commit to user
TINDAK TUTUR
DAN PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA
DALAM SANDIWARA RADIO KISAH RELIGI
“CINTA YANG HILANG”
DI RADIO RETJO BUNTUNG YOGYAKARTA
(Suatu Pendekatan Pragmatik)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh TRI HARSINI
C0207046
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
▸ Baca selengkapnya: apakah uraian dan essay sama
(2)commit to user ii
commit to user iii
commit to user iv
PERNYATAAN
Nama : Tri Harsini NIM : C0207046
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Tindak Tutur dan
Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dalam Sandiwara Radio Kisah Religi “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta (Suatu Pendekatan Pragmatik)
adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang
lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan)
dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, November 2012 Yang membuat pernyataan,
commit to user v
MOTO
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”
(Terjemahan Q.S. Ar-Rad:11).
“Tiada suatu yang besar tanpa perjuangan yang hebat” (Yovie Widianto)
commit to user vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Bapak dan ibuku tercinta yang selalu memberi kasih sayang, dukungan serta
doa.
2. Kedua kakakku yang selalu mendukung dan memberiku semangat.
commit to user vii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. atas segala rahmat dan karunia-Nya, karena penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Tindak Tutur dan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dalam Sandiwara
Radio Kisah Religi “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta
(Suatu Pendekatan Pragmatik) ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra di Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis berterima kasih atas segala bantuan, dukungan, dan dorongan yang telah diberikan oleh semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan segenap kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menyusun skripsi.
2. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang telah memberi izin dalam penulisan skripsi ini.
3. Drs. Istadiyantha, M.S., selaku pembimbing akademis, yang senantiasa
memberikan semangat dan nasihat selama penulis menempuh studi di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.
4. Dr. Dwi Purnanto, M.Hum., selaku pembimbing penulis, yang bersedia
membimbing dan memberi petunjuk kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
commit to user viii
5. Dra. Chattri Sigit Widyastuti, M.Hum., selaku penelaah penulis, yang
bersedia memberi petunjuk dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.
6. Bapak dan ibu dosen serta seluruh staf pengajar Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret atas semua ilmu yang telah penulis terima.
7. Staf UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret dan staf Perpustakaan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah membantu dan memberikan kemudahan pada penulis dalam mendapatkan buku-buku referensi untuk penyusunan skripsi ini.
8. Kedua orang tua dan kedua kakak penulis yang sangat penulis sayangi,
terima kasih atas semua kasih sayang, dukungan dan doa yang selama ini tercurah. Suasana kekeluargaan bersama kalian sangat penulis rindukan.
9. Cinta dan kasih penulis, Ashari Puguh Novianto (Aa‟ Puguh), yang sudah
setia berbagi suka dan duka bersama, selalu sabar menghadapi penulis. Terima kasih atas semua yang Aa‟ berikan. Semoga kita dipersatukan dalam suatu keindahan dan kebahagiaan.
10. Kedua kakak ipar penulis, Mas Endang dan Kak Dedy, terima kasih untuk
semuanya.
11. Kedua keponakan penulis, Revi dan Aryo, keceriaan dan kelucuan kalian
membuat penulis semangat dan selalu merindukan kalian.
12. Saudara seperjuangan penulis, Ukhti Zulaikha, yang selalu memberikan
semangat sampai hari ini dan selalu membantu penulis dalam segala hal. Kenangan bersamamu akan selalu penulis ingat dan penulis rindukan.
13. Sahabat penulis, Alfiatun yang selalu mengingatkan untuk segera
commit to user ix
selalu memberikan kesenangaan, keceriaan dan kenangan-kenangan manis yang tidak terlupakan.
14. Semua teman Sastra Indonesia angkatan 2007 (Bety, Esti, Putri, Diana, Unun
Yeni, Nana, Imas, Ririn, Pipit, Savitri, Wilda, Panca, Aril, Eri, Pyta, Arvita, Vitalia, Arif, Ikhsan, Hari Setiawan, Hari Sulistyo, Fajar, Wibi, Rahmat, Adit, Anggoro, Ayip), terima kasih atas segala dukungan, bantuan, dan kerja samanya, semoga kesatuan kita tetap terjaga sampai kapan pun.
15. Saudara-saudara penulis di Wisma Anif dan Kos Sekartaji 4, terima kasih
untuk kebersamaan kalian yang penuh keceriaan yang tidak bisa terlupakan.
16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberikan segala bantuan dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Semoga segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah swt. Penulis sudah berupaya dengan maksimal dalam
penyusunan skripsi ini, tiada gading yang tidak retak, begitu pula dalam
penyusunan skripsi ini penulis menyadari masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bisa membangun untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa Sastra Indonesia khususnya dan pembaca pada umumnya.
Surakarta, Desember 2012 Penulis,
commit to user x
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ……… i LEMBAR PERSETUJUAN ... iiLEMBAR PENGESAHAN ………. iii
LEMBAR PERNYATAAN ……….. iv
MOTO ………... v
PERSEMBAHAN ……… vi
KATA PENGANTAR ……….. vii
DAFTAR ISI ………... x
DAFTAR TABEL ………. xv
DAFTAR SINGKATAN ……… .. xvi
ABSTRAK ……… xvii
BAB I PENDAHULUAN ……… 1
A. Latar Belakang Masalah ………... 1
B. Pembatasan Masalah ……….. 8
C. Rumusan Masalah ……….. 8
D. Tujuan Penelitian ……… 9
E. Manfaat Penelitian ………... 9
F. Sistematika Penulisan ……… 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ………... 12
A. Kajian Pustaka ……… 12
1. Tinjauan Terdahulu ………. .. 12
commit to user xi
a. Pragmatik ……….. 14
b. Situasi Tutur ………... 16
c. Tindak Tutur ………. 18
d. Prinsip Kerja Sama ……… 27
e. Implikatur ………... .. 29
B. Kerangka Pikir ……… 33
BAB III METODE PENELITIAN ………. .. 35
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan ……… 35
B. Sumber Data dan Data ……… 36
C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ………... 36
D. Klasifikasi Data ……….. 37
E. Metode dan Teknik Analisis Data ……….. 39
F. Metode Penyajian Hasil Analisis Data ……… 42
BAB IV ANALISIS DATA ……….. 43
A. Wujud Tindak Tutur dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta ……….. 43
1. Wujud Tindak Tutur Asertif ………. 43
a. Memberitahukan ……… 44 b. Menjelaskan ……….. 46 c. Membenarkan ……… 50 d. Menunjukkan ……… 52 e. Meyakinkan ……… .. 53 f. Menegaskan ……….. 56 g. Menyatakan ………... 59
commit to user xii
2. Wujud Tindak Tutur Direktif ……….. 61
a. Mempersilakan ………... 62 b. Memohon ……….... 64 c. Menasihati ……….. 65 d. Menyarankan ……….. 68 e. Menyuruh ……… 71 f. Meminta izin ………... 74 g. Melarang ………. 76 h. Mengingatkan ………. 78 i. Meminta ……….. 80 j. Mengajak ………. 81 k. Memperingatkan ………. 84 l. Membujuk ………... 87 m.Mendesak ……… 89 n. Memesan ………... 90 o. Berharap ……….. 92 p. Menolak ……….. 94
3. Wujud Tindak Tutur Ekspresif ……… 96
a. Meminta maaf ………. 97 b. Memuji ……… 99 c. Berterima kasih ………... 101 d. Mengungkapkan kesengsaraan ……….. 103 e. Menghibur ……….. 105 f. Mengeluh ……… 108
