• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Pada Sistem Pemeliharaan Ekstensif Di Daerah Lahan Kering: Pengalaman Nusa Tenggara Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Strategi Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Pada Sistem Pemeliharaan Ekstensif Di Daerah Lahan Kering: Pengalaman Nusa Tenggara Timur"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 | Page Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

Strategi Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Pada Sistem Pemeliharaan Ekstensif Di Daerah Lahan Kering: Pengalaman Nusa Tenggara Timur

Marthen Mullik. Ph.D. dan I Gusti N. Jelantik, Ph.D Fapet Universitas Nusa Cendana

Disampaikan Pada Seminar Nasional

PENGEMBANGAN SAPI BALI BERKELANJUTAN DALAM SISTEM PETERNAKAN RAKYAT

(2)

2 | Page Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

1. Latar belakang

Sapi Bali merupakan salah satu komoditi unggulan penggerak roda perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kontribusinya terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencapai Rp 0,4 triliun, yang berasal dari 61.279 ekor sapi yang diekspor dan 4.336.815 ton daging yang dihasilkan dari 48.187 ekor ternak sapi yang dipotong untuk konsumsi lokal (BPS NTT, 2008). Tidaklah mengherankan kalau pemerintah Provinsi NTT dan sebagian kabupaten bergairah untuk mengembalikan NTT sebagai salah satu gudang ternak potong nasional. Sebab, di masa lalu predikat tersebut pernah disandang tetapi kemudian terkubur oleh berbagai persoalan teknis, sosial dan kebijkan di seputar pengembangan ternak Sapi Bali, yang hingga kini belum juga dapat diatasi. Dibalik manfaat ekonomi yang sangat signifikan tersebut, kondisi peternakan Sapi Bali di daerah ini sebenarnya cukup memprihatinkan. Penelitian Jelantik dkk (2007) mencatat bahwa sebagian besar ternak Sapi Bali yang diekspor maupun dipotong untuk konsumsi lokal, bukan dihasilkan dari sistem peternakan yang produktif dan efisien, melainkan dari sistem peternakan tradisonal dengan tingkat produktivitasnya rendah.

Secara sederhan, ada dua indikator produktivitas Sapi Bali (ternak potong) yang digunakan di NTT yaitu proporsi jumlah ternak yang dipotong untuk konsumsi lokal, dan ternak hidup yang diekspor dari total populasi ternak Sapi Bali di daerah ini. Produktivitas ternak yang rendah melahirkan dua permasalahan yang sangat serius yakni penurunan populasi dan mutu ternak. Hasil survey Jelantik (2001) dan Jelantik dkk (2007) mengungkapkan bahwa turn over rate ternak Sapi Bali di NTT per tahun hanya berkisar 9,5% -16,11%. Artinya setiap peternak yang memelihara 10 ekor ternak, yang bersangkutan hanya mampu menjual 1-2 ekor setiap tahunnya. Banyak faktor dikemukakan sebagai penyebab produktivitas ternak Sapi Bali yang rendah, tetapi, penelusuran literatur yang dilakukan para penulis bermuara pada sebuah simpulan bahwa ada tiga faktor penyebab utama yakni penurunan angka kelahiran, tingginya angka kematian pedet, dan rendahnya net growth

rate. Inti makalah ini akan difokuskan di sekitar permasalah produktivitas dan cara membalikkan potret

tersebut sehingga menjadi lebih baik. Ulasan diawali dengan uraian singkat karakteristik peternakan Sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif di NTT. Selanjutnya diikuti dengan permasalahan produktivitas dan strategi penanggulangan, dan akan diakhiri dengan catatan tantangan upaya ke depan dalam pengembangan ternak Sapi Bali pada sistem pemeliharaan ekstensif.

2. Karakteristik sistem peternakan ekstensif di daerah lahan kering NTT

Mengetahui karakteristik sistem pemeliharaan ekstensif ternak Sapi Bali di NTT akan sangat menolong mengidentifikasi permasalahan dan perumusan strategi peningkatan produktivitasnya. Sistem pemeliharaan ekstensif yang dimaksud dalam makalah ini adalah cara pemeliharaan Sapi Bali yang digembalakan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari, maupun yang dilepas bebas di padang atau hutan dan hanya dikumpulkan oleh pemiliknya pada saat-saat tertentu saja. Dalam kondisi ini, proses kehidupan ternak hampir sepenuhnya terjadi secara alami di padang penggembalaan, dan intervensi peternak sangat minim. Dilihat dari cara pemeliharaan, di NTT terdapat tiga sistem. Pertama, sistem intensif dimana ternak secara tetap dikandangkan atau ditambat di bawah pohon selama masa pemeliharaan dan peternaklah yang membawakan pakan dan air kepada ternaknya (cut and

carry). Sistem kedua adalah semi-intensif yakni ternak ditambat pada siang hari di padang dan

dikandangkan pada malam hari. Pada sistem ini, ternak memperoleh makanan di area dimana ia ditambat dan air minum dibawakan oleh peternak atau peternak akan membawa sapinya ke sumber air pada saat-saat tertentu di siang hari. Sistem yang ketiga adalah ekstensif seperti yang diuraikan sebelumnya.

(3)

3 | Page Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

Jumlah pemilikan ternak pada sistem pemeliharaan ekstensif di NTT sangat bervariasi, dan bergantung pada daya dukung fisik wilayah, iklim, tingkat produktivitas ternak, kemampuan dan ketekunan peternak, dan keamanan sosial (pencurian). Laporan hasil survei oleh berbagai peneliti (Malessy dkk., 1990; Wirdahayati dan Bamualim, 1990; Nulik dan Bamualim, 1998; Jelantik, 2001; Mullik dkk, 2004; Jelantik dkk., 2007) menunjukan bahwa rata-rata skala pemilikan ternak per kepala keluarga 9,8 ekor (2 – 239 ekor). Proporsi peternak yang memiliki ternak ≥20 ekor hanya 2,3% (Mullik dkk., 2004). Meskipun Sapi Bali termasuk breed yang yang prolifik (Kirby, 1980; Banks, 1986), pertumbuhan populasi pada sistem peternakan ekstensif sangat lamban karena tiga faktor yakni rendahnya tingkat kelahiran Tabel 2; rata-rata 70,7%), tingginya angka kematian (Tabel 1; rata-rata 35%), dan tingginya off

take (34%; Jelantik dkk., 2007). Dari data-data tersebut terlihat bahwa pertambahan populasi hanya

sekitar 10% per tahun.

