No. Daftar :
BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL UNTUK MENGEMBANGKAN EMPATI BUDAYA SISWA SMA
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan
Oleh HENDI SUHENDI
1004822
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
SEKOLAH PASCASARJANA
BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL UNTUK
MENGEMBANGKAN EMPATI BUDAYA
SISWA SMA
Oleh Hendi Suhendi S.Pd UPI Bandung, 2008
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Prodi Bimbingan dan Konseling SPS UPI
© Hendi Suhendi, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia
Januari 2014
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
HENDI SUHENDI 1004822
BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL UNTUK MENGEMBANGKAN
EMPATI BUDAYA SISWA SMA
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING:
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. H. Syamsu Yusuf, L.N M.Pd. Dr. Suherman, M. Pd. NIP. 195206201980021001 NIP. 195903311986031
Mengetahui
Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia
ABSTRAK
Hendi Suhendi (2014) Bimbingan Pribadi Sosial Untuk Mengembangkan Empati Budaya Siswa SMA (Studi Pra Eksperimen Terhadap Siswa Kelas XI SMA BPI 1 Bandung tahun Ajaran 2012-2013)
Penelitian ini bertujuan mengembangkan bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan empati budaya siswa kelas XI di SMA BPI 1 Bandung. Penelitian ini menggunakan metode Pre-Experimental Design (one group pretest posttest). Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan Mix Method (kuantitatif dan kualitatif). Penelitian dilakukan di SMA BPI 1 Bandung. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas XI. Penentuan sampel diambil dengan teknik Quata sampling dengan proporsi 50 %. Hasil menunjukkan bahwa bimbingan pribadi sosial belum mampu secara signifikan mengembangkan empati budaya siswa kelas XI SMA BPI 1 Bandung. Rekomendasi hasil penelitan ini ditunjukan pada sekolah, prodi bimbingan dan konseling serta peneliti selanjutnya.
ABSTRACT
Hendi Suhendi (2014) Social Personal Guidance for Developing Cultural Empathy of High School Students (a Pre-Experimental Study among Student of Class XI of BPI 1 Bandung High School year of 2012-2013)
The research aimed to develop a social personal guidance in order to foster cultural empathy of High School students. Method of this research is Pre-Experimental Design with one group pretest posttest. Research approaches using Method Mix approach (quantitative and qualitative). The research was conducted at SMA BPI 1 Bandung. The population of this research was XI grade students. The sample for this research was taken by Quota sampling techniques with the proportion of 50%. The results showed that social personal guidance was not able to significantly develop cultural empathy yet of XI grade students at BPI 1 Bandung high school. The outcomes of this research are recommended for school, department of guidance and counseling, and further research.
DAFTAR ISI
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ... 14
E. Asumsi ... 16
BAB II. KAJIAN TEORETIS TENTANG KONSEP DASAR EMPATI BUDAYA DAN BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL A. Konsep Empati Budaya……… 18
1. Konsep dan Karakteristik Empati Budaya... 18
2. Komponen Empati Budaya... 27
3. Signifikansi Empati Budaya... 29
4. Perbedaan Empati Dasar dan Empati Budaya... 33
B. Konsep Bimbingan Pribadi Sosial ... 33
1. Definisi Bimbingan Pribadi Sosial ... 33
2. Fungsi dan Tujuan Bimbingan Pribadi Sosial... 39
3. Upaya Pengembangan Empati Budaya Melalui Bimbingan Pribadi Sosial ... 41
C. Kerangka Teoretik Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya ... 44
D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ………... 63
BAB III. METODE PENELITIAN A. Metode dan Pendekatan Penelitian ... 70
B. Alur Penelitian ... 71
C. Definisi Operasional Variabel ... 73
D. Lokasi dan Sampel Penelitian ... 75
E. Proses Pengembangan Instrumen Penelitian ... 77
1. Pengembangan Kisi-Kisi Instrumen Penelitian ... 78
2. Penimbangan (judge) Instrumen Penelitian... 79
3. Uji Keterbacaan Instrumen Penelitian ... 80
F. Proses Pengembangan Layanan Bimbingan Pribadi Sosial Untuk Mengembangkan Empati
Budaya………...
G. Prosedur Pengumpulan Data……… 87
H. Teknik dan Analisis Data ... 89
BAB IV HASIL PENELITIAAN DAN PEMBAHASAN A. Profil Empati Budaya Siswa SMA BPI 1 Kota Bandung kelas XI Tahun Ajaran 2012-2013 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 91
B. Layanan Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya ... 94
C. Analisis Efektivitas Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya Siswa ... 108
1. Analisis Statistik ... 108
2. Analisis Proses ... 113
3. Analisis Individual ... 119
D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 124
E. Keterbatasan Penelitian ... 134
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 136
B. Rekomendasi ... 137
DAFTAR PUSTAKA ... 139 LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
Tabel
3.1 Proporsi Sampel Penelitian ... 76 3.2 Kisi-kisi Instrumen Penelitian Sebelum Dilakukan
Penimbangan dan Pengujian Validitas ... 77 3.3 Hasil Uji Validitas ... 80 3.4 Kisi-kisi Instrumen Penelitian Setelah Dilakukan
Penimbangan dan Pengujian Validitas ... 80 3.5 Indeks Korelasi Drummond & Jones (2009) ... 82 3.6 Hasil Penimbangan Pakar Terhadap Pedoman Rasional Rencana
Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya .... 85 3.7 Kategori Pemberian Skor Alternatif Jawaban ... 87 3.8 Kualifikasi Empati Budaya ... 89 4.1 Gambaran Hasil Penelitian Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi
Sosial ... 90 4.2 Profil Empati Budaya Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi
Sosial ... 91 4.3 Profil Empati Budaya pada Dimensi Ekspresi dan Perasaan Empatik
Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial)… ... 93 4.4 Profil Empati Budaya pada Dimensi Ekspresi Dan Perasaan Empatik
untuk Indikator 1 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 94 4.5 Profil Empati Budaya pada Dimensi Ekspresi Dan Perasaan Empatik
untuk Indikator 2 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 95 4.6 Profil Empati Budaya Pada Dimensi Mengambil Perspektif Empatik
Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 96 4.7 Profil Empati Budaya Pada Dimensi Mengambil Perspektif Empatik
untuk Indikator 1 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial .... 98 4.8 Profil Empati Budaya pada Dimensi Mengambil Perspektif Empatik
untuk Indikator 2 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial .... 99 4.9 Profil Empati Budaya pada Dimensi Menerima Perbedaan Budaya
Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 100 4.10 Profil Empati Budaya pada Dimensi Menerima Perbedaan Budaya
4.11 Profil Empati Budaya pada Dimensi Menerima Perbedaan Budaya untuk Indikator 2 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 103 4.12 Profil Empati Budaya Pada Dimensi Kesadaran Empatik Sebelum
Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 104 4.13 Profil Empati Budaya pada Dimensi Kesadaran Empatik untuk
indikator 1 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 106 4.14 Profil Empati Budaya pada Dimensi Kesadaran Empatik Indikator 2
Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 107 4.15 Profil Empati Budaya pada Dimensi kesadaran Empatik untuk
Indikator 3 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 108 4.16 Tabel Hasil Pengujian Normalitas Data ... 123 4.17 Tabel Hasil Pengujian Perbedaan Profil Empati Budaya Sebelum dan
DAFTAR GRAFIK
GRAFIK
4.1 Profil Empati Budaya Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 92 4.2 Profil Empati Budaya pada Dimensi Ekspresi dan Perasaan Empatik
Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 93 4.3 Profil Empati Budaya pada Dimensi Ekspresi Dan Perasaan Empatik
untuk Indikator 1 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 94 4.4 Profil Empati Budaya pada Dimensi Ekspresi Dan Perasaan Empatik
untuk Indikator 2 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial … ... 95 4.5 Profil Empati Budaya Pada Dimensi Mengambil Perspektif Empatik
Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 97 4.6 Profil Empati Budaya pada Dimensi Mengambil Perspektif Empatik