commit to user xiii
g. Mengungkapkan rasa sedih ……….... 111
h. Mengungkapkan rasa kecewa ……… 114
i. Menyesal ………. 116
j. Mengungkapkan rasa putus asa ……….. 119
k. Mengungkapkan rasa senang ……….. 121
l. Mengungkapkan rasa iri ………. 123
m.Mengungkapkan rasa jengkel ………. 124
n. Menuduh ………. 127
o. Menyindir ……… 128
p. Mengungkapkan rasa cemburu ……… 130
q. Menyalahkan ……….. 131
r. Mengungkapkan rasa penasaran ………. 133
s. Mengungkapkan rasa bingung ……… 134
t. Menyangkal ………. 135
u. Mengungkapkan rasa simpati ………. 138
v. Mengungkapkan rasa kasihan ………. 140
w.Mengungkapkan rasa kaget ………... 141
x. Mengungkapkan rasa marah ……….. 143
y. Mengungkapkan rasa heran ……… 146
z. Mengungkapkan rasa malu ………. 147
4. Wujud Tindak Tutur Komisif ……….. 149
a. Menyatakan kesanggupan ……….. 149
b. Menawarkan ……….... 152
commit to user xiv
B. Wujud Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dalam SRKR
“Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta .. 162
1. Pelanggaran Maksim Kuantitas ………... 163
2. Pelanggaran Maksim Kualitas ………. 166
3. Pelanggaran Maksim Relevansi ……….. 169
4. Pelanggaran Maksim Pelaksanaan ……….. 171
BAB V PENUTUP ……….. 173
A. Simpulan ………... 173
B. Saran ………. 174
DAFTAR PUSTAKA ……….. 176
commit to user xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Tindak Tutur ………. 157-161
commit to user xvi
DAFTAR SINGKATAN
FM : Frequency Modulation
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia
PPKS : Pelanggaran Prinsip Kerja Sama
RB : Retjo Buntung
SDM : Sumber Daya Manusia
SRKR : Sandiwara Radio Kisah Religi
STAI : Sekolah Tinggi Agama Islam
TT : Tindak Tutur
TTA : Tindak Tutur Asertif
TTDir : Tindak Tutur Direktif
TTE : Tindak Tutur Ekspresif
TTK : Tindak Tutur Komisif
commit to user xvii
ABSTRAK
Tri Harsini. C0207046. 2012. Tindak Tutur dan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama
dalam Sandiwara Radio Kisah Religi “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo
Buntung Yogyakarta (Suatu Pendekatan Pragmatik). Skripsi: Jurusan Sastra
Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana wujud tindak tutur dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta? (2) Bagaimana wujud pelanggaran prinsip kerja sama dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta?
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud tindak tutur dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta, (2) Mendeskripsikan wujud pelanggaran prinsip kerja sama dalam SRKR “Cinta yang
Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Oleh karena itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan pragmatik. Sumber data penelitian ini adalah acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta selama 5 episode yang disiarkan pada tanggal 18 Juli 2011 sampai 22 Juli 2011. Data dalam penelitian ini adalah dialog para pemain SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta yang mengandung tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama beserta konteksnya yang disiarkan pada tanggal 18 Juli 2011 sampai 22 Juli 2011. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah simak, sedangkan teknik yang digunakan dalam pengumpulan data menggunakan teknik rekam. Metode analisis data yang digunakan adalah padan pragmatis dan kontekstual. Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah means-end dan heuristik. Metode penyajian
hasil analisis data dalam penelitian ini adalah penyajian secara informal.
Berdasarkan analisis data dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio
Retjo Buntung Yogyakarta dapat disimpulkan beberapa hal: (1) Ditemukan 7
subtindak tutur asertif, yaitu memberitahukan, menjelaskan, membenarkan,
menunjukkan, meyakinkan, menegaskan, dan menyatakan. Adapun tindak tutur
asertif yang paling banyak ditemukan adalah „memberitahukan‟, (2) Ditemukan
16 subtindak tutur direktif, yaitu mempersilakan, memohon, menasihati,
menyarankan, menyuruh, meminta izin, melarang, mengingatkan, meminta,
mengajak, memperingatkan, membujuk, mendesak, memesan, berharap, dan
menolak. Adapun tindak tutur direktif yang paling banyak ditemukan adalah
„mengingatkan‟, (3) Ditemukan 26 subtindak tutur ekspresif, yaitu tindak tutur
yang berfungsi untuk meminta maaf, memuji, berterima kasih, mengungkapkan
commit to user xviii
mengungkapkan rasa kecewa, menyesal, mengungkapkan rasa putus asa, mengungkapkan rasa senang, mengungkapkan rasa iri, mengungkapkan rasa jengkel, menuduh, menyindir, mengungkapkan rasa cemburu, menyalahkan, mengungkapkan rasa penasaran, mengungkapkan rasa bingung, menyangkal, mengungkapkan rasa simpati, mengungkapkan rasa kasihan, mengungkapkan
rasa kaget, mengungkapkan rasa marah, mengungkapkan rasa heran, dan
mengungkapkan rasa malu. Adapun tindak tutur ekspresif yang paling banyak
ditemukan adalah „berterima kasih‟ dan „mengeluh‟, (4) Ditemukan 3 subtindak
tutur komisif, yaitu menyatakan kesanggupan, menawarkan, dan berjanji. Adapun
tindak tutur komisif yang paling banyak ditemukan adalah „menyatakan kesanggupan‟. Tindak tutur deklarasi tidak ditemukan dalam penelitian ini. Mengenai pelanggaran prinsip kerja sama, dalam penelitian ini ditemukan banyak pelanggaran terhadap semua maksimnya, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Pelanggaran paling banyak ialah terhadap maksim kuantitas, yang diikuti oleh maksim kualitas, kemudian maksim relevansi dan maksim pelaksanaan.
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Artinya, manusia tidak bisa hidup sendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia hidup saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, manusia perlu bergaul dan berkomunikasi dengan sesama manusia untuk saling bertukar pikiran, menyampaikan ide atau pendapatnya. Terkait masalah pentingnya berkomunikasi dengan sesama manusia, maka bahasa memegang peran yang sangat penting karena bahasa adalah salah satu sarana untuk melakukan komunikasi. Tanpa adanya bahasa, sulit bagi manusia sebagai makhluk sosial untuk menyampaikan kepentingannya, baik kepentingan individu, kelompok, maupun kepentingan bersama. Harimurti Kridalaksana berpendapat bahwa, “Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, berkomunikasi, dan
mengidentifikasikan diri” (Harimurti Kridalaksana, 1993:21).
Berkomunikasi sangat perlu dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Hal tersebut dikarenakan komunikasi memiliki fungsi menyampaikan informasi, mendidik, menghibur dan mempengaruhi khalayak. Salah satu cara penyampaian informasi bisa diwujudkan dengan cara bertutur satu sama lain.
Adapun media yang bisa digunakan untuk menyampaikan dan memperoleh informasi atau berita bisa menggunakan media cetak dan media elektronik. Yang termasuk media cetak, misalnya koran, majalah, dan buku.
commit to user
Media elektronik bisa berupa audiovisual, misalnya televisi sedangkan media elektronik yang berupa audio, misalnya radio.
Radio bisa menjadi salah satu media yang dipilih masyarakat untuk memperoleh informasi dan hiburan yang diinginkan. Hal tersebut dikarenakan radio memiliki keunggulan, yaitu harganya relatif murah. Hampir setiap rumah
memiliki radio, bahkan handphone zaman sekarang pun sudah difasilitasi dengan
radio.