Tabel 1. Tingkat mortalitas Sapi Bali di Pulau Timor di NTT pada umur yang berbeda

Umur Ternak Mortalitas (%) Peneliti

Pedet (< 1 tahun) 25 – 30 Wirdahayati (1989)

20 – 47 Bamualim dkk. (1990) 37 Malessy dkk. (1991) 47 Bamualim (1992) 53,3 Fattah (1998) 35,1 (24,1 - 51,2) Jelantik (2001) 28 – 65 Mullik dkk (2004) 12 – 33 Jelantik, dkk (2007)

Sapihan (1 - 2 tahun) 4 – 8 Wirdahayati (1994)

7 – 21 Jelantik (2001)

9 – 20 Mullik dkk (2004)

Dewasa < 5 Wirdahayati (1994)

5 – 8 Jelantik (2001)

2-10 Mullik dkk (2004)

Dari sisi lahan, luas padang penggembalaan di Pulau Timor cukup luas (396.000 ha), tetapi daya tampungnya rendah yakni bekisar 0,8 – 1,3 unit ternak per ha (Nulik dan Bamualim, 1999; Jelantik dkk, 2007). Mengetahui daya dukung rata-rata saja, kurang menggambarkan keadaan sebenarnya, karena fluktuasi kuantitas dan kualitas hijauan di padang sangat besar seiring perjalanan waktu dalam siklus setahun. Hal ini dapat dilihat dari laporan Penelitian Jelantik (2001) seperti disajikan pada Grafik 1, bahwa kandungan protein kasar hijauan di padang cukup baik selama periode November-April, kemudian secara drastis menurun di bawah kebutuhan minimum untuk pokok hidup ternak (8% protein kasar per kg bahan kering) selama periode Mei-Oktober. Dari Grafik 1 juga terlihat bahwa ketersediaan bahan kering (kuantitas) akan merupakan masalah utama selama bulan September hingga Desember. Hasil penelitian ini (Jelantik, 2001) dapat dijadikan sebagai pedoman untuk merancang

strategic feeding yang efisien dan ekonomis untuk ternak gembala.

Fluktuasi kuantitas dan kualitas hijauan di padang didikte oleh kelembaban tanah yang berkaitan dengan pola curah hujan. Kompilasi pola curah hujan bulanan (Grafik 2) yang dicatat pada 21 stasiun di Pulau Timor selama 30 tahun (1979-2008) memperlihatkan bahwa, curah hujan terrendah terjadi mulai pertengahan bulan Mei hingga Oktober. Pada saat itu, kuantitas dan kualitas hijauan merupakan

(4)

4 | Page Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

masalah bagi ternak gembala karena tidak cukup tersedia air tanah bagi tanaman untuk proses fotosintesis.

Grafik 1. Pola produksi bahan kering (BK) dan protein kasar (PK) rumput alam di padang gembalaan di Timor Barat dalam periode Desember 1998-Februari 2000 (Jelantik, 2001). Pembagian fase untuk strategi suplementasi bagi ternak sapi Bali gembala.

Fluktuasi curah hujan yang menyebabkan fluktuasi kuantitas dan kualitas hijauan di padang yang sedemikian besar, menghasilkan performans produksi dan reproduksi ternak gembala yang tidak optimal. Tingkat mortalitas ternak tinggi (Tabel 1) disebabkan oleh stres nutrisi baik pada pedet maupun ternak muda dan dewasa. Selain itu, masalah calving interval yang panjang dan calf crop yang rendah juga merupakan kontribusi dari masalah defisiensi nutrisi.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 P ro te in k a s a r (% ) K e te rs e d ia a n b a h a n k e ri n g (t o n /h a ) BK PK

Fase I Fase II Fase III Fase IV

(5)

5 | Page Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

Grafik 2. Rata-rata curah hujan bulanan di Pulau Timor periode 1979-2008.

Dari aspek produksi, laju pertumbuhan Sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif berada jauh di bawah Sapi Bali yang dipelihara menggunakan sistem cut and carry. Hal ini terjadi karena fluktuasi pertumbuhan antara musim panas dan hujan yang sangat terkait dengan ketersediaan dan kualitas pakan. Pola pertumbuhan sedemikian menghasilkan laju pertumbuhan kumulatif yang sangat lamban. Tidaklah mengeherankan kalau pada umuryang sama, bobot hidup sapi yang dipelihara secara ekstensif hanya setengah dari yang dipelihara secara intensif. Monitoring pertumbuhan yang dilakukan oleh Mullik dkk. (2004) terhadap 261 ekor ternak jantan (selama 3 tahun) yang dipelihara secara ekstensif dan intensif menunjukkan pola dan laju pertumbuhan yang sangat berbeda (Grafik 3). Dalam jangka waktu 3 tahun, ternak yang dipelihara secara ekstensif mencapai bobot hidup 493 kg sedangkan yang dipelihara secara ekstensif hanya mencapai berat 311 kg. Para peneliti lain (Wirdahayati, 1989; Wirdahayati dan Bamualim, 1990; Puger dkk., 1990; Malessy dkk, 1990; Pane, 1991; Marawali dan Bamualim, 1995; Nggobe dkk., 1995; Fattah, 1998) juga melaporkan bahwa ternak sapi gembala akan mengalami rata-rata pertambahan berat badan sebesar 0,3 -0,6kg/hari selama musim hujan, tetapi kehilangan berat mencapai 0,35 kg/hari selama musim kemarau.

