• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENTUK-BENTUK KEPAHLAWANAN PRAJURIT BHAYANGKARA SAAT MEMADAMKAN PEMBERONTAKAN RA KUTI DALAM NOVEL GAJAHMADA KARYA LANGIT KRESNA HARIADI TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia P

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BENTUK-BENTUK KEPAHLAWANAN PRAJURIT BHAYANGKARA SAAT MEMADAMKAN PEMBERONTAKAN RA KUTI DALAM NOVEL GAJAHMADA KARYA LANGIT KRESNA HARIADI TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia P"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

 

BENTUK-BENTUK KEPAHLAWANAN PRAJURIT BHAYANGKARA

SAAT MEMADAMKAN PEMBERONTAKAN RA KUTI

DALAM NOVEL GAJAHMADA KARYA LANGIT KRESNA HARIADI

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Petrus Seno Wibowo

NIM : 054114010

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

i

 

BENTUK-BENTUK KEPAHLAWANAN PRAJURIT BHAYANGKARA

SAAT MEMADAMKAN PEMBERONTAKAN RA KUTI

DALAM NOVEL GAJAHMADA KARYA LANGIT KRESNA HARIADI

TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Petrus Seno Wibowo

NIM : 054114010

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

 

PERSEMBAHAN

Skripsi ini Prasasti

Bagi jiwa sesawi

Bagi hati sendiri yang senantiasa menanti sepi di lobang manusiawi

Skripsi ini Prasasti

Puji kidung mazmur Ilahi

Dwiandhesti penguasa nurani

Dan

(6)

v

 

MOTTO

(7)

vi

 

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berudul “Bentuk-bentuk

Kepahlawanan Prajurit Bhayangkara Saat Memadamkan Pemberontakan Ra Kuti

dalam Novel

Gajahmada

Karya Langit Kresna Hariadi Tinjauan Sosiologi Sastra” ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaiman layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 10 September 2011

Penulis,

(8)

vii

 

Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah

Untuk Kepentingan Akademis

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

NAMA

: Petrus Seno Wibowo

NIM

:

054114010

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul

BENTUK-BENTUK

KEPALAWANAN PRAJURIT BHAYANGKARA SAAT MEMADAMKAN

PEMBERONTAKAN RA KUTI DALAM NOVEL

GAJAHMADA

KARYA

LANGIT KRESNA HARIADI TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA,

beserta

perangkat yang diperlukan.

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma

hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk

pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet

atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya

maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya

sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 10 Oktober 2011

Yang menyatakan,

(9)

viii

 

ABSTRAK

Wibowo, Petrus Seno. 2011.

Bentuk-bentuk Kepahlawanan Prajurit Bhayangkara

Saat Memadamkan Pemberontakan Ra Kuti Dalam Novel Gajahmada

Karya Langit Kresna Hariadi Tinjauan Sosiologi Sastra.

Skripsi Program

Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan tokoh dan penokohan para

prajurit Bhayangkara yang berjasa memadamkan pemberontakan Ra Kuti dalam

novel

Gajahmada

karya Langit Kresna Hariadi. (2) mendeskripsikan bentuk-bentuk

kepahlawanan prajurit Bhayangkara yang berjasa memadamkan pemberontakan Ra

Kuti dalam novel

Gajahmada

karya Langit Kresna Hariadi. Bentuk kepahlawanan

prajurit Bhayangkara akan dianalisis dan dideskripsikan dengan metode deskriptif

analisis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

struktural dan sosiologi sastra.

Para Bhayangkara yang menyertai Gajahmada antara lain Lembu Pulung,

Panjang Sumprit, Jayabaya, Risang Panjer Lawang, Mahisa Kingkin, Pradhabasu,

Lembang Laut, Riung Samudra, Panji Saprang, Mahisa Geneng, Gajah Pradamba,

Singa Parepen, Macan Liwung, dan Gagak Bongol. Tokoh dan penokohan para

prajurit Bhayangkara dianalisis dengan pendekatan struktural.

(10)

ix

 

Bentuk-bentuk kepahlawanan tersebut sekaligus menjadi kesimpulan dalam

penelitian ini. Bentuk kepahlawanan prajurit Bhayangkara menjadi panutan dalam

perkembangan rasa nasionalisme bangsa Indonesia.

(11)

x

 

ABSTRACT

Wibowo, Petrus Seno. 2011.

The Patriotism Figure of Bhayangkara Armies in

Defeating the Insurrection of Ra Kuti as Seen in Langit Kresna Hariadi’s

Gajahmada. A Literary of Sociological Approach. A Thesis.

Indonesian

Letters Study Program, Indonesian Letters Department, Faculty of Letters,

Sanata Dharma University, Yogyakarta.

This study is aimed to (1) describe the character and characterization of

Bhayangkara armies who had been responsible to conquer Ra Kuti’s mutiny as seen

in Langit Kresna Hariadi’s Gajahmada. (2) describe the patriotism figures of

Bhayangkara armies who had been responsible to conquer Ra Kuti’s mutiny as seen

in Langit Kresna Hariadi’s Gajahmada. The writer chooses descriptive analysis

method as the purpose to analyze and describe the patriotism figures. The writer uses

structural and literary sociological approach in this study.

The Bhayangkara armies who accompanied Gajahmada were Lembu Pulung,

Panjang Sumprit, Jayabaya, Risang Panjer Lawang, Mahisa Kingkin, Pradhabasu,

Lembang Laut, Riung Samudra, Panji Saprang, Mahisa Geneng, Gajah Pradamba,

Singa Parepen, Macan Liwung, dan Gagak Bongol. The writer applies structural

approach to analyze the character and characterization of Bhayangkara armies.

Gajahmada and the fifteen Bhayangkara armies who had been responsible for

conquering Ra Kuti’s mutiny had to tackle so many obstacles that revealing

patriotism figures. The exposing patriotism figures are (1) Jayanegara’s redemption.

Gajahmada’s emergency response became the beginning step to redeem Jayanegara.

Gajahmada who got some information about Ra Kuti’s insurrection immediately

arranged the strategies to be up against the redemption. Lembu Pulung, Panjang

Sumprit, Jayabaya, dan Kartika Sinumping were responsible to get

Sekar Kedaton

out

of the Palace. Meanwhile, Lembang Laut traced the mutineer’s existence as the first

step to handle them. (2) Jayanegara’s refugee. Jayanegara’s refugee to be out of the

palace was organized by Gajahmada’s strategy. The step was such maneuver

anticipation for mutineer in Bhayangkara corpse. In the refugee, Jayanegara had

almost been killed but because of Bhayangkara’s intelligence and martial art, the

armies succeeded to save Jayanegara’s life although it had to be changed to the death

of Mahisa Kingkin and Risang Panjer Lawang. (3) Patriotism Figure. Patriotism

Figure was a counterattack from Bhayangkara armies. It was prepared by Kartika

Sinumping. The beginning preparation was constructing a tunnel that was connected

to Ra Kuti’s room as an assault to him.

(12)

xi

 

KATA PENGANTAR

Mazmur pujian penulis kumandangkan kepada

Gusti Kang Murbeng Dumadi

berkat rampungnya skripsi ini. penulis menyelesaikan penelitian ini dengan banyak

kekurangan karena keterbatasan pemulis sebagai manusia. Oleh karena itu, segala

kritik dan masukan penulis harapkan. Penelitian ini tidak terlepas dari susah payah

dan kontribusi banyak pihak. Untuk itu penulis secara rendah hati menghaturkan

ucapan terima kasih kepada :

1.

Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum selaku pembimbing I. Terima kasih pak,

atas waktu dan sumbang pemikiran yang bapak berikan kepada penulis.

2.

Ibu Susilawati Endah Peni Adji, S.S., M.Hum selaku pembimbing II. Tak

cukup penulis ucapkan terima kasih atas kritik dan waktu yang Ibu luangkan.

3.

Bapak Drs. Hery Antono, M.Hum selaku Kepala Program Studi Sastra

Indonesia dan pembimbing akademik angkatan 2005. Terima kasih atas

perhatian dan kritik cerdas khas Bapak.

4.

Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum selaku Dekan Fakultas Sastra.

Terima kasih atas bimbingan Bapak selama perkuliahan yang penulis nikmati.

5.

Dosen-dosen di Prodi Sastra Indonesia. Bu Tjandra, Pak Ari, Pak Yapi, dan

Pak Santoso.

(13)

xii

 

7.

Kedua orangtua yang selama ini cukup kewalahan mengikuti kegilaan penulis.

8.

Mbak Dessy. Kakak seperjuangan. Jangan lelah memperjuangkan ide.

9.

Mas Prim di Sanggar Buku Srigunting. Terima kasih banyak atas

penggambaran Bhayangkara yang dramatis.

10.

Mas Alvez di Galang Press. Surat sakti dalam perjalanan.

11.

Mas Yudhistira, editor andalan Intan Pariwara. Folktale ini skripsi lho Mas.

12.

Bapak Langit Kresna Hariadi, penulis novel

GAJAHMADA

. Terima kasih

banyak atas korespondensi dan masukan selama penulisan berlangsung.

13.

Teman-teman penyumbang ide dan pasukan cuci gudang. Doan, Emak, Dista

Unyu, Tri Uyye, dan Mas Icak.

14.

Corey Taylor. Terima kasih atas teriakan-teriakan lantang tentang arti

manusia.

15.

Dwiandhesti, penguasa relung hati. Terima kasih untuk hari-hari penuh gairah

ide dan nuansa British.

16.

Berjuta ungkapan sembah terima kasih kepada manusia-manusia pengisi jalan

setapak penulis. Prasasti ini untuk kalian.

Penulis berharap, penelitian ini dapat mendapat tempat di dalam proses

tumbuh dan berkembangnya sastra Indonesia. Kesalahan penulisan, baik yang

disengaja dan tidak disengaja, tidak terlepas dari kekurangan penulis. Mohon maaf.

