• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Perdata disebut juga dengan hukum privat (privaatrechts) atau hukum sipil (civielrechts). Istilah perdata berasal dari bahasa Sangsekerta yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hukum Perdata disebut juga dengan hukum privat (privaatrechts) atau hukum sipil (civielrechts). Istilah perdata berasal dari bahasa Sangsekerta yang"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Hukum Perdata

disebut juga dengan hukum

privat

(

privaatrechts

)

atau

hukum

sipil

(

civielrechts

).

Istilah

perdata

berasal dari bahasa Sangsekerta

yang berarti warga (

burger

), pribadi (

privaat

).—

Dari sudut etimologi, hukum perdata berarti

hukum mengenai warga, pribadi, sipil.

Hukum Perdata

ialah aturan-aturan hukum yang

mengatur tingkah laku setiap orang terhadap

orang lain—yang berkaitan dengan hak dan

kewajiban (hubungan hukum) yang timbul dari

pergaulan masyarakat.

(3)

1.

Aturan hukum (

rechts regel, rule of law

)

2.

Hubungan hukum (

rechts betrekking, legal

relation)

3.

Orang (

persoon, person

)

a.

Manusia

—sebagai pribadi kodrati (

natuurlijk

persoon

) atau menurut konsep biologis.

b.

Badan hukum

—sebagai pribadi hukum (

rechts

(4)

1.

Perjanjian antara pihak yang satu dengan pihak

lainnya—seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang

piutang.

2.

Ketentuan undang-undang yang bermanfaat

atau saling menguntungkan bagi pihak-pihak—

seperti pewarisan.

3.

Ketentuan undang-undang yang merugikan

(5)

 Hukum perdata pada umumnya adalah sebagai norma (kaidah) yang khusus untuk mempertahankan kepentingan perseorangan dalam hubungan yang sebenarnya dalam suatu masyarakat tertentu.

 Hukum perdata pada satu pihak memberikan hak-hak dan di lain pihak membebani kewajiban-kewajiban.

 Hukum perdata pada umumnya bersifat mengatur (regelend, fakultatif) di antara para pihak yang berkepentingan.

(6)

Aspek Ruang Lingkup

1. Hukum perdata dalam arti luas—meliputi hukum perdata dalam arti sempit dan hukum dagang.

2. Hukum perdata dalam arti sempit—dan lazim disebut

dengan "hukum perdata" saja.  Aspek Bentuk

1. Hukum perdata tertulis—hukum perdata sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2. Hukum perdata tidak tertulis—hukum adat. Tegasnya,

hukum adat termasuk dalam hukum perdata namun dalam bentuk yang tidak tertulis.

(7)

Aspek Materi

1. Hukum perdata materil—mengatur hak dan kewajiban dalam hidup bermasyarakat dan lazim disebut dengan

hukum perdata subtantif.

2. Hukum perdata formil—mengatur bagaimana cara melaksanakan hak dan kewajiban. Atau dengan kata lain, mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila di langgar oleh orang lain. Hukum perdata formil lazim disebut dengan hukum acara perdata, dan juga ada yang menyebutnya hukum perdata prosedural.

(8)

A. Hukum Perdata Belanda

• Hukum perdata Belanda yang dikodifikasi dalam Kitab

Undang-Undang Perdata—yang dikenal dengan sebutan Burgerlijk Wetboek (disingkat: BW) berasal dari hukum perdata Prancis yang berinduk pada Code Civil

Prancis (Code Napoleon). Karena pada jaman pemerintahan Napoleon, Prancis pernah menjajah Belanda dan Code Civil tersebut diberlakukan pula di Belanda. Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corfus Juris Civilis)—yang pada waktu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.

(9)

• Setelah merdeka dari penjajahan Prancis, Belanda

menginginkan pembentukan kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sendiri yang bebas dari pengaruh Prancis.

• Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan cara

membentuk hukum perdata Belanda. Pembuatan kodifikasi Belanda diselesaikan pada tanggal 5 Juli 1830 dan direncanakan pemberlakuannya pada tanggal 1 Pebruari 1831. Akan tetapi dalam Bulan Agustus 1830 terjadi pemberontakan di wilayah bagian selatan Belanda yang memisahkan diri dari Kerajaan Belanda—yang sekarang disebut dengan Kerajaan Belgia dan Luksemburg. Dengan adanya peristiwa tersebut pemberlakuan kodifikasi pun ditangguhkan dan baru terlaksana pada tanggal 1 Oktober 1838.

