BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bidang communications, atau yang sering diidentikkan dengan istilah teknik komunikasi, Public Relations dan Humas (Hubungan Masyarakat), merupakan salah satu aspek manajemen yang diperlukan oleh setiap organisasi, baik organisasi yang bersifat komersial (perusahaan) maupun organisasi nonkomersial. Kehadirannya dibutuhkan karena Public Relations merupakan salah satu elemen yang menentukan kelangsungan suatu organisasi secara positif.
Public Relations dalam prakteknya di organisasi memiliki beberapa perbedaan nama, ada yang menggunakan nama secara langsung divisi Public Relations, ada juga yang memakai nama Marketing Communication, dan Corporate Communication.
Seperti diungkapkan oleh Linggar Anggoro, bahwa betapa pentingnya Public Relations dan betapa berbahayanya perusahaan yang tidak memperhatikan bidang PR. Dari sekian banyak definisi mengenai Public Relations, hampir seluruhnya menekankan perlunya perusahaan dikenal dan disukai oleh khalayak atau oleh konsumennya. Public Relations bukanlah ilmu tradisional yang digunakan untuk menghadapi tujuan-tujuan sesaat. Public Relations perlu direncanakan dalam suatu pendekatan manajemen kepada target-target publik tertentu. Kata kunci lain dari Public Relations adalah significancy public, yaitu khalayak sasaran yang disebut “stakeholders” (Anggoro, 2005:59). Salah satu sasaran pekerjaan Public Relations, adalah hubungan ke luar (external public
relations), diantaranya adalah hubungan dengan masyarakat sekitar (community relations), hubungan dengan jawatan pemerintah (government relations) dan hubungan dengan pers (press relations).
Salah satu isu penting akhir-akhir ini yang banyak didiskusikan adalah tentang Corporate Social Responsibility (CSR), sebagai cakupan dari tugas Public Relations dalam suatu perusahaan, khususnya berkaitan dengan kegiatan eksternal Public Relations. Salah satu tugas Public Relations yang bersifat eksternal adalah membina hubungan ke luar (publik eksternal); yang dimaksud publik eksternal adalah publik umum (masyarakat), dengan mengusahakan tumbuhnya sikap dan gambaran publik yang positif terhadap lembaga yang diwakilinya (Ruslan, 2005:23).
Sehubungan dengan penjelasan di atas, maka Community Relations dan Community Development merupakan bagian dari kegiatan Corporate Sosial Responsibility. Community Development adalah kegiatan yang terkait dengan lingkungan dimana perusahaan itu berdiri, serta lebih pada kebutuhan perusahaan untuk dapat diterima oleh masyarakat di sekitarnya. Sedangkan Community Relations adalah membina hubungan baik dengan komunitas sekitar atau masyarakat sekitar. Arti yang sering diungkapkan dari Community Relations ini adalah bahwa perusahaan menjadi bagian yang penting dari komunitas di sekitar lokasi perusahaan.
Kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan dengan komunitas, baik secara rutin maupun berkala sesuai dengan tujuan menjalin hubungan yang harmonis antara kedua belah pihak, dan menghasilkan efek yang positif bagi masing-masing pihak. Contohnya adalah pemberian sumbangan (charity) yang diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat sekitar merupakan salah satu peran perusahaan
dalam memberikan sumbangan terhadap masyarakat, yang dengannya akan meningkatkan citra perusahaan yang bukan sebatas organisasi bisnis semata.
Usaha yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan community relatios dan community development yang diharapkan mampu memuaskan community yang terlibat atau terkait untuk berperan serta, baik untuk meningkatkan pengetahuan (knowledge), pengenalan (awareness) maupun pemenuh selera (pleasure) dan menarik simpati, empati sehingga mampu menumbuhkan suatu pandangan positif (good image) dari community terhadap kinerja perusahaan tersebut, sehingga hal tersebut akan memperlancar proses kerja perusahaan tersebut. Keuntungan optimal mungkin merupakan hal terbaik yang dapat di capai oleh perusahaan dengan strategi yang biasa dilakukan dan kebanyakan perusahaan sudah puas dengan hasil tersebut. Namun keuntungan maksimal adalah keuntungan tertinggi dari suatu perusahaan dimana semua elemen tercakup di dalamnya.