0 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300 325 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des

C u ra h h u ja n ( m m )

(6)

6 | Page Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

Grafik 3. Perbandingan pola pertumbuhan ternak Sapi Bali gembala dan diikat di Pulau Timor (Mullik dkk., 2004)

3.

Permasalahan produktivitas dan strategi peningkatannya

Produktivitas Sapi Bali pada sistem pemeliharaan ekstensif tradisional di NTT sangat rendah. Ada tiga faktor yang saling berinteraksi sebagai penentu produktivitas yakni ternak, lingkungan, dan tatalaksana. Hasil interaksi ketiga faktor tersebut menampilkan potret peternakan sapi Bali di NTT saat ini yakni terjadinya penurunan populasi dan kualitas, bahkan ada pihak (Martojo, 1990) yang mensinyalir bahwa telah terjadi penurunan genetik akibat dari proses inbreeding dan seleksi negatif yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Terlepas dari semua spekulasi tersebut, ada tiga parameter yang penulis identifikasi sebagai penyebab rendahnya produktivitas ternak sapi Bali yang diperlihara pada sistem ekstensif di NTT yaitu (1) angka kelahiran rendah, (2) angka kematian pedet tinggi, dan (3) net growth rate rendah. Ketiga aspek ini akan menjadi fokus bahasan pada makalah ini terutama menyangkut faktor penyebab dan strategi mengatasinya untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi Bali.

3.1. Tingkat kelahiran rendah

3.1.1. Permasalahan dan faktor penyebabnya

Tingkat kelahiran ternak Sapi Bali yang dipelihara pada sistem ekstensif tradisional di NTT termasuk kategori rendah. Angkanya sangat variatif bergantung pada lokasi dan waktu (tahun). Data yang dikompilasi pada Tabel 2 menunjukkan rentangan yang cukup luas yakni 44,3% - 98,3% (rata-rata 70,7%) dari jumah betina umur produktif. 190 215 240 265 290 315 340 365 390 415 440 465 490 Ja n Fe M ar Ap M ei Ju n Jul A gs Se p O kt N o v D es Jan Fe M ar Ap M ei Ju n Jul A gs Se p O kt N o v D es Jan Fe M ar Ap M ei Ju n Jul A gs Se p O kt N o v D es 2001 2002 2003 B er at b a d a n (k g) Digembalakan Diikat

(7)

7 | Page Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

Tabel 2. Tingkatan kelahiran Sapi Bali di Nusa Tenggara Timur Tingkat kelahiran (%) Referensi

85 Banks (1986)

75 Philp (1986)

79 Wirdahatay dan Bamualim (1990)

62,8 (45-89) Wirdahayati(1994)

63,5 Jelantik (2001)

66,6 Thalib dkk (2003)

72,4 (47,7 – 98,3) Mullik dkk (2004)

61,2 (44,3 – 80,0) Jelantik dkk (2007)

Empat faktor berikut diduga menjadi penyebab utama terjadi variasinya tingkat kelahiran Sapi Bali pada sistem pemeliharaan ekstensif di NTT. Pertama, kehadiran jantan pemacek tidak mencukupi. Pada sistem pemeliharaan ekstensif, perkawinan dilakukan dengan cara kawin alam sehingga kehadiran pemacek merupakan kemutlakan. Permasalahnya adalah permintaan pasar akan ternak jantan untuk tujuan penggemukan dan ekspor sangat tinggi sehingga peternak cenderung menjual ternak jantan. Akibatnya, tidak cukup tersisa pejantan untuk melayani betina yang ada. Kekurangan pejantan merupakan keluhan utama para peternak terutama mereka yang memiliki ternak betina umur produktif dalam jumlah kurang dari lima ekor. Idealnya, keberadaan pejantan yang memadai akan menyebabkan tingkat kelahiran ternak Sapi Bali tidak jauh berbeda dengan tingkat fertilitas yang dilaporkan dalam literatur yakni >90%.

Kedua, jumlah ternak dalam satu kelompok (herd size). Peternak yang memiliki induk umur produktif dalam jumlah yang banyak, tidak akan mengambil risiko untuk tidak memiliki pejantan. Survei yang dilakukan oleh Jelantik (2001), Mullik dkk (2004), dan Jelantik dkk (2007) menunjukkan bahwa tingkat kelahiran tertinggi (>90%) pada kelompok ternak yang jumlah betina umur produktif ≥20 ekor, dan terrendah (<60%) pada kelompok ternak yang berjumlah <5 ekor. Bagi peternak yang jumlah kepemilikan ternak betina umur produktif <5 ekor, memelihara ternak jantan bukanlah suatu keharusan. Peternak seperti ini cenderung membiarkan ternak betinanya dilayani oleh pejantan dari kelompok ternak lain. Akibatnya, akan terjadi dua kemungkinan yang kurang menguntungkan yaitu ternaknya tidak bunting karena tidak ada pejantan bebas yang mengawininya saat digembalakan, atau ternaknya dibuntingi oleh pejantan yang secara genetik tidak diseleksi sehingga anaknya pun memiliki tampilan produksi yang kurang baik. Mullik dkk (2004) melaporkan bahwa meskipun pemilikan ternak pada sistem ekstensif dapat mencapai ratusan ekor per peternak, namun proporsinya <5% dari total peternak yang disurvei di Timor Barat (n=894). Dengan demikian, meskipun tingkat kelahiran ternak pada kelompok ini >90%, belum mampu mendongkrat nilai rata-rata ke angka minimum yang diharapkan (85%). Herd size yang kecil juga disebabkan oleh program pemerintah dan LSM-LSM berupa bantuan ternak sehingga terjadi pemecahan populasi. Pemecahan populasi yang dimaksud adalah pembelian ternak dari peternak yang memiliki ternak dalam jumlah besar, dan dibagikan kepada peternak lainnya dalam jumlah yang hanya berkisar 2-5 ekor. Dengan pemilikan yang sedemikian kecil, apalagi tanpa pejantan, maka akibatnya akan terjadi seperti yang telah dikemukakan sebelumnya.

