CULTURAL CENTER DESIGN IN BULUKUMBA WITH NEO-VERNACUAR ARCHITECTURAL APPROACH
Disusun dan Diajukan Oleh
H A S M I T A 105 83 11066 16
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR MAKASSAR
2021
Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Stu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Program Studi Arsitektur Fakultas Tenik
Disusun dan diajukan oleh
H A S M I T A 105 8311 066 16
PADA
PROGRAM STUDI ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR MAKASSAR
2021
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR PROGRAM STUDI ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
GEDUNG MENARA IQRA LT. 3
JI. Sultan Alauddin No. 259 Telp. (0411) 866 972 Fax (0411) 865 588 Makassar 90221 Website: www.unismuh.ac.id, e-mail : [email protected]
Website: http://teknik.unismuh.makassar.ac.id
HALAMAN PERSETUJUAN
Tugas Akhir ini diajukan untuk memenuhi syarat ujian guna memperoleh gelar Sarjana Teknik ( S.Ars.) Program Studi Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar.
Judul Skripsi : PERANCANGAN CULTURAL CENTER DI BULUKUMBA DENGAN PENDEKATAN NEO VERNAKULAR
Nama : HASMITA Stb : 10583 11066 16
Makassar, 20 April 2021 M Telah Diperiksa dan Disetujui
Oleh Dosen Pembimbing
Telah diperiksa dan disetujui
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Ir Rasmawarni, MM. Dr. Ashari Abdullah, ST.,MT.
Mengetahui,
Ketua Program Studi Arsitektur
lrnawaty ldrus, ST.,MT.~
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyusun skripsi tugas akhir ini dengan baik. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat akademik yang harus ditempuh untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi pada Program
Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi tugas akhir ini masih banyak kekurangan-kekurangan, hal ini disebabkan penulis sebagai manusia biasa yang tak luput dari kesalahan baik dari segi penulisan maupun pengolahan data yang dilampirkan. Oleh karena itu, penulis menerima dengan ikhlas atas kritik maupun saran demi penyempurnaan skripsi tugas akhir ini agar kelak dapat bermanfaat.
Skripsi tugas akhir ini dapat terwujud berkat adanya dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, tanpa mengurangi rasa hormat penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Prof. Dr H Ambo Asse, M.Ag , MM sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar.
2. Bapak Ir. Hamzah Al Imran, ST., MT sebagai Dekan Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar.
3. Ibu Irnawaty Idrus, ST., MT sebagai Ketua Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Makassar.
4. Ibu Ir. Rasmawarni, MM sebagai pembimbing I dan Bapak Ashari Abdullah, ST., MT sebagai pembimbing II yang telah dengan ikhlas memberikan bimbingan dan arahan selama penyusunan skripsi ini.
5. Ibu Andi Annisa Amalia ST., M.Si, dan Ibu Khilda Wildana Nur, ST., MT serta Bapak Fitrawan Umar, ST., M.Sc sebagai penguji yang telah dengan baik dan bijak memberikan pertanyaan dan sarannya selama pengujian dan penyusunan skripsi.
6. Bapak dan Ibu dosen serta staf pegawai pada Fakultas Teknik atas segala waktunya yang telah mendidik dan melayani penulis selama mengikuti proses belajar mengajar di Universitas Muhammadiyah Makassar.
7. Kedua orang tua dan kakak-kakak tercinta, terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala limpahan dukungan, do‟a dan pengorbanannya terutama dalam bentuk materi dalam menyelesaikan kuliah.
8. Teman-teman Till Jannah yang telah menjadi support sistem yang selalu setia mensupport penyelesaian skripsi ini.
9. Blackpink yang telah menginspirasi saya untuk tetap semangat dan untuk tidak lelah dalam menjalani hidup.
Semoga semua pihak tersebut di atas mendapat pahala yang berlipat ganda di sisi Allah SWT dan skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis, rekan-rekan, masyarakat serta bangsa dan Negara. Aamiin.
Makassar, 24 Januari 2021
H A S M I T A
ABSTRAK
HASMITA. Perancangan Cultural Center di Bulukumba Dengan Pendekatan Neo-Vernakular (dibimbing oleh Ir. Rasmawarni, MM dan Ashari Abdullah, ST., MT).
Desain yang merupakan Cultural Center ini terletak pada lahan 370.000 m² yang berlokasi di Jalan Poros Bulukumba-Bira, Kecematan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba. Rancangan ini memiliki fungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat sekitar untuk melestarikan dan memperkenalkan kebudayaan Bulukumba terhadap masyrakat luar dan regenaris selanjutnya.
Dengan menerapkan pendekatan arsitektur neo-vernakular diharapkan pendekatan ini dapat mengangkat ciri khas kebudayaan Bulukumba. Rancangan ini menekankan campuran bentuk tradisional modern dengan beberapa sentuhan ornament material setempat untuk menyusuaikan dengan keadaan kebudayaan sekitar. Selain itu dengan luasnya lansekap, maka elemen ini juga digunakan sebagai elemen pendukung arsitektur neo-vernakular pada bangunan agar kualitas ruang dalam maupun luar dapat terwujud semaksimal mungkin.
ABSTRACT
HASMITA. Cultural Center Design in Bulukumba Using Neo-Vernacular Approach (supervised by Ir. Rasmawarni, MM and Ashari Abdullah, ST., MT).
The design, which is a Cultural Center, is located on an area of 370,000 m² which is located on Jalan Poros Bulukumba-Bira, Ujung Bulu districts, Bulukumba Regency. This design has a function as a center for the activities of the surrounding community to preserve and introduce Bulukumba culture to outsiders and subsequent regents.
By applying the neo-vernacular architectural approach, it is hoped that this approach can raise the characteristics of Bulukumba culture. This design emphasizes a mixture of modern traditional forms with a few touches of local material ornament to adapt to the surrounding cultural conditions. Apart from that, with the vastness of the landscape, this element is also used as a supporting element for neo-vernacular architecture in buildings so that the quality of the inner and outer spaces can be realized as much as possible.
DAFTAR ISI
SAMPUL ...i
HALAMAN PERSETUJUAN... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR GAMBAR ...iv
DAFTAR TABEL... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
a. Latar Belakang ... 1
b. Rumusan Masalah ... 6
c. Tujuan dan Sasaran ... 6
d. Metode Pembahasan dan Perancangan ... 7
e. Ruang Lingkup Perancangan ... 8
f. Sistematika Penulisan... 8
BAB II STUDI PUSTAKA ... 10
a. Kebudayaan ... 10
1. Pengertian Kebudayaan ... 10
2. Komponen atau Unsur Kebudayaan... 11
3. Wujud Kebudayaan ... 12
4. Sifat – Sifat Kebudayaan ... 12
b. Cultural Center (Pusat Kebudayaan) ... 15
1. Pengertian Cultural Center (Pusat Kebudayaan) ... 15
3. Fasilitas Cultural Center (Pusat Kebudayaan) ... 16
4. Tugas Cultural Center (Pusat Kebudayaan) ... 17
5. Jenis Kegiatan Cultural Center (Pusat Kebudayaan)... 18
6. Jenis Fasilitas Cultural Center (Pusat Kebudayaan) ... 19
7. Jenis Kegiatan Kerjasama Cultural Center (Pusat Kebudayaan) ... 21
c. Bulukumba dan Kebudayaannya ... 23
1. Gambaran Umum Kota Bulukumba ... 23
a) Letak Geografis Kabupaten Bulukumba ... 23
b) Keadaan Topografi Kabupaten Bulukumba ... 24
c) Keadaan Administrasi Kabupaten Bulukumba ... 24