Saat ini, masyarakat dapat dengan mudah mendengarkan radio kesayangan mereka, di mana pun mereka berada, bahkan di luar negeri sekalipun. Radio Retjo Buntung (selanjutnya disingkat RB) 99,4 FM adalah salah satu stasiun radio yang
berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Radio RB bisa didengarkan melalui live
streaming. Dengan live streaming, masyarakat bisa mendengarkan acara-acara
Radio RB sekalipun mereka tidak berada di Daerah Istimewa Yogyakarta (http://www.retjobuntungfm.co.id/index.php?mod=profil).
Menurut survei Nielsen, Radio RB adalah radio ranking 1 di Yogyakarta.
Jika dilihat di twitter, Radio RB memiliki followers sebanyak 3.202 orang
(https://twitter.com/retjobuntungfm). Selain itu, jika dilihat di fan page Radio RB,
sebanyak 5.286 orang menyukai Radio RB (http://www.facebook.com/pages/Fan-Page-Retjo-Buntung-994-FM/203559922996017?sk=likes). Dari sekian banyak radio yang ada di Yogyakarta, pada hari Jumat, 21 Desember 2012, Radio RB
menempati urutan ke-4 teratas dalam today top listener via streaming
(http://www.jogjastreamers.com/). Oleh sebab itulah alasan ketertarikan penulis memilih Radio Retjo Buntung Yogyakarta sebagai sumber yang digunakan oleh penulis untuk memperoleh sumber data dalam penelitian ini.
commit to user
Radio RB lahir pada tanggal 9 Maret 1967. Digerakkan oleh SDM kreatif, dinamis dan berwawasan luas, serta didukung teknologi canggih saat ini, RB 99,4 FM terus tumbuh di tengah pesatnya perkembangan dunia media informasi. Radio RB adalah salah satu radio yang tetap mengudara sampai saat ini dengan usianya yang lebih dari 40 tahun. Program yang telah disajikan dikemas secara khas untuk memenuhi kebutuhan akan hiburan dan informasi keluarga di Yogyakarta dan kota-kota sekitarnya. Dengan memposisikan RB sebagai “Citra Radio Keluarga”, program acara yang dirancang nonstop 24 jam, sampai saat ini telah memenuhi kebutuhan pendengar yang selalu disebut dengan sapaan “Pemiarsa”. Radio RB mempunyai komitmen untuk memberikan layanan memuaskan kepada “Pemiarsa”, yang diwujudkan dengan program musik, hiburan dan informasi
termasuk program talk show tentang permasalahan aktual dan keluarga
(http://www.retjobuntungfm.co.id/index.php?mod=profil).
Acara-acara radio yang semakin menarik tentu akan semakin banyak pula yang mendengarkan. Oleh karena itu, Radio RB memberikan suatu acara hiburan yang menarik untuk disimak oleh pemiarsa. Hiburan tersebut bertema kisah religi yang dikemas dalam bentuk sandiwara radio. Sandiwara radio merupakan suatu karya sastra yang dihasilkan manusia yang berupa drama yang disiarkan melalui radio sebagai medianya. Sandiwara radio termasuk dalam genre sastra elektronik. Sastra elektronik adalah sastra di media elektronik. Sandiwara atau drama radio menggunakan media berupa audio karena hanya menampilkan suara saja.
Radio RB mempunyai dua acara sandiwara, yaitu sandiwara radio bahasa Jawa dan sandiwara radio kisah religi (http://gudeg.net/id/directory/37/413/Radio-Retjo-Buntung-994-FM.html). Adapun acara sandiwara radio yang dipilih penulis
commit to user
untuk dilakukan penelitian adalah Sandiwara Radio Kisah Religi (selanjutnya
disingkat SRKR) yang disiarkan Radio RB 99,4 FM Yogyakarta. Sandiwara radio bahasa Jawa tidak dipilih oleh penulis karena bahasa yang digunakan bukan bahasa Indonesia melainkan bahasa Jawa. Sehingga hal tersebut bukan merupakan lingkup kajian untuk sastra Indonesia.
SRKR mampu mengangkat potret nyata kehidupan manusia dengan segala kelemahan yang dimilikinya dalam sebuah drama radio yang sangat menarik untuk disimak. SRKR ini disiarkan setiap hari Senin sampai Jumat mulai pukul 09.00 WIB sampai dengan pukul 09.30 WIB. Bagi Pemiarsa yang tidak bisa mendengarkan SRKR pada pagi hari maka Radio RB memberikan solusi dengan menghadirkan siaran ulang acara SRKR pada hari Senin sampai Jumat mulai pukul 21.00 WIB sampai dengan pukul 21.30 WIB.
Acara SRKR ini menghadirkan pelajaran yang bisa diambil karena cerita-cerita yang disajikan merupakan kisah dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, sesuai dengan tujuan komunikasi, yaitu, mengubah sikap, mengubah pendapat, mengubah perilaku, dan mengubah sosial, diharapkan dengan adanya acara SRKR ini mampu mengubah sikap dan perilaku masyarakat sehari-hari menjadi lebih baik karena banyak pelajaran yang bisa diambil dari acara SRKR ini.
Acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio RB Yogyakarta ini berbeda dengan acara sandiwara radio lainnya. Sandiwara radio biasanya hanya mengangkat drama kolosal, akan tetapi acara SRKR “Cinta yang Hilang” mampu menampilkan cerita yang menggambarkan potret nyata kehidupan manusia saat ini, misalnya masalah percintaan, keluarga, persahabatan, dan sebagainya.
commit to user
Acara SRKR ini menampilkan judul yang berbeda-beda. Judul yang diambil oleh penulis untuk dijadikan penelitian adalah “Cinta yang Hilang” naskah karya Liya Adriansyah, dengan sutradara W. Adya Putra. Judul ini terdiri dari 5 episode. Judul “Cinta yang Hilang” dipilih oleh penulis untuk diteliti karena menurut pengamatan penulis, judul tersebut yang paling mendekati dengan kisah kehidupan sehari-hari. Cerita yang disampaikan cukup mewakili perasaan orang tua pada umumnya, yaitu perasaan untuk diperhatikan dan diberi kasih sayang oleh anak-anak dan istrinya.
Dari segi kebahasaan, yang menarik dari acara SRKR ini adalah tuturan-tuturan yang diujarkan oleh para tokoh. Misalnya ketika tokoh Pak Dibyo merasakan kerinduan kepada anak-anaknya yang tidak kunjung datang untuk menemui atau menjenguknya, tentu banyak tuturan yang diujarkan mengandung jenis tindak tutur, seperti tuturan mengekspresikan keluhan, kejengkelan, kesedihan, kebahagiaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti tuturan-tuturan yang terdapat dalam acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta dengan menggunakan pendekatan ilmu pragmatik, yang bertujuan untuk mengetahui makna tuturan tanpa meninggalkan konteksnya.
Apabila percakapan terjadi antara dua orang atau lebih, maka jumlah tuturan yang terjadi akan menjadi banyak. Hal inilah yang tejadi dalam acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakara, yaitu percakapan antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Dalam percakapan, diharapkan peserta percakapan dapat melakukan percakapan secara kooperatif. Untuk itu penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas,
commit to user
padat dan ringkas sehingga maksud tuturannya bisa dipahami oleh mitra tuturnya. Agar terjadi suatu percakapan yang baik, peserta tutur harus mematuhi 4 prinsip kerja sama yang disampaikan oleh Grice, meliputi maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Akan tetapi, berbagai tuturan yang terjadi pada sebuah percakapan bisa menyebabkan terjadinya pelanggaran prinsip percakapan. Begitu halnya dalam SRKR “Cinta yang Hilang” ini, berbagai tuturan para pemain tidak sepenuhnya mematuhi prinsip kerja sama, namun bisa saja prinsip tersebut dilanggar.