untuk Indikator 1 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial .... 98 4.7 Profil Empati Budaya pada Dimensi Mengambil Perspektif Empatik
untuk Indikator 2 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial .... 99 4.8 Profil Empati Budaya pada Dimensi Menerima Perbedaan Budaya
Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 101 4.9 Profil Empati Budaya pada Dimensi Menerima Perbedaan Budaya
untuk Indikator 1 Sebelum Pelaksanaan
4.10 Bimbingan Pribadi Sosial ... 102 4.11 Profil Empati Budaya pada Dimensi Menerima Perbedaan Budaya
untuk Indikator 1 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial .... 103 4.12 Profil Empati Budaya Pada Dimensi Kesadaran Empatik Sebelum
Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 104 4.13 Profil Empati Budaya pada Dimensi Kesadaran Empatik untuk
Indikator 1 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial. ... 106 4.14 Profil Empati Budaya pada Dimensi Kesadaran Empatik Indikator 2
Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial ... 107 4.15 Profil Empati Budaya pada Dimensi Kesadaran Empatik untuk
Indikator 3 Sebelum Pelaksanaan Bimbingan Pribadi Sosial. ... 108 4.16 Perubahan Profil Empati Budaya Sebelum dan Setelah Pelaksanaan
4.17 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Ekspresi dan Perasaan Empatik Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 110 4.18 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Ekspresi dan
Perasaan Empatik Untuk Indikator 1 Sebelum Dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 111 4.19 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Ekspresi dan
Perasaan Empatik Untuk Indikator 1 Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 112 4.20 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Mengambil
Perspektif Empatik Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 113 4.21 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Mengambil
Perspektif Empatik untuk indikator 1 Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 114 4.22 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Mengambil
Perspektif Empatik untuk indikator 2 Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 115 4.23 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Menerima
Perbedaan Budaya Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan pribadi Sosial ... 116 4.24 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Menerima
Perbedaan Budaya Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan pribadi Sosial ... 117 4.25 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Menerima
Perbedaan Budaya untuk indikator 2 Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 118 4.26 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi Kesadaran Empatik
Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 119 4.27 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi kesadaran Empatik
untuk Indikator 1 Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 120 4.28 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi kesadaran Empatik
untuk Indikator 2 Sebelum dan Setelah Dilaksanakan Bimbingan Pribadi Sosial ... 121 4.29 Perubahan Profil Empati Budaya Pada Dimensi kesadaran Empatik
DAFTAR GAMBAR
Gambar
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki keberagaman suku bangsa dan kebudayaan, terdapat 1.128 suku bangsa telah mengantarkan indonesia menjadi negara yang multietnik dan multibudaya (multikultur), sedangkan menurut Suryadinata (1999) sampai saat ini tercatat ada lebih dari 500 etnik yang menggunakan lebih dari 250 bahasa. Masing-masing etnik itu tidak berdiri sendiri sebagai entitas yang tertutup dan independen tetapi saling berinteraksi dan bergantung satu sama lain (Abdillah, 2001), serta saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam keberagaman tersebut, Herdi (2008) mengatakan bahwa dalam konteks kehidupan di Indonesia Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan, menampakkan sebuah kongruensi antara aspek ke-bhineka-an yang manunggal dalam ke-eka-an mulai menjadi masalah yang tak pernah kunjung selesai. Nilai-nilai budaya kini syarat dengan masalah minoritas, rasial dan etnik, serta agama (SARA).
hubungan intern dalam masing-masing kelompok (K.H. Abdurrahman Wahid, 2003).
Munculnya isu multikulturalisme tidak akan lepas dari isu pruralisme masyarakat dan proses akulturasi budaya yang terjadi di dalamnya. Perkembangan tersebut dapat memunculkan sebuah ketidakseimbangan sosial budaya yang memaksa setiap individu dan kelompok masyarakat untuk melakukan transformasi, reformasi, dan reposisi. Transformasi, reformasi, dan reposisi ini harus mencakup segala segi kehidupan, dan dilaksanakan pada semua tingkatan. Segi-segi tersebut meliputi segi ideologis, politis, ekonomis, sosial, budaya, pendidikan, bahkan pertahanan dan keamanan. Transformasi juga harus dilakukan pada semua tingkatan lingkungan sosial budaya. Untuk menyikapi perubahan-perubahan tersebut dibutuhkan pendekatan baru, baik yang melingkupi pendidikan bagi orang biasa maupun profesional dalam lintas budaya dan serta keragaman budaya. Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-dimensi keragaman dan perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas budaya sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia abad-21 (Supriatna. M, dalam Nurihsan. J, & Supriatna, M: 2005)
kemampuan hingga derajat tertentu yang layak untuk menghadapi dan mengendalikan setiap detail perubahan.
pada masyarakat ambon disana. Konflik tersebut telah menyebabkan korban lebih dari 50 orang meninggal dunia (kontras, 1999). Konflik lain yang lebih besar pernah terjadi di indonesia yaitu konflik sampit. Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak. Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga Madura yang juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak. Ada beberapa versi tentang penyebab konflik sampang ini tetapi salah satunya diklaim adalah konflik ini berawal dari percekcokan antara murid dari berbagai ras di sekolah yang sama (wikipedia online).
Sistem pendidikan merupakan salah satu bagian dari sistem kehidupan yang secara integral menyatu dan berperan penting dalam meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Sistem persekolahan sebagai sub sistem pendidikan dalam tatanan masyarakat tentulah tidak dapat dilepaskan dari aspek budaya. Konteks budaya dalam pelaksanaan sistem persekolahan diantaranya menyangkut lingkungan budaya di sekolah, baik yang menyangkut keragaman asal-usul personel sekolah maupun siswa, pola interaksi diantara mereka baik personel sekolah maupun siswa, orientasi nilai budaya yang dianut, hal-hal khusus dalam konteks budaya ini dapat juga berupa gender, kelas, agama, suku bangsa, kelas sosial, agama, keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Pedersen, 1991).
Kedelapan, kekeluargaan yakni ikatan yang erat antara komponen sekolah,
keluarga dan masyarakat.
Berkaitan dengan sekolah sebagai lembaga pendidikan, (Supriatna, M: 2011) mengungkapkan apabila sekolah dianggap sebagai lembaga pendidikan, maka keberfungsiannya tidak hanya diorientasikan kepada pemahaman budaya antar etnis, melainkan harus melingkupi matra-matra yang lain secara terpadu, hingga diperoleh keutuhan internalisasi (proses pendidikan) pada pribadi individu sebagai peserta didik. Dalam wawasan budaya sekurang-kurangnya terlingkup tiga matra, yakni matra paham budaya, rasa budaya dan semangat budaya.
Dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah, siswa sebagai masukan dalam proses pendidikan tersebut memiliki keberagaman latar belakang dan karakteristik budaya yang dimilikinya. Karakteristik dan latar belakang tersebut akan mempengaruhi siswa dalam proses pendidikan yang dilaksanakan. Wang, et.al (2008) mengadakan penelitian pada sekolah internasional di Amerika dan menemukan bahwa perbedaan latar belakang dan karakteristik ini menyebabkan siswa Internasional mengalami gegar budaya (culture shock).
terjadi dalam dunia pendidikan adalah tawuran, Peter Kreuzer (2002:1) dalam laporan Peace Reseach Institute Frankfurt menyebutkan bahwa konflik di Indonesia terjadi bahkan pada kalangan anak sekolah, dan hal tersebut merupakan salah satu lingkaran kekerasan yang terjadi di Indonesia.