d) Keadaan Klimatologi Kabupaten Bulukumba ... 25
e) Kependudukan Kabupaten Bulukumba... 26
f) Arah Pembangunan Kota Bulukumba ... 28
2. Kebudayaan Bulukumba ... 29
a) Suku Kajang ... 30
b) Perahu Phinisi... 42
c) Tari Tradisional Bulukumba ... 49
d) Kuliner Khas Bulukumba ... 55
e) Dato Ri Tiro ... 57
d. Hubungan Kebudayaan Bulukumba terhadap Fasilitas Bangunan Cultural Center (PusatKebudayaan) ... 61
e. Kajian Fungsi Utama Bangunan Cultural Center (Pusat Kebudayaan) ... 63
1. Gedung Pertunjukkan ... 63
2. Galeri (Ruang Pameran) ... 71
3. Workshop ... 73
f. Arsitektur Neo-Vernakular ... 75
1. Arsitektur Vernakular... 75
2. Pengertian Arsitektur Neo-Vernakular ... 75
3. Ciri – Ciri Arsitektur Neo-Vernakular ... 76
4. Model Pendekatan Arsitektur Neo-Vernakular ... 78
g. Konsep Perancangan Cultural Center (Pusat Kebudayaan) Dalam Islam ... 84
h. Studi Banding ... 87
1. Studi Banding Objek ... 87
2. Studi Banding Tema ... 99
BAB III ANALISIS PERENCANAAN CULTURAL CENTER DI BULUKUMBA DENGAN PENDEKATAN NEO-VERNAKULAR ... 105
a. Analisis Tapak ... 105
1. Konsep Pemilihan Tapak ... 105
2. Sirkulasi ... 109
3. Orientasi Bangunan ... 110
4. Analisis Matahari ... 111
5. Kebisingan... 112
6. Vegetasi ... 113
7. Zonasi Tapak ... 114
8. Konsep Penataan Ruang ... 115
b. Analisis Fungsi dan Program Ruang ... 117
1. Analisis Potensi Jumlah Pengunjung ... 117
2. Analisis Fungsi ... 119
3. Analisis Pelaku Kegiatan ... 119
4. Kebutuhan Ruang ... 121
5. Besaran Ruang ... 125
6. Analisis Persyaratan Ruang... 133
7. Analisis Alur Sirkulasi Pengguna ... 136
8. Analisis Hubungan Ruang... 137
c. Analisis Bentuk Tampilan Bangunan ... 141
1. Konsep Tatanan Massa ... 141
2. Konsep Bentuk Bangunan ... 142
3. Konsep Penampilan Fasad Bangunan ... 143
d. Analisis Kelengkapan Bangunan ... 144
1. Konsep Struktur ... 144
2. Konsep Utilitas ... 146
3. Analisis Pendekatan Perancangan ... 146
BAB IV KONSEP PERANCANGAN ... 153
a. Situasi ... 153
b. Konsep Tapak ... 154
1. Sirkulasi... 154
2. Kebisingan... 155
3. View ... 156
c. Konsep Pemrograman Ruang ... 156
d. Konsep Tampilan Bentuk Bangunan ... 158
e. Konsep Kelengkapan Bangunan ... 162
1. Struktur ... 162
2. Utilitas ... 163
3. Material ... 168
BAB V PENUTUP ... 170
a. Kesimpulan ... 170
b. Saran... 170
DAFTAR PUSTAKA ... 172
DAFTAR GAMBAR
1 Peta Kabupaten Bulukumba ... 23
2 Presentase Penduduk Tiap Kecematan di Bulukumba ... 26
3 Kepadatan Penduduk Tiap Kecamatan di Bulukumba... 27
4 Kepadatan Penduduk Tiap Kecamatan di Bulukumba... 30
5 Pembuatan Kain Tenun ... 33
6 Upacara Adat ... 33
7 Tarian Adat... 34
8 Kegiatan Menuju Ladang ... 34
9 Konsep Orientasi ... 35
10 Organisasi Ruang Vertikal ... 37
11 (a) Timpa Laja 2 Susun, (b) Timpa Laja Lebih dari 2 ... 38
12 Organisasi Ruang Horisontal ... 39
13 Susunan Pola Tiang Tengah (Benteng) ... 40
14 Tiang yang ditanah ... 40
15 Tanduk kerbau pada tiang tengah (Pocci Balla) ... 41
16 Sistem Konstruksi ... 41
17 Perahu Phinisi... 42
18 Tari Salonreng ... 49
19 Tari Pabitte Passapu ... 53
20 Jangung Marning ... 55
21 Barongko ... 55
22 Bandang-bandang ... 56
23 Barobbo ... 56
24 Kue Uhu-Uhu ... 57
25 Layout Teater ... 62
26 Standarisasi Tempat Duduk ... 62
27 Standarisasi Tempat Duduk ... 63
28 Ukuran Tinggi Tempat Duduk ... 64
29 Ruang Ganti Pakaian ... 64
30 Ruang Tata Rias ... 64
31 Layout Ruang Perlengkapan ... 65
32 Amfiteater ... 66
33 Ruang Pameran dengan Dinding Penutup... 69
34 Penerangan dan ukuran ruang pameran ... 70
35 Dimensi Manusia & Ruang Interior ... 70
36 Analisa Besaran Ruang Workshop Bagi Difabel ... 71
37 Yurihonjo City Cultural Center ... 83
38 Lokasi Yurihonjo City Cultural Center ... 84
39 Multipurpose Theater ... 86
40 Interior Perpustakaan ... 87
41 Ruang Baca dan Browsing ... 87
42 Bola Beton Mengambang diatas Perpustakaan ... 88
43 Bola Beton Mengambang diatas Perpustakaan ... 88
45 Urutan Sirkulasi Utama ... 89
46 Bangunan Radjawali Semarang Cultural Center... 94
47 Perspektif Bandara Soekarno Hatta ... 96
48 Arsitektur Tradisional Rumah Joglo untuk Hunian ... 97
49 Bangunan Pendopo pada Bandara Seokarno-Hatta... 98
50 Kolom, Balok dan Usuk yang diekspose ... 98
51 Fasade Istana Budaya atau National Theatre di Malaysia ... 99
52 Interior Auditorium dan Panggung Pertunjukkan ... 99
53 Tapak Dalam Peta ... 102
54 Tapak Perencanaan... 104
55 Sirkulasi... 105
56 Orientasi Bangunan ... 106
57 Analisis Matahari ... 107
58 Kebisingan... 108
59 Vegetasi ... 109
60 Zonasi Tapak ... 110
61 Konsep Penataan Ruang ... 111
62 Alur Sirkulasi Pengujung ... 132
63 Alur Sirkulasi Pengelola ... 132
64Alur Sirkulasi Pengrajin ... 133
65 Hubungan Ruang Secara Umum ... 133
67 Hubungan Ruang Pertujukkan Cultural Center ... 134
68 Hubungan Ruang Pameran Cultural Center ... 134
69 Hubungan Ruang Workshop Cultural Center... 135
67 Hubungan Ruang Penunjang Cultural Center ... 135
68 Konsep Tatanan Massa ... 136
69 Tatanan Massa ... 137
70 Olah Bentuk Tampak Bangunan ... 138
71 Hasil Olah Bentuk Tampak Bangunan ... 139
72 Teba dan Timpa laja ... 139
73 Jaringan Air Bersih ... 144
74 Jaringan Air Kotor... 145
75 Sistem Jaringan Listrik ... 146
76 Situasi ... 149
77 Konsep Sirkulasi ... 150
79 Konsep Kebisingan ... 151
80 Konsep View ... 151
81 Konsep Program Ruang ... 152
82 Konsep Bentuk Bangunan ... 154
83 Tampak Depan Bangunan ... 154
84 Tampak Depan Ruangan Ticket Box Theater dan Tunggu ... 155
85 Detail Ruangan Ticket Box ... 155
86 Detail Ruangan Tunggu ... 156
87 Warna Kuat dan Kontras ... 156
88 Kesatuan Interior Ruangan Pameran ... 157
89 Struktur Atap ... 158
90 Pencahayaan alami ... 159
91 Pencahayaan Buatan... 159
92 Penghawaan Alami... 160
93 Penghawaan Buatan ... 161
94 Struktur ... 161
95 Isometri Air Bersih ... 161
96 Jaringan Listrik... 162
97 Evakuasi Kebakaran ... 163
98 Penangkal Petir... 163
99 Sistem Struktur ... 164
100 Material Arsitektur Interior ... 164
101 Material Arsitektur Eksterior ... 165
DAFTAR TABEL
1. Identifikasi Kawasan Strategis Kabupaten
Bulukumba (KSK) berdasarkan RT/RW ... 28
2. Hubungan Kebudayaan Bulukumba terhadap Fasilitas Bangunan Cultural Center (PusatKebudayaan) ... 58
3. Analisis Studi Banding Objek ... 90
4. Kriteria Pemilihan Tapak ... 102
5. Pemilihan Tapak ... 103
6. Penilain Tapak ... 103
7. Penempatan vegetasi dalam tapak ... 109
8. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan nusantara (2010-2014)... 113
9. Analisis Jenis Kegiatan dan Kebutuhan Ruang ... 117
10. Besaran Ruang Kegiatan Operasional Cultural Center ... 122
11. Besaran Ruang Kegiatan Ruang Teater Cultural Center ... 123
12. Besaran Ruang Kegiatan Galeri Seni dan Kebudayaan Cultural Center ... 124
13. Besaran Ruang Studio Workshop Cultural Center ... 126
14. Besaran Ruang Penunjang Kawasan Cultural Center ... 127
15. Besaran Ruang Kegiatan Service Cultural Center ... 127
16. Besaran Ruang Parkir Cultural Center ... 128
17. Rekapitulasi Besaran Ruang Cultural Center ... 128
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk karena masyarakatnya terdiri atas kumpulan orang atau kelompok dengan ciri khas kesukaan yang memiliki beragam budaya dengan latar belakang suku bangsa yang berbeda.
