Superfluiditas pada Materi Nuklir
Skripsi
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains
Yunita Umniyati
030002079Y
Departemen Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
Depok
2004
Lembar Persetujuan
Judul Skripsi : Superfluiditas pada Materi Nuklir Nama : Yunita Umniyati
NPM : 030002079Y
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui
Depok, 6 Agustus 2004 Mengesahkan
Pembimbing I
Dr. Anto Sulaksono
Penguji I Penguji II
Kata Pengantar
Syukur Alhamdulillah tak lupa penulis haturkan kepada Yang Maha Kuasa atas izin-Nya lah penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.
Akhirnya pada bagian yang PALING TIDAK PENTING ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat baik secara lang-sung atau tidak langlang-sung dalam penulisan skripsi ini. Dan tak lupa, special thanks
to “gank teori depok” Angga Darmawan, Anton Wiranata, Ardy Mustofa, (pak)
Ayung, Chandi Wijaya, Freddy Simanjuntak, Julio, (pak) L. T. Handoko, Mulya-di Tjoa, Nofirwan, Nowo Riveli, dan (pak) Terry Mart atas kebersamaannya se-lama ini.
Abstrak
Fenomena superfluiditas pada sistem nuklir banyak-benda dapat dijelaskan berdasarkan teori medan kuantum. Sifat-sifat pasangan1S
0materi nuklir simetris
dipelajari dengan menggunakan formalisme Dirac-Hartree-Bogoliubov. Model nuklir yang digunakan adalah model Walecka linear. Penyelidikan difokuskan pa-da keterbergantungan gap pasangan (4) terhapa-dap cutoff pa-dan parameter set pa-dari model nuklir yang digunakan.
Kata kunci: persamaan gap, superfluiditas, materi nuklir.
Abstract
Superfluidity behavior of nuclear many-body system can be described by quan-tum field theory. The pairing properties of symmetric nuclear matter can be studied by of Dirac-Hartree-Bogoliubov formalism (1S
0 pairing). Linear Walecka
models are used to describe matter. The investigation is focused to wheather or not the pairing gap (4) depend strongly on parameter set of nuclear model and cutoff.
Daftar Isi
Kata Pengantar iii
Abstrak iv
Daftar Isi v
Daftar Gambar vii
Lampiran vii
1 Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang Masalah . . . 1
1.2 Tujuan . . . 2
1.3 Sistematika . . . 2
2 Materi Nuklir 3 2.1 Materi Nuklir Simetrik . . . 3
2.1.1 Pendekatan Medan Rata-Rata . . . 5
2.2 Teori Dirac-Hartree-Bogoliubov Relativistik (RHB) . . . 8
2.2.1 Pendekatan BCS . . . 10
3 Hasil dan Pembahasan 13 3.1 Pengaruh Cut Off pada 4(k) . . . . 13
3.2 Massa Efektif M∗ . . . . 20
4 Kesimpulan 21
B Alur Program 23 B.1 Inisialisasi . . . 23 B.2 Iterasi . . . 24
Daftar Gambar
2.1 Hubungan M∗ terhadap ρ
B berdasarkan pendekataan medan
rata-rata relativistik. Parameter dari L-W, L-HS, dan L1 dapat dilihat pada lampiran 1. . . 7 3.1 Hubungan pairing gap pada permukaan Fermi 4(k) terhadap
mo-mentum Fermi kF . . . 13
3.2 Perbandingan pairing gap untuk 3 parameter yang berbeda . . . 15 3.3 Hubungan pairing gap terhadap momentum k . . . . 16 3.4 Perbandingan pairing gap untuk 3 parameter yang berbeda . . . 17 3.5 Hubungan potensial terhadap momentum k . . . . 18 3.6 Perbandingan potensial Vpp(k,kF) untuk 3 parameter yang berbeda 19
3.7 Relasi M∗ dengan ρ
Bab 1
Pendahuluan
1.1
Latar Belakang Masalah
Superfluiditas pada materi nuklir menarik perhatian fisikawan selama 40 tahun terakhir. Hal ini terutama disebabkan fenomena ini memberikan konsekuensi penting terhadap bintang neutron, seperti menjelaskan laju pendinginan bintang neutron dan pulsar glitches [1]. Oleh karena itu perhitungan Hartree-Bogoliubov diperlukan. Perlu dicatat di sini superfluiditas pada materi neutron dan materi nuklir berdasarkan model-model nonrelativistik sudah banyak dipelajari, tetapi sejauh ini ekstensi ke model relativistik dan perhitungan kualitatif dari gap pasan-gan untuk jenis baryon lain masih belum banyak dikerjakan.