Corporate Social Responsibility (CSR) memiliki Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah yang dikenal sejak awal 1970, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder. Nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan (Siregar, 2007:285).
Corporate Social Responsibility (CSR) tidak memberikan hasil secara keuntungan dalam jangka pendek. Namun Corporate Social Responsibility (CSR) akan memberikan hasil baik langsung maupun tidak langsung pada keuangan perusahaan di masa mendatang. Investor juga ingin investasinya dan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaannya memiliki citra yang baik di mata masyarakat umum. Oleh karena itu, program Corporate Social Responsibility (CSR) lebih
tepat apabila digolongkan sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan (Siregar, 2007:285).
Penerapan konsep Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial organisasi (perusahaan), terasa makin kuat dan terdengar diseluruh penjuru dunia. Di berbagai belahan dunia, organisasi diminta untuk mewujudkan tanggung jawab sosialnya dan tidak lagi semata-mata bekerja untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada pemilik modal atau pemegang saham.
Melainkan juga memberikan manfaat pada masyarakat umumnya dan komunitas pada khususnya. Di Eropa misalnya, Komisi Masyarakat Eropa menyebutkan ada 4 faktor yang mendorong perkembangan tanggung jawab sosial komunitas yaitu (Siregar, 2007:285) :
1. Kepedulian dan harapan baru dari masyarakat, konsumen, otoritas public dan investor dalam konteks globalisasi dan perusahaan industri berskala besar.
2. Kriteria sosial memberikan pengaruh besar dalam pengambilan keputusan investasi dan institusi baik sebagai konsumen maupun investor
3. Meningkatkan kepedulian pada kerusakan lingkungan yang disebabkan kegiatan ekonomi.
4. Transparansi kegiatan bisnis akibat perkembangan media dan teknologi komunikasi dan informasi modern.
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah bagian kebijakan tata laksana perusahaan yang baik (Good Corpoate Government). Kesadaran perusahaan terhadap kepedulian baik lingkungan sosial, kondisi tempat kerja, dan standar bagi karyawan, hubungan perusahaan dengan komunitas sosial, maupun kepedulian sosial perusahaan (Corporate Philantropy).
Selain itu penerapan program Corporate Social Responsibility (CSR) juga dapat menjalin hubungan yang serasi dengan komunitas disekitar perusahaan, yang menjadi keharusan bagi perusahaan dimanapun agar tidak dilanda oleh
gejolak-gejolak atau bahkan terlibat dalam konflik yang berkepanjangan dengan masyarakat setempat yang akan mengganggu kelancaran usaha.
Di Indonesia sendiri praktek CSR kini memang masih sedang dalam proses pencarian bentuk terbaiknya. Hal yang terpenting dalam hal ini adalah spirit untuk terus berbenah diri tidak boleh padam dalam diri perusahaan. Begitu pula dengan seluruh komponen yang terkait.
Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) selalu menjadi hal yang kontroversial dalam dunia usaha. Sebagian orang mendukung Corporate Social Responsibility (CSR) namun dilain pihak banyak pula yang menentangnya. Pada dasarnya kontroversi tentang Corporate Social Responsibility (CSR) lebih karena aturan, fungsi dan keuntungan sebuah perusahaan bila melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR). Bagi yang mendukung, Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan cara untuk mengganti keuntungan optimal menjadi maksimal. Keuntungan maksimal adalah tujuan semua aktivitas bisnis.
Namun secara tidak disadari banyak perusahaan yang dimaksud disini adalah keuntungan yang tercapai pada tingkat kepuasan pemilik ataupun direktur perusahaan.