Hasil studi tentang pelaksanaan program pembauran di bidang pendidikan (Supriatna, M, 2011) tahun 1999-2000 di delapan provinsi, merekomendasikan perlunya pembinaan kesatuan bangsa melalui bidang pendidikan. Implementasi pembinaan tersebut hendaknya diwujudkan dalam bentuk penciptaan lembaga-lembaga pendidikan di daerah-daerah yang bercorak budaya Bhinneka Tunggal Ika melalui strategi pendidikan yang menumbuhkembangkan nilai-nilai religius, teoretik, ekonomik, humanistik, politik dan estetik secara terpadu. Selanjutnya dinyatakan dalam rekomendasi studi, bahwa langkah-langkah operasional tentang pembinaan kesatuan bangsa yang dimaksud hendaknya sejalan dengan otonomi daerah.
Sebagai upaya pendidikan untuk mengatasi persoalan-persoalan budaya
sebuah “pendidikan multikultural” dapat menjadi salah satu solusi. Tujuan pendidikan multikultural ini adalah agar tercipta pemahaman antar individu berdasarkan latarbelakang dan karakteristik yang dimilikinya. Menurut James Bank (dalam Nurdin Hasan, 2011: 85) ada lima dimensi yang saling berkaitan dalam pendidikan multikultural di sekolah, yaitu :
2. The Knowledge Construction Process, dimana membawa siswa memahami implikasi budaya ke dalam suatu mata pelajaran (disiplin). 3. An Equity Paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan
cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya maupun sosial.
4. Prejudice Reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
5. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam segala kegiatan ekstra kulikuler (seni budaya, olahraga, keagamaan, maupun kegiatan lain) agar mampu berinteraksi antara peserta didik maupun pendidik (guru) dalam menciptakan budaya akademik.
Dalam pendidikan multikultural, toleransi dan pemahaman terhadap budaya individu lain tersebut dapat disebut sebagai “empati budaya”. Empati menurut Wikipedia Indonesia didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan, dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain. Empati sering dianggap sebagai semacam resonansi perasaan.
perasaan orang lain" dan tidak secara khusus menargetkan salah satu kelompok (misalnya usia, jenis kelamin, dan etnis). Empati budaya, pada sisi lain, mengasumsikan bahwa empati terhadap orang lain mungkin meningkat jika yang lain sama dengan karakter diri individu itu sendiri dalam hal etnis, latar belakang gender, usia, atau budaya.
Empati budaya berkaitan dengan hubungan individu dengan individu lainnya dalam kehidupan sehari-hari, dan empati budaya merupakan elemen penting dalam masyarakat multibudaya (Rasoal et al. : 2009). Pada akhirnya ketika memasukan unsur lintas budaya dalam rencana dan mengimplementasikan layanan bimbingan dan konseling di sekolah, terlebih dahulu dilakukan pengkajian dalam rangka menjawab tantangan utama bagi konselor sekolah. Langkah berikutnya adalah merefleksikan kondisi lingkungan budaya persekolahan baik yang menyangkut keragaman asal usul personil sekolah dan interaksi di antara mereka, berbagai variabel latar belakang yang memungkinkan bias budaya, maupun budaya organisasi dan kepemimpinan yang berkembang di sekolah (Supriatna, M. dalam Nurihsan, J & Supriatna, M : 2005).
menerima perbedaan budaya pada kategori sangat tinggi sebesar 60,8% dan kategori tinggi sebesar 39,2%, (4) dimensi kesadaran empatik pada kategori tinggi sebesar 22,5% dan pada ketegori sedang sebesar 77,5%.
Walaupun gambaran profil menunjukan hasil yang cenderung tinggi tetapi pada salah satu aspek masih cenderung sedang sehingga masih perlu dilakukan peningkatan, dan secara keseluruhan perlu dilakukan pengembangan sebagai upaya memberikan bimbingan yang bersifat guidance for all. Dalam konteks bimbingan dan konseling, pengembangan ini dapat dilakukan melalui bimbingan pribadi sosial karena jika dilihat dari ragam masalahnya, maka pengembangan empati budaya termasuk ke dalam jenis layanan bimbingan pribadi-sosial. Yusuf dan Nurihsan (2005) menyatakan bimbingan ini merupakan layanan yang mengarah pada pencapaian pribadi yang seimbang dengan memperhatikan keunikan karakteristik pribadi serta ragam permasalahan yang dialami oleh individu. Adapun yang termasuk tergolong dalam masalah sosial-pribadi adalah masalah-masalah hubungan dengan sesama teman, guru, dosen serta staf, pemahaman sifat dan kemampuan diri dengan lingkungan pendidikan dan masyarakat tempat mereka tinggal dan penyelesaian konflik (Nurihsan, 2006: 15).
Berdasarkan uraian tersebut, dalam rangka sebagai upaya dalam mengatasi persoalan-persoalan budaya yang berkaitan bidang pribadi dan sosial siswa sebagai upaya mereduksi sebab-sebab terjadinya konflik budaya dan mengembangkan potensi siswa yang memiliki latar belakang dan karakteristik budaya dapat berkembang secara optimal baik secara pribadi dan sosial. Maka penelitian ini berupaya untuk mengkaji secara lebih mendalam tentang ” Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya ”.
B. Rumusan Masalah
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralis dan multikultural. Indonesia terkenal dengan pluralitas suku bangsa yang mendiami kepulauan nusantara. Diketahui bahwa Indonesia terdiri atas kurang lebih 600 suku bangsa dengan identitasnya masing-masing serta kebudayaannya yang berbeda-beda. Selain itu kehidupan suku-suku tersebut yang terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, terjadi pula konsentrasi suku-suku di tempat lain karena migrasi atau karena mobilisasi penduduk yang cepat. Melalui sensus 2000 tercatat 101 suku bangsa di Indonesia dengan jumlah total penduduk 201.092.238 jiwa sebagai warga negara (Suryadinata cs, 2003: 102).
Keberagaman siswa secara budaya secara positif menggambarkan kekayaan potensi sebuah masyarakat yang bertipe pluralis, namun secara negatif siswa dapat merasa tidak nyaman karena tidak saling mengenal budaya siswa lain. Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan sebagai perasaan. Prasangka juga diarahkan kepada sebuah kelompok secara keseluruhan, atau kepada seseorang hanya karena itu adalah anggota kelompok tertentu. Secara demikian, prasangka memiliki potensi dalam mengambinghitamkan orang lain melalui stereotipe, diskriminasi dan penciptaan jarak sosial (Bennet & Janet dalam Kamin Sumardi : tt)
Masalah dalam penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut: “Bagaimana bimbingan pribadi-sosial yang dapat membantu mengembangkan empati budaya?”
Secara lebih terperinci rumusan masalah di atas dibagi ke dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
1. Bagaimana profil empati budaya Siswa Kelas XI SMA BPI 1 Kota Bandung Tahun Ajaran 2012-2013?
2. Seperti apa rumusan layanan bimbingan pribadi-sosial yang sesuai dengan Siswa Kelas XI SMA BPI 1 Kota Bandung Tahun Ajaran 2012-2013 untuk mengembangkan empati budaya siswa?
3. Bagaimana efektifitas layanan bimbingan pribadi sosial dalam mengembangkan empati budaya siswa?
C. Tujuan Penelitian
Maksud utama penelitian ini adalah untuk menghasilkan layanan bimbingan pribadi sosial yang efektif dalam mengembangkan empati budaya siswa kelas XI SMA BPI 1 Kota Bandung Tahun Ajaran 2012-2013.
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
1. Signifikansi Penelitian
Pentingnya mengembangkan empati budaya individu didasarkan pada kebutuhan dan pemikiran sebagai berikut.
