PERBEDAA
BERDASARKA
Dia
PROGRAM STU
UN
i
AAN PERFORMANSI KERJA KARY
KAN GAYA KEPEMIMPINAN SITU
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Lidia Widya Kuncaraningtyas 079114086
STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
NIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2012
YAWAN
TUASIONAL
ii
SKRIPSI
PERBEDAAN PERFORMANSI KERJA KARYAWAN
BERDASARKAN GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL
Oleh:
Lidia Widya Kuncaraningtyas 079114086
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing,
iii
SKRIPSI
PERBEDAAN PERFORMANSI KERJA KARYAWAN
BERDASARKAN GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL
Dipersiapkan dan ditulis oleh: Lidia Widya Kuncaraningtyas
079114086
Telah dipertahankan di depan panitia penguji Pada tanggal 17 Januari 2012
Dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji:
Nama lengkap Tanda
Tangan
P. Henrietta PDADS., M.A. Drs. H. Wahyudi, M.Si Dewi Soerna A., M.Psi.
Yogyakarta, Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Dekan
iv
Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda
Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta,20 Februari 2012 Penulis
vi
PERBEDAAN PERFORMANSI KERJA KARYAWAN BERDASARKAN GAYA KEPEMIMPINAN SITUASIONAL
Lidia Widya Kuncaraningtyas
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan performansi kerja karyawan berdasarkan gaya kepemimpinan situasional. Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan performansi kerja karyawan berdasarkan gaya kepemimpinan situasional. Subyek dalam penelitian ini adalah karyawan bagian produksi berusia 25-51 tahun. Alat pengumpul data yang digunakan terdiri dari Skala Perilaku Tugas, Skala Perilaku Hubungan, Skala Kematangan Karyawan, dan Skala Performansi Kerja karyawan. Skala Perilaku Tugas telah melalui proses try-out sehingga didapatkan 7 item dengan koefisien reliabilitas alpha sebesar 0.717. Skala Perilaku Hubungan telah melalui proses try-out sehingga didapatkan 10 item dengan koefisien reliabilitasalpha sebesar 0.776. Skala Kematangan Karyawan telah melalui proses try-out sehingga didapatkan 7 item dengan koefisien reliabilitas alpha sebesar 0.732. Skala Performansi Kerja Karyawan telah melalui proses try-out sehingga didapatkan 25 item dengan koefisien reliabilitas alpha sebesar 0.748. Hasil gaya kepemimpinan situasional dapat diperoleh dengan melihat hubungan antara hasil skala perilaku tugas, perilaku hubungan dan kematangan karyawan. Hasil penelitian menggunakan metode analisis data independent t-test. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara performansi kerja karyawan berdasarkan gaya kepemimpinan situasional efektif dengan tidak efektif. Hal ini ditunjukkan dengan mean performansi kerja karyawan berdasarkan gaya kepemimpinan situasional efektif sebesar 77.23. Sedangkan mean performansi kerja karyawan berdasarkan gaya kepemimpinan situasional tidak efektif sebesar 57.41 Hasil Uji T terhadap mean performansi kerja karyawan berdasarkan gaya kepemimpinan situasional efektif dan tidak efektif menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara performansi kerja karyawan berdasarkan gaya kepemimpinan situasional efektif dan tidak efektif dengan nilai signifikansi sebesar 0.000. Maka dapat dikatakan bahwa hipotesis dari penelitian ini diterima.
vii
PERFORMANCE DIFFERENCES FOR EMPLOYEES UNDER THE LEADERSHIP STYLE SITUATIONAL
Lidia Widya Kuncaraningtyas ABSTRACT
This study aims to determine whether there was differences in employee performance style based on situational leadership. The hypothesis in this study was that there are differences in job performance of employees based on situational leadership style. Subjects in this study were part of the production employees aged 25-51 years. Data collection tool that is used consist of Task Behavior Scale, Scale Behavior Relations, Employee Maturity Scale, and Work Performance Scale employees. Task Behavior Scale has been through the process of try-outs so we get 7 items with an alpha reliability coefficient for 0717. Behavior Scale Relationships have been through the process of try-outs so we get 10 items with an alpha reliability coefficient for 0776. Maturity Scale Employees have gone through the process of try-outs so we get 7 items with an alpha reliability coefficient for 0732. Employee Performance Scale have been through the process of try-outs so we get 25 items with an alpha reliability coefficient for 0748. The results of the situational leadership style can be obtained by looking at the relationship between the scale of the task behavior, behavior and maturity of employee relations. The results of data analysis used independent t-test. The results showed that there are significant differences between employees' performance based on situational leadership style effective with ineffective. It was indicated by the mean performance of the employee based on an effective situational leadership style of 77.23. While the mean performance of employees based on situational leadership style was not effective at 57.41 T Test Results from the mean performance of employees based on situational leadership style effective and ineffective suggested that there was significant differences between the performance of employees' situational leadership style based on effective and ineffective with the significance of 0000. It can be said that the hypothesis of this research is received.
.
viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Lidia Widya Kuncaraningtyas
Nomor Mahasiswa : 079114086
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Perbedaan Performansi Kerja Berdasarkan Gaya Kepemimpinan
Situasional
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 21 Januari 2012
Yang menyatakan,
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan rahmatnya
kepada penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Oleh
karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ch. Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi
2. Titik Kristiyani, M. Psi selaku Kaprodi Fakultas Psikologi
3. P. Henrietta PDADS., S.Psi., MA. selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. V. Didik Suryo Hartoko, S. Psi., M. Si. selaku dosen pembimbing
akademik yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Drs. H. Wahyudi, M.Si. selaku dosen penguji.
6. Dewi Soerna A., M.Psi. selaku dosen penguji.
7. Bapak Ibu dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmu dan
pengetahuannya selama penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
8. Segenap karyawan Fakultas Psikologi (Mas Gandung, Bu Nanik, Mas
Muji, Mas Doni, dan Pak Gie), terimakasih atas kerjasama yang diberikan
untuk kelancaran studi penulis di Fakultas Psikologi.
9. Ibu Ida, Ibu Ely, dan Ibu Vitri dari PT Coca Cola Amatil atas
kerjasamanya sehingga penulis dapat menyebarkan skala untuk para
karyawan.
10. Bapak, Ibu, Mas Wisnu, Mas Widi, Mbak Rini, Jevan, Joice yang selalu
x
11. Mas Uly yang selalu menemani dan mendoakan.
12. Dena, Intan, Yani, Cicil, Putri, Galih dan teman-teman yang lain.
Terimakasih untuk bantuan, sharing, humor dan dukungannya.