Di sisi lain model relativistik mempunyai keunggulan terhadap model nonrel-ativistik dalam hal deskripsi interaksi nukleon-nukleus dan sifat-sifat saturasi materi nuklir. Untuk itulah di sini digunakan pendekatan relativistik. Adapun pada skripsi ini dipergunakan model nuklir relativistik Walecka linear. Berbe-da dengan model lain, model ini Berbe-dapat mengakomoBerbe-dasi kelakuan materi nuklir pada momentum Fermi yang besar dengan baik. Seperti diketahui, pada materi superfluida apabila jumlah seluruh momentum berhingga, kontribusi komponen momentum yang besar dari interaksi dan energi kuasi-partikel yang letaknya jauh dari permukaan Fermi tidak dapat diabaikan. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada materi nuklir atau materi neutron biasa dimana tidak terdapat
cut-off pada momentum [2].
Oleh karena itu, di sini yang akan dipelajari keterbergantungan pasangan gap ter-hadap cutoff. Tetapi karena skripsi ini merupakan studi awal, untuk sementara
dibatasi hanya dengan menggunakan model nuklir yang linear.
1.2
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mereproduksi persamaan gap pada superfluiditas di materi nuklir dengan menggunakan model nuklir relativistik Walecka yang linear. Hasil yang diperoleh nantinya akan dibandingkan dengan hasil yang telah diperoleh berdasarkan perhitungan-perhitungan sebelumnya. Hal ini digunakan untuk menyelidiki keterbergantungan 4 terhadap cutoff dan parameter set dari model nuklir serta kelakuan M∗ sebagai fungsi ρ
0.
1.3
Sistematika
Sistematika penulisan skripsi ini adalah pada bab dua diberikan bahasan men-genai materi nuklir berdasarkan pendekatan medan rata-rata (mean field) dan pendekatan BCS. Sedangkan pada bab tiga akan diberikan hasil-hasil perhitun-gan beserta penjelasannya. Kesimpulan akan diberikan di bab empat.
Bab 2
Materi Nuklir
Pada nuklir berhingga diketahui A = N +Z, dalam hal ini Z menunjukkan jumlah proton dan N menunjukkan jumlah neutron, jika A dilimitkan menuju ∞ maka sifat-sifat permukaan dapat diabaikan. Keadaan ini disebut materi nuklir. Jika
N = Z sehingga energi simetris hilang, maka tidak ada interaksi Coulomb dan
isovektor. Dalam hal ini materi nuklir menjadi uniform (proton dan neutron tak terbedakan). Keadaan ini disebut sebagai materi nuklir simetrik. Pada materi nuklir terdapat faktor degenerasi yang bernilai 4. Hal ini dihubungkan dengan spin-up dan spin-down dari proton dan neutron. Di sini hanya akan dibahas materi nuklir simetrik yaitu interaksi nukleon hanya terjadi dengan medan skalar-isoskalar (φ) dan medan vektor-skalar-isoskalar (Vµ).
2.1
Materi Nuklir Simetrik
Pada bab ini akan dijelaskan materi nuklir simetrik berdasarkan model Walecka linear. Lagrangian model Walecka dikonstruksi dengan memperkenalkan medan-medan berikut [3]
• Medan baryon untuk neutron dan proton ψ = Ã p n ! (2.1)
• Medan skalar φ yang dipasangkan dengan kerapatan skalar ψψ untuk
• Medan vektor Vµyang dipasangkan dengan arus baryon terkonservasi ψγµψ
untuk mensimulasikan interaksi yang repulsif.
Pada materi nuklir simetrik diasumsikan medan ψ hanya berinteraksi dengan medan skalar φ dan medan vektor Vµ, sehingga lagrangian efektifnya adalah
L = −1 4FµνF µν− 1 2m 2 vVµ2− 1 2 Ã ∂φ ∂xµ !2 + m2 sφ2 −ψ " γµ Ã ∂ ∂xµ − igvVµ ! + (M − gsφ) # ψ, (2.2)
dimana, medan tensor Fµν didefinisikan sebagai
Fµν ≡ ∂Vν ∂xµ − ∂Vµ ∂xν . (2.3)
Adapun persamaan medan diturunkan dari prinsip variasi sebagai berikut
δ Z L Ã q, ∂q ∂xµ ! d4x = 0, (2.4)
dengan q adalah variabel medan ψ, φ, dan Vµ. Persamaan ini dapat
diseder-hanakan menjadi ∂ ∂xµ ∂L ∂(∂q/∂xµ) −∂L ∂q = 0. (2.5)
Dengan memasukkan variabel medan Vµ, φ, dan ψ secara eksplisit akan dihasilkan
persamaan medan sebagai berikut
•
∂ ∂xν
Fµν + m2vVµ = igvψγµψ (2.6)
Persamaan ini merupakan bentuk relativistik dari persamaan Maxwell den-gan kuanta massive Vµ (persamaan Proca), sedangkan arus baryon
terkon-servasi Bµ= iψγµψ berperan sebagai sumbernya. mv adalah massa ω meson
Vµ dan gv adalah konstanta kopling antara nukleon dengan ω meson.