• Patut dikemukakan, Menurut J. Van Kan, BW Belanda

adalah saduran Code Civil Prancis, hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Belanda.

(10)

B.

Hukum Perdata Indonesia

• Sebagai akibat Belanda pernah menjajah Indonesia,

maka BW Belanda diupayakan agar dapat diberlakukan pula di Indonesia. Caranya adalah dibentuk BW Indonesia yang susun dan isinya serupa dengan BW Belanda. Dengan kata lain, BW Belanda diberlakukan juga di Indonesia berdasarkan asas

konkordansi (persamaan). BW Indonesia ini disahkan oleh Raja pada tanggal 16 Mei 1846 yang diundangkan melalui Staatsblad (Stb/S= lembaran negara) Nomor 23 tahun 1847 dan dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Mei 1848.

• Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Aturan

Peralihan UUD 1945 Pasal II, maka BW Indonesia tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan oleh undang-undang baru berdasar atas UUD ini.

(11)

• BW Indonesia ini disebut Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata Indonesia (KUHPdt)—sebagai induk hukum perdata Indonesia. Hukum Perdata Indonesia yang dimaksud adalah hukum perdata Barat yang berinduk pada KUHPdt, yang dalam bahasa aslinya disebut Burgerlijk Wetboek (BW). BW Indonesia ini sebagian materinya ada yang sudah dicabut pemberlakuannya dan diganti dengan undang-undang RI.

• Selain dari KUHPdt, hukum perdata Indonesia

meliputi juga undang-undang RI—misalnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Perceraian; UU No. 5 tahun 1960 tentang Pertanahan dan Hak-hak atas Tanah (Undang-Undang Pokok Agraria/UUPA); serta Keputusan Presiden (Kepres) No. 12 Tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Catatan Sipil.

(12)

Hukum Perdata Adat yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang

mengatur hubungan antara individu dalam masyarakat adapt yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan persorangan.

Hukum Perdata Eropa yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang

mengatur hubungan hukum yang menyangkut kepentingan orang-orang Eropa dan orang-orang yang diberlakukan ketentuan itu termasuk bagi setiap orang yang pada dirinya secara sukarela berlaku ketentuan itu. Ketentuan-ketentuan hukum perdata Eropa itu mempunyai bentuk tertulis dan berlakunya sesuai ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.

Bagian Hukum Perdata yang bersifat nasional yaitu

bidang-bidang hukum perdata sebagai produk nasional. Artinya, ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kepentingan perorangan yang dibuat dan diberlakukan untuk seluruh penghuni Indonesia. Bagian hukum perdata nasional itu antara lain terdiri dari Hukum Perkawinan dan Hukum Agraria.

(13)

1.

Buku I mengenai

"orang"

(

van persoonen

)—memuat

hukum perorangan dan hukum kekeluargaan.

2.

Buku II mengenai

"benda"

(

van zaken

)—memuat

hukum benda dan hukum waris.

3.

Buku III mengenai

"perikatan"

(

van verbintenissen

)

—memuat hukum kekayaan yang berhubungan

dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi

orang-orang atau pihak terentu.

4.

Buku IV mengenai

"pembuktian dan daluwarsa"

(

van

bewijs en verjaring

)—memuat tentang alat-alat

pembuktian dan akibat lewat waktu terhadap

hubungan hukum.

(14)

1.

Hukum tentang orang atau Hukum Perorangan

(

persoonenrecht, personal law

).

2.

Hukum Kekeluargaan atau Hukum Keluarga

(

familierecht, family law

).

3.

Hukum kekayaan atau Hukum Harta Kekayaan

(

vermogensrecht, property law

).

(15)

 Hukum perdata materil dalam BW (KUHPdt) diatur dalam buku I, II dan III, sedangkan hukum perdata formil diatur dalam buku IV.

 Bidang-bidang hukum perdata materil di atas sebagaimana menurut ilmu pengetahuan, dalam BW penempatannya termuat pada:

o Hukum tentang orang diatur dalam Buku I Bab 1-3 dan Buku III Bab 9.

o Hukum keluarga diatur dalam Buku I Bab 4-18.

o Hukum kekayaan diatur dalam Buku II Bab 1-2, Bab 19-21 dan Buku III.

