• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN PRAJURIT BHAYANGKARA

3.2 Pelarian Jayanegara

3.2.6 Gajahmada Selamatkan Jayanegara Saat Terkepung di Ladang Jagung

Sementara itu, Gajahmada yang mengawal Jayanegara seorang diri telah sampai di Kabuyutan Mojoagung. Gajahmada berpendapat bahwa Kabuyutan Mojoagung adalah tempat yang aman. Gajahmada percaya kepada Ki Buyut Mojoagung dapat melindungi Jayanegara dengan kemampuannya. Seperti yang tampak pada kutipan di bawah ini.

(77) Di samping dikenal sebagai orang yang paling dituakan dan dihormati di Kabuyutan Mojoagung, Ki Buyut juga dikenal sebagai orang yang memiliki ketajaman mata hati melebihi orang lain. Ki Buyut mempunyai kemampuan meramal hal-hal yang belum terjadi. Penduduk Kabuyutan Mojoagung tidak merasa aneh lagi jika melihat ramalan Ki Buyut akhirnya menjadi kenyataan.

Para petani, para pedagang, dan mereka yang membutuhkan berkah sering datang meminta petunjuk Ki Buyut. Biasanya dengan senang hati Ki Buyut membantu mereka yang membutuhkan itu. Khususnya petani, petunjuk yang diberikan Ki Buyut berkaitan dengan mangsa ketiga atau mangsa rending serta ramalan kapan kira-kira akan turun hujan, amat membantu mereka dalam bercocok tanam. Pernah terjadi, saat mana tiba-tiba penduduk disarankan untuk tak menanam padi dalam satu musim, petunjuk itu diabaikan. Semusim itu ternyata terjadi kemarau berkepanjangan, bahkan nyaris menyentuh hitungan setahun. Akibatnya, tidak pernah terjadi panen padi karena kelangkaan air, bahkan berbagai binatang pengganggu tanaman muncul dalam jumlah besar (Gajahmada, 2004 : 381).

Kelebihan Ki Buyut Mojoagung dalam melihat dan memperkirakan yang akan terjadi membuat Gajahmada tenang untuk menyembunyikan Jayanegara di rumah Ki Buyut. Untuk sementara waktu, Gajahmada bermaksud menginapkan Jayanegara di rumah Ki Buyut. Sementara itu, Gajahmada akan kembali ke kotaraja untuk melihat keadaan dan menyusun rencana mengembalikan Jayanegara ke singgasananya.

Pada suatu malam, Ki Buyut mendapat suatu penglihatan. Ki Buyut melihat rumahnya terbakar. Penglihatan tersebut kemudian disampaikan kepada Jayanegara. Ki Buyut berpendapat bahwa penglihatan yang dilihatnya merupakan sebuah firasat akan terjadinya petaka. Jayanegara yang merasa tidak senang dibangunkan malam-malam menjadi marah. Jayanegara merasa mengambil sebuah tindakan berdasar firasat merupakan hal yang bodoh.

(78) Jayanegara atau Kalagemet menghela napas panjang. Kejengkelannya terpancing. Sebagai seorang raja, Sri Jayanegara merasa telah memperoleh perlakuan yang tidak pantas. Ra Kuti melecehkannya sedemikian rupa. Perjalanan meloloskan diri yang dialaminya dari kotaraja hingga Kabuyutan Mojoagung seperti mimpi buruk. Untuk perjalanan melarikan diri itu, Bekel Gajahmada memaksanya melakukan hal-hal yang nyaris tidak masuk akal, mulai dari menerobos gorong-gorong sungai hingga merangkak di tanah-tanah berlumpur. Padahal, sebagai raja ia berhak menempuh perjalanan dengan tandu, dipikul oleh empat orang prajurit.

Semua itu membuatnya letih, lelah, dan sejenak ingin istirahat. Baru saja hal itu ia peroleh, sekarang Ki Buyut Mojoagung membuat ulah. Ki Buyut memintanya pergi meninggalkan rumahnya hanya karena firasat (Gajahmada, 2004 : 385).