13. Semua pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Terimakasih untuk segalanya.
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……...………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ………...………. iii
HALAMAN MOTTO ………... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ………. iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. v
ABSTRAK ………. vi
ABSTRACT ………... vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ……… viii
KATA PENGANTAR ……… ix
DAFTAR ISI ……….. xi
DAFTAR GAMBAR ………. xv
DAFTAR TABEL ………. xvi
DAFTAR lAMPIRAN ……….. xvii
BAB I PENDAHULUAN ………... 1
A. Latar Belakang Masalah ………... 1
B. Rumusan Masalah ……….. 5
C. Tujuan Penelitian ……… 6
xii
BAB II LANDASAN TEORI ………... 7
A. Pendekatan Kepemimpinan Situasional ……… 7
1. Definisi Kepemimpinan ………. 7
2. Kepemimpinan Situasional ……… 9
3. Tipe atau Bentuk Kepemimpinan Situasional ………..……. 10
B. Performansi Kerja ……….. 16
1. Definisi Performansi Kerja ……… 16
2. Aspek Performansi Kerja ……….. 17
3. Metode Penilaian Performansi Kerja ………. 18
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Performansi Kerja .……….... 24
C. Dinamika Perbedaan Performansi Kerja Karyawan Berdasarkan Gaya Kepemimpinan Situasional ……..……….. 26
D. Hipotesis ………. 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….. 29
A. Jenis Penelitian ……….. 29
B. Variabel Penelitian ……… 29
C. Definisi Operasional ………. 29
1. Kepemimpinan situasional ……… 29
2. Performansi kerja ……….. 30
D. Subyek Penelitian ……….. 31
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ……… 31
1. Skala Performansi Kerja Karyawan ……….. 32
xiii
a. Skala Perilaku Hubungan ……… 35
b. Skala Perilaku Tugas ……….. 36
c. Skala Kematangan Karyawan ……… 38
F. Validitas dan Reliabilitas ………. 39
1. Validitas ……… 39
2. Seleksi Item ……….. 39
3. Reliabilitas ……… 43
G. Metode Analisis Data ………... 44
1. Uji Asumsi ……… 44
a. Normalitas ……… 45
b. Uji Homogenitas ………... 45
2. Uji Hipotesis ………. 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 46
A. Pelaksanaan Penelitian ………. 46
B. Deskripsi Subyek ………... 47
C. Deskripsi Data Penelitian ………. 47
1. Deskripsi Data Perilaku Tugas ………. 47
2. Deskripsi Data Perilaku Hubungan ……….. 48
3. Deskripsi Data Kematangan Karyawan ……… 49
D. Hasil Analisis Penelitian ……….. 50
1. Uji Asumsi ………... 50
a. Uji Normalitas ……….. 50
xiv
2. Uji Hipotesis ……… 52
a. Perolehan Skor Masing-masing Komponen Kepemimpinan Situasional ………. 52
b. Perolehan Skor Kepemimpinan Situasional ……….. 54
c. Uji Beda ……….. 56
E. Pembahasan ……… 58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 61
A. Kesimpulan ………. 61
B. Keterbatasan Penelitian ………. 61
C. Saran ……….. 62
DAFTAR PUSTAKA ……… 64
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Grafik Gaya Kepemimpinan Situasional ……… 14
Gambar 2. Skema Perbedaan Performansi Kerja Karyawan Berdasarkan
Gaya Kepemimpinan Situasional ……….……… 28
Gambar 3. Sebaran Data Gaya Kepemimpinan Situasional ………. 54
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.Blue PrintSkala Performansi Kerja ……….………. 33
Tabel 2.Blue PrintSkala Perilaku Hubungan ……… 35
Tabel 3.Blue PrintSkala Perilaku Tugas ………... 36
Tabel 4.Blue PrintSkala Kematangan Karyawan ……….…. 38
Tabel 5. Skala Performansi Kerja Karyawan Sesudah Uji Coba ……….... 41
Tabel 6. Skala Perilaku Hubungan Sesudah Uji Coba ……….……… 42
Tabel 7. Skala Perilaku Tugas Sesudah Uji Coba ……….…….. 42
Tabel 8. Skala Kematangan Karyawan Sesudah Uji Coba ……….. 43
Tabel 9. Deskripsi Data Usia Subyek ……… 47
Tabel 10. Deskripsi Data Masa Kerja Subyek ……….. 47
Tabel 11. Data Teoritis dan Empirik Skala Perilaku Tugas ………. 48
Tabel 12. Data Teoritis dan Empirik Skala Perilaku Hubungan ……….. 48
Tabel 13. Data Teoritis dan Empirik Skala Kematangan Karyawan ……… 49
Tabel 14. Hasil Uji Normalitas ………. 50
Tabel 15. Hasil Homogenitas ……… 51
Tabel 16. Hubungan Gaya Kepemimpinan Situasional dengan Kematangan Karyawan ……… 55
Tabel 17. Hasil Uji Beda Mean Data Performansi kerja karyawan Berdasarkan Gaya Kepemimpinan Situasional Efektif ………. 56
Tabel 18. Hasil Uji Beda Mean Data Performansi kerja karyawan Berdasarkan Gaya Kepemimpinan Situasional Tidak Efektif ………... 56
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.1. Skala Perilaku Tugas Sebelum Uji Coba ………. 66
Lampiran 1.2. Skala Perilaku Hubungan Sebelum Uji Coba ……….. 67
Lampiran 1.3. Skala Kematangan Karyawan Sebelum Uji Coba ……… 68
Lampiran 1.4. Skala Performansi Kerja Karyawan Sebelum Uji Coba ………….. 69
Lampiran 1.5. Skala Perilaku Tugas Sesudah Uji Coba ………. 71
Lampiran 1.6. Skala Perilaku Hubungan Sesudah Uji Coba ……….. 72
Lampiran 1.7. Skala Kematangan Karyawan Sesudah Uji Coba……… 73
Lampiran 1.8. Skala Performansi Kerja Karyawan Sesudah Uji Coba ………….. 74
Lampiran 2.1. Reliabilitas Skala Perilaku Tugas ………….……….. 76
Lampiran 2.2. Reliabilitas Skala Perilaku Hubungan ……… 78
Lampiran 2.3. Reliabilitas Skala Kematangan Karyawan ………. 79
Lampiran 2.4. Reliabilitas Skala Performansi Kerja Karyawan ……… 82
Lampiran 3.1. Data Skala Perilaku Tugas ……….. 85
lampiran 3.2. Data Skala Perilaku Hubungan ………..…... 87
Lampiran 3.3. Data Skala Kematangan Karyawan ……… 89
Lampiran 3.4. Data Skala Performansi Kerja Karyawan ……….. 91
Lampiran 4.1. Uji Normalitas Skala Perilaku Tugas ………. 95
Lampiran 4.2. Uji Normalitas Skala Perilaku Hubungan ………. 96
Lampiran 4.3. Uji Normalitas Skala Kematangan Karyawan ……….. 97
Lampiran 4.4. Uji Normalitas Skala Performansi Kerja Karyawan ………. 99
xviii
Lampiran 5.2. Uji T Skala Perilaku Hubungan ………. 101
Lampiran 5.3. Uji T Skala Kematangan Karyawan ……….. 102
Lampiran 5.4. Uji T Skala Performansi Kerja Karyawan Berdasarkan Gaya
Kepemimpinan Situasional Efektif ……… 103
Lampiran 5.5. Uji T Skala Performansi Kerja Karyawan Berdasarkan Gaya
Kepemimpinan Situasional Tidak Efektif ………. 104
Lampiran 6. Hasil Hubungan Gaya Kepemimpinan Situasional dan
Kematangan Karyawan ……….. 105
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang sangat
menentukan bagi keberhasilan atau kegagalan organisasi atau perusahaan
dalam mencapai tujuan (Sudarmanto,2009). Sebuah perusahaan yang memiliki
pekerja dengan performansi kerja atau kinerja yang tinggi akan lebih
maksimal dalam mencapai tujuan perusahaannya dibandingkan dengan
perusahaan yang memiliki karyawan dengan performansi kerja atau kinerja
yang rendah.
Performansi kerja atau kinerja merujuk pada 2 hal yaitu hasil dan
perilaku. Kinerja yang merujuk pengertian sebagai hasil menyatakan bahwa
kinerja merupakan hasil yang diproduksi (dihasilkan) atas fungsi pekerjaan
tertentu atau aktivitas-aktivitas selama periode waktu tertentu. (Bernadin,
dalam Sudarmanto, 2009). Sedangkan bagi kinerja yang merujuk pada
pengertian sebagai perilaku, (Murphy, dalam Sudarmanto 2009) menyatakan
bahwa kinerja merupakan seperangkat perilaku yang relevan dengan tujuan
organisasi atau unit organisasi tempat orang bekerja.
Ada empat faktor yang dapat mempengaruhi performansi kerja/ kinerja
seseorang (Prawirosentono, dalam Sudarmanto 2009). Faktor yang pertama
adalah Efektivitas dan Efisiensi. Dalam hubungannya dengan kinerja
efisiensi. Masalahnya adalah bagaimana proses terjadinya efisiensi dan
efektivitas organisasi. Dikatakan efektif apabila mencapai tujuan. Dikatakan
efisien bila hal itu memuaskan sebagai pendorong mencapai tujuan, terlepas
apakah efektif atau tidak. Faktor yang kedua adalah otoritas dan tanggung
jawab. Dalam organisasi baik wewenang dan tanggung jawab telah
didelegasikan dengan baik, tanpa adanya tumpang tindih tugas. Masing-masing
karyawan yang ada dalam organisasi mengetahui apa yang menjadi hak dan
tanggung jawabnya dalam rangka mencapai tujuan organisasi (Prawirosentono,
dalam Sudarmanto 2009).
Faktor ketiga adalah disiplin, Secara umum, disiplin menunjukkan suatu
kondisi atau sikap hormat yang ada pada diri karyawan terhadap peraturan dan
ketetapan perusahaan. Disiplin meliputi ketaatan dan hormat terhadap perjanjian
yang dibuat antara perusahaan dan karyawan. Dengan demikian, bila peraturan
atau ketetapan yang ada dalam perusahaan itu sering diabaikan atau dilanggar,
maka karyawan memiliki disiplin yang buruk. Faktor yang keempat adalah
Inisiatif. Inisiatif seseorang berkaitan dengan daya pikir, kreativitas dalam
bentuk ide untuk merencanakan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan
organisasi. Setiap inisiatif sebaiknya mendapat perhatian atau tanggapan positif
dari atasan, kalau memang dia atasan yang baik. (Prawirosentono, dalam
Sudarmanto 2009).