(16)

 Dalam hukum perdata, istilah "orang" (person) menunjuk pada pengertian subjek hukum—yang artinya segala pihak yang berperan sebagai pembawa/pendukung hak dan kewajiban.

 Orang menurut konsep hukum terdiri atas:

1. Manusia atau subjek hukum sebagai pribadi kodrati (natuurlijke persoon), atau subjek hukum menurut konsep biologis—sebagai makhluk budaya ciptaan Tuhan yang dilengkapi akal, perasaan dan kehendak. 2. Badan hukum atau subjek hukum sebagai pribadi

hukum (rechtpersoon), atau subjek hukum menurut konsep yuridis—yaitu subjek hukum buatan hukum atau sebagai ciptaan manusia berdasar pada hukum, yang diberi status atau wewenang sebagai pembawa hak dan kewajiban seperti manusia.

(17)

 Pengakuan manusia sebagai subjek hukum terjadi sejak ia dilahirkan dan berakhir setelah meninggal dunia. Bahkan dalam Pasal 2 KUHPdt (BW) dinyatakan bahwa anak yang dalam kandungan ibunya dianggap sudah menjadi sebagai subjek hukum—dengan ketentuan ia dilahirkan dalam keadaan hidup. Akan tetapi apabila ia lahir dalam keadaan meninggal dunia maka dianggap tidak pernah ada.

 Ketentuan ini mempunyai arti penting (relevan) apabila kepentingan anak itu menghendakinya—misalnya saja dalam memperoleh warisan. Ketentuan yang termuat dalam Pasal 2 BW tersebut dinamakan rechtfictie (fiksi hukum).

(18)

 Kedudukan manusia sebagai subjek hukum diakui oleh undang-undang. Dengan diakui oleh undang-undang— maka tidak ada satu hukuman pun yang dapat menghilangkan hak keperdataan manusia sebagai subjek hukum (Pasal 3 BW).Ini berarti bahwa betapun seseorang memiliki kesalahan sehingga dijatuhi hukuman oleh pengadilan, hukuman tersebut tidak boleh menghilangkan kedudukan hukum seseorang sebagai subjek hukum.

 Di Indonesia sebagai negara hukum mengakui manusia sebagai subjek hukum pendukung hak dan kewajiban. Semua warga negara memiliki kedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjungjung tinggi hukum dan pemerintahannya itu dengan tidak ada kecualinya (UUD NRI 1945 Pasal 27 ayat1).

 Di negara lain seperti Aprika Selatan yang diperintah oleh rezim kulit putih, penguasanya menganut ras diskriminasi, tidak semua diakui sebagai subjek hukum pendukung hak, tetapi hanya sebagai pendukung kewajiban belaka.

(19)

Adanya badan hukum timbul sebagai akibat:

1.

Adanya suatu kebutuhan untuk memenuhi

kepentingan tertentu atas dasar kegiatan yang

dilakukan bersama.

2.

Adanya tujuan ideal yang perlu dicapai tanpa

selalu bergantung kepada pribadi secara

perorangan.

Sebagai subjek hukum, maka badan hukum pun

memiliki hak dan kewajiban, dapat mengadakan

hubungan hukum, terlibat dalam suatu peristiwa

hukum dan lain sebagainya.

(20)

 Berdasarkan eksistensinya badan hukum dapat diklasifikasikan

menjadi 3 bagian:

1. Badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah—yaitu badan

hukum public yang sengaja diadakan oleh pemerintah untuk kepentingan negara, seperti lembaga-lembaga negara, departemen pemerintahan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

2. Badan hukum yang diakui oleh pemerintah—yaitu badan

hukum yang dibentuk oleh pihak swasta atau pribadi warga negara untuk kepentingan pembentuknya sendiri. Umumnya bertujuan memperoleh keutungan atau kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan usaha tertentu, seperti Perseroan Terbatas (PT) dan koperasi.

3. Badan hukum yang diperbolehkan—yaitu badan hukum

yang tidak dibentuk oleh pemerintah dan tidak pula memerlukan pengakuan dari pemerintah menurut undang-undang, tetapi diperbolehkan karena tujuannya bersifat ideal di bidang pendidikan, sosial, keagamaan, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kemanusiaan. Badan hukum ini selalu berupa yayasan (Pasal 1653 KUHPdt).