• Ã ∂ ∂xµ !2 − m2s φ = −gsψψ (2.7)
Persamaan ini adalah persamaan Klein-Gordon untuk medan skalar φ den-gan kerapatan skalar baryon ψψ sebagai sumbernya. ms adalah massa
me-son sigma φ dan gs adalah konstanta kopling antara nukleon dengan sigma
• " γµ Ã ∂ ∂xµ − igvVµ ! + (M − gsφ) # ψ = 0 (2.8)
Persamaan ini adalah persamaan Dirac untuk medan nukleon ψ dan M adalah massa nukleon.
Perlu diingat setelah “kuantisasi”, medan klasik Vµ, φ, dan ψ menjadi operator
ˆ
Vµ, ˆφ, dan ˆψ.
2.1.1
Pendekatan Medan Rata-Rata
Untuk mempermudah perhitungan biasanya dilakukan pendekatan. Pendekatan yang banyak dilakukan adalah pendekatan medan rata-rata yang justifikasi fisis pendekatan ini adalah sebagai berikut.
Bayangkan terdapat sebuah kotak yang besar dengan volume V ter-isi baryon B secara uniform. Jika jumlah baryon terkonservasi, ma-ka demikian pula dengan kerapatan ρB ≡ B/V . Jika ukuran
ko-tak diperkecil, maka kerapatan baryon menjadi besar, maka demikian pula bagian sumber pada sisi kanan persamaan medan meson pada persamaan (2.6) dan (2.7). Saat sumber bernilai besar dan timbul beberapa kuanta, dapat ditempatkan untuk mengganti medan meson dengan medan klasik dari sumber dengan nilai ekspektasinya. Pada limit ρB yang besar
ˆ
φ → h ˆφi = φ0, (2.9)
ˆ
Vλ → h ˆVˆλi = iδλ4V0. (2.10)
Untuk sistem yang uniform pada keadaan diam medan klasik φ0 dan V0
kon-stan atau tidak bergantung ruang dan waktu. Sebagai contoh, persamaan medan meson vektor pada (2.6) direduksi menjadi
V0 = gv
m2
v
hˆρBi. (2.11)
Lagrangian Density dalam pendekatan medan rata-rata L = 1 2m 2 vV02− 1 2m 2 sφ20− ˆψ[γµ ∂ ∂x + γ4gvV0+ M ∗] ˆψ, (2.12)
yang mana φ0 dan V0 adalah medan konstan.
Massa efektif nukleon didefinisikan sebagai
M∗ ≡ M − g
sφ0. (2.13)
Hamiltonian density diperoleh dari persamaan (2.12), kemudian setelah
ortonor-malisasi dari fungsi gelombang, dan menggunakan relasi antikomutasi kanonik maka diperoleh
ˆ
H = ˆHM F T + δH, (2.14)
dimana Hamiltonian ˆHM F T nya adalah
ˆ HM F T = 1 2m 2 sφ20− 1 2m 2 vV02+ gvV0ρˆB +1 V Σkλ(k 2+ M∗2)1/2(A† kλAkλ+ Bkλ† Bkλ), (2.15) dengan ˆρB = V1Σkλ(A†kλAkλ− Bkλ† Bkλ),
Sedangkan bagian δH didefinisikan sebagai
δH ≡ −1
V Σkλ[(k
2+ M∗2)1/2− (k2+ M2)1/2]. (2.16)
Dari persamaan (2.15) diketahui bahwa keadaan dasar materi nuklir dalam pen-dekatan medan rata-rata diperoleh dengan mengisi penuh level-level dengan nuk-leon secara penuh sampai momentum Fermi kF, dengan faktor degenerasi untuk
materi nuklir adalah γ = 4. Adapun ρB dan ρs dalam teori medan rata-rata
dapat dihitung yang hasilnya adalah
ρB = γ (2π)3 Z kF 0 d 3k = γ 6π2k 3 F (2.17) ρs ≡ γ (2π)3 Z kF 0 d 3k M∗ (k2+ M∗2)1/2 (2.18)
Persamaan (2.8) dan persamaan (2.13) dapat diselesaikan secara self consistent untuk menghitung M∗. Hasil perhitungan M∗ sebagai fungsi ρ
B dapat dilihat
pada gambar 2.1.1. Gambar 2.1.1 menunjukkan hubungan M∗ terhadap ρ [4].
Terlihat bahwa kecenderungannya menurun. Semakin besar nilai ρ maka semakin kecil nilai M∗. Dapat dilihat pada gambar 2.1.1, penurunannya tidaklah linear.
Kami catat bahwa M∗ adalah besaran yang sangat menentukan pada persamaan
keadaan dari bintang neutron dan jalan bebas rata-rata (mean-free-path) dari neutrino di bintang neutron.