Keanekaragaman budaya di Indonesia memiliki lebih dari ribuan suku bangsa yang bermukim di wilayah yang tersebar di ribuan pulau terbentang mulai dari sabang sampai merauke. Adanya berbagai kelompok masyarakat yang beragam, keragaman budaya di indonesia merupakan sebuah potensi yang perlu dimanfaatkan agar dapat mewujudkan kekuatan yang mampu menjawab berbagai tantangan saat ini seperti melemahnya budaya lokal sebagai bagian dari masyarakat (Sayutiraka, 2019).
Sulawesi Selatan dengan segala kearifan lokal yang dimiliki dan sumber daya manusianya menjadikannya sebagai salah satu provinsi yang patut untuk dipertimbangkan di kancah Nasional, dengan ragam adat istiadat, budaya dan seni yang dimiliki masing-masing daerah yang ada di Sulawesi Selatan.
Kesenian Sulawesi Selatan dikenal sebagai kebudayaan tinggi dalam konteks kekinian. Karena pada dasarnya seni tidak hanya menyentuh beberapa aspek kehidupan tetapi lebih dari itu dia mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap lingkungan sekitar dan psikologis (Website Provinsi Sulawesi Selatan, 2018).
Kabupaten Bulukumba adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak diKota Bulukumba. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.154,67 km² dan berpenduduk sebanyak 395.560 jiwa tahun 2019. Penduduk di Kabupaten Bulukumba dari berbagai macam suku bangsa yang sebagian besar adalah suku Bugis, dan Makassar. Selain itu terdapat juga satu suku yang masih memegang teguh tradisi leluhur dengan mempertahankan pola hidup tradisional yang bersahaja dan jauh dari kehidupan modern, yakni Suku Kajang. Suku Bugis Makassar yang dikenal sebagai pelaut sejati, telah menumbuhkan budaya maritim yang cukup kuat di masyarakat Bulukumba dengan slogan "Bulukumba Berlayar", masyarakat Bulukumba menyatakan eksistensinya dengan kata layar mewakili pemahaman subyek perahu sebagai refleksi kreatifitas dan karya budaya yang telah mengangkat Bulukumba di percaturan kebudayaan nasional dan internasional, sebagai 'Bumi Panrita Lopi' (Website Provinsi Sulawesi Selatan, 2019).
Perkembangan kebudayaan yang semakin meningkat mengakibatkan budaya asing dapat ditemui dengan mudah, terutama budaya barat yang tidak sesuai dengan adat budaya timur seperti Indonesia. Budaya asing dapat menambah edukasi bagi bangsa Indonesia, terutama di bidang Ilmu Pengetahuan. Namun budaya asing tidak selalu berdampak positif, karena dengan adanya budaya asing, budaya kita sendiri mulai diabaikan (Website Pemerintah Kabupaten Buleleng, 2019). Pola pikir manusia yang mengalami beberapa perubahan, yang membuat anak-anak generasi muda berpendapat
bahwa kebudayaan tak lagi memiliki nilai yang begitu menarik. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, diantaranya faktor kurangnya rasa mencintai kebudayaan, anak-anak penerus bangsa yang tidak tahu bagaimana menjaga serta melestarikan budayanya, dan kebudayan-kebudayaan barat yg mengacu pola pikir anak-anak penerus generasi bangsa (Namira, 2017).
Kebudayaan merupakan jati diri negara, ciri khas negara, dan merupakan suatu keistimewaan. Oleh karena itu pentingnya menjaga nilai kebudayaan serta menjaga kelestarian kebudayaan yang merupakan cerminan kebiasaan yang telah sepatutnya bagi diri kita untuk menjaga serta melestarikan nilai suatu kebudayaan, agar anak cucu kita nanti dapat mempelajari, memahami, dan tidak akan terbawa arus kebudayaan asing.
Terlepas dari sadar maupun tidak sadar bahwasanya kebudayaan memang sangatlah penting dan memiliki nilai yg begitu tinggi. Berbagai pengelola budaya telah dilakukan agar warisan bangsa yang sangat berharga ini tetap terjaga dan agar tidak dapat digantikan oleh budaya asing yang masuk (Namira, 2017).
Bulukumba memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang sangat baik untuk dijaga, dilestarikan, dikaji dan dipelajari kembali. Adapun budaya yang harus kita lestarikan dibulukumba seperti kebudayaan suku adat Ammatoa di Kecamatan Kajang yang menganut ajaran leluhur mereka yaitu pasang ri kajang yang sangat menekankan untuk menjaga kearifan lokal dan menjaga kelestarian alam seperti hutan lindung yang ada di wilayah tersebut. Selain itu juga Bulukumba dikenal sebagai pusat daerah pembuat perahu phinisi. Seni
Pembuatan Kapal phinisi, mengacu pada anjungan dan layar „Sulawesi schooner‟ yang terkenal. Phinisi telah menjadi lambang kapal layar pribumi Nusantara. Dan juga Bulukumba memiliki tarian budaya seperti tari Pabitte Passapu, tari Paduppa dan tari Salonreng. Serta Bulukumba memiliki makanan khas seperti Bandang, Kue barongko, Jagung marning, barobbo dan kue uhu- uhu.
Salah satu kebudayaan di Bulukumba yang ikonik adalah kapal Phinisi, sebuah nama kapal yang sudah tersohor ke seluruh dunia akan kegagahannya dalam mengarungi samudra. Kapal asli Indonesia ini tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia saja, namun juga kebanggaan masyarakat Sulawesi secara khusus. Sebagai sebuah warisan budaya dan ikon kebudayaan masyarakat Bugis, Kapal phinisi kini sudah menjadi daya tarik wisata yang mampu menarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Guna mengembangkan potensi wisata budaya ini menjadi lebih besar, Festival phinisi pun digelar setiap tahun. Festival phinisi ini adalah sebuah festival tahunan yang digelar untuk mengenalkan Kapal phinisi ke mata dunia. Melalui festival ini, pengunjung dapat melihat proses pembuatan, keahlian hingga beragam upacara adat dan ritual yang menyertai pembuatan dan peluncurannya (Muthalib, 2021).
Menjaga dan melestarikan kebudayaan lokal untuk tetap dapat dikenal oleh generasi selanjutnya maka diperlukan wadah agar nilai kebudayaan tetap hidup di era globalisasi ini. Oleh karena itu Cultural Center (Pusat Kebudayaan) dirancang sebagai wadah untuk menjaga dan melestarikan
warisan budaya. Perancangan Cultural Center (Pusat Kebudayaan) di Kabupaten Bulukumba dipilih karena di Kabupaten Bulukumba belum mempunyai Cultural Center (Pusat Kebudayaan) untuk menjaga kebudayaan yang di daerah tersebut dan sebagai wadah untuk festival phinisi yang adakan setiap tahun di Bulukumba. Dengan adanya Cultural Center (Pusat Kebudayaan) di Kabupaten Bulukumba, dapat memberikan pengetahuan kebudayaan kepada pengunjung. Cultural Center (Pusat Kebudayaan) ini juga dapat menjadi tempat yang tepat bagi mereka yang mengadakan research / penelitian dan bisa menjadi tempat wisata edukasi kebudayaan dan sejarah, bahkan bisa menjadi ikon wisata tersendiri sehingga meningkatkan pariwisata di Kabupaten Bulukumba.
Cultural Center (Pusat Kebudayaan) ini menyediakan Ruang Publik terbuka yang dapat di manfaatkan bagi masyarakat setempat sebagai tempat bersantai dan juga menyediakan tempat perbelanjaan. Selain itu Cultural Center (Pusat Kebudayaan) ini juga nantinya bisa difungsikan sebagai tempat untuk mempelajari cara pembuatan kapal Phinisi yang merupakan salah satu mahakarya dan simbol masyarakat Kabupaten Bulukumba, yang dikenal sebagai "Butta Panrita Lopi" atau daerah bermukimnya orang yang ahli dalam membuat perahu, dan juga Cultural Center (Pusat Kebudayaan) ini akan di fungsikan sebagai tempat pertunjukkan kesenian yang ada diBulukumba seperti kesenian tari ataupun menampilkan film pendek mengenai penyebaran agama Islam yang di ajarkan oleh Dato Tiro di Kabupaten Bulukumba,
sehingga pengunjung dapat mempelajari proses masuknya agama Islam dan mengenal sosok dari Dato Tiro itu sendiri.
