• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN PRAJURIT BHAYANGKARA

3.3 Serangan Balik Prajurit Bhayangkara

3.3.2 Pradhabasu dan Gajahmada Membongkar Penyamaran Mata-mata Ra Kuti 95

Sementara itu Gajahmada yang telah sampai di desa Kudadu, menginapkan Jayanegara di rumah lurah Kudadu. Beberapa saat kemudian para Bhayangkara tiba di desa tersebut. Dengan perasaan bangga, Gajahmada menyambut para Bhayangkara. Gajahmada tahu bahwa para anak buahnya pasti dapat memecahkan kalimat sandi yang ia berikan.

Saat memeriksa satu persatu para Bhayangkara, Gajahmada mendapati Bhayangkara Risang Panjer Lawang tidak terlihat. Gagak Bongol dan Lembang Laut segera memberikan penjelasan.

(82) “Apa yang terjadi dengannya, diakah orang yang kita cari?”

“Bukan!” jawab Lembang Laut. “Risang Panjer Lawang justru gugur sebagai korban pengkhianat itu. Luka di bagian belakang tubuhnya merupakan pertanda ia diserang dari belakang oleh orang yang diduganya tak mungkin melakukan itu.”

Wajah Gajahmada menegang. “Terus, telah berhasil ditemukan pelakunya?”

Lembang Laut mengangguk. Sejenak Lembang Laut menyempatkan melirik Gagak Bongol yang membeku.

“Mahisa Kingkin pelakunya,” ucap Lembang Laut dengan nada berbisik.

Gajahmada merasa mendadak wajahnya menebal. Mahisa Kingkin disebut sebagai pengkhianat mata-mata Ra Kuti menyebabkan Gajahmada sangat terpukul. Sulit sekali Bekel Gajahmada menerima kenyataan itu (Gajahmada, 2204 : 491,492).

Kenyataan yang diterima oleh Gajahmada sungguh mengejutkan. Bekel Gajahmada merasa sangat mengenal Mahisa Kingkin. Meskipun berat tetapi Gajahmada mampu menerima kenyataan tersebut. Dalam pada itu, Bhayangkara Pradhabasu tetap tidak dapat menerima kematian Mahisa Kingkin. Dengan

memendam kemarahannya, Pradhabasu menemui Gajahmada secara empat mata dan mengutarakan pendapatnya.

Pradhabasu menceritakan bahwa saat burung merpati pembawa berita tersebut dilepas, kebetulan Mahisa Kingkin duduk tepat disebelah Pradhabasu, sehingga bila Mahisa Kingkin lah yang melepaskan burung merpati tersebut pastilah Pradhabasu mengetahuinya. Gajahmada yang tahu Pradhabasu adalah Bhayangkara yang pintar dan mampu bepikir dengan kepala dingin semakin terkejut. Gajahmada mempercayai Pradhabasu.

Penjelasan yang diberikan Pradhabasu membuat Gajahmada siaga. Bekel Gajahmada tahu dengan demikian maka mata-mata Ra Kuti adalah seorang yang licik. Untuk memancing mata-mata tersebut Gajahmada berpikir dengan keras, berusaha menemukan petunjuk apapun.

(83) Gajahmada tentu tidak akan lupa, awal dari diketahuinya telik sandi itu adalah sejak pertemuannya dengan orang tidak dikenal, orang yang menyelubungi wajahnya dengan secarik kain. Orang itu menggunakan julukan Bagaskara Manjer Kawuryan yang berarti matahari terang benderang, sebuah nama yang digunakan juga sebagai kata sandi.

Gajahmada mencoba mengenang pertemuannya dengan orang itu dan memilah-milahnya barangkali ada bagian yang terlewatkan. Setelah beberapa jenak, memndadak raut wajah Bekel Gajahmada itu berubah, pimpinan pasukan Bhayangkara itu merasa menemukan bagian sangat penting dari apa yang pernah diucapkan Bagaskara Manjer Kawuryan itu (Gajahmada, 2004 : 494).

(84) “Hati-hati dengan anak buahmu yang barangkali gemar bersiul atau menirukan suara burung hantu. Bukankah kau tidak mengajari mereka menggunakan isyarat suara burung hantu? Burung hantu itu mungkin sedang berkeliaran di halaman istana, ingat, suaranya benar-benar mirip, sulit membedakan dengan suara burung hantu yang sesungguhnya,” ucap Bagaskara Manjer Kawuryan saat itu (Gajahmada, 2004 : 501).

