• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Interaksi Obat Dan Makanan Fix

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Interaksi Obat Dan Makanan Fix"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN

“Penggunaan Obat Pada Penderita Gangguan Ginjal, Hati dan

Terapi Farmakologi Pada Obesitas ”

DOSEN : SUHAIMI, M.Far, Apt

DISUSUN OLEH : INDAH TRI PRIHANTINI

LISDA KHAIRA MANIK MARIA NILAMINA MUNIRATUL HIDAYAH

NASIHA NURUL RIZQA

PRODI D-IV JURUSAN GIZI

KEMENTERIAN KESEHATAN RI POLITEKNIK KESEHATAN PONTIANAK

TAHUN AKADEMIK 2017/2018

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Interaksi obat merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan. Obat dapat berinteraksi dengan makanan atau minuman, zat kimia atau dengan obat lain. Dikatakan terjadi interaksi apabila

(2)

makanan, minuman, zat kimia, dan obat lain tersebut mengubah efek dari suatu obat yang diberikan bersamaan atau hampir bersamaan (Ganiswara, 2000).

Beberapa obat sering diberikan secara bersamaan pada penulisan resep, maka mungkin terdapat obat yang kerjanya berlawanan. Obat pertama dapat memperkuat atau memperlemah, memperpanjang atau memperpendek kerja obat kedua. Interaksi obat harus lebih diperhatikan, karena interaksi obat pada terapi obat dapat menyebabkan kasus yang parah dan tingkat kerusakan-kerusakan pada pasien, dengan demikian jumlah dan tingkat keparahan kasus terjadinya interaksi obat dapat dikurangi (Mutschler, 1991).

Kejadian interaksi obat yang mungkin terjadi diperkirakan berkisar antara 2,2% sampai 30% dalam penelitian pasien rawat inap di rumah sakit, dan berkisar antara 9,2% sampai 70,3% pada pasien di masyarakat. Kemungkinan tersebut sampai 11,1% pasien yang benar benar mengalami gejala yang diakibatkan oleh interaksi obat (Fradgley, 2003).

Hati merupakan organ tubuh yang paling besar dan paling kompleks. Hati manusia tersusun atas sel-sel hati. Sel-sel tersebut membentuk jaringan-jaringan yang kemudian dalam satu kesatuan menjadi organ hati. Hati merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh, terletak dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma.

Berdasarkan fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat ekskresi. Hepar (hati) adalah kelenjar terbesar dalam tubuh dengan berat sekitar 1300-1550 gram dan berwarna merah cokelat, mempunyai banyak pembuluh darah serta lunak. Empedu berasal dari hemoglobin sel darah merah yang telah tua. Empedu merupakan cairan kehijauan dan terasa pahit.

Ginjal memainkan peran-peran kunci dalam fungsi tubuh, tidak hanya dengan menyaring darah dan mengeluarkan produk-produk sisa, namun juga dengan menyeimbangkan tingkat-tingkat elektrolit-elektrolit didalam tubuh, mengontrol tekanan darah, dan menstimulasi produksi dari sel-sel darah merah.

Ginjal berlokasi dalam perut ke arah kebelakang, normalnya satu pada setiap sisi dari spine (tulang belakang). Mereka mendapat penyediaan darah melalui arteri-arteri renal secara langsung dari aorta dan mengirim darah kembali ke jantung via vena-vena renal ke vena cava. Istilah “renal” berasal dari nama Latin untuk ginjal.

(3)

Ginjal mempunyai kemampuan untuk memonitor jumlah cairan tubuh, konsentrasi-konsentrasi dari elektrolit-elektrolit seperti sodium dan potassium, dan keseimbangan asam-basa dari tubuh, juga menyaring produk-produk sisa dari metabolisme tubuh, seperti urea dari metabolisme protein dan asam urat dari uraian DNA. Dua produk-produk sisa dalam darah dapat diukur: blood urea nitrogen (BUN) dan creatinine (Cr).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penggunaan obat pada pendrita gangguan ginjal? 2. Bagaimana penggunaan obat pada penderita gangguan hepar? 3. Bagaimana terapi farmakologi obesitas?

C. Tujuan

1. Mengetahui penggunaan obat pada pendrita gangguan ginjal 2. Menggetahui penggunaan obat pada penderita gangguan hepar 3. Mengetahui terapi farmakologi obesitas

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. HEPAR

A. Pengertian Penyakit Hepar

Hati merupakan organ yang sangat penting dalam pengaturan homeostatis tubuh meliputi: - Metabolisme - Biotransformasi - Sintesis - Penyimpanan - Imunologi

Hati dapat mempertahankan fungsinya bila terjadi gangguan ringan. Pada gangguan berat terjadi gangguan fungsi yang serius dan berakibat fatal. Penyakit hati adalah suatu istilah untuk sekumpulan kondisi-kondisi, penyakit-penyakit dan infeksi-infeksi yang mempengaruhi sel-sel, jaringan-jaringan, struktur dan fungsi dari hati.