Prinsip kerja sama dalam SRKR “Cinta yang Hilang” ini banyak diwujudkan dalam bentuk pelanggaran prinsip kerja sama. Dalam penelitian ini, pelanggaran yang dimaksud adalah pelanggaran prinsip kerja sama yang dilakukan oleh para pemain SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta ketika mereka melakukan percakapan. Wujud Pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta ini bisa dijumpai, misalnya ketika tokoh Fatimah bertanya benar atau tidak jika Pak Dibyo tinggal di satu daerah dengan Fatimah. Pak Dibyo pun menjawab pertanyaan Fatimah bahwa dirinya satu warga dengan Fatimah, kemudian Pak Dibyo menunjukkan letak rumahnya kepada Fatimah. Hal tersebut tentu melanggar maksim kuantitas karena kontribusi yang diberikan oleh Pak Dibyo tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh Fatimah, yaitu terlalu banyak. Dari pelanggaran prinsip kerja sama itulah muncul adanya implikatur meyakinkan yang dilakukan oleh Pak Dibyo melalui tuturannya. Dengan menunjukkan letak rumahnya kepada Fatimah, Pak Dibyo bermaksud membuat Fatimah percaya dan yakin bahwa Pak Dibyo juga warga di tempat Fatimah tinggal.
commit to user
Acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio RB menarik untuk dikaji dengan pendekatan pragmatik, karena tuturan-tuturan yang terdapat dalam acara tersebut mengandung berbagai macam maksud dari penutur, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Semua itu dapat dikaji dalam ilmu pragmatik. Dengan teori pragmatik, dapat dijelaskan fenomena-fenomena bahasa yang terjadi dalam suatu percakapan melalui tuturan-tuturan yang disampaikan oleh penutur dan mitra tutur.
Alasan lain yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio RB Yogyakarta dengan pendekatan pragmatik adalah karena banyak muncul keterkaitan bahasa yang digunakan oleh para tokoh dengan unsur-unsur eksternalnya yang menjadi cirri khas ilmu pragmatik. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh George Yule bahwa pragmatik adalah studi yang mengkaji makna kontekstual atau makna yang terikat dengan konteks (Yule, 1996:3).
Adanya konteks sangat membantu pendengar dalam menikmati acara SRKR “Cinta yang Hilang” supaya maksud tuturan yang disampaikan oleh para tokoh dapat dengan mudah dipahami. Begitu pula dalam penelitian ini, adanya konteks sangat membantu penulis dalam melakukan analisis data. Konteks dalam SRKR “Cinta yang Hilang” ini bisa diperoleh dari tuturan-tuturan yang disampaikan oleh para tokoh. Monolog dari para tokoh juga bisa memperjelas adanya konteks percakapan. Monolog dalam acara SRKR “Cinta yang Hilang” ini biasanya terdapat dibagian awal, tengah, dan akhir dari cerita.
Ragam bahasa yang digunakan dalam acara SRKR “Cinta yang Hilang” ini cenderung menggunakan ragam bahasa informal. Penggunaan ragam bahasa
commit to user
informal dalam acara tersebut bertujuan supaya cerita yang disampaikan mudah dipahami dan bisa menarik pendengar untuk menyimak acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio RB.
Dari uraian di ataslah penulis tertarik meneliti acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio RB Yogyakarta dari segi tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama karena di dalam acara ini banyak tuturan-tuturan yang mengandung variasi tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama.
B. Pembatasan Masalah
Untuk mencegah kerancuan masalah dan untuk mengarahkan penelitian ini agar lebih intensif dan efisien sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka diperlukan adanya pembatasan masalah. Ruang lingkup penelitian ini penulis fokuskan pada masalah pemakaian bahasa yang digunakan oleh para pemain SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio RB. Penulis menggunakan pendekatan pragmatik untuk membedah permasalah yang ada dalam penelitian ini. Penulis membatasi kajian pada analisis tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta.
C. Rumusan Masalah
Salah satu hal yang penting dalam suatu penelitian ilmiah adalah perumusan masalah yang merupakan dasar bagi suatu penelitian. Dengan adanya perumusan masalah, hal yang hendak dikaji dapat didefinisikan lebih rinci dan dirumuskan dalam pernyataan yang operasional, yaitu pernyataan-pernyataan yang mengarahkan sekaligus membatasi rumusan masalah. Perumusan masalah sekaligus mempertegas ruang ligkup yang diteliti (pembatasan masalah).
commit to user
Dengan demikian, penelitian lebih dikhususkan dan ditentukan ruang lingkupnya (Edi Subroto, 1992:88).
Sejalan dengan latar belakang masalah di atas, maka dalam penelitian ini penulis merumuskan masalah yang akan dikaji sebagai berikut:
1. Bagaimana wujud tindak tutur dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio
Retjo Buntung Yogyakarta?
2. Bagaimana wujud pelanggaran prinsip kerja sama dalam SRKR “Cinta
yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan suatu penelitian adalah memecahkan masalah. Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan wujud tindak tutur dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di
Radio Retjo Buntung Yogyakarta.
2. Mendeskripsikan wujud pelanggaran prinsip kerja sama dalam SRKR
“Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta.
E. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian ilmiah diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. Adapun manfaat yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoretis
a. Memperkaya hasil penelitian dalam peristiwa kebahasaan terutama
commit to user
b. Menambah khasanah kajian dalam bidang pragmatik khususnya dan
linguistik umumnya.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbangan positif kepada pembuat acara SRKR dan penulis
naskah sandiwara radio “Cinta yang Hilang” tentang wujud tindak tutur
dan pelanggaran prinsip kerja sama dalam karyanya yang berupa sandiwara radio agar yang disampaikan bisa lebih menarik dan mengena serta mudah dipahami.
b. Menambah wawasan pembaca dalam menikmati suatu sandiwara radio.
c. Dengan adanya penelian ini diharapkan masyarakat bisa menerapkan
penggunaan tindak tutur dan prinsip kerja sama dalam percakapan sehari-hari agar terjadi suatu tuturan yang relevan dan mitra tutur mampu memahami maksud tuturan yang disampaikankan oleh penutur.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan diperlukan untuk mempermudah penguraian masalah dalam suatu penelitian, yaitu agar cara kerja penelitian lebih terarah, runtut, dan jelas. Penulisan yang sistematis banyak membantu pembaca dalam memahami penelitian. Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini tersusun atas lima bab. Kelima bab itu adalah sebagai berikut.
Bab pertama pendahuluan. Bab ini terdiri atas latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua kajian pustaka dan kerangka pikir. Bab ini terdiri atas kajian pustaka, dan kerangka pikir. Kajian pustaka berisi tinjauan terdahulu dan landasan
commit to user
teori. Tinjauan terdahulu merupakan tinjauan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang sejenis dan relevan dengan penelitian ini, sedangkan landasan teori berisi tentang teori-teori yang digunakan untuk mengkaji dan memahami permasalahan yang diteliti. Kerangka pikir berisi gambaran secara jelas kerangka yang digunakan penulis untuk mengkaji dan memahami permasalahan yang diteliti.