Faktor lain yang menjadi pemicu dibutuhkannya pengembangan Corporate Social Responsibility (CSR) bagi perusahaan, adalah kenyataan bahwa sejarah pembangunan ekonomi di Indonesia yang diyakini telah mencapai tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, ternyata masih menyisakan permasalahan sosial yang cukup serius. Salah satu keuntungan melakukan program Corporate Social Responsibility (CSR) bagi perusahaan adalah peningkatan performa keuangan.
Para “pemain” bisnis dan investasi mengalami berbagai perdebatan tentang Corporate Social Responsibility (CSR) dalam hubungannya dengan peningkatan
performa keuangan. Ternyata beberapa penelitian telah berhasil menemukan hubungan antara keduanya.
Kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) umumnya dilakukan oleh suatu perusahaan baik swasta maupun pemerintahan (BUMN) dengan tujuan tertentu. Begitu juga dengan PT. Pertamina (Persero) Pemasaran BBM Retail Region I Medan, sebagai perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang penyedia jasa layanan bahan bakar.
Melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang sudah lama berjalan yaitu Community Relations dan Community Development, namun disini masyarakat sebagai subjek penerima harus tetap memberi perhatian khusus kepada proses pemikiran terhadap proses pemberian bantuan tersebut seperti kemahiran berfikir secara kritis dan kreatif, kemahiran belajar dan motivasi.
Pertamina menyadari, pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan bangsa dalam mewujudkan masa depan yang lebih baik. Oleh sebab itu, melalui program Cerdas Bersama Pertamina, Pertamina memberikan bantuan beasiswa kepada para siswa-siswi berprestasi di seluruh Indonesia. Para calon penerima beasiswa Pertamina tersebut diseleksi secara ketat dan harus memenuhi persyaratan IQ dan EQ sehingga mereka memiliki kecerdasan emosional dalam proses meraih prestasi. Lewat program Corporate Social Responsibility (CSR) yang telah dilakukan tersebut diharahkan agar dapat digunakan sebaik-baiknya. Setiap individu memiliki pemikiran penilaian tersendiri terhadap program Corporate Social Responsibility (CSR) yang diberikan dimana setiap individu memiliki pemikirannya masing- masing dan berbeda antara satu sama lain.
Berkaitan dengan latar belakang di atas peneliti ingin melihat sejauhmana penilaian dan pemikiran setiap individu terhadap program Corporate Social Responsibility (CSR) yang telah diterima oleh individu, maka penulis merumuskan judul dari penelitian ini sebagai berikut: “Makna Corporate Social Responsibilty (CSR) “Cerdas Bersama Pertamina” Bagi Penerima Bantuan Beasiswa”
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bagaimanakah Makna Corporate Social Responsibilty (CSR) “Cerdas Bersama Pertamina” Bagi Penerima Bantuan Beasiswa?
1.3. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas dan mengambang, maka peneliti merasa perlu untuk membuat pembatasan masalah yang lebih spesifik dan jelas. Adapun yang menjadi pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini hanya akan dilakukan pada penerima bantuan beasiswa Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Pertamina (Persero) Pemasaran BBM Retail Region I Medan periode Juni 2010.
2. Subjek penelitian yang merupakan narasumber yang akan diwawancarai dan terkait dengan Penerima Bantuan Beasiswa Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Pertamina (Persero) Pemasaran BBM Retail Region I Medan.
3. Fokus penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana pandangan konstruktivis Penerima Bantuan mengenai program Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Pertamina (Persero) Pemasaran BBM Retail Region I Medan.
4. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2011, dengan lama penelitian yang akan disesuaikan dengan tingkat kebutuhan.
1.4. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian merupakan arah pelaksanaan penelitian yang akan menguraikan apa yang akan dicapai, sesuai dengan kebutuhan peneliti dan pihak lain yang berhubungan dengan penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui makna Corporate Social Responsibility (CSR) “Cerdas Bersama Pertamina” di PT. Pertamina (Persero) Pemasaran BBM Retail Region I Medan.