Kutipan 82 menjelaskan bagaimana Gajahmada setelah berpikir dengan keras menemukan suatu petunjuk penting yang dapat dimanfaatkan untuk membongkar kedok mata-mata Ra Kuti. Bersama Pradhabasu, Bekel Gajahmada membuat suatu sandiwara.

Di Desa Kudadu, Jayanegara disembunyikan di rumah lurah Kudadu. Sebagai langkah pengamanan, Gajahmada melarang lurah Kudadu untuk menggelar berbagai bentuk hiburan. Untuk menemukan siapa mata-mata Ra Kuti, Gajahmada sengaja membatalkan larangan tersebut. Lurah Kudadu diminta menggelar cokekan, yaitu hiburan rakyat dengan penari yang diiringi gamelan. Warga pun diminta memeriahkan acara hiburan tersebut. Warga membawa berbagai macam makanan dari rumah untuk dimakan beramai-ramai.

Acara yang diselenggarakan di halaman rumah lurah Kudadu berjalan dengan meriah. Para prajurit Bhayangkara tidak ketinggalan memeriahkan acara. Mereka menari diiringi seorang penari wanita yang masih muda.

(85) Tepuk tangan tempik sorak gemuruh dari para Bhayangkara juga para penduduk yang hadir manakala Bhayangkara Bongol menari dengan sangat luwes dan terampil. Gagak Bongol yang tangkas trengginas di medan petempuran yang ganas macam apa pun ternyata bisa terampil pada saat menari. Penari paguyuban cokekan itu benar-benar memiliki suara yang lembut, apalagi usianya masih muda dan belum bersuami, beberapa pemuda yang menonton bersiul-siul untuknya (Gajahmada, 2004 : 496).

Para warga desa Kudadu tidak mengetahui apa tujuan kedatangan para prajurit Bhayangkara ke desa mereka. Terlebih saat Gajahmada bericara bahwa kedatangan para Bhayangkara adalah dalam rangka mengawal perjalanan Jayanegara. Maka yang terjadi adalah kegemparan. Warga desa Kudadu sangat terkejut saat Gajahmada menyammpaikan bahwa saat itu Jayanegara sedang

beristirahat di rumah lurah Kudadu. Rasa penasaran segera tumbuh, banyak warga tidak percaya bahwa desa mereka yang sangat jauh dari kotaraja mendapat kehormatan dengan disinggahi oleh raja Majapahit.

Mengetahu hal tersebut, Bhayangakara Pradhabasu meminta perhatian para warga. Pradhabasu bersedia memberikan cerita yang lebih rinci. Sebagai syarat, Pradhabasu meminta para warga untuk menirukan suara hewan-hewan yang berada di hutan. Gagak Bongol dan Lembang Laut tersenyum mendengar kelakar Pradhabasu. Dua orang Bhayangkara tersebut tahu bila Pradhabasu sering berbuat iseng. Tidak demikian dengan Pradhabasu dan Gajahmada, sandiwara tersebut merupakan usaha membongkar jati diri mata-mata Ra Kuti.

(86) “Ayo” ucap Pradhabasu lantang. “Untuk menghangatkan suasana di malam ini mari kita bangunkan semua binatang penghuni hutan, gajah, harimau, ayam jantan, anjing, serigala, semua serentak, Bhayangkara juga ikut menyumbangkan suaranya!”

Terdengar suara Bhayangkara Pradhabasu melolong menirukan serigala kelaparan yang disambut tawa berderai segenap penduduk kelurahan Kudadu, tetapi dengan penuh minat penduduk warga Kudadu ikut menyumbangkan suara, ada suara kambing, ada pula suara kuda. Para Bhayangkara ikut terpancing menyumbangkan berbagai tiruan mulai dari burung bence yang menyayat hingga…suara burung hantu.