B. Penyebab dan risiko penyakit

Penyakit hati dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang bervariasi. Penyebab-penyebabnya termasuk:

1. Kerusakan-kerusakan bawaan sejak lahir atau kelainan-kelainan hati yang hadir pada kelahiran

2. Kelainan-kelainan metabolisme atau kerusakan dalam proses dasar tubuh 3. Infeksi-infeksi virus atau bakteri

4. Alkohol atau keracunan oleh racun

5. Obat-obat terentu yang merupakan racun bagi hati 6. Kekurangan Gizi (nutrisi)

(5)

Penyakit-penyakit hati yang kemungkinan besar terjadi pada anak-anak termasuk:

1. Alagille’s syndrome, suatu kondisi dimana saluran empedu menyempit dan memburuk, terutama pada tahun pertama kehidupan

2. Alpha 1- antitrypsin deficiency, suatu penyakit hati genetik pada anak yang dapat menuju ke hepatitis dan sirosis hati

3. Biliary atresia, suatu kondis dimana saluran empedu yang terbentang dari hati ke usus halus adalah terlalu kecil penampangnya atau sama sekali tidak ada

4. Galactosemia, suatu penyakit keturunan dimana tubuh tidak dapat mentoleransi gula-gula tertentu didalam susu. Gula-gula ini dapat memperluas, menyebabkan kerusakan yang serius terhadap hati dan organ-organ lainnya dari tubuh.

5. Hemorrhagic telangiectasia, suatu kondisi dimana pembuluh darah yang tipis mengizinkan perdarahan yang mudah dan sering dari kulit dan saluran pencernaan

6. Hepatitis aktif kronis, suatu peradangan hati yang menyebabkan luka yang meninggalkan parut dan gangguan fungsi hati

7. Kanker hati, yang dapat berasal dari kanker pada bagian tubuh lainnya yang telah menyebar ke hati

8. Neonatal hepatitis, adalah hepatitis pada bayi baru lahir yang terjadi pada beberapa bulan pertama kelahiran

9. Reye’s syndrome, suatu kondisi yang menyebabkan meluasnya lemak di hati. Pada beberapa kasus kondisi ini dikaitkan dengan penggunaan aspirin, terutama yang berhubungan dengan chickenpox, influenza, atau penyakit-penyakit lainnya dengan demam

10.Thalassemia, satu grup dari anemia yang diwariskan, atau jumlah darah merah yang rendah

11. Tyrosinemia, suatu kelainan yang menyebabkan persoalan serius dengan metabolisme hati

12.Wilson’s disease, suatu kondisi warisan (keturunan) yang menyebabkan meluasnya dari mineral tembaga didalam hati

13.Penyakit-penyakit hati yang kemungkinan besar terjadi pada orang dewasa termasuk:

14.Batu empedu, yang mungkin dapat menyumbat saluran empedu

15.Hemochromatosis, suatu kondisi yang menyebabkan tubuh menyerap dan menyimpan terlalu banyak besi. Penumpukan dari besi menyebabkan kerusakan hati dan organ-organ lainnya

(6)

16.Hepatitis, suatu peradangan dan infeksi dari hati disebabkan oleh salah satu dari beberapa virus-virus

17.Penyakit cystic dari hati, yang menyebabkan luka-luka dan massa-massa yang terisi cairan di hati

18.Porphyria, suatu kondisi yang menyebabkan kesalahan fungsi dalam bagaimana tubuh menggunakan porphyrins. Porphyrins adalah sangat penting pada pembuatan haemoglobin didalam sel darah merah, untuk mengangkut oksigen keseluruh tubuh

19.Primary sclerosing cholangitis, suatu kondisi yang menyebabkan saluran empedu dari hati menyempit karena peradangan dan luka goresan

20.Sarcoidosis, suatu penyakit yang menyebabkan suatu perluasan dari luka-luka di hati dan organ-organ lainnya dari tubuh

21.Sirosis, suatu kondisi serius yang menyebabkan jaringan dan sel-sel hati diganti oleh jaringan parut

C. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam pemberian obat yang dimetabolisme di hati

a. Obat-obat hepatotoksik.