Keberagaman kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsa yang sangat diperlukan untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah dinamika perkembangan dunia. Pentingnya menjaga dan melestarikan kebudayaan dalam suatu daerah adalah faktor pendukung untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Oleh karena itu penulis mengangkat konsep dengan judul “Perancangan Cultural Center di Bulukumba dengan Pendekatan Neo-Vernakular”
B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah dalam penulisan ini adalah:
1. Bagaimana merancang bangunan Cultural Center (Pusat Kebudayaan) sebagai ruang edukasi budaya di Kota Bulukumba?
2. Bagaimana penerapan Arsitektur Neo-Vernakular ke dalam bangunan Cultural Center (Pusat Kebudayaan) di Kota Bulukumba?
C. Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan
Adapun Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:
a. Merancang bangunan Cultural Center (Pusat Kebudayaan) sebagai ruang edukasi budaya di Kota Bulukumba.
b. Menerapkan Arsitektur Neo-Vernakular ke dalam bangunan Cultural Center (Pusat Kebudayaan) di Kota Bulukumba.
2. Sasaran Pembahasan
Sasaran yang diharapkan dalam pembahasan ini adalah terumuskanya kaidah dan syarat-syarat dalam perencanaan dan perancangan Cultural Center (Pusat Kebudayaan) di Bulukumba yang kemudian dituangkan kedalam desain fisik yang merupakan perancangan akhir secara arsitektural.
D. Metode Pembahasan dan Perancangan
Metode Pembahasan dan Perancangan yang digunakan dalam penulisan ini menggunakan metode pengumpulan data
1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan terhadap literatur–literatur bacaan yang menyangkut obyek yang direncanakan serta untuk mendapatkan bahan pembanding, terutama untuk mendapatkan bahan tentang Cultural Center (Pusat Kebudayaan) pada umumnya dan materi lain yang mendukung seperti obyek yang sejenis.
2. Observasi Lapangan
Peneliti secara langsung turun ke lokasi untuk memperoleh data-data yang didapat secara langsung melalui survey lapangan dan hasil wawancara dengan pihak terkait, agar diperolah gambaran yang obyektif terhadap tapak yang akan digunakan untuk percangan proyek ini.
3. Analisis Data
Data yang ada dianalisis dengan menggunakan standar-standar dan norma-norma ruang dan bentuk yang sesuai.
4. Acuan Perancangan
Pendekatan berupa acuan terhadap sistem perancangan.
E. Ruang Lingkup Perancangan
Lingkup perancangan difokuskan untuk merencanakan Cultural Center (Pusat Kebudayaan) sebagai wadah edukasi kebudayaan untuk melestarikan kebudayaan dan memperkenalkan kebudayaan kepada regenerasi selanjutnya ataupun kepada wisatawan.
F. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan, menjelaskan latar belakang, rumusan masalah perancangan, tujuan dan sasaran perancangan, metode perancangan, ruang lingkup perancangan dan sistematika penulisan.
BAB II : Studi Pustaka, menjelaskan tentang deskripsi kebudayaan, Bulukumba dan kebudayaannya, Cultural Center (Pusat Kebudayaan), hubungan fasilitas Cultural Center (Pusat Kebudayaan) dengan kebudayaan Bulukumba, kajian fungsi utama Cultural Center (Pusat Kebudayaan), arsitektur neo-vernakular, konsep perancangan dalam islam dan studi banding.
BAB III : Analisis Perencanaan berisi analisis kegiatan dan kebutuhan ruang, analisis potensi jumlah pengunjung, analisis besaran
ruang, analisis persyaratan ruang, analisis alur sirkulasi pengguna, dan analisis hubungan ruang
BAB IV : Konsep Perencanaan berisi konsep pemilihan lokasi, konsep tapak, konsep penataan ruang, konsep bentuk bangunan, konsep tatanan massa, konsep tampilan arsitektur, konsep struktur, dan konsep utilitas.
BAB V : Kesimpulan, berisi kesimpulan umum terhadap hasil rancangan
A. Kebudayaan
1. Pengertian Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal).
Hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani (Nurmansyah, dkk, 2019).
Menurut Koentjaraningrat (2009) “culture merupakan kata asing yang artinya kebudayaan, berasal dari kata latin “colere” yang berarti mengolah atau mengerjakan, terutama mengolah sawah.” Dalam arti ini berkembang arti culture sebagai segala upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam dalam proses kehidupan manusia. Menurut Koentjaraningrat (2003) kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar.
2. Komponen atau Unsur Kebudayaan
Unsur kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti suatu kebudayaan yang dapat digunakan sebagai satuan analisis tertentu.
Dengan adanya unsur tersebut, kebudayaan disini lebih mengandung makna totalitas daripada sekedar penjumlahan unsur-unsur universal yang melahirkan kebudayaan universal, seperti yang dikemukakan oleh C.
Kluckhon dalam karyanya Universal Categories Of Culture. Menurut C.
Kluckhon ada tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu:
a. Sistem religi dan upacara keagamaan b. Sistem organisasi kemasyarakatan c. Sistem pengetahuan
d. Sistem mata pencaharian hidup e. Sistem teknologi dan peralatan f. Bahasa
g. Kesenian
Muhammad (1987), menyebutkan tiga unsur budaya dalam diri manusia, yaitu:
a. Unsur cipta (budi), berkenaan dengan akal (rasio), yang menimbulkan ilmu dan teknologi (science and technology). Dengan akal itu manusia menilai mana yang benar dan mana yang tidak benar menurut kenyataan yang diterima oleh akal (nilai kebenaran atau nilai kenyataan).
b. Unsur rasa (estetika), yang menimbulkan kesenian, dengan rasa itu manusia menilai mana yang indah dan mana yang tidak indah (nilai keindahan).
c. Unsur karsa (etika), yang menimbulkan kebaikan, dengan karsa itu manusia menilai mana yang baik dan mana yang tidak baik (nilai kebaikan atau nilai mora).
3. Wujud kebudayaan
Koentijaraningrat dalam karyanya kebudayaan, mentalietet dan pembangunan menyebutkan bahwa paling sedikit ada tiga wujud kebudayaan, yaitu:
a. Sebagai salah satu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma- norma, peraturan dan sebagainya
b. Sebagai suatu kompleks aktivitas kelakukan berpola dari manusia dalam masyarakat
c. Sebagai benda-benda hasil karya manusia.
4. Sifat – Sifat Kebudayaan
Secara umum (Widyosiswoyo, 2004) akan dikemukakan tujuh sifat kebudayaan yaitu :
a. Kebudayaan beraneka ragam
Keanekaragaman kebudayaan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kerena manusia tidak memiliki struktur anatomi secara khusus pada tubuhnya sehingga harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Oleh kerena itu, kebudayaan yang diciptakan pun
disesuaikan dengan kebuhtuhan hidupnya. Selain itu, keanekaragaman juga disebabkan oleh perbedaan kadar atau bobot dalam kontak budaya satu bangsa dengan bangsa lain. Sehingga pakaian, rumah, dan makan bangsa Indonesia di daerah tropik jauh berbeda dengan yang diperlukan oleh bangsa Eskimo di daerah kutub.
b. Kebudayaan dapat diteruskan secara sosial dengan pelajaran Penerusan kebudayaan dapat dilakukan secara horizontal dan vertikal. Penerusan secara horizontal dilakukan terhadap satu generasi dan bisanya secara lisan, sedangkan penerusan vertikal dilakukan antar generasi dengan jalan melalui tulisan literer. Dengan daya ingat yang tinggi, manusia mampu menyimpan pengalaman sendiri maupun yang diperoleh dari orang lain.
c. Kebudayaan dijabarkan dalam komponen-komponen biologi, psikologi dan sosiologi
Biologi, psikologi dan sosiologi merupakan tiga komponen yang membentuk pribadi manusia. Secara biologis, manusia memiliki sifat- sifat yang diturunkan oleh orang tuanya ( hereditas ) yang diperoleh sewaktu dalam kandungan, sebagai kodrat pertama ( primary nature ).
Bersamaan dengan itu, manusia juga memiliki sifat-sifat psikologi yang sebagai diperolehnya dari orang tuanya sebagai dasar atau pembawaan. Setelah seorang bayi dilahirkan dan berkembang menjadi anak dalam alam kedua ( secondary nature ), terbentukalah pribadinya oleh lingkungan, khusunya melalui pendidikan. Manusia sebagai unsur
masyarakat dalam lingkungan ikut serta dalam pembentukan kebudayaan.
d. Kebudayaan mempunyai struktur
Curtular universial yang dikemukakan, unsur-unsurnya dapat dibagi dalam bagian-bagian kecil yang disebut traits complex, lalu terbagi dalam trait, dan terbagi dalam item. Misalnya, sistem ekonomi dapat dibagi antara lain menjadi bertani.