Bab ketiga metode penelitian. Bab ini memberikan gambaran proses penelitian yang terdiri atas jenis penelitian dan pendekatan, sumber data dan data, metode dan teknik pengumpulan data, klasifikasi data, metode dan teknik analisis data, metode penyajian hasil analisis data.
Bab keempat analisis data. Bab ini merupakan inti dari penelitian yang berisikan analisis data, yaitu deskripsi tentang wujud tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama.
commit to user
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Tinjauan Terdahulu
Ada beberapa studi terdahulu yang berhubungan dengan penelitian tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama yang menggunakan pendekatan pragmatik. Beberapa studi terdahulu yang penulis temukan yang sejenis dan masih relevan dengan penelitian ini akan dipaparkan sebagai berikut.
Skripsi Waluyo (2009) dari dari Fakultas Sastra dan Seni Rupa,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang berjudul Pelanggaran Prinsip Kerja
Sama dan Prinsip Kesopanan dalam Percakapan Lum Kelar di Radio Sas FM,
membahas tiga permasalahan, yaitu (1) bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam percakapan Lum Kelar, (2) bentuk pelanggaran prinsip kesopanan dalam
Percakapan Lum Kelar, (3) implikatur percakapan yang terdapat dalam
percakapan Lum Kelar.
Beberapa hal yang bisa disimpulkan dari skripsi tersebut pertama,
ditemukan adanya pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dalam tuturan Lum Kelar. Pelanggaran prinsip kerja sama terjadi terhadap empat maksim, yaitu (a) pelanggaran maksim kuantitas, (b) pelanggaran maksim kualitas, (c) pelanggaran maksim relevansi, (d) pelanggaran maksim pelaksanan. Pelanggaran prinsip kerja
sama paling banyak terjadi terhadap maksim kualitas. Kedua, ditemukan adanya
pelanggaran terhadap prinsip kesopanan dalam percakapan Lum Kelar. Pelanggaran hanya terjadi terhadap lima maksim dari enam maksim yang tercakup
commit to user
dalam prinsip ini. Pelanggaran-pelanggaran yang dimaksud adalah (a) pelanggaran maksim kebijaksanaan, (b) pelanggaran maksim penerimaan, (c) pelanggaran maksim kemurahan, (d) pelanggaran maksim kerendahan hati, dan (e) pelanggaran maksim kecocokan. Pelanggaran terhadap maksim kesimpatian
tidak ditemukan dalam penelitian ini. Ketiga, tuturan dalam Lum Kelar
mengandung beberapa macam implikatur percakapan. Implikatur-implikatur tersebut digunakan antara lain untuk (a) menegaskan, (b) mengeluh, (c) menciptakan humor, (d) menyindir, (e) memastikan, (f) menolak, (g) menyombongkan diri, (h) mengejek, dan (i) menyatakan rasa kesal. Dalam percakapan Lum Kelar, implikatur percakapan terbanyak digunakan untuk humor. Hal tersebut merupakan salah satu strategi untuk menarik minat pendengar, agar mau mendengarkan Lum Kelar dari awal hingga akhir.
Skripsi Eri Dwi Astuti (2012) dari Fakultas Sastra dan Seni Rupa,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang berjudul Tindak Tutur dan Kesopanan
Berbahasa dalam Dialog Kesehatan di Radio FM Surakarta (Sebuah Tinjauan
Pragmatik), membahas dua permasalahan, yaitu (1) bentuk tindak tutur dalam
Dialog Kesehatan di Radio FM Surakarta, (2) bentuk kesopanan berbahasa dalam Dialog Kesehatan di Radio FM Surakarta.
Beberapa hal yang bisa disimpulkan dari skripsi tersebut pertama,
ditemukan 4 jenis tindak tutur ilokusi, yaitu tindak tutur asertif atau representatif, tindak tutur direktif, tindak tutur ekspresif, dan tindak tutur komisif. Tindak tutur
asertif meliputi enam subtindak tutur, yaitu melaporkan, menjelaskan,
menyampaikan pendapat, meluruskan, menegaskan, dan menyetujui. Tindak tutur
commit to user
menyarankan, mengingatkan, melarang, dan menyuruh. Tindak tutur ekspresif
meliputi empat subtindak tutur, yaitu berterima kasih, meminta maaf, mengeluh,
dan memuji. Tindak tutur komisif meliputi dua subtindak tutur, yaitu berjanji dan
menawarkan. Kedua, bentuk kesopanan berbahasa terjadi karena mematuhi
maksim kesopanan Leech yang terdiri dari lima maksim, yaitu maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, dan maksim kesepakatan.
Dari beberapa tinjauan terdahulu di atas, penelitian-penelitian tersebut membahas masalah tindak tutur, pelanggaran prinsip kerja sama, prinsip kesopanan, dan implikatur percakapan. Dua penelitian di atas digunakan sebagai tinjauan terdahulu karena dalam penelitian ini penulis juga membahas masalah tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama. Walaupun pada penelitian terdahulu telah dilakukan penelitian tentang tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama, namun data yang dikaji dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian ini penulis focus pada kajian tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa penelitian tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta belum pernah dilakukan.
2. Landasan Teori
a. Pragmatik
Menurut Asim Gunarwan (dalam PELLBA 7, 1994:83-84), bidang linguistik yang mempelajari maksud ujaran, bukan makna kalimat yang diujarkan
commit to user
disebut pragmatik. Pragmatik mempelajari maksud ujaran atau daya (force)
ujaran. Pragmatik juga mempelajari fungsi ujaran, yakni untuk apa suatu ujaran itu dibuat atau diujarkan. Geoffrey Leech mendefinisikan pragmatik sebagai studi
tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations)
(Leech, 1993:8).
Pada kesempatan lain, Jenny Thomas dalam bukunya yang berjudul
“Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics”, bidang ilmu yang
mengkaji makna dalam interaksi atau meaning in interaction disebut pragmatik.
Pengertian tersebut dengan mengandalkan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran (Thomas, 1995:22).
Sementara itu, I Dewa Putu Wijana berpendapat bahwa cabang ilmu bahasa yang mempelajari stuktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi disebut pragmatik. Jadi, makna yang
dikaji pragmatik adalah makna yang terikat konteks (context dependent) atau
dengan kata lain mengkaji maksud penutur (1996:2). Senada dengan I Dewa Putu Wijana, Muhammad Rohmadi menegaskan bahwa pragmatik adalah studi kebahasaan yang terikat konteks. Konteks memiliki peranan kuat dalam menentukan maksud penutur dalam berinteraksi dengan lawan tutur (2004:2).
George Yule dalam bukunya yang berjudul “Pragmatics” mendefinisikan
pragmatik menjadi empat batasan. Keempat batasan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
commit to user
1) “Pragmatics is the study of speaker meaning” (Pragmatik adalah studi
yang mengkaji tentang makna penutur).
2) “Pragmatics is the study of contextual meaning” (Pragmatik adalah studi
yang mengkaji tentang makna kontekstual).
3) “Pragmatics is the study of how more gets communicated than is said”
(Pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan dari pada yang dituturkan).
4) “Pragmatics is the study of the expression of relative distance” (Pragmatik
adalah studi yang mengkaji tentang bentuk ungkapan atau ekspresi menurut jarak sosial dari penutur dan mitra tutur) (Yule, 1996:3).
b. Situasi Tutur
Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur merupakan sebabnya. Di dalam komunikasi tidak ada tuturan tanpa situasi tutur. Maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasikan melalui situasi tutur yang mendukungnya (Rustono, 1999:25).
