan Visual Thinking Siswa dalam Pembelajaran Matematika... 110
7. Aktivitas Siswa yang Menggunaan Alat Peraga Maya (Virtual Manipulative) terhadap Kualitas Peningkatan Visual Thinking Siswa dalam Pembelajaran Matematika... 115
8. Efektivitas Penggunaan Alat Peraga Konkret dan Alat Peraga Maya (Virtual Manipulative) terhadap Kualitas Peningkatan Visual Thinking Siswa dalam Pembelajaran Matematika... 119
9. Wawancara... 120
10. Keterbatasan dalam Penelitian... 121
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... .... 123
B. Implikasi ... 124
C. Saran ... 124
DAFTAR PUSTAKA ... 126
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Standar Kompetensi Geometri dan Pengukuran. ... 34
Tabel 2.2 Effect Sizes and Percentiles... 39
Tabel 3.1 Operasional Variabel ... 53
Tabel 3.2 Indikator Visual Thinking pada Soal Tes ... 57
Tabel 3.3 Kriteria Penskoran Visualisasi Geometri ... 58
Tabel 3.4 Kriteria Penskoran Visual Thinking ... 59
Tabel 3.5 Kriteria Koefisien Korelasi ... 61
Tabel 3.6 Rekapitulasi Validitas Tiap Butir Soal ... 62
Tabel 3.7 Kriteria Koefisien Reliabilitas ... 63
Tabel 3.8 Kriteria Daya Pembeda. ... 64
Tabel 3.9 Rekapitulasi Daya Pembeda Butir Soal. ... 64
Tabel 3.10 Kriteria Indeks Kesukaran. ... 65
Tabel 3.11 Rekapitulasi Indeks Kesukaran. ... 66
Tabel 3.12 Ilustrasi Pembelajaran. ... 69
Tabel 3.13 Teknik Pengumpulan Data. ... 74
Tabel 3.14 Kriteria Skor n-Gain... 79
Tabel 3.15 Effect Sizes and Percentiles... 80
Tabel 3.16 Jadwal Kegiatan Penelitian. ... 81
Tabel 4.1 Daftar Skor Kemampuan Visual Thinking Siswa ... 88
Tabel 4.2 Analisis Hasil Pretes Siswa ... 89
Tabel 4.14 Interpretasi Pencapaian pada Indikator Visual Thinking Siswa .... 101
Tabel 4.15 Pencapaian pada Indikator Kemampuan Visual Thinking Siswa pada Kelas Konkret... 102
Siswa pada Kelas Maya... 107 Tabel 4.19 Aktivitas Guru pada Kelas Alat Peraga Konkret... 111 Tabel 4.20 Aktivitas Siswa pada Kelas Alat Peraga Konkret... 112 Tabel 4.21 Aktivitas Guru pada Kelas Alat Peraga Maya
(Virtual Manipulative)... 115 Tabel 4.22 Aktivitas Siswa pada Kelas Alat Peraga Maya
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerucut Pengalaman ... 22
Gambar 4.1 Kegiatan Pembelajaran pada Kelas Konkret. ... 83
Gambar 4.2 Hasil Kerja Siswa pada LAS ... 84
Gambar 4.3 Jawaban Siswa Soal LAS ... 85
Gambar 4.4 Kegiatan Pembelajaran pada Kelas Maya ... 86
Gambar 4.5 Jawaban Siswa Soal yang Terdapat pada Komputer ... 86
Gambar 4.6 Q-Q Plot Normalitas Pretes... . 90
Gambar 4.7 Q-Q Plot Normalitas Postes... 94
Gambar 4.8 Q-Q Plot Normalitas N-Gain... 98
Gambar 4.9 Pendapat Siswa Mengenai Peragaan pada Kelas Konkret... 113
Gambar 4.10 Pendapat Siswa Mengenai Soal-soal LAS pada Kelas Konkret... 114
Gambar 4.11 Pendapat Siswa Mengenai Pembelajaran pada Kelas Maya... 118
Gambar 4.12 Pendapat Siswa Mengenai Pembelajaran yang telah Dilakukan pada Kelas Maya... 119
elajaran ... 109
Lampiran A.3 Kisi-Kisi Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis ... 127
Lampiran A.4 Naskah Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis ... 128
Lampiran A.5 Alternatif Jawaban ... 130
Lampiran A.6 Lembar Judgment ... 133
Lampiran A.7 Angket untuk Siswa ... 136
Lampiran A.8 Pedoman Observasi ... 137
Lampiran B Analisis Validitas, Reliabilitas, Tingkat Kesukaran dan Daya Pembeda Instrumen Tes Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis ... 139
Lampiran C.1 Kelompok Kemampuan Matematis Siswa Kelas Eksperimen... 140
Lampiran C.2 Kelompok Kemampuan Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 141
Lampiran C.3 Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 142
Lampiran C.4 Kemampuan Pemecahan Masalah dan Koneksi Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 145
Lampiran D.1 Hasil Penelitian mengenai Kemampuan Pemecahan
Masalah ... 152 Lampiran D.2 Hasil Penelitian mengenai Kemampuan K
neksi Matematis 1DAFTAR DIAGRAM
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A.1 Silabus ... 133
Lampiran A.2 RPP Alat Peraga Konkret ... 135
Lampiran A.3 RPP Alat Peraga Maya ... 152
Lampiran A.4 Lembar Aktivitas Siswa (LAS) ... 163
Lampiran B.1 Kisi-Kisi Soal Kemampuan Visual Thinking ... 205
Lampiran B.2 Format Soal Pretes dan Postes ... 212
Lampiran B.3 Format Wawancara dengan Siswa ... 215
Lampiran B.4 Format Wawancara dengan Guru... 217
Lampiran B.5 Format Lembar Observasi Aktivitas Siswa... 219
Lampiran B.6 Format Lembar Observasi Aktivitas Guru... 229
Lampiran C.1 Analisis Hasil Uji Coba Instrumen ... 249
Lampiran D.1 Hasil Penelitian Data Pretes Kemampuan Visual Thinking.... 262
Lampiran D.2 Hasil Penelitian Data Postes Kemampuan Visual Thinking.... 265
Lampiran D.3 Hasil Penelitian Data N-gain Kemampuan Visual Thinking... 268
Lampiran D.4 Rekapitulasi Data Penelitian... 271
Lampiran E.1 Dokumentasi... 278
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pesatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan mengakibatkan
derasnya arus informasi dan komunikasi yang semakin mudah diperoleh. Menurut
Herman (2007: 5) pada era informasi global ini, semua pihak memungkinkan
mendapatkan informasi secara melimpah, cepat, dan mudah dari berbagai sumber
dan dari berbagai penjuru dunia.
Diperlukan manusia-manusia yang mampu berpikir kritis, logis, sistematis,
dan kreatif guna menyaring, memperoleh, memilih, mengelola dan memanfaatkan
setiap informasi yang didapatnya sehingga menjadi sebuah pengetahuan serta alat
untuk bertindak dan mengambil keputusan yang tepat. Cara berpikir di atas dapat
dikembangkan melalui belajar matematika, karena matematika memiliki struktur
dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga memungkinkan
siswa terampil berpikir rasional. Turmudi (2009) “… penguasaan mata pelajaran matematika memudahkan siswa untuk melatih berfikir logis, analitis, sistematis,
kritis, kreatif dan inovatif yang difungsikan untuk mendukung pembentukan
kompetensi program keahlian”.
Sebagaimana diketahui bahwa hirarki matematika bersifat kaku dan ketat.
Konsep-konsep dalam matematika membutuhkan definisi, aturan dan prinsip yang
terdefinisi sebagai prasyaratnya. Hal ini tentu akan melatih cara berfikir dengan
sistematis dan teliti. Sejalan dengan pendapat Plato (dalam Sugilar, 2012) bahwa
seseorang yang baik dalam matematika akan cenderung baik pula dalam proses
berfikirnya, dan seseorang yang dilatih dalam matematika memiliki
kecenderungan menjadi pemikir yang baik.