2. Untuk mengetahui proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi program beasiswa Corporate Social Responsibility (CSR ) Cerdas Bersama Pertamina di PT. Pertamina (Persero) Pemasaran BBM Retail Region I Medan.
3. Untuk menjelaskan bagaimana informan menafsirkan Corporate Social Responsibility (CSR ) sebagai realitas sosial.
4. Untuk menilai salah satu bentuk aplikasi pubic relations di PT. Pertamina (Persero) Pemasaran BBM Retail Region I Medan.
1.4.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan beberapa manfaat, baik dari segi akademis, teoritis dan praktis, diantaranya yaitu:
1. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi, bahan penelitian serta sumber bacaan di lingkungan Ilmu Komunikasi FISIP USU.
2. Secara Teoritis, penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu komunikasi, yaitu sebagai sumber referensi dan sumbangan informasi mengenai “Penilaian Penerima Bantuan Beasiswa Mengenai Program Corporate Social Responsibility (CSR ) Cerdas Bersama Pertamina”
3. Secara Praktis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai second opinion untuk pengambilan keputusan di masa mendatang khususnya bagi pihak perusahaan PT Pertamina.
1.5. Kerangka Teori
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan masalah atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang mengambarkan dari sudut mana penelitian akan disoroti (Nawawi, 1997: 39). Kerlinger menyebutkan teori adalah himpunan konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi diantara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Krisyantono, 2006: 45).
Dalam penelitian ini, teori-teori yang digunakan adalah:
1.6.1 Teori Konstruktivis
Bungin (2006: 234-236) menuliskan bahwa khazanah keilmuan komunikasi dipengaruhi oleh ilmu-ilmu sosial di mana ilmu sosial adalah induk dari ilmu komunikasi, di samping itu ilmu komunikasi juga dipengaruhi oleh ilmu dan stake holder akademik di sekitarnya. Sejarah komunikasi menempuh dua jalur yaitu, yang pertama kajian dari paradigma fungsional yang akhirnya melahirkan teori-teori komunikasi yang beraliran struktural-
fungsional. Kedua, paradigma konflik, yang akhirnya melahirkan teori-teori konflik dan teori kritis dalam kajian komunikasi.
Selajutnya, berdasarkan metode dan logika, terdapat empat perspektif yang mendasari teori dalam ilmu komunikasi (Bungin, 2006: 236-237).
Keempat perspektif itu adalah convering lows, yang berangkat yang berangkat dari perinsip kausalitas (hubungan sebab akibat), umumnya menjadi basis perkembangan ilmu komunikasi yang memerlukan bukti secara empiris.
Pemikiran perspektif rules, berdasarkan perinsip praktis bahwa manusia aktif memilih, mengubah dan menentukan aturan-aturan yang menyangkut kehidupannya. Perspektif system merupakan ladasan dari teori-teori informasi dan organisasi. Sementara itu, perspektif symbolic interactionism, lebih mengutamakan pengamatannya pada interaksi simbolis ( perilaku antar individu dalam kehidupan sosial ).
Dalam kajian komunikasi, paradigma konstruktivis dipengaruhi oleh perspektif interaksi simbolis dan perspektif struktural fungsional. Perspektif interaksi simbolis ini manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan respons-respon terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Dalam proses sosial , individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relative bebas di dalam dunia sosialnya. Realitas sosial itu memiliki makna manakalarealitas sosial dikonstruksikan dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain, sehingga memantapkan relitas sosial itu secara objektif.
Dalam ilmu-ilmu sosial, paradigma konstruktivis merupakan salah satu dari paradigma yang ada. Dua paradigma lainnya adalah klasik dan kritis.
Paradigma konsruktivis berada di dalam perspektif interpretivisme
(penafsiran) memiliki tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermenetik.
Konstruktivis merupakan sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas individu yang ada, karena telah terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungannya atau orang di sekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri pengetahuan atas realitas itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Konstruksi seperti ini disebut oleh Berger dan Lukman sebagai kostruksi sosial.