Pertama, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dan
pluralis dimana terdiri dari berbagai budaya. Hal tersebut secara logis akan menimbulkan permasalahan dimana persentuhan diantara budaya terjadi, permasalahan ini terjadi karena persentuhan antar budaya akan selalu terjadi karena permasalahan silang budaya selalu terkait erat dengan cultural materialism yang mencermati budaya dari pola pikir dan tindakan dari kelompok sosial tertentu dimana pola temperamen ini banyak ditentukan oleh faktor keturunan dan hubungan sosial tertentu (Herdi, 2008: 22). Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan menjadi acuan sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk individual yang tidak terlepas dari kaitannya pada kehidupan masyarakat dengan orietasi kebudayaannya yang khas, sehingga baik pelestarian maupun pengembangan nilai-nilai budaya merupakan proses yang bermatra individual, sosial dan kultural sekaligus.
dinamis dalam sebuah proses tawar menawar yang mengarah pada tujuan mewujudkan perubahan tata nilai yang tampil sekedar sebagai pergeseran (shift) antar nilai, atau persengketaan (conflict) antar nilai atau bahkan dapat berupa benturan (clash) antar nilai tersebut (Herdi, 2008: 22). Apapun bentuk dan perwujudan dari permasalahan silang budaya, harus dapat dipandu dan dikendalikan, atau paling tidak diupayakan adanya mekanisme yang dapat menjembatani permasalahan ini, baik melalui jalur pendidikan maupun media masa.
Kedua, sekolah sebagai institusi pendidikan harus memberikan pelayanan
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut.
a. Penelitian ini dapat menambah khasanah bimbingan dan konseling untuk membantu siswa dalam mengembangkan empati budaya yang dimilikinya.
b. Bagi pihak sekolah, dapat membantu menciptakan atmosfir sekolah yang kondusif bagi pengembangan empati budaya siswa.
c. Bagi penulis, dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam mengembangkan layanan bimbingan yang sesuai untuk pengembangan empati budaya siswa.
E. Asumsi Penelitian
1. Sebagai seorang pendidik psikologis, konselor dituntut kompeten dalam memahami kompleksitas interaksi individu-lingkungan dalam ragam konteks sosial budaya. Ini berarti konselor harus mampu mengases, mengintervensi, dan mengevaluasi keterlibatan dinamis dari keluarga, sekolah, lembaga sosial dan masyarakat sebagai faktor yang berpengaruh terhadap keberfungsian individu dalam sistem (Kartadinata, 2005 : 8). Dalam hal ini konselor harus dapat membuat sebuah layanan bimbingan dan konseling pribadi sosial yang sesuai dengan karakteristik keunikan budaya konseli.
kondisi ekonomi, daerah/asal-usul, ketidakmampuan fisik dan mental, kelompok umur, dan lain-lain (Baker dalam Farida Hanum, 2010).
3. Empati memainkan peran penting dalam proses interaksi sosial baik dalam konteks informal maupun dalam konteks hubungan profesional, dan hal tersebut juga berlaku dalam empati budaya. (Davis dalam Rasoal: 2011)
4. Empati budaya merupakan sifat stabil tetapi dapat dilatihkan 'empati diarahkan terhadap orang-orang dari ras dan kelompok budaya etnis yang berbeda dari individu sendiri atau kelompok '(Wang, Davidson, Yakushko, Bilestein Savoy, Tan, & Bleier, 2003).
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam bab ini diuraikan hal-hal yang berkenaan dengan persiapan dan
pelaksanaan penelitian, dengan pokok bahasan utamanya yaitu: Metode dan Pendekatan
Penelitian, Desain Penelitian, Definisi Operasional Variabel, Lokasi dan Sampel Penelitian, Proses Pengembangan Instrumen Penelitian, Proses Pengembangan Rencana Bimbingan Pribadi Sosial, Pelaksanaan dan Pengolahan Data, Teknik dan Analis Data
A. Metode Dan Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pre-Experimental Design (one group pretest posttest). Disebut pre experiments
karena belum merupakan eksperimen sungguh-sungguh karena masih terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap terbentuknya variabel dependen (Sugiyono, 2011: 73). Pada one group pretest posttest, pretest dilakukan sebelum diberi perlakuan sehingga hasil perlakuan dapat diketahui lebih akurat, karena dapat membandingkan dengan keadaan sebelum diberi perlakuan.
Pendekatan kualitatif digunakan peneliti ketika mengamati berbagai gejala yang terjadi pada aktivitas bimbingan pribadi sosial yang berkaitan dengan empati budaya yang dimiliki oleh siswa, pendekatan kualitatif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melalui analisis proses dan wawancara tak terstruktur setelah kegiatan dilaksanakan. Data yang sudah diperoleh kemudian diberi arti sesuai dengan teori-teori yang terkait dengan fokus masalah yang diteliti.
B. Alur Penelitian
Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini adalah prosedur penelitian dan pengembangan (research and development). Hal ini digunakan dengan alasan karena penelitian ini dimaksudkan untuk menghasilkan produk dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2011 : 297). Borg and Gall (1989) yang mengemukakan bahwa penelitian dan pengembangan merupakan sebuah proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi hasil pendidikan (a process used to develop and validate educational product). Hasil pendidikan
yang dimaksud merujuk pada kegiatan bimbingan dan konseling sebagai salah satu pilar dari pendidikan itu sendiri, maka metode penelitian dan pengembangan ini juga dapat digunakan untuk menghasilkan berbagai model intervensi.
Gambar 3.1
Alur Penelitian Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya Siswa EMPATI BUDAYA DI SMA BPI 1
C. Definisi Operasional Variabel
1. Bimbingan Pribadi Sosial
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan bimbingan pribadi sosial adalah kegiatan bimbingan yang dilakukan oleh peneliti dengan guru pembimbing secara sistematis, terarah dan terpadu untuk membantu mengembangkan kemampuan pribadi-sosial siswa sebagai berikut: (a) secara pribadi, mengenal karakteristik diri sendiri, menerima keadaan diri sendiri secara positif dan realistik serta mengikuti kegiatan yang positif dalam rangka mengembangkan kemampuan dan kepribadiannya; dan (b) secara sosial, mengenal cara-cara memperoleh hak dan memenuhi kewajiban dalam kehidupan sehari-hari, menghargai hak-hak orang lain dan merasa senang melaksanakan kewajiban yang diembannya serta mampu berinteraksi dengan orang lain atas dasar pertimbangan hak dan kewajiban yang diembannya masing-masing.
Tujuan bimbingan pribadi sosial dalam penelitian ini membantu siswa dalam mengembangkan empati budaya yang dimilikinya ke arah yang positif sehingga muncul sikap penuh toleransi, berempati dan dapat mampu memaknai diri dan lingkungannya secara lebih realistis sesuai panduan dan tuntutan norma yang ada.
2. Empati budaya
Banyak ahli menyebut empati budaya dengan istilah yang berbeda-beda tetapi memiliki makna yang sama, ada yang tetap cultural empathy (Ivey, Ivey, & Simek-Downing, 1987; Ridley & Lingle, 1996), ada yang menyebut empathetic multicultural awareness (Junn, Morton, & Yee, 1995), cultural role taking (Scott
& Borodovsky, 1990), ethnic perspective taking (Quintana, Ybarra, Gonzalez-Doupe, & Baessa, 2000), dan ethnotherapeutic empathy (Parson, 1993), dan Wang et.al (2003) disebut sebagai ethnocultural emphathy. Dalam penelitian ini kita akan menggunakan istilah “cultural empathy” dan jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi empati budaya.
Empati budaya didefinisikan berdasarkan pendapat Wang et all (2003) yang mendefinisikan empati budaya sebagai empati yang diarahkan pada orang dari ras dan kelompok budaya etnis yang berbeda dari satu kelompok budaya sendiri. Empati budaya ini merupakan empati dan pemahaman terhadap berbagai budaya dan etnis. Empati terhadap kelompok-kelompok budaya yang berbeda secara logis harus berhubungan dengan memiliki sikap positif terhadap beragam kelompok tertentu.
Empati budaya dalam penelitian ini akan memfokuskan pada 4 dimensi empati budaya yang ungkapkan oleh Wang et.al (2003) yaitu
1. Ekspresi dan Perasaan Empatik (Empathic Feeling and Expression) berfokus pada ekspresi verbal dari pikiran dan perasaan empatik budaya terhadap anggota kelompok etnis lain.