Standar kompetensi matematika sekolah disusun sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut di atas. Standar ini dirinci dalam kompetensi dasar, indikator, dan materi pokok, untuk setiap
Bilangan dan Operasinya, Aljabar, Geometri, Pengukuran, Analisis Data dan
Probabilitas.
Geometri merupakan salah satu cabang matematika yang dipelajari di sekolah.
Materi Geometri dalam matematika SMP meliputi garis, sudut, bangun datar,
kesebangunan bangun ruang, dan Pythagoras. Materi geometri dapat memberikan
situasi kepada siswa untuk belajar struktur matematika, yaitu pengembangan
kumpulan teorema dalam sistem matematika.
Pendekatan yang digunakan dalam mengajarkan geometri biasanya cenderung
berbeda dengan materi matematika lain. Dalam mengajarkan geometri, siswa
diperkenalkan tentang belajar dengan menggunakan sistem matematika (melalui
penggunaan berbagai macam postulat atau aksioma, teorema, definisi dan
mengerjakan dengan pembuktian) dan pada saat yang sama siswa juga belajar
tentang materi geometri itu sendiri. Burger & Shaughnessy (1993:140)
menyatakan bahwa geometri merupakan lingkungan untuk mempelajari struktur
matematika.
Dengan mempelajari struktur matematika, siswa akan terlatih berpikir logis,
sistematis dan kritis. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Budiarto (2000:439)
bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah untuk mengembangkan kemampuan
berpikir logis, mengembangkan intuisi keruangan, menanamkan pengetahuan
untuk menunjang materi yang lain, dan dapat membaca serta menginterpretasikan
argumen-argumen matematik.
Geometri merupakan salah satu materi yang dapat digunakan untuk mencapai
kemampuan berpikir matematik. Tingkat berpikir siswa dalam geometri menurut
teori van Hiele lebih banyak bergantung pada isi dan metode pembelajaran. Tahap
berpikir van Hiele dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tahap 0 (Visualisasi), tahap ini juga dikenal dengan tahap dasar, tahap
rekognisi, tahap holistik, dan tahap visual.
2. Tahap 1 (Analisis), tahap ini juga dikenal dengan tahap deskriptif. Pada tahap
3. Tahap 2 (Deduksi Informal), tahap ini juga dikenal dengan tahap abstrak, tahap
abstrak/relasional, tahap teoritik, dan tahap keterkaitan. Pada tahap ini, siswa
sudah dapat melihat hubungan sifat pada suatu bangun geometri dan
sifat-sifat antara beberapa bangun geometri.
4. Tahap 3 (Deduksi), tahap ini juga dikenal dengan tahap deduksi formal. Pada
tahap ini siswa dapat menyusun bukti, tidak hanya sekedar menerima bukti.
5. Tahap 4 (Rigor), pada tahap ini siswa bernalar secara formal dalam sistem
matematika dan dapat menganalisis konsekuensi dari manipulasi aksioma dan
definisi. Saling keterkaitan antara bentuk yang tidak didefinisikan, aksioma,
definisi, teorema dan pembuktian formal dapat dipahami.
Alasan penting mempelajari geometri diungkapkan oleh Walle (1994): (a)
geometri memberikan apresiasi yang utuh; (b) eksplorasi geometrik dapat
membantu mengembangkan keterampilan pemecahan masalah; (c) geometri
memainkan peranan utama dalam bidang matematika lainnya; (d) geometri
digunakan oleh banyak orang dalam kehidupan; (e) geometri penuh dengan
tantangan dan menarik.
Lebih lanjut NCTM (2000) memaparkan empat kemampuan geometri yang
harus dimiliki siswa, yaitu:
(1) Mampu menganalisis karakter dan sifat dari bentuk geometri baik dua dimensi maupun tiga dimensi, dan mampu membangun argumen-argumen matematika mengenai hubungan geometri dengan yang lainnya;
(2) Mampu menentukan kedudukan suatu titik dengan lebih spesifik dan gambaran hubungan spasial dengan menggunakan koordinat geometri serta menghubungkannya dengan sistem yang lain;
(3) Aplikasi transformasi dan menggunakannya secara simetris untuk menganalisis situasi matematika;
(4) Menggunakan visualisasi, penalaran spasial, dan model geometri untuk memecahkan masalah.
Dalam pembelajaran geometri, kemampuan visualisasi ruang merupakan
kemampuan yang harus dimiliki siswa sebagaimana yang direkomendasikan
membayangkan bentuk dan posisi suatu objek geometri yang dipandang dari sudut
pandang tertentu. Dalam bukunya, Giaquinto (2007:50) mengatakan bahwa “visual imagination seems to play an important role in extending geometrical knowledge”. Sejalan dengan Giaquinto, Dwirahayu (2013) mengatakan bahwa
kemampuan visual merupakan salah satu kemampuan dasar dalam berpikir spasial
(keruangan) yang mendukung pada pemahaman konsep matematika, khususnya
pada bidang kajian geometri.
Visualisasi adalah aktivitas mempersepsi, mengkonstruksi atau
merepresentasikan konsep matematika untuk menanamkan pemahaman konsep
matematika yang kuat sehingga dapat membantu mendapatkan strategi yang tepat
dalam pemecahan masalah matematis. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Bartoline (dalam Idris, 2006) rendahnya kemampuan visualisasi siswa akan
menyebabkan siswa tidak dapat menyelesaikan masalah matematika dengan baik.
Hal ini dipertegas oleh Guzman (2002) yang mengatakan bahwa visualisasi
merupakan aspek yang sangat penting dalam matematika dan sangat berguna
dalam banyak tugas yang berkaitan dengan matematisasi, tidak hanya geometri
atau yang berhubungan langsung dengan aspek keruangan, tetapi juga aspek lain
seperti analisis matematis.
Visualisasi dapat mempermudah memahami masalah, memberikan gambaran
umum penyelesaian masalah dan menganalisis permasalahan serta memahami
bagaimana unsur-unsur dalam masalah matematika. Sebagaimana yang
dikemukakan Nurdin (2012) bahwa visualisasi memungkinkan siswa
mengidentifikasi masalah dalam bentuk yang lebih sederhana, menemukan
hubungan (koneksi), pemecahan masalah dan kemudian memformalkan
pemahaman masalah yang diberikan serta mengidentifikasi metode yang
digunakan untuk masalah yang serupa. Hal ini dipertegas oleh Giaquinto (2007)
mengatakan bahwa visualisasi dapat menggambarkan kasus definisi, sehingga
memberikan kita pemahaman yang lebih jelas tentang aplikasi, membantu kita
beberapa penalaran yang diberikan kalimat demi kalimat, juga memberi gambaran
proposisi untuk penyelidikan atau ide untuk bukti.
Visualisasi diharapkan dapat menjadi jembatan dalam merepresentasikan
konsep-konsep matematika agar lebih mudah dipahami. Kemampuan berpikir
dalam matematika untuk menyatakan kedudukan antara unsur-unsur suatu bangun
ruang, mengkonstruksi dan merepresentasikan model-model geometri yang
digambar pada bidang datar, serta menduga dan menentukan ukuran yang
sebenarnya dari stimulus visual objek. Kemampuan matematika inilah yang
disebut dengan kemampuan berfikir visual (visual thinking).