Ketiga, proporsi betina tidak produktif dalam kelompok. Mengingat usaha peternakan Sapi Bali pada pemeliharaan ekstensif di NTT dilakukan secara tradisional, dan dapat dipastikan bahwa peternak tidak

(8)

8 | Page Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

menerapkan zooteknik yang baik, maka seleksi dan culling terhadap betina umur produktif tapi tidak produktif bukanlah suatu pilihan. Salain itu, tingkat kecintaan pemilik terhadap ternak cukup tinggi sehingga keputusan untuk menjual ternak, bahkan betina tidak produktif pun, lebih didasarkan pada kebutuhan akan uang tunai, dan bukan pada pertimbangan produktivitas. Akibatnya, betina umur produktif tetapi dari sisi reproduksi tidak produktif pun masih tetap dipelihara. Keadaan ini ikut menurunkan angka kelahiran.

Faktor keempat adalah faktor neuro-hormonal (fotoperiodik) bukan nutrisi. Banyak pihak berspekulasi bahwa seperti halnya jenis sapi lain, tingkat kebuntingan ternak Sapi Bali juga sangat dipengaruhi oleh status kecukupan nutrisi. Namun, data-data yang dikompilasi dalam makalah ini menunjukkan bahwa ternak Sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif tidak akan kawin dan bunting pada sembarang waktu, tetapi terjadinya konsepsi justru pada saat ketersediaan dan kualitas nutrisi padang gembalaan rendah (Grafik 1). Apabila

di-overlay Grafik 1 dan Grafik 4, maka akan terlihat bahwa perkawinan Sapi Bali yang dipelihara pada sistem

ekstensif di NTT justru terjadi pada hujan awal musim hujan, saatmana kondisi pakan di padang belum memadai secara kuantitas maupun kualitas. Survei di Timor oleh Wirdahayati dan Bamualim(1990), dan penelitian di Australia Utara (Kirby, 1980) memperlihatkan trend yang sama. Hasil studi terkini oleh para peneliti Timor Leste di daerah perbatasan dengan NTT (Oecusi) juga menunjukkan bahwa perkawinan Sapi Bali gembala justru terjadi pada musim panas (Richard R. Copland; data belum dipublikasi). Studi lain oleh Mozez R. Toelihere, I G.N. Jelantik dan P.Kune (data belum dipublikasi) juga mencatat adanya peningkatan aktivitas and intensitas berahi ternak betina (>80%) di pagi harinya apabila terjadi hujan atau rintik di malam sebelumnya. Penelitian terkontrol oleh Pastika dan Darmadja (1979) dan Belli (2002) juga mencatat bahwa perbaikan nutrisi mempunyai pengaruh kecil terhadap conception rate dan calving rate. Fenomena ini telah lama disimpulkan oleh Andrews (1972) bahwa ovulas pada ternak Sapi Bali tidak dipengaruhi oleh status nutrisi. Dugaan terhadap peran fotoperiodik dalam kebuntingan Sapi Bali gembala sangat logis karena pola kelahiran dari tahun ke tahun tetap mengikuti patron yang sama (Grafik 4).

Grafik 4. Trend kelahiran anak sapi di Pulau Timor pada periode 1987-2007 (Wirdahayati dan Bamualim, 1990; Jelantik, 2001; Mullik dkk, 2004; Jelantik, dkk., 2007).

0,0 5,0 10,0 15,0 20,0 25,0 30,0 35,0 40,0 45,0

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des

C al vi n g ra te ( % ) Bulan kelahiran R2= 0.942

(9)

9 | Page Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

3.1.2. Strategi peningkatan calving rate

Strategi peningkatan angka kelahiran pada sistem peternakan ekstensif dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, menjamin kecukupan jantan pemacek untuk melayani betina produktif, dan peningkatan herd size. Pengadaan pejantan untuk kelompok peternak yang tidak memiliki pejantan akan merupakan strategi efektif untuk meingkatkan angka kebuntingan dan kelahiran. Untuk kelompok ternak yang herd size-nya kecil, dapat dilakukan program kandang kolektif. Esensi dari program kandang kolektif adalah peternak yang berdekatan tempat tinggalnya dapat membentuk kelompok dengan jumlah ternak betina produktif dalam kelompok minimal 20 ekor. Ternak-ternak tersebut digembalakan bersama pada siang hari dan selanjutnya dikandangkan pada malam hari dalam kandang kolektif. Dalam setiap kelompok ternak, paling tidak terdapat satu pejantan unggul yang telah terseleksi sehingga perannya tidak saja untuk mengawini betina, tetapi juga untuk memperbaiki mutu ternak. Selain itu, kebijakan bantuan ternak kepada masyarakat perlu dihindari pemberian kepada individu (peternak) dalam jumlah kecil. Akan lebih bermanfaat apabila bantuan ternak diberikan kepada kelompok dengan jumlah induk produktif bersama pejantan unggul dengan rasio antara 20:1 - 40:1. Kedua, culling betina umur produktif yang secara reproduksi tidak produktif. Para peternak dapat dibina dan latih melakukan pencatatan riwayat produktivitas reproduksi setiap betina sehingga betina yang tidak produktif akan segera dikenali, dan selanjutnya dilakukan culling. Strategi ini akan relatif sulit diterapkan oleh peternak yang berpendidikan rendah dan/atau yang membiarkan ternaknya hidup sendiri di padanag tanpa diawasi secara berkala tiap hari. Namun, dengan pendampingan intensif dari petugas peternakan atau tenaga terampil yang dilatih khusus untuk penanganan reproduksi, diharapkan akan terjadi perubahan mind-set peternak sehingga teknik culling dapat mereka terapkan dengan sukarela sebagai cara untuk meningkatkan angka kelahiran dalam kelompok ternak miliknya.