(21)

 Menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia, ada

beberapa jenis badan hukum sesuai dengan tujuannya masing-masing. Setiap jenis badan hukum diatur dengan undang-undang tersendiri. Jenis badan hukum tersebut sebagai berikut:

1. Badan hukum koperasi diatur dalam UU No. 25 Tahun 1992.

2. Badan hukum perseroan diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 menggantikan UU No. 1 Tahun 1995.

3. badan hukum yayasan diatur dalam UU No. 16 Tahun 2001 menggantikan UU Yayasan sisa colonial Belanda.

4. Badan hukum perusahaan milik negara diatur dalam UU No. 19 Tahun 2003.

(22)

 Kecakapan dalam hukum artinya kemampuan melakukan perbuatan hukum sendiri karena memenuhi syarat hukum.

 Menurut Pasal 330 KUHPdt, orang sebagai subjek hukum dapat dinyatakan "tidak cakap" atau "kurang cakap" untuk melakukan perbuatan hukum sendiri (onbekwaam, incapable)—yaitu (1) anak dibawah umur (belum dewasa); dan (2) orang yang sakit ingatan atau gila dan keborosan. Kedua golongan ini adalah subjek hukum yang tidak cakap hukum, atau disebut subjek hukum terlindung. Karena anak di bawah umur atau belum dewasa berada di bawah kekuasaan orang tuanya, sedang orang yang sakit ingatan dan keborosan adalah orang-orang yang perlu ditaruh di bawah pengampuan/pengawasan (curatele).

(23)

 Kecakapan melakukan perbuatan hukum sendiri (bekwaam,

capable) akan dapat berwujud apabila orang sebagai subjek hukum itu telah dewasa (meerderjarig). Atau dengan kata lain, orang yang sudah dewasa oleh hukum dianggap sudah cakap melakukan perbuatan hukum. Namun apabila orang yang dewasa itu dalam keadaan sakit ingatan dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri karena boros, ia disamakan dengan orang yang belum dewasa (minderjarig).

 Orang yang cakap hukum—dalam arti sudah dewasa

memenuhi syarat hukum dan tidak dalam keadaan sakit ingatan dan keborosan, maka ia disebut juga dengan subjek hukum mandiri.

 Menurut ketentuan undang-undang, istilah belum dewasa ini berarti belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin. Dari sini dapat dipahami bahwa orang yang sudah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin meskipun belum berumur 21 tahun, maka ia disebut dewasa. Dan apabila perkawinan itu putus sebelum mencapai umur 21 tahun, maka ia ditetapkan

(24)

 Perlu untuk ditegaskan, pengertian sudah berumur 21 tahun atau sudah pernah kawin—disebut dewasa dalam undang-undang (dewasa hukum) dalam hal untuk menunjukkan cakap dan tidaknya untuk melakukan perbuatan hukum.

 Perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap hukum atau tidak mampu menurut hukum adalah tidak sah karena tidak memenuhi syarat hukum dan dapat dimintakan pembatalan melalui pengadilan (vernietigbaar).

 Kepentingan orang yang tidak cakap atau tidak mampu

melakukan perbuatan hukum diurus oleh pihak yang mewakilinya—yaitu: (1) kepentingan anak yang belum dewasa diurus oleh orang tuanya (Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974); (2) kepentingan anak yang berada di bawah perwalian diurus oleh walinya (Pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974); dan (3) kepentingan orang dewasa yang berada di bawah pengampuan diurus oleh wali pengampunya (Pasal 1433 KUHPdt).

(25)

Asas, Konsep dan Tujuan Perkawinan

Asas-asas Perkawinan

1.

Persetujuan bebas (sukarela atau suka sama suka)

2.

Partisipasi keluarga

3.

Perceraian dipersulit

4.

Poligami dibatasi dengan ketat

5.

Kematangan calon mempelai

6.

Meningkatkan derajat kaum wanita

7.

Pencatatan perkawinan

8.

Perkawinan menurut hukum agama

(26)

Konsep dan Tujuan Perkawinan

Ikatan lahir batin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan

membentuk keluarga/rumah tangga bahagia dan

kekal berdasar Ketuhanan yang Maha Esa (Pasal

1 UU Perkawinan).

(27)

Perkawinan Dalam Sistem Hukum

Positif

1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2. UU No. 9 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

3. Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

4. Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 1995 tentang

Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

(28)

Perkawinan Monogami

Perkawinan monogami yaitu perkawinan yang terjadi

antara seorang pria dan seorang wanita. Artinya, selama ada ikatan perkawinan tersebut suami tidak boleh melangsungkan perkawinan kedua dengan seorang wanita lain sebagai istri kedua.