890 900 910 920 930 940 950 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5 0.55 0.6 M * RH0 LW LHS L1
Gambar 2.1: Hubungan M∗ terhadap ρ
B berdasarkan pendekataan medan
rata-rata relativistik. Parameter dari L-W, L-HS, dan L1 dapat dilihat pada lampiran 1.
2.2
Teori Dirac-Hartree-Bogoliubov Relativistik
(RHB)
Perbaikan dari model medan rata-rata relativistik adalah adalah model relativis-tik Hartree-Bogoliubov. Dalam pendekatan ini memungkinkan adanya keadaan materi nuklir dalam bentuk superfluid. Keadaan superfluid adalah keadaan yang
nonviscous. Hal ini dikarenakan efek berpasangannya nukleon-nukleon pada
sis-tem, dimana tiap-tiap pasangan mempunyai energi gap 4(k).
Pada subbab ini akan diberikan perhitungan RHB dalam kerangka model Walec-ka linear untuk materi nuklir simetrik.
Lagrangian density pada persamaan (2.2) juga dapat dituliskan sebagai
L = LN + LM + Lint (2.19)
yang mana LN menjelaskan nukleon bebas sebagai partikel titik relativistik, LM
merepresentasikan meson bebas, dan Lint menjelaskan interaksi antara nukleon
dan meson. Dalam hal ini, meson dibatasi pada meson skalar (σ) dan meson vektor (ω). Sehingga pada materi nuklir simetrik
Lσ = 1 2(∂µσ∂ µσ − m2 σσ2), (2.20) Lω = − 1 4ΩµνΩ µν+1 2m 2 ωωµωµ, (2.21)
yang mana mσ dan mω adalah massa diam σ meson dan ω meson.
Ωµν = ∂µων − ∂νωµ, (2.22)
adalah tensor medan meson ω. Interaksi antara nukleon dan meson juga dapat dituliskan sebagai
Lint= −gσψσψ − gωψγµωµψ, (2.23)
yang mana konstanta gσ dan gω adalah konstanta kopling dari interaksi nukleon
dengan σ dan ω meson.
Untuk sistem nuklir, operator Hamiltoniannya adalah
bagian nukleon
HN =
Z
d3xψ+(αp + βM)ψ, (2.25)
sedangkan bagian meson
HM = Hσ+ Hω, (2.26)
dengan kontribusi meson σ
Hσ = 1 2 Z d3x(Π2 σ+ [∇σ]2+ m2σσ2), (2.27) dan meson ω Hω = − 1 2 Z d3x(Πµ ωΠωµ+ ΠωµΠωµ+ m2ωωµωµ), (2.28)
dan interaksi antara nukleon dan meson
Hint=
Z
dexψα(x)Γµαβψβ(x)φµ(x), (2.29)
yang terdiri dari verteks nukleon-nukleon-meson Γµαβ
σ Γαβ = gσδαβ (2.30)
ω Γµαβ = gωγαβµ (2.31)
Seperti sebelumnya σ, ω, dan ψ setelah kuantisasi adalah operator medan. Pada pendekatan ini harga ekspektasi dari kombinasi 4 buah operator ψ dapat ditulis dalam bentuk persamaan gerak fungsi Green 4-titik G dan F
hA|T ˆψeψˆdψˆcψˆb|Ai ≈ −GedGcb+ GcdGeb+FeecFdb, (2.32)
hA + 2|T ˆψeψˆdψˆcψˆb|Ai ≈ −GedF cb + GecFdb− GebFdc, (2.33)
Dalam hal ini Gab didefinisikan sebagai
Gab = −ihA|T ˆψaψˆb|Ai, (2.34)
yang mana |Ai adalah keadaan dasar sistem A nukleon. Sedangkan Fab
didefin-isikan sebagai
Fab = −ihA + 2|T ˆψaψˆb|Ai. (2.35)
Bagian pertama dan kedua pada (2.32) dan (2.33) adalah suku Hartree dan suku Fock. Bagian ketiga dikenal sebagai suku Gorkov. Jika suku Fock dan Gorkov
diabaikan maka hasilnya akan kembali ke hasil dengan pendekatan medan rata-rata.
Jika Hamiltonian Dirac h didefinisikan sebagai
h = αp + βΣ (2.36)
dimana Σ adalah operator massa dan p adalah momentum, maka persamaan Dirac-Hartree-Fock-Bogoliubov menjadi à h − λ 4 −4∗ −h∗+ λ ! à Uν Vν ! = eν à Uν Vν ! (2.37) yang mana 4 adalah pairing potensial, εν adalah energi kuasi partikel, dan λ
adalah potensial kimia (εF).
2.2.1
Pendekatan BCS
Model mikroskopik diperkenalkan oleh Bardeen, Cooper, dan Schrieffer (BCS) pada tahun 1957. Model ini telah berhasil menghubungkan dan menjelaskan sifat-sifat superkonduktor simpel dalam hubungan dengan parameter-parameter eksperimen. Kita akan memperoleh persamaan gap BCS dengan mendiagonal-isasi persamaan (2.37). Penurunan selengkapnya dapat dilihat pada [5].