3.2. Tingkat kematian pedet tinggi

3.2.1. Permasalahan dan faktor penyebabnya

Tingkat kematian pedet ternak Sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif di NTT sangat tinggi. Rata-rata kematian pedet Sapi Bali di NTT saat ini adalah 35% (Jelantik dkk., 2009). Rentangannya sangat luas yakni antara 6,12% hingga 65,5% (Malessy dkk., 1990; Wirdahayati dan Bamualim, 1990; Wirdahayati, 1994; Nggobe dkk., 1995; Fattah, 1998; Jelantik, 2001; Thalib dkk., 2003; Mullik, 2004; Jelantik dkk., 2007, Jelantik dkk., 2008). Tingkat kematian yang sedemikian merupakan yang tertinggi di Indonesia. Hal menarik lain tentang kematian pedeta adalah pola kematian yang memiliki dua puncak (Grafik 5). Puncak kematian pertama adalah pada bulan pertama setelah dilahirkan karena pedet kekurang susu induk sehingga tidak mencukupi kebutuhan pokok hidup dan pembentukan kekebalan tubuh yang kurang baik. Puncak kematian kedua adalah diawal musim hujan. Hal ini terjadi karena merebaknya berbagai penyakit dan parasit yang menyerang anak sapi. Yang akan menjadi korban adalah anak sapi yang kondisi tubuhnya kurang baik karena status nutrisi yang rendah.

(10)

10 | Page Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

Grafik 5. Pola ke kematian anak sapi di Pulau Timor yang memiliki dua puncak yakni saat lahir dan ketika memasuki awal musim hujan.

Kerugian ekonomi bagi NTT karena tingkat kematian pedet cukup besar. Dengan menggunakan data populasi induk (42% dari total populasi sapi yang berjumlah 565.000 ekor), tingkat kelahiran (65% dari total induk), dan tingkat kematian pedet (6,12% - 65,5%), serta harga bakalan yang berlaku saat ini (Rp 2 juta/ekor), maka dapat diketahui kerugian ekonomi yang diderita oleh peternak Sapi Bali di NTT akibat kematian pedet berkisar 18,9 miliar – 202,1 miliar rupiah per tahun.

Jelantik dkk (2009) meyimpulkan bahwa ada tiga faktor penyebab utama tingginya mortality rate pedet sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif. Pertama, stres nutrisi karena kekurangan air susu induk dan pakan berkualitas. Produksi susu sapi Bali di NTT berkisar 0,75-2 kg/hari. Induk yang menghasilkan susu <1 kg/hari biasanya anaknya akan mati. Sementara itu, induk yang menghasilkan susu antara 1-1,5 kg/hari anaknya bisa bertahan hidup tetapi akan kurus. Pada umumnya, hanya sedikit induk yang menghasilkan susu >1,5 kg/hari, padahal pedet membutuhkan 2-3 liter susu/hari untuk bertumbuh secara optimal. Pedet yang kekurangan susu induk akan terganggu pertumbuhannya di kemudian hari, sehingga akan memakan waktu yang lebih lama untuk mencapai bobot jual. Selain itu, kekurangan susu menyebabkan pedet rentan terhadap penyakit. Penyebab rendahnya produksi susu induk adalah stres nutrisi karena melahirkan pada musim kemarau (Grafik 4). Sementara itu, peternak tradisional di NTT tidak memperhatikan penyediaan pakan bagi induk yang sedang menyusui, dan hanya menggembalakan ternaknya di padang penggembalaan alam milik kolektif (communal grazingland) dan tidak terkelola. Selama musim kemarau, jumlah dan kualitas pakan yang tersedia di padang penggembalaan sangat terbatas (Grafik 1). .

Faktor kedua adalah minimnya perhatian peternak kepada pedet. Pedet yang masih lemah dibiarkan ikut menggembala bersama induknya di padang. Selama musim kemarau, jarak lokasi gembalaan dengan kandang relatif jauh sehingga banyak energi dan protein tubuh pedet terkuras untuk berjalan dan mengatasi stres lingkungan. Hal ini menyebabkan pedet akan semakin kekurangan nutrisi. Pedet yang ikut menggembala juga meningkatkan risiko kematian bukan hanya karena stres nutrisi tetapi juga karena kecelakaan. Umumnya, lahan gembalaan di NTT berbukit-bukit dengan berjurang sehingga pedet yang masih lemah dan belum berpengalaman akan mudah terjatuh ke jurang dan mati. Pedet yang menggembala juga sering dimangsa hewan liar.

0 2 4 6 8 10 12 14 16

Jan. Feb. Mar. Apl Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

T in gk a t k e m a ti a n a na k s a pi ( % ) Peak 1 Peak 2

(11)

11 | Page Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

Faktor ketiga adalah serangan penyakit dan parasit. Akibat kekurangan susu, maka pedet memiliki tingkat kekebalan tubuh yang relatif rendah sehingga mudah terserang penyakit dan parasit. Parasit yang paling umum menyerang adalah infeksi cacing mata. Pada tingkatan yang parah, infeksi cacing mata dapat menyebabkan kebutaan dan kematian.