Visual thinking adalah aktivitas dalam matematika untuk merepresentasikan,
mengkomunikasikan, membayangkan dan membuktikan informasi visual dari
objek nyata/gambar. Visual thinking didefinisikan oleh Hershkowitz (1998)
sebagai kemampuan merepresentasikan, mentransformasikan,
menggeneralisasikan, mengkomunikasi, mendokumentasikan dan merefleksikan
objek atau benda menjadi informasi visual. Lebih lanjut, Wileman (Stokes, 2001)
mendeskripsikan visual thinking sebagai kemampuan untuk mengubah informasi
dari semua jenis ke dalam gambar, grafik atau bentuk-bentuk lain yang dapat
membantu mengkomunikasikan informasi.
Visual thinking mempunyai hubungan positif dengan materi geometri di
dalam pembelajaran matematika. Visual thinking dalam pembelajaran geometri
dapat mendorong kemampuan pengorganisasian dalam proses memahami,
mengkomunikasikan informasi dan mengingat konsep-konsep geometri secara
lebih bermakna. Hal ini juga diamini oleh pendapat yang diungkapkan Bishop
(dalam Saragih, 2000), kemampuan visual thinking dalam geometri merupakan
kemampuan menginterpretasikan informasi yang melibatkan gambar-gambar yang
relevan, dan kemampuan untuk memproses visual, melibatkan perhitungan
transformasi visual yang relevan.
Hal ini dipertegas oleh pendapat Ismi dan Hidayatullloh (2011) yang
menyatakan bahwa visual thinking memegang peranan penting dalam
Sebab siswa yang belajar tanpa mengandalkan visual thinking, rawan mengalami
miskonsepsi (kesalahan konsep). Contohnya, ketika siswa dihadapkan pada
konsep kerucut, siswa menganggap bahwa kerucut memiliki titik sudut. Lebih
lanjut Nurdin (2012) menegaskan bahwa melalui visual thinking, penyelesaian
masalah dapat diperoleh, bahkan tanpa melakukan perhitungan. Hal ini
menjelaskan bahwa visual thinking adalah kemampuan untuk membayangkan
dari objek visual.
Namun fakta di lapangan menunjukkan rendahnya kemampuan matematika
siswa pada topik geometri berdasarkan beberapa penelitian, yaitu;. Husaeni,
(2006:1) menunjukkan bahwa prestasi geometri siswa SD masih rendah,
sedangkan penelitian Sunardi (2001) menyatakan bahwa di SMP ditemukan
bahwa masih banyak siswa yang belum memahami konsep-konsep geometri.
Sementara Madja (Abdussakir, 2010) mengemukakan bahwa hasil tes geometri
siswa SMU kurang memuaskan jika dibandingkan dengan materi matematika
lainnya.
Hasil survey Programme for International Student Assessment (PISA)
2000/2001 menunjukkan bahwa siswa lemah dalam geometri, khususnya dalam
pemahaman ruang dan bentuk. Hasil terbaru dari Trends International
Mathematics Science Study (TIMSS) tahun 2011 menunjukkan bahwa penguasaan
matematika siswa Indonesia kelas delapan SMP berada di peringkat ke-38 dari 45
negara. Topik soal yang diujikan adalah domain konten geometri mengenai
bentuk-bentuk geometri, pengukuran, letak dan perpindahan. Kondisi ini
menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa Indonesia, khususnya di
jenjang SMP belum optimal.
Dari penelitian-penelitian tersebut ditemukan bahwa penguasaan konsep
geometri siswa relatif masih rendah. Kelemahan siswa dalam menyelesaikan
masalah geometri antara lain disebabkan karena lemahnya keterampilan dasar
geometri yang meliputi: keterampilan visual, verbal, menggambar, logika dan
terapan. Hal ini pula dialami oleh siswa SMPN 1 Jatiwangi Kabupaten
dalam materi bangun ruang sisi lengkung, masih banyak ditemukan kekeliruan
dalam menyelesaikan soal-soal tentang bangun ruang sisi lengkung, salah satunya
adalah kesalahan dalam memahami konsep dasar mengenai kerucut. Siswa
menganggap bahwa kerucut memiliki titik sudut. Selain itu, banyak juga siswa
yang masih salah dalam menentukan rumus yang hendak digunakan.
Hal ini dapat disebabkan siswa kurang memahami konsep secara benar dan
lebih cenderung hanya menghafalkan rumus. Rendahnya kompetensi siswa dalam
matematika terutama dalam materi geometri, patut diduga karena siswa kesulitan
didalam mengkonstruksi secara rinci bangun ruang geometri yang dilihatnya.
Dengan kata lain siswa memiliki kemampuan visual thinking yang rendah dalam
melihat dan memahami gambar atau objek yang diberikan. Hal ini didukung oleh
hasil penelitian yang dilakukan Kariadinata (2010) bahwa pada umumnya siswa
merasa kesulitan dalam mengkonstruksi bangun ruang geometri.
Rendahnya kemampuan dalam mengkonstruksi konsep dalam geometri dari
hasil penelitian TIMSS disebabkan oleh penekanan pembelajaran geometri oleh
guru cenderung pada pemberian informasi yang sifatnya mekanis dan menghafal.
Turmudi (2008:11) memandang bahwa pembelajaran matematika selama ini
kurang melibatkan siswa secara aktif, sebagaimana dikemukakannya bahwa “pembelajaran matematika selama ini disampaikan kepada siswa secara informatif, artinya siswa hanya memperoleh informasi dari guru saja sehingga derajat “kemelekatannya” juga dapat dikatakan rendah”
Pembelajaran matematika yang kurang melibatkan siswa secara aktif akan
menyebabkan siswa tidak dapat menggunakan kemampuan matematikanya secara
optimal dalam pembelajaran matematika. Pada akhirnya siswa mempelajari
matematika dengan menghapal rumus atau konsep sehingga menyebabkan
verbalisme bahkan tidak jarang menjadi miskonsepsi sehingga siswa mudah lupa
dan kebingungan dalam memecahkan suatu permasalahan matematis, sehingga
mengakibatkan pembelajaran tidak efektif.
Hal ini pun sesuai dengan penelitian Wahyudin (1999) yang menunjukkan
(1999) menemukan lima kelemahan yang ada pada siswa antara lain: kurang
memiliki pengetahuan prasyarat yang baik, kurang memiliki kemampuan untuk
memahami serta mengenali konsep-konsep dasar matematika (aksioma, definisi,
kaidah, teorema) yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang dibicarakan,
kurang memilki kemampuan dan ketelitian dalam menyimak atau mengenali
sebuah persoalan atau soal-soal matematika yang berkaitan dengan pokok bahasan
tertentu, kurang memiliki kemampuan menyimak kembali sebuah jawaban yang
diperoleh (apakah jawaban itu mungkin atau tidak), dan kurang memilki
kemampuan nalar yang logis dalam meyelesaikan persoalan atau soal-soal
matematika.
Seperti kita ketahui, sejauh ini pembelajaran dengan metode ekspositori
menjadi pilihan utama dalam pembelajaran matematika. Lebih lanjut Soedjadi
(dalam Nurlaela, 2012) menilai bahwa selama ini sebagian besar guru matematika
cenderung melaksanakan praktek pengajaran yang monoton kepada siswanya
dengan tahap-tahap: menyajikan teori, definisi atau teorema dilanjutkan dengan
memberikan contoh dan diakhiri dengan latihan soal-soal. Selanjutnya data hasil
penelitian dari PUSKUR menunjukkan fakta serupa, ternyata metode ceramah
dengan guru menulis di papan tulis merupakan metode yang paling sering
digunakan (Kaswan, 2005:1).
Praktek pendidikan yang memperlakukan siswa sebagai objek akan
mengakibatkan ketidakleluasaan siswa untuk mengembangkan ide-ide kreatif,
mengakibatkan berkurangnya minat siswa dalam belajar, kurangnya kesempatan
untuk mengkonstruksi pemahamannya tentang konsep matematika dalam
menemukan berbagai alternatif pemecahan masalah. Sehingga mengakibatkan
pembelajaran tidak efektif dan kurang tepat sasaran.