2. Pengambilan Perspektif Empatik (Empathic Perspective Taking ) adalah kemampuan untuk memahami bagaimana orang dengan latar belakang etnis yang berbeda pikirkan atau rasakan
3. Menerima Perbedaan Budaya (Acceptance of Cultural Differences) adalah perasaan menerima ketika orang-orang dari kelompok etnis lain berperilaku seperti yang mereka lakukan, misalnya, mengenakan pakaian tradisional, atau berbicara bahasa mereka sendiri
4. Kesadaran Empatik (Empathic Awareness) merupakan kesadaran atau pengetahuan yang dimiliki seseorang tentang pengalaman orang-orang dari kelompok ras atau etnis yang berbeda dari seseorang sendiri. Hal tersebut merupakan kesadaran akan emosi dan pengalaman orang lain terutama yang berkaitan dengan pengalaman mereka diskriminasi atau perlakuan yang tidak adil dari kelompok yang berbeda.
D. Lokasi Dan Sampel Penelitian
Metode penarikan sampel yang digunakan adalah jenis teknik Quota Sampling dengan proporsi 50% dari anggota kelas di SMA BPI 1 Bandung
khususnya pada kelas XI terdiri dari 7 kelas, 5 kelas jurusan IPA dan 2 kelas jurusan IPS. Asumsi pemilihan siswa kelas XI pada SMA BPI 1 Bandung adalah sebagai berikut: (1) Siswa di kelas XI adalah siswa yang sudah mengalami proses interaksi dengan teman sebaya selama hampir satu tahun; (2) Belum adanya layanan bimbingan dan konseling di SMA BPI 1 Bandung yang seraca khusus untuk mengembangkan empati budaya;
Dalam menentukan sampel, Surakhmad (1998:100) menjelaskan bahwa bila populasi di bawah 100 dapat dipergunakan sampel sebesar 50%, dan jika berada di antara 100 sampai 1000, maka dipergunakan sampel sebesar 15% - 50% dari jumlah populasi. Penentuan jumlah sampel dilakukan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Riduwan (2006:65) yaitu sebagai berikut.
S =
50% 15%
Jadi jumlah sampel adalah sebesar 44 % X 243 = 106, 92 dan didapat angka 107 orang. Dalam penelitian ini sampel yang digunakan berjumlah 120 siswa, artinya telah memenuhi dari angka ukuran minimal.
Tabel 3.1
Proporsi Sampel Penelitian
Kelas Populasi Jumlah Sampel Jumlah
Pria Wanita Pria Wanita
XI IPA 1 17 13 30 8 6 14
XI IPA 2 15 14 29 7 7 14
XI IPA 3 16 18 24 8 9 17
XI IPA 4 25 14 39 12 7 19
XI IPA 5 27 12 39 13 6 19
XI IPS 1 14 27 41 7 13 20
XI IPS 2 25 16 41 12 8 20
Jumlah 139 104 253 67 56 123
E. Proses Pengembangan Instrumen Penelitian
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah profil empati budaya. Maka sesuai dengan kebutuhan tersebut, instrumen penelitian adalah angket skala empati budaya dan pedoman wawancara. Skala ini dikembangkan berdasarkan konstruk skala empati etnobudaya oleh Wang et al. (2003) dalam Journal of Counseling Psychology tahun 2003, Vol. 50, No. 2, 221–234. Skala ini berentang dari angka 1 yang paling rendah sampai dengan angka 5 paling tinggi.
1. Pengembangan Kisi-kisi Instrumen Penelitian
Sebelum menyusun butir pernyataan, terlebih dahulu dirumuskan kisi-kisi instrumen, dengan demikian butir pernyataan merupakan penjabaran dari kisi-kisi instrumen yang telah dirumuskan. Selain itu dilakukan pengembangan kisi-kisi wawancara untuk guru yang akan dijadikan dasar penyusunan layanan bimbingan prbadi sosial untuk mengembangkan empati budaya. Lebih lanjut kisi-kisi instrumennya.dapat dilihat pada Tabel 3.2 sebagai berikut.
Tabel 3.2
Kisi-kisi Instrumen Penelitian Sebelum Dilakukan Penimbangan dan Pengujian Validitas
Variabel Dimensi Indikator Pernyataan ∑
Item pikiran secara verbal terhadap orang lain yang berbeda
Kesadaran Menyadari cara masyarakat memperlakukan ras-etnis lain
Variabel Dimensi Indikator Pernyataan ∑
Item
Empatik Menyadari cara media memperlakukan ras-etnis lain
10,36,38,42 4
Menyadari cara pasar kerja dan dunia ekonomi memperlakukan ras-etnis lain
13,14,23,43 4
Jumlah 50
2. Penimbangan (Judge) Instrumen Penelitian
Berdasarkan kisi-kisi tersebut, lalu dikembangkan instrumen skala empati budaya yang dilanjutkan dengan tahap penimbangan (judge) kepada tiga orang pakar bimbingan dan konseling yang semuanya berasal dari program studi Bimbingan dan Konseling (BK) jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yaitu DR. Hj. Nani M. Sugandhi, M.Pd, DR. Mubiar Agustin, M.Pd, dan DR. Ipah Saripah, M.Pd.
Kegiatan penimbangan ini berorientasi pada validitas konstruk dan validitas isi, berupa aspek atau dimensi dan indikator yang hendak diukur, redaksi setiap butir pernyataan, keefektifan susunan kalimat dan koreksi terhadap bentuk format yang digunakan.
3. Uji Keterbacaan Instrumen Penelitian
instrumen dapat dimengerti susunan redaksi dan maknanya, telah sesuai/menggambarkan tentang apa yang dirasakan, dialami, dan dihadapi oleh mereka.
4. Uji Coba Instrumen Pengumpulan Data
Uji coba ini dilakukan sebanyak satu (1) kali, yang meliputi pengujian validitas dan reliabilitas instrumen penelitian dilakukan di SMAN 3 Kota Sukabumi kepada 90 orang siswa. Uji Hal ini dilakukan untuk memperoleh kualitas instrumen yang layak pakai.
a. Pengujian Validitas Instrumen Penelitian
Uji validitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kesahihan instrumen yang akan digunakan dalam mengumpulkan data penelitian. Kegiatan uji validitas butir item dilakukan untuk mengetahui apakah instrumen yang digunakan dalam penelitian dapat digunakan untuk mengukur apa yang akan diukur (Sugiyono, 2011: 267). Semakin tinggi nilai validitas soal menunjukkan semakin valid instrumen tersebut digunakan di lapangan.
Pengujian alat pengumpul data menggunakan teknik korelasi item-total product moment. Secara lengkap rumusnya sebagai berikut.
Pengujian korelasi item-total product moment untuk mencari validitas item dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak (software) PASW Statistic (SPSS) version 18.0 for Windows. Hasil pengujian validitas instrumen
empati budaya dengan menggunakan teknik korelasi item-total product moment, dari 50 item pernyataan yang disusun didapatkan 49 item pernyataan dinyatakan valid.(hasil pengolahan terlampir)
Berikut ini merupakan hasil uji coba validasi instrument empati budaya. Tabel 3.3
Kisi-kisi Instrumen Penelitian Setelah Dilakukan Penimbangan dan Pengujian Validitas
Variabel Dimensi Indikator Pernyataan ∑
Variabel Dimensi Indikator Pernyataan ∑
Cronbach’s Alpha ( ) dan dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak (software) PASW Statistic (SPSS) version 18.0 for Windows.
Kriteria untuk mengetahui reliabilitas menggunakan klasifikasi kriteria dari Drummond & Jones (2009) dengan kriteria indeks angka korelasi sebagai berikut.
Tabel 3.5
Indeks Korelasi Drummond & Jones (2009)
No. Indeks Koefisien Korelasi Kualifikasi
1. ≥ + 90 Very High
2. + 0,89 ─ + 0,80 High
3. + 0,79 ─ + 0,70 Acceptable
4. + 0,69 ─ + 0,60 Moderate/Acceptable
5. ≤ + 0,59 Low/Unacceptable
Hasil uji reliabilitas instrumen skala empati budaya diperoleh koefisien reliabilitas (α) sebesar 0,835. Dengan merujuk pada klasifikasi rentang koefisien reliabilitas dari Drummond & Jones (2009), koefisien reliabilitas (α) sebesar 0,835 termasuk ke dalam kategori tinggi (High).