3.2.2. Strategi penurunan tingkat kematian pedet

Telah diuraikan di atas bahwa penyebab pertama kematian pedet sapi yang dipelihara secara ekstensif adalah stres nutrisi sehingga pemberian suplemen pada pedet merupakn strategi yang paling efektif dan efsisien untuk menurunkan tingkat kematian pedet. Penerapan teknologi suplementasi pada pedet dan dibarengi dengan mengandangkan pedet pada siang hari di saat induk dilepas ke padang, berhasil menurunkan angka kematian hingga 0% (Jelantik dkk, 2008a). Hasil yang sama juga secara konsisten diperoleh dalam penelitian selama tiga tahun berturut-turut (2003-2005) tentang pemberian pakan cair pengganti susu kepada anak sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif (I G.N. Jelantik; data yang belum dipublikasikan). Bahkan teknologi suplementasi pada pedet sudah dibukukan (Jelantik dkk., 2009) dan disebarluaskan sebagai teknologi tepat guna bagi peternak Sapi Bali di NTT. Keuntungan dari strategi suplementasi dan pengandangan pedet adalah (a) pedet mendapat nutrisi tambahan dari suplemen untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak terpenuhi dari air susu induk maupun ketersediaan pakan di padang, (b) pedet terhindar dari kelelahan, kecelakaan, dan predasi oleh binatang liar, dan (3) induk lebih berkonsentrasi untuk mencari makan saat berada di padang. Meskipun para peneliti lain (Bamualim dan Wirdahayati, 2003) melaporkan bahwa stretegic feeding dengan cara pemberian suplemen kepada induk pada tiga bulan masa awal laktasi mampu memperbaiki pertambahan berat badan induk dan produktivitas anak, tetapi strategi tersebut relatif kurang ekonomis dibanding dengan pemberian suplemen pada pedet. Secara ekonomi, biaya untuk pakan bagi induk tidak sebanding dengan respon biologi yang diperoleh. Selain itu, pemberian suplemen pada induk tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap conception rate dan calving rate (Belli, 2002).

3.3. Net growth rendah

3.3.1. Permasalahan dan faktor penyebabnya

Stres nutrisi di awal masa hidup ditambah dengan periode kekurangan pakan dan nutrisi pada musim-musim kemarau semasa hidup selanjutnya, berakumulasi pada rendahnya net gain ternak Sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif. Akibatnya, ternak memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai bobot layak jual. Hasil monitoring selama tiga tahun (2001-2003) oleh Mullik dkk. (2004) terhadap 261 ekor ternak Sapi Bali jantan berumur ≥2 tahun di Timor yang terbagi dalam dua kelompok yaitu digembalakan (n= 117) dan diikat (n=154), memperlihatkan bahwa ternak yang diikat dan diberi pakan (cut and carry system) memiliki laju pertambahan berat badan lebih baik rata 250 g/hari) dibanding dengan yang hanya digembalakan (rata-rata 120 g/hari). Selama tiga tahun, ternak yang diikat mencapai bobot hidup (rata-rata-(rata-rata 492,6 kg, sedangkan ternak yang digembalakan hanya mencapai 311,8 kg. Terdapat selisih berat antar kedua kelompok sekitar 180,8 kg hidup, yang apabila dikalikan dengan harga per kg bobot hidup sebesar Rp.18.000 maka total nilainya sebesar Rp3.254.400,-

3.3.2. Strategi meningkatkan net gain

Mengingat penyebab rendahnya net gain ternak Sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif adalah stres nutrisi pada dua periode, yaitu saat lahir akibat kekurangan susu induk dan saat musim kemarau di masa hidup selanjutnya, maka dua macam strategic feeding merupakan hal wajib. Dalam hal, ini persoalan pada periode

(12)

12 | Page Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

pertama dapat diatasi melalui pemberian suplemen kepada pedet seperti yang telah dikemukakan pada bagian 3.2.2. Jelantik dkk. (2008b) mencatat bahwa pemberian suplemen kepada pedet akan memberikan laju pertambahan berat badan 70% - 80% lebih tinggi dari yang tidak diberi suplemen. Dengan postur tubuh yang lebih besar (tinggi pundak), ternak akan lebih bertumbuh secara baik pada saat kualitas pakan jelek. Hal ini telah dibuktikan oleh Jelantik dkk. (2007) bahwa ternak yang umurnya sama tetapi frame sizenya lebih besar memperlihatkan laju pertambahan bobot badan 100% lebih tinggi dari ternak yang frame size kecil. Para peneliti tersebut menghubungkan fenomena ini ke kapasitas rumen yang lebih besar untuk kelompok pertama.

Strategic feeding kedua adalah pemberian low cost suplemen kepada kelompok ternak yang secara fisiologis

memerlukan pasokan nutrisi yang lebih banyak. Tujuan dari pemberian suplemen secara selektif adalah untuk mengoptimalkan performans reproduksi dan produksi ternak. Salah kelompok ternak yang perlu diperhatikan pertumbuhannya secara baik adalah jantan yang diperuntukan untuk dijual sebagai ternak potong. Pilihan yang paling sesuai untuk peternak kecil adalah low costs supplements, sebab feeding stretegi yang mahal tidak akan memberikan daya tarik praktis kepada mereka. Contoh suplemen biaya murah yang dapat dipilih adalah pemberian sisa/limbah pertanian, dan hijauan berkualitas tinggi, terutama jenis leguminosa dan hijauan pohon lainnya yang tersedia di lingkungan peternak. Manfaat dari pemberian suplemen adalah paling tidak untuk mempertahankan kondisi tubuh sehingga tidak sampai kehilangan bobot badan selama musim kemarau dan mempengaruhi performans reproduksi. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Mullik dan Permana (2009) menujukkan bahwa pemberain daun gamal (Gliricidia sepium), lamtoro merah (Accacia villosa), dan kayu ende (Lannea grandis) selama malam hari kepada ternak Sapi Bali dara yang digembalakan memberikan tertambahan berat badan 10% – 150% di atas kontrol (Grafik 6). Masih banyak jenis suplemen murah lainnya yang dapat digunakan misalnya urea, mineral blok, dan sebagainya. Hal yang paling penting bagi peternak adalah strategi suplementasi harus secara ekonomi mudah terjangka dan secara teknis juga mudah diaplikasikan.

Grafik 6. Pertambahan berat badan ternak Sapi Bali dara yang digembalakan di padang rumput alam di P. Timor dan diberi suplemen daun Gliricidia sepium (GS), Accacia villosa leaf (AV), atau Lannea

grandis leaf (LG) (Mullik dan Permana, 2009).