Menjadikan siswa sebagai subjek pembelajaran akan meningkatkan
keterlibatan siswa. Hal ini akan berdampak positif kepada siswa dalam
menemukan dan membangun pengetahuannya sendiri. Sehingga pemahamannya
tentang konsep akan bermakna dan tahan lama. Hal ini akan mampu mendongkrak
Eggen dan Kauchak (dalam Fanyadhiba, 2011) menyatakan bahwa suatu
pembelajaran akan efektif bila siswa secara aktif dilibatkan dalam
pengorganisasian dan penemuan informasi (pengetahuan).
Sudah seharusnya kita mengupayakan berbagai alternatif dan inovasi dalam
rangka meningkatkan kemampuan matematika siswa Indonesia. Termasuk dalam
peningkatan kemampuan berfikir visual (visual thinking) siswa dalam
pembelajaran geometri. Kemampuan visual thinking memiliki hubungan yang erat
dengan kemampuan pemahaman konsep-konsep matematika. Siswa yang
memiliki kemampuan visual thinking yang baik akan berpengaruh signifikan
terhadap penguasaan konsep matematika secara mantap.
Maka dalam menyampaikan konsep matematika yang abstrak dan teoritis
dibutuhkan media pembelajaran yang dapat menginterpretasikan konsep
matematika tersebut menjadi lebih konkret, sehingga dapat dipahami oleh siswa.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Dale (dalam Sanjaya, 2012) yang mengatakan
bahwa pengetahuan akan semakin abstrak apabila hanya disampaikan melalui
bahasa verbal.
Media pembelajaran dapat diartikan sebagai semua benda yang menjadi
perantara terjadinya proses belajar, dapat berwujud perangkat lunak, maupun
perangkat keras. Hal ini diperkuat oleh pendapat Hamalik (2003) yang
mengemukakan bahwa pemakaian media pembelajaran dapat membangkitkan
keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi, dan rangsangan
kegiatan belajar, dan akan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap
siswa.
Kusumah (2012) mengatakan bahwa “media adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima untuk merangsang pikiran,
perasaan, perhatian, dan minat siswa sehingga terjadi proses belajar”. Lebih lanjut
Kusumah menjabarkan kegunaan media dalam pembelajaran matematika, yaitu (1)
memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistik; (2) mengatasi
keterbatasan ruang, waktu dan daya indera; (3) menimbulkan kegairahan belajar;
dan kenyataan; (5) memungkinkan siswa belajar mandiri; (6) memberikan
perangsang yang sama; (7) mempersamakan pengalaman; (8) menimbulkan
persepsi yang sama.
Dari pemaparan di atas, penggunaan media dalam pembelajaran matematika
dapat menjadi alat bantu dalam menyampaikan konsep-konsep matematika yang
abstrak sehingga mudah dipahami oleh siswa. Selain itu, dapat menumbuhkan
motivasi atas keterlibatannya dalam pembelajaran, sehingga siswa akan
mengingat apa yang telah dilakukannya dalam jangka waktu yang lama.
Berdasarkan fungsinya media pengajaran dapat berbentuk alat peraga dan
sarana. Alat peraga adalah bagian dari media pembelajaran. Menurut Estiningsih
(Pujiati, 2004) alat peraga merupakan media pengajaran yang mengandung atau
membawakan ciri-ciri dari konsep yang dipelajari.
Alat peraga adalah alat bantu untuk menjelaskan atau mewujudkan konsep
matematika di dalam kegiatan mendidik atau mengajar supaya yang diajarkan
mudah dimengerti anak didik (Ruseffendi, 1992: 141). Penggunaan alat peraga
mampu memfasilitasi siswa dalam belajar matematika, selain kemampuan
mengenal, memahami, dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip dan ide
matematika, kemampuan menyelesaikan masalah matematika, kemampuan
bernalar matematika, dan kemampuan melakukan koneksi matematika. “Students can use the visual models to develop computation skills or solve contextual problems” (Blanke, 2008).
Alat peraga matematika adalah seperangkat benda konkret yang dirancang,
dibuat, dihimpun atau disusun secara sengaja yang digunakan untuk membantu
menanamkan atau mengembangkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam
matematika (Iswadji, 2003:1). Salah satu aspek yang dapat membantu siswa
dalam memahami konsep matematika yang abstrak dan teoritis adalah dengan
menggunakan alat peraga, sehingga mengurangi terjadinya verbalisme. Hal ini
pun diamini oleh Aprianto (2008b) dengan peragaan dapat meletakkan dasar-dasar
Keuntungan menggunakan alat peraga dalam pembelajaran matematika
adalah melibatkan siswa secara aktif dan memberikan pengalaman yang nyata dan
diharapkan dapat bertahan lama dalam ingatan. Selain itu, efektivitas belajar siswa
dapat meningkat karena pembelajaran yang menggunakan alat peraga dapat
mengoptimalkan fungsi seluruh panca indra siswa (Pujianti, 2004:1). Dalam
penggunaan alat peraga mampu memfasilitasi siswa dalam belajar matematika,
selain kemampuan mengenal, memahami, dan menerapkan konsep, prosedur,
prinsip, dan ide matematika, kemampuan menyelesaikan masalah matematika,
kemampuan bernalar matematika, dan kemampuan melakukan koneksi
matematika.
Alat peraga yang pada umumnya sering digunakan adalah alat peraga yang
dapat dilihat dan dipegang (konkret). Alat peraga seperti ini disebut alat peraga
konkret. Jadi alat peraga konkret adalah benda-benda konkret yang digunakan
untuk memvisualisasikan dalam tiga dimensi fakta, konsep, prinsip, atau prosedur
matematika agar menjadi lebih konkret.
Berbagai inovasi dalam pembelajaran matematika selalu mengarah pada
pembelajaran yang mengaktifkan siswa seoptimal mungkin untuk mencapai
tujuan-tujuan belajarnya. Pembelajaran inovatif ini berbeda dengan pembelajaran
konvensional, setidaknya bisa dilihat dari dua hal. Pertama, pembelajaran inovatif
lebih terpusat pada siswa, dan kedua, pembelajaran inovatif tidak saja diarahkan
untuk mencapai tujuan akademik saja, namun juga tujuan afektif atau sosial.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, penggunaan alat peraga dalam dunia
pendidikan semakin maju, tidak hanya terbatas pada penggunaan alat peraga yang
bersifat konkret. Namun sudah mulai memasyarakat penggunaan alat peraga
berbasis komputer. National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) (dalam
Ardhi, 2007) mengatakan bahwa elektronika seperti kalkulator dan komputer
merupakan alat esensial untuk kegiatan seperti belajar mengajar dan melakukan
aktivitas matematika.
Kehadiran dan kemajuan teknologi telah hadir di hadapan kita untuk
memberikan peluang dan perluasan interaksi serta mempermudah komunikasi
antara guru dan siswa dalam penyampaian informasi materi. Dengan penggunaan
sumber belajar dan alat penyampaian materi matematika yang beragam diikuti
kemajuan teknologi yang sangat menarik apabila diterapkan dalam proses belajar,
pembelajaran matematika menjadi menyenangkan, mudah dimengerti atau tidak
abstrak lagi dan juga tidak monoton.
Alat peraga maya (virtual manipulative) adalah sebuah media dalam
pembelajaran matematika yang berbasiskan teknologi komputer dengan
representasi visual objek dinamis untuk membangun pengetahuan matematika.
Alat peraga maya (virtual manipulative) ini bukan alat untuk membantu siswa
menyelesaikan soal-soal matematika.