Berger dan Lukman memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman “kenyataan” dan “pengetahuan”. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat dalam realitas, yang diakui memiliki keberadaan yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realita-realitas itu nyata dan memiliki karakter yang spesifik.
Pengetahuan merupakan realitas sosial masyarakat dan realitas sosial tersebut adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat, seperti konsep, kesadaran umum, wacana public, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Realitas sosial dikonstruksikan melalui proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi yang dilakuakan secara simultan.
Realitas yang dikemukakan oleh Berger dan Lukman ini terdiri dari realitas objektif, simbolik, dan subjektif. Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif, yang berada di luar individu dan relitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolik adalah ekspresi simbolis dari realitas-realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan
relitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi.
Dalam pendekatan konstruktivis, landasan yang perlu dipegang oleh peneliti adalah bahwa realitas diciptakan dan dilestarikan melalui memahaman subjektif dan intersubjektif dari para pelaku sosial. Para pelaku sosial dipandang aktif sebagai interpreter-interpreter yang dapat menginterpretasikan aktivitas-aktivitas simbolik mereka. Aktivitas yang dimaksud adalah bahasa misalnya, “makna-makna yang dikejar adalah makna subjektif dan makna konsesus. Makna subjektif adalah makna yang meninterpretasikan secara kolektif, sementara itu makna konsensus dikonstruksikan melalu iraksi- interaksi sosial.
Kedua makna tersebut pada hakekatnya merupakan makna-makna yang menunjukan realitas sosial. Asumsinya adalah bahwa realitas yang berani secara sosial dikontruksikan melalui kata, simbol, dan perilaku diantara anggotanya. Kata, simbol, dan perilaku merupakan suatu yang bermakna dan pemahaman atas simbol, dan perilaku akan melahirkan pemahaman akan rutinitas sehari-hari dalam prektek-praktek kehidupan subjek penelitian (Rejeki, 2004:110-111).
1.6.2 Fenomenologi
Istilah fenomenologi sering digunakan sebagai anggapan untuk menunjukan pengalaman sebjektif dari beberapa jenis dan tipe subjek yang ditemui. Femomenologi artinya sebagai : 1) pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal. 2) suatu studi tentang kesadaran dari perspektif kesadaran seseorang. Dalam artian yang lebih khusus, istilah mengacu pada penelitian terdisiplin tentang kesadaran perspektif pertama seseorang. Sebagai
suatu disiplin ilmu, hal itu kemukakan oleh Edmund Husserl (1859-1938) seorang filsuf dari Jerman.
Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif pada manusia dan inpretasi- ionterpretasi dunia. seorang fenomenolog berasumsi bahwa kesadaran bukanlah dibentuk karena kesadaran dan dibentuk oleh sesuatu hal lainnya daripada dirinya sendiri. Demikian juga kehidupan sehari-hari, seseorang tidak memiliki kontrol terhadap kesadaran terstruktur. Husserl mengatakan filosofi merupakan strategi untuk “mengamankan” kesadaran (dan dunia bermaknaan dan nilai-nilai yang hidup dalam kehidupan sehari-hari) dari teori-teori reduktivisme.
Sebagai yang terstruktur, kesadaran merupakan “dunia” yang dialami oleh setiap orang. Analisis fenomenologi berusaha menguraikan cirri-ciri
“dunianya”, seperti apa aturan-aturan yang terorganisasi, dan apa yang tidak, dan dengan apa objek dan kejadian itu berkaitan.
Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu.; inkuiri fenomenologis memulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk menangkap pengertian dari sesuatu yang sedang diteliti. Permulaan dengan diam disebut sebagai epoche, yaitu penundaan berpikir dan asumsi, penilaian dan interpretasi. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis adalah aspek subjektif dari perilaku orang. Merekan berusaha masuk kedalam dunia konseptual para subjek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan
oleh mereka disekitar peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, yang disebut sebagai reduksi fenomenologis dan variasi imajinatif (Moleong, 2006:16-17).