Dari keempat faktor tersebut tampak bahwa pemimpin atau atasan
memiliki peran yang cukup besar dalam kinerja karyawan. Pemimpin adalah
organisasi. Seorang pemimpin harus dapat menciptakan hubungan kerja yang
harmonis, baik antara sesama karyawan, maupun antara atasan dengan
bawahan. Kepemimpinan (leadership) menurut Robbins (dalam Sudarmanto,
2009) adalah Kemampuan mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian
tujuan. Sementara Griffin dan Ebert (dalam Sudarmanto, 2009) memberikan
definisi kepemimpinan sebagai berikut: kepemimpinan adalah suatu proses
untuk memotivasi orang lain untuk bekerja memenuhi tujuan-tujuan yang
spesifik. Definisi kepemimpinan tersebut menyatakan secara tidak langsung
bahwa kepemimpinan menyangkut penggunaan pengaruh dan hubungan
interpersonal untuk mempengaruhi perilaku dan kinerja pengikut, dan yang
terakhir memfokuskan dalam pencapaian tujuan.
Model kepemimpinan situasional adalah pendekatan kepemimpinan
yang menganjurkan agar pemimpin memahami perilakunya sendiri. Para
manajer sering mengeluh bahwa teori-teori ilmiah tidak bisa membantu
mereka menjadi lebih baik dalam pekerjaan mereka, baik di lini produksi, atau
di kantor. Mereka menginginkan sesuatu yang bisa mereka gunakan dan
mereka aplikasikan. Hersey dan Blanchard (dalam Ivancevich, 2005) telah
mengembangkan model kepemimpinan situasional yang diyakini sesuai untuk
kebanyakan manajer. Manajer pada perusahaan besar maupun kecil telah
menggunakan model kepemimpinan situasional dan sangat mendukung
kegunaannya. Terdapat empat model kepemimpinan situasional yaitu; 1)
Model Kontingensi Fiedler; 2) Vroom, Yetton dan Jago; 3) Model Path Goal
model situasional ini memiliki beberapa persamaan, yaitu; terfokus pada
dinamika kepemimpinan, mendorong dilakukannya penelitian dalam bidang
kepemimpinan dan tetap kontroversial karena adanya masalah pengukuran,
pengujian riset terbatas dan hasil penelitian yang kontradiktif. Terlepas dari
peringatan mengenai keterbatasn riset dan fleksibilitas pemimpin, kebanyakan
manajer menyukai model kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard.
Model ini dianggap bermakna, praktis dan berguna dalam melatih manajer
untuk berpikir dan bertindak sebagai seorang pemimpin. (Ivancevich, 2005)
Kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard didasarkan atas
hubungan antara kadar bimbingan dan arahan (perilaku tugas) yang diberikan
pemimpin; kadar dukungan sosioemosional (perilaku hubungan) yang
disediakan pemimpin; dan level kesiapan (“kematangan”) yang diperlihatkan
pengikut dalam pelaksanaan tugas, fungsi, atau tujuan tertentu. Konsep ini
dikembangkan untuk membantu orang-orang yang melakukan proses
kepemimpinan tanpa mempersoalkan peran mereka, agar lebih efektif dalam
hubungan mereka sehari-hari dengan orang lain. Konsep ini menjelaskan
hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan level kematangan
para pengikut, bagi para pemimpin. (Hersey dan Blanchard, 1982).
Maka kepemimpinan situasional adalah perilaku pemimpin yang
didasarkan atas hubungan antara kadar bimbingan dan arahan yang diberikan
pemimpin, kadar dukungan sosioemosional dan kematangan anggota
kelompok. Menurut kepemimpinan situasional, tidak ada satu cara terbaik
harus diterapkan seseorang tehadap orang-orang atau sekelompok orang
bergantung pada level kematangan dari orang-orang yang akan dipengaruhi
pemimpin. (Hersey dan Blanchard, 1982)
Kepemimpinan situasional dikatakan efektif apabila gaya
kepemimpinan situasional yang diterapkan sesuai dengan kematangan
karyawan. Gaya kepemimpinan situasional yang sesuai bagi keempat level
kematangan itu adalah rendah (M1), rendah ke sedang (M2), sedang ke tinggi
(M3), dan tinggi (M4), berhubungan dengan masing-masing gaya
kepemimpinan telling, selling, participating, delegating. (Hersey dan
Blanchard, 1982)
Seorang pemimpin yang baik akan mampu menempatkan dirinya pada
posisi yang tepat dalam menyikapi situasi yang dimiliki oleh para
pengikutnya. Hal tersebut dapat memberikan dampak positif terhadap iklim
kerja yang ada dalam organisasi yang dipimpinnya. Bila seorang pemimpin
dapat menciptakan iklim yang baik bagi karyawannya maka karyawannya pun
akan merasa termotivasi untuk menunjukkan performansi atau kinerja yang
lebih baik (Lensufiie, 2010).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan oleh peneliti tersebut
maka dapat dirumuskan permasalahan yang hendak diteliti, yaitu apakah
terdapat perbedaan performansi kerja berdasarkan gaya kepemimpinan
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui ada atau tidaknya
perbedaan performansi kerja karyawan berdasarkan gaya kepemimpinan
situasional atasan.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Manfaat penelitian secara teoritis adalah memberi sumbangan
pemikiran dalam ilmu psikologi, khususnya psikologi industri organisasi
untuk menjelaskan performansi kerja dan gaya kepemimpinan situasional.
2. Praktis
Manfaat penelitian ini secara praktis adalah sebagai bahan evaluasi dan
refleksi baik bagi pemimpin maupun karyawan sehingga dapat digunakan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pendekatan Kepemimpinan Situasional
1. Definisi Kepemimpinan
Kepemimpinan sudah lama menjadi pusat perhatian para ahli
manajemen. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak kasus terjadi yang bisa
menjadi bukti bahwa masalah kepemimpinan mempunyai pengaruh besar
dalam perjalanan suatu organisasi. Seorang pemimpin dapat membawa
suatu organisasi ke dalam keberhasilan atau kehancuran. Pemimpin yang
sukses mempunyai visi jauh ke depan dan mampu mengantisipasi
perubahan, mampu memanfaatkan kesempatan, mampu
mengkomunikasikan visi yang dimiliki untuk bisa memotivasi pengikut
mereka mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi, mampu
mengoreksi kinerja yang buruk, dan mampu mendorong organisasi ke arah
sasarannya.
Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa banyak sekali definisi
mengenai kepemimpinan. Hal ini dikarenakan banyak sekali orang yang
telah mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan tersebut. Namun
demikian, semua definisi kepemimpinan yang ada mempunyai beberapa
unsur yang sama. Menurut Sarros dan Butchatsky (dalam Sudarmanto
2009)), kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan
tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok
untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan
manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (dalam
Sudarmanto 2009)), kepemimpinan berarti menggunakan kekuatan untuk
mempengaruhi pikiran dan tindakan orang lain sedemikian rupa sehingga
mencapai performansi kerja yang tinggi.
Kepemimpinan (leadership) menurut Robbins (dalam Sudarmanto
2009) adalah kemampuan mempengaruhi suatu kelompok ke arah
pencapaian tujuan. Sementara Griffin dan Ebert (dalam Sudarmanto 2009)
memberikan definisi kepemimpinan sebagai suatu proses untuk
memotivasi orang lain untuk bekerja memenuhi tujuan-tujuan yang
spesifik. Hal serupa diungkapkan pula oleh Amstrong (2003) yang
menyatakan kepemimpinan adalah proses memberi inspirasi kepada semua
karyawan agar bekerja sebaik-baiknya untuk mencapai hasil yang
diharapkan. Kepemimpinan adalah cara mengajak karyawan agar
bertindak benar, mencapai komitmen, dan memotivasi mereka untuk
mencapai tujuan bersama.
Dari definisi-definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan adalah suatu proses untuk memberi motivasi dan inspirasi
bagi karyawan untuk bekerja dengan benar dan sebaik-baiknya sehingga
dapat mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan
2. Kepemimpinan Situasional
Kepemimpinan situasional didasarkan atas hubungan antara kadar
bimbingan dan arahan (perilaku tugas) yang diberikan pemimpin; kadar
dukungan sosioemosional (perilaku hubungan) yang disediakan pemimpin;
dan level kesiapan (kematangan) yang diperlihatkan pengikut dalam
pelaksanaan tugas, fungsi, atau tujuan tertentu. Konsep ini dikembangkan
untuk membantu orang-orang yang melakukan proses kepemimpinan
tanpa mempersoalkan peran mereka, agar lebih efektif dalam hubungan
mereka sehari-hari dengan orang lain konsep ini menjelaskan hubungan
antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan level kematangan para
pengikut, bagi para pemimpin. (Hersey dan Blanchard, 1982).