Syarat-syarat

1. Persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1)

UU Perkawinan).

2. Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun (Pasal 7

ayat (1) UU Perkawinan).

3. Izin orang tua/pengadilan jika belum berumur 21

(29)

4. Tidak masih terikat dalam satu perkawinan (Pasal 9

UU Perkawinan).

5. Tidak bercerai untuk ketiga kali dengan suami/istri

yang sama yang hendak dikawini (Pasal 10 UU Perkawinan).

6. Bagi janda, sudah lewat waktu tunggu (Pasal 11 ayat

(1) UU Perkawinan).

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu

tunggu ditetapkan 130 hari.

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian,

waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari; bagi yang tidak lagi datang bulan ditetapkan 90 hari; bagi yang sedang hamil ditetapkan sampai melahirkan anak; dan bagi yang belum pernah disetubuhi oleh mantan suaminya tidak ada masa tunggu.

(30)

c. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian,

tenggang waktu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.

d. Bagi perkawinan yang putus karena kematian,

tenggang waktu dihitung sejak kematian suami (Pasal 39 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975).

7. Pemberitahuan kepada pegawai pencatat perkawinan

(Pasal 3 dan 4 PP No. 9 Tahun 1975).

8. Tidak ada yang mengajukan pencegahan (Pasal 14

ayat (1) UU Perkawinan).

9. Tidak ada larangan perkawinan.

Menurut UU Perkawinan, perkawinan dilarang antara pria dan wanita yang mempunyai:

(31)

a. Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas

atau ke bawah—misalnya antara perempuan/laki-laki dan bapak/ibu, antara cucu perempuan/laki-laki dan kakek/nenek.

b. Hubungan dalam garis keturunan menyamping—

misalnya antara kakak dan adik kandung, serta antara keponakan dan paman/bibi.

c. Hubungan semenda—misalnya antara menantu dan

mertua, anak tiri dan ayah/ibu tiri.

d. Hubungan susuan—misalnya orang tua dan anak

susuan, anak dan saudara susuan, serta antara bibi/paman dan keponakan susuan.

e. Hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau

keponakan dari istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

f. Hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

yang berlaku dilarang kawin (Pasal 8 UU Perkawinan).

(32)

Perkawinan Poligami

Alasan perkawinan poligami

1.

Istri tidak dapat menjalankan kewajiban

sebagai istri.

2.

Istri mendapat cacat badan atau penyakit

tidak dapat disembuhkan.

3.

Istri tidak dapat melahirkan keturunan

(Pasal 4 ayat UU Perkawinan).

Catatan

. Alasan-alasan tersebut sifatnya

alternatif, artinya perlu dipenuhi salah saja

dan itu sudah cukup.

(33)

Syarat perkawinan poligami

1. Ada persetujuan dari istri/istri-istri.

2. Ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

3. Ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (Pasal 5 UU Perkawinan).

Catatan

. Syarat-syarat di atas bersifat

(34)

Perkawinan Campuran

Pengertian

Menurut UU Perkawinan, perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia (Pasal 57).—Dari sini dapat dipahami bahwa perkawinan campuran menurut UU Perkawinan hanya menekankan pada perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya harus warga negara Indonesia. Atau dengan kata lain, perkawinan antara warga negara Indonesia dan warga asing.

(35)

Syarat dan Pelaksanaan Perkawinan Campuran

1. Perkawinan campuran dapat dilaksanakan di Indonesia dan dapat pula di luar Indonesia (luar negeri).

2. Apabila dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran dilaksanakan menurut UU Perkawinan (Pasal 59 ayat (2) UU Perkawinan). Sedangkan jika perkawinan campuran di negara pihak lainnya, berlakulah tata cara menurut hukum di negara yang bersangkutan (Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan).

3. Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan campuran harus dipenuhi syarat-syarat perkawinan yang berlaku menurut hukum masing-masing pihak (Pasal 60 ayat (1) UU Perkawinan).