Selamat berpetualang.

(14)

xiii

 

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………..

i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….

ii

HALAMAN PENGESAHAN………

iii

PERSEMBAHAN………. iv

HALAMAN MOTTO………...

v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..

vi

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………….

vii

ABSTRAK………

viii

ABSTRACT……….

x

KATA PENGANTAR……….

xi

DAFTAR ISI………

xiii

DAFTAR TABEL………... xvii

BAB I PENDAHULUAN………

1

1.1 Latar Belakang……….

1

1.2 Rumusan Masalah………...

5

1.3 Tujuan Penelitian………..

6

1.4 Manfaat Penelitian………

6

(15)

xiv

 

1.6 Landasan Teori……….

7

1.7 Metode Penelitian………

11

1.8 Sistematika Penyajian………..

13

BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN PRAJURIT BHAYANGKARA

YANG BERJASA MEMADAMKAN PEMBERONTAKAN RA KUTI….

14

2.1 Gajahmada………..

16

2.2 Gagak Bongol……….

24

2.3 Lembang Laut……….

31

2.4 Pradhabasu………..

34

2.5 Lembu Pulung……….

36

2.6 Panjang Sumprit……….

37

2.7 Jayabaya………..

37

2.8 Kartika Sinumping………..

38

2.9 Gajah Pradamba………..

39

2.10 Macan Liwung………..

40

2.11 Gajah Geneng………

42

2.12 Riung Samudra……….

43

2.13 Mahisa Kingkin……….

44

2.14 Risang Panjer Lawang………

46

2.15 Singa Parepen………

48

(16)

xv

 

BAB III BENTUK-BENTUK KEPAHLAWANAN PRAJURIT BHAYANGKARA

SAAT MEMADAMKAN PEMBERONTAKAN RA KUTI

DALAM NOVEL

GAJAHMADA

KARYA LANGIT KRESNA HARIADI…

54

3.1 Penyelamatan Jayanegara………

56

3.1.1 Tindakan Tanggap Darurat oleh Gajahmada……… 56

3.1.2 Bentuk Kepahlawanan Bhayangkara Lembu Pulung, Panjang Sumprit,

Jayabaya, dan Kartika Sinumping Saat Menyelamatkan Sekar Kedaton…

63

3.1.3 Lembang Laut Melacak Keberadaan Pemberontak……….

64

3.1.4 Jalannya Peperangan Antara Temenggung Banyak Sora dengan Temenggung

Pujut Luntar...

66

3.1.5 Gajahmada dan Bhayangkara Mengungsikan Jayanegara………. 70

3.2 Pelarian Jayanegara……….

72

3.2.1 Siasat Gajahmada Mengecoh Pasukan Pengejar………..

72

3.2.2 Gajahmada Menyelamatkan Jayanegara Keluar dari Kotaraja………. 75

3.2.3 Gagak Bongol Memimpin Para Bhayangkara Kembali ke Kotaraja……… 77

3.2.4 Lembang Laut dan Gagak Bongol Menyelamatkan Mapatih Arya Tadah dari

Penjara………. 80

3.2.5 Bhayangkara Menunjukkan Rasa Kemanusiaan………..

82

(17)

xvi

 

3.2.7 Bhayangkara dengan Berani Menyerang Pasukan Pemberontakan di Ladang

Jagung Kabuyutan Mojoagung………

90

3.2.8 Siasat Gajahmada Mengecoh Mata-mata Ra Kuti………..

93

3.3 Serangan Balik Prajurit Bhayangkara……….

93

3.3.1 Kartika Sinumping Persiapkan Serangan Balik………..

94

3.3.2 Pradhabasu dan Gajahmada Membongkar Penyamaran Mata-mata Ra Kuti 95

3.3.3 Kartika Sinumping Bergerilya………. 101

3.3.4 Serangan Balik Bhayangkara……….. 105

BAB IV PENUTUP……… 110

4.1 Kesimpulan……… 110

4.2 Saran……….. 115

DAFTAR PUSTAKA……….. 116

(18)

xvii

 

DAFTAR TABEL

TABEL KESIMPULAN TOKOH DAN PENOKOHAN PRAJURIT

50

BHAYANGKARA

TABEL KESIMPULAN BENTUK-BENTUK KEPAHLAWANAN

108

PRAJURIT BHAYANGKARA SAAT MEMADAMKAN

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra pada dasarnya adalah hasil cipta karya manusia yang memaparkan

tentang hidup dan kehidupannya (Damono, 1987 : 1). Dalam usaha memaparkan

dan menggambarkan kehidupan manusia, seringkali karya sastra menggunakan

simbol-simbol atau penggambaran akan sesuatu sehingga pesan yang ingin

disampaikan menjadi kabur.

Manusia dalam lingkup ini disebut pengarang. Lahirnya karya sastra adalah

buah dari pengarang. Pengarang sebagai anggota masyarakat menggambarkan

karya sastranya sedemikian rupa serupa dengan masyarakat. Dengan kata lain,

masyarakat mempengaruhi karya sastra.

Di dalam masyarakat, seringkali terjadi kejadian-kejadian yang menjadi

lahan inspirasi bagi penulis. Kejadian-kejadian tersebut terjadi dalam berbagai

bentuk, misalnya tragedi, perubahan kondisi politik, konflik sosial masyarakat

hingga konflik negara seperti makar atau pemberontakan.

Salah satu karya sastra yang menggambarkan konflik negara adalah novel

Gajahmada karya Langit Kresna Hariadi selanjutnya disebut LKH. Novel ini

bercerita tentang kerajaan Majapahit yang merupakan kerajaan terbesar di

Nusantara. Dalam perjalanan sejarahnya, kerajaan Majapahit mengalami berbagai

(20)

berdarah adalah pemberontakan para Dharmaputra Winehsuka yang dipimpin Ra

Kuti.

Pemberontakan Ra Kuti didasari rasa tidak puas terhadap Lembu Anabrang

yang mendapat penghargaan lebih tinggi dari Jayanegara. Penghargaan tersebut

didapat setelah Ra Kuti dan Lembu Anabrang bahu-membahu menumpas

pemberontakan Sorandaka. Ra Kuti yang merasa lebih berjasa merasa kecewa

hingga akhirnya ia memutuskan mengangkat senjata untuk menggulingkan

Jayanegara.

Dalam usaha pemberontakannya, Ra Kuti dan para Dharmaputra Winehsuka

merangkul Temenggung Pujut Luntar, pimpinan pasukan Jala Rananggana karena

tidak mempunyai pasukan. Temenggung Pujut Luntar adalah seorang temenggung

yang tamak dan sombong sehingga Ra Kuti tanpa kesulitan membujuk

Temenggung Pujut Luntar untuk memberontak. Sikap tersebut diperjelas dengan

perkataan Gajahmada sebagai berikut.

(1)“Kini aku mendapat gambaran. Para Dharmaputra Winehsuka yang mendalangi rencana pemberontakan itu. Para Rakrian Winehsuka mengajak Temenggung Pujut Luntar. Dengan janji-janji tertentu, mungkin jabatan yang tinggi, Rakrian Temenggung Pujut Luntar bersedia bergabung….” (Gajahmada, 2004 : 42).

Upaya pemberontakan akan dilaksanakan pada saat pagi hari menjelang

atau waktu subuh, saat sebagain besar orang sedang lelap tertidur. Rencana

tersebut sungguh rencana yang cerdik dengan kemungkinan berhasil cukup tinggi,

(21)

beberapa orang yang mampu membaca tanda-tanda alam, yang dengan

kemampuannya tersebut dapat memperkirakan hal buruk yang akan terjadi.

Orang-orang tersebut antara lain Ki Dipo Rumi dan Wongso Banar. Kedua

orang tua tersebut adalah kawula Majapahit yang telah melewati berbagai

kejadian sepanjang usianya, sehingga pengalamannya menjadikan mereka peka

akan tanda-tanda alam. Perhatikan kutipan berikut.

(2)Ki Dipo Rumi dan Wongso Banar rupanya memiliki perbendaharaan pengetahuan yang langka yang tidak dimiliki orang pada umumnya. Bahwa kemunculan bintang kemukus merupakan isyarat yang tidak baik, hal itu sudah diketahui orang banyak. Namun, bahwa munculnya kabut dengan angin deras tak berhujan, hanya orang tertentu yang menandai kejadian aneh seperti itu. Apalagi sehari sebelumnya ketika langit terlihat bersih, tampak bintang kemukus dengan ekornya yang memanjang gemerlapan.” (Gajahmada, 2004 : 9).

Bahkan gejala alam yang dibaca kedua orang tua tersebut sebagai pertanda

buruk diperjelas oleh kata-kata Ki Wongso Banar.

(3)“Apa yang terjadi ini seperti pengualangan atas apa yang pernah terjadi pada masa silam. Sehari menjelang perang besar yang terjadi antara tumapel di bawah kendali Ken Arok melawan Kediri di bawah Kertajaya, terjadi keganjilan seperti ini. Kabut tebal dan badai melintas di malam saat langit sedang berhias kemukus, seolah menjadi pertanda khusus akan adanya perang yang meminta banyak korban.” (Gajahmada, 2004 : 9)

Selain Ki Dipo Rumi dan Ki Wongso Banar, ternyata ada lagi seorang tua

yang merasakan keganjilan. Mapatih Arya Tadah orangnya. Setelah mengamati

tanda-tanda alam, sampailah Mapatih Tadah pada kesimpulan.

