• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN PRAJURIT BHAYANGKARA

3.1 Penyelamatan Jayanegara

3.1.1 Tindakan Tanggap Darurat oleh Gajahmada

Arya Tadah, sebagai Mahapatih Majapahit merasakan firasat buruk. Saat itu turun kabut yang sangat tebal. Sebagai orang yang telah melewati berbagai macam peritiwa dalam hidupnya, Arya Tadah merasa kabut yang turun bukanlah kabut biasa. Arya Tadah pernah mengalami kejadian serupa saat Ken Dedes mangkat. Waktu itu kabut juga turun dengan tebalnya.

Arya Tadah yang tidak mampu menahan kecemasannya lalu memanggil Gajahmada. Arya Tadah mengenal Gajahmada sebagai prajurit yang meskipun hanya berpangkat sebagai bekel namun mempunyai kecerdasan dalam olah pikir dan kehebatan dalam olah kanuragan. Kepada Gajahmada, Arya Tadah meyampaikan kecemasannya.

(51) “Ada tiga buah peristiwa penting yang aku catat yang sekarang akan kuceritakan kepadamu. Peristiwa pertama adalah ketika leluhur Sri Baginda, pendiri Singasari terbunuh oleh keris Empu Gandring. Tuanku Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi tewas di tangan

seorang batil dari Pangalasan, peristiwa itu konon ditandai dengan turunnya kabut yang sangat tebal menyergap istana Singasari. Kabut yang tebal dan udara dingin itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Batil Pangalasan dengan tidak menyimpak keraguan secuil pun. Ia membenamkan keris rautan Empu Gandring ke dadanya. Suasana saat itu kira-kira seperti sekarang ini. Singasari memang berada di ketinggian dan udaranya dingin, dikemuli kabut amat tebal.”

Arya Tadah terdiam sejenak seperti sedang mengumpulkan ingatan. Dengan sabar Bekel Gajahmada menunggu Mahapatih Tadah melanjutkan ceritanya.

“Peristiwa yang kedua adalah saat Singasari akhirnya benar-benar runtuh, saat Tuanku Sri Kertanegara terbunuh oleh serangan Jayakatwang dari Kediri. Serangan itu dilakukan di pagi buta, juga ketika kabut turun dengan tebalnya. Pasukan segelar sepapan membuat kekacauan dari arah utara. Namun, yang sebenarnya terjadi pasukan yang lebih besar lagi datang bagaikan banjir bandang menggilas kotaraja Singasari dari arah selatan.”

“Ketika Jayakatwang menyerbu Singasari, saat itu kabut yang turun begitu tebal. Siapa pun mengalami kesulitan untuk melihat benda-benda di sekitarnya. Keadaan itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Jayakatwang untuk melakukan serangan dadakan. Dan, yang terakhir adalah ketika Majapahit benar-benar dililit duka, saat Tuanku Baginda Kertarajasa Jayawardhana mangkat. Kauingat apa yang terjadi?”

Bekel Gajahmada mengangguk. Gajahmada juga menyaksikan keajaiban alam itu. Di siang hari matahari bercahaya pucat kekuning-kuningan. Hal itu berlangsung beberapa hari lamanya seiring dengan Sri Baginda yang gering. Ketika malam itu Sri Baginda mangkat, kabut turun amat tebal ditandai pula dengan kehadiran burung gagak yang berkaok-kaok di tengah malam. Majapahit bagaikan dipayungi mendung duka ketika Raden Wijaya menutup mata untuk selamanya (Gajahmada, 2004 : 20,21).

Runtutan peristiwa yang diceritakan oleh Arya Tadah di atas adalah peristiwa besar yang terjadi dalam perjalanan sejarah leluhur Majapahit. Peristiwa-peristiwa yang selalu berhubungan dengan kematian tersebut ditandai dengan turunnya kabut tebal.

Sebenarnya, Gajahmada yang menyimak cerita dari Arya Tadah menyimpan suatu rahasia. Setelah menyimak cerita Arya Tadah, Gajahmada memutuskan untuk bercerita.

(52) “Sebenarnya baru aku bertemu dengan orang yang menyebut dirinya dengan nama Manjer Kawuryan. Aku tidak tahu, pamrih apa yang ada dalam benaknya. Orang itu baru saja memberi tahu aku bahwa besok istana akan diserbu oleh banjir bandang berkekuatan segelar sepapan.” (Gajahmada, 2004 : 22)

Sebelum bertemu Arya Tadah, Bekel Gajahmada bertemu dengan seseorang misterius yang menggunakan nama sandi Manjer Kawuryan. Perhatikan kutipan berikut.

(53) “Sebut aku Manjer Kawuryan,” jawab orang itu.

Dari suaranya Gajahmada tahu orang itu menggunakan topeng. Terdengar dari getar suaranya yang tertahan. Manjer Kawuryan, Ki Bekel memahami apa artinya. Tangsu manjer kawuryan berarti bulan tengah bercahaya benderang.

“Ada keperluan apa kau menemuiku?” bertanya Gajahmada.

“Aku bermaksud baik,” jawab orang itu. “Kau hanya memiliki waktu sangat sempit sejak saat sekarang. Karena, fajar menyingsing nanti sebuah pasukan segelar sepapan akan bergerak menggilas istana.” Bekel Gajahmada amat berdesir. Bekel Gajahmada tidak mungkin mengabaikan keterangan itu mengingat kegiatan kelompok telik sandi pasukan Bhayangkara yang selama ini bekerja keras menemukan bentuk kegiatan aneh. Kegiatan itu sampai saat ini masih belum diketahui kemana arahnya. Gajahmada segera menghubungkan keterangan orang itu dengan apa saja yang telah diketahuinya (Gajahmada, 2004 : 17).

Dari kutipan tersebut, terlihat Gajahmada mempunyai petunjuk mengenai pemberontakan yang akan terjadi saat pagi menjelang. Kecemasan Arya Tadah menjadi pemicu Gajahmada untuk bercerita. Hal ini yang menjadi kunci langkah-langkah selanjutnya yang diambil oleh Mapatih Arya Tadah dan Bekel Gajahmada yang menjadi awal munculnya bentuk-bentuk kepahlawanan prajurit Bhayangkara dibawah pimpinan Gajahmada.

Laporan Gajahmada mengenai seseorang misterius yang menggunakan nama sandi Manjer Kawuryan ditanggapi dengan serius oleh Arya Tadah. Mapatih Arya Tadah yang telah mengenal Gajahmada sebagai seorang prajurit yang setia, pintar dan mumpuni memberikan wewenang penuh untuk mengambil langkah-langkah darurat guna membendung pemberontakan yang akan segera terjadi. Hal tersebut tampak dalam kutipan 7 dan 8.

Bentuk kepercayaan Mapatih Arya Tadah adalah memberikan kalung samir Mapatih kepada Gajahmada. Kalung samir tersebut merupakan tanda pangkat yang menjadi wewenang penuh Mapatih untukk mengambil keputusan mewakili raja. Jadi, Gajahmada yang mendapat kepercayaan dari Mapatih berarti mendapat kepercayaan juga dari raja. Gajahmada yang menyadari betapa besar tanggung jawab yang ia tanggung dengan segera mengumpulkan para prajurit Bhayangkara untuk melakukan penyelidikan.

Segera setelah bertemu dengan Mapatih, Gajahmada mengumpulkan para Bhayangkara. Dengan berbekal kalung samir Mapatih, Gajahmada ditemani Bhayangkara Gagak Bongol melakukan penyelidikan secara langsung dengan mendatangi para Temenggung yang membawahi pasukan. Gajahmada berpendapat bahwa tindakan makar tidak mungkin terjadi tanpa dukungan pasukan dengan kekuatan besar.

(54) Di Majapahit terdapat tiga kelompok kesatuan besar yang masing-masing berkekuatan segelar sepapan, pasukan Jalapati di bawah pimpinan Rakrian Temenggung Banyak Sora. Temenggung Banyak Sora adalah seorang prajurit yang pilih tanding dan memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap Sri Baginda Jayanegara. Lalu pasukan Jalayuda di bawah kendali Rakrian Temenggung Panji Watang. Sebagaimana Banyak Sora, Temenggung Panji Watang juga mumpuni dalam olah keprajuritan serta memiliki kemampuan olah

perang yang tinggi. Terakhir adalah pasukan Jala Rananggana yang memiliki Candrakapala berwujud tengkorak sebagai lambang pasukan. Temenggung Pujut Luntar memimpin pasukan dari kesatuan Jala Rananggana itu (Gajahmada, 2004 : 23).

Di kerajaan Majapahit terdapat tiga kekuatan pasukan besar yang masing-masing dipimpin oleh seorang Temenggung seperti tampak pada kutipan 54. Gajahmada merasa perlu mengirim prajurit Bhayangkara untuk memata-matai dan mencari informasi terkait kegiatan-kegiatan mencurigakan di tubuh tiga kesatuan prajurit tersebut. Setelah beberapa saat, Gajahmada mendapati laporan dari telik sandi yang dikirim untuk mecari informasi.

(55) Akhirnya, beberapa telik sandi yang disebar telah kembali. Kedatangan mereka kebetulan nyaris bersamaan.

“Apa yang akan kaulaporkan?” Bekel Gajahmada mendahului. “Apa yang kaucurigai ternyata benar Kakang Bekel. Tidak seorang pun terlihat di bangsa Jala Rananggana. Bangsal itu sepi!” lapor Pradamba dengan napas tersengal.

“Kamu?” bertanya Bekel Gajahmada kepada Gajah Geneng.

“Tidak ada kegiatan yang mencurigakan di bangsal Jalapati. Semua kelihatan seperti biasanya,” jawab Gajah Geneng.

“Bagaimana dengan bangsal kesatrian Jalayuda?” jawab Panji Saprang dengan tegas.

Gajahmada termangu. Sejenak kemudian pimpinan pasukan khusus Bhayangkara itu manggut-manggut. Kini cukup jelas bagi Gajahmada bahwa pasukan Jala Rananggana berada di belakang rencana tindakan makar itu (Gajamada, 2004 : 30).

Berdasarkan laporan telik sandi Bhayangkara, Gajahmada menyimpulkan bahwa Temenggung Pujut Luntar yang membawahi kesatuan Jala Rananggana adalah orang yang akan melakukan makar. Untuk memastikan kesatuan Jalapati dan kesatuan Jalayuda tidak terlibat usaha makar, Gajahmada dan Gagak Bongol menemui Temenggung Banyak Sora dan Panji Watang selaku pimpinan kesatuan tersebut.

Temenggung Banyak Sora sebagai pimpinan kesatuan Jalapati adalah Temenggung yang setia dengan tanah airnya. Setelah Gajahmada menceritakan akan terjadi makar, Temenggung Banyak Sora menjawabnya dengan kesiapan membela Majapahit.

(56) “Akan aku siapkan pasukanku untuk membetengi istana,” jawab Rakrian Banyak Sora tegas. “Tidak sampai mendekati datangnya pagi, pasukanku telah pasang gelar.”

Bekel Gajahmada lega. Setidak-tidaknya bisa diharapkan banjir bandang yang akan terjadi itu bisa diredam (Gajahmada, 2004 : 37,38).

Banjir bandang yang dimaksud oleh Gajamada adalah serangan para pemberontak yang akan menggulingkan Jayanegara, raja Majapahit saat itu. Setelah mendapat jaminan dari Temenggung Banyak Sora, Gajahmada dan Gagak Bongol bergegas menuju bangsal kesatuan Jalayuda untuk bertemu Temenggung Panji Watang.

Pertemuan dengan Temenggung Panji Watang tidak berjalan seperti yang Gajahmada harapkan. Gajahmada yang sedang berusaha mendapatkan dukungan guna mencegah makar yang akan terjadi justru mendapati sikap Temenggung Panji Watang yang cenderung ingin mendapatkan keuntungan dari makar yang akan terjadi. Temenggung Panji Watang berkilah bahwa makar yang terjadi merupakan urusan keluarga istana. Oleh karena itu, Temenggung Panji Watang tidak akan mengambil sikap melindungi istana maupun mendukung makar yang akan terjadi.