(36)

Pencatatan Perkawinan Campuran

1. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang (Pasal 61 ayat (1) UU Perkawinan). 2. Pegawai pencatat yang berwenang bagi beragama

Islam adalah Pegawai Pencatat Nikah (PPN) /Pembantu Pencatat Nikah Cerai Talak Rujuk (P3NTCR). Sedangkan bagi mereka yang bukan beragama Islam adalah Pegawai Kantor Pencatatan Sipil

(37)

Akibat Hukum Perkawinan

o

Perkawinan yang memenuhi syarat-syarat

seperti ditentukan dalam UU Perkawinan

dinyatakan dan diakui sebagai perkawinan sah

dengan segala akibat hukumnya.

o

Akibat hukum perkawinan sah adalah timbul

hubungan hukum antara

suami dan istri

,

antara

orang tua dan anak

, antara

wali dan

anak

, serta

harta kekayaan

dalam harta

kekayaan dalam perkawinan.

(38)

Hubungan Hukum antara Suami dan Istri

a.

Hak suami-istri

1.

Suami dan istri mempunyai hak dan kedudukan

yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga

dan pergaulan hidup dalam masyarakat (Pasal 31

ayat (1) UU Perkawinan).

2.

Suami dan istri sama-sama berhak melakukan

perbuatan hukum (Pasal 31 ayat (2) UU

Perkawinan).

3.

Suami dan istri mempunyai kesempatan yang

sama untuk mengajukan gugatan kepada

pengadilan apabila ada yang melalaikan

kewajiban (Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan).

(39)

b.

Kewajiban suami-istri

1.

Suami dan istri berkewajiban luhur menegakkan

rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan

masyarakat (Pasal 31 UU Perkawinan).

2.

Suami dan istri mempunyai tempat kediaman

yang tetap yang ditentukan oleh suami-istri

bersama (Pasal 32 UU Perkawinan).

3.

Suami dan istri saling mencintai, saling

menghormati, saling setia dan sering memeri

bantuan lahir batin (Pasal 33 UU Perkawinan).

4.

Suami dan istri wajib memelihara dan mendidik

anak sebaik-baiknya sampai anak itu dapat

mandiri atau kawin (Pasal 45 UU Perkawinan).

(40)

Hubungan Hukum antara Orang dan Anak

1. Salah satu akibat perkawinan antara suami dan istri

adalah

lahir anak

.

2. Akibat hukum dari kelahiran anak adalah timbul

hubungan hukum antara orang tua dan anak.

3. Dalam hubungan hukum tersebut orang tua

mempunyai hak dan kewajiban terhadap anaknya,

dan sebaliknya anak mempunyai hak dan kewajiban

terhadap orang tua.

4. Hak dan kewajiban orang tua terhadap anak—lazim

disebut "

kekuasaan orang tua

".

(41)

o Kekuasaan Orang tua

• Kekuasaan orang tua terhadap anak berlangsung hingga

anak itu mencapai umur 18 tahun atau anak itu kawin atau ada pencabutan kekuasaan orang tua oleh pengadilan (Pasal 47 UU Perkawinan).

• Kekuasaan otang tua meliputi:

1. Kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak (sebagaimana dipahami dari Pasal 47 ayat (1) UU Perkawinan).—Kekuasaan ini meliputi antara lain: nafkah, rumah tempat tinggal, pendidikan, pengarahan kehidupan masa depan anak dan menetapkan perkawinan anak.

2. Kekuasaan terhadap perbuatan anak (sebagaimana dipahami dari Pasal 47 ayat (2) UU Perkawinan).— Kekuasaan ini meliputi perbuatan hukum dan akibat hukum yang timbul dari perbuatan anak, mengarahkan perbuatan anak untuk kebaikan.

(42)

3. Kekuasaan terhadap harta benda anak (sebagaimana

dipahami dari Pasal 48 UU Perkawinan).—Kekuasaan ini meliputi mengurus, menyimpan, membelanjakan harta anak untuk kepentingannya sebelum berumur 18 tahun atau sebelum ia kawin. Dengan pembatasan orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang.

o Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua

1. Menurut Ketentuan Pasal 46 UU Perkawinan, anak

wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.

2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara orang tua

dan keluarga dalam garis lurus ke atas menurut kemampuannya, dan jika mereka itu memerlukan bantuannya.

(43)

Harta Kekayaaan dalam Perkawinan

Menurut Pasal 35 UU Perkawinan, harta kekayaan dalam perkawinan dibedakan menjadi tiga macam:

1. Harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh suami dan

istri selama dalam ikatan perkawinan. Harta bersama dikuasai oleh suami dan istri. Suami atau istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan). Terhadap istri bersama, suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama.