Fokus dalam pendekatan situasional terhadap kepemimpinan
adalah pada perilaku yang dapat diamati, tidak pada suatu kemampuan
atau potensi kepemimpinan yang secara hipotetis dibawa sejak lahir atau
diperoleh. Penekanan pendekatan tersebut adalah pada perilaku para
pemimpin dan anggota kelompok mereka (pengikut)dan berbagai situasi.
Dengan penekanan pada perilaku dan lingkungan ini, dorongan akan lebih
diarahkan pada kemungkinan untuk melatih orang-orang dalam upaya
mengadaptasi gaya perilaku pemimpin dalam berbagai situasi. Oleh karena
itu diyakini bahwa orang-orang pada umumnya dapat meningkatkan
efektivitas peranan kepemimpinan mereka melalui pendidikan, pelatihan,
dan pengembangan (education, training, and development)(Hersey dan
Penekanan kepemimpinan situasional diletakkan pada perilaku
pemimpin dalam hubungannya dengan pengikut (Hersey dan Blanchard,
1982). Sanford (dalam Hersey dan Blanchard, 1982) telah menunjukkan
adanya pembenaran penekanan pada pengikut sebagai faktor yang paling
penting dalam setiap kejadian kepemimpinan. Para pengikut adalah vital
dalam situasi apapun, tidak hanya karena secara individual mereka
menolak atau menerima pemimpin, tetapi juga karena sebagai kelompok
mereka secara actual menentukkan kuasa pribadi (personal power) yang
dapat dimiliki pemimpin.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan
situasional adalah perilaku pemimpin yang didasarkan atas hubungan
antara kadar bimbingan dan arahan yang diberikan pemimpin, kadar
dukungan sosioemosional dan kematangan anggota kelompok.
3. Tipe atau Bentuk Kepemimpinan Situasional
Menurut kepemimpinan situasional, tidak ada satu cara terbaik
untuk mempengaruhi perilaku orang-orang. Gaya kepemimpinan mana
yang harus diterapkan seseorang terhadap orang-orang atau sekelompok
orang bergantung pada level kematangan dari orang-orang yang akan
dipengaruhi pemimpin. Masing-masing dari keempat gaya kepemimpinan
itu adalah; memberitahukan (telling), menjajakan (selling),
mengikutsertakan (participating), dan medelegasikan (delegating).
1. Memberitahukan (telling) adalah bagi tingkat kematangan yang
rendah. Orang-orang yang tidak mampu dan tidak mau memikul
tanggung jawab untuk melakukan sesuatu adalah tidak kompeten atau
tidak yakin. Dalam banyak hal, ketidakmauan mereka adalah karena
ketidakyakinan mereka dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas
tertentu. Dengan demikian, gaya “memberitahukan” yang direktif yang
menyediakan arahan dan supervisi yang spesifik dan jelas memiliki
kemungkinan efektif paling tinggi dengan orang-orang berada pada
level kematangan seperti itu. Gaya ini diacu sebagai
“memberitahukan” karena dicirikan oleh perilaku pemimpin yang
menetapkan peranan dan memberitahu orang-orang tentang apa,
bagaimana, kapan dan dimana melakukan berbagai tugas. Terlalu
banyak perilaku suportif tehadap orang-orang pada level kematangan
seperti itu boleh jadi dipandang sebagai permisif, gampangan dan yang
paling penting lagi adalah sebagai perilaku yang memperkenankan
adanya prestasi jelek. Dalam gaya ini terdapat perilaku tinggi tugas dan
rendah hubungan.
2. Menjajakan (selling) adalah bagi tingkat kematangan rendah ke
sedang. Orang-orang yang tidak mampu tetapi mau memikul tanggung
jawab untuk melakukan sesuatu tugas adalah yakin tetapi kurang
memiliki ketrampilan pada saat sekarang. Dengan demikian gaya
selling yang menyediakan perilaku direktif , karena mereka kurang
antusias mereka merupakan gaya yang paling sesuai dengan
orang-orang yang berada pada level kematangan ini. Gaya ini disebut sebagai
selling karena pemimpinannya masih menyediakan hampir seluruh
arahan. Tetapi, melalui komunikasi dua arah dan penjelasan, pemimpin
berusaha secara psikologis pengikut turut andil dalam perilaku yang
diinginkan. Para pengikut pada level kematangan ini biasanya akan
menyetujui suatu keputusan apabila mereka memahami alasan adanya
keputusan itu dan apabila pemimpin mereka juga menawarkan bantuan
dan arahan. Dalam gaya ini terdapat perilaku yang tinggi tugas dan
tinggi hubungan.
3. Mengikutsertakan (participating) adalah bagi tingkat kematangan
sedang ke tinggi. Orang-orang pada tingkat kematangan ini mampu
tetapi tidak mau melakukan hal-hal yang diinginkan pemimpin.
Ketidakmauan mereka seringkali karena kurang yakin atau tidak
merasa aman. Tetapi, apabila mereka kompeten namun tidak mau,
keengganan mereka lebih merupakan masalah motivasi. Terhadap
bawahan pada tingkat kematangan ini perlu membuka saluran
komunikasi dua arah untuk mendukung upaya pengikut dalam
menggunakan kemampuan yang telah mereka miliki. Dengan
demikian, gaya partisipatif yang suportif dan tidak direktif memiliki
kemungkinan efektif paling tinggi dengan orang-orang pada tingkat
kematangan ini. Gaya ini disebut participating karena pemimpin dan
sedangkan peranan pemimpin yang utama dalam gaya ini adalah
memudahkan dan berkomunikasi. Gaya ini terdapat perilaku tinggi
hubungan dan rendah tugas.
4. Mendelegasikan (delegating) adalah bagi tingkat kematangan tinggi.
Orang-orang dengan tingkat kematangan seperti ini adalah mampu dan
mau atau yakin untuk memikul tanggung jawab. Dengan demikian
gayadelegating yang berprofil rendah, yang menyediakan arahan atau
dukungan yang rendah, memiliki kemungkinan efektif paling tinggi
dengan orang-orang yang berada pada level kematangan tinggi.
Meskipun pemimpin boleh jadi masih mengidentifikasi masalah, tetapi
tanggung jawab untuk melaksanakan rencana diberikan pada para
pengikut yang matang. Mereka diperkenankan melaksanakan sendiri
pekerjaan dan memutuskan ikhwal bagaimana, bilamana, dan dimana
pelaksanaan pekerjaan itu. Pada saat yang sama, mereka secara
psikologis matang dan karenanya tidak membutuhkan kadar
komunikasi dua arah atau perilaku suportif di atas rata-rata. Dalam
Gambar 1: Grafik Gaya
Sumber: http://dhtw.tc
Gamba
berkaitan deng
pada saat peng
matang. Gaya
kematangan te
yang bergerak
lonceng itu di
kepemimpinan
berkaitan. (He
ar 1:
Gaya Kepemimpinan Situasional
.tce.rmit.edu.au/MPMwebs/Lachlan/Leader1.g
bar 1 menggambarkan hubungan antara ke
ngan tugas dengan gaya kepemimpinan yang se
pengikut bergerak dari keadaan tidak matang ke
ya kepemimpinan yang sesuai (gaya pemim
tertentu dari pengikut digambarkan dengan kur
rak melalui keempat kuadran kepemimpinan. K
disebut kurve perspektif karena hal ini menunj
nan yang sesuai langsung di atas level ke
Hersey dan Blanchard, 1982).
1.gif
kematangan yang
g sesuai diterapkan
ke level yang lebih
impin) bagi level
n kurve perspektif
n. Kurve berbentuk
enunjukkan gaya
Kepemimpinan situasional dikatakan efektif apabila gaya
kepemimpinan situasional yang diterapkan sesuai dengan kematangan
karyawan. Ada empat level kematangan karyawan, yaitu; rendah (M1), rendah
ke sedang (M2), sedang ke tinggi (M3), dan tinggi (M4). Keempat level
kematangan tersebut berhubungan dengan masing-masing gaya
kepemimpinan, dimana M1 berhubungan dengan telling, M2 berhubungan
dengan selling, M3 berhubungan dengan participating,dan M4 berhubungan
dengandelegating.(Hersey dan Blanchard, 1982)
Secara spesifik dapat dikatakan bahwa apabila kematangan karyawan
berada pada level rendah (M1) maka kepemimpinan situasional dikatakan
efektif apabila pemimpin menunjukkan perilaku tugas yang tinggi dan
perilaku hubungan yang rendah (S1). Sedangkan bila kematangan karyawan
berada pada level rendah ke sedang (M2) maka kepemimpinan situasional
dapat dikatakan efektif apabila pemimpin menunjukkan perilaku tugas tinggi
dan perilaku hubungan tinggi (S2) (Hersey dan Blanchard, 1982).