Obat ini umumnya menyebabkan toksik pada pasien dengan gangguan fungsi hati. b. Ikatan protein

Hati merupakan sumber utama dalam sintesis protein plasma (misalnya; albumin).Pada gangguan hati, jumlah protein plasma akan berkurang, sehingga protein yang tersedia untuk berikatan sedikit, dan obat yang bebas akan banyak. Hal ini dapat meningkatkan efek dan toksisitas, terutama untuk obat yang memiliki indeks terapeutik sempit dan ikatannya dengan protein plasma tinggi.

c. Antikoagulan dan obat-obat yang menyebabkan pendarahan.

Hati merupakan tempat utama dalam pembentukan faktor pembekuan darah dan akan terjadi resiko pendaharan pada penderita yang kondisi hatinya buruk.

(7)

D. Efek Penyakit Hati Terhadap Aktivitas Farmakologi Obat

1. Perubahan terhadap parameter farmakokinetika obat

2. Perubahan farmakodinamika akibat proses penyakit yang terjadi

a. Efek penyakit hati terhadap farmakokinetika obat terutama disebabkan oleh 1) Obat dimetabolisme oleh satu atau lebih enzim pada sel didalam bagian2

hati yang berbeda.

2) Beberapa obat dan metabolitnya diekskresikan melalui sekresi bilier b. Penyakit hati dapat mengakibatkan antara lain:

1) Akumulasi obat

2) Kegagalan membentuk metabolit aktif/inaktif 3) Peningkatan ba oral

4) Efek lain yang terkait ikatan protein dan fungsi ginjal

E. Panduan Umum Dalam Peresepan Obat Pada Gangguan Hati

1. Hindari obat-obat hepatotoksik.

2. Gunakan obat-obat yang aman untuk ginjal sebagai pilihan. 3. Monitor efek samping obat untuk obat yang aman untuk hati. 4. Hindari obat yang meningkatkan resiko pendarahan.

5. Hindari obat-obat sedatif jika ada resiko ensepalopati hepatika.

6. Pada kelainan hati sedang dan berat dapat dilakukan pengurangan dosis untuk obat yang dimetabolisme utama di hati atau meningkatkan interval untuk semua obat yang kurang aman untuk hati.

7. Jika albumin rendah pertimbangkan untuk menurunkan dosis obat yang ikatan proteinnya tinggi.

8. Obat yang mempengaruhi keseimbangan elektrolit harus digunakan secara hati-hati dan harus dimonitor.

9. Pada pilihannya gunakan obat lama, obat yang dibuat dengan baik, jika dalam pengalaman penggunaan obat menyebabkan gangguan hati.

10.Sedapat mungkin gunakan dosis terendah dan tingkatkan kehati-hatian berdasarkan respon efek sampingnya

F. Prinsip penggunaan obat pada penderita gangguan hati yang berat:

1. Usahakan memilih obat yang eliminasinya melalui ekskresi ginjal.

2. Hindari penggunaan obat depresan SSP, diuretik, obat yang menyebabkan konstipasi, antikoagulan oral, kontrasepsi oral, dan obat hepatotoksik.

(8)

Obat-obat berikut ini memerlukan perhatian khusus pada penderita gangguan hati:

a. Sedatif (benzodiazepin, opioid) : dapat menimbulkan koma. b. Diuretik : ensefalopati

c. Warfarin, AINS, aspirin : penurunan atau gangguan produksi faktor pembekuan darah dapat menimbulkan risiko perdarahan

d. INH dan rifampisin : mempengaruhi enzim hati e. Parasetamol, halotan, isoniazid : terkait dosis

G. Beberapa Pilihan Dalam Penatalaksanaan Dosis Obat Pada Pasien Kerusakan Fungsi Hati

1. mengurangi dosis obat tetapi interval dosis normal,

2. menggunakan dosis normal tetapi memperpanjang interval obat, 3. dan memodifikasi dosis serta interval pemberian obat

(9)

H. Pertimbangan Dosis Pada Penyakit Hati

Dosis dan interval pemberian obat yang akan diberikan pada pasien dengan gangguan hati harus mempertimbangkan hal-hal berikut:

1. Sifat dan Keparahan Penyakit.

Jenis dan keparahan penyakit hati mempengaruhi farmakokinetiak obat dalam porsi yang tidak sama besar

2. Eliminasi Obat

Secara umum obat dimetabolisme dalam tubuh dalam dua bentuk: a. Fraksi obat yang dieliminasikan dalam bentuk asalnya, fe

b. Fraksi obat yang dimetabolisme, 1-fe

Fraksi ini dapat ditentukan dari klirens hepatik (ClH) dan klirens tubuh total (Cl). Fraksi ini memungkinkan untuk mengetahui klirens total saat fungsi hati berkurang. Obat dengan fe kecil, sangat dipengaruhi oleh fungsi hati