2. Harta bawaan yang dibawa dan dikuasai oleh masing-masing

suami dan istri ketika terjadi perkawinan. Yaitu suami menguasai harta miliknya dan istri menguasai harta miliknya. Masing-masing suami atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai kekayaannya (Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan).

3. Harta perolehan yang diperoleh masing-masing suami atau istri

sebagai warisan atau hadiah. Harta perolehan masing-masing secara prinsip penguasaannya sama seperti harta bawaan. Masing-masing, baik suami atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan mengenai harta perolehannya.

(44)

Putusnya Perkawinan dan Akibatnya

Konsep

1. Menurut ketentuan Pasal 38 UU Perkawinan, perkawinan dapat putus karena tiga hal—yaitu

kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan.

2. Putusnya kematian karena perceraian sering disebut masyarakat dengan istilah "cerai mati".

3. Putusnya perkawinan karena perceraian ada dua sebutan—yaitu "cerai gugat" dan "cerai talak".

4. Putusnya perkawinan karena berdasar putusan pengadilan disebut "cerai batal".

 Dengan demikian perkawinan dapat putus karena

(45)

Alasan perceraian suami dan istri

Menurut ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar untuk disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa ada alasan yang sah, atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

(46)

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian

Karena terjadi perceraian, ada tiga akibat yang perlu

diperhatikan—yaitu akibat terhadap anak dan istri,

terhadap harta perkawinan dan terhadap status.

Akibat terhadap anak dan istri

Menurut ketentuan Pasal 41 UU Perkawinan, ada tiga hal yang perlu dipatuhi sebagai akibat perkawinan putus karena perceraian—yaitu:

1. Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan

mendidik anak-anak mereka semata-mata untuk kepentingan anak. Apabila ada perselisihan tentang penguasaan anak, pengadilan memberi putusannya.

(47)

2. Bapak bertanggungjawan atas semua biaya pemerliharaan dan pendidikan anak. Apabila bapak dalam kenyataan tidak memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada manta suami untuk

memberikan biaya penghidupan kepada mantan istri atau menentukan suatu kewajiban bagi mantan istri.

Akibat terhadap harta perkawinan

1. Untuk harta bawaan dan harta perolehan tidak

menimbulkan masalah karena harta tersebut tetap dikuasai dan adalah hak masing-masing pihak. Apabila terjadi penyatuan harta karena perjanjian, penyelesaian juga disesuaikan dengan ketentuan perjanjian dan kepatutan.

(48)

2. Untuk harta bersama, diatur menurut ketentuan Pasal 37

UU Perkawinan—yaitu apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Akibat terhadap status

1. Bagi mereka yang putus perkawinan karena perceraian

memperoleh status perdata dan kebebasan sebagai berikut:

2. Kedua mereka itu tidak terikat dengan lagi dengan tali

perkawinan dengan status janda dan duda.

3. Kedua mereka itu bebas untuk melakukan perkawinan

dengan pihak lain.

4. Kedua mereka itu boleh untuk melakukan perkawinan

kembali sepanjang tidak dilarang oleh undang-undang atau agama mereka.

(49)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Beberapa inovasi vocal juga ditemukan dalam bahasa Tidung, misalnya saja pada PMP *buruk > TDG busak ‘busuk’, PMP *ma-putiq > TDG pulak ‘putih’, dan PMP * i-kita > TDG

Dari semua ordo dalam kelas Polypodiophyta, ordo Polypodiales mempunyai bentuk dan susunan sori yang sangat beragam seperti berbentuk garis pada tepi daun,

Pada dasarnya, pengakuan anak bisa dilakukan baik oleh ibu maupun bapak, tetapi karena berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Untuk memperoleh data tentang pengembangan pembelajaran guru Pendidikan Agama Islam dalam meningkatkan kemampuan membaca Al- Qur’an siswa di sekolah Menengah Pertama

Salah satu bagian dari kegiatan e- Learning yang menggunakan fasilitas internet adalah distance learning, merupakan suatu proses pembelajaran, dimana dosen dan maha- siswa tidak

Laboratorium komputer adalah tempat riset ilmiah, eksperimen, pengukuran ataupun pelatihan ilmiah yang berhubungan dengan ilmu komputer dan memiliki beberapa komputer dalam

Masalah dalam penelitian ini adalah rendahnya hasil belajar siswa khususnya pada mata pelajaran IPS sebagai alternative tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan hasil