Untuk bertani diperlukan bajak dan cangkul. Kedua alat tersebut dapat dipisahkan lagi menjadi unsur yang terkecil. Begitu pula dalam kegiatan nasional terdiri atas kebudayaan suku bangsa yang merupakan sub culture yang dapat dibagi lagi menurut daerah, agama, adat istiadat, dan sebagainya.
e. Kebudayan mempunyai nilai
Nilai kebudayaan ( cultural value ) adalah relatif, bergantung pada siapa yang memberikan nilai, dan alat pengukur apa yang dipergunakan. Bangsa Timur misalnya cenderung mempergunakan ukuran rohani sebagai alat penilaiannya, sedangkan bangsa Barat dengan ukuran materi ( lihat kembali sistem yang dikemukakan Kluckhohn )
B. Cultural Center (Pusat Kebudayaan)
1. Pengertian Cultural Center (Pusat Kebudayaan)
Pusat Kebudayaan merupakan suatu komplek yang didalamnya terdapat ruang terbuka dan ruang tertutup sebagai wadah kegiatan untuk menggelar pertunjukan dan pagelaran sekaligus sebagai tempat bertemu dan berkumpulnya para seniman untuk saling bertukar informasi sebagai ajang pengenalan serta pelestarian kebudayaan (Saputra, dkk, 2017).
Tujuan dari pusat budaya adalah untuk mempromosikan nilai-nilai budaya diantara anggota komunitasnya. Strukturnya didasarkan pada ruang yang luas dimana manifestasi budaya yang berbeda memperkaya dan menghidupkan kehidupan budaya penduduk setempat ( Decarli dan Christopher, 2012).
2. Fungsi Cultural Center (Pusat Kebudayaan)
Untuk menjalankan fungsinya sebagai tempat membina dan mengembangkan kebudayaan (Ramdini, dkk, 2015), maka di dalam sebuah pusat kebudayaan pada umumnya terdapat fungsi-fungsi sebagai berikut:
a. Fungsi Administratif
Merupakan seluruh kegiatan administratif dalam pusat kebudayaan.
b. Fungsi Edukatif atau Pendidikan
Meliputi seluruh kegiatan pendidikan, misalnya kegiatan perpustakaan, penyelenggaraan seminar-seminar dan kursus-kursus bahasa dan sebagainya
c. Fungsi Rekreatif atau Hiburan
Meliputi seluruh kegiatan pertunjukan seni, pemutaran film, pameran dan sebagainya.
d. Fungsi Informatif
Seluruh kegiatan informatif melalui media cetak, digital maupun radio/televisi dan sebagainya.
3. Fasilitas Cultural Center (Pusat Kebudayaan)
Berdasarkan fungsi-fungsi pada sebuah pusat kebudayaan (Ramdini, dkk, 2015), maka Cultural Center (Pusat Kebudayaan) mempunyai fasilitas sebagai berikut :
a. Kantor
Fasilitas ini sangat penting karena sebagai penunjang fungsi administratif. Fasilitas perkantoran mencatat semua data program kegiatan yang berlangsung selama Cultural Center (Pusat Kebudayaan) beroperasi, termasuk didalamnya data properti yang tersedia, jumlah pengunjung dan sebagainya.
b. Perpustakaan
Perpustakaan pada pusat kebudayaan berisikan buku dari asal kebudayaan yang membahas informasi tentang kebudayaan tersebut.
Informasi yang terdapat dalam perpustakaan dapat berupa fisik (buku, majalah) atau non fisik (digital).
c. Galeri seni
Galeri seni pada Cultural Center (Pusat Kebudayaan) dibuat berdasarkan kebutuhan khusus, bisa berupa galeri seni yang memamerkan karya berupa lukisan atau patung. Penataan benda yang akan dipamerkan pada galeri dikelompokan berdasarkan kategori benda, seperti batik, kerajinan dan lukisan karya seniman.
d. Ruang pertunjukan
Sebuah ruang pertunjukan yang digunakan untuk menampilkan pertunjukan musik, tari atau drama. Ruang pertunjukan untuk tari, drama dan musik dipertunjukan pada ruang pertunjukan indoor, sedangkan untuk pertunjukan wayang menggunakan pendopo.
4. Tugas Cultural Center (Pusat Kebudayaan)
a. Mengenalkan kebudayaan yang belum dikenal oleh masyarakat secara luas.
b. Merancang, melaksanakan dan memantau kegiatan kebudayaan dan kesenian.
c. Menyediakan sarana dan prasana untuk menunjang perkembangan pendidikan kebudayaan dan kesenian.
d. Menggalakkan program kebudayaan dan kesenian yang bertujuan membina masyarakat agar kebudayaan tidak luntur.
e. Mengundang pakar dalam mengisi event atau kegiatan tertentu yang berhubungan dengan sosialisasi kebudayaan.
5. Jenis Kegiatan Cultural Center (Pusat Kebudayaan)
Dalam perancangan Cultural Center (Pusat Kebudayaan) memiliki acuan terhadap jenis kegiatan. Dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 85 Tahun 2013 Tanggal 24 Juli 2013 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesenian dalam perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan bidang kesenian terdapat kegiatan yang bersifat kajian yaitu sebagai berikut:
a. Seminar b. Sarasehan c. Diskusi d. Workshop
e. Penyerahan Narasumber f. Studi Kepustakaan g. Penggalian
h. Eksperimentasi i. Rekonsruksi j. Revitalisasi k. Konservasi l. Studi Banding m. Inventarisasi n. Dokumentasi
o. Pengemasan Bahan Kajian
Didalam pusat kebudayaan terdapat Gelar Seni. Gelar seni adalah ajang kegiatan kesenian dalam konteks tertentu misalnya upacara adat, sajian artistik; hanya kepentingan estetis maupun profane; kegiatan resepsi, pertunjukan dan hiburan.
6. Jenis Fasilitas Cultural Center (Pusat Kebudayaan)
Untuk menunjang kegiatan dalam Cultural Center (Pusat Kebudayaan) pemerintah berkewajiban untuk menyediakan minimal tempat untuk menggelar seni pertunjukan dan untuk pameran dan tempat memasarkan karya seni untuk mengembangkan industri budaya, yang tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 85 Tahun 2013 Tanggal 24 Juli 2013 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesenian dalam pelindungan, pengembangan dan pemanfaatan bidang kesenian. Berikut fasilitas yang mendukung kegiatan pusat kebudayaan adalah sebagai berikut:
a. Fasilitas Utama
1) Ruang kelas seminar
Merupakan fasilitas untuk berlangsungnya kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan atau bimbingan terhadap informasi dan sumber yang dibutuhkan
2) Ruang kursus
Ruangan ini bertujuan untuk menyediakan sarana dalam melakukan kegiatan seperti kursus tari, kursus musik dan lain-lain.
3) Perpustakaan
Ruangan ini dikhususkan untuk mengumpulkan data literature yang bermanfaat bagi pengunjung.
4) IT Room
Dengan kemajuan teknologi maka ruangan IT ini bertujuan untuk menunjang mencari sumber informasi yang dibutuhkan.
5) Teater
Ruang teater dikhususkan untuk pelaku seni dan kegiatan seni lainnya melakukan pertunjukan baik dalam teatrikal atau musikal.
6) Galeri
Galeri terbagi 2 area yaitu Temporary Gallery; merupakan galeri yang hanya digunakan dalam jangka waktu sementara.
Permanent Gallery; merupakan galeri yang digunakan tanpa ada batasan. Memamerkan warisan cagar budaya yang perlu untuk dipertahankan dari masa ke masa.
b. Fasilitas Pendukung 1) Gift Shop
Fasilitas ini dikhususkan untuk pengunjung dapat membeli cinderamata.
2) Kafetaria
Kafetaria merupakan salah satu fasilitas yang dapat memanjakan pengunjung dengan makanan khas sesuai kebudayaan pada Cultural Center (Pusat Kebudayaan).
3) Penitipan Barang
Fasilitas penitipan barang atau loker bertujuan untuk mengantisipasi apabila terdapat kegiatan yang membutuhkan pengamanan lebih.