Selanjutnya, jika kematangan karyawan berada pada level sedang ke
tinggi (M3) maka kepemimpinan situasional dikatakan efektif bila pemimpin
menunjukkan perilaku hubungan tinggi dan perilaku tugas rendah (S3).
Apabila kematangan karyawan berada pada level kematangan tinggi (M4)
maka kepemimpinan situasional dikatakan efektif jika pemimpin
menunjukkan perilaku hubungan dan perilaku tugas yang rendah (S4) (Hersey
B. Performansi Kerja
1. Definisi Performansi Kerja
Dalam kamus Psikologi, performansi sendiri didefinisikan sebagai
sebuah tingkah laku yang membuahkan suatu hasil. Hal ini dikhususkan
pada tingkah laku yang dapat mengubah lingkungan dengan cara-cara
tertentu (Chaplin, 2000).
Sedangkan menurut pandangan Szilagyi dan Wallace (1980),
performansi merupakan kunci andalan atau prediktor pengukuran
terhadap kerangka kerja dari seorang pekerja. Dalam hal ini
performansi disajikan sebagai alat untuk menilai keefektifan dari
individu, kelompok dan organisasi. Selanjutnya kedua pakar ini
menjelaskan bahwa performansi merupakan fungsi perilaku dari para
pekerja dan perilaku tersebut ditetapkan oleh level kerja keras para pekerja
dan kemampuannya.
Benardin & Joyce (1993) berpendapat, performansi merupakan
catatan dari keseluruhan hasil pada fungsi kerja tertentu atau aktivitas
selama periode waktu tertentu. Meskipun performansi kerja/kinerja
individu tergantung pada kombinasi dari ability (kemampuan), effort
(usaha) dan opportunity (kesempatan), akan tetapi performansi dapat
diukur melalui ketentuan-ketentuanoutcomes/hasilyang di produksi.
Hal serupa diungkapkan juga oleh Russel (Suhartanto, 2003) yang
yang diproduksi pada suatu fungsi pekerjaan yang spesifik dalam periode
atau waktu tertentu. Pengertian ini menunjukkan bahwa kesuksesan
individu dalam melakukan pekerjaannya tidak dapat disamakan dengan
individu lain. Kesuksesan ini didasarkan pada ukuran yang berlaku dan
disesuaikan dengan jenis pekerjaannya.
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
performansi kerja adalah alat ukur atau catatan keseluruhan hasil dari
tingkah laku karyawan mengenai hasil kerja atau keefektifan karyawan
dalam melakukan fungsinya secara spesifik sesuai dengan level pekerja
dan kemampuannya dalam suatu periode tertentu.
2. Aspek Performansi Kerja
John Miner (1988) mengemukakan 4 dimensi yang dapat dijadikan
sebagai tolok ukur dalam menilai kinerja, yaitu:
a. Kualitas, yaitu; tingkat kesalahan, kerusakan dan kecermatan. Dalam
aspek ini terkait dengan proses produksi dan hasil produksi mendekati
sempurna atau ideal dalam memenuhi standar kualitas yang diberikan
perusahaan.
b. Kuantitas, yaitu; jumlah pekerjaan yang dihasilkan. Dalam aspek ini
terkait dengan banyaknya barang atau jasa yang dihasilkan dalam suatu
periode tertentu.
c. Penggunaan waktu dalam kerja, yaitu; tingkat ketidakhadiran,
keterlambatan waktu, waktu kerja efektif.jam kerja hilang. Dalam
barang atau jasa. Selain itu terkait pula dengan tingkat kedisiplinan
karyawan dalam hal waktu.
d. Kerjasama dengan orang lain dalam bekerja. Dalam aspek ini terkait
dengan kemampuan karyawan dalam hubungannya dengan karyawan
lain yang menjadi rekan kerja.
Aspek-aspek tersebut yang digunakan untuk mengetahui
performansi kerja karyawan pada penelitian.
3. Metode Penilaian Performansi Kerja
Metode yang dapat digunakan dalam menilai performansi kerja adalah:
(Dessler, 2003)
a. Essai
Metode penilaian performansi kerja yang penilainya merumuskan hasil
penilaiannya dalam bentuk esai. Isi esai melukiskan kekuatan dan
kelemahan indikator kinerja karyawan yang dinilai. Metode ini
menyediakan peluang yang sangat baik untuk melukiskan kinerja
ternilai secara terperinci. Pada metode ini, sistem penilaian
performansi kerja menentukan indikator-indikator kinerja yang harus
dinilai dan definisi operasional setiap indikator. Penilai hanya
membuat esai mengenai indikator-indikator tersebut dan tidak boleh
menyimpang dari indikator dan dimensinya. Keunggulan penilaian
performansi kerja metode esai memungkinkan penilai melukiskan
kinerja ternilai sangat terperinci karena bentuknya terbuka (open
ini adalah memerlukan waktu untuk menyusun suatu esai tentang
kinerja karyawan.
b. Critical Incident
Dalam metode ini mengharuskan penilai untuk membuat catatan
berupa pernyataan yang melukiskan perilaku baik yaitu perilaku yang
dapat diterima atau perilaku yang harus dilakukan sesuai dengan
standard an perilaku buruk yaitu perilaku yang tidak diterima atau
perilaku yang harus dilakukan sesuai dengan standard dan perilaku
buruk yaitu perilaku yang tidak diterima atau perilaku yang harus
dihindari ternilai yang ada hubungannya dengan pekerjaan. Pernyataan
itu disebut critical incident. Kelemahan metode ini antara lain; jika
penilai tidak membuat catatan kerja hariannya karena malas atau lupa
melakukannya, maka penilaian kinerjanya tidak lengkap; jika penilai
memiliki sepuluh anak buah atau lebih yang harus dinilai dan harus
membuat catatan setiap hari, maka waktunya akan habis hanya untuk
membuat catatan, ia tidak dapat mengembangkan pekerjaan dan
produktivitas unit kerjanya. Model ini juga memerlukan waktu yang
cukup lama, mahal dan mensyaratkan penilai mempunyai ketrmapilan
verbal, analitis dan kemampuan untuk menyusun deskripsi kinerja
karyawan secara tertulis, obyektif dan akurat. Bagi karyawan, metode
ini juga dianggap menganggu karena marasa diawasi secara terus
c. Rangking Method
Rangking Method yaitu mengurutkan para pegawai dari yang nilainya
tertinggi sampai yang paling rendah. Metode ini dimulai dengan
mengobservasi dan menilai kinerja para karyawan, kemudian
merangking kinerja mereka. Metode ini digunakan untuk mekanisme
pembinaan dan pengembangan karier. Jika ada jabatan yang lowong,
kesempatan pengisian jabatan diberikan pegawai berdasarkan
urutannya.
d. Checklist
Metode ini berisi daftar indikator-indikator hasil kerja, perilaku kerja,
atau sifat pribadi yang diperlukan dalam melaksanakan pekerjaan.
Penilai mengobservasi kinerja ternilai, kemudian memilih indikator
yang melukiskan kinerja atau karakteristik ternilai dan memberikan
tanda cek (tanda√atau ×). e. Graphic Rating Scales
Ciri dari Graphic rating scales adalah indikator kinerja karyawan
dikemukakan beserta definisi singkat. Selain itu, Deskriptor Level
Kinerja dikemukakan dalam bentuk skala yang masing-masing
mempunyai nilai angka. Dalam metode ini, penilai mengobservasi
indikator kinerja karyawan ternilai dan memberi tanda centang (√) atau silang (×) pada skala. Angka-angka tersebut kemudian dijumlahkan
dan hasilnya diubah kembali dalam kata sifat. Kelebihan metode ini
terstandarisasi. Sedangkan kelemahannya adalah pekerjaan di suatu
organisasi memiliki banyak jenis sehingga menimbulkan pertanyaan:
apakah indikator kinerja yang digunakan dapat mencerminkan
indikator kinerja semua jenis pekerjaan.
f. Forced Distribution
Nama lain dari metode ini adalah Distribusi Paksaan. Dalam metode
ini sistem evaluasi kinerja yang mengklasifikasikan karyawan menjadi
5 sampai 10 kurva dari yang sangat rendah sampai yang sangat tinggi.
g. Forced Choice Scale
Dalam sistem ini penilai dipaksa memilih beberapa set dari empat
perilaku yang disebuttetradsatau perilaku mana yang baik melukiskan
ternilai dan mana yang paling tidak melukiskan perilakunya. Metode
ini terdiri atas 15-50 tetrad bergantung pada level pekerjaan yang
dievaluasi dan kompleksitas dari tugas-tugas.