Terkait masalah situasi tutur, Geoffrey Leech mengemukakan beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam studi pragmatik. Aspek-aspek tersebut mencakup 5 aspek, yang meliputi:
1) Penyapa dan pesapa
Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar
commit to user
belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.
2) Konteks sebuah tuturan
Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Di dalam pragmatik konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang
pengetahuan (backround knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur
dan lawan tutur.
3) Tujuan sebuah tuturan
Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama.
4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan
Tindak tutur itu merupakan suatu aktivitas. Pada tindakan bertutur, alat ucaplah yang berperan. Alat ucap juga termasuk bagian tubuh manusia.
5) Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal (Leech, 1993:19-21).
commit to user
c. Tindak Tutur
Teori tindak tutur „speech act‟ berawal dari ceramah yang disampaikan
oleh filsuf berkebangsaan Inggris, John L. Austin, pada tahun 1955 di Universitas
Harvard, yang kemudian diterbitkan pada tahun 1962 dengan judul “How to do
Things with Word” (Nadar, 2009:11).
Tindak tutur merupakan hal penting dalam pragmatik. George Yule
berpendapat bahwa “speech act is actions performed via utterances” „tindak tutur
adalah tindakan yang dilakukan lewat tuturan‟ (Yule, 1996:47). Senada dengan George Yule, Rustono mengatakan bahwa mengujarkan sebuah tuturan tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (mempengaruhi, menyuruh), di samping memang mengucapkan atau mengujarkan tuturan itu. Kegiatan melakukan tindakan mengujarkan tuturan itulah yang merupakan tindak tutur atau tindak ujar (Rustono, 1999:31).
Masih terkait masalah tindak tutur, J. L. Austin menggolongkan tindak tutur yang menggunakan kalimat performatif (kalimat yang pengutaraannya dipergunakan untuk melakukan sesuatu) menjadi tiga peristiwa tindakan, yang meliputi:
1) Tindak Lokusi (locutionary act)
Tindak lokusi merupakan tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Tindak tutur ini disebut
sebagai the act of saying something. Searle (1969) menyebut tindak tutur
lokusi ini dengan istilah tindak bahasa preposisi (prepositional act) karena
commit to user
2) Tindak Ilokusi (illocutionary act)
Tindak ilokusi merupakan tindak melakukan sesuatu (the act of to do
something). Berbeda dari lokusi, tindak ilokusi merupakan tindak tutur
yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan.
3) Tindak Perlokusi (perlocutionary act)
Sebuah tuturan yang diucapkan seseorang sering memiliki efek atau daya
pengaruh (perlocutionary force). Efek yang dihasilkan dengan
mengujarkan sesuatu itulah yang oleh Austin dinamakan tindak perlokusi. Efek atau daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja, dapat pula secara tidak sengaja. Tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur inilah yang merupakan tindak perlokusi (Austin, 1968:94-102).
Istilah'tindak tutur' umumnya diterjemahkan secara sempit dengan sekedar
diartikan sebagai tekanan illokusi suatu tuturan. Tekanan ilokusi suatu tuturan adalah „apa yang diperhitungkan tekanan itu‟. Tuturan yang sama secara potensial dapat memiliki tekanan ilokusi yang sedikit berlainan (misalnya: janji dengan peringatan). Supaya pendengar mengetahui tekanan ilokusi apa yang dimaksudkan oleh penutur, maka diperlukan adanya alat penunjuk tekanan ilokusi (Yule, 2006:84-85).
Terkait masalah alat penunjuk tekanan ilokusi, George Yule menjelaskan
bahwa “Alat Penunjuk Tekanan Illokusi (APTI) ialah jenis ungkapan di mana terdapat suatu celah untuk sebuah kata kerja yang secara eksplisit menyebutkan tindakan illokusi yang sedang ditunjukkan. Kata kerja yang demikian ini dikatakan sebagai kerja kata performatif (Vp)” (Yule, 2006:85). Contoh kata kerja
commit to user
performatif , misalnya berjanji dan memperingatkan. Jika kata kerja performatif tersebut dinyatakan dalam suatu tuturan, maka akan sangat jelas kata kerja performatif tersebut sebagai APTI. Lebih lengkap George Yule menjelaskan bahwa APTI yang lain yang dapat diidentifikasikan ialah urutan kata, tekanan, dan intonasi. Ada juga alat-alat penunjuk lainnya yang dimungkinkan untuk menunjukkan tekanan illokusi, misalnya kualitas suara yang rendah untuk memperingatkan atau mengancam (Yule, 2006:86-87).
Dalam konteks sehari-hari ada juga pra-kondisi pada tindak tutur yang
dikemukakan oleh George Yule, pra-kondisi tersebut adalah kondisi umum pada
peserta, misalnya bahwa mereka dapat memahami bahasa yang sedang digunakan.
Kondisi isi, misalnya untuk sebuah peringatan atau sebuah janji, kedua tuturan itu
harus berisi tentang peristiwa yang akan terjadi mendatang. Kondisi persiapan
untuk suatu janji secara signifikan berbeda dengan kondisi persiapan dalam suatu
peringatan. Kondisi persiapan ini berhubungan dengan kondisi ketulusan yang
merupakan pra-kondisi keempat. Sebuah janji dalam kondisi ini penutur harus secara tulus bermaksud untuk melaksanakan tindakan itu di masa mendatang. Sementara itu, untuk suatu peringatan, penutur secara tulus percaya bahwa peristiwa di masa yang akan datang itu tidak memiliki suatu akibat yang
bermanfaat. Yang terakhir merupakan kondisi esensial, yang meliputi kenyataan
bahwa dengan tindakan ucapan janji, maka penutur bermaksud menciptakan suatu keharusan untuk melaksanakan tindakan yang dijanjikan. Dengan kata lain, tuturan mengubah pernyataan penutur dari ketidakharusan menjadi suatu keharusan (Yule, 2006:87-88).
commit to user
Austin mengemukakan pandangannya bahwa di dalam mengutarakan tuturan, seseorang dapat melakukan sesuatu selain mengatakan sesuatu. Tuturan yang pengutaraanya digunakan untuk melakukan sesuatu, seperti tindakan mohon maaf, berjanji, bertaruh, mengumumkan, dan meresmikan disebut tuturan
performatif (performative), sedangkan tuturan yang dipergunakan untuk
mengatakan sesuatu disebut tuturan konstantif (constative). Tuturan performatif
tidak mengandung nilai benar dan salah (dalam I Dewa Putu Wijana, 1996:23-24). Austin (1962) mengemukakan bahwa validitas tuturan performatif
tergantung pada terpenuhinya beberapa syarat yang disebut felicity conditions.
Adapun syarat-syarat yang diajukan meliputi:
1) Orang yang mengutarakan dan situasi pengutaraan tuturan itu harus sesuai.
2) Tindakan itu harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh penutur dan
lawan tutur
3) Penutur dan lawan tutur harus memilki niat yang sungguh-sungguh untuk
melakukan tindakan itu (dalam I Dewa Putu Wijana, 1996:24-25)
Searle memperluas syarat-syarat validitas tindak tutur yang diajukan oleh Austin menjadi 5 syarat, yang meliputi:
1) Penutur harus memiliki niat yang sungguh-sungguh terhadap apa yang
dijanjikannya.
2) Penutur harus berkeyakinan bahwa lawan tutur percaya bahwa tindakan itu
benar-benar akan dilaksanakan.
3) Penutur harus berkeyakinan bahwa ia mampu melaksanakan tindakan itu.