Pada subbab ini hanya dituliskan kembali hasil akhirnya sebagai berikut. Pa-da perhitungan berikut suku Fock diabaikan karena kontribusinya dianggap tiPa-dak signifikan.
Operator massa memiliki bentuk sederhana sebagai
Σ = S + βV, (2.38) dimana S = −g 2 σ m2 σ ρs dan V = g2 ω m2 ω ρv, (2.39)
yang nilainya ditentukan dengan menghitung kerapatan skalar
ρs = hA|ψψ|Ai, (2.40)
dan kerapatan vektor
Energi kinetik adalah nilai eigen dari operator (2.36)
εk = V ± E∗(k), (2.42)
dimana E∗(k) =√k2+ M∗2, dan M∗ = M +S adalah massa efektif dari nukleon.
Fungsi eigennya adalah spinor Dirac untuk energi positif dan negatif. Sedangkan matriks diagonal untuk densitas skalar dan vektor adalah
ρs(ks, k0s0) = δ(k − k0)δss0v2(k) M
∗
E∗(k)0, (2.43)
dan
ρv(ks, k0s0) = δss0δ(k − k0)v2(k), (2.44)
sehingga setelah dijumlahkan untuk semua k0dan s0 kita dapatkan kerapatan
skalar sebagai ρs= 4 2π2 Z ∞ 0 M∗ E∗(k)v 2(k)k2dk, (2.45)
dan kerapatan vektor
ρv = 4
2π2
Z ∞
0 v
2(k)k2dk. (2.46)
Sedangkan massa efektif menjadi
M∗ = M − g2σ m2 σ 4 2π2 Z ∞ 0 M∗ E∗(k)v 2(k)k2dk (2.47)
Perhatikan di sini jika v2 diset sama dengan satu dan batas atas integrasi ∞
digantikan dengan kF maka ρs, ρv, dan M∗kembali ke ρs, ρv, dan M∗berdasarkan
pendekatan medan rata-rata yang mana occupation numbers didefinisikan sebagai
v2(k) = 1 2 1 −q ε(k) − λ (ε(k) − λ)2+ 42(k) (2.48)
dan nilai eigen e(k) adalah
e(k) =
q
(V +√k2+ M∗ − λ)2+ 42(k) (2.49)
parameter gap ditentukan dengan persamaan gap non-linear sebagai
4(k) = − 1 4π2 Z ∞ 0 vpp(k, p) 4(p) q (ε(p) − λ)2+ 42(p)p 2dp (2.50)
Persamaan ini merupakan hasil utama pada perhitungan ini.
Interaksi dalam particle-particle channel vpp memiliki kontribusi dari
per-tukaran meson yang berbeda [5]
vpp = vppσ + vωpp (2.51)
yang mana kontribusi medan σ adalah [5]
vppσ (k, p) = − g 2 σ 2E∗(p)E∗(k) (2.52) × ( 1 + 4M∗2− m2σ− (E∗(p) − E∗(k))2 4pk ln à (p + k)2+ m2 σ (p − k)2+ m2 σ !) ,
dan kontribusi medan ω adalah
vω pp(k, p) = gω2 M∗2+ p2+ k2− (E∗(p) − E∗(k))2 2E∗(p)E∗(k)pk ln à (p + k)2+ m2 ω (p − k)2+ m2 ω ! (2.53) Perlu juga dicatat di sini untuk perhitungan untuk sistem asimetrik seperti materi neutron, kontribusi dari meson π dan ρ harus pula diperhitungkan dan faktor degenerasi γ menjadi 2.
Bab 3
Hasil dan Pembahasan
3.1
Pengaruh Cut Off pada 4(k)
Pada bab ini akan dihitung secara numerik secara silmultan (self consistent) per-samaan (2.45) sampai (2.53) untuk memperoleh 4(k). Untuk memperoleh hasil yang berhingga pada persamaan (2.50), integral R∞
0 diganti dengan
R∧c
0 yang
mana ∧c adalah cutoff. Untuk melihat keterbergantungan gap (4) terhadap ∧c
pada subbab berikut akan dihitung 4 dengan variasi ∧c. Hasilnya ada pada
gambar 3.1. 0 1 2 3 4 5 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 delta(k F )(MeV) kF(fm-1) Gamma=240 Gamma=260 Gamma=280 Gamma=300
Gambar 3.1: Hubungan pairing gap pada permukaan Fermi 4(k) terhadap mo-mentum Fermi kF
Gambar (3.1) menjelaskan hubungan antara momentum Fermi kF dengan
gap (4), yang mana persamaan gap merupakan fungsi eksplisit dari kF.