Suara riuh rendah meniru berbagai binatang itu makin ramai, Bekel Gajahmada bulat mendapatkan arah, suara tiruan burung hantu itu berasal dari mulut Singa Parepen. Suara burung hantu itu sangat mirip dengan aslinya, juga sama dengan suara siulan sandi yang pernah di dengar di halaman istana sebagai isyarat yang diyakini diberikan oleh sesama telik sandi Ra Kuti (Gajahmada, 2204 : 501). Dengan seksama, Gajahmada mengamati anak buahnnya yang menirukan suara burung hantu. Gajahmada telah sampai pada sebuah kesimpulan. Singa Parepen lah yang menjadi telik sandi Ra Kuti. Setelah sampai pada kesimpulan

tersebut, Gajahmada meminta perhatian, segenap warga desa Kudadu dan para Bhayangkara serentak terdiam memerhatikan pimpinan Bhayangkara tersebut.

Gajahmada dikenal sebagai orang yang tidak suka berbasa-basi, dengan pasti Gajahmada mengarahkan telunjuknya ke arah Singa Parepen. Gajahmada dengan pasti berucap bahwa tubuh Bhayangkara belum sepenuhnya bersih, masih terdapat mata-mata Ra Kuti di antara mereka. Hal tersebut mengagetkan Bhayangkara, terutama Singa Parepen.

(87) “Kau-ngawur, apa dasarmu menuduhku seperti itu?” Tanya Singa Parepen dengan suara agak melengking dan parau.

“Baru saja Pradhabasu membangunkan seisi hutan,” jawab Bekel Gajahmada dengan kalimat bersayap. “Ada suara harimau, anjing melolong, para penduduk menyumbangkan berbagai suara seperti kambing, bahkan sapi, lalu dari mulut Bhayangkara ada yang menyumbangkan suara burung bence yang merupakan satu di antara banyak pilihan dalam berhubungan sandi dengan sesama Bhayangkara, lalu dari mulutmu keuar suara bururng hantu.”

Makin tegang wajah Singan Parepen, para Bhayangkara saling pandang.

“Pasukan Bhayangkara tidak menggunakan suara burung hantu untuk saling berhubungan. Suara burung hantu digunakan Panji Saprang saat berhubungan dengan telik sandi lain, yang rupanya telik sandi itu kau!”

Singan Parepen telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa jati dirinya telah terbongkar habis.

Apa yang kemudian terjadi sungguh berada di luar dugaan para Bhayangkara. Tiba-tiba saja Singa Parepen yang tersudut itu meloncat mendahului waktu yang dimiliki Bekel Gajahmada dan Bhayangkara yang lain menuju bilik tempat Jayanegara beristirahat. Sekali tending pintu bilik itu jebol, Singa Parepen menerobos masuk dan memanfaatkan waktu yang ada untuk meletakkan senjatanya ke leher Jayanegara yang berbaring berkemul sarung (Gajahmada, 2004 : 504).

Dengan Jayanegara di tangannya, Singa Parepen merasa telah menang. Untuk membawa Jayanegara ke kotaraja, Singa Parepen meminta disediakan kuda. Bila para Bhayangkara hendak menghalangi, Singa Parepen tidak

segan-segan membunuh Jayanegara. Gajahmada dan Bhayangkara tidak dapat bertindak apa-apa. Mereka menunggu waktu yang tepat untuk bergerak menyelamatkan Jayanegara.

Apa yang diyakini oleh Singa Parepen ternyata salah. Bukan Jayanegara yang berada di bawah ancaman pisaunya, orang itu adalah Pradhabasu yang menyamar dengan pakaian Jayanegara. Saat perhatian para Bhayangkara dan warga tersita oleh Gajahmada, Pradhabasu beringsut menjauh dan menuju ke bilik Jayanegara. Gajahmada dan Pradhabasu telah memperkirakan apa yang akan mata-mata Ra Kuti lakukan bila telah tersudut.

Saat Singa Parepen masih terpesona dengan kekagetannya, dengan gerakan yang sangat cepat, Pradhabasu menancapkan pisau di dada kiri Singa Parepen. Pisau khusus milik Bhayangkara adalah pisau yang ringan saja, tetapi sangat tajam. Pisau tersebut dengan tepat menancap di jantung Singa Parepen. Dengan kematian Singa Parepen, Gajahmada yakin masalah mata-mata Ra Kuti dalam tubuh Bhayangkara telah teratasi. Langkah selanjutnya adalah serangan balik untuk menggulingkan Ra Kuti.

Sikap waspada yang ditunjukkan oleh Gajahmada setelah menerima pengaduan Pradhabasu menunjukkan betapa cerdasnya Gajahmada. Gajahmada tidak dengan segera berpuas diri setelah mendengar laporan dari Lembang Laut bahwa Mahisa Kingkin lah mata-mata Ra Kuti. Gajahmada sendiri secara pribadi mengenal Mahisa Kingkin sebagai prajurit yang setia terhadap tanah airnya.