1.6.4 Corporate Social Responsibility (CSR)
Sebenarnya banyak istilah yang digunakan secara bergantian untuk Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan ini. Ada yang menyebutnya tanggung jawab korporat, ada pula kewarganegaraan korporan (corporate citizenship), ada juga yang menamakan corporate-community relationship, atau ada juga yang menyebutnya dengan organisasi berkelanjutan.
Siregar mendefinisikan Corporate Social Responsibility sebagai berikut:
The program of Corporate Social Responsibility is the social program that provides a lot of contributions in solving social problems in job opportunities, health, education, economy, and the environment (Siregar, 2007:285).
Program Corporate Social Responsibility CSR) adalah sebuah program sosial yang menyediakan keharusan memberikan kontribusi dalam memecahkan masalah-masalah sosial dalam bidang kesempatan pekerjaan, pendidikan, ekonomi, dan lingkungan.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa Corporate Social Responsibility (CSR) lahir atas dasar realitas sosial yang mengharuskan perusahaan terlibat secara langsung dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial, tidak terbatas pada pencarian keuntungan. Dapat dikatakan bahwa tuntutan sosial pada perusahaan muncul sebagai refleksi pertanggungan jawab dari perusahaan (social responsibility) pada seluruh stakeholder utamanya.
Mereka terdiri dari karyawan, pembeli, investor/nasabah, pemerintah, masyarakat dan kelangsungan lingkungan hidup bagi generasi penerus.
Seiring dengan pesatnya perkembangan sektor dunia usaha sebagai akibat liberalisasi ekonomi, berbagai kalangan swasta, organisasi masyarakat, dan dunia pendidikan berupaya merumuskan dan mempromosikan tanggung jawab sosial sektor usaha dalam hubungannya dengan masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, dunia usaha perlu mencari pola-pola kemitraan (partnership) dengan seluruh stakeholder agar dapat berperan dalam pembangunan, sekaligus meningkatkan kinerjanya agar tetap dapat bertahan dan bahkan berkembang menjadi perusahaan yang mampu bersaing.
Dengan masuknya program Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bagian dari strategi bisnis, maka akan dengan mudah bagi unit-unit usaha yang berada dalam suatu perusahaan untuk mengimplementasi kan rencana kegiatan dari program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dirancangnya. Dilihat dari sisi pertanggung jawaban keuangan atas setiap investasi yang dikeluarkan dari program Corporate Social Responsibility menjadi lebih jelas dan tegas, sehingga pada akhirnya keberlanjutan yang diharapkan akan dapat terimplementasi berdasarkan harapan semua stakeholder.
1.6.7 Humanistik
Ahli Psikologi dalam pendekatan ini adalah seperti Abraham Maslow, Rollo May, Carls Rogers dan Gordon Allport. Teori pendekatan Humanistik memberi tumpuan kepada apa yang berlaku dalam diri seorang individu seperti perasaan atau emosinya. Teori ini menyatakan bahwa individu terdorong bertindak melakukan sesuatu kerana mempunyai satu kemahuan
atau keperluan dan bertanggungjawab di atas segala tindakkannya. Menurut pendekatan ini, kuasa motivasi seseorang individu adalah kecenderungannya untuk berkembang dan mencapai hasrat diri (self-actualization). Ini bermakna setiap individu mempunyai keperluan untuk mengembangkan potensinya ke tahap maksimum. Walaupun terdapat halangan, kecenderungan semulajadi adalah untuk mencapai hasrat diri atau mengembangkan potensi ke tahap yang maksimum. Konsep ini (pencapaian hasrat diri) sebenarnya dipelopori oleh Abraham Maslow yang juga merupakan ahli psikologi humanis.