Ada-pun parameter set yang digunakan adalah parameter linear L-W. Harga kopling konstannya dapat dilihat pada lampiran 1. Yang ingin kita amati di sini adalah pengaruh cutoff terhadap gap, dimana dalam hal ini kita membandingkan hasil dari 4 nilai cutoff yaitu 240, 260, 280, dan 300. Pengaruh cutoff terlihat dari besarnya nilai peak dari gap dan pada nilai kF berapa terjadinya peak tersebut.
Terlihat bahwa nilai-nilai yang dihasilkan tidak memiliki selisih yang terlalu be-sar, dengan kata lain pengaruh cutoff terhadap gap untuk keempat nilai tersebut tidak lah terlalu besar. Hal yang sama berlaku pula untuk nilai cutoff diatas 300, namun tidak demikian untuk nilai cutoff di bawah 240. Pada nilai cutoff dibawah 240 yang terjadi adalah kita memperoleh 2 peak yang nilainya berbe-da paberbe-da nilai kF yang berbeda. Dalam hal ini untuk nilai kF yang lebih kecil
diperoleh peak yang lebih besar dibandingkan dengan peak pada kF yang lebih
besar. Hal lain yang dapat kita amati dari grafik ini adalah sempitnya lebar gap. Hal ini diduga muncul akibat kasarnya pendekatan integral secara numerik yang digunakan (titik yang kita gunakan dalam ekspansi integral hanya tiga buah). Studi lebih lanjut dalam bentuk penghalusan perhitungan numerik tampaknya perlu di sini. Pendekatan cutoff yang lebih baik, misalnya dengan memberikan faktor bentuk pada verteks interaksi juga perlu diselidiki. Untuk melihat keter-bergantungan gap terhadap parameter (kopling konstan) yang digunakan maka studi lebih lanjut dengan menggunakan model yang lebih realistis (model Walecka nonlinear) tampaknya perlu dilakukan.
0 1 2 3 4 5 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 Delta(k F )(MeV) kF(fm-1) Gamma=240, L-HS Gamma=240, L-W Gamma=240, L1
Gambar 3.2: Perbandingan pairing gap untuk 3 parameter yang berbeda
Pada gambar 3.2 diberikan perbandingan gap untuk parameter set yang berbe-da. Terlihat bahwa peak terjadi untuk nilai kF yang sama. Hal ini disebabkan
massa meson vektor sama untuk ketiga parameter yang digunakan. Dari sini diketahui bahawa parameter set tidak terlalu mempengaruhi nilai dari gap.
-4 -2 0 2 4 6 0 2 4 6 8 10 12 Delta(k)(MeV) k(fm-1) Gamma=200 Gamma=250 Gamma=260 Gamma=190
Gambar 3.3: Hubungan pairing gap terhadap momentum k
Pada gambar 3.3 dan 3.4 diberikan hubungan 4(k) terhadap momentum k untuk variasi ∧c dan parameter set. Gambar 3.3 menjelaskan hubungan gap
sebagai fungsi momentum k untuk meson skalar dan meson vektor. Terlihat bahwa gap mencapai nilai maksimum pada harga momentum 0, dan nilainya semakin menurun untuk nilai k yang semakin besar. Saat k diatas 2 (fm), nilai gap mulai negatif dan Nilai minimun dicapai untuk harga momentum antara 4-5 (fm), kemudian nilainya naik perlahan-lahan hingga mendekati nilai 0. Hal ini menunjukkan interaksi partikel-partikel atraktif terjadi pada nilai momentum yang besar.
-4 -2 0 2 4 6 0 2 4 6 8 10 12 Delta(k)(MeV) k(fm-1) Gamma=200, L1 Gamma=200, L-W Gamma=200, L-HS
Gambar 3.4: Perbandingan pairing gap untuk 3 parameter yang berbeda Perbandingan nilai gap sebagai fungsi momentum k untuk parameter yang berbeda terlihat dari gambar 3.4. Terlihat bahwa kecenderungan grafik untuk ketiganya adalah sama yakni nilai maksimum dicapai saat k berharga nol, kemu-dian gap terus menurun hingga saat k dibawah 2 (fm) mulai negatif, mencapai nilai minimum pada nilai k antara 4-5 (fm), dan kemudian nilainya naik kem-bali hingga mendekati 0. Hal ini menunjukkan interaksi partikel-partikel atraktif pada momentum yang besar (k ≥ 2)m.
-20 -10 0 10 20 30 0 5 10 15 20 Vpp (fm 2 ) K(fm-1) Gamma=200 Gamma=200, omega Gamma=200, sigma
Gambar 3.5: Hubungan potensial terhadap momentum k
Pada gambar 3.5 ditunjukkan bagaimana interplay antara kontribusi σ dan ω meson (kanselasi dari potensial yang atraktif dan repulsif) pada potensial pairing
Vpp(k,kF). Gambar 3.5 menjelaskan hubungan potensial partikel-partikel sebagai
fungsi k. Terlihat bahwa meson skalar memberikan kontribusi atraktif dan meson vektor memberikan kontribusi repulsif. Bagian meson skalar potensial partikel-partikelnya memiliki nilai yang terus naik hingga mendekati nilai nol. Sedangkan meson vektor nilainya terus turun hingga mendekati nilai nol. Gabungan dari meson skalar dan meson vektor memberikan bagian atraktif sampai batas k sek-itar 1.5 (fm) dan diatas itu memberikan bagian repulsif. Terlihat bahwa bagian repulsif mencapai nilai yang besar yakni 6 (fm2) pada nilai k sekitar 3 (fm) dan
diatas itu nilainya terus turun dimana turunnya tidaklah drastis (secara perlahan-lahan).
