HUKUMPENITENSIERF HUKUMPENITENSIERF
P E N G A T U R A N
G R A S I , A M N E S T I , D A N A B O L I S I
D A L A M H U K U M P O S I T I F D I
I N D O N E S I A
D O S E N P E N G A M P U : D R . R E H N A L E M K E N G I N T I N G , S . H . , M . H .
H E L L O
HUKUMPENITENSIERF HUKUMPENITENSIERF
N A M A
A N G G O T A
Falarasika Anida Paulina (E0020179) Frendi Setiawan (E0020196)
Kevin Niko Oloan (E0020251)
01
02
03
PENITENSIERF
P E N D A H U L U A N
L A T A R B E L A K A N G
Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadikan sistem Pemerintahan Presidensial sebagai bentuk pemerintahan, di mana Presiden bertindak sebagai pemimpin negara yang memiliki kekuasaan besar dalam mengatur negaranya. Hal ini membuat Presiden memiliki beragam kewenangan dan juga hak yang dapat digunakan selama masa pemerintahannya berlangsung. Salah satu contoh dari hak tersebut ialah hak prerogratif, yang mana hak tersebut membuat keputusan Presiden menjadi mutlak. Ranah Yudisial menjadi salah satu bidang di mana hak prerogratif presiden berdiri. Hak-hak tersebut di antaranya ialah hak memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi.
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki pengaturan tersendiri dalam mengatur aspek-aspek yang berkaitan dengan hukum di dalamnya. Tanpa terkecuali, hal itu juga berlaku bagi pemberian putusan grasi, amnesti, dan abolisi. Hukum bergerak mengikuti perkembangan zaman yang ada, sehingga membuatnya kerap kali mengalami perubahan agar dapat berlaku dan sesuai dengan keadaan saat ini. Hal ini pun dikenal dengan sebutan hukum positif (ius constitutum), yang memiliki arti sebagai hukum yang berlaku di suatu tempat, dimana hukum positif ini mengatur manusia sebagai makhluk sosial (tertulis, tidak tertulis, dan yurisprudensi). Terkait dengan hukum positif yang saat ini berlaku di Indonesia sendiri diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam Pasal tersebut, diterangkan bahwa yang termasuk di dalam hukum positif di antaranya adalah UUD 1945, TAP MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Provinsi atau Kabupaten/Kota.
PENITENSIERF PENITENSIERF
P E N D A H U L U A N
R U M U S A N M A S A L A H
Bagaimana pengaturan dan kedudukan grasi, amnesti, dan abolisi dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia?
Seperti apa contoh nyata dari pemberian grasi, amnesti, dan abolisi yang menggunakan hukum positif sebagai landasannya?
PENITENSIERF PENITENSIERF
P E N G E R T I A N G R A S I
Grasi merupakan sebuah putusan presiden yang diberikan oleh terpidana untuk meringankan, merubah, mengurangi, atau menghapus pidana yang dikenakan padanya. Dalam pemberian grasi, terdapat putusan-putusan pidana tertentu yang menjadi pertimbangan. Di antara putusan tersebut ialah putusan
pidana penjara seumur hidup, putusan pidana mati, dan putusan pidana dengan jangka waktu minimal 2 tahun.
L A N D A S A N H U K U M P O S I T I F D I I N D O N E S I A Y A N G M E N G A T U R
T E N T A N G G R A S I
PENITENSIERF PENITENSIERF
Hukum positif yang mengatur terkait dengan pemberian grasi yang saat ini berlaku di Indonesia adalah hukum yang diatur setelah Pasal 14 UUD 1945 berlaku. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 menjadi landasan bagi hukum positif dalam pengaturan grasi dimulai
sejak DPR mengesahkannya pada tanggal 24 September 2002. Grasi sendiri merupakan putusan yang diberikan oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan MA, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 14 Ayat 1 UUD 1945 jo Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2002.
Pada tahun 2010, DPR mengesahkan Undang-Undang grasi baru, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi—di mana pada Undang-Undang ini, pemberian grasi diperketat dengan tanggungjawab yang berada di tangan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pengaturan
mengenai ketentuan umum, ruang lingkup, tata cara pengajuan, penyelesaian permohonan grasi dan ketentuan lainnya masih tersusun serupa seperti apa yang ada di dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2002, namun dengan beberapa pasal yang telah mengalami perubahan—sesuai dengan Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 2010.