-20,0 -10,0 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 90,0 100,0 110,0 120,0 130,0 140,0

01-Feb 15-Feb 01-Mar 15-Mar 29-Mar 12-Apr 26-Apr 10-Mei 24-Mei

L aj u p er ta m ba ha n be ra t b ad an ( g/ ha ri)

(13)

13 | Page Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

Untuk pemeliharaan ekstensif yang dikelola menggunakan zooteknik yang baik, maka Grafik 1 dapat digunakan sebagai pedoman. Pada fase II suplementasi dilakukan untuk koreksi nutrisi yang defisien. Pada fase III, suplementasi difokuskan untuk memenuhi jumlah dan kualitas pakan. Pada fase IV, kuantitas pakan tidak memadai sehingga suplementasi ditargetkan pada aspek kecukupan pakan. Sedangkan fase I dan V tidak perlu dilakukan suplementasi.

Future challenges

Sejauh ini, masih banyak aspek tentang sistem pemeliharaan ternak sapi Bali secara ekstensif belum dapat pahami secara utuh dan mendalam. Akibatnya belum dapat dirancang suatu model pengembangan wholisttic yang handal untuk diterapkan di tingkat petani maupun secara komersial. Pemahaman kita terhadap sistem yang sedemikian kompleks masih bersifat parsial. Padahal proses produksi dalam sistem pemeliharaan ekstensif melibatkan interaksi antara iklim, tanah, tanaman, ternak, tatalaksana, dan sosio-ekonomi masyarakat. Dengan demikian, maka sangatlal jelas bahwa sistem pemeliharaan ternak secara ekstensif bersifat spesifik lokasi. Apa yang telah dikemukakan dalam makalah ini adalak kompilasi dari hasil kerja banyak pihak menyangkut kondisi peternakan ekstensif di lahan kering NTT. Meskipun belum lengkap, namun sudah ada berbagai strategi yang terbukti mampu memperbaiki tingkat produktivitas di daerah ini. Namun, pekerjaan besar masih membentang di depan untuk memecahkan misteri yang masih menyelimuti. Berikut ini, beberapa hal mendasar yang masih memerlukan pemikiran dan kerja keras semua pihak:

 Masih sangat kurangnya kajian yang bersifat komprehensif dan integratif (dan teruji) selama beberapa siklus produksi ternak Sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif di wilayah lahan kering. Hal ini merupakan kendala utama dalam mendisain model sistem produksi ternak Sapi Bali gembala yang efisien, praktis dan profitable, yang bisa diterapkan dan diadopsi oleh peternak maupun pihak investor yang berminat dalam bidang ini.

 Model breeding yang sesuai untuk peternakan rakyat di lahan kering untuk perbaikan produktivitas ternak

Faktor-faktor utama yang mentriger kebuntingan Sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif sehingga perkawinan dan konsepsi selalu terjadi pada musim kemarau dan awal musim hujan di saat tingkat stress nutrisi tertinggi.

 Feeding strategies yang efisien untuk ternak gembala sehingga mampu menekan efek negatif terhadap performans reproduksi dan produksi tetapi di sisi lain secara ekonomi dan teknis berpihak pada petani dan pengusaha ternak.

 Strategi efektif untuk memperbaiki daya dukung (kuantitas dan kualitas) lahan penggembalaan yang lebih banyak didominasi oleh communal grazinglands.

 Pengujian terhadap pola pemeliharaan ternak secara ekstensif menggunakan model integrasi padang-ternak-tanama-hutan.

Pustak Rujukan

Andrews, L.G. 1972. The major non-infectious causes of reproductive wastage in beef cattle in Northern Territory. Aust. Vet. J. 48:41-46.

(14)

14 | Page Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

Bamualim, A. dan Wirdahayati, B. 2003. Nutritional and management strategies to improve Bali Cattle productivity in Nusa Tenggara. Dalam Strategies To Improve Bali Cattle In Eastern Indonesia. ACIAR Proceedings No.110. Editors: K. Entwistle dan D. Lindsay.

Banks, D. 1986. Analysis of livestock survey data. Dalam NTTLDP Completion Report II. Livestock. ACIL Melbourne.

BPS NTT. 2008. Statistik Provinsi NTT.

Belli, H.L.L. 2002. Supplementation to improve the performance of grazing Bali cows (Bibos banteng; Wagner). Ph.D thesis. Faculty of Agric. Sci., George-August University GÖttingen.

Fattah, S. 1998. Produktivitas Sapi Bali yang dipelihara di padang penggembalaan alam: Kasus Oesu’u, Nusa Tenggara Timur. Disertasi. Universitas Padjajaran.

Jelantik, I G. N. 2001. Improving Bali cattle (Bibos banteng Wagner) Production Through Protein Supplementation. Ph.D Thesis. Dept. Anim. Sci. And Anim. Health. The Royal Veterinary and Agricultural University, Denmark.

Jelantik, I G.N., Manggol, Y.H., Jegho, Y., Sutedjo, H., Keban, A., Kune, P., Deno Ratu, R., Kleden, M.M., Sogen, J., Kleden, P., Jermias, J. Dan Leo Penu, C. 2007. Kajian Mutu Genetik Sapi Bali Di Nusa Tenggara Timur. Laporan Akhir. Fapet Undana.

Jelantik IG. N., Mullik, M.L., Copland, R., Sogen, J., Kune, P., Jeremias, J. And Leo Penu, C. 2008a. Evaluating strategies to improve Bali calf survival in West Timor villages. Final Report for Australian Centre for International Agricultural Research, project LPS/2006/005.

Jelantik, IG. N., Mullik,M.L., dan Copland, R. R. 2008b. Mortality rate of Bali Cattle calves in West Timor, Indonesia. Proc. 27th ASAP Conf. pp. 48.

Jelantik, IG. N., Mullik,M.L., dan Copland, R. R. 2009. Cara Praktis Menurunkan Angka Kematian dan

Meningkatkan Pertumbuhan Pedet Sapi Bali Melalui Pemberian Suplemen. Undana Press.