(22)

kehidupan serta mumpuni dalam membaca tanda-tanda alam, tidak bisa menutupi rasa cemasnya. Arya Tadah menjadi tambah gelisah oleh kenangan terhadap tanda-tanda yang muncul di saat terjadi peristiwa-peristiwa besar. Malam menjelang kematian Ken Dedes misalnya, badai dan kabut tebal bahkan menyapu seluruh negeri. Ribuan bahkan jutaan ekor kunang-kunang beterbangan menjadikan suasana bertambah keruh, membingungkan, dan mengundang cemas siapa pun. Esok harinya, semua orang menemukan jawabannya ketika prajurit berkuda membacakan wara-wara di pasar-pasar dan di tempat-tempat ramai…” (Gajahmada, 2004 : 13)

Berkat ketajaman kewaspadaan Mapatih Arya Tadah, pihak kerajaan dapat

mempersiapkan pengamanan untuk raja dan para kerabat keraton. Kegelisahan

Mapatih Arya Tadah dibagikan kepada Gajahmada, seorang bekel prajurit yang

meskipun masih muda telah dipercaya memimpin sebuah pasukan. Pasukan yang

kecil, terdiri dari tidak lebih dari 20 prajurit, tetapi mempunyai kelebihan dalam

bidang olah kanuragan, olah pikir dan dedikasi dibanding prajurit-prajurit lain di

Majapahit. Pasukan tersebut disebut Bhayangkara.

(4)Pasukan Bhayangkara adalah pasukan pengawal istana, lapis terakhir yang menjadi tameng hidup bagi raja serta segenap keluarganya. Itu sebabnya, prajurit Bhayangkara disaring dari prajurit pilihan dan digembleng secara khusus. Secara pribadi masing-masing anggota pasukan khusus memiliki kemampuan yang mendebarkan karena daya tahannya dalam menghadapi keadaan sesulit apa pun yang amat tinggi. Apalagi, perannya sebagai pasukan sandi, tidak ada beteng serapat apa pun yang tidak bisa ditembusnya. Patih Tadah yang memiliki gagasan untuk membentuk pasukan itu telah mensyaratkan kemampuan beladiri yang tinggi bagi mereka yang ingin menjadi bagian dari pasukan itu. Itu sebabnya, setiap anggota pasukan khusus berlatar belakang kemampuan olah kanuragan beragam. (Gajahmada, 2004 : 15).

Dari kutipan (4), dapat dibayangkan kemampuan para prajurit

Bhayangkara yang kelak dengan sigap, menyelamatkan raja dan pada akhirnya

(23)

penggulingan Ra Kuti merupakan tindakan luar biasa yang dikategorikan sebagai

tindakan kepahlawanan.

Sepak terjang prajurit Bhayangkara saat memadamkan pemberontakan Ra

Kuti tertuang dalam novel Gajahmada karya Langit Kresna Hariadi

membangkitkan ketertarikan peneliti untuk meneliti. Ketertarikan tersebut timbul

karena dalam literatur yang peneliti temukan tidak menceritakan dengan jelas

sepak terjang prajurit Bhayangkara sewaktu pemberontakan Ra Kuti pecah. Ada

beberapa literatur yang peneliti temukan, antara lain novel Gajahmada :

Menangkis Pemberontakan Ra Kuti karya Gamal Komandoko, novel Gajahmada

: Pahlawan Persatuan Nusantara karya Muhammad Yamin dan Sejarah

Raja-raja Jawa karya Purwadi. Beberapa literatur tersebut tidak menceritakan sepak

terjang prajurit Bhayangkara secara jelas, namun fokus kepada tokoh Gajahmada.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan mengandung dua

pengertian pokok. Pokok pertama, yaitu orang yang menonjol karena keberanian

dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Pokok kedua adalah pejuang

yang gagah berani. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepahlawanan adalah

perihal sifat kepahlawanan seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban,

dan kesatria (2005 : 811). Arti kata kepahlawanan itulah yang menjadi dasar

ketertarikan peneliti untuk mengkaji lebih mendalam.

Bentuk kepahlawanan tercermin lewat tokoh dan penokohan. Unsur

intrinsik tokoh dan penokohan para prajurit Bhayangkara merupakan gambaran

(24)

Bentuk kepahlawanan yang ditunjukkan oleh para prajurit Bhayangkara

lahir karena keadaan sosial yang mereka hadapi saat pemberontakan Ra Kuti

pecah. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, peneliti akan menggunakan kajian

sosiologi sastra. Selain itu, karya sastra yang demikian juga menunjukkan

hubungan yang erat dengan masyarakat sehingga sangat tepat jika menggunakan

kajian tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

1.2.1 Bagaimanakah deskripsi tokoh dan penokohan para prajurit Bhayangkara

yang berjasa memadamkan pemberontakan Ra Kuti dalam novel

Gajahmada karya Langit Kresna Hariadi?

1.2.2 Bagaimanakah deskripsi bentuk kepahlawanan prajurit Bhayangkara yang

berjasa memadamkan pemberontakan Ra Kuti dalam novel Gajahmada

karya Langit Kresna Hariadi?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut :

1.3.1 Mendeskripsikan tokoh dan penokohan para prajurit Bhayangkara yang

berjasa memadamkan pemberontakan Ra Kuti dalam novel Gajahmada karya

Langit Kresna Hariadi.

1.3.2 Mendeskripsikan bentuk kepahlawanan prajurit Bhayangkara yang berjasa

memadamkan pemberontakan Ra Kuti dalam novel Gajahmada karya

(25)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat hasil penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat

praktis dan manfaat teoretis. Manfaat teoretis penelitian ini adalah sebagai contoh

penerapan teori sosiologi sastra dalam menganalisis sebuah novel. Manfaat praktis

yang muncul dari hasil penelitian ini adalah memberikan sumbangan usaha

pengkajian novel yang ditinjau dari sudut pandang sosiologi sastra dan menjadi

inspirasi bagi masyarakat tentang bentuk-bentuk kepahlawanan manusia.

1.5 Tinjauan Pustaka

Bahtiar dalam MegaBlog (2006) membahas novel Gajahmada karya

Langit Kresna Hariadi. Bahasan yang berjudul “Misteri di Balik Pemberontakan

Ra Kuti” lebih banyak bercerita tentang Ra Kuti dan kelemahan

pemberontakannya. Bahtiar juga menambahkan bahwa Gajahmada dan para

Bhayangkara berhasil menumpas pemberontakan Ra Kuti tanpa ada penjelasan

lebih lanjut.

Yulian dalam blognya “Jay adalah Yulian” (2005) membahas novel

Gajahmada karya Langit Kresna Hariadi dengan judul Langit Kresna Hariadi :

Gajahmada. Yulian berpendapat bahwa membaca cerita novel Gajahmada ini

seperti melanjutkan cerita Tutur Tinular karya S.H. Mintarja. Yulian banyak

menyinggung soal kosakata militer dalam novel tersebut tanpa ada penjelasan

tentang para Bhayangkara yang berjasa menumpas pemberontakan Ra Kuti.

Atik Fauziah pernah meneliti novel Gajahmada karya Langit Kresna

(26)

Langit Kresna Hariadi Terhadap Kakawin Gajahmada Gubahan Ida Cokorda

Ngurah. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan sistem penokohan

Gajahmada sebagai pahlawan atau protagonis dalam novel Gajahmada dan

Gajahmada: Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara karya Langit Kresna

Hariadi (2) mengungkapkan bagaimana novel Gajahmada dan Gajahmada:

Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara karya Langit Kresna Hariadi dapat

disebut sebagai novel seri (3) Menjelaskan hubungan intertekstualitas novel

Gajahmada dan Gajahmada: Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara karya

Langit Kresna Hariadi terhadap Kakawin Gajahmada gubahan Ida Cokorda

Ngurah.

1.6 Landasan Teori

Landasan teori adalah kerangka dasar pemikiran yang akan dipakai untuk

memecahkan permasalahan yang akan diteliti. Adapaun teori yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu struktural dan sosiologi sastra. Teori struktural untuk

mengkaji tokoh dan penokohan, sedangkan teori sosiologi sastra untuk mengkaji

bentuk-bentuk kepahlawanan yang ditunjukkan para prajurit Bhayangkara dalam

usaha memadamkan pemberontakan Ra Kuti. Bentuk-bentuk kepahlawanan

tersebut tampak dalam kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu, pemakaian

teori Sosiologi Sastra sangat tepat.

1.6.1 Teori Struktural

Teori struktural merupakan sebuah pendekatan yang mengkaji unsur-unsur

(27)

karya sastra juga memiliki keotonomiannya, sehingga tidak perlu dikaitkan

dengan hal-hal di luar karya sastra itu. Berdasarkan keotonomiannya itu, maka ada

sebuah hubungan timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi antar

unsur (intrinsik) sehingga membentuk suatu kesatuan yang utuh. Unsur intrinsik

tersebut meliputi tema, alur, latar, tokoh dan penokohan, dan gaya.

Analisis struktural dapat berupa kajian yang menyangkut relasi

unsur-unsur dalam mikroteks, satu keseluruhan wacana, dan relasi intertekstual (Hartoko

& Rahmanto, 1986:136). Analisis unsur-unsur mikroteks itu misalnya berupa

analisis kata-kata dalam kalimat, atau kalimat-kalimat dalam alinea atau konteks

wacana yang lebih besar. Namun, ia dapat juga berupa analisis mikroteks tokoh

dan penokohan saja dalam analisis struktural sebuah karya sastra (Nurgiyantoro,

1994:38).

Mikroteks yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mikroteks tokoh

penokohan. Penelitian ini hanya membahas mikroteks tokoh dan penokohan

karena bentuk-bentuk kepahlawanan prajurit Bhayangkara dipengaruhi oleh unsur

tokoh dan penokohan masing-masih prajurit.

1.6.2 Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi (Wiyatmi,

2006 : 30). Menurut keterlibatannya dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi tokoh

utama dan tokoh tambahan. Wiyatmi menyebutkan tokoh utama jika memiliki 3

kriteria, yaitu paling terlibat dengan makna atau tema, paling banyak berhubungan

(28)

tambahan adalah tokoh yang sedikit muncul dan kurang penting dalam

perkembangan alur cerita (Nurgiyantoro, 2002 : 176,177).