h. Behaviorally Anchor Rating Scale(BARS)
Sistem penilaian kerja model BARS merupakan sistem evaluasi yang
menggunakan pendekatan perilaku kerja yang sering digabungkan
dengan sifat pribadi. BARS terdiri atas suatu seri, 5-10 skala perilaku
vertical untuk setiap indikator kinerja. Untuk setiap dimensi disusun
5-10 anchor, yaitu berupa perilaku yang menunjukkan kinerja untuk
setiap dimensi. Anchor-anchor tersebut disusun dari yang nilainya
tinggi sampai nilainya rendah. Anchor tersebut dapat berupa critical
i. Behavior Observation Scale(BOS)
Metode ini sama dengan dengan BARS. Keduanya didasarkan pada
perilaku kerja. Perbedaannya, dalam BOS, penilai diminta untuk
menyatakan berapa kali perilaku tersebut muncul. Penilai
mengobservasi perilaku ternilai berdasarkan anchor perilaku yang
tersedia, kemudian memberikan cek pada skala deskripsi level kinerja
yang tersedia. Selanjutnya, angka pada skala yang dicek dijumlahkan.
j. Behavior Expectation Scale(BES)
Untuk mengukur kinerja yang diharapkan oleh organisasi, disusunlah
instrument penilaian performansi kerja Behavior Expectation Scale
(BES) atau Skala Perilaku yang Diharapkan yang setiap anchornya
dimulai dengan kata “dapat diharapkan” atau“ could be expected”.
k. Management by Objective(MBO)
Penilaian performansi kerja dengan metode MBO dapat dilaksanakan
pada pekerjaan yang keluarannya dapat diukur secara kuantitatif.
Misalnya untuk mengukur kinerja karyawan bagian produksi,
kinerjanya dapat dihitung atau di unit pelayanan pelanggan. Metode
MBO sulit dilaksanakan untuk pegawai yang pengukuran kinerjanya
rumit karena terdiri atas hasil kerja, dan sifat pribadi yang ada
hubungannya dengan pekerjaan. Misalnya, penilaian performansi kerja
metode MBO sulit digunaka untuk mengukur kinerja para guru dan
l. 360 Degree Performance Appraisal
Dalam metode ini penilainya lebih dari satu atau penilai multipel.
Penilainya dapat terdiri atas atasan langsung, bawahan, teman sekerja
(anggota tim kerja), pelanggan, nasabah, klien dan diri sendiri (self
evaluation). Formulir penilaian yang didistribusikan kepada para
penilai sering berada di tempat berbeda untuk menilai kinerja ternilai.
Sejumlah organisasi menggunakan information communication
technology menyampaikan hasil kepada ternilai. Selanjutnya hasil
penilaian penilai dianalisis untuk mendapatkan nilai rata-rata yng
kemudian diberikan kepada ternilai sebagai balikan.
m. Paired Comparison
Sistem penilaian performansi kerja Paired Comparison Model atau
Model Perbandingan Pasangan adalah kinerja setiap karyawan
dibandingkan dengan kinerja karyawan lainnya, sepasang demi
sepasang. Setiap karyawan semula dinilai kinerjanya, kemudian
dibandingkan dengan kinerja setiap karyawan lainnya. Dasar dari
perbandingan adalah kinerja menyeluruh atau nilai akhir dari kinerja
karyawan.
Berdasarkan penjelasan tesebut maka bentuk penilaian
performansi (Performance Appraisal) yang akan digunakan dalam
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Performansi Kerja
Ada empat faktor yang dapat memperngaruhi performansi kerja atau
kinerja seseorang, yaitu (Prawirosentono, dalam Sudarmanto 2009):
a. Efektivitas dan Efisiensi
Dalam hubungannya dengan kinerja organisasi, maka ukuran baik
buruknya kinerja diukur oleh efektivitas dan efisiensi. Masalahnya
adalah bagaimana proses terjadinya efisiensi dan efektivitas organisasi.
Dikatakan efektif apabila mencapai tujuan. Dikatakan efisien bila hal itu
memuaskan sebagai pendorong mencapai tujuan, terlepas apakah efektif
atau tidak. Artinya, efektivitas dari kelompok (organisasi) bila tujuan
dari kelompok itu dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang
direncanakan. Sedangkan efisien berkaitan dengan jumlah pengorbanan
yang dikeluarkan dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Agar
tercapai tujuan yang diinginkan organisasi, salah satu yang perlu
mendapat perhatian adalah hal yang berkaitan dengan wewenang dan
tanggung jawab para peserta yang mendukung organisasi tersebut.
b. Otoritas dan Tanggung jawab
Dalam organisasi baik wewenang dan tanggung jawab telah
didelegasikan dengan baik, tanpa adanya tumpang tindih tugas.
Masing-masing karyawan yang ada dalam organisasi mengetahui apa yang
menjadi hak dan tanggung jawabnya dalam rangka mencapai tujuan
organisasi. Kejelasan wewenang dan tanggung jawab setiap orang dalam
karyawan akan dapat terwujud bila karyawan mempunyai komitmen
dengan organisasinya dan ditunjang dengan disiplin kerja yang tinggi.
c. Disiplin
Secara umum, disiplin menunjukkan suatu kondisi atau sikap hormat
yang ada pada diri karyawan terhadap peraturan dan ketetapan
perusahaan. Disiplin meliputi ketaatan dan hormat terhadap perjanjian
yang dibuat antara perusahaan dan karyawan. Dengan demikian, bila
peraturan atau ketetapan yang ada dalam perusahaan itu sering
diabaikan atau dilanggar, maka karyawan memiliki disiplin yang buruk.
Sebaliknya, bila karyawan tunduk pada ketetapan perusahaan,
menggambarkan adanya kondisi disiplin yang baik. Disiplin juga
berkaitan erat dengan sanksi yang perlu dijatuhkan pada pihak yang
melanggar. Dalam hal seorang karyawan melanggar peraturan yang
berlaku dalam organisasi, maka karyawan yang bersangkutan harus
sanggung menerima hukuman yang telah disepakati. Masalah disiplin
para karyawan yang ada dalam organisasi baik atasan maupun bawahan
akan memberikan corak terhadap kinerja organisasi. Kinerja organisasi
akan tercapai, apabila kinerja individu maupun kinerja dalam kelompok
ditingkatkan. Untuk itu diperlukan inisiatif dari karyawannya dalam
melaksanakan tugas.
d. Inisiatif
Inisiatif seseorang berkaitan dengan daya pikir, kreativitas dalam
organisasi. Setiap inisiatif sebaiknya mendapat perhatian atau tanggapan
positif dari atasan, kalau memang dia atasan yang baik. Atasan yang
buruk akan selalu mencegah insiatif bawahan, lebih-lebih bawahan yang
kurang disenangi. Bila atasan selalu menghambat setiap inisiatif, tanpa
memberikan penghargaan berupa argumentasi yang jelas dan
mendukung, menyebabkan organisasi akan kehilangan energi atau daya
dorong untuk maju. Dengan perkataan lain, insiatif karyawan yang ada
dalam organisasi merupakan daya dorong kemajuan yang akhirnya akan
mempengaruhi kinerja.
C. Dinamika Perbedaan Performansi Kerja Karyawan Berdasarkan Gaya
Kepemimpinan Situasional
Kepemimpinan adalah suatu proses untuk memberi motivasi dan
inspirasi bagi karyawan untuk bekerja dengan benar dan sebaik-baiknya
sehingga dapat mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan
manfaat bagi individu dan kelompok tersebut. Keberhasilan seorang pemimpin
dalam menjalankan kepemimpinannya dapat dilihat dari keberhasilannnya
dalam mempengaruhi pikiran, perasaan dan perilaku bawahannya. Sedangkan
kepemimpinan situasional adalah perilaku pemimpin yang didasarkan atas
hubungan antara kadar bimbingan dan arahan yang diberikan pemimpin, kadar
dukungan sosioemosional dan kematangan anggota kelompok. Dalam
berperilaku kepada bawahannya, seorang pemimpin akan memberikan
Pemimpin yang baik akan mendorong inisiatif dan memberikan ruang
bagi karyawan untuk mengemukakan ide atau pendapatnya. Demikian pula
dalam hal otoritas dan tanggung jawab, pemimpin yang baik akan memberikan
otoritas dan tanggung jawab yang tepat dengan keadaan karyawannya. Selain
itu, pemimpin yang baik akan menerapkan sikap disiplin dan menciptakan
semangat bekerja bagi semua karyawan. Dalam hal ini berkaitan pula dengan
pola pemimpin dalam menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam bekerja.