F. Proses Pengembangan Layanan Bimbingan Pribadi Sosial Untuk
Mengembangkan Empati Budaya
1. Penyusunan Rencana Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya Siswa
Rencana bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan empati budaya dirancang berdasarkan hasil profil empati budaya dari penyebaran angket skala empati budaya siswa kelas XI SMA BPI 1 Bandung tahun ajaran 2012/2013.
Berdasarkan hasil analisis kebutuhan yang dilakukan melalui angket, diketahui gambaran empati budaya siswa SMA BPI 1 kelas XI tahun pelajaran 2012-2013 yaitu 78 orang (65%) masuk pada kategori Tinggi Sekali (TS) dan sebanyak 42 orang (35%) masuk pada kategori Tinggi (T). Pada profil tiap dimensi diketahui pada dimensi ekspresi dan perasaan empatik sebanyak 96 orang (80%) masuk pada kategori Tinggi Sekali (TS), dan sebanyak 24 orang (20%) masuk pada kategori Tinggi (T). Gambaran pada dimensi mengambil perspektif empatik sebanyak 69 orang (57,5%) masuk pada kategori Tinggi Sekali (TS), dan sebanyak 51 orang (42,5%) masuk pada kategori Tinggi (T). Pada dimensi menerima perbedaan budaya sebanyak 73 orang (60,8%) masuk pada kategori Tinggi Sekali (TS), dan sebanyak 47 orang (39,2%) masuk pada kategori Tinggi (T). Pada dimensi kesadaran empatik sebanyak 27 orang (22,5%) masuk pada kategori Tinggi (T), dan sebanyak 93 orang (77,5%) masuk pada kategori Sedang (SD). Berdasarkan data yang diungkapkan maka materi yang dikembangkan lebih besar proporsinya pada pengembangan untuk dimensi “kesadaran empatik” dan
Setelah memperoleh landasan teoretis mengenai konsep empati budaya dan data awal mengenai gambaran empati budaya siswa, maka kegiatan berikutnya dalam pengembangan layanan adalah menyusun draf rencana layanan berisi pedoman umum operasional yang meliputi: (a) Rasional; (b) Tujuan bimbingan pribadi sosial (c) Strategi Layanan; (e) Sasaran Layanan Bimbingan pribadi sosial; (f) Waktu Pelaksanaan Kegiatan; (g) Rencana Operasional; (h) Evaluasi dan Indikator Keberhasilan.
Perangkat layanan bimbingan pribadi sosial yang berisi pedoman khusus operasional Layanan meliputi: (a) modul Satuan Kegiatan Layanan Bimbingan dan Konseling (SKLBK), dan (b) Jurnal kegiatan.
2. Pengujian Kelayakan Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya Siswa
Dalam rangka menghasilkan bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan empati budaya siswa kelas XI SMA BPI 1 Bandung yang teruji secara efektif, maka langkah awal yang dilakukan adalah menguji kelayakan layanan secara rasional. Validasi rasional dilakukan oleh pakar bimbingan dan konseling. pakar yang terlibat terdiri dari 2 (dua) orang yang memiliki latar belakang pendidikan Doktor (S3) dalam bidang bimbingan dan konseling yaitu Dr. H. Mubiar Agustin, M.Pd dan Dr. Ipah Saripah, M.Pd serta 1 (satu) orang konselor sekolah dari SMA BPI 1 Bandung yaitu Dra Hj Ati Budiarti.
Secara garis besar, terdapat dua dimensi yang dipertimbangkan oleh pakar, yaitu struktur dan isi layanan. Dimensi struktur layanan berkenaan dengan judul, penggunaan istilah, sistematika, keterbacaan, kelengkapan dan kesesuaian antar komponen layanan.
Dimensi isi kerangka kerja (framework) konseptual program bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan empati budaya meliputi rasional, tujuan program, komponen layanan, sasaran program, mekanisme pelaksanaan program, serta evaluasi dan indikator keberhasilan. Deskripsi hasil penimbang pakar terhadap dimensi layanan sebagai berikut.
Tabel 3.6
Hasil Penimbangan Pakar Terhadap Pedoman Rasional Rencana Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Empati Budaya
KOMPONEN PROGRAM HASIL PENIMBANGAN PAKAR
1 2
a. Rasional Rasional merupakan pertimbangan-pertimbangan teoritis dan empiris yang menjadi dasar pengembangan layanan. Hasil penimbangan pakar memandang hal tersebut belum cukup memadai. Pakar menyarankan merubah susunan pembahasan di rasional dengan memulai pembahasan dari aspek teoritis empati budaya yang dilanjutkan pada aspek rasional yang didapat dari deskripsi hasil angket.
b. Tujuan Bimbingan Tujuan layanan bimbingan merupakan gambaran perilaku yang diharapkan setelah siswa mengikuti layanan. Hasil penimbangan pakar tujuan program belum memadai, masukan dari pakar berkaitan dengan tujuan penelitian ini adalah disesuaikan dengan hasil data penelitian.
c. Aspek Komponen Layanan
KOMPONEN PROGRAM HASIL PENIMBANGAN PAKAR
1 2
d. Aspek Sasaran Bimbingan
Hasil penimbangan pakar menyatakan bahwa strategi layanan telah memadai telah memiliki sasaran yang intervensi yang tepat.
e. Sasaran Bimbingan Hasil penimbangan pakar terhadap sasaran bimbingan sudah memadai
f. Waktu Pelaksanaan Kegiatan
Waktu pelaksanaan kegiatan dari hasil penimbangan pakar dinyatakan sudah memadai
g. Aspek Mekanisme Pelaksanaan Bimbingan
Berisi gambaran singkat tentang langkah kerja dan aktivitas yang ada dalam setiap sesi layanan. Hasil penimbang pakar menyatakan bahwa aspek ini sudah memadai, namun ada catatan mengenai kesesuaian isi layanan dengan aktivitas dalam setiap sesi, sehingga menunjang tujuan pada setiap sesi layanan
h. Evaluasi dan Indikator Keberhasilan
Rumusan evaluasi keberhasilan dilakukan dalam setiap aktivitas layanan, jadi setiap sesi layanan disiapkan lembar kerja siswa berupa refleksi kegiatan. Dari hasil penimbangan pakar memandang sudah cukup memadai.
G.
Prosedur Pengumpulan Data1. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan pada awal Januari 2013 dengan responden berjumlah 120 orang, dan tersebar dari kelas XI IPA 1, XI IPA 2, XI IPA 3, XI IPA 4, X IPA 5 dan XI IPS 1, XI IPS 2
2.
Penyeleksian Dataangket yang disebarkan. Dari 123 orang responden yang mengisi skala, ternyata cuma ada 3 orang yang ketika dikumpulkan angket masih kosong belum diisi oleh responden, jadi 3 orang tersebut akhirnya diabaikan.
3. Tabulasi Data
Tabulasi data merupakan cara yang dilakukan dalam merekap semua data yang memadai untuk diolah, dimana data yang memiliki kelengkapan dalam pengisian, baik identitas maupun jawaban. Jumlah angket yang terkumpul harus sesuai dengan jumlah angket yang disebarkan
4. Penyekoran
Jenis instrumen empati budaya ini menggunakan model rating-scale yang digunakan yaitu summated ratings (Likert) dengan alternatif respons pernyataan subjek skala 5 (lima). Interval skor 1, 2, 3, 4, dan 5 apabila pernyataan bersifat negatif dan interval skor 5, 4, 3, 2, dan 1 apabila pernyataan bersifat positif; berikut adalah kategori pemberian skor :
Tabel 3.7
Kategori Pemberian Skor Alternatif Jawaban
Alternatif Jawaban SKOR
Positif Negatif
Sangat Sesuai 5 1
Sesuai 4 2
Ragu-ragu 3 3
Tidak Sesuai 2 4
G. Teknik Dan Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian tentang empati budaya yang menghasilkan data ordinal. Keseluruhan proses analisis data kuantitatif ini menggunakan bantuan perangkat lunak (software) PASW Statistic (SPSS) version 18.0 for Windows.
Untuk melihat posisi profil/gambaran umum empati budaya sebelum dan sesudah diberikan layanan, baik yang total maupun sub dimensi, dipergunakan batas lulus ideal yang perhitungannya didasarkan atas rerata ideal dan simpangan baku ideal skala nilai 0-4 (Cece Rakhmat dan M. Solehuddin, 2006: 63 dan 65) sebagai berikut.
_
+ 1,5 SDideal
_
+ 0,5 SDideal
_
- 0,5 SDideal
_
-1,5 SDideal
Keterangan:
X ideal = Rata-rata Ideal
Sebagai ilustrasi, berikut diberikan contoh cara memperoleh kualifikasi empati
budaya.
Diketahui:
Skor Maksimum Ideal (SMideal) = 245
Rata-rata Ideal (
ideal) = 122,5 Standar Deviasi Ideal (SD ideal) = 40,8
Ditanyakan: Kualifikasi empati budaya? Jawab :
122,5 + 1.5 40,8 183,8
122,5 + 0.5 40,8 142,9
122,5 - 0.5 40,8 102,1
122,5 - 1.5 40,8 61,3
Berdasarkan hasil di atas, kemudian dibuat klasifikasi berikut.
Tabel 3.8
Tabel Kualifikasi Empati Budaya
NO. SKOR KUALIFIKASI
1. > 183,8 Sangat Tinggi (ST)
2. 142,9 – 183,7 Tinggi (T) 3. 102,1 – 142,8 Sedang (Sd)
4. 61,3 – 102 Rendah (R)
5. < 61,3 Sangat Rendah (S R)
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Kesimpulan hasil penelitian tentang bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan empati budaya disajikan sebagai berikut.
1. Hasil studi menunjukan bahwa profil empati budaya siswa SMA BPI 1 Bandung kelas XI tahun pelajaran 2012-2013 berada pada kategori tinggi sekali, hal ini mengindikasikan siswa telah memiliki kapasitas dalam memahami budaya lain secara sadar, dapat menghormati karakteristik budaya lain, sehingga dapat mengambil pandangan berdasarkan perspektif budaya yang lain.
2. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada profil empati budaya sebelum dan setelah pemberian bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan empati budaya. Tetapi pada dasarnya terjadi perubahan tetapi nilainya kecil, hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan pada nilai rata-rata sebelum dan setelah pemberian bimbingan pribadi sosial untuk mengembangkan empati budaya. 3. Bimbingan pribadi sosial yang telah dikembangkan belum mampu
bimbingan pribadi sosialtersebut, perbaikan tersebut dapat menyangkut metode dan strategi layanan. Selain itu berkaitan dengan strategi layanan lebih disarankan menggunakan bimbingan kelompok secara menyeluruh karena metode ini dinilai dapat membuat perhatian siswa lebih terfokus, karena berdasarkan kajian teoritis menyatakan dalam riset multikultural lebih cocok dilakukan dengan memakai kelompok kecil.
B. Rekomendasi
Rekomendasi penelitian ditujukan kepada berbagai pihak yang terkait dengan hasil penelitian.
1. Pihak sekolah dan guru bimbingan dan konseling. Pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah perlu mengakomodasi kebutuhan tentang keragaman latar belakang siswa, salah satunya keragaman budaya yang dimiliki oleh siswa. Pengakomodasian ini perlu dilakukan oleh semua pihak yang terkait di sekolah. Proses pengakomosian tersebut dapat dilakukan dalam layanan bimbingan dan konseling yang dipadukan dengan aktivitas lain seperti pembelajaran maupun aktivitas ekstrakulikuler yang menunjang berkembangnya potensi siswa sesuai dengan kebutuhannya.
magister perlu dikembangkan mata kuliah yang menunjang dalam kompetensi bidang bimbingan dan konseling multikultural seperti yang ada pada jenjang sarjana dan doktoral
DAFTAR PUSTAKA
Anonim (2008). Emphaty (online) Tersedia : http://plato.stanford.edu (diakses 18 Januari 2012)
______(2010). Cultural Competence vs Cultural Empathy (online) Tersedia : http://engageabroad.com (diakses 18 Januari 2012)
______ (2011). Ethnocultural empathy. (online) Tersedia http://en.wikipedia.org ( diakses 18 Januari 2012)
---(tt). Konflik Sampit. (online). Tersedia : http://id.wikipedia.org (diakses 18 Januari 2012)
Abdillah, U. (2001). Politik Identitas Etnis. Magelang : Indonesia Tera.
ABKIN. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling alam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.
Adam, G., R., (1983) Social Competence During Adolescence: Social Sensitivity, Locus Of Control, And Peer Popularity. Journal Of Yoauth And Adolescence. Vol. 12, No 03, 203-211.
Ahmadi, A. (1991). Psikologi Sosial. Jakarta : Rineka Cipta
Ahmadi. Yaaghob, & Shahmohamadi.Anwar (2011). An Investigation Into The Effects Of Cultural Empathy And Social Initiatives On Cultural Intelligence (CQ) In Sanandaj City. African Journals of Social Sciences, Volume 1 Number 2 (2011) ; pp.1 -10
Ahmadi. Yaaghob, Shahmohamadi.A & Araghi. M.M (2011) The Study of Effect of Socio-cultural Factor on Cultural Intelligence(CQ) International Journal of Humanities and Social Science Vol. 1 No. 12; September 2011
Ajzen, I. (2001): Nature and Operation of Attitudes; in: Annual Review of Psychology, Vol. 52, pp. 27-58
Akuntono, Indra (2011) Konflik Sampang karena Perbedaan Pendapat(online). Tersedia : www.kompas.com (diakses 20 Januari 2012)
Ancok .(2003). Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi. UGM, (tidak diterbitkan).
Arikunto, Suharsimi (2003). Prosedur Penelitian, Suatu Praktek. Jakarta : Bina. Aksara
Arjanto, Paul (2011). Proses Kelompok : Tahap Transisi ( online) Tersedia : http://paul-arjanto.blogspot.com (diakses 18 Januari 2012)
Arthur, W. J. & Bennett, W. J. (1995). The international assignee: The relative importance of factors perceived to contribute to success. Personnel Psychology, 48(1), 99-114.
Bandem, I Made. 2001. “Seni dalam Perspektif Pluralisme Budaya”. Makalah
SEMNAS di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Oktober 2001
Bedford & Hwang (2003). Guilt and Shame in Chinese Culture : A Cross-cultural Framework from thePerspective of Morality and Identity. Journal for the Theory of Social Behaviour 33:2 0021–8308
Brantmeier, E.J., (2008) Building Intercultural Empathy For Peace. Dalam Lin, J., Bruhn, C., Brantmeier, E.J., (eds) Transforming Education for Peace’ North Carolina : Information Age Publishing, Inc.
Brouwer M. A. R. & Boros.S (2010) “The Influence Of Intergroup Contact And
Ethnocultural Empathy On Employees Attitudes Toward Diversity”
Journal Cognition, Brain, Behavior Volume XIV, No. 3 (September), 243-260
Chung, R. C. Y., & Bemak, F. (2002). The Relationship Of Cultural And Empathy In Cross-Cultural Counseling. Journal of Counseling and Development, 80, 154-159.
Citaripah, R (2011). Program Bimbingan Pribadi Sosial untuk Mengembangkan Kemampuan Penyesuaian Diri Siswa. FIP UPI. Skripsi : Tidak diterbitkan. Heppner, et.al. (2008), Research Design in Counseling, Chapter 15, Belmont : Interdependence as Mediators of Gender Differences in Attitudes toward Hate Speech and Freedom of Speech. Psychology Of Women Quarterly, 27(4), 300-308.