Penokohan menunjukkan pada bentuk dan sikap tokoh yang ditafsirkan

oleh pembaca (Nurgiyantoro, 2002 : 165). Penokohan bisa berarti watak dan

karakter dari seorang tokoh. Nurgiyantoro menambahkan, penokohan adalah

pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah

cerita ( Nurgiyantoro, 2002 : 165).

1.6.3 Teori Sosiologi Sastra

Soemanto dalam Taum (1997 : 48) mengungkapkan bahwa sastra juga

dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringa sistem dan nilai dalam

masyarakatnya, maka ada hubungan saling terkait antara sastra dengan

masyarakat atau yang disebut Sosiologi Sastra.

Menurut Semi, Sosiologi Sastra merupakan suatu telaah sosial serta

tentang proses sosialnya (1989 : 52). Karya sastra berangkat dari kenyataan

sosiologis masyarakat. Kenyataan yang ada bukan merupakan kenyataan yang

objektif tetapi kenyataan yang telah ditafsirkan, kenyataan sebagai konstruksi

sosial (Ratna : 2003)

Menurut Damono, untuk mengkaji karya sastra berdasarkan Sosiologi

Sastra, perlu menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh ciptaan pengarang itu

dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya (1978 : 9). George Lukacs

menggunakan istilah “cermin” dalam keseluruhan karyanya. Novel tidak hanya

(29)

lengkap. Dapat diartikan juga bahwa karya sastra dianggap sebagai proses yang

hidup (Taum, 1997 : 50,51).

1.6.4 Pahlawan dan Kepahlawanan

Dalam bahasa Indonesia, kata pahlawan berasal dari bahasa Sansekerta,

phala yang artinya buah. Pahlawan berarti orang yang sangat gagah berani

pejuang yang gagah berani atau terkemuka. Pahlawan ialah tokoh sejarah yang

karena banyak hal yang telah dilakukan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan

manusia dan karena memiliki bentuk yang menonjol, meskipun sudah meninggal

masih tetap diingat dan dimuliakan (Poerbatjaraka, 1976 : 695).

Pengertian pahlawan berkembang dari masa ke masa. Menurut Kooiman

(1931 : 3) arti pahlawan berkembang menjadi beberapa pengertian, antara lain.

Pertama, pahlawan adalah pendiri suatu agama atau suatu negara. Kedua, orang

yang sangat sempurna, karena memiliki bentuk luhur seperti berani, kuat,

pemurah, penuh keterampilan dan setia. Ketiga, pemimpin perang yang gugur

dalam peperangan. Keempat, tokoh utama dalam karya sastra.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan mengandung dua

pengertian pokok. Pokok pertama, yaitu orang yang menonjol karena keberanian

dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Pokok kedua adalah pejuang

yang gagah berani. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepahlawanan adalah

perihal sifat kepahlawanan seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban,

dan kesatria (2005 : 811).

Dalam menganalisis bentuk-bentuk kepahlawanan prajurit Bhayangkara,

(30)

Kumbakarna sebagai tolok ukur penentuan bentuk kepahlawanan. Menurut Sri

Mangkunegaran IV dalam Kamajaya (1984 : 55), cerminan dari watak seorang

Kumbakarna yaitu pertama, jujur dan adil. Kedua, menjunjung tinggi negara.

Ketiga, cinta tanah air.

Watak pertama yang diungkapkan oleh Sri Mangkunegaran adalah jujur

dan adil. Watak ini berkaitan dengan tindakan untuk melawan perbuatan jahat

yang melanggar hak dan kebahagiaan orang lain. Watak kedua adalah menjunjung

tinggi negara, berkaitan dengan tindakan untuk melawan segala bentuk tekanan

dan penjajahan terhadap tanah air. Watak ketiga adalah cinta tanah air, berkaitan

dengan keyakinan untuk berkorban jiwa dan raga demi keutuhan negara.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu pengumpulan data, analisis

data, dan penyajian hasil analisis data. Pelaksanan pada setiap tahap menggunakan

teknik dan metode tertentu.

1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini akan menganalisis bentuk-bentuk kepahlawanan para prajurit

Bhayangkara dalam novel Gajahmada karya LKH. Penelitian ini berbentuk

penelitian pustaka karena berobjek pada sebuah teks sastra, yaitu novel.

Pengumpulan data akan dilakukan dengan metode simak dan teknik catat.

Metode simak adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data

dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1988:2) Data bersumber dari

(31)

pencatatan pada kartu data yang segera dilakukan dengan klasifikasi (Sudaryanto,

1988:5). Hal yang dicatat adalah data-data yang diperoleh setelah dilakukan

metode simak. Pencatatan dilakukan di atas media kertas dengan ukuran dan

kualitas apapun, asalkan sesuai dengan satuan lingual yang menjadi objek

sasarannya. Sesuai dalam arti mampu memuat, memudahkan pembacaan dan

menjamin keawetan (Sudaryanto, 1988:6).

Berikut data novel secara rinci :

a. Judul Buku : Gajahmada

b. Pengarang : Langit kresna Hariadi

c. Penerbit : Tiga Serangkai

d. Tahun Terbit : Cetakan Pertama 2004

e. Tebal Buku : 582 halaman

1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data

Data-data dalam penelitian ini akan dianalisis menggunakan metode

analisis isi. Analisis isi berhubungan dengan isi komunikasi, baik secara verbal,

dalam bentuk bahasa, maupun nonverbal, seperti arsitektur, pakaian, alat rumah

tangga, dan media elekronik. Dalam karya sastra, isi yang dimaksud adalah

pesan-pesan, yang dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra (Ratna, 2004:48).

Isi dalam metode analisi isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi

komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah,

sedangkan isi komunikasi adalah pesan yang terkandung sebagai akibat

komunikasi yang terjadi (Ratna, 2004:48). Pada penellitian ini, isi yang akan

(32)

1.7.3 Metode dan Teknik Penyajian Data

Metode yang digunakan dalam penyajian penelitian ini adalah metode

deskriptif analisis. Artinya penelitian ini dilakukan dengan cara memaparkan

fakta-fakta yang dilanjutkan dengan analisis. Metode ini hanya menguraikan

informasi apa adanya sesuai variable-variabel yang diteliti, namun memberi

penjelasan dan pemahaman (Ratna, 2004:53).

1.8 Sistematika Penyajian

Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Pada bab pertama adalah

pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,

landasan teori, manfaat penelitian, dan metode yang digunakan dalam penelitian

ini. Bab dua menjelaskan tokoh dan penokohan para prajurit Bhayangkara. Bab

tiga berisi pembahasan bentuk-bentuk kepahlawanan prajurit Bhayangkara. Bab

empat penutup berisi kesimpulan dan saran. Daftar pustaka adalah bagian paling

(33)

BAB II

TOKOH DAN PENOKOHAN PRAJURIT BHAYANGKARA

YANG BERJASA MEMADAMKAN PEMBERONTAKAN RA KUTI

Pada saat pemberontakan Ra Kuti pecah, Gajahmada sebagai kepala

satuan pengamanan raja yang disebut Bhayangkara pontang-panting melakukan

tindakan kepahlawanan dengan menyelamatkan Raja. Ketika itu, Gajahmada

hanya disertai 15 orang Bhayangkara karena para Bhayangkara yang lain sedang

melaksanakan tugas negara yaitu mengawal perjalanan Cakradara, Kudamerta,

dan Lembu Anabrang di Bali.

Meskipun hanya disertai 15 prajurit Bhayangkara, Gajahmada mampu

meloloskan Jayanegara – raja Majapahit saat itu - dari sergapan pemberontak Ra

Kuti. Setelah meloloskan Raja dan mengungsikan Raja ke tempat yang aman,

Gajahmada dan para Bhayangkara bahkan mampu menggulingkan Ra Kuti dan

mengembalikan Jayanegara ke singgasananya.

Para Bhayangkara yang menyertai Gajahmada antara lain Lembu Pulung,

Panjang Sumprit, Jayabaya, Risang Panjer Lawang, Mahisa Kingkin, Pradhabasu,

Lembang Laut, Riung Samudra, Panji Saprang, Mahisa Geneng, Gajah Pradamba,

Singa Parepen, Macan Liwung, dan Gagak Bongol.

Segala tindakan yang dilakukan oleh Gajahmada dan para Bhayangkara

merupakan tindakan yang luar biasa bahkan dianggap mustahil. Pada saat itu,

Gajahmada yang berhasil menyelamatkan Jayanegara dan mengungsikannya ke

(34)

menjadi bawahannya pun ikut menjadi boronan. Kenyataan tersebut membuat

ruang gerak Gajahmada dan para Bhayangkara menjadi sempit.

Meski dikejar dan diburu, tetap saja Gajahmada mampu mengelabuhi

pasukan pengejar dan akhirnya mengalahkan Ra Kuti. Kepahlawanan Gajahmada

bukan hanya didasari pada olah kanuragan yang mumpuni, tetapi juga karena

kecerdasan Gajahmada dan para Bhayangkara. Satu hal yang membuat pelarian

Gajahmada semakin sulit adalah adanya mata-mata Ra Kuti dalam tubuh

Bhayangkara, yang apabila tidak segera ditemukan akan semakin menyulitkan

langkah Gajahmada menyelamatkan Jayanegara.

Telah disebutkan sebelumnya, langkah-langkah yang diambil Gajahmada

dan para Bhayangkara adalah langkah-langkah luar biasa yang dapat

dikategorikan sebagai tindakan kepahlawanan. Bahkan tindakan tersebut telah

mendarah daging hingga dapat disebut sebagai bentuk kepahlawanan.

Oleh karena itu, pada bab ini akan dibahas tokoh dan penokohan para

Bhayangkara. Unsur-unsur lain seperti latar dan unsur alur tidak akan dibahas. Hal

ini berkaitan dengan bentuk-bentuk kepahlawanan para Bhayangkara yang

tergambar lewat pencitraan dan penokohan.