Penggunaan alat peraga ini hanyalah untuk membantu siswa dalam
memahami konsep matematika, dan diharapkan mengkonstruksikan ide,
pengetahuan, fakta, prosedur untuk menyelesaikan masalah matematika. Menurut
Moyer, et.al (2002) virtual manipulative pada intinya sama dengan concret
manipulative yaitu penggunaan objek konkret yang bisa digerak-gerakan
walaupun dalam hal ini menggunakan mouse, atau dengan kata lain virtual
manipulative adalah alat peraga yang berbantuan komputer.
Di dalam dunia pendidikan, komputer yang dimanfaatkan sebagai media
untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yaitu menjadi alat peraga.
Sebagai alat peraga komputer memiliki keunggulan dalam hal interaksi,
menumbuhkan minat belajar mandiri serta dapat disesuaikan dengan kebutuhan
siswa. Penggunaan alat peraga berbasis komputer yang dirancang secara interaktif
dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Diana (2011) mengatakan bahwa “ketersediaan alat peraga berbasis komputer juga berdampak pada bagaimana siswa belajar matematika, melakukan percobaan, berpikir logis dan
mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, serta dapat mengembangkan
kosa kata matematika dan bahasa
Perlu diketahui bahwa mungkin tidak semua materi matematika dapat
berbasis komputer, tetapi setidaknya guru mempunyai alternatif baru dalam
pembelajaran matematika. Selama ini guru lebih cenderung menulis di papan tulis
untuk menyampaikan konsep matematika kepada siswa. Hal ini mengakibatkan
siswa hanya menghapal rumus yang diberikan, sehingga menimbulkan verbalisme
dalam mempelajari konsep-konsep matematika.
Dengan semakin banyaknya alat peraga sebagai media pembelajaran
alternatif, timbul pertanyaan mana yang lebih efektif dalam pembelajaran
matematika menggunakan alat peraga konkret atau alat peraga maya (virtual
manipulative)? Berdasarkan hal tersebut, penulis terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul “Perbandingan Efektivitas Penggunaan Alat Peraga Konkret dengan Alat Peraga Maya (Virtual Manipulative) terhadap Peningkatan
Visual Thinking Siswa”. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kualitas pencapaian visual thinking siswa yang menggunakan
alat peraga konkret dalam pembelajaran matematika?
2. Bagaimanakah kualitas pencapaian visual thinking siswa yang menggunakan
alat peraga maya (virtual manipulative) dalam pembelajaran matematika?
3. Bagaimanakah kualitas peningkatan visual thinking siswa yang menggunakan
alat peraga konkret dalam pembelajaran matematika?
4. Bagaimanakah kualitas peningkatan visual thinking siswa yang menggunakan
alat peraga maya (virtual manipulative) dalam pembelajaran matematika?
5. Apakah terdapat perbedaan kualitas peningkatan visual thinking siswa antara
yang menggunakan alat peraga konkret dengan alat peraga maya (virtual
manipulative) dalam pembelajaran matematika?
6. Bagaimanakah aktivitas siswa yang menggunakan alat peraga konkret
terhadap kualitas peningkatan visual thinking dalam pembelajaran
7. Bagaimanakah aktivitas siswa yang menggunakan alat peraga maya (virtual
manipulative) terhadap kualitas peningkatan visual thinking dalam
pembelajaran matematika?
8. Bagaimanakah tingkat efektivitas penggunaan alat peraga konkret dan alat
peraga maya (virtual manipulative) terhadap kualitas peningkatan visual
thinking siswa dalam pembelajaran matematika?
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya
peningkatkan visual thinking siswa dalam pembelajaran matematika dengan
menggunakan alat peraga. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui kualitas pencapaian visual thinking siswa yang
menggunakan alat peraga konkret dalam pembelajaran matematika
2. Untuk mengetahui kualitas pencapaian visual thinking siswa yang
menggunakan alat peraga maya (virtual manipulative) dalam pembelajaran
matematika.
3. Untuk mengetahui kualitas peningkatan visual thinking siswa yang
menggunakan alat peraga konkret dalam pembelajaran matematika
4. Untuk mengetahui kualitas peningkatan visual thinking siswa yang
menggunakan alat peraga maya (virtual manipulative) dalam pembelajaran
matematika.
5. Untuk mengetahui perbedaan kualitas peningkatan visual thinking siswa
antara yang menggunakan alat peraga konkret dengan alat peraga maya
(virtual manipulative) dalam pembelajaran matematika
6. Untuk mengetahui aktivitas siswa yang menggunakan alat peraga konkret
terhadap kualitas peningkatan visual thinking dalam pembelajaran
matematika
7. Untuk mengetahui aktivitas siswa yang menggunakan alat peraga maya
(virtual manipulative) terhadap kualitas peningkatan visual thinking dalam
8. Untuk mengetahui efektivitas penggunaan alat peraga konkret dan alat peraga
maya (virtual manipulative) terhadap kualitas peningkatan visual thinking
siswa dalam pembelajaran matematika.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berarti dalam
memperbaiki mutu pendidikan matematika di kelas, khususnya untuk
meningkatkan visual thinking siswa. Diharapkan juga dapat diaplikasikan dan
dikembangan menjadi lebih baik dalam pembelajaran matematika.
Masukan-masukan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1. Bagi siswa
Pembelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan visual thinking siswa dalam pembelajaran
matematika.
2. Bagi guru
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan variasi strategi
pembelajaran matematika agar dapat diaplikasikan dan dikembangkan
menjadi baik sehingga dapat meningkatkan kemampuan visual thinking siswa
dalam pembelajaran matematika.
3. Bagi sekolah
Sebagai bahan masukan dalam rangka mengembangkan kemampuan visual
thinking dalam pembelajaran matematika yang erat kaitannya dengan
pembelajaran matematika.
4. Bagi peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efektivitas
pembelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga untuk
meningkatkan visual thinking dalam pembelajaran matematika.
Untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran dalam memahami
istilah-istilah yang terdapat pada penelitian ini, penulis menetapkan beberapa
definisi operasional, yaitu :
1. Efektivitas
Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu taraf/tingkatan yang
menunjukkan tingkat keberhasilan pencapaian kompetensi tujuan pada
bidang studi. Keefektifan pengajaran didukung oleh komponen
pengajaran yang dilakukan guru. Cara mengukur efektivitas pembelajaran
diperoleh dari selisih rata-rata gain ternormalisasi dari kedua kelas dibagi
jumlah dari deviasi standar kedua kelas.
2. Alat Peraga Konkret
Alat peraga konkret adalah alat bantu yang dibuat dari benda-benda
konkret untuk dapat menyampaikan konsep matematika yang sulit
dipahami secara real.
3. Alat Peraga Maya (Virtual Manipulative)
Alat peraga maya (virtual manipulative) adalah media pembelajaran
interaktif yang berbasiskan komputer dari sebuah objek dinamis untuk
membangun pengetahuan matematika.
4. Visual Thinking
Visual thinking adalah proses berfikir analitis dalam memahami,
menafsirkan dan memproduksi pesan secara visual dari semua jenis
informasi kemudian mengubahnya ke dalam bentuk gambar, grafik atau
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode dan Desain Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang digunakan dalam penulisan penelitian. Pada
penelitian ini ada dua kelompok subjek eksperimen yang diberikan perlakuan berbeda,
yaitu kelompok eksperimen pertama melakukan pembelajaran dengan menggunakan
alat peraga konkret (kelas konkret) dan kelompok eksperimen kedua melakukan
pembelajaran dengan menggunakan alat peraga maya (virtual manipulative) (kelas
maya). Kedua kelompok ini diberikan pretes dan postes dengan menggunakan
instrument yang sama. Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment, dengan
pertimbangan bahwa kelompok yang sudah ada sebelumnya tidak dibentuk menjadi
kelompok baru, dengan kata lain random yang digunakan bukan random sebenarnya,
tetapi random kelas (acak kelas). Menurut Ruseffendi (2005) pada kuasi eksperimen,
subjek tidak dikelompokkan secara acak, tetapi menerima keadaan subjek apa adanya.