Cresswell, J.W (2012). Educational Research . Boston : Pearson Publising
Crutchfield, L. B., Baltimore, M. L., Felfeli, M., & Worth, S. (2000). Empathic Responding Skills Across Counselor Education Training Tracks: A Comparison Study. Journal of Humanistic Counseling, 38(3), 162-169. Cundiff, N. L., & Komarraju, M. (2008). Gender Differences In Ethnocultural
Empathy And Attitudes Toward Men And Women In Authority. Journal of Leadership & Organizational Studies, 15, 5-15.
Curdiff. N.L, Nadler. J.T, & Swan. A (2009) Ethnocultural Empathy, Gender, and Perceptions of Diversity Programs (online) Tersedia : www.midwestacademy.org (diakses 20 Januari 2012)
Drummond & Jones (2009). Assessment Procedures for Counselors and Helping Professionals. Prentice Hall PTR
Duan, C., & Hill, C. E. (1996). The Current State Of Empathy Research. Journal of Counseling Psychology, 43, 261-274.
Dovidio, J. F., Vergert, M., Stewart, T. L., Gaertner, S. L., Johnson, J. D., & Esses, V. M., et al. (2004). Perspective And Prejudice: Antecedents And Mediating Mechanisms. Personality and Social Psychology Bulletin, 12, 1537-1549.
Fessler (2004). Shame in Two Cultures : Implications for Evolutionary Approaches. Journal of Cognition and Culture 4.2st
Godyear. F.H. (1973). A Test of Cultural Empathy. (online) Tersedia : www. eric digest.ed.gov (diakses 18 Januari 2012)
Goleman, D. (1998). Kecerdasan Emosional : Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ. Alih Bahasa : T. Hermaya. Jakarta : Gramedia.
___________ (2007), Social Intelligence: Ilmu Baru tentang Hubungan Antar Manusia, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Green, J. W. (1998). Cultural Awareness In The Human Services: A Multi-Ethnic Approach (3rd ed.). Toronto: Allyn & Bacon.
Hanum, Farida (2010). Multikulturalisme dan Pendidikan, ( Online ) Tersedia : www. http://staff.uny.ac.id (diakses 18 Januari 2012)
Hurlock, Elizabeth B. ( 1988 ). Perkembangan Anak. Alih Bahasa Meitasari Tjandrarasa & Mulichah Zarkasih. Jakarta: Erlangga
Hurlock, Elizabeth B. (1998). Psikologi Perkembangan, terj. Istiwidiyanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga
Hasan, Nurdin (eds). (2011). Multikulturalisme : Menuju Pendidikan Berbasis Multikultur. (Online). Tersedia : www.scribd.com (diakses 18 Januari 2012)
Herdi (2008) Pengembangan Model Pelatihan Untuk Meningkatkan Kompetensi Konseling Multikultural Calon Konselor. SPS UPI. Tesis : Tidak diterbitkan
Ibrahim, F.A. (1991). Contribution of Cultural Worldview to Generic Counseling and Development. Journal of Counseling and Development, 70, 13-19. Ilfiandra. (2008). Model Konseling Kelompok Berbasis Pendekatan Kognitif
Perilaku Untuk Mengurangi Gejala Prokrastinasi Akademik.. Bandung: SPS UPI . Tesis. (Tidak Diterbitkan)
Ivey, A.E. Ivey, M.B., & Simek-Morgan, L. (1997). Counseling and Psychotherapy: A Multicultural Perspective, Fourth, Edition. Boston: Allyn and Bacon.
Junn, E. N., Morton, K. R., & Yee, I. (1995). The “Gibberish” Exercise: Facilitating Empathetic Multicultural Awareness. Journal of Instructional Psychology, 22, 324–329.
Kartadinata, S. (2005). “Standardisasi Profesi Bimbingan dan Konseling”. Makalah pada Konvensi Nasional XIV dan Kongres Nasional X ABKIN, Semarang, 13-16 April 2005.
___________ (1996) Kerangka Kerja Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan: Pendekatan Ekologis Sebagai Suatu Alternatif. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru besar Bimbingam Penyuluhan FIP IKIP Bandung.
Khadafi, A (2012). Proses Konseling Kelompok. (online) Tersedia : http://asrofulkhadafi.wordpress.com (diakses 8 Agustus 2012)
Ketut, S. Dewa (2002). Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta.
Kreuzer, Peter (2002). Applying theories of ethnocultural conflict and conflictresolution to collective violence in Indonesia. Peace Research Institute Frankfurt : Frankfurt
Laksono, K. Dwiarto (2009) Hubungan Empati Dengan Perilaku Prososial Pada Peer Educator Universitas Katolik Soegijapranata. Tesis , Unika Soegijapranata : (Tidak diterbitkan)
Lawrence, D., & Luis, H. Z. (2001). Cross-Cultural Empathy And Training The Contemporary Psychotherapist. Clinical Social Work Journal, 29, 3.
Lau, S.R, (2011) Cultivating Culturally Empathic Environments In The Academic Setting. Tesis. Gonzaga University. Washington : Tidak diterbitkan
Mallett, R. K., Wilson, T. D., & Gilbert, D. T (2009). Expect The Unexpected: Failure To Anticipate Similarities When Predicting The Quality Of An Intergroup Interaction. Journal of Personality and Social Psychology. Manstead, A.S.R., & Hewstone, M. (1996). The Blackwell Encyclopedia Of Social
Psychology. Oxford: Blackwell Publisher Ltd
Matsumoto, D.,& Takeuchi, S. (1998). Emotions and intercultural communication. Intercultural Communication Research, Kanda University of International Studies Intercultural Communication Institute, 11, 1-32.
Merrell-James, (2006). “Intra-racial bullying: An issue of multicultural counseling” (online ) . Tersedia di http://gwired.gwu.edu (diakses 5 Juli 2011)
Miharja (2012) Inspirasi Konseling Islami dalam Konseling Karir. (Online). Tersedia : http://bimbingankonselingislambandung.blogspot.com (diakses 30 juni 2013)
Misu (2009). Cross Cultural Empathy. (online) Tersedia : http://empathicperspectives.blogspot.com (diakses 18 Januari 2012)
Mugiarso (2012). Konseling Dalam Analisis Lintas Budaya (Kasus Indonesia). (Online). Tersedia : http://labkonselingumk.blogspot.com (diakses 30 Juni 2013)
Mussen, P.H. 1994. Perkembangan dan Kepribadian Anak (Terjemahan Budiyanto, F.X., dkk). Jakarta: Archan.
Newsdale, D., Griffith, J., Durkin, K., & Maass, A. (2005). Empathy, group
norms and children’s ethnic attitudes. Applied Developmental Psychology, 26, 623-637.
Nguyen, Patty (2009). Social Context, Ethnic Identity, And Ethnocultural Empathy. Tesis . California State University, Sacramento. : Tidak diterbitkan
Nurihsan, Juntika. (2003). Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Bandung : Mutiara.
Nurihsan, Juntika & Sudianto, A (2004) Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Bandung : Remaja Rosdakarya
Nurihsan, Juntika & Supriatna, M (Eds.). (2005). Pendidikan dan Konseling di Era Global dalam Perspektif Prof. Dr. M. Djawad Dahlan. Bandung : Rizqi Press.
Nurihsan, Juntika (2006). Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung : Refika Aditama.
Oscar, Ferri (2012). LSI: Ini 5 Kasus Kekerasan Paling Mengerikan di Indonesia. (online). Tersedia : http://news.liputan6.com (diakses 16 januari 2013). Parson, E. R. (1993). Ethnotherapeutic Empathy (Ethe): II. Techniques In
Interpersonal Cognition And Vicarious Experience Across Cultures. Journal of Contemporary Psychotherapy, 23, 171–182.
Pedersen, P.B., ed. (1986). Counseling Across Cultures. Hawaii : East-West Center.