3. Rute Adminitrasi Obat

Jika obat mengalami first fast effect sebagian obat akan hilang karena metabolism presistemik dan bioavaibilitasnya akan meningkat. Pengurangan secara terus-menerus terjadi pada kliren hepatic dan pada efek first fast hasilnya kan meningkatkan konsentrasi stdy state untk obat yg diguanakan secara oral. 4. Ikatan Protein

Hati mempoduksi albumin dan alfa 1 asam glikoprotein adalh dua senyawa protein yang menikat obat2 asam dan basa terutama dalam darah. Pasien dengan sirosis produksi protein ini berkurang sehingga obat bebas meningkat dlm darah karena kurangnya ikatan protein

5. Laju Darah Hepatik dan Bersihan Intrinsik

Aliran darah ke hati menurun pada pasien sirosis karena sel hati digantikan oleh jaringan yang tidak berfungsi yg mana akan meningkatkan tekanan dari dalm organ menyebabkan tekanan vena portal tinggi dan juga aliran darah disekitar hati. Penurunan aliran darah hati menyebabkan sebagian obat tetap mengandalkan sel hati dan menekan kliren hepatic obat sehingga meningkatkan bioavaibilitas obat.

6. Obstruksi Bilier

Ekskresi bilier dari beberapa obat dan metabolit terutama konjungat glukoronida akan berkurang.

(10)

7. Perubahan Secara Farmakodinamik

Sensitivitas jaringan dapat terganggu. 8. Range Terapetik

I. Penentuan Dosis Pada Pasien Dengan Penyakit Hati

Uji lab terbatas dalam menentukan fungsi hati aspartese aminotransferase dan alanine amino transferase mendeteksi kerusakan sel hati, bukan menunjukkan fungsi hati sedangkan serum bilirubin hanya suatu ukuran untuk menentukan obstruksi bilier. Tak ada tes tunggal yang akurat untuk mengetahui fungsi hati total. Umumnya untuk mengetahui kemampuan hati mematabolime obat yaitu dengan menentukan nilai child pugh pada pasien Penyesuaian dengan menggunakan metode Child`s Pugh score digunakan sebagai suatu pendekatan untuk menyesuaikan dosis pada pasien dengan penyakit hati.

Prinsip umum penggunaan obat pada pasien penyakit hati yang berat, adalah : 1. Sedapat mungkin dipilih obat yang eliminasinya terutama melalui ekskresi ginjal. 2. Hindarkan penggunaan : obat-obat yang mendepresi susunan saraf

pusat (terutama morfin), diuretic tiazid dan diuretic kuat, obat-obat yang menyebabkan konstipasi, antikoagulan oral, kontrasepsi oral, dan obat-obat hepatotoksik.

3. Gunakan dosis yang lebih rendah dari normal, terutama obat-obat yang eliminasi utamanya melalui metabolism hati, dengan cara :

a. menurunkan dosis dengan interval pemberian normal

b. memberikan dosis biasa dengan memperpanjang interval pemberian c. mengatur besarnya dosis sekaligus interval pemberian

Tidak ada pedoman umum untuk menghitung berapa besar dosis yang harus diturunkan, maka gunakan educated guess atau bila ada, ikuti petunjuk dari pabrik obat yang bersangkutan. Kemudian monitor respon klinik pasien, dan bila perlu monitor kadar obat dalam plasma, serta uji fungsi hati pada pasien dengan fungsi hati yang berfluktuasi.

Penjelasan beberapa obat yang tidak dibolehkan atau dihindarkan penggunaannya pada pasien penyakit hati :

(11)

1. Morfin : merupakan obat yang dimetabolisme terutama pada hati. Jika diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati maka akan memperlama kerja hati dalam metabolisme obat sehingga akan memperparah fungsi hati serta morfin atau golongan opiod lainnya akan terakumulasi pada hati dan dapat meningkatkan kadar opiod dalam plasma, sehingga dapat meningkatkan efek samping yang mungkin muncul.