P A S A L Y A N G M E N G A L A M I P E R U B A H A N D A L A M U U N O M O R 5 T A H U N 2 0 1 0 T E N T A N G
P E R U B A H A N A T A S U N D A N G - U N D A N G N O M O R 2 2 T A H U N 2 0 0 2 T E N T A N G G R A S I
PENITENSIERF PENITENSIERF
Perubahan pertama dapat dilihat pada Pasal 2 Ayat 3 UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, yang mana sebelumnya dikatakan bahwa permohonan grasi hanya dapat diajukan sebanyak 1 kali—kecuali apabila memenuhi beberapa kriteria yang disebutkan. Namun, dalam UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, hanya dituliskan bahwa permohonan grasi dapat diajukan sebanyak satu kali, tanpa membuat pengecualian terhadap beberapa kriteria yang sebelumnya
telah tertulis.
Berikutnya, perubahan ditemukan pada Pasal 6 dan Pasal 7. Dalam UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi diatur pasal baru, yaitu Pasal 6A
—yang mana isinya menjelaskan terkait dengan keberadaan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam proses penelitian dan pelaksanaan pengajuan permohonan grasi, untuk kemudian
menyampaikan pada Presiden. Sementara itu, dalam Pasal 7 disebutkan terkait dengan waktu di mana permohonan grasi dapat mulai dilakukan, yaitu tepat setelah pengadilan berhasil mendapatkan kekuatan hukum yang tetap bagi terpidana. Pada Pasal 7 Ayat 2, perubahan yang
ditemukan meyebutkan pengajuan permohonan grasi yang pada awalnya tidak terdapat batas waktu setelah mendapatkan kekuatan hukum tetap, namun pada akhirnya berubah dengan
dikenakan jangka waktu satu tahun setelah mendapatkan kekuatan hukum tetap.
P A S A L Y A N G M E N G A L A M I P E R U B A H A N D A L A M U U N O M O R 5 T A H U N 2 0 1 0 T E N T A N G P E R U B A H A N A T A S U N D A N G -
U N D A N G N O M O R 2 2 T A H U N 2 0 0 2 T E N T A N G G R A S I
PENITENSIERF PENITENSIERF
Perubahan berikutnya ditemukan dalam Pasal 10, yang mana isi pasal pada awalnya menyebutkan bahwa Mahkamah Agung memiliki waktu 3 bulan untuk mengajukan
pertimbangannya secara tertulis pada Presiden setelah diterimanya salinan permohonan, namun justru diperpendek menjadi 30 hari.
Pada Pasal 15, perubahan dapat kembali dilihat dengan terdapatnya pasal baru, yaitu Pasal 15A.
Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa pada tanggal 22 Oktober 2012, seluruh permohonan grasi berlandaskan UU Nomor 22 Tahun 2002 yang belum mendapatkan penyelesaian harus segera diselesaikan. Dijelaskan pula bahwa terpidana mati—yang menggunakan UU Nomor 22 Tahun 2002 sebagai landasan—yang belum mengajukan permohonan grasi, untuk segera mengajukannya
dengan jangka waktu yang ditentukan, yaitu 1 tahun dimulai dari berlakunya UU Nomor. 5 Tahun 2010.
C O N T O H P E M B E R I A N G R A S I D E N G A N L A N D A S A N H U K U M P O S I T I F D I
I N D O N E S I A
PENITENSIERF PENITENSIERF
Salah satu contoh pemberian grasi yang pernah dilakukan oleh Presiden di Indonesia adalah pemberian grasi yang diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada terpidana bernama Syaukani. Syaukani sendiri merupakan mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang divonis 6 tahun penjara karena kasus korupsi yang merugikan Negara sampai Rp120 miliar. Dalam kasusnya, Syaukani disebutkan telah melakukan tindak pidana korupsi pada dana bagi hasil migas bagi Muspida, penggunaan APBD untuk pembangunan Bandara Loa Kulu di Tenggarong, penggunaan dana
bantuan sosial, dan penunjukan langsung proyek studi kelayakan Bandara Loa Kulu.
Pemberian grasi terhaap Syaukani disebutkan dalam Keppres Nomor 7/G Tahun 2010 pada tanggal 15 Agustus 2010, yang mana membuat Syaukani dapat langsung dibebaskan karena masa pidana penjaranya yang telah berlangsung selama 3 tahun. Grasi yang diberikan pada Syaukani sendiri diterbitkan karena memburuknya kondisi kesehatan Syaukani, yang mana hingga dinyatakan bahwa ie
mengalami kelumpuhan, hilang ingatan, dan buta.