Abraham Maslow (1970) mengemukakan Teori Hierarki Keperluan Maslow dengan andaian bahwa manusia tidak pernah berasa puas dengan apa yang telah dicapai. Mengikut Maslow kehendak manusia terbahagi lima mengikut keutamaan yaitu keperluan asas fisiologi, keselamatan, penghargaan dan kasih sayang, penghormatan kendiri seterusnya keperluan sempurna kendiri. Rogers (1956) pula mengatakan bahwa manusia sentiasa berusaha memahami diri sendiri, mempengaruhi dan mengawal perlakuan dirinya dan orang lain. Rogers berpendapat bahwa manusia lahir dengan kecenderungan untuk kesempurnaan yang akan memandunya menjadi insan yang matang dan sihat. Jelas di sini bahwa pendekatan ini lebih memberi tumpuan kepada kemahuan seseorang dan menekankan keunikan manusia serta kebebasan mereka untuk memilih matlamat hidup. Contohnya, Karim murid tahun enam yang tidak mendapat kasih sayang dari ibu bapanya dan sentiasa dinaifkan haknya dari adik beradiknya yang lain telah menyebabkan ia suka menyendiri dan tidak yakin pada dirinya sendiri sehingga menjelaskan pelajarannya.
1.7. Kerangka Konsep
Konsep adalah generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama (Singarimbun, 1995:17).
Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai (Nanawi, 1997:40). Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan konstruktivis. Pendekatan konstruktivis diawali dengan sistem kognitif (pengetahuan) individu atau seseorang (Miller, 2005: 106). Secara ringkas, teori konstruktuvis meneliti bagaimana seseorang mengkonstruksikan segala sesuatu.
Teori ini menyatakan bahwa individu membuat interpretasi berdasarkan aturan-aturan sosialnya. Individu dalam situasi sosialnya pertama-tama didorong oleh keinginan untuk memahami apa yang sedang terjadi dan menerapkan aturan- aturan untuk mengetahui segala sesuatu. Pada tahap selanjutnya individu bertindak atas dasar pemahaman mereka, dengan aturan-aturan untuk memutuskan tindakan yang sesuai. Pada titik inilah desain pesan dioperasikan oleh individu dalam tindakan komunikasinya, desain pesan dilakukan agar tindakan dan pernyataan dapat menciptakan komuniukasi interktif.
Kerangka Konsep Paradigma Konstruksi Sosial yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman:
Realitas
Konstruksi
Proses Sosial
Eksternalis Objektiv
Internalisa
Gambar 1
Konsep Paradigma Konstruksi
1.8. Definisi Oprasional
Definisi oprasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya untuk mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, definisi oprasional adalah suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti yang ingin menggunakan variabel yang sama (Singarimbun 1995: 46). dalam penelitian ini, variabel-variabel dapat didefenisikan sebagai berikut :
1. Realitas Sosial
Hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya. Menurut Max Weber, realitas sosial adalah perilaku sosial yang memilki makna subjektif, karena itu perilaku memilki tujuan dan motifasi. Realitas memilki makna, manakala realitas sosial dikonstrusi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif.
2. Konstruksi Sosial
Konstruksi sosial yang diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Lukman adalah sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas, karena terjadi reaksi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang disekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri pengetahuan atas realitas itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya adalah bahwa manusia dan masyarakat adalah profukl yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus.
3. Proses Sosial Simultan
Sumber : Peter L. Berger dan Thomas Luckman
Proses membangun konstruksi sosial atas realitas sosial yang melalui proses eksternalisasi, objektivasi, dan interalisasi secara bersama-sama.
3.a. Eksternalisasi
Merupakan interaksi antar individu dengan produk sosial masyarakatnya. Ketika sebuah produk sosial telah menjadi bagian penting dalam masyarakat yang setiap saat dibutuhkan oleh individu, maka produk sosial itu menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang untuk melihat dunia luar.
3.b. Objektivasi
Sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu memanifestasikan diri dalam produk-produk sosial.
3.c. Internalisasi
Adalah pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna, artinya sebagai suatu manifestasi dari proses subjektif orang lain, yang dengan demikian menjadi bermakna secara subjektif bagi individu itu sendiri.