7. Jenis Kegiatan Kerjasama Cultural Center (Pusat Kebudayaan) a. Setidaknya Memiliki Satu Stakeholder Dalam Bidang Seni
Kemitraan ini harus bekerja sama dengan organisasi seni wilayah setempat dan melayani kepentingan pusat kebudayaan dan kelompok seni. Mitra utama dapat menjadi mitra seni rupa, mitra budaya atau komunitas, vendor yang dikontrak, atau penyewa, dengan tujuan mengembangkan hubungan jangka panjang yang menciptakan kualitas tinggi dan berbasis komunitas pemrograman yang memenuhi kebutuhan taman pusat kebudayaan anda.
b. Program Rutin Sekolah Seni
Staf Pusat Kebudayaan, mitra atau organisasi seni yang dikontrak akan menyediakan pemrograman setiap minggu.
c. Program Sekolah Seni camp
Staf Cultural Center (Pusat Kebudayaan), mitra seni, atau organisasi seni yang dikontrak akan menyediakan program seni setiap hari selama Summer Day Camp.
d. Program Rekreasi Untuk Rombongan Tertentu
Pusat Kebudayaan akan menawarkan program wisata budaya kepada setidaknya dua dari kelompok berikut: Rekreasi Spesial keluarga, orang dewasa, kelompok remaja atau prasekolah (kindergarten/ PAUD).
e. Pameran Seni Visual
Pusat Kebudayaan akan menyelenggarakan setidaknya satu pameran atau acara yang berfokus pada seni visual. Pameran atau acara itu biasa menjadi suatu presentasi dengan departemen kebudayaan kota dan acara khusus lainnya.
f. Penawaran Program Khusus
Program khusus dapat berupa program seni di hari libur sekolah, menjadi penyambut tamu-tamu seniman dan tokoh budaya / kelompok seni di Cultural Center (Pusat Kebudayaan) untuk acara komunitas, atau program yang ditawarkan melalui Budaya, Seni & Alam (Yolanda, 2018).
C. Bulukumba dan Kebudayaannya
1. Gambaran Umum Kota Bulukumba
Gambar 2.1 : Peta Kabupaten Bulukumba Sumber: http://perpustakaan.bappenas.go.id a. Letak Geografis Kabupaten Bulukumba
Secara geografis Kabupaten Bulukumba terletak pada koordinat antara 5°20” sampai 5°40” Lintang Selatan dan 119°50” sampai 120°28” Bujur Timur. Secara wilayah, Kabupaten Bulukumba berada pada kondisi empat dimensi, yakni dataran tinggi pada kaki Gunung Bawakaraeng-Lompobattang, dataran rendah, pantai dan laut lepas.
Kabupaten Bulukumba terletak di ujung bagian Selatan ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, terkenal dengan industri perahu phinisi yang banyak memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah. Luas wilayah Kabupaten Bulukumba 1.154,58 km² dengan jarak tempuh dari Kota Makassar sekitar 153 Km.
b. Keadaan Topografi Kabupaten Bulukumba
Daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 0 s/d 25 meter di atas permukaan laut meliputi tujuh kecamatan pesisir, yaitu:
Kecamatan Gantarang, Kecamatan Ujungbulu, Kecamatan Ujung Loe, Kecamatan Bontobahari, Kecamatan Bontotiro, Kecamatan Kajang dan Kecamatan Herlang. Daerah bergelombang dengan ketinggian antara 25 s/d 100 meter dari permukaan laut, meliputi bagian dari Kecamatan Gantarang, Kecamatan Kindang, Kecamatan Bontobahari, Kecamatan Bontotiro, Kecamatan Kajang, Kecamatan Herlang, Kecamatan Bulukumpa dan Kecamatan Rilau Ale. Daerah perbukitan di Kabupaten Bulukumba terbentang mulai dari Barat ke utara dengan ketinggian 100 s/d di atas 500 meter dari permukaan laut meliputi bagian dari Kecamatan Kindang, Kecamatan Bulukumpa dan Kecamatan Rilau Ale (Wikipedia, 2020).
c. Keadaan Administrasi Kabupaten Bulukumba
Luas wilayah Kabupaten Bulukumba sekitar 1.154,67 Km² atau sekitar 1,85 % dari luas wilayah Sulawesi Selatan, terbagi dalam 10 kecamatan yang meliputi 126 desa/kelurahan yang terdiri dari 24 kelurahan dan 102 desa. Ditinjau dari 10 Kecamatan terdapat 2 kecamatan yang luas, yaitu Kecamatan Gantarang dan Kecamatan Bulukumpa, masing-masing 173,51 Km² dan 171,33 Km², sekitar 29,87 % dari luas Kabupaten Bulukumba, kemudian kecamatan yang terkecil adalah Kecamatan Ujung Bulu yang berlokasi Ibukota
Kabupaten (Kota Bulukumba) dengan luas wilayah 14,44 Km² atau 1,25 % dari luas wilayah Kabupaten Bulukumba. Kedudukan secara administrasi berbatasan dengan:
• Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Sinjai
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Selayar
• Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone
• Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bantaeng (RPI2-JM Kab. Bulukumba, 2020).
d. Keadaan Klimatologi Kabupaten Bulukumba
Kabupaten Bulukumba mempunyai suhu rata-rata berkisar antara 23,82 °C-27,68 °C. Suhu pada kisaran ini sangat cocok untuk pertanian tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Berdasarkan analisis Smith Ferguson (tipe iklim diukur menurut bulan basah dan bulan kering) maka klasifikasi iklim di Kabupaten Bulukumba termasuk iklim lembap atau agak basah. Kabupaten Bulukumba berada di sektor timur, musim gadu antara Oktober sampai Maret dan musim rendengan antara April sampai September. Terdapat 8 buah stasiun penakar hujan yang tersebar di beberapa kecamatan, yakni: stasiun Bettu, stasiun Bontonyeleng, stasiun Kajang, stasiun Batukaropa, stasiun Tanah Kongkong, stasiun Bontobahari, stasiun Bulo–bulo dan stasiun Herlang. Daerah dengan curah hujan tertinggi terdapat pada wilayah barat laut dan timur sedangkan pada daerah tengah memiliki curah
hujan sedang sedangkan pada bagian selatan curah hujannya rendah.
Curah hujan di Kabupaten Bulukumba sebagai berikut:
Curah hujan antara 800-1000 mm/tahun, meliputi Kecamatan Ujungbulu, sebagian Gantarang, sebagian Ujung Loe dan sebagian besar Bontobahari.
Curah hujan antara 1000-1500 mm/tahun, meliputi sebagian Gantarang, sebagian Ujung Loe dan sebagian Bontotiro.
Curah hujan antara 1500-2000 mm/tahun, meliputi Kecamatan Gantarang, sebagian Rilau Ale, sebagian Ujung Loe, sebagian Kindang, sebagian Bulukumpa, sebagian Bontotiro, sebagian Herlang dan Kecamatan Kajang.
Curah hujan di atas 2000 mm/tahun meliputi Kecamatan Kindang, Kecamatan Rilau Ale, Kecamatan Bulukumpa dan Kecamatan Herlang (Wikipedia, 2020).
e. Kependudukan Kabupaten Bulukumba
Gambar 2.2 Presentase Penduduk Tiap Kecematan di Bulukumba Sumber: Badan Pusat Statistik Bulukumba, 2020
Penduduk Kabupaten Bulukumba berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2019 sebanyak 420.603 jiwa yang terdiri atas 198.701 jiwa penduduk laki-laki dan 221.902 jiwa penduduk perempuan.
Proyeksi jumlah penduduk tahun 2019, penduduk Bulukumba mengalami pertumbuhan sebesar 0,54 persen dengan masing-masing persentase pertumbuhan penduduk laki-laki sebesar 0,54 persen dan penduduk perempuan sebesar 0,55 persen. Sementara itu besarnya angka rasio jenis kelamin tahun 2019 penduduk laki-laki terhadap penduduk perempuan sebesar 89,54.
Gambar 2.3 Kepadatan Penduduk Tiap Kecamatan di Bulukumba Sumber: Badan Pusat Statistik Bulukumba, 2020
Kepadatan penduduk di Kabupaten Bulukumba tahun 2019 mencapai 364 jiwa/km2. Kepadatan Penduduk di 10 kecamatan cukup beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi terletak di kecamatan Ujung Bulu dengan kepadatan sebesar 3.914 jiwa/km2 dan terendah di Kecamatan Kindang sebesar 213 jiwa/Km2 (Badan Pusat Statistika Bulukumba, 2020).
f. Arah Pembangunan Kota Bulukumba
Berdasarkan amanat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Kabupaten/Kota wajib menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pengembangan RTH dengan persentase paling sedikit 20% untuk RTH Publik dan 10% untuk RTH privat di Kawasan perkotaan yaitu PKW dan PPK. Kawasan Strategis Kabupaten/Kota (KSK) diperlukan sebagai dasar pembangunan infrastruktur. Pada pembangunan infrastruktur skala kawasan, pembangunan infrastruktur diarahkan pada lokasi KSK, dan diharapkan keterpaduan pembangunan dapat terwujud.