Pradhabasu sebagai prajurit Bhayangkara juga menunjukkan jiwa keadilan yang besar. Dengan berani ia menemui Gajahmada secara empat mata dan

mengungkapkan keraguannya. Bila Pradhabasu tidak berani mengungkapkan pemikirannya, Jayanegara yang sedang berada di bilik rumah lurah Kudadu dapat terancam nyawanya karena Bhayangkara belum benar-benar bersih dari pengkhianat.

Sandiwara yang dirancang Gajahmada dan Pradhabasu merupakan buah dari bentuk kepahlawanan yang mereka miliki. Sandiwara tersebut juga melibatkan Jayanegara secara tidak langsung. Pakaian yang dikenakan Pradhabasu merupakan pakaian Jayanegara, jadi secara tidak langsung Jayanegara terlibat dalam sandiwara pintar Gajahmada dan Pradhabasu.

Bentuk tersebut sesuai dengan Menurut Sri Mangkunegaran IV dalam Kamajaya (1984 : 55), bentuk kepahlawanan adalah cerminan dari watak seorang Kumbakarna yaitu pertama, jujur dan adil. Kedua, menjunjung tinggi negara. Ketiga, cinta tanah air. Sandiwara yang dipentaskan Gajahmada dan Pradhabasu tersebut membutuhkan keberanian yang besar. Pradhabasu yang menyamar menjadi Jayanegara menanggung resiko terbunuh oleh pisau Singa Parepen. Bila Singa Parepen berencana langsung menbunuh Jayanegara akibatnya Pradhabasu akan menjadi korban dari sandiwara berbahaya tersebut. Gajahmada juga menunjukkan keberanian yang besar dengan membuat sandiwara tersebut. Gajahmada dengan berani menggunakan Jayanegara sebagai umpan.

3.3.3 Kartika Sinumping Bergerilya

Langkah Gajahmada selanjutnya adalah memulai serangan balik ke kotaraja. Untuk itu Gajahmada mengandalkan Kartika Sinumping yang mendapat tugas mempersiapkan serangan balik. Setelah mendapat perintah dari Bekel

Gajahmada, tanpa membuang waktu, Kartika sinumping segera berangkat ke kotaraja. Sebelum menemui Mapatih Arya Tadah, Kartika Sinumping bergerilya untuk mencari informasi mengenai pergerakan Ra Kuti sekaligus membuat kesan Bhayangkara telah kembali ke kotaraja.

(88) Setelah Gelap malam tiba, Kartika Sinumping berhasil menyelinap pada jarak cukup dekat dengan alun-alun sambil bersembunyi di belakang tembok yang runtuh, sejenak kemudian, dari rentang gendewa yang ditekuk melengkung ke udara, lima panah berapi sekaligus membubung mnerobos ke udara dengan suara melengking. Nyala api yang berkobar di ujung warasta itu terlihat amat jelas dari beberapa penjuru. Suara melengking panah senderan yang amat khas itu menjadi petunjuk bagi siapa pun untuk menoleh mengarahkan pandangan. Bagi mereka yang kehilangan kesempatan menyaksikan anak panah memanjat langit itu tidak perlu merasa menyesal karena sejenak kemudian, lima anak panah berapi dengan suara sanderan melengking memanjat naik.

Berdebar-debar semua orang.

Mereka yang menangkap pesan bahwa Bhayangkara yang dalam beberapa hari lenyap sudah muncul kembali ke kotaraja (Gajahmada, 2004 : 517).

Kartika Sinumping meskipun sendirian dengan berani bergerilya di kotaraja. Selain membuat pertanda bahwa Bhayangkara telah kembali ke kotaraja, Kartika Sinumping juga membuat para prajurit pemberontak ketakutan. Tanpa ampun Kartika Sinumping membunuh beberapa prajurit pemberontak dengan anak panah.

Selain mencari informasi di kotaraja, Gajahmada juga memerintahkan Kartika Sinumping untuk membentuk pasukan bawah tanah yang terdiri dari orang-orang yang tidak setuju dengan tindakan makar Ra Kuti. Setelah bertemu dengan Mapatih Arya Tadah, Kartika Sinumping mendapati bahwa Arya Tadah

telah lebih dahulu membentuk pasukan tersebut. Segera Kartika Siumping menemui para prajurit bentukan Arya Tadah.