PENITENSIERF PENITENSIERF
P E N G E R T I A N A M N E S T I
Amnesti adalah tindakan untuk melupakan suatu kejahatan yang biasanya diberikan kepada seseorang ataupun sekelompok orang, seorang yang telah diberikan amnesti tidak akan dituntut atas kejahatan sebagaimana yang telah
disebutkan dalam amnesti
D A S A R H U K U M P O S I T I F Y A N G M E N G A T U R T E N T A N G A M N E S T I
PENITENSIERF PENITENSIERF
Presiden dalam memberikan amnesti telah diatur dalam amandemen UUD 1945 Pasal 14 ayat 1 dan 2 yang berbunyi bahwa “Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung” dan “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat”. Amnesti secara umum diberikan bagi kasus-kasus politik, rekomendasi atau pertimbangan untuk diberlakukan amnesti biasanya dapat berasal dari parlemen/legislatif, ahli hukum, tokoh-tokoh politik atau adanya tekanan dari internasional, namun pada prinsipnya amneti
memang murni lahir dari presiden sebagai kepala negara.
Pengaturan terkait dengan amnesti dapat dilihat dalam UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 Pasal 1 yang mengatur bahwa presiden atas kepentingan negara dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-
orang yang telah melakukan suatu tindakan pidana. Pengertian amnesti juga dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam undang-
undang tersebut dijelaskan tentang amnesti yang merupakan sebagai bentuk pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
D A S A R H U K U M P O S I T I F Y A N G M E N G A T U R T E N T A N G A M N E S T I
PENITENSIERF PENITENSIERF
Selain itu pengaturan amnesti secara rinci diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1945 tentang Amnesti dan Abolisi. Undang-Undang Darurat Nomor 22 Tahun 1954 tentang Amnesti
dan Abolisi menyebutkan bahwa “Amnesti dan abolisi diberikan kepada semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melalukan suatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan
politik antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda. Pemberian amnesti saat itu tidak hanya diberikan kepada para pelaku kejahatan politik saja, namun bagi kejahatan seperti pemberontakan,
makar, separatisme, subversi dan pelanggaran HAM.
Pelaksanaan pemberian amnesti didasarkan pada Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur lembaga yang memberikan pertimbangan kepada presiden itu berbeda, maka berdasarkan hal tersebut
ketentuan dalam Pasal 1 UU Darurat 1954 tidak berlaku lagi. Pelaksanaan amnesti dan abolisi sebenarnya belum diatur lebih lanjut mengenai bagaimana proses pelaksanaan amnesti dan abolisi
sebagaimana didasarkan pada ketentuan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945.
D A S A R H U K U M P O S I T I F Y A N G M E N G A T U R T E N T A N G A M N E S T I
PENITENSIERF PENITENSIERF
Untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 107 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia dan untuk menyesuaikan penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1949 tentang pemberian amnesti dengan ketentuan tersebut perlu diadakan peraturan tentang amnesti dan abolisi; bahwa karena keadaan-keadaan yang mendesak, peraturan ini perlu segera diadakan.
Pasal 96 dan 107 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia yang sekarang telah digantikan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 14 ayat 2.102:10 AM
Pasal 107 ayat (3) Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia “Amnesti dan abolisi hanya dapat diberikan oleh undang-undang ataupun atas kuasa undang-undang, oleh presiden sesudah meminta nasihat dari Mahkamah Agung."
Pengaturan amnesti kemudian diperjelas secara rinci dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi, dimana undang-undang ini dibentuk berdasarkan pertimbangan:
1.
2.
C O N T O H P E M B E R I A N A M N E S T I B E R D A S A R K A N H U K U M P O S I T I F D I
I N D O N E S I A
PENITENSIERF PENITENSIERF
Untuk dapat memberikan contoh bagaimana penerapan pemberian amnesti oleh presiden maka dapat diambil contoh, Pada Tahun 2019 Presdien Joko Widodo memnberikan amnesti melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2019 kepada Baiq Nuril. Baiq Nuril tidak didakwa karena melakukan tindak
pidana politik melainkan karena tindak pidana informasi dan transaski elektronik (ITE). Pemberian amnesti kepada Baiq Nuril pada akhirnya menjadi momentum yang penting bagi Indonesia untuk
membuat Undang-Undang baru yang mengatur tentang pemberian amnesti, mengingat landasam hukum bagi presiden untuk memberikan amnesti saat ini masih belum jelas. Kasus Baiq Nuril secara
singkat bermula ketika dituduh telah menyebarkan percakapan rekaman telepon dengan atasannya, yaitu Kepala SMAN 7 Mataram. Percakapan tersebut memuat konten pelecehan seksual yang dilakukan
oleh atasannya. Karena tidak terima percakapan tersebut tersebar, Baiq Nuril dilaporkan kemudian berujung pada putusan kasasi oleh MA yang menghukum Baiq Nuril selama 6 bulan penjara dan denda Rp. 500 juta. Baiq Nuril terbukti secara sah melakukan penyebaran konten yang mengandung kesusilaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 jo UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. Kasus Baiq Nuril tersebut menyita banyak simpati publik, karena masayarakat menganggap Nuril
sebagai korban. Hal tersebut yang kemudian membuat Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Baiq Nuril. Menjadi sejarah bagi bangsa Indonesia amnesti diberikan bukan pada perbuatan
kejahatan politik, melainkan amnesti diberikan karena alasan dan pertimbangan kemanusiaan.