Desain penelitiannya adalah perbandingan kelompok statik yang dapat digambarkan
sebagai berikut:
Keterangan:
O : Pretes dan Postes
: Pembelajaran dengan alat peraga konkret
: Pembelajaran dengan alat peraga maya (virtual manipulative)
Data penelitian ini dianalisis secara kuantitatif. Tujuan dari metode penelitian ini
adalah untuk mengetahui perbedaan peningkatan visual thinking siswa SMP sebagai
akibat dari suatu pembelajaran. Kedua kelas merupakan kelompok eksperimen yang
diberi perlakuan berbeda dengan menggunakan dua alat peraga yang berbeda, yaitu
a. Variebel Penelitian
1) Varibel Bebas
Yang dimaksud variabel bebas dalam penelitian ini adalah perlakuan yang
diberikan secara bebas pada kelas eksperimen. Penggunaan alat peraga
konkret ( ) dan alat peraga maya (virtual manipulative) ( ) merupakan
varibel bebas.
2) Variabel Terikat
Sementara itu, variabel terikat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
variable yang hasilnya dipengaruhi oleh variabel bebas, yaitu visual thinking
( ).
Hubungan antar variabel dapat dilihat bagan dibawah ini;
Diagram 3.1
Hubungan antar Variabel
b. Operasional Variabel Penelitian
Berdasarkan kerangka berfikir yang telah dijabarkan, maka variabel dalam
penelitian ini terdiri dari variabel bebas, yaitu; Alat Peraga Konkret dan Alat
Peraga Maya (Virtual Manipulative) serta variabel terikat, yaitu Visual Thinking.
Untuk menghindari salah penafsiran dalam penelitian dan untuk memudahkan
dalam memperoleh data, maka variabel bebas dan variabel terikat dioprasionalkan
dalam bentuk indikator-indikator sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian.
Operasionalisasi variabel tersebut dirinci ke dalam kolom variabel, kolom
Tabel 3.1
Operasional Variabel Penelitian
Variabel Dimensi Indikator
Alat Peraga 4. Menyajikan konsep abstrak dalam
bentuk konkret
3. Kendali belajar di tangan siswa 4. Melakukan belajar mandiri atau menjiplak bangun geometri;
Mendeskripsikan
Menyelesaikan soal rutin
1. Siswa mengidentifikasi bangun geometri berdasarkan penampakannya secara utuh: (a) gambar sederhana, diagram atau seperangkat guntingan dalam posisi yang berbeda; (b) bentuk dan konfigurasi lain yang lebih kompleks
2. Siswa melukis, menggambar, atau menjiplak bangun geometri; 3. Secara verbal, siswa
mendeskripsikan bangun geometri dengan penampakannya secara utuh;
5. Siswa mengidentifikasi bagian-bagian bangun geometri.
B. Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Sugiyono (2012) menyatakan
bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan peneliti dan kemudian
ditarik kesimpulannya.
Penggunaaan alat peraga dapat diberikan di semua jenjang pendidikan
disesuaikan dengan tingkat kemampuan berfikir siswa dan karakteristik materi
pembelajaran, baik di sekolah dasar, sekolah menengah, maupun pendidikan tinggi di
Indonesia. Tetapi, dikarenakan masalah dalam penelitian ini adalah mengenai
rendahnya kemampuan visual thinking siswa pada tingkat sekolah menengah pertama,
maka subjek yang diambil adalah siswa sekolah menengah pertama.
Selanjutnya melihat keefektifan waktu, biaya, tenaga yang dimiliki oleh peneliti
dan untuk memudahkan dalam mengontrol penelitian, maka penelitian ini dilakukan
di Provinsi Jawa Barat. Dengan pertimbangan, berdasarkan hasil tes yang
diselenggarakan oleh Puspendik merilis nilai rata-rata Ujian Nasional matematika
SMP tahun ajaran 2011/2012 di Provinsi jawa Barat menempati urutan ke-2 tertinggi
skala Nasional dengan kata lain sama atau mendekati nilai rerata UN Nasional.
Dari semua kota/kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Barat, dipilih Kabupaten
Majalengka sebagai tempat penelitian. Hal ini mengingat Kabupaten Majalengka
merupakan tempat peneliti berdomisili, dan berdasarkan hasil observasi pendahuluan
di Kabupaten tersebut.
Dari semua sekolah yang ada di Kabupeten Majalengka dipilihlah SMPN 1
Jatiwangi, karena SMP tersebut memiliki nilai rata-rata UN matematika SMP yang
mendekati nilai rata-rata UN matematika Provinsi Jawa Barat yaitu 7,50. Berdasarkan
sisi lengkung, masih banyak ditemukan kekeliruan dalam memahami konsep tentang
bangun ruang sisi lengkung. Selain itu, banyak juga siswa yang masih salah dalam
menentukan rumus yang hendak digunakan. Selain itu, sekolah tersebut juga terdapat
laboratorium komputer, elemen yang penting dalam penelitian ini.
Dari tiga tingkatan kelas yang ada di SMP tersebut yaitu kelas VII, kelas VIII
dan kelas IX, yang dijadikan objek penelitian adalah kelas VIII. Adapun
pertimbangannya adalah (a) telah banyak memperoleh materi prasyarat untuk materi
yang dijadikan objek penelitian; (b) terdapat pokok bahasan yang dianggap tepat
untuk digunakan dalam penelitian; (c) siswa kelas VIII merupakan siswa yang
terbilang masih cocok menggunakan alat peraga konkret berdasarkan kemampuan
cara berfikirnya yang pada umumnya siswa masih berada pada tahap berfikir
operasional konkret. Maka, dipilihlah kelas VIII SMPN 1 Jatiwangi sebagai populasi
penelitian.
Sampel adalah bagian dari jumah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi,
Sugiyono (2012). Pemilihan sampel penelitian menggunakan teknik purposive
sampling. Peneliti menerima keadaan sampel yang diambil berdasarkan pertimbangan
tertentu. Menurut Sugiyono (2012) pengambilan sampel dengan cara purposive
sampling merupakan teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu.
Sampel yang diambil dalam penelitian ini sebanyak dua kelas, satu kelas adalah
kelas eksperimen dengan menggunakan media pembelajaran alat peraga konkret dan
satu kelas eksperimen dengan menggunakan media pembelajaran alat peraga maya
(virtual manipulative). Jadi, sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMPN 1
Jatiwangi kelas VIII yang dipilih secara acak menurut kelas. Didapat kelas VIII-E
sebagai kelas eksperimen dengan menggunakan alat peraga konkret dan kelas VIII-F
sebagai kelas eksperimen dengan menggunakan alat peraga maya (virtual
C. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di SMPN 1 Jatiwangi Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa
Barat. Penelitian ini dilaksanakan sejak 6 Mei 2013 sampai dengan 1 Juni 2013.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah tes kemampuan visual thinking
dalam pembelajaran matematika berupa tes uraian dan instrument non tes berupa
lembar observasi dan wawancara untuk mengetahui sikap siswa dalam pembelajaran
matematika dengan menggunakan alat peraga. Sebelum dipergunakan sebagai alat
pengumpul data, terlebih dahulu diujicobakan kepada kelas yang telah mempelajari
pokok bahasan yang diteskan. Uji coba instrument tes bertujuan untuk mengetahui
validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran tes tersebut. Sementara itu,
instrument non tes, ujicoba dilakukan untuk melakukan pembobotan pada tiap butir
sikap dalam pembelajaran. Dengan adanya analisis instrument, peneliti bisa
mengetahui apakah perangkat tersebut sudah memenuhi syarat untuk penelitian atau
belum, jika sudah memenuhi syarat maka instrument tersebut dapat diterapkan di
lapangan.
a. Tes Kemampuan Visual Thinking.