(89) Dari kegelapan muncul orang yang mendekatinya.

“Debu-debu berhamburan di malam gelap gulita,” terdengar sebuah sapa sandi.

“Ada gadis menangis meratapi kematian suami!” Kartika Sinumping menjawab sebagaimana petunjuk yang diberikan oleh Arya Tadah. Kalimat sandi telah berjawab dengan tepat, Kartika Sinumping merasa memperoleh hubungan dengan orang-orang yang telah disiapkan lebih dahulu oleh Arya Tadah. Gerakan meraka dan segala serangan gerilya lentur menyesuaikan diri dengan kekuatan, yaitu melalui serang dan lari, siapa menyangka irama serangan itu berasal dari ayunan tangan Arya Tadah dari tempat persembunyiannya. “Ikut aku,” sapa seseorang yang metampakkan diri.

Kartika Sinumping bergegas mengikutinya menuju pintu belakang, memasuki rumh yang ternyata merupakan tempat berkumpul orang-orang yang sebagian besar dikenalnya, sebagai dari mereka adalah perajurit dari kesatuan Jalapati yang telah ditinggalkan Rakrian Temenggung Banyak Sora. Wajah-wajah beku di ruangan itu menyebabkan Kartika Sinumping berdebar-debar. Wajah Lurah Prajurit Sindi Suramarta, Liman Prabowo, Simaring Japanan, Bramas Sindupati, Brajalama, Hayam Talun, Tabuh Gong, Panji Wiragati, dan yang menarik perhatiannya adalah keberadaan Gajahsari.

Senyap mereka berada di rumah itu meliha kemunculan Kartika Sinumping, salah seorang dari bagian Bhayangkara setelah beberapa hari lamanya Bhayangkara itu lenyap tidak ketahuan jejak dan kabarnya. Teka-teki keberadan Bhayangkara adalah juga teka-teki keselamatan Jayanegara.

“Tuanku Jayanegara berada di tempat yang aman,” Bhayangkara Kartika Sinumping langsung membuka pembicaraan. “Kakang Bekel Gajahmada dan para Bhayangkara yang lain mengawal Tuanku Baginda ke subuah tempat hingga diperoleh jaminan Ra Kuti tidak mungkin menjangkaunya. Bhayangkara kemudian akan kembali untuk merebut kekuasaan dari tangan Ra Kuti, sebagai cucuk lampah untuk itu, aku ditunjuk oleh Kakang Bekel Gajahmada dan Sri

Baginda untuk melampangkan jalan ke sana.” (Gajahmada, 2004 : 528,529)

Bersama para prajurit bentukan Arya Tadah tersebut, Kartika Sinumping memulai berbagai persiapan serangan balik yang direncanakan oleh Gajahmada. Pertama-tama, mereka akan membakar bangsal Jalapati dan Jala Rananggana. Dua bangsa prajurit yang mendukung Ra Kuti. Sebagai persiapan, Kartika Sinumpig telah membuat banyak anak panah berapi yang dibagian kepada para prajurit yang lain.

Gerakan kedua yang dilakukan oleh Kartika Sinumping adalah membuat jalan untuk serangan tersebut. dibantu prajurit bentukan Arya Tadah, Kartika Sinumpin membuat terowongan dari halaman rumah di sebelah wisma kepatihan yang nantinya akan tembus di dekat bilik Ra Kuti. Pekerjaan besar tersebut harus diselesaikan dalam waktu satu minggu dengan resiko yang sangat besar.

Langkah awal yang dirintis oleh Kartika Sinumping merupakan salah satu langkah kunci dalam menggulingkan Ra Kuti. Jalan terowongan sampai ke bilik Ra Kuti yang digali Kartika Sinumping dengan dibantu para prajurit bentukan Arya Tadah menjadi jalan langsung dalam menangkap otak pemberontakan Dharmaputra Winehsuka, Ra Kuti.

Kerja keras tanpa lelah Kartika Sinumping merupakan gambaran bentuk kepahlawanan cinta tanah air. Bentuk kepahlawanan ini berkaitan dengan Teori Mangkunegaran IV tentang watak seorang Kumbakarna, yaitu keyakinan untuk berkorban jiwa dan raga demi keutuhan negara.