4) Penutur harus memprediksi tindakan yang akan dilakukan (future action),
commit to user
5) Penutur harus memprediksi tindakan yang dilakukannya sendiri, bukan
tindakan yang dilakukan orang lain (dalam I Dewa Putu Wijana, 1996: 25-26).
Pada kesempatan lain, J. R. Searle mengategorikan tindak tutur menjadi lima jenis, yang meliputi:
1) Asertif (Assertives)
Tindak tutur asertif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran proposisi atas hal yang dikatakannya. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur
menyatakan, melaporkan, memprediksi, menunjukkan, dan menyebutkan.
2) Direktif (Directives)
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu atau berharap lawan tutur melakukan sesuatu. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak
tutur menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, memerintah,
meminta, dan menantang.
3) Komisif (Commisives)
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur untuk mengikat penuturnya pada suatu tindakan yang dilakukannya pada masa mendatang dan melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam tuturan. Tuturan yang
termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini misalnya, tindak tutur berjanji,
bersumpah, berkaul, menawarkan, menyatakan kesanggupan, dan mengancam.
commit to user
4) Ekspresif ( Expressives)
Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan untuk mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur
ini misalnya, tindak tutur memuji, mengucapkan terima kasih, meminta
maaf, mengucapkan selamat, mengkritik, dan mengeluh.
5) Deklarasi (Declarations)
Tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini
misalnya, memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan
mengangkat (Searle, 1996:147-149).
Ahli lain, Geoffrey Leech mengklasifikasikan tindak tutur menjadi enam macam, yang meliputi:
1) Asertif: merupakan tindak tutur yang mengikat penutur pada kebenaran
proposisi yang dituturkan, misalnya menceritakan, melaporkan,
mengemukakan, menyatakan, mengumumkan, mendesak.
2) Direktif: bentuk tindak tutur yang dimaksud oleh penutur untuk membuat
pengaruh agar mitra tutur melakukan sesuatu tindakan, misalnya
memohon, meminta, memberi perintah, menuntut, melarang.
3) Komisif: tindak tutur yang menyatakan janji atau penawaran, misalnya
commit to user
4) Ekspresif: tindak tutur yang berfungsi untuk menunjukkan sikap psikologis
penutur terhadap keadaan yang sedang dialami oleh mitra tutur, misalnya
mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih, merasa ikut
bersimpati, meminta maaf.
5) Deklaratif: tindak tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan
kenyataan, misalnya memecat, membaptis, menikahkan, mengangkat,
menghukum, memutuskan.
6) Rogatif: tindak tutur yang dinyatakan oleh penutur untuk menanyakan jika
bermotif langsung atau mempertanyakan jika bermotif ragu-ragu, misalnya
menanyakan, mempertanyakan, dan menyangsikan (Leech,
1993:327-329).
Sementara itu, Fraser mengklasifikasikan tindak tutur menjadi delapan
macam, yang meliputi:
1) Tindakan asertif (act of asserting): ditandai dengan verba menuduh,
mengakui, menyimpulkan, memberi tahu, menyatakan, menyatakan yakin.
2) Tindakan evaluasi (act of evaluating): ditandai dengan verba mendesak,
mengevaluasi, menganggap, memvonis, menerka.
3) Tindakan reflektif perilaku pembicara (acts of reflecting speaker attitude):
ditandai dengan verba memuji, mengeluh, merasa ikut bersimpati,
menuduh, menyayangkan, meminta maaf.
4) Tindakan penetapan (acts of stipulating): ditandai dengan verba
menetapkan, mencalonkan, memilih, mengumumkan, mengatur,
commit to user
5) Tindakan permohonan (acts of requesting): ditandai dengan verba
menuntut, memohon, menawarkan, mengundang, mengarahkan, melarang.
6) Tindakan menyarankan (acts of suggesting) ditandai dengan verba
memperingatkan, merekomendasikan, menyarankan, mengusulkan,
mendukung, menasihati.
7) Tindakan dari penggunaan kekuasaan (act of exercising authority):
ditandai dengan verba membatalkan, memutuskan, memecat, menurunkan
gaji, mewariskan, menghukum.
8) Tindakan komisif (act of committing): ditandai dengan verba bersumpah,
berjanji, menawarkan diri, meyakinkan, berikrar, berkaul (dalam Nadar,
2009:16-17).
Pada kesempatan lain, J. R. Searle menjelaskan bahwa tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung.
1) Tindak tutur langsung
Secara formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk memberitakan sesuatu (informasi), kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, atau permohonan. Bila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dsb, tindak
commit to user
2) Tindak tutur tidak langsung
Tindak tutur tidak langsung (indirect speech) ialah tindak tutur untuk
memerintah sesorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung bisanya tidak dapat dijawab secara langsung, tetapi harus segera dilaksanakan maksud yang terimplikasi di dalamnya (dalam I Dewa Putu Wijana, 1996:30-31).
Sehubungan dengan kelangsungan dan ketidaklangsungan tuturan, tindak tutur juga dibedakan menjadi tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal.
1) Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya
sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya.
2) Tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) ialah tindak tutur yang
maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya (I Dewa Putu Wijana 1996:32).
Bila tindak tutur langsung dan tidak langsung disinggungkan (diinterseksikan) dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, maka akan diperoleh empat macam tindak tutur, meliputi:
1) Tindak tutur langsung literal
Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) adalah tindak tutur
yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraanya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya, dsb.
commit to user
2) Tindak tutur tidak langsung literal
Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah
tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai
dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang
menyusunnya sesuai dengan yang dimaksudkan penutur. Dalam tindak tutur ini maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya.
3) Tindak tutur langsung tidak literal
Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act) adalah
tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah dan maksud menginformasikan dengan kalimat berita. Hal lain yang perlu diketahui adalah kalimat tanya tidak dapat digunakan untuk mengutarakan tindak tutur langsung tidak literal.
4) Tindak tutur tidak langsung tidak literal
Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech act)
adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan (I Dewa Putu Wijana1996:33-35).
d. Prinsip Kerja Sama
Prinsip kerja sama merupakan pokok subteori tentang penggunaan bahasa itu dimaksudkan sebagai upaya membimbing para peserta percakapan agar dapat melakukan percakapan secara kooperatif (Rustono, 1999:53).
commit to user
Di dalam komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa
seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk
mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap lawan bicaranya dapat memahami yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk ini penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas dan mudah
dipahami, padat dan rigkas (straight forward), sehingga tidak menghabiskan
waktu lawan bicaranya (I Dewa Putu Wijana, 1996:45).
H. P. Grice, mengatakan prinsip kerja sama yang berbunyi: “Make your
conversational contribution such as is required, at the stage at whice it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged”
(Buatlah sumbangan percakapan Anda seperti yang Anda inginkan pada saat berbicara, berdasarkan tujuan percakapan yang disepakati atau arah percakapan yang sedang anda ikuti) (Grice, 1996:158-159).
Terkait masalah prinsip kerja sama, H. P. Grice mengemukakan bahwa secara lengkap prinsip kerja sama meliputi empat maksim, yang satu persatu dapat
disebutkan sebagai berikut: (1) maksim kuantitas (the maxim of quantity), (2)
maksim kualitas (the maxim of quality), (3) maksim relevansi (the maxim of
relevance), dan (4) maksim pelaksanaan (the maxim of manner).