Tes yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes awal dan tes akhir. Jenis
tes yang digunakan dalam pembelajaran ini yaitu tes tipe subjektif (uraian). Hal ini
mengingat visual thinking merupakan kemampuan individu dan memerlukan ruang
gerak yang lebih luas bagi siswa dalam mengemukakan pendapat, penilaian, serta
penjelasannya terhadap materi yang dipelajari. Sehingga tepat kiranya
menggunakan jenis tes ini. Agar tercipta keseimbangan, maka tipe tes uraian ini
digunakan untuk kedua kelompok sampel, yaitu untuk kelompok alat peraga
konkret dan kolompok alat peraga maya (virtual manipulative). Selain berbagai
menyelesaikan soal matematika terlihat dengan jelas, melalui tes ini dapat terlihat
pula sejauh mana kemampuan visual thinking yang dimiliki siswa.
Selain itu, tes bentuk uraian memiliki beberapa kelebihan seperti yang
dikemukakan oleh Suherman dkk (2003: 77) yaitu diantaranya:
1. Pembuatan soal bentuk uraian relatif lebih mudah dan dapat dibuat dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama.
2. Karena dalam menjawab soal bentuk uraian siswa dituntut untuk menjawabnya secara rinci, maka proses berfikir, ketelitian, sistematika penyusunan dapat dievaluasi. Terjadinya bias hasil evaluasi dapat dihindari karena tidak ada sistem tebakan atau untung-untungan. Hasil evaluasi lebih dapat mencerminkan kemampuan siswa sebenarnya.
3. Proses pengerjaan tes akan menimbulkan kreativitas dan aktivitas positif siswa, karena tes tersebut menuntut siswa agar berfikir secara sistematik, menyampaikan pendapat dan argumentasi, mengaitkan fakta-fakta yang relevan.
Tes untuk mengukur visual thinking siswa berjumlah 7 butir soal. Indikator
dari aspek visual thinking pada perangkat soal dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut:
Tabel 3.2
Indikator Visual Thinking pada Soal Tes
Aspek Indikator yang Diukur No.
Soal
Visual Thinking
Melukis, menggambar, atau menjiplak bangun geometri 2 Mengidentifikasi bangun geometri berdasarkan
penampakannya secara utuh: (a) gambar sederhana, diagram atau seperangkat guntingan dalam posisi yang berbeda; (b) bentuk dan konfigurasi lain yang lebih kompleks.
3a
Secara verbal, siswa mendeskripsikan bangun geometri
dengan penampakannya secara utuh 3b
Mengidentifikasi bagian-bagian bangun geometri 1 Menyelesaikan soal rutin dengan mengoprasikan
Sebelum soal tes kemampuan visual thinking digunakan, terlebih dahulu
untuk melihat validitas isi dan validitas muka.
Validitas muka yang dimaksudkan adalah kejelasan bahasa/redaksional dan
gambar/representasi dari setiap butir tes yang diberikan. Sedangkan validitas isi
yang dimaksudkan adalah kesesuaian materi tes dengan kisi-kisi tes, indikator
kemampuan yang diukur dan tingkat kesukaran untuk siswa.
Pemeriksaaan validitas muka dikonsultasikan kepada dosen pembimbing.
Selain itu, pemeriksaan validitas muka juga dilakukan oleh orang yang dipandang
ahli, yaitu dosen matakuliah geometri, guru matematika di sekolah yang
bersangkutan dan rekan dari S2 pendidikan matematika
Selanjutnya soal tes diujicobakan pada siswa diluar sampel penelitian, yaitu
siswa kelas IX sebanyak 33 orang yang telah terlebih dahulu mendapatkan
pembelajaran mengenai materi Bangun Ruang Sisi Lengkung. Ujicoba soal tes
dilaksanakan pada tanggal 17 April 2013. Setelah ujicoba soal tes dilaksanakan,
kemudian dilakukan analisis mengenai validitas butir soal, reliabilitas tes, daya
pembeda dan indeks kesukaran.
Adapun teknik penskoran kemampuan visual thinking matematika adalah
mengacu kepada kriteria penskoran Holistic Scoring Rubriks yang dikemukanan
oleh Cai, Lane dan Jakabcsin (dalam Ansari, 2003) yang kemudian dimodifikasi
dari kriteria penskoran visualisasi geometri sebagai berikut:
Tabel 3.3
Kriteria Penskoran Visualisasi Geometri
Skor Kriteria Visualisasi Geometri
3 Semua penjelasan lengkap dan merupakan representasi dari pertanyaan yang diberikan
1 Penjelasan yang diberikan hanya sedikit mengandung penjelasan
0 Tidak ada jawaban sama sekali
Dalam penelitian ini kriteria penskoran visual thinking berpedoman pada
kriteria penskoran visualisasi geometri yang telah dimodifikasi sebagai berikut:
Tabel 3.4
Kriteria Penskoran Visual Thinking
Indikator yang Diukur Respon Siswa terhadap Soal Skor Skor Mak bangun geometri dengan lengkap dan merupakan representasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan
3
9 Melukis, menggambar, atau menjiplak
bangun geometri kurang lengkap dan kurang merepresentasi dari pertanyaan
Tidak ada jawaban sama sekali 0 Mengidentifikasi
dengan kurang lengkap dan kurang merepresentasi dari pertanyaan sesuai
lebih kompleks.
dengan kurang lengkap dan kurang merepresentasi dari pertanyaan sesuai
Tidak ada jawaban sama sekali 0
Mengidentifikasi sesuai indikator yang diberikan bangun geometri dengan kurang lengkap dan kurang merepresentasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan bangun geometri dan hanya sedikit mengandung penjelasan sesuai indikator yang
diberikan
1
Tidak ada jawaban sama sekali 0
Menyelesaikan soal
lengkap dan kurang merepresentasi dari pertanyaan sesuai indikator yang diberikan
2
Penjelasan yang diberikan hanya sedikit mengandung penjelasan konsep sesuai
indikator yang diberikan
Tidak ada jawaban sama sekali 0
Setelah ujicoba soal tes dilaksanakan, kemudian dilakukan analisis mengenai
validitas butir soal, reliabilitas tes, daya pembeda dan indeks kesukaran sebagai
berikut:
1. Validitas Instrumen
Suatu alat evaluasi, dalam hal ini adalah tes visual thinking dalam
pembelajaran matematika disebut valid jika alat tersebut mampu mengevaluasi
apa yang seharusnya dievaluasi. Validitas adalah tingkat ketepatan tes
mengukur sesuatu yang hendak diukur. Untuk mengetahui valid atau tidaknya
sebuah instrumen, dilakukanlah analisis validitas butir soal.
Rumus yang digunakan untuk menghitung koefisien validitas butir soal
adalah rumus korelasi produk momen memakai angka kasar (raw score)
(Suherman dan Sukjaya, 1990: 154) sebagai berikut:
r = Koefisien korelasi antara X dan Y
x = Skor tiap butir soal
y = Skor total
n = Banyaknya siswa
Adapun untuk menentukan tingkat validitas soal digunakan kriteria
menurut Suherman dan Sukjaya (1990: 147), sebagai berikut:
Tabel 3.5
Kriteria Koefisien Korelasi
0,90<rxy≤ 1,00 Sangat Tinggi 0,70<rxy≤ 0,90 Tinggi 0,40<rxy≤ 0,70 Sedang 0,20<rxy≤ 0,40 Rendah 0,00<rxy≤ 0,20 Sangat Rendah
xy
r ≤ 0,00 Tidak Valid
Hasil uji validitas butir soal dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3.6 di
bawah ini:
Tabel 3.6
Rekapitulasi Validitas Tiap Butir Soal
No. Soal
x
2x
xy n r xy Tingkat Validitas1 183 1199 4664 33 0,81 Tinggi
2 63 137 1551 33 0,66 Sedang
3a 82 212 1943 33 0,68 Sedang
3b 86 320 2260 33 0,68 Sedang
4 100 416 2606 33 0,68 Sedang
5 112 504 2968 33 0,82 Tinggi
6 118 580 3130 33 0,77 Tinggi
Hasil perhitungan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran hal 251.