PENITENSIERF PENITENSIERF
P E N G E R T I A N A B O L I S I
Abolisi merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan
terhadap perkara tersebut yang diberikan oleh presiden dengan
memperhatikan pertimbanan Dewan Perwakilan Rakyat. tentu abolisi bukan suatu pengampunan dari Presiden kepada para terpidana. Melainkan sebuah
upaya Presiden untuk menghentikan proses pemeriksaan dan penuntutan terhadap seorang tersangka, atau pencabutan tuduhan kriminal karena
pemeriksaan dan penuntutan tersebut dapat mengganggu stabilitas pemerintahan
D A S A R H U K U M P O S I T I F Y A N G M E N G A T U R T E N T A N G A B O L I S I
PENITENSIERF PENITENSIERF
Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat” dan,
UU Darurat No. 11 tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi Dasar hukum pemberian abolisi sama dengan amnesti, yaitu:
1.
2.
M E K A N I S M E P E M B E R I A N A M N E S T I D A N A B O L I S I B E R D A S A R K A N P E N J E L A S A N
P A S A L 1 4 A Y A T ( 2 ) U U D N R I 1 9 4 5
PENITENSIERF PENITENSIERF
Pemberian amnesti dan abolisi diterjemahkan dalam konteks Merupakan hak prerogatif Presiden diberikan setelah meminta nasihat MA yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman (saat ini Menteri Hukum dan HAM)
Usulan Presiden terkait pemberian amnesti dan abolisi akan dibahas dalam rapat pimpinan DPR/MPR untuk mendapat pertimbangan Setelah disetujui dalam rapat pimpinan DPR/MPR, lalu dibawa ke Sidang Paripurna untuk selanjutnya ditentukan dalam rapat Badan Musyawarah
1.
2.
3.
P E M B E R I A N A B O L I S I O L E H P R E S I D E N
PENITENSIERF PENITENSIERF
Peringanan atau perubahan jenis pidana Pengurangan jumlah pidana
Penghapusan pelaksanaan pidana
Dengan pemberian amnesti, maka semua akibat terhadap orang-orang yang dimaksud di atas itu dihapuskan;
Dengan pemberian abolisi, maka penuntutan terhadap orang-orang itu ditiadakan
Pemberian abolisi oleh Presiden dapat berupa:
1.
2.
3.
Selanjutnya dalam Penjelasan UU Darurat No. 11 tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi membedakan pengertian antara amnesti dan abolisi.
Perbedaan antara amnesti dan abolisi itu adalah:
1.
2.
C O N T O H P E M B E R I A N A B O L I S I B E R D A S A R K A N H U K U M P O S I T I F D I
I N D O N E S I A
PENITENSIERF PENITENSIERF
Abolisi pada masa Presiden Sukarno kepada orang-orang yang tersangkut pemberontakan DI/TII oleh Daud Beureueh, PRRI dan Permesta oleh Kahar Muzakar, Kartosuwirjo, Ibnu Hajar, dan RMS berdasar Keppres No. 449 tahun 1961, Dalam sejarahnya, amnesti dan abolisi pernah diberikan kepada orangorang yang terlibat pemberontakan, seperti pemberontakan Daud Beureueh di Aceh yang mendapatkan amnesti dan abolisi berdasar Keppres No. 180 tahun 1959, DI/TII Kahar Muzakardi Sulawesi Selatan yang diberikan amnesti dan abolisi melalui Keppres No.
303 tahun 1959, pemberontakan PRRI dan Permesta yang mendapat
amnesti dan abolisi setelah bersedia membuat kesepakatan dengan
pemerintah
B Y E
T E R I M A K A S I H .
Jika ada yang ingin ditanyakan, silakan untuk bertanya.
Penitesierf. PENITEBNSIERF