-20 -10 0 10 20 30 0 5 10 15 20 Vpp (fm 2 ) K(fm-1) Gamma=200, L-HS Gamma=200, L-W Gamma=200, L1
Gambar 3.6: Perbandingan potensial Vpp(k,kF) untuk 3 parameter yang berbeda
Efek parameter set yang digunakan pada Vpp(k,kF) dapat dilihat pada gambar
3.6. Pada perbandingan potensial dengan 3 parameter, data yang diambil sudah merupakan gabungan meson skalar dan meson vektor. Terlihat bahwa hasil yang diperoleh memiliki kecenderungan yang sama. Maksimum repulsif dicapai pada k sekitar 3 (fm) dengan nilai potensial sekitar 6 (fm2). Demikian pula pada bagian
atraktif terjadi sampai nilai k sekitar 1.5 (fm) dengan nilai maksimum atraktif sekitar -6 (fm2). Sehingga dapat disimpulkan pada model linear Walecka, V
pp
3.2
Massa Efektif M
∗Pada subbab ini akan dihitung efek superfluiditas pada massa efektif M∗. Pada
890 900 910 920 930 940 950 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5 0.55 0.6 M * RH0 Gamma=200, L-W medan rata-rata, L-W Gamma=380, L-W
Gambar 3.7: Relasi M∗ dengan ρ
0
gambar 3.7 diberikan relasi M∗ terhadap ρ
0. Tampak hasilnya linear. Hal ini
tampaknya tidak terlalu sesuai dengan yang diharapkan, yang mana M∗(ρ
0)
se-harusnya tidak terlalu berbeda dengan M∗(ρ
0) berdasarkan perhitungan medan
rata-rata. Tampaknya studi lebih lanjut dibutuhkan di sini. Diduga kasarnya pendekatan yang digunakan dalam pengintegralan numerik sebagai penyebabnya.
Bab 4
Kesimpulan
• Pairing gap sebagai fungsi kF sangat dipengaruhi oleh nilai cutoff,
sedan-gkan sebagai fungsi k tidak terlalu bergantung pada cutoff (pengaruh
cut-offnya kecil).
• Pairing gap sebagai fungsi kF dan sebagai fungsi k tidak terlalu bergantung
pada parameter set yang digunakan.
• Potensial Vppakan bersifat atraktif untuk momentum yang kecil. Sedangkan
untuk momentum yang besar akan diperoleh potensial Vpp yang repulsif.
• M∗ sebagai fungsi ρ
0 seharusnya tidak memberikan hubungan yang
lin-ear, dengan kata lain hasilnya harusnya tidak terlalu berbeda dengan pen-dekatan medan rata-rata. Untuk itu dibutuhkan studi lebih lanjut pada bagian ini.
Lampiran A
Parameter Set yang Digunakan
Parameter set yang digunakan di sini dapat dilihat pada tabel di bawah ini [6].
Set
M
m
σm
ωg
σg
ωL-W
939.0 550.000 783.000
9.57269
11.67114
L-HS 939.0 520.000 783.000 10.47026 13.79966
L1
938.0 550.000 783.000 10.29990 12.59990
Lampiran B
Alur Program
B.1
Inisialisasi
• konstanta awal
Konstanta awal diperlukan sebagai input pada program. Adapun konstanta yang kita masukkan adalah sebagai berikut:
k1 = 0, k2 = ∧2c, k3 = ∧c, kF
V2
0(0) = 12, v02(∧2c) = 1
2, V02(∧c) = 12
Dapat dilihat bahwa di sini kita hanya menggunakan 3 titik.
• Menghitung M∗
Konstanta yang diperlukan disini adalah k dan V2
0 yang nilainya telah
di-tentukan diatas. M∗ yang dituliskan disini sudah merupakan penjabaran
integral sampai suku ke-3, sesuai dengan jumlah titik yang ditentukan.
M∗ = M − Ã ∧c/2 2 ! " M∗ q k2 1 + M∗2 V2 0(k1)(k1)2+ 2 M∗2 q k2 2 + M∗2 V2 0(k2)(k2)2 + q M∗2 k2 3+ M∗2 V2 0(k3)(k3)2 # (B.1) dari sini dihasilkan M∗ awal yang kita beri nama M∗
0 • Menghitung E∗
k dan Ek
Yang pertama dihitung adalah E∗
kyang hasilnya akan dijadikan input untuk
menghitung Ek.