Pembahasan tokoh dan penokohan tiap prajurit Bhayangkara bertujuan

memberikan gambaran kemampuan dan sifat yang dimiliki tiap Bhayangakara.

Kemampuan dan sifat tersebut menjadi dasar lahirnya bentuk-bentuk

kepahlawanan yang ditunjukkan Bhayangakara. Secara singkat, bentuk-bentuk

(35)

Kuti pastilah ditopang kemampuan luar biasa prajurit Bhayangkara, baik secara

fisik maupun mental.

Bentuk-bentuk kepahlawanan prajurit Bhayangkara tentu saja ditopang

oleh kepribadian tiap tokoh. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui dasar-dasar

bentuk kepahlawanan dengan mendalami penokohan tiap tokoh. Dimulai dari

Gajahmada sebagai pemimpin prajurit Bhayangkara.

2.1 Gajahmada

Gajahmada adalah pemimpin prajurit khusus yang dinamakan

Bhayangkara. Ia mempunyai fisik yang kuat dan kekar. Fisik tersebut ditunjang

oleh kecerdasan yang di atas rata-rata prajurit kerajaan Majapahit pada masa itu.

Karir kemiliteran Gajahmada dimulai dari bekel, sebuah pangkat prajurit rendahan

yang memimpin sekelompok pasukan saja.

(6) Bekel Gajahmada adalah seorang pemuda yang bertubuh kekar. Badan dan pikirannya amat sehat, seorang prajurit muda yang memiliki kelebihan khusus dibanding prajurit yang lain, bukan saja kemampuan beladiri yang dikuasainya, tetapi juga kecerdasan yang bisa dipergunakan untuk menghadapi keadaan rumit sekaligus memecahkannya. Itulah sebabnya meski Gajahmada belum terlampau lama menduduki pangkat bekel, telah mendapatkan kepercayaan untuk memimpin pasukan khusus. Pasukan yang kecil saja, tetapi memiliki kemampuan yang luar biasa. Pasukan itu diberi nama Bhayangkara (Gajahmada, 2004 : 15)

Berdasarkan olah kanuragan dan kecerdasannya, Gajahmada mendapat

kepercayaan dari Mapatih Arya Tadah. Kepercayaan tersebut terwujud dalam

bentuk lencana Mahapatih.

(36)

memiliki kekuasaan besar dan luas. Mapatih Arya Tadah menyerahkan lencana itu kepada Gajahmada. Kepada orang-orang kepercayaannya, terutama yang berada di bagaian sandi, Arya Tadah selalu membekali dengn lencana yang menjadi ciri khasnya, tetapi bukan lencana utama itu (Gajahmada, 2004 : 27)

Lencana tersebut bermakna Gajahmada menjadi wakil Mapatih Arya

Tadah secara langsung karena lencana tersebut mempunyai kekuasaan yang besar

dan luas.

(8) Dengan sigap Bekel Gajahmada mengenakan lencana yang diterimanya itu di dada sebelah kiri. Gajahmada sadar, dengan lencana itu ditangannya, ia bisa bertindak atau mengambil langkah tertentu demi menjamin keamanan istana serta keutuhan Majapahit. Bahkan, para temenggung harus menghormati langkah-langkah yang diambilnya seolah langkah-langkah itu keputusan Mahapatih Arya Tadah sendiri (Gajahmada, 2004 : 27).

Kecerdasan Gajahmada juga menjadi senjata yang ampuh. Ketajaman

penalaran suatu masalah sangat tinggi. Bahkan seluk beluk istana Majapahit bisa

Gajahmada ingat. Berbekal kecerdasannya, Gajahmada mampu menyusun strategi

yang tepat. Simak kutipan dibawah ini.

(9) Bagi Bekel Gajahmada, dinding menjulang yang mengelilingi istana seolah telah menjadi bagian dari dirinya. Sudut-sudut istana yang menghadap ke barat, kolam memanjang dan dalam yang mengelilingi bagian dalam dinding istana, serta sudut-sudut bangunan mulai dari segala yang ada di Tatag Rambat atau yang lazim disebut sebagai Bale Agung Manguntur serta Balai Witana tepat di tengahnya yang digunakan raja untuk menerima mereka yang sewaka, tidak ada yang lepas dari perhatiannya. Dengan ketajaman nalarnya Bekel Gajahmada selalu berpikir, seandainya terjadi ontran-ontran bagian manakah dari sudut-sudut istana itu yang menjadi titik lemah dan bisa dimanfaatkan musuh ( Gajahmada, 2004 : 51)

Bekal pengetahuan tentang seluk beluk istana mungkin hal yang wajar

(37)

mengambil keputusan tidak semua orang memilikinya. Gajahmada yang pintar

mampu berpikir cepat dan mengambil tindakan yang dapat dikatakan lancang.

Tindakan tersebut akhirnya dapat dimaklumi mengingat pada saat itu tengah

terjadi makar oleh Ra Kuti.

(10) Gajahmada menyapu tempat itu dengan pandangan matanya. Ada sesuatu yang harus dihitung dan dipertimbangkan menghadapi keadaan seperti itu. Gajahmada menatap Gagak Bongol dengan lekat. “Lepas bajumu!” perintah Gajahmada.

Gagak Bongol kaget. Perintah itu amat aneh.

“Tuanku, silakan Tuanku melepas pakaian!” lanjut Gajahmada. Bukan hanya Gagak Bongol yang kaget, tetapi juga Sri Jayanegara tidak kalah kaget.

Gagak Bongol manggut-manggut karena telah menebak apa yang dikehendaki Gajahmada. Namun, justru Sri Jayanegara yang sulit menerima perintah itu.

“Apa maksudmu Gajahmada?” Jayanegera mencuatkan alis.

“Hamba Tuanku,” jawab Gajahmada. “Tuanku harus melakukan penyamaran. Jika Tuanku mengenakan pakaian seperti itu, siapapun akan dengan mudah mengenali Tuanku. Silakan Tuanku memakai pakaian milik Gagak Bongol.”

Jayanegara hanya bisa menghela napas. Namun, sejenak kemudian Jayanegara terpaksa tersenyum (Gajahmada, 2004 : 205)

Dari kutipan tersebut, tampak Gajahmada yang mampu berpikir cepat dan

menemukan gagasan untuk menyelamatkan Jayanegara. Tindakan Gajahmada

tersebut juga dapat dikategorikan sebagai tindakan yang lancang karena menyuruh

Jayanegara yang seorang raja untuk melepaskan pakaianannya. Jika dalam

kehidupan sehari-hari, tindakan ini akan berbuah hukuman untuk Gajahmada.

Jayanegara sendiri akhirnya maklum dengan gagasan Gajahmada mengingat

keadaan yang menuntut Gajahmada bertindak seperti itu. Tindakan ini

menunjukkan keberanian Gajahmada mengemukanan pendapatnya.

Kemampuan Gajahmada berpikir cepat dan berani mengambil keputusan

(38)

terdapat mata-mata dalam tubuh Bhayangkara. Gajahmada bertindak cekatan

dengan membuat tipu muslihat untuk memastikan nyawa Jayanegara tidak

terancam.

(11) “Pasukan kita disusupi komplotan pengkhianat. Panji Saprang yang ternyata seorang pengkhianat itu telah berhasil kita habisi. Akan tetapi, aku merasa yakin ada temannya yang lain yang sampai saat ini belum bisa kita ketahui siapa. Oleh karena itu, berhati-hatilah serta cermati semua Bhayangkara yang utamanya berbuat aneh-aneh dan di luar kewajaran. Di samping itu, besok kau tidak akan pernah menemukanku di Krian.”

Gagak Bongol bingung. Pandangan Gagak Bongol tidak bergeser sejengkal pun dari wajah Gajahmada.

“Hanya kau yang tahu bahwa aku tak akan menuju Krian. Aku sebut tempat itu hanya untuk membuktikan memang ada pengkhianat yang kita curigai ada di antara kita. Jika Ra Kuti menyerbu Krian, berarti pengkhianat busuk itu benar-benar ada. Kita harus berhasil menemukan orangnya.” (Gajahmada, 2004 : 207).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan Gajahmada sebagai

prajurit yang pintar dan berani. Pintar dalam menyusun sebuah rencana pelarian

dan sekaligus membuktikan keberadaan pengkhianat di tubuh Bhayangkara.

Gajahmada juga seorang pemberani karena rencana yang Gajahmada lakukan

harus menipu teman sendiri. Resikonya Gajahmada harus melindungi Jayanegara

seorang diri.

Kecerdasan dan keberanian Gajahmada tidak terbatas kepada pengambilan

keputusan. Kecerdasan Gajahmada tampak dalam kutipan sebagai berikut.

(12) “Ampun Tuanku,” jawab Gajahmada, “sebenarnyalah hamba telah menyiapkan sebuah cara untuk bisa keluar dari balik dinding itu. untuk itu, silakan Tuanku mencoba menahan napas. Hamba harus mengetahui seberapa lama Tuanku bisa menahan napas.”

(39)

“Bagaimana?” bertanya Jayanegara.

“Bagus,” jawab Gajahmada, “sekarang, mari kita membenamkan diri ke sungai itu. Kita merayap agar tidak kelihatan.”

Jayanegara terbelalak, “Gila!” (Gajahmada, 2004 : 217).

Tindakan yang diambil Gajahmada adalah salah satu usaha penyelamatan

Jayanegara. Tindakan tersebut terpaksa diambil karena pintu gerbang tempat jalur

pelarian Gajahmada dan Jayanegara dijaga ketat oleh prajurit pemberontak.

Gajahmada berpendapat terlalu beresiko memaksa lewat dengan kekerasan,

mengingat keselamatan Jayanegara adalah prioritas.