Tabel 1. Identifikasi Kawasan Strategis Kabupaten Bulukumba (KSK) berdasarkan RT/RW
NO Kawasan Strategis Kabupaten Bulukumba
Sudut Kepentingan
Lokasi/Batas Kawasan 1
Kawasan pengembangan perkotaan Water Front City
Pertumbuhan Ekonomi
Kec. Ujung Bulu dan Gantarang
2
Pengembangan
Minapolitan komoditas Budidaya Perikanan Laut dan perikanan Tangkap
Pertumbuhan Ekonomi
Kawasan Pesisir di Semua Kecematan 3 Pengembangan Kawasan
Agropolitan
Pertumbuhan Ekonomi
Kec.
Gantarang 4 Pengembangan Kawasan
Agrowisata
Pertumbuhan Ekonomi
Desa Bululohe Kec.
Rilau Ale
5 Pengembangan Pusat Pariwisata
Pertumbuhan Ekonomi
Kec.
Bontobahari
NO Kawasan Strategis Kabupaten Bulukumba
Sudut Kepentingan
Lokasi/Batas Kawasan 6 Pengembangan Kawasan
Perdagangan
Pertumbuhan Ekonomi
Kec. Ujung Bulu Dan Gantarang 7 Kawasan Bandar Udara
Pengumpan
Pertumbuhan Ekonomi
Kec.
Bontobahari 8 Kawasan Ekowisata
Tabbuakkang
Pertumbuhan
Ekonomi Kec. Kindang 9 Kawasan Pembuatan
Perahu Phinisi Sosial Budaya Kec. Bonto Bahari 10 Kawasan Danau
Kahayya
Lingkungan
Hidup Kec. Kindang Sumber : RT/RW Kab. Bulukumba
2. Kebudayaan Bulukumba
Masyarakat Kabupaten Bulukumba direpresentasikan sebagai masyarakat pengelana laut yang ulung dan tangguh dalam pembuatan perahu dan penjelajahan lautan samudera. Fenomena sosial yang melatari konsep pendirian mereka dalam kaitannya dengan laut, masih terlihat dengan adanya pembuatan perahu phinisi yang masih dilakukan terutama di Tana Beru. Budaya ini merupakan warisan dari nenek moyang mereka yang harus dilestarikan dan dipelajari, selain itu Kabupaten Bulukumba masih banyak menyimpan budaya-budaya yang harus kita ketahui bersama seperti budaya yang ada di Tanah Toa yang kita kenal dengan komunitas Ammatoa. Dan menjaga budaya ini merupakan tanggung jawab kita bersama agar generasi berikutnya bisa mengetahui dan melestarikannya.
(Hasanuddin, dkk, 2007). Berikut adalah uraian budaya yang ada di Kabupaten Bulukumba:
a. Suku Kajang
Gambar 2.4 : Lokasi Suku Kajang Sumber: http://perpustakaan.bappenas.go.id
Suku Kajang merupakan salah satu suku yang tinggal di pedalaman secara turun temurun, tepatnya di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Daerah itu dianggap sebagai tanah warisan leluhur yang harus dijaga dan mereka menyebutnya Tana Toa atau Kampung Tua. Masyarakatnya lebih dikenal dengan nama masyarakat Ammatoa Kajang. Ammatoa adalah sebutan bagi peimimpin adat mereka yang diperoleh secara turun temurun. Amma artinya Bapak, sedangkan Toa berarti yang dituakan. (Heryati, 2013)
1) Kepercayaan Suku Adat Ammatoa Kajang
Masyarakat Ammatoa Kajang seluruhnya beragama Islam, akan tetapi dalam kehidupan beragama mereka masih memegang teguh ajaran-ajaran leluhur. Ajaran kepercayaan leluhur yang dimaksud adalah Patuntung , kata Patuntung dalam dialek Konjo, berasal dari kata “Tuntung” yang mendapat awalan “Pa” sama
dengan awalan “Pe” dalam bahasa Indonesia yang berarti
“Penuntut” atau “Pelajar”. Jadi Patuntung maksudnya seorang yang sedang mempelajari “Panggisengang” (ilmu pengetahuan) yang bersumber dari “Pasang ri Kajang” yang mengandung pesan- pesan, petuah-petuah, pedoman atau petunjuk yang ditaati, dan dituruti serta diamalkan demi kebahagian akhirat (Heryati, 2013).
2) Interaksi Sosial Budaya Suku Adat Ammatoa Kajang
Masyarakat adat Kajang dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, menganut pada Pasang (pesan) yang wajib dilaksanakan sehingga akan mempunyai sanksi yang tegas terhadap penyimpangan yang terjadi. Menurut masyarakat adat Kajang, Pasang adalah norma atau nilai yang harus dijunjung tinggi.
Pelanggaran terhadap norma atau nilai itu, akan mengakibatkan dijatuhkannya sanksi kepada pelakunya.
Mata pencaharian masyarakat adat Ammatoa, pada umumnya petani, peternak, sebagian kecil pedagang, pertukangan dan pegawai. Lokasi sawah dan ladang mereka cukup jauh dari tempat tinggalnya sekitar 1-7 km. Petani umumnya mengerjakan sendiri sawah ladang mereka. Kaum perempuan pekerjaannya menenun kain (sarung dan selendang) dengan bahan tenunnya berasal dari tanaman Tarum yang mereka tanam sendiri. Alat tenun dan alat setrika dibuat dengan teknologi yang sangat sederhana.
Hasil tenun ini dapat dipasarkan langsung kepada pembeli yang
datang terutama turis asing. Mata pencaharian lainnya dari sektor pertanian adalah menanam komoditas jangka panjang seperti kayu jati dan tanaman musiman. Jadi masyarakat melakukan interaksi salah-satunya tergantung dari mata pencahariannya.
Bahasa yang digunakan oleh orang Kajang sehari-hari adalah Konjo, bahasa Konjo merupakan rumpun bahasa Makassar yang berkembang tersendiri dalam suatu komunitas masyarakat. Dalam hal pernikahan, masyarakat adat Tana Toa terikat oleh adat yang mengharuskan menikah dengan sesama orang dalam kawasan adat.
Jika tidak maka mereka harus hidup di luar kawasan adat, pengecualian bagi pasangan yang bersedia mengikuti segala aturan dan adat istiadat yang berlaku di dalam kawasan adat.
Dalam kehidupan Masyarakat Kajang, kaum wanita diwajibkan bisa membuat kain dan memasak. Sedangkan kaum pria diwajibkan untuk bekerja di ladang dan membuat perlengkapan rumah dari kayu. Keahlian membuat perlengkapan dari kayu ini juga merupakan kewajiban bagi kaum pria untuk berumah tangga. Setiap usai panen mereka selalu menggelar upacara adat yang bertujuan sebagai ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta. Upacara adat yang disebut Rumatang ini dipimpin langsung oleh Ammatowa. Terdapat jenis tarian adat yang bernama
“Pabitte Passapu” atau “Sabung ayam” Tarian tersebut mengalir begitu saja, tanpa latihan apalagi gladi resik Pabbitte Passapu
menceritakan sabung ayam yang diperagakan dengan passapu atau ikat kepala. (Hamka, 2014)
Gambar 2.5 Pembuatan Kain Tenun Sumber: www.deviantart.com
Gambar 2.6 Upacara Adat Sumber: www.mongabay.co.id
Gambar 2.7 Tarian Adat Sumber: amp.antarfoto.com
Gambar 2.8 Kegiatan Menuju Ladang Sumber: shamawar.wordpress.com
3) Nilai-Nilai Tradisi Pada Rumah Tinggal Masyarakat Ammatoa Kajang
Arsitektur tradisonal Bulukumba tepatnya arsitektur rumah Suku Kajang merupakan rumah tradisonal tipe rumah panggung, merupakan ciri rumah suku Bugis-Makassar. Di Tana Toa, semua rumah warga dibangun dengan bentuk yang sama. Konsep ini menunjukkan kesederhanaan dan sebagai simbol keseragaman.
Seperti pada umumnya rumah pangugung tradisonal, pola rumah suku Kajang juga dibagi secara vertikal dan horizontal.
a) Konsep Orientasi Rumah Suku Kajang
Dalam kawasan adat Tana Toa terdapat suatu kawasan inti yang berada di sekitar rumah Ammatoa dan para pemangku adat. Kawasan inti ini terlihat dari letak atau pola pemukiman yang menghadap ke arah Barat atau arah kiblat, yang masih menyesuaikan dengan adat dan tradisi mereka. Setiap bentuk rumah Suku Kajang selalu sama, mereka menganggap
persamaan itu sebagai simbol kebersamaan. Secara fisik tidak jauh beda dengan rumah adat masyarakat bugis makassar struktur yang tinggi dan masih mempergunakan kekayaan hutan disekitar untuk membuatnya.
Gambar 2.9 Konsep Orientasi Sumber : (Heryati, 2013)
Konsep orientasi rumah tradisional yang dalam bahasa Kajang disebut “Panjolang” semua menghadap ke Barat.