E∗ k =
√
dari E∗
k inilah kita peroleh Ek∗0 (Ek∗ awal).
Ek = Ek∗+ V (B.3) di mana: V = gω2 m2 ωρv, ρv = 2π42 R V2(k)k2dk, ρv = ∧c2/2[V02(k1)(k1)2+ 2V02(k2)(k2)2+ V02(k3)(k3)2].
dari sini dihasilkan Ek yang kita beri nama Ek0
• Menghitung 4(k) 4(k) = Ã Ek− EkF 1 − 2V2(k) !2 − (Ek− EkF)2 1/2 (B.4) dari sini dihasilkan 4(k) yang kita beri nama 40(k)
Semua nilai yang diperoleh dari penghitungan diatas, akan dijadikan konstanta dalam menghitung V (p, k) dan 4(p) awal.
B.2
Iterasi
• Menghitung V (p, k):
Besarnya momentum p yang dimasukkan di sini adalah sama dengan k. Maka E∗
p besarnya juga sama dengan Ek∗.
V (p, k) = − gσ2 2E∗ pEk∗ " 1 + 2(E ∗ pEk∗+ M∗2 4pk ln à (p + k)2+ m2 σ (p − k)2+ m2 σ !# + g2ω 2E∗ pEk∗pk (2E∗ pEk∗− M∗2)ln à (p + k)2+ m2 ω (p − k)2+ m2 ω ! (B.5) dari sini dihasilkan V (p, k) yang kita beri nama V0(p, k)
• Menghitung 4(p)
Besaran terakhir yang dihitung di sini adalah 4(p) yang mana pada per-samaan (B.6) sudah dalam bentuk penjabaran integralnya sebagai
4(p) = ∧c/2 2 " V (p, k1) 4(k1) q (Ek− EkF)2 + 42(k1) (k1)2 + 2V (p, k2)q 4(k2) (Ek− EkF)2+ 42(k2) (k2)2 + V (p, k3) 4(k3) q (Ek− EkF)2+ 42(k3) (k3)2 # (B.6) Dari sini dihasilkan 4(p) yang selanjutnya diperlakukan sebagai 4(k)
• Menghitung V2(k):
Terakhir dihitung V2(k) yang merupakan bagian terpenting karena akan
dijadikan input dalam program secara menyeluruh.
V2(k) = 1 2 1 −q Ek− EkF (Ek− EkF)2+ 42(k) (B.7)
Dari sini dihasilkan V2(k) yang kita jadikan sebagai input V2 0
Kemudian dilakukan iterasi berulang dimana iterasi akan berhenti saat kondisi
V2(k) = V2
Daftar Acuan
[1] Isaac Vidana and Laura Tolos, Superfluidity of Σ− Hyperons in
β-Stable Neutron Star Matter, Phys. Rev. Lett C 70, 028802 (2004) [2] F. Matera, G. Fabbri and A. Dellafiore, Relativistic Approach to
Su-perfluidity in Nuclear Matter, Phys. Rev. Lett C 56, 1 (1997)
[3] John Dirk Walecka, Theoritical Nuclear and Subnuclear Physics, Ox-ford University Press, 1995
[4] Parada T. P. Hutahuruk, Lintasan Bebas Rata-Rata Neutrino di Bin-tang Neutron, Tesis, 2004
[5] H. Kucharek and P. Ring, Relativistik Field Theory of Superfluidity in Nuclei, Hadrons and Nuclei 339, 23-35 (1991)
[6] K. C. Chung, C. S. Wang, A. J. Santiago, and J. W. Zhang, Nuclear Mat-ter Properties and Relativistic Mean-Field Theory, Eur. Phys. J. A9 (2000), 453-461
[7] F. B. Guimaraes, B. V. Carlson and T. Frederico, Hartree-Fock-Bogoliubov Approximation to Relativistic Nuclear Matter, Phys. Rev. Lett C 54, 5 (1996)
[8] Alexander L. Fetter and John Dirk Walecka, Quantum Theory of Many-Particle Systems, McGraw-Hill Book Company, 1971
[9] A. Bouyssy, S. Marcos and Pham Van Thieu, Systematics of Nuclear Matter and Finite Nuclei Properties in A Non-Linear Relativistic Mean Field Approach, Phys. Rev. Lett C 50, 541 (1984)
[10] F. Montani, C. May, and H. Muther, Mean Field and Pairing Properties in The Crust of Neutron Stars, Phys. Rev. Lett C 09 (2004)
[11] Xian-Rong Zhou, H. J. Schule, En-Guang Zhao, Feng Pan, and J. P. Draayer, Pairing Gap in Neutron Stars, Phys. Rev. Lett C 70, 048802 (2004) [12] Isaac Vidana and Laura Tolos, Superfluidity of Σ− Hyperons in