Kirby, G.W. 1980. Bali Cattle in Australia. World Anim. Prod. Rev. 31:24-29.

Malessy, Ch. Y., Soka, E.Tj. dan Schottler . 1990. Sapi Bali di Nusa Tenggara Timur. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali, pp. E15-E18. Denpasar, 20-22 September 1990.

Martojo, H. 1990. Upaya pemuliaan dan pelestarian Sapi Bali untuk menunjang pembangunan peternakan secara nasional. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali, pp. A35-A41. Denpasar, 20-22 September 1990.

Marawali, H. And Bamualim, A. 1995. Monitoring produktivitas sapi Bali di Kabupaten Bobonaro Provinsi Timor Timur. Pros. Seminar Komunikasi dan Aplikasi Hasil Penelitian Peternakan Lahan

(15)

15 | Page Mullik, M.L dan Jelantik, IG.N.

Mullik, M.L., Lay, W.A., Sanam, M. U. E., Kune, P., Tiro, M., Joko, E., Nesimnasi, N. dan Nada Kihe, J. 2004. Pengembangan Village Breeding Centres Sapi Bali Di Kabupaten Timor Tengah Utara. Laporan Akhir. Kerjasama Disnak Kab. TTU dan Fapet Undana tahun 2000-2004.

Mullik, M.L., dan Permana, B. 2009. Growth rate of Bali Cattle grazing native pasture in the wet season is improved by supplementation of high quality forages. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 14 (accepted for publication)

Nggobe, M., Bamualim, A. dan Wirdahayati, R.B. 1995. Pengaruh pengaturan pola perkawinan terhadap pertumbuhan dan tingkat kematian anak Sapi Bali di Pulau Timor. Pros. Seminar Komunikasi dan

Aplikasi Hasil Penelitian Peternakan Lahan Kering, pp. 182-185. Balai Penelitian Ternak Lili Kupang.

Nulik, J. And Bamualim, A. 1998. Pakan Ruminansia Besar Di Nusa Tenggara. BPTP Naibonat.

Pane, I. 1991. Produktivitas dan breeding Sapi Bali. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali, Unhas. 2-3 September 1991.

Pastika, M. dan Darmadja, D. 1979. Reproductive performance in Bali Cattle. Research Report. Udayana University.

Philp, P.R 1986. Report of the livestock section. Dalam NTTLDP Completion Report Vol.II:207-317. ACIL Melbourne.

Puger, A.W., Lana, I.K. dan Sukarji, W. 1990. Penampilan Sapi Bali yang diintegrasikan dengan tanaman pangan dan perkebunan. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali, pp. B41-B42. Denpasar, 20-22 September 1990.

Thalib, R.B., Entwistle, K., Siregar, A., Budiarti-Turner, S., dan Lindsay, D. 2003. Survey population and production dynamics of Bali Cattle and existing breeding programs in Indonesia. Dalam Strategies To

Improve Bali Cattle In Eastern Indonesia. ACIAR Proceedings No.110. Editors: K. Entwistle dan D.

Lindsay.

Wirdahayati, R. B. 1989. Produktivitas Sapi Bali di padang penggembalaan alam di Pulau Timor. Laporan

Penelitian. Sub Balai Penelitian Ternak Lili.

Wirdahayati, R. B. 1994. Reproductive Characteristics of Bali and Ongole cattle in Nusa Tenggara, Indonesia. Disertasi. Department of Farm Animal Medicine and Production, The University of Queensland.

Wirdahayati, R.B., dan Bamualim, A. 1990. Penampilan produksi dan struktur populasi ternak Sapi Bali di Pulau Timor, NTT. Prosidings Seminar Nasional Sapi Bali,pp.C1-C5. Denpasar 20-22 September 1990.

Gambar

Tabel 1. Tingkat mortalitas Sapi Bali di Pulau Timor di NTT pada umur yang berbeda
Grafik 3. Perbandingan pola pertumbuhan ternak Sapi Bali gembala dan diikat di Pulau Timor (Mullik  dkk., 2004)
Grafik 4. Trend kelahiran anak sapi di Pulau Timor pada periode  1987-2007 (Wirdahayati dan  Bamualim, 1990; Jelantik, 2001;  Mullik dkk, 2004; Jelantik, dkk., 2007)
Grafik 6. Pertambahan berat badan ternak Sapi Bali dara yang digembalakan di padang rumput alam di  P

Referensi

Dokumen terkait

lomba kebersihan lingkungan Jumlah lingkungan yang berpartisipasi dalam lomba kebersihan lingkungan Jumlah pelaksanaan bulan bakti gotong royong Jumlah dokumen

Rencana Program Investasi Jangka Menengah Bidang Cipta Karya atau disingkat sebagai RPIJM Cipta Karya adalah dokumen rencana dan program pembangunan

Teknik analisis data yang digunakkan adalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan tiga tahap yaitu 1) mengoreksi hasil tes,

Dalam melakukananalisisterhadapkeputusan bahtsul masail muktamar ke 32 Nahdlatul Ulama tentang mewakilkan qabul nikah melalui SMS tentusangatmenarik bagi penulis, hal ini

Isolat cair yaitu dengan menggunakan media GYB ( Glucose Yeast Broth ). Komposisi media GYB adalah setiap 1000 ml air steril dicampur dengan sukrosa 20 g, yeast 20 g,

Menurut Plato bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang dipegang oleh rakyat. Plato juga menyatakan bahwa demokrasi bukan merupakan hasil pemerosotan dalam pelaksanaan sistem

Rasio perbaikan atau Improvement Ratio adalah nilai hasil perbandingan antara target produk untuk masa yang akan datang dengan kondisi saat ini, atau dalam hal ini

Pada akhirnya, hal yang perlu dilakukan adalah melakukan kritik secara mendasar atas pemberlakuan syari‘ah yang dilakukan di Indonesia, termasuk di Aceh, dalam bidang-bidang