1) Maksim kuantitas (the maxim of quantity)
Maksim kuantitas dijabarkan menjadi dua submaksim, a) “Make your
contribution as invormative as is required (for the current purposes of the
exchange)”, b) “Do not make your contribution more informative than is
commit to user
kebutuhan sesuai dengan tujuan atau maksud pertuturan‟, b) „Jangan memberikan informasi yang berlebihan dari yang dibutuhkan‟).
2) Maksim kualitas (the maxim of quality)
Maksim kualitas dijabarkan ke dalam dua submaksim, a) “Do not say what
you believe to be false”, b) “Do not say that for which you lack adequate
evidence”. (Maksim kualitas: a) „Jangan mengatakan sesuatu yang tidak
benar‟, b) „Jangan mengatakan sesuatu yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara memadai‟).
3) Maksim relevansi (the maxim of relevance)
Untuk maksim relevasi, Grice memberikan sebuah ungkapan “Be
relevant”. Dalam maksim relevansi, usahakan perkataan Anda ada
relevansinya.
4) Maksim pelaksanaan (the maxim of manner)
Maksim pelaksanaan dijabarkan ke dalam empat submaksim: a) “Avoid
obscurity”, b) “Avoid ambiguity”, c) “Be brief (avoid unnecessary
prolixity)”, d) “Be orderly”. (Maksim pelaksanaan: a) „Hindarilah
pernyataan-pernyataan yang samar‟, b) „Hindarilah ketaksaan‟, c) „Usahakan agar ringkas (hindarilah pernyataan-pernyataan yang panjang lebar dan bertele-tele)‟, d) „Usahakan agar Anda berbicara secara teratur‟) (Grice, 1996:159).
e. Implikatur
Implikatur adalah salah satu bidang kajian dari pragmatik. Implikatur
(implicature) berasal dari kata kerja “to imply”, sedangkan kata bendanya adalah
commit to user
Terkait masalah implikatur, Grice mengatakan bahwa implikatur adalah
derivasi kata implicate, yang semula bermakna menuduh seseorang terlibat dalam
perbuatan yang melanggar hukum, maka makna ini diubah oleh Grice menjadi
sinonimi kata imply. Bedanya adalah imply bermakna menyiratkan secara umum,
sedangkan implicate bermakna menyiratkan secara kebahasaan (dalam Asim
Gunarwan, 2007:86).
Menurut Asim Gunarwan (2007:87) istilah implikatur hampir selalu dikaitkan dengan Grice yang memostulatkan bahwa di dalam berkomunikasi itu efisien dan efektif. Dengan kata lain, partisipan komunikasi perlu mematuhi
Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle), yang dapat dijabarkan menjadi
empat maksim atau bidal, yaitu bidal keinformatifan, bidal kebenaran, bidal relevansi, dan bidal kejelasan. Namun nyatanya dalam komunikasi sehari-hari, orang tidak selalu mematuhi Prinsip Kerja Sama tersebut. Dengan kata lain, bidal-bidal Prinsip Kerja Sama tersebut sering dilanggar dalam komunikasi sehari-hari. Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang terdapat di dalam percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan (Rustono, 1999:77).
Kunjana Rahardi mengatakan bahwa di dalam pertuturan yang sesungguhnya, penutur dan mitra tutur dapat secara lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan latar belakang pengetahuan tentang sesuatu yang dipertuturkan itu. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak percakapan tidak tertulis bahwa yang sedang dipertuturkan itu saling dimengerti (2005: 42-43).
commit to user
Terkait masalah implikatur, H. P. Grice membedakan implikatur menjadi dua bagian, yaitu:
1) Implikatur konvensional
Implikatur konvensioanal adalah implikatur yang diperoleh dari makna kata, dan bukan dari prinsip percakapan. (Grice dalam Rustono, 1999:80).
2) Implikatur nonkonvensioanal atau implikatur percakapan
Implikatur nonkonvensioanal adalah implikasi pragmatis yang tersirat di dalam suatu percakapan akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan (Grice dalam Rustono, 1999:80).
Selanjutnya, Asim Gunarwan (dalam Rustono, 1999:81) menegaskan tiga hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan implikatur, yaitu:
a) Implikatur bukanlah bagian dari tuturan.
b) Implikatur bukanlah akibat logis tuturan.
c) Mungkin saja sebuah tuturan memiliki lebih dari satu implikatur dan itu
tergantung kepada konteksnya.
Terkait masalah implikatur, Grice dan Levinson membagi implikatur nonkonvensioanal atau implikatur percakapan menjadi dua, yaitu implikatur percakapan khusus dan implikatur percakapan umum.
1) Implikatur percakapan khusus
Implikatur percakapan khusus adalah implikatur yang kemunculannya memerlukan konteks khusus.
commit to user
2) Implikatur percakapan umum
Implikatur percakapan umum adalah implikatur yang kehadirannya di dalam percakapan tidak memerlukan konteks khusus (dalam Rustono, 1999:81).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa implikatur percakapan muncul dalam suatu tindak percakapan. Oleh sebab itu, sifatnya temporer (terjadi saat berlangsungnya tindak percakapan).
commit to user
B. Kerangka Pikir
Pelanggaran Prinsip Kerja Sama Tindak Tutur
Sumber Data
5 episode Acara SRKR
“Cinta yang Hilang”
Data
Rekaman Percakapan para pemain SRKR “Cinta yang Hilang” Dialog
Tuturan yang Mengandung Tindak
Tutur
Tuturan yang Mengandung Pelanggaran Prinsip Kerja
Sama Konteks
Tindak Tutur Searle Pelanggaran Prinsip Kerja Sama Grice
1. Maksim Kuantitas 2. Maksim Kualitas 3. Maksim Relevansi 4. Maksim Pelaksanaan 1. Asertif 2. Direktif 3. Ekspresif 4. Komisif 5. Deklarasi Implikatur
Hasil Analisis Data:
1. Wujud tindak tutur dalam SRKR “Cinta yang Hilang”
commit to user Penjelasan bagan di atas:
Objek kajian penelitian ini adalah tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama. Sumber data dalam penelitian ini adalah acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta yang disiarkan pada tanggal 18 Juli 2011 sampai 22 Juli 2011. Dari sumber data akan diperoleh data penelitian berupa dialog para pemain SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta yang mengandung tindak tutur, pelanggaran prinsip kerja sama, dan implikatur beserta konteksnya yang disiarkan pada tanggal 18 Juli 2011 sampai 22 Juli 2011. Dialog dalam acara SRKR “Cinta yang Hilang” ini dianalisis menggunakan teori tindak tutur dari Searle dan pelanggaran prinsip kerja sama Grice berserta implikaturnya.
commit to user
35
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan
D. Edi Subroto berpendapat bahwa “Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bersifat deskriptif. Peneliti mencatat dengan teliti dan cermat data yang berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, wacana, gambar/foto, catatan harian, memorandum, video tipe” (Edi subroto, 1992:7).
Berdasarkan uraian di atas, maka metode yang digunakan dalam penelitian
Tindak Tutur dan Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dalam Sandiwara Radio
Kisah Religi “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta ini adalah
metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Hal tersebut dikarenakan, hasil analisis dalam penelitian ini berbentuk deskripsi fenomena tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama dalam SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo Buntung Yogyakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatik untuk menganalisis data. Pendekatan pragmatik di dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab permasalahan dan menginterpretasikan maksud suatu tuturan. Tindak tutur dan pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara SRKR “Cinta yang Hilang” di Radio Retjo buntung Yogyakarta ini dianalisis dengan mempertimbangkan faktor-faktor konteks situasi tuturnya.