Pada saat menyelamatkan Jayanegara, terbukti bukan olah kanuragan saja

yang menjadi modal utama Gajahmada. Justru “senjata” yang paling ampuh

adalah bekal kecerdasan yang dimiliki oleh Gajahmada. Bahkan para

Dharmaputra Winehsuka sebagai otak pemberontakan mengakuinya.

(13) Ra Yuyu yang semula berwajah datar, tak bisa menyembunyikan senyumnya. Ra Yuyu ikut memburu Jayanegera di Kabuyutan Mojoagung tidak akan bisa melupakan, bagaimana mereka telah dipermainkan oleh Bekel Gajahmada. Pasukan berkuda berkekuatan besar telah dibuat tumpul seperti ayam jago kehilangan tajinya (Gajahmada, 2004 : 459)

Kutipan tersebut membuktikan betapa kecerdasan Gajahmada mampu

mempermainkan pasukan berkuda yang berkekuatan besar. Kecerdasan

Gajahmada pula yang mampu meloloskan Jayanegara saat terjepit di Kabuyutan

Mojoagung. Bahkan kecerdasan Gajahmada mampu melahirkan

kecurigaan-kecurigaan diantara para Dharmaputra Winehsuka. Kecurigaan tersebut tumbuh

karena kegagalan beruntun para pemberontak untuk menangkap Jayanegara dan

(40)

(14) “Kita selalu gagal bukan hanya karena kecerdikan Gajahmada itu, tetapi juga karena apa pun sepak terjang kita diawasi oleh telik sandi musuh. Ada telik sandi musuh disekeliling kita, bahkan mungkin berada dalam jarak yang sangat dekat denganku.”

Ra Tanca mendadak mencuatkan alisnya. Pangsa dan Wedeng saling pandang. Apa yang diucapkan Ra Kuti itu sangat mengusik hati mereka (Gajahmada, 2004 : 459).

Pada kenyataannya, Gajahmada dan para Bhayangkara merupakan sebuah

kesatuan yang mahir dalam hal memata-matai. Para Bhayangkara secara pribadi

merupakan mata-mata yang hebat. Modal utama seorang mata-mata adalah

kecerdasan dan kecepatan dalam berpikir. Jadi tidak benar bila Gajahmada

memata-matai para Dharmaputra Winehsuka.

(15) Apabila berbicara berbagai hal yang berhubungan dengan telik sandi maka pasukan Bhayangkara memiliki kesatuan kecil Sandiyudha, yang memang digembleng secara khusus bagaimana menjadi mata-mata yang andal. Bagi Ra Tanca, terasa aneh jika Ra Kuti mempersoalkan mata-mata di lingkungannya (Gajahmada, 2004 : 460).

Dalam usaha menyelamatkan Jayanegara, kecerdasan menjadi senjata

utama. Selain dalam bentuk tindakan, kecerdasan Gajahmada ditunjukkan dalam

bentuk sandi atau perintah khusus. Gajahmada membuat sebuah sandi untuk para

Bhayangkara supaya mata-mata Ra Kuti tidak mampu mengejar.

(16) Kartika Sinumping, Panjang Sumprit, dan Lembu Pulung memerhatikan dari atas kuda masing-masing, mereka menjauh ketika Gajahmada memberi isyarat dengan tangannya untuk menjauh. Ketiga Bhayangkara itu tahu, Bekel Gajahmada akan memberikan perintah sandi atau perintah khusus.

(41)

Sandi yang diberikan Gajahmada kepada Bhayangkara Jayabaya

merupakan sandi rahasia yang harus Jayabaya pecahkan agar dapat menyusul

Gajahmada ke tempat Jayanegara diungsikan.

Selain berbadan kekar dengan otot melingkar dan otak yang cemerlang,

Gajahmada bukanlah seorang yang pengecut. Sebagai seorang prajurit, bahkan

pimpinan Bhayangkara, Gajahmada akan berjuang sampai batasnya. Dalam

keadaan yang terjepit pun Gajahmada tidak meninggalkan prajurit lain yang

sedang berjuang mempertaruhkan nyawa. Hal ini menandakan bahwa Gajahmada

adalah seorang yang bertanggung jawab. Perhatikan kutipan berikut.

(17) Malang bagi para prajurit yang terjebak di luar karena tidak ada jalan untuk meloloskan diri. Bekel Gajahmada yang termasuk salah seorang dari mereka yang tertinggal segera mengamuk sejadi-jadinya. Seorang demi seorang dari sekitar belasan orang itu berjatuhan. Bekel Gajahmada hanya bisa menahan pedih di dalam dadanya menyaksikan keadaan itu. Namun, Bekel Gajahmada bukanlah jenis perajurit pengecut yang akan tinggal glanggang colong playu melarikan diri dari mereka (Gajahmada, 2004 : 156)

Kutipan di atas menggambarkan seorang Gajahmada yang tetap setia

kawan bahu-membahu dengan para prajurit yang tengah terjepit oleh pasukan

pemberontak. Bentuk tersebut juga mencerminkan bentuk para Bhayangkara

secara keseluruhan. Meski ada Bhayangkara yang menjadi pengkhianat dan

membantu Ra Kuti menangkap Jayanegara.

Salah satu modal utama dalam hal kepemimpinan adalah ketegasan.

Sebagai seorang prajurit, Gajahmada adalah seorang yang sangat tegas, bahkan

kepada orang yang berkedudukan lebih tinggi. Ketegasan Gajahmada dilandasi

oleh kebenaran yang dipegangnya. Ketegasan tersebut tampak dalam kutipan

(42)

(18) Merasa telah menemukan jawabannya, Bekel Gajahmada tersenyum. Diliriknya Gagak Bongol yang telah bersiaga dengan tangan kanannya yang melekat di gagang senjata.

“Jadi, Rakrian tidak akan ikut campur terhadap pertikaian yang besok akan terjadi?” desak Gajahmada.

“Ya!” jawab Panji Watang dengan tegas.

“Sebenarnya siapa menurut Rakrian Panji, mereka yang bertikai itu?” bertanya Bekel Gajahmada.

“Aku bukan anak kecil yang layak diberi pertanyaan seperti itu. semua orang tahu apa jawabannya.”

Bekel Gajahmada makin jengkel.

“Persoalannya bukan siapa yang bertikai, kalaupun dianggap orang yang bertikai itu ada. Tuanku Sri Jayanegara adalah raja yang sah, yang pengangkatannya sebagai Pangeran Pati dilakukan sendiri oleh Tuanku Prabu Rajasa. Mengapa Rakrian tidak mengambil sikap membela Tuanku Jayanegara? Ra Kuti itu siapa?” desak Bekel Gajahmada (Gajahmada, 2004 : 43)

Kutipan di atas adalah penggalan percapakan antara Bekel Gajahmada

dengan Temenggung Panji Watang. Gajahmada merasa Temenggung Panji

Watang adalah seorang Temenggung yang licik. Pemberontakan Ra Kuti

dianggap sebagai permasalahan keluarga istana saja dan bukan tanggung

jawabnya untuk ikut bertempur melawan pemberontak Ra Kuti.

Kelicikan Temenggung Panji Watang terlihat saat ia memainkan

perannnya sendiri. Temenggung Panji Watang mengambil keuntungan saat

pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Temenggung Pujut Luntar dibantu para

Dharmaputra Winehsuka dan pasukan penjaga istana yang dipimpin oleh

Temenggung Banyak Sora telah berperang habis-habisan.

Pasukan Jalayuda yang dipimpin Temenggung Pujut Luntar menyerang

pasukan Jalapati pimpinan Temenggung Banyak Sora. Penyerangan tersebut

(43)

Majapahit. Disamping itu Temenggung Panji Watang mendapat “iming-iming”

menjadi raja dari Ra Kuti jika ia mau membantu pemberontakan.

Meskipun Gajahmada berhadapan dengan seorang Temenggung,

Gajahmada tidak merasa takut atau segan untuk mengemukakan pendapatnya.

Gajahmada merasa pendapatnya adalah kebenaran. Keyakinan tersebut juga

didukung oleh lencana mahapatih yang didapatnya dari Mapatih Tadah.

Keyakinan itu menunjukkan ketegasan yang luar biasa dari sosok Gajahmada.

Dari ketegasan tersebut, lahirlah rasa bela negara dalam diri Gajahmada.

Sebagai bagian dari prajurit Majapahit, sudah selayaknya mencurahkan segalanya

untuk negara yang mengayominya.

(19) Bekel Gajahmada menjadi jengkel. Dalam tatanan keprajuritan antara lain disebutkan bahwa prajurit harus siap siaga setiap saat dan siap menjalankan perintah meski tengah malam sekalipun, apalagi jika negara berada dalam keadaan bahaya. Bekel Gajahmada yang merasa kecewa itu tidak mau bertele-tele. Waktu yang ada amat sempit untuk membual dan diboroskan dengan membicarakan segala macam omong kosong. Bekel Gajahmada segera mengangkat lencana Mahapatih, diacungkan kepada segenap prajurit itu (Gajahmada, 2004 : 33).

Berasal dari kesungguhan hati tersebut, Gajahmada akan mencurahkan

segala kemampuannya untuk menyelamatkan Jayanegara. Usaha tersebut berubah

menjadi bentuk bentuk kepahlawanan yang menjadi dasar para Bhayangkara.

2.2 Gagak Bongol

Gagak Bongol adalah salah satu prajurit Bhayangkara yang dituakan.

Penampilannya gagah berotot. Sebagai salah satu bagaian dari Bhayangkara,

(44)

Dalam novel Gajahmada karya Langit Kresna Hariadi, Gagak Bongol

adalah salah satu Bhayangkara yang dekat dengan Gajahmada. Bhayangkara yang

lain adalah Lembang Laut. Berdua, mereka dapat dikatakan sebagai tangan kanan

Gajahmada dalam mendistribusikan perintah. Kedetakan mereka terlihat dalam

kutipan berikut.

(20) Antara Gajahmada dan Gagak Bongol terjalin hubungan yang dekat. Bersama-sama mereka telah banyak mengenyam kepahitan peperangan. Itulah yang menyebabkan antara Gagak Bongol dan Gajahmada terjalin hubungan persaudaraan yang akrab. Bekel Gajahmada nyaris tidak pernah meninggalkan Gagak Bongol ketika menghadapi masa-masa sulit. Selain Gagak Bongol, Bhayangkara yang sangat dipercayainya adalah Lembang Laut (Gajahmada, 2004 : 29).

Sebagai prajurit Bhayangkara kepercayaan Gajahmada, Gagak Bongol

memiliki kesiagaan dan kewaspadaan yang tinggi. Saat Gajahmada bertemu

Temenggung Banyak Sora, Gagak Bongol menempatkan dirinya sebagai

pelindung Gajahmada.

(21) Bekel Gajahmada kurang senang pada pertanyaan itu. Sebaliknya, Gagak Bongol yang berada tidak jauh darinya berada dalam kesiagaan tertinggi. Tangan kanannya tetap melekat di gagang pedang. Gagak Bongol telah sampai pada suatu kesimpulan jika ternyata Banyak Sora terlibat dalam rencana makar dan kemudian menjebak Bekel Gajahmada, ia akan mengamuk sejadi-jadinya. Serangan dadakan yang dilakukannya diharapkan mampu membenamkan Temenggung Banyak Sora ke pintu gerbang kematian ( Gajahmada, 2004 : 34).

Berdasarkan kutipan tersebut, dapat diamati betapa Gagak Bongol setia

mendampingi Gajahmada. Kecintaannya pada Majapahit tercermin dari

(45)

Gagak Bongol bermasalah dengan tempramennya. Gagak Bongol cenderung

mudah terpancing oleh keadaan. Perhatian kutipan percakapan berikut.

(22) “Apakah kau mempercayai Rakrian Temenggung Banyak Sora?” Bekel Gajahmada memperlambat laju kudanya. Kabut tebal menjadi masalah bagi pandangan matanya, tetapi tidak bagi kuda-kuda yang sudah amat terlatih itu.

“Kau menduga Rakrian Temenggung Banyak Sora hanya berpura-pura kaget?” bertanya Bekel Gajahmada.

“Kalau ternyata pasukan Jalapati justru bersekongkol dengn pasukan Jala Rananggana, yang terjadi kau justru mengundang bahaya ke halaman istana Majapahit!” lanjut Gagak Bongol.

“Kemungkinan itu kecil. Jika Rakrian Temenggung Banyak Sora terlibat dalam rencana pemberontakan ini, kita berdua tidak akan keluar dengan selamat dari bangsalnya,” jawab Gajahmada. Dalam hati Gagak Bongol membenarkan jawaban itu (Gajahmada, 2004 : 38)

Dari penggalan percapakan antara Gajahmada dan Gagak Bongol tersebut

terlihat kecemasan Gagak Bongol. Kecemasan tersebut timbul karena Gagak

Bongol kurang mampu menyimpulkan keadaan. Selanjutnya, kecemasan tersebut

akan berujung pada keragu-raguannya pada orang yang belum dikenalnya dengan

baik seperti terlihat dari kutipan di bawah ini.

(23) “Aku curiga,” kata Gagak Bongol. “Jangan-jangan seperti yang aku duga, Rakrian Temenggung Banyak Sora itu bagian dari merekat idak ubahnya Rakrian Winehsuka dan Rakrian Temenggung Pujut Luntar, bahkan tidak ubahnya Rakrian Temenggung Panji Watang.” (Gajahmada, 2004 : 60,61)

Kecurigaan Gagak Bongol berubah menjadi keraguan. Keadaan tersebut

dipicu oleh terlambatnya Rakrian Temenggung Banyak Sora untuk datang ke

halaman istana Majapahit guna menghadapi para pasukan pemberontak. Gagak

Bongol yang tidak sabar semakin curiga dan menjadi tidak mampu berpikir

(46)

(24) “Bagaimana jika Banyak Sora mengambil sikap seperti Temenggung Panji Watang?” desak Gagak Bongol.

Bekel Gajahmada terdiam. Gelisah di dadanya kian mengental.

“Kalau dugaanmu itu benar maka habislah. Istana yang menjadi lambang keberadaan Majapahit akan menjadi tempat jag-jagan. Apakah keadaan yang mengerikan itu akan terjadi?”

Gagak Bongol merasa jengkel. Gagak Bongol merasa kecurigaannya terhadap Rakrian Banyak Sora yang ikut-ikutan bersikap seperti Panji Watang benar-benar terjadi. Banyak Sora pasti ikut mengail di air keruh.

Waktu terus merayap

“Ambil keputusan sekarang, Kakang Bekel!” ucap Gagak Bongol makin tidak sabar

“Aku membutuhkan laporan Lembang laut untuk mengambil keputusan. Tenanglah!” jawab Gajahmada (Gajahmada, 2004 : 61)

Percakapan tersebut makin menggambarkan ketidaktenangan Gagak

Bongol, bahkan pada akhir percapakan ia diingatkan oleh Gajahmada untuk tetap

tenang. Bentuknya yang mudah emosi akan menempatkan Gagak Bongol pada

keadaan yang hampir merenggut nyawa. Kejadian tersebut dilatar belakangi oleh

sulitnya menangkap mata- mata Ra Kuti dalam tubuh Bhayangkara.

Saat itu, Gajahmada yang pontang-panting menyelamatkan Jayanegara

dari kejaran pasukan Ra Kuti menuju ke Kabuyutan Mojoagung. Untuk

menyesatkan mata-mata Ra Kuti dalam tubuh Bhayangkara, Gajahmada menebar

umpan dengan mengatakan akan menuju ke Krian kepada para Bhayangkara.

Umpan tersebut bertujuan menyesatkan mata-mata Ra Kuti dan sekaligus

meringkusnya. Gajahmada hanya memberitahukan tujuan pelarian yang

sebenarnya kepada Gagak Bongol.

Gagak Bongol mendapat perintah dari Gajahmada untuk menangkap

mata-mata tersebut. Usaha menemukan mata-mata-mata-mata Ra Kuti dalam tubuh Bhayangkara

(47)

Ra Kuti sehingga kemanapun Gajahmada membawa Jayanegara mengungsi, Ra

Kuti mampu mengejar. Gagak Bongol merasa kesulitan menemukan siapa

mata-mata tersebut.

Mata-mata Ra Kuti adalah anggota Bhayangkara yang pintar. Ia mampu

membaca arah pelarian Gajahmada dan Jayanegara. Rencana yang telah disusun

dengan rapi oleh Gajahmada dan Gagak Bongol dapat ditebaknya.

(25) “Sebuah cara yang kasar dan bodoh sekali,” telik sandi yang menyusup di antara Bhayangkara itu berbicara untuk dirinya sendiri. “Akhirnya, aku benar-benar yakin Sri Jayanegara dan Gajahmada tidak berada di Krian. Aku yakin setelah merasa mengetahui siapa saja yang mengambil jalan ke Krian, Bongol dan Lembang Laut itu pasti akan mengatakan yang sebenarnya bahwa Gajahmada dan Jayanegara tidak akan pernah ditemukan di Krian. Jika benar-benar seperti itu, aku tinggal menebak dan mereka-reka, ke mana sebenarnya Gajahmada membawa Kalagemet itu.”

Telik sandi itu tersenyum, tetapi dengan segera ia menyembunyikan senyumnya di balik wajah yang datar tanpa meninggalkan kesan. “Kelihatannya Bekel Gajahmada telah meninggalkan pesan khusus untuk mereka berdua supaya berusaha menemukan telik sandi yang menyusup di tubuh mereka. Bukan pekerjaan yang gampang untuk menemukanku. Kulitku sangat peka dan gampang sekali berubah warna,” mata-mata itu berbicara pada diri sendiri (Gajahmada, 2004 : 351,352).

Kutipan di atas adalah penggambaran mata-mata Ra Kuti dalam tubuh

Bhayangkara. Kepintaran mata-mata tersebut mampu menyulitkan Gagak Bongol

untuk membongkar kedoknya. Bahkan ia mampu menemukan tempat

persembunyian Gajahmada dan Jayanegara. Padahal hanya Gagak Bongol yang

tahu dimana Gajahmada menyembunyikan Jayanegara.

(48)

Hingga kemudian, tiba-tiba telik sandi itu berdesir.

“ Mojoagung?” desirnya. “Di barat ada Buyut Mojoagung.”

Nama itu menggungcang isi dadanya hingga berderak-derak (Gajahmada, 2004 : 354).

Keberhasilan mata-mata Ra Kuti menebak arah pelarian Gajahmada

menempatkan Gagak Bongol dalam kesulitan. Bila para prajurit Ra Kuti

menyerang Mojoagung, Gagak Bongol dapat kehilangan kepercayaan Gajahmada.

Lebih jauh, Gagak Bongol dapat menjadi tertuduh sebagai mata-mata Ra Kuti.

Kemungkinan buruk tersebut menjadi kenyataan. Prajurit dalam jumlah besar

menyerang Kabuyutan Mojoagung tempat Gajahmada menyembunyikan

Jayanegara.

Penyerangan itu dipimpin langsung oleh Ra kuti. Jayanegara yang dalam

keadaan terdesak mampu melarikan diri berkat kecakapan para Bhayangkara.

Meski Jayanegara selamat, Gajahmada tetap melimpahkan kesalahan kepada

Gagak Bongol. Gajahmada merasa Gagak Bongol membocorkan rahasia pelarian

Gajahmada dan Jayanegara kepada Bhayangkara yang lain. Karena kesalahan

itulah Gagagk Bongol bersumpah akan menemukan dan membunuh mata-mata Ra

Kuti dengan tangannya sendiri.

Dalam keadaan seperti itu, Gagak Bongol akan kehilangan kejernihan

pikirannya dan cenderung bergerak karena amarah. Pada akhirnya, Gagak Bongol

terjebak dalam siasat mata-mata Ra Kuti karena Gagak Bongol cenderung

(49)

Kesalahan tersebut terjadi saat Gagak Bongol membunuh Mahisa Kingkin,

salah satu prajurit Bhayangakara. Mahisa Kingkin terbunuh karena taktik licik

mata-mata Ra Kuti yang menjadikan Mahisa Kingkin sebagai korban fitnah.

Mata-mata Ra Kuti mempunyai seekor burung merpati pengirim berita

pemberian dari Ra Yuyu, salah satu Dharmaputra Winehsuka. Dengan merpati

tersebut ia hendak mengirim berita kebaradaan Gajahmada dan Jayanegara kepada

para Dharmaputra. Buntalan berisi makanan burung merpati ia masukkan ke

dalam bekal perjalanan milik Mahisa Kingkin jadi saat dilakukan pemeriksaan,

Mahisa Kingkin yang akan dituduh sebagai mata-mata Ra Kuti.

(27) “Sebuah cara yang murah dan mudah untuk mengurangi kekuatan pasukan Bhayangkara,” ucap mata-mata Ra Kuti yang berada dalam pacak baris pasukan Bhayangkara itu.

Pucat pasi Mahisa Kingkin karena dialah pemilik buntalan pakaian yang di dalamnya ditemukan remah-remah jagung makanan burung merpati itu.

“Jadi, kau pengkhianat itu?” desis Lembang Laut. “Tidak!” jawab Mahisa Kingkin. “Bukan aku.”

“Bagaiamana kau menjelaskan makanan burung merpati bisa berada dalam buntalan pakaianmu?” tekan Lembang Laut.

“Dan, teganya kaubantai Panjer Lawang dengan cara sangat pengecut itu?” Gagak Bongol menambah.

Gugup Mahisa Kingkin.

Namun, apa yang dilakukan Gagak Bongol adalah mengakhiri hidup Mahisa Kingkin untuk selamanya. Ayunan pedang yang dilakukan Bongol dari arah belakang menyambar leher itu menyebabkan kepala Mahisa Kingkin terpisah dari tubuhnya. Tak seorangpun Bhayangkara yang memalingkan wajah manakala Gagak Bongol menuntaskan hukuman yang dijatuhkan kepada pengkhianat yang telah merepotkan itu.

“Benar-benar sebuah harga yang murah meriah, bahkan tanganku pun tak harus berlepotan darah. Mestinya, aku yang mengayunkan pedang memenggal leher itu untuk meyempurnakan sandiwara yang kulakukan.” (Gajahmada, 2004 : 484).

Pembunuhan yang dilakukan oleh Gagak Bongol adalah hasil siasat licik

(50)

mata-mata Ra Kuti secepatnya menyebabkan Gagak Bongol gelap mata-mata dan tidak

mampu berpikir jernih. Gagak Bongol hanya menerjemahkan apa adanya terhadap

sesuatu yang ia lihat tanpa membuat berbagai pertimbangan. Bentuk Gagak

Bongol yang demikian membuatnya terjepit saat kebenaran terbuka, bahwa

bukanlah Mahisa Kingkin yang menjadi mata-mata Ra Kuti.

Kebenaran itu terkuak saat para Bhayangkara dan Gajahmada bertemu di

Kudadu. Sebuah desa di pegunungan Kapur Utara. Bhayangkara Pradhabasu

merasa Mahisa Kingkin bukanlah mata-mata Ra Kuti karena saat burung merpati

dilepaskan oleh mata-mata Ra Kuti, Pradhabasu berada di dekat Mahisa Kingkin.

Bila Mahisa Kingkin yang melepaskan burung merpati itu, Pradhabasu akan

langsung mengetahuinya.

Sebagai seorang prajurit, apalagi bagian dari Bhayangkara, Gagak Bongol

memiliki bentuk kesatria. Sadar bahwa ia telah bersalah dengan membunuh

Mahisa Kingkin, Gagak Bongol siap menerima hukuman mati.

(28) “Aku telah bersalah kepada Mahisa Kingkin,” ucapnya. “Apabila untuk menebus kekeliruan mengerikan yang aku lakukan itu harus dengan kematian pula aku tidak keberatan.”

Gagak Bongol mencabut senjatanya dengan arah pandang tak berkedip tertuju kepada Pradhabasu. Namun, tak sebagaimana yang diduga siapa pun, Gagak Bongol berjongkok dan meletakkan semua senjata yang dimilikinya di atas tanah. Apa yang dilakukan Bongol adalah mempersiapkan lehernya apabila ada yang berniat mengayunkan pedang menebasnya (Gajahmada, 2004 : 508).

Bentuk kesatria tersebut merupakan dasar semua prajurit Bhayangkara.

Berani mati dan iklas dalam menerima keadaan merupakan bentuk kepahlawanan

(51)

2.3 Lembang Laut

Seperti halnya Gagak Bongol, Lembang Laut adalah salah satu prajurit

Bhayangkara kepercayaan Gajahmada. Sebagai salah satu bagian dari

Bhayangkara, Lembang Laut tentulah seorang prajurit yang tegap, berotot dan

mempunyai kelebihan dibanding prajurit Majapahit lainnya. Salah satu

kemampuan Lembang Laut adalah melacak jejak dan penyamaran.

Gajahmada sebagai pimipinan pasukan Bhayangkara sangat mengandalkan

Lembang Laut untuk pekerjaan menyusup ke dalam musuh dan mencari

informasi. Oleh karena itu, tanpa banyak pertimbangan, Gajahmada menjatuhkan

perintah kepada Lembang Laut untuk melacak keberadaan pasukan pemberontak.

Dengan sigap Lembang Laut menyambut tugas itu.

(29) “Pasukan Jala Rananggana telah meninggalkan bangsalnya. Pertanyaan yang muncul, di mana mereka sekarang masanggrah. Oleh karena itu, kita harus segera menemukan mereka. Kuberikan tugas itu kepada Lembang Laut. Aku percaya pekerjaan itu terlampau ringan untukmu. Sekembali dari tugas itu, mampirlah ke wisma kepatihan. Sampaikan semua yang kauketahui kepada Mahapatih. Sampaikan pula persiapan-persiapan yang telah kita lakukan. Usahakan hanya Mahapatih Tadah tanpa orang lain yang mendengar laporanmu,” Bekel Gajahmada berbicara tegas.

“Siap!” jawab Lembang Laut trengginas (Gajahmada, 2004 : 49).

Tugas menemukan dan menyusup ke dalam pasukan musuh bukanlah

pekerjaan mudah. Disamping berbahaya, pekerjaan itu haruslah dilakukan dengan

keberanian yang tinggi. Lembang Laut adalah prajurit yang memenuhi syarat

tersebut.

(52)

Penggambaran tokoh Lembang Laut sangat jelas digambarkan oleh

kutipan dia atas. Berbekal kemampuan itu, Lembang Laut tidak kesulitan

menemukan tempat persembunyian pasukan pemberontak. Selain keberanian yang

luar biasa, Lembang Laut adalah prajurit Bhayangkara yang pintar.

(31) Sementara itu, Lembang Laut telah berhasil menyelinap ke dalam riuhnya persiapan pasukan yang akan melakukan penyerbuan. Tepat seperti tebakannya, pasukan pemberontak itu bermaksud menggunakan kecerdikan akan melakukan serbuan dari arah yang tidak terduga, justru dari belakang istana, di sebuah ladang jagung yang terletak di timur perkampungan Santanaraja (Gajahmada, 2004 : 62).

Lembang Laut dapat menemukan dengan mudah tempat para pasukan

pemberontak bersembunyi. Tebakannya sangat tepat. Hal itu tidak hanya asal

tebak semata, tetapi berdasarkan pemikiran dengan kepala dingin. Berbeda dengan

Gagak Bongol, Lembang Laut mampu menahan gejolak amarahnya sehingga ia

lebih mampu berpikir rasional.

(32) Lembang Laut berusaha menentramkan diri. Ternyata amarah adalah lawan yang tidak kalah berat dari musuh di medan perang. Sekuat tenaga Lembang Laut mendamaikan diri, meski isi dadanya mengombak bergelombang bagai ombak selatan di kala murka. Meskipun kemarahan serasa akan meretakkan dinding kepalanya, Lembang Laut mesih mampu menggunakan otaknya (Gajahmada, 2004 : 63)

Kemarahan Lembang Laut dipicu kenyataan yang dilihatnya di

tengah-tengah para pasukan pemberontak. Sebagai seorang prajurit Majapahit, Lembang

Laut tidak dapat membenarkan tindakan makar yang didalangi oleh para

Dharmaputra Winehsuka. Sehingga timbul amarah yang hampir tidak dapat

(53)

alhasil Lembang Laut lah yang akan terbunuh dan informasi yang sangat penting

berkaitan dengan keberadaan para pemberontak tidak pernah sampai kepada Bekel

Gajahmada.

Bentuk Lembang Laut yang demikian dapat dikatakan sebagai gambaran

prajurit sejati. Mampu menahan emosi pribadi demi suksesnya sebuah misi yang

diembannya. Itulah bentuk kepahlawanan yang ditunjukkan oleh Lembang Laut.

2.4 Pradhabasu

Pradhabasu adalah seorang prajurit Bhayangkara yang berperawakan

gagah dan mempunyai kelebihan dalam hal melempar pisau. Sebagai prajurit

Bahayangakara yang mumpuni dalam bidang mata-mata, Pradhabasu ahli dalam

bidang penyamaran. Dalam olah kanuragan tidak perlu diragukan lagi. Sebagai

salah satu prajurit Bhayangkara, Pradhabasu jelas

Gambar

TABEL KESIMPULAN TOKOH DAN PENOKOHAN PRAJURIT

Referensi

Dokumen terkait