Apabila sikap pemimpin itu tepat dengan keadaan karyawan maka karyawan
Gambar 2
Gambar Perbedaan Performansi Kerja Karyawan Berdasarkan Gaya Kepemimpinan Situasional
D. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada perbedaan performansi
kerja karyawan berdasarkan gaya kepemimpinan situasional efektif dan tidak
efektif.”
Efektif Tidak Efektif
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian komparatif, dengan metode kuantitatif.
Penelitian komparatif bertujuan untuk menyelidiki kemungkinan adanya
perbedaan mean antara 2 kelompok subyek. Pada penelitian ini, peneliti ingin
mengetahui apakah ada perbedaan performansi kerja karyawan berdasarkan
kepemimpinan situasional.
B. Variabel Penelitian
Variabel adalah sesuatu yang dapat membedakan atau mengubah nilai
(Kuncoro, 2009). Dalam penelitian ini terdapat 2 variabel, yaitu:
1. Variabel bebas (X) dalam penelitian ini adalah gaya kepemimpinan
situasional.
2. Variabel tergantung (Y) dalam penelitian ini adalah Performansi Kerja
atau Kinerja karyawan.
C. Definisi Operasional
1) Kepemimpinan situasional
Kepemimpinan situasional adalah perilaku pemimpin yang
didasarkan atas hubungan antara kadar bimbingan dan arahan yang
diberikan pemimpin, kadar dukungan sosioemosional dan kematangan
anggota kelompok. Skala yang digunakan dalam variabel ini adalah Skala
Perilaku Hubungan, Skala Perilaku Tugas dan Skala Kematangan
Karyawan. Apabila antara kadar bimbingan dan arahan yang diberikan
pemimpin, kadar dukungan sosioemosional dan kematangan anggota
kelompok sesuai maka dapat dikatakan bahwa gaya kepemimpinan yang
dilakukan oleh pemimpin adalah efektif. Jika ketiga indikator tersebut
tidak sesuai maka dapat dikatakan bahwa gaya kepemimpinan yang
dilakukan oleh pemimpin tidak efektif.
2) Performansi kerja
Performansi kerja adalah alat ukur atau catatan keseluruhan hasil
dari tingkah laku karyawan bagian produksi mengenai hasil kerja atau
keefektifan karyawan dalam melakukan fungsinya secara spesifik sesuai
dengan level pekerja dan kemampuannya dalam suatu periode tertentu.
Skala yang digunakan dalam variabel ini adalah skala performansi kerja
dimana aspek-aspek yang akan diukur dalam skala tersebut adalah
kualitas, kuantitas, penggunaan waktu dalam kerja dan kerjasama dengan
orang lain dalam bekerja. Untuk mengetahui tingkat performansi kerja
karyawan akan digunakan jumlah skor dari skala performansi kerja
karyawan. Semakin tinggi skor yang dihasilkan seorang karyawan dalam
skala ini, semakin baik pula performansi kerjanya. Sebaliknya, semakin
rendah skor yang dihasilkan seorang karyawan dalam skala performansi
D. Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah karyawan bagian produksi pada PT
Coca Cola Amatil Indonesia. Subyek telah bekerja dalam perusahaan tersebut
minimal selama 1 tahun dengan pertimbangan bahwa subyek telah mengenal
dengan baik kondisi perusahaan serta atasannya. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Roffey park Management Institute menyebutkan bahwa
employability terbentuk dari gabungan antara pengalaman, track record dan
kemampuan utama, termasuk di dalamnya adalah fleksibilitas, kreativitas,
change management, teamwork, serta keinginan untuk terus belajar. Beberapa
manajer membentuk kemampuan kerjanya melalui peningkatan pelatihan,
networking, dan mengerjakan tugas yang sulit. Pendapat tersebut
menunjukkan bahwa lama bekerja merupakan pengalaman indivudu yang
akan menentukan pertumbuhan pekerjaan dan jabatan.(Rakhmat dalam
Harsiwi, 2003). Dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive
sampling yaitu; pengambilan sampel berdasarkan keperluan penelitian.
Artinya setiap unit atau individu yang diambil dari populasi dipilih dengan
sengaja berdasarkan pertimbangan tertentu (Purwanto, dalam Kuncoro,
2009).
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data
Pada penelitian ini terdapat empat skala, yaitu Skala Perilaku
Hubungan, Skala Perilaku Tugas, Skala Kematangan Karyawan dan Skala
diberikan kepada subyek penelitian. Skala pertama sampai ketiga dikemas
menjadi satu buku yang digunakan untuk mencari data mengenai Gaya
Kepemimpinan Situasional. Sedangkan Skala Performansi Kerja dikemas
menjadi satu buku yang berbeda. Skala yang dipersiapkan sebanyak 60
eksemplar.
Skala Perilaku Hubungan, Skala Perilaku Tugas, Skala Kematangan
Karyawan dan Skala Performansi Kerja.karyawan disajikan dalam pernyataan
favorable dan unfavorable. Item-item favorable adalah item-item yang
mendukung, memihak atau menunjukkan ciri adanya atribut yang diukur.
Item unfavorable adalah item-item yang tidak mendukung atau tidak
menggambarkan ciri atribut yang diukur.
1. Skala Performansi Kerja Karyawan
Skala yang digunakan untuk mengungkap performansi kerja
karyawan dalam penelitian ini adalah Skala Performansi Kerja
Karyawan. Skala ini menggunakan metode graphic rating scales.
Item-item dalam skala ini disusun berdasarkan aspek-aspek:
a) Kualitas, yaitu; tingkat kesalahan, kerusakan dan kecermatan. Dalam
aspek ini terkait dengan proses produksi dan hasil produksi mendekati
sempurna atau ideal dalam memenuhi standar kualitas yang diberikan
perusahaan.
b) Kuantitas, yaitu; jumlah pekerjaan yang dihasilkan. Dalam aspek ini
terkait dengan banyaknya barang atau jasa yang dihasilkan dalam suatu
c) Penggunaan waktu dalam kerja, yaitu; tingkat ketidakhadiran,
keterlambatan waktu, dan waktu kerja efektif. Dalam aspek ini terkait
dengan penggunaan waktu untuk menghasilkan suatu barang atau jasa.
Selain itu terkait pula dengan tingkat kedisiplinan karyawan dalam hal
waktu.
d) Kerjasama dengan orang lain dalam bekerja. Dalam aspek ini terkait
dengan kemampuan karyawan dalam hubungannya dengan karyawan
lain yang menjadi rekan kerja.
TABEL 1 Blue Print
Skala Performansi Kerja Karyawan
No. Aspek No. Item Jumlah Presentase
F U
1. Kualitas 1,3,5,7,9 2,4,6,8,10 10 40%
2. Kuantitas 11,13,15 12,14 5 20%
3. Penggunaan
Waktu dalam Kerja
16,17,18 19,20 5 20%
4. Kerjasama
dengan Orang lain dalam Bekerja
21,23,25 22,24 5 20%
Total 14 11 25 100%
Subyek diminta untuk memilih alternatif jawaban yang sesuai dengan
kondisinya pada saat itu. Dalam hal ini tidak ada jawaban benar maupun
(ST), setuju (S), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS). Pilihan
jawaban netral tidak dicantumkan dalam skala ini dengan pertimbangan
untuk menghindari subyek yang tidak memiliki salah satu dari jawaban
tersebut akan memilih jawaban netral.
Penskoran dalam skala ini adalah:
Pada itemfavorable:
- Sangat Setuju (SS) : 4
- Setuju (S) : 3
- Tidak Setuju (TS) : 2
- Sangat Tidak Setuju (STS) : 1
Pada itemunfavorable:
- Sangat Setuju (SS) : 1
- Setuju (S) : 2
- Tidak Setuju (TS) : 3
- Sangat Tidak Setuju (STS) : 4
Subyek yang memiliki skor tinggi dalam skala ini diindikasikan
memiliki performansi kerja yang baik. Sebaliknya, subyek yang memiliki
skor rendah dalam skala ini diindikasikan memiliki performansi kerja yang
kurang baik.
2. Skala Gaya Kepemimpinan Situasional
a. Skala Perilaku Hubungan
Skala yang digunakan untuk menilai perilaku hubungan karyawan
item-item favorable dan unfavorable. Skala ini akan diberikan baik
kepada karyawan. Skala ini dimaksudkan untuk mengetahui kadar
sejauhmana pemimpin melakukan hubungan dua arah dengan
orang-orangnya: menyediakan dukungan, dorongan, member semangat, dan
memudahkan perilaku. Ini berarti pemimpin secara aktif menyimak dan
mendukung upaya orang-orangnya dalam pelaksanaan pekerjaan mereka.