2. Diuretic tiazid dan diuretic kuat merupakan obat-obat yang seutuhnya dimetabolisme di hati.

3. Obat-obat hepatotoksik : obat-obat ini akan mempercepat perusakan dari sel-sel hati.

2. Ginjal

A. Pengertian Ginjal

Ginjal adalah organ tubuh yang berfungsi untuk mengeluarkan urin, yang merupakan sisa hasil metabolisme tubuh dalam bentuk cairan. Ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur keseimbangan asam-basa darah serta mengatur ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam. Apabila ginjal gagal dalam menjalankan fungsinya ini, maka akan terjadi gangguan pada keseimbangan air dan metabolisme dalam tubuh sehingga mengakibatkan terjadinya penumpukan zat-zat berbahaya dalam darah (Pearce, 1995).

(12)

B. Penyebab Umum dari Kegagalan Ginjal

Adapun penyebab-penyebab umum dari kegagalan ginjal adalah sebagai berikut:

1. Pielonefritis, merupakan peradangan dan kemunduran dari pielonefron yang disebabkan oleh infeksi, antigen, atau penyebab lain yang tidak diketahui asalnya.

2. Hipertensi, kelebihan muatan yang kronik dari ginjal dengan cairan dan elektrolit dapat menimbulkan ketidakmampuan ginjal.

3. Diabetes Mellitus, merupakan gangguan metabolisme gula dan keseimbangan asam-basa dapat menimbulkan atau meningkatkan kemunduran penyakit ginjal seorang penderita.

4. Obat-obat nefrotoksik/logam-logam, obat-obat tertentu yang dipakai secara kronik dapat menyebabkan kerusakan ginjal secara irreversible, yakni aminoglikosida, fenasetin, dan logam-logam berat seperti merkuri dan timbal. 5. Hipovolemia, yaitu setiap kondisi yang menyebabkan penurunan aliran darah

ginjal akan mengakibatkan ischemia dan kerusakan ginjal.

6. Alergennefron, senyawa-senyawa tertentu dapat menghasilkan sejenis immun dari reaksi sensitivitas dengan sindrom nefritis, misal malaria kuartana, serum nefrotoksik (Shargel & Yu, 2005).

C. Karakteristik Obat Pada Penyakit Ginjal

Obat yang digunakan untuk mengobati penderita penyakit ginjal memiliki karakteristik berikut:

a. Tidak menghasilkan metabolit aktif

b. Disposisi obat tidak dipengaruhi oleh perubahan keseimbangan cairan c. Disposisi obat tidak dipengaruhi oleh perubahan ikatan protein

d. Respon obat tidak dipengaruhi oleh perubahan kepekaan jaringan e. Mempunyai rentang terapi yang lebar

f. Tidak bersifat nefrotoksik

Obat yang terutama menyebabkan nefrotoksis meliputi: AINS, radiocontrast media, kaptropril, siklosporin, aminoglikosida, sisplatin, analgesic non-narkotika (misalnya asetaminofen, aspirin, ibuprofen), rifampisin, litium,

(13)

simetidin.

Anjuran dosis didasarkan pada tingkat keparahan gangguan ginjal, yang biasanya dinyatakan dalam istilah Laju Filtrasi Glomeruler (LFG). Perubahan dosis yang paling sering dilakukan adalah dengan menurunkan dosis atau memperpanjang interval pemberian obat, atau kombinasi keduanya (Kenward dan Tan, 2003).

Masalah yang terkait dengan kerasionalitasan obat: a. Ketepatan pengobatan

Aturan pengobatan perlu dikaji untuk memastikan kesesuaiannya dengan kondisi yang diobati.

b. Pentingnya pengobatan

Apakah pengobatan benar-benar diperlukan oleh pasien. c. Ketepatan dosis

Menyangkut pedoman dosis (termasuk dosis maksimum dan minimum) dan variabel pasien yang mempengaruhi dosis (termasuk tinggi, berat, usia, fungsi ginjal dan hati, dan lain-lain).

d. Efektivitas pengobatan

Penilaian prospektif efektivitas aturan pengobatan akan mengidentifikasi respons terhadap pengobatan dan efek samping terkait obat, yang mungkin diperlukan penyesuaian dosis atau kajian pilihan obat.

e. Jangka waktu pengobatan

Beberapa terapi obat harus dilanjutkan untuk seumur hidup, sementara obat yang lain perlu diberikan untuk suatu pengobatan jangka waktu tertentu.

(14)

Efek samping obat yang dapat diantisipasi perlu dicegah atau ditangani dengan tepat. Efek samping yang tidak terduga perlu diidentifikasi dan dinilai untuk memutuskan apakah pengobatan dapat dilanjutkan, harus dihentikan (dan pengobatan alternatif diberikan) dan apakah pengobatan tambahan perlu diresepkan untuk mengatasi efek samping obat.

g. Interaksi obat

Interaksi obat dapat termasuk: interaksