• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN PRAJURIT BHAYANGKARA

3.1 Penyelamatan Jayanegara

3.1.4 Jalannya Peperangan Antara Temenggung Banyak Sora dengan Temenggung

Peperangan antara pemberontak dan prajurit pembela Majapahit tidak terelakkan. Temenggung Banyak Sora berhadapan satu lawan satu dengan Temenggung Pujut Luntar. Sedangkan para Daharmaputra Winehsuka sebagai otak pemberontakan tersebut hanyak berdiri dibelakang, tidak melibatkan dirinya dalam peperangan.

Temenggung Banyak Sora dan Temenggung Pujut Luntar adalah dua Temenggung dengan kemampuan olah kanuragan yang seimbang. Peperangan yang terjadi semakin tidak menguntungkan pihak pemberontak karena Temenggung Banyak Sora mampu menghambat gerakan para pemberontak. Bahkan berkat kecerdikannya, Temenggung Banyak Sora mampu mendesak Temenggung Pujut Luntar.

Melihat hal tersebut Ra Kuti khawatir Temenggung Pujut Luntar akan kalah dan usaha pemberontakan akan gagal. Pada saat terjepit, Ra Kuti bertindak cepat. Dengan menunggang kuda, Ra Kuti menuju bangsal kesatuan Jalayuda, menemui Temenggung Panji Watang. Ra Kuti hendak membujuk Temenggung Panji Watang agar bersedia membantu usaha menggulingkan Jayanegara. Seakan sudah menebak jalannya peperangan, Temenggung Pujut Puntar mengajukan syarat yang harus dipenuhi oleh Ra Kuti.

(62) “Aku yang menjadi Raja,” ucap Panji Watang, “bagaiamana?”

Ra Kuti terdiam. Kekecawaan yang harus ditelan benar-benar terasa pahit, kental dan bergumpal-gumpal. Gagasan untuk melakukan makar berasal dari dirinya, didoron oleh keinginan untuk menjadi orang utama di Majapahit. Kini ada orang lain, Temenggung Panji Watang mencoba meneriakkna hal yang sama, tanpa dirinya bisa berbuat apa-apa.

Betapa menyakitkan jika akhirnya Temenggung Panji Watang itulah yang kelak berhasil menggulingkan Jayanegara dan mewarisi kekuasaannya, sementara dirinya hanya menjadi penonton belaka. Pahit melebihi brotowali, bukan eacun memang, tetapi siapa pun yang menelannya akan muntah. Itulah yang kini dialami oleh Ra Kuti (Gajahmada, 2004 : 116-117).

Kekecawaan yang dialami oleh Ra Kuti dilatar belakangi oleh posisinya sebagai Dharmaputra Winehsuka yang tidak memiliki pasukan. Oleh karena itu, Ra Kuti harus bekerjasama dengan seseorang yang membawahi pasukan dengan jumlah besar. Posisi tawar Ra Kuti menjadi rendah karena Temenggung Panji Watang mempunyai pasukan dalam jumlah besar dan mampu mengimbangi kekuatan Temenggung Banyak Sora yang dibantu oleh Bhayangkara. Dengan terpaksa Ra Kuti menyanggupi permintaan Temenggung Panji Watang.

Dengan bergabungnya Temenggung Panji Watang ke dalam barisan para pemberontak, alur peperangan berubah. Pasukan Jalayuda yang masih segar dan

bersemangat menggempur istana dari arah depan. Mengetahui istana dalam keadaan genting, Gajahmada dengan berani turun ke medan perang dan menghentikan adu kesatian Temenggung Banyak Sora dan Temenggung Pujut Luntar.

Berbekal kalung samir dari Mapatih Arya Tadah, Gajahmada menceritakan perkembangan yang tidak menguntungkan kepada Temenggung Banyak Sora. Tanpa berpikir panjang, Temenggung Banyak Sora mengambil alih kendali pasukan Jalayuda dari Temenggung Pujut Luntar. Besarnya wibawa Temenggung Banyak Sora membuat para prajurit yang sedianya hendak membantu pemberotakan menjadi sadar dan mau bergabung dengan pasukan Jalapati. Mengetahui pihaknya telah kalah, Temenggung Pujut Luntar menyerah tanpa perlawanan.

Gabungan pasukan Jalapati dan Jala Rananggana di bawah pimpinan Temenggung Banyak Sora bergerak ke arah depan istana untuk menyambut pasukan Jalayuda. Pasukan gabungan Temenggung Banyak Sora berada pada posisi yang tidak menguntungkan meski menang dalam jumlah. Banyak prajurit yang telah kelelahan dan prajurit yang terluka pun tidak sedikit.

Meskipun kekalahan tidak dapat dihindari, Temenggung Banyak Sora tetap menghadapi gabungan pasukan Jalapati dan pasukan Jala Rananggana dengan gagah berani. Jumlah prajurit yang berat sebelah pun tidak membuat Banyak Sora gentar. Bahkan berkubang nyawa ia akan berikan.

Gajahmada yang menyadari hal tersebut kembali kedalam istana untuk melaporkan keadaan terakhir kepada Jayanegara dan menyiapkan pengungsian

bila pemberontakan tidak dapat dipadamkan. Jayanegara selaku raja Majapahit yang berkuasa pada saat itu merasa kecewa dengan pilihan mengungsi. Jayanegara berpendapat, tidak selayaknya seorang raja yang harusnya dipuja, lari dari peperangan seperti seorang pengecut.

(63) Mengungsi. Betapa kecewa Jayanegara mendengar kata-kata itu. Ia seorang raja, orang yang harus disembah oleh segenap kawulanya, orang yang paling dihormati melebihi siapa pun. Segala yang diucapkan harus terwujud dan menjadi kenyataan. Jika istana tidak berhasil dipertahankan, ia harus melarikan diri terbirit-birit mengungsi dan masih harus dikejar-kejar oleh pemberontak. Sungguh amat menyakitkan. Betapa sesak dada Jayanegara yang harus menelan kenyataan pahit itu.

Pada saat yang demikian itulah, seseorang tengah mengintip. Orang itu berpakaian khas pasukan Bhayangkara. Dengan langkah ringan seperti langkah kaki seekor kucing, mengendap-endap tanpa suara, prajurit Bhayangkara itu berusaha mencari jarak pandang yang sesuai untuk rencana yang akan dilakukannya. Tangan kiri prajurit Bhayangkara itu memegang gendewa yang siap dibentangkan, tangan kanannya memegang anak panah.

Apa yang diinginkannya telah diperoleh. Dengan cermat dan seksama prajurit itu memasang anak panah dan merentangkan busurnya. Anak panah itu siap melesat ke arah dada Jayanegara (Gajahmada, 2004 :122).

.

Pada kutipan 63 tampak harga diri Jayanegara yang tinggi. Jayanegara tidak rela bila harus mengungsi dan lari dikejar-kejar para pemberontak. Pada kutipan 63 juga tampak usaha pembunuhan Jayanegara oleh pengkhinat di tubuh Bhayangkara. Mujur bagi Jayanegara karena Gajahmada dengan sigap menangkap anak panah yang melesat menuju dada Jayanegara.

Setelah itu perkembangan peperangan menjadi semakin tidak terduga. Mapatih Arya Tadah dengan berani turun ke medan perang di depan pintu gerbang istana Majapahit. Arya Tadah hendak berbicara kepada Temenggung

Banyak Sora dan Temenggung Panji Watang agar peperangan dapat dicegah seperti tampak dalam laporan Gagak Bongol kepada Jayanegara.

(64) “Bagaimana perkembangan di luar?” bertanya Jayanegara.

Gagak Bongol dan Lembang Laut bersamaan memberikan sembah. “Hamba Tuanku,” Gagak Bongol berkata sekaligus mewakili temannya, “perkembangan telah bergerak tak terduga. Pertempuran di halaman belakang istana telah berakhir. Temenggung Pujut Luntar berhasil ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Akan tetapi, Temenggung Panji Watang mencoba memanfaatkan keadaan itu dengan ikut bermain-main, menyerang istana langsung dari halaman depan.”

“Kurang ajar!” desis Jayanegara.

Tatapan mata Jayanegara benar-benar tegang.

“Lalu?” Jayanegara meminta Gagak Bongol untuk melanjutkan.

“Rakrian Temenggung Banyak Sora berhasil menyadarkan sisa pasukan Jala Rananggana kemudian menggabungkannya menjadi satu untuk menghadapi sepak terjang pasukan Jalayuda. Namun, Mahapatih Tadah muncul berusaha mencegah perang. Rakrian Banyak Sora dan Panji Watang dipanggil dan didamaikan. Upaya itu hampir saja berhasil, tetapi tiba-tiba melesat anak panah beracun yang membunuh Temenggung Panji Watang dan Banyak Sora sekaligus. Kini Kakang Gajahmada mencoba mengendalikan pasukan Jalapati dan Jala Rananggana menghadapi petualangan Ra Kuti (Gajahmada, 2004 :149,150).