Dikarenakan arah barat, mengarah pada suatu “tempat” yang terletak di sebelah barat yakni Pa‟rasangang iraya (perkampungan sebelah barat) yang terletak dalam hutan adat Tupalo, dimana dalam sejarah leluhur manusia Kajang disebutkan bahwa tempat itu merupakan tempat pertama kali leluhur mereka menginjakkan kaki di bumi ini, atau dengan
kata lain bahwa sebelah barat itulah awal mula keberadaan/kehidupan manusia di bumi. Dan pada akhir hidupnya, leluhur tersebut memilih tempat untuk kembali di Pa‟rasangang ilau (perkampungan di sebelah timur) yang terletak di dalam hutan Karanjang. Kedua tempat ini merupakan pusat orientasi kegiatan atau ritual termasuk orientasi arah rumah. (Hamka, 2014)
b) Rumah Suku Kajang
Rumah suku Kajang merupakan rumah tradisional tipe rumah panggung, merupakan ciri rumah suku Bugis-Makassar.
Di Tana Toa, semua rumah warga dibangun dengan bentuk yang sama. Konsep ini menunjukkan kesederhanaan dan sebagai simbol keseragaman. Seperti pada umumnya rumah panggung tradisional, pola rumah suku Kajang juga dibagi secara vertikal dan horizontal.
Secara vertikal
Gambar 2.9 Organisasi Ruang Vertikal Sumber : (Heryati, 2013)
Rumah adat Kajang dapat dibagi 3 bagian, yaitu:
Bagian atas disebut Para (3); merupakan tempat yang dianggap suci biasanya dipakai untuk menyimpan bahan makanan.
Bagian tengah disebut Kale Balla (2); sebagai tempat manusia menetap atau bertempat tinggal.
Bagian bawah disebut Siring (1); sebagai tempat menenun kain atau sarung hitam (topeh le‟leng) merupakan pakaian khas masyarakat Ammatoa.
Konsep ini sekaligus merupakan interpretasi dari wujud fisik manusia yang terdiri dari kepala, badan, dan kaki.
Tidak seperti rumah suku rumpun Bugis-Makassar yang lainnya, keturunan Ammatoa tidak melihat strata sosial dari bentuk dan model rumah. Pada timpa laja (atap bagian depan) hanya dibuat 2 susun, sedangkan yang memiliki susunan timpa laja yang lebih dari 2 merupakan rumah yang berada diluar kampung adat Ammatoa Tana Toa Kajang. (Hamka, 2014)
Gambar 2. 10 (a) Timpa Laja 2 Susun, (b) Timpa Laja Lebih dari 2
Sumber : (Heryati, 2013)
Secara Horisontal
Gambar 2. 11 Organisasi Ruang Horisontal Sumber : (Hamka, 2014)
Secara horisontal, rumah adat Kajang juga terdiri atas 3 bagian, yaitu:
Ruang depan (latta riolo) yang digunakan sebagai dapur dan ruang tamu.
Ruang tengah (latta tangaga) digunakan untuk ruang makan, ruang tamu adat, dan juga ruang tidur untuk anggota keluarga.
Ruang belakang (Tala) menjadi bilik kepala keluarga dan dibatasi oleh dinding papan atau bambu. Lantai bilik ini lebih tinggi sekitar 30 cm (3 latta = genggam pemilik rumah) dari lantai ruang tengah dan dapur.
Dari tampak bangunan sangat sederhana, tanpa ornamen dan tidak dicat. Ini merupakan cermin hidup masyarakat Ammatoa yang selalu hidup sederhana dan selalu berorientasi
pada lingkungan sebagaimana yang tercantum dalam aturan pasang. Dinding terbuat dari papan yang di ketam dan di pasang melintang. Jendela–jendela kecil diletakkan sedikit lebih tinggi dari lantai. Pintu keluar hanya ada satu buah, yaitu yang diletakkan pada bagian tengah muka bangunan (Hamka, 2014).
Tiang–tiangnya (benteng) ditanam ke dalam tanah, kayu ini biasanya disebut Na‟nasayya dan istimewanya bila ada yang lapuk bisa langsung diganti tanpa perlu membongkar rumah. Tinggi tiang ke lantai kurang lebih 2 meter, sehingga di bagian bawah rumah dimungkinkan melakukan kegiatan, seperti : menenun, menumbuk padi atau jagung, tempat ternak, dan sebagainya. Pada tiang tengah, benteng tangngaya biasanya digantungkan tanduk kerbau yang pernah dipotong untuk upacara, misalnya upacara perkawinan (Hamka, 2014).
Bagian lain adalah tiang pusat (pocci balla) yang merupakan analogi dari pusar pada tubuh manusia dimana nutrisi ditransfer ke embrio dan tempat yang ditujukan untuk perlindungan. Oleh karena itu Pocci Balla ini dianggap sebagai pusat yang membentuk keseimbangan, selain itu secara mistik mempunyai nilai religius, dianggap keramat (suci). Pada tiang ini mendapat perhatian yang paling penting diikuti dengan
syarat-syarat termasuk bahan/jenis kayu dan tata cara mendirikannya (Hamka, 2014).
Dilihat dari letaknya tiang (benteng) dibedakan atas: a).
Benteng Tangnga atau Benteng Pocci balla, merupakan tiang pusat yang terletak pada baris kedua dari depan dan kolom kedua dari kiri rumah (A). b). Benteng Pokok Balla, merupakan tiang yang terletak pada sudut kiri rumah (B).
Gambar 2.12 Susunan Pola Tiang Tengah (Benteng) Sumber : (Heryati, 2013)
Gambar 2.13 Tiang yang ditanam Sumber : Hamka (2014)
Gambar 2.14 Tanduk kerbau pada tiang tengah (Pocci Balla) Sumber : Heryati (2013)
Gambar 2.15 Sistem Konstruksi Sumber : Heryati (2013)
Letak rumah tradisional di luar kawasan adat sekalipun masih dipengaruhi sistem kekerabatan dimana anggota keluarga yang sudah berkeluarga dan merasa mampu untuk mandiri cenderung menetap disekitar rumah keluarga inti, aturan-aturan yang mengikat mengenai tata letak seperti mempertimbangkan hubungan kekerabatan antara orang tua dan anak atau antara saudara (kakak dan adik) atau antara yang muda dan tua tidak lagi menjadi hal yang harus
dipertimbangkan. Hal ini diakibatkan karena kondisi alam/lingkungan mereka tinggal dan tergantung dari letak/tersedianya lahan kosong yang mereka miliki (Hamka, 2014).
b. Perahu Phinisi
Gambar 2.16 Perahu Phinisi Sumber: www.pikiran-rakyat.com 1) Deskripsi dan Sejarah
Perahu phinisi merupakan jenis perahu tradisional yang merupakan hasil dari teknologi tradisional masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Perahu phinisi mempunyai ciri memiliki dua tiang layar utama dan tujug buah layar; tiga buah layar di ujung depan, dua di tengah, dan dua di belakang. Perahu ini memiliki fungsi utama sebagai pengangkut barang antar pulau. Tidak diketahui secara jelas asal-usul dari nama phinisi, tetapi terdapat dua teori mengenai asal-usul penamaan phinisi. Teori pertama menyatakan bahwa phinisi berasal dari kata Venecia, sebuah kota
pelabuhan di Italia. Diduga dari kata Venecia inilah kemudian berubah menjadi penisi menurut dialek Konjo yang selanjutnya mengalami proses fonemik menjadi phinisi. Pengambilan nama kota tersebut diperkiran didasari atas kebiasaan orang Bugis Makassar mengabadikan nama tempat terkenal atau mempunyai kesan istimewa kepada benda kesayangannya, termasuk perahu.
Sementara teori kedua berpendapat bahwa nama phinisi berasal dari kata panisi yang memiliki arti sisip. Mappanisi (menyisip) yaitu menyumbat semua persambungan papan, dinding, dan lantai perahu dengan bahan tertentu agar tidak kemasukan air.
Dugaan tersebut berdasar pada pendapat yang menyatakan bahwa orang Bugis yang pertama menggunakan perahu phinisi. Lopi dipanisi‟ (Bugis) artinya perahu yang disisip. Diduga dari kata phinisi mengalami proses fonemik menjadi phinisi.
Untuk bentuk perahu phinisi sendiri diperkirakan merupakan pengembangan dari perahu panjala. Panjala sendiri merupakan perahu yang dipergunakan nelayan untuk menjala (menangkap ikan), namun nama tersebut kemudian menjadi nama jenis perahu. Hubungan antara perahu panjala dengan phinisi terlihat dari bentuk lambung perahu phinisi yang memiliki kesamaan dengan perahu panjala (Sambodo, 2019).