(57) “Aku menganggap apa yang akan terjadi besok bukanlah urusanku. Tugasku adalah menjaga ketentraman negara. Jika ada negara lain mencoba mengganggu ketentraman Majapahit maka aku akan maju di barisan paling depan untuk menghadapinya. Namun, jika yang

bertikai adalah keluarga sendiri lebih baik aku menempatkan diri di luar arena (Gajahmada, 2004 : 41).

Jawaban Temenggung Panji Watang mengagetkan Gajahmada. Bekel Gajahmada tidak menemukan alasan akan terjadi makar karena alasan keluarga istana. Pemikiran Gajahmada berasal dari kenyataan bahwa pengangkatan Jayanegara adalah sah dan tidak ada anggota keluarga istana Majapahit yang keberatan. Kekagetan Gajahmada bertambah saat Temenggung Panji Watang berkata.

(58) “Aku tidak terlibat dalam persoalan ini. Dan, aku tidak akan melibatkan diri dalam persoalan Rakrian Kuti, “ berkata Panji Watang (Gajahmada, 2004 : 40).

Penjelasan yang diungkapkan oleh Temenggung Panji Watang membuat Gajahmada sadar bahwa Temenggung Panji Watang akan mengail di air keruh dengan memanfaatkan pemberontakan yang dilakukan oleh Ra Kuti. Sikap yang demikian sangat dibenci Gajahmada.

(59) “Kini aku mendapat gambaran. Para Dharmaputra Winehsuka yang mendalangi rencana pemberontakan itu. Para Rakrian Winehsuka mengajak Temenggung Pujut Luntar. Dengan janji-janji tertentu, mungkin jabatan yang tinggi, Rakrian Temenggung Pujut Luntar bersedia bergabung. Ra Kuti tidak berani mengajak Rakrian Temenggung Banyak Sora karena Rakrian Banyak Sora mempunyai sikap yang tegas. Selanjutnya, Ra Kuti tentu juga merayu Rakrian Temenggung Panji Watang. Namun, Panji Watang mempunyai sikap yang lain. Jelas Rakrian Panji Watang mempunyai tujua tersendiri. Manakala pasukan yang bertempur besok sudah sama-sama remuk, Panji Watang tampil menggilas semuanya. Jika perhitunganku ini tidak salah, yang aku hadapi ini benar-benar orang yang cerdik sekaligus culas,” ucap Gajahmada untuk diri sendiri (Gajahmada, 2004 : 42).

Pada kutipan 59, dapat dilihat gambaran apa yang akan dihadapi oleh Gajahmada dan para Bhayangkara. Pemberontakan yang akan terjadi merupakan

buah pekerjaan para Dharmaputra Winehsuka. Dharmaputra Winehsuka merangkul Temenggung Pujut Luntar yang membawahi kesatuan Jala Rananggana. Selain mengahadapi para Dharmaputra dan Temenggung Pujut Luntar, Gajahmada juga harus memperhitungkan langkah apa yang akan diambil oleh Temenggung Panji Watang.

Langkah-langkah tanggap darurat oleh Gajahmada dalam usaha mengantisipasi langkah para pemberontak, merupakan wujud nyata dari teori Mangkunegeran IV tentang watak Kumbakarna. Tanggap darurat Gajahmada mencerminkan dua watak Kumbakarna, yaitu menjunjung tinggi negara. Bentuk kepahlawanan ini berkaitan dengan tindakan untuk melawan segala bentuk tekanan dan penjajahan terhadap tanah air. Watak yang kedua adalah cinta tanah air, berkaitan dengan keyakinan untuk berkorban jiwa dan raga demi keutuhan negara.

Bertindak cepat dan tepat merupakan pengabdian Gajahmada dalam usaha melawan penjajahan pemberontak. Selain itu, tanggap darurat oleh Gajahmada juga mencerminkan rasa cinta tanah yang besar.

3.1.2 Bentuk Kepahlawanan Bhayangkara Lembu Pulung, Panjang Sumprit,