TABEL 2 Blue Print
Skala Perilaku Hubungan
No. Item Jumlah Presentase Favorable Unfavorable
12,14,16,18, 20
11,13,15,17,19 10 100%
Subyek diminta untuk memilih alternatif jawaban yang sesuai
dengan kondisinya pada saat itu. Dalam hal ini tidak ada jawaban benar
maupun salah. Dalam skala ini terdapat 4 alternatif jawaban, yaitu;
sangat setuju (ST), setuju (S), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju
(STS). Pilihan jawaban netral tidak dicantumkan dalam skala ini dengan
pertimbangan untuk menghindari subyek yang tidak memiliki salah satu
dari jawaban tersebut akan memilih jawaban netral.
Penskoran dalam skala ini adalah:
Pada itemfavorable:
- Sangat Setuju (SS) : 4
- Setuju (S) : 3
- Sangat Tidak Setuju (STS) : 1
Pada itemunfavorable:
- Sangat Setuju (SS) : 1
- Setuju (S) : 2
- Tidak Setuju (TS) : 3
- Sangat Tidak Setuju (STS) : 4
Subyek yang memiliki skor tinggi dalam skala ini diindikasikan
memiliki perilaku hubungan yang baik/tinggi dengan atasannya
sedangkan skor yang rendah dalam skala ini diindikasikan subyek
memiliki perilaku hubungan yang rendah dengan atasannya.
b. Skala Perilaku Tugas
Skala yang digunakan untuk menilai perilaku tugas karyawan
adalah Skala Perilaku Tugas. Dalam skala ini terdapat item-item
favorable dan unfavorable. Skala ini akan diberikan baik kepada
karyawan. Skala ini dimaksudkan untuk mengetahui kadar sejauhmana
pemimpin menyediakan arahan kepada orang-orangnya; dengan
memberitahukan mereka apa yang harus dilakukan, kapan melakukannya,
dimana melakukannya, dan bagaimana melakukannya. Hal itu berarti
bahwa pemimpin menyusun tujuan dan menetapkan peranan mereka.
TABEL 3 Blue Print
Skala Perilaku Tugas
No. Item Jumlah Presentase Favorable Unfavorable
Subyek diminta untuk memilih alternative jawaban yang sesuai
dengan kondisinya pada saat itu. Dalam hal ini tidak ada jawaban benar
maupun salah. Dalam skala ini terdapat 4 alternatif jawaban, yaitu;
sangat setuju (ST), setuju (S), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju
(STS). Pilihan jawaban netral tidak dicantumkan dalam skala ini dengan
pertimbangan untuk menghindari subyek yang tidak memiliki salah satu
dari jawaban tersebut akan memilih jawaban netral.
Penskoran dalam skala ini adalah:
Pada itemfavorable:
- Sangat Setuju (SS) : 4
- Setuju (S) : 3
- Tidak Setuju (TS) : 2
- Sangat Tidak Setuju (STS) : 1
Pada itemunfavorable:
- Sangat Setuju (SS) : 1
- Setuju (S) : 2
- Tidak Setuju (TS) : 3
- Sangat Tidak Setuju (STS) : 4
Subyek yang memiliki skor tinggi dalam skala ini diindikasikan
memiliki perilaku tugas yang baik/tinggi sedangkan skor yang rendah
dalam skala ini diindikasikan subyek memiliki perilaku tugas yang
c. Skala Kematangan Karyawan
Skala yang digunakan untuk menilai kematangan karyawan
adalah Skala Perilaku Kematangan karyawan. Dalam skala ini terdapat
item-item favorable dan unfavorable. Skala ini akan diberikan baik
kepada karyawan. Skala ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan
atau kemauan orang-orang untuk memikul tanggung jawab untuk
mengarahkan perilaku mereka sendiri.
TABEL 4 Blue Print
Skala Kematangan Karyawan
No. Item Jumlah Presentase Favorable Unfavorable
21,22,23,24, 26,28,30
21,25,27,29 10 100%
Subyek diminta untuk memilih alternatif jawaban yang sesuai
dengan kondisinya pada saat itu. Dalam hal ini tidak ada jawaban benar
maupun salah. Dalam skala ini terdapat 4 alternatif jawaban, yaitu;
sangat setuju (ST), setuju (S), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju
(STS). Pilihan jawaban netral tidak dicantumkan dalam skala ini dengan
pertimbangan untuk menghindari subyek yang tidak memiliki salah satu
dari jawaban tersebut akan memilih jawaban netral.
Penskoran dalam skala ini adalah:
Pada itemfavorable:
- Sangat Setuju (SS) : 4
- Tidak Setuju (TS) : 2
- Sangat Tidak Setuju (STS) : 1
Pada itemunfavorable:
- Sangat Setuju (SS) : 1
- Setuju (S) : 2
- Tidak Setuju (TS) : 3
- Sangat Tidak Setuju (STS) : 4
Subyek yang memiliki skor tinggi dalam skala ini diindikasikan
memiliki kematangan yang tinggi sedangkan skor yang rendah dalam
skala ini diindikasikan subyek memiliki kematangan yang rendah.
F. Validitas dan Reliabilitas
1. Validitas
Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat
ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur
dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut
menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai
dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2007).
2. Seleksi Item
Dalam melakukan seleksi item, peneliti memilih item berdasarkan
koefisien korelasi item-total atau indeks daya beda item, yaitu pengujian
keselarasan fungsi item dengan fungsi tes menghendaki dilakukannya
komputasi koefisien korelasi antara distribusi skor pada setiap item dengan
2007). Sebagai kriteria pemilihan item berdasar korelasi item total,
biasanya digunakan batasan rix ≥ 0,30. Semua item yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 daya pembedanya dianggap memuaskan.
Item yang memiliki harga rix atau ri(X-i) kurang dari 0,30 dapat
diinterpretasikan sebagai item yang memiliki daya diskriminasi rendah.
Batasan ini merupakan suatu konvensi. Penyusun tes boleh menentukan
sendiri batasan daya diskriminasi item dengan mempertimbangkan isi dan
tujuan skala yang sedang disusun (Azwar, 1999). Apabila jumlah item
yang tidak lolos tidak mencukupi jumlah yang diinginkan maka dapat
dipertimbangkan untuk menurunkan batas kriteria menjadi 0,25, namun
menurunkan batas kriteria sampai 0,20 sangat tidak disarankan.
Peneliti melakukan seleksi item pada keempat skala dengan
melibatkan 50 karyawan pada bagian produksi PT Coca Cola Amatil
Bawen Jawa Tengah. Setelah data dari keempat skala terkumpul kemudian
diproses menggunakan SPSS for Windows seri 16. Hasil analisis yang
diperoleh adalah pada Skala Performansi Kerja menunjukkan bahwa dari
25 item yang disajikan, terdapat 24 item yang baik (rix≥ 0,25). Besarnya koefisien korelasi bergerak pada kisaran 0.392 sampai 0.981. Hasil uji
daya beda item pada skala performansi kerja karyawan dapat dilihat pada
TABEL 5:
Skala Performansi Kerja Karyawan Sesudah Uji Coba
Hasil analisis pada Skala Perilaku Hubungan menunjukkan bahwa
dari 10 item yang disajikan, semua item termasuk dalam kelompok item
baik (rix ≥ 0,25). Sehingga tidak ada item yang dihapus. Pada Skala
Perilaku Hubungan koefisien korelasi bergerak pada kisaran 0.581 sampai
0.819.
Aspek No. Item Baik No Item Tidak Baik Presentase
F U F U
Kualitas 1,3,5,7,9 2,4,6,8,10 -
-Kuantitas 11,13 12,14 15
-Penggunaan Waktu Dalam Kerja
16,17,18 19,20 -
-Kerjasama dengan Orang Lain dalam Bekerja
-TABEL 6:
Skala Perilaku Hubungan Sesudah Uji Coba
Hasil analisis yang diperoleh adalah pada Skala Perilaku Tugas
menunjukkan bahwa dari 10 item yang disajikan, terdapat 7 item yang
baik (rix≥0,25). Besarnya koefisien korelasi bergerak pada kisaran 0.395 sampai 0.697. Hasil uji daya beda item pada skala performansi kerja
karyawan dapat dilihat pada tabel berikut:
TABEL 7:
Skala Perilaku Tugas Sesudah Uji Coba
Aspek No. Item Baik No Item Tidak Baik Presentase
12,14,16,18,20 11,13,15,17,19 -
-Aspek No. Item Baik No Item Tidak Baik Presentase
F U F U
hubungan antara kadar bimbingan dan arahan yang diberikan pemimpin (perilaku tugas)