Ternyata firasat Ki Buyut benar. Beberapa saat kemudian seorang magersari datang dengan tergesa-gesa menemui Ki Buyut untuk melaporkan bahwa serombongan besar orang tidak dikenal mulai mendekati Kabuyutan. Magersari menandaninya dengan suara derap kuda yang bergemuruh. Magersari itu memperkirakan ratusan penunggang kuda akan segera datang. Benar saja, para penunggang kuda dengan jumlah ratusan itu dipimpin langsung oleh Ra Kuti.

Ra Kuti dapat mengetahui keberadaan Jayanegara berkat perkiraan pintar mata-matanya yang menyusup di tubuh Bhayangkara. Mata-mata itu adalah Singa Parepen. Dari penokohan Singa Parepen yang telah dijabarkan pada bab II, diketahui bahwa Singa Parepen adalah Bhayangkara yang cerdas. Dengan

memperkirakan berbagai kemungkinan, Singa Parepen dapat menebak dengan tepat dimana Jayanegara disembunyikan oleh Gajahmada.

Jayanegara yang sebelumnya marah dan meragukan firasat Ki Buyut segera melunak dan mau untuk segera mengungsi. Jayanegara bertanya-tanya apakah Gajahmada telah tertangkap dan tidak tahan terhadap siksaan sehingga membocorkan dimana Jayanegara berada. Dengan dikawal seorang magersari, Jayanegara segera meninggalkan rumah Ki Buyut. Ki Buyut Mojoagung sendiri tinggal di rumahnya untuk menghadapi kedatangan Ra Kuti.

Saat berhadapan dengan Ra Kuti, Ki Buyut hanya diam dan tidak mau berbicara mengenai keberadaan Jayanegara. Ra Kuti menjadi marah, apalagi di dalam rumah Ki Buyut ditemukan jejak keberadaan Gajahmada dan Jayanegara. Maka tanpa ampun Ra Kuti memperintahkan prajuritnya untuk membakar rumah Ki Buyut beserta Ki Buyut di dalamnya.

Saat perhatian Ra Kuti teralih, dua orang Bhayangkara dengan cekatan menyelamatkan Ki Buyut dari api kemudian membawanya ke tempat yang aman. Ra Kuti yang semakin memuncak kemarahannya memerintahkan prajuritnya untuk menggeledah semua sudut Kabuyutan Mojoagung. Pada saat itu seorang prajurit yang ahli dalam menemukan jejak melaporkan bahwa ia melihat jejak dua lelaki dan seorang perempuan. Ra Kuti menyimpulkan bahwa jejak yang mengarah ke ladang jagung itu adalah jejak Jayanegara dan Gajahmada yang ditemani istri atau anak dari Ki Buyut Mojoagung. Tanpa membuang waktu Ra Kuti dan para prajuritnya mengejar jejak tersebut dengan ganas.

Sebenarnya, jejak yang mengarah ke ladang jagung tersebut adalah jejak Jayanegara, seorang magersari dan Nyi Buyut Mojoagung. Pada saat itu, Gajahmada tengah pergi kembali ke kotaraja. Jayanegara yang kehabisan akal dengan cepat terkepung para prajurit Ra Kuti. Dengan bingung Jayanegara dan magersari yang menggendong Nyi Buyut berlarian berputar-putar di ladang jagung.

Saat hampit putus asa, tiba-tiba munculah Gajahmada dan Gagak Bongol. Rupanya Gajahmada telah kembali dari kotaraja. Kembalinya Gajahmada ke Kabuyutan Mojoagung karena mendapat informasi dari Manjer Kawuryan. Seorang yang belum diketahi identitasnya. Gajahmada pulang pada saat yang sangat tepat. Gagak Bongol diperintahkannya pergi menyelamatkan magersari dan Nyi Buyut, sedangkan Gajahmada mengawal Jayanegara.

Para prajurit pengejar semakin dekat. Gajahmada dengan tenang mencari sebuah gagasan. Sesuai dengan penokohannya, Gajahmada merupakan pemimpin pasukan khusus Bhayangkara yang mampu berpikir dengan tenang dan cerdas dalam mengambil kesimpulan.

(79) Beberapa saat lamanya Gajahmada terdiam, memusatkan pikiran untuk menemukan gagasan. Sejenak kemudian Gajahmada manggut-manggut. Sri Jayanegara menjadi heran ketika tiba-tiba melihat Gajahmada menggali limpur, seperti bocah kecil bermain tanah. Jayanegara makin heran saat mana Gajahmada melumuri tubuhnya dengan tanah berlumpur itu.

“Silakan Tuanku berbaring,” berkata Gajahmada. Jayanegara kaget.

“Apa?” Tanya Jayanegara.

“Silakan Tuanku berbaring,” jawab Gajahmada dengan tegas.

Meski belum paham apa sebenarnya yang akan dilakukan Bekel Gajahmada, Jayanegara mengikuti saja perintah itu. Sri Jayanegara segera membaringkan diri di tanah berlumpur yang bari digali.

Gajahmada kemudia menguruk tubuhnya dengan tanah berlumpur itu (Gajahmada, 2004 : 402).

Memanfaatkan kondisi tanah yang gembur dan lunak, Gajahmada mengambil keputusan untuk mengubur Jayanegara dalam lumpur. Meskipun tindakan Gajahmada adalah keputusan yang tepat, dibutuhkan keberanian yang besar untuk menyuruh Jayanegara untuk mau berbaring di gundukan lumpur mengingat Jayanegara adalah seorang raja.

Untuk beberapa saat, keputusan cepat yang diambil Gajahmada merupakan keutusan yang tepat karena Ra Kuti dan para prajuritnya kehilangan jejak Jayanegara. Keberanian Gajahmada untuk mengambil keputusan dengan cepat dan tepat serta keberaniannya menyuruh seorang Jayanegara merupakan tindakan kepahlawanan. Bekal keberanian dan kecerdasan Gajahmada sesuai dengan penjelasan Sri Mangkunegaran IV dalam Kamajaya (1984 : 55), tentang watak seorang Kumbakarna yaitu pertama, jujur dan adil. Kedua, menjunjung tinggi negara. Ketiga, cinta tanah air. Keberanian Gajahmada untuk mengubur rajanya dalam lumpur terbukti dapat menyelamatkan nyawa Jayanegara, sedangkan Gajahmada rela berkorban bila kelak akan mendapat hukuman karena memperlakukan rajanya sedemikan rupa merupakan tindakan seorang pahlawan. 3.2.7 Bhayangkara dengan Berani Menyerang Pasukan Pemberontakan di

Ladang Jagung Kabuyutan Mojoagung

Setelah mampu menyelamatkan Jayanegara dari lubang jarum, Gajahmada berkumpul dengan para Bhayangkara tidak jauh dari tempat Ra Kuti dan para prajuritnya yang tengah kebingungan karena kehilangan jejak Jayanegara. Gajahmada memerintahkan para Bhayangkara untuk mengejar rombongan Ra

Kuti dan menyerangnya. Tujuannya adalah menceraiberaikan dan mengurangi kekuatan prajurit pengejar Ra Kuti. Sedangkan Gajahmada melanjutkan perjalanan mengawal Jayanegara sendirian saja.

Para Bhayangkara menerjemahkan perintah Gajahmada dengan baik. Dengan terorganisasi, mereka menyerang para prajurit pemberontak. Beberapa prajurit berhasil dibunuh. Bahkan kumpulan para prajurit itu dibuat saling membunuh karena bingung mendapat serangan dadakan pada malam hari. Maka yang terjadi adalah para prajurit yang saling tebas antara mereka sendiri.

Pekerjaan yang dilaksanakan para Bhayangkara kali ini sangatlah berbahaya. Prajurit pemberotak berjumlah lebih dari lima puluh orang. Meskipun para Bhayangkara berhasil membuat kekacauan di antara para prajurit pemberontak, korban jiwa tidak dapat dihindari.

(80) Dengan cara yang cerdik, Bhayangkara telah berhasil membuat kekacauan di dalam pasukan Ra Kuti. Seperti orang yang berada di ketinggian sebuah puncak gunung, yang mereka lakukan sekadar menggelindingkan sebuah batu. Batu itu membentur bawahnya dan menimpa bagian bawahnya lagi. Ketika sampai di bawah yang terjadi sebuah tanah longsor, membuat Ra Kuti kelabakan karena para prajurit pendukungnya larut dalam keadaan yang sengaja diciptakan Bhayangkara itu.

Langkah yang diambil pasukan Bhayangkara itu penuh dengan muatan bahaya dan ternyata memang meminta korban. Salah seorang dari mereka terluka sangat parah. Sabetan pedang serta ayunan trisula menghajar pinggangnya bagian belakang dengan telak, meretakkan tulang punggungnya.

Napas prajurit Bhayangkara Risang Panjer Lawang tersengal. Para Bhayangkara mengelilinya. Semuanya cemas, tetapi Risang Panjer Lwang berusaha tegar bahkan tersenyum (Gajahmada, 2004 : 426). Pada penokohan Risang Panjer Lawang, disebutkan bahwa Bhayangkara Risang Panjer Lawang gugur karena pembunuhan yang dilakukan oleh mata-mata

Ra Kuti. Tusukan dari arah belakang tidak disangka oleh Risang Panjer Lawang. Akibatnya, tusukan tersebut merenggut nyawanya. Risang Panjer Lawang gugur.

Tindakan Bhayangkara yang dengan berani menyerang rombongan Ra Kuti merupakan bentuk kepahlawanan yang ditunjukkann dengan sangat jelas. Jumlah pasukan Ra Kuti yang lebih besar tidak membuat para Bhayangkara takut. Keyakinan akan kemampuan olah kanuragan dan rasa cinta tanah air yang demikian besar menjadi modal utama. Bentuk kepahlawanan yang demikian sesuai dengan penjelasan Sri Mangkunegaran IV tentang pahlawan (1984 : 55) yang termuat dalam tulisan Kamajaya bahwa pahlawan menjunjung tinggi negara. Bentuk ini berkaitan dengan tindakan untuk melawan segala bentuk tekanan dan penjajahan terhadap tanah air.

Gugurnya Risang Panjer Lawang juga cerminan bentuk kepahlawanan yang ditunjukkan oleh seorang Bhayangkara. Risang Panjer Lawang yang gugur di medan laga juga sesuai dengan penjelasan Sri Mangkunegaran dalam Kamajaya (1984 : 55). Pahlawan adalah cinta tanah air. Bentuk ini berkaitan dengan keyakinan untuk berkorban jiwa dan raga demi keutuhan negara. Bahkan Risang Panjer Lawang merasa bangga gugur sebagai bagian dari pasukan khusus Bhayangkara saat membela tanah airnya dari bentuk pemberontakan.

Serangan Ra Kuti di Kabuyutan Mojoagung dan gugurnya Bhayangkara Risang Panjer Lawang membuat Gagak Bongol berada dalam posisi sulit. Hanya kepada Gagak Bongol seorang Bekel Gajahmada berbicara mengenai tempat persembunyian Jayanegara. Gagak Bongol tidak merasa membocorkan tempat persembunyian Jayanegara kepada orang lain, bahkan kepada Lembang Laut

sekalipun. Gajahmada bersikeras bahwa tidak mungkin mata-mata Ra Kuti mengetahui tempat persembunyian Jayanegara dari sumber lain.

Pada kenyataannya, Singa Parepen, mata-mata Ra Kuti adalah pengkhianat yang cerdas. Dari berbagai kemungkinan, ia menyimpulkan bahwa Gajahmada menyembunyikan Jayanegara di Kabuyutan Mojoagung. Bahkan serangan prajurit Ra Kuti berakibat gugurnya Risang Panjer Lawang. Singa Parepen lah yang membunuh Risang Panjer Lawang saat terjadi kekacauan di tengah-tengah ladang jagung. Kenyataannya tersebut membuat Gagak Bongol kehilangan ketenangannya. Umpan licik yang digunakan oleh mata-mata Ra Kuti membuat Gagak Bongol membunuh Bhayangkara Mahisa Kingkin seperti yang dijabarkan dalam penokohan Gagak Bongol pada bab sebelumnya.

Tindakan cepat Gajahmada saat menyelamatkan Jayanegara di tengah-tengah ladang jagung dan keberanian yang ditunjukkan Bhayangkara saat menyerbu pasukan pemberontak adalah bentuk kepahlawanan yang luar biasa. Tindakan tersebut bahkan harus ditebus dengan kematian Risang Panjer Lawang karena ditikam dari belakang oleh mata-mata Ra Kuit dalam tubuh Bhayangkara. Sesuai dengan Mangkunegaran IV tentang watak seorang Bhayangkara, tindakan mereka merupakan pertunjukkan cinta tanah air dan menjunjung tinggi Negara, bahkan berkurban nyawa.