2. Reliabilitas Instrumen
Suatu alat evaluasi dikatakan reliabel, jika alat tersebut mampu
memberikan hasil pengukuran yang tetap sama (konsisten, ajeg), jika
pengukurannya dilakukan terhadap subyek yang sama meskipun dilakukan oleh
orang yang berbeda, waktu dan tempat yang berbeda.
Tes yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk uraian, sehingga rumus
yang digunakan untuk menghitung koefisien reliabilitas tes adalah sebagai
(a) Menghitung reliabilitas soal menggunakan rumus Cronbach Alpha:
r …….. (Suherman dan Sukjaya, 1990: 194)
Keterangan :
11
r = Koefisien Reliabilitas n = Banyak Butir Soal
x = Jumlah kuadrat tiap skor soal
n = Jumlah siswa
Adapun kriteria koefisien korelasi menurut Guilford (dalam Suherman dan
Sukjaya, 1990: 160) dapat dilihat pada Tabel 3.7 sebagai berikut :
0,80 <r11≤ 1,00 Sangat Tinggi
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh koefisien reliabilitas tes adalah
0,82. Berdasarkan kriteria koefisien reliabilitas menurut Guilford (dalam
Suherman dan Sukjaya, 1990: 160) dapat disimpulkan bahwa instrument
penelitian yang menggunakan soal tipe uraian ini diinterpretasikan sebagai soal
yang reliabilitasnya tinggi. Perhitungan koefisien reliabilitas secara lengkap
dapat dilihat pada Lampiran hal 254.
3. Daya Pembeda
Daya pembeda dari sebuah butir soal menyatakan seberapa jauh
kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara testi yang
berkemampuan tinggi dengan testi yang berkemampuan rendah. Rumus yang
digunakan untuk menentukan daya pembeda tiap butir soal adalah:
SMI
x = Rata-rata skor kelompok atas tiap butir soal
B
x __
= Rata-rata skor kelompok bawah tiap butir soal
SMI = Skor Maksimum Ideal
Sedangkan untuk menentukan kriteria daya pembeda tiap butir soal
digunakan kriteria menurut Suherman dan Sukjaya (1990: 202) sebagai berikut :
Tabel 3.8
Kriteria Daya Pembeda Daya Pembeda Kriteria
0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup Baik
0,40 < DP ≤ 0,70 Baik 0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat Baik
Hasil perhitungan untuk menentukan daya pembeda soal disajikan pada
Tabel 3.9 di bawah ini:
Tabel 3.9
Rekapitulasi Daya Pembeda Butir Soal No.
Soal
__
A
x xB
__
SMI DP Kriteria
1 8,00 2,88 9 0,56 Baik
2 2,44 1,22 3 0,40 Cukup Baik
3a 2,88 2,11 3 0,26 Cukup Baik
3b 4,56 1,56 6 0,50 Baik
4 4,67 1,33 6 0,56 Baik
5 4,89 1,33 6 0,59 Baik
6 5,11 1,33 6 0,63 Baik
Perhitungan daya pembeda secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran hal
256.
4. Indeks Kesukaran
Analisis indeks kesukaran tiap butir soal dilakukan untuk mengetahui
tingkat kesukaran masing-masing soal yang diberikan, apakah soal tersebut
termasuk kategori mudah, sedang atau sukar. Karena bentuk tes yang
digunakan adalah tes uraian, maka rumus yang digunakan untuk menghitung
indeks/tingkat kesukaran soal adalah:
SMI x
IK ……….. (Suherman dan Sukjaya, 1990: 213)
Keterangan :
IK = Indeks Kesukaran
x = Rata-rata Skor
Adapun untuk menentukan tingkat kesukaran soal digunakan kriteria
menurut Suherman dan Sukjaya (1990: 213) sebagai berikut:
Tabel 3.10
Kriteria Indeks Kesukaran
Indeks Kesukaran Kriteria
IK = 0,00 Sangat Sukar
0,00 < IK ≤ 0,30 Sukar
0,30 < IK ≤ 0,70 Sedang
0,70 < IK ≤ 1,00 Mudah
IK= 1,00 Sangat Mudah
Hasil perhitungan untuk menentukan daya pembeda soal disajikan pada
Tabel 3.11 di bawah ini:
Tabel 3.11
Rekapitulasi Indeks Kesukaran No.
Soal
__
A
x xB
__
x SMI IK Kriteria
1 8,00 2,88 5,44 9 0,60 Sedang
2 2,44 1,22 1,83 3 0,61 Sedang
3a 2,88 2,11 2,50 3 0,83 Mudah
3b 4,56 1,56 3,06 6 0,51 Sedang
4 4,67 1,33 3,00 6 0,50 Sedang
5 4,89 1,33 3,11 6 0,52 Sedang
6 5,11 1,33 3,22 6 0,54 Sedang
Perhitungan indeks kesukaran secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran
hal 259.
b. Lembar Observasi
Tujuan dari lembar observasi ini adalah untuk mengetahui
menjadi lebih baik dan sesuai dengan skenario yang telah dibuat. Menurut
Ruseffendi (2005) observasi penting dilakukan karena melalui angket dan
wawancara, masih ada hal yang belum bisa terungkap yaitu mengenai keadaan
wajar yang sebenarnya sedang terjadi Adapun dalam penelitian ini, dalam
melakukan observasi setiap tindakan yang diambil yaitu aktivitas belajar siswa dan
aktivitas guru pada kedua kelas eksperimen. Lembar observasi digunakan pada
kedua kelas eksperimen karena indikator-indikator pengamatan yang
dikembangkan dibuat khusus untuk mengamati pelaksanaan pembelajaran dengan
penggunaan alat peraga konkret dan alat maya (virtual manipulative) yang
meliputi: mendengarkan, memperhatikan penjelasan guru/teman, melakukan
manipulasi alat peraga, bertanya antara siswa dengan guru, berdiskusi antar siswa
dengan siswa, menjawab pertanyaan.
Selain itu, lembar observasi juga digunakan untuk mengetahui aktivitas guru
selama peroses pembelajaran berlangsung di kedua kelas. Lembar observasi dapat
dijadikan guru sebagai bahan evaluasi dalam memberikan pengajaran kepada
siswa, sehingga diharapkan menjadi lebih baik pada pembelajaran berikutnya.
Observer dalam penelitian ini adalah guru matematika di sekolah tempat
dilaksanakannya penelitian, pengisisan lembar observasi dilakukan sebanyak lima
kali selama peroses pembelajaran dilaksanakan.
c. Wawancara
Ruseffendi (2005) menyatakan bahwa wawancara adalah suatu cara
mengumpulkan data yang sering digunakan jika kita mau mengetahui sesuatu yang
bila dengan cara angket atau cara lainnya belum bisa terungkap atau belum jelas.
Wawancara yang diberikan merupakan format wawancara tertulis. Dalam
format wawancara tersebut siswa tidak diharuskan menuliskan namanya. Hal ini
bertujuan untuk memberikan keleluasaan pada siswa dalam mengungkapkan
pendapatnya mengenai pembelajaran, baik itu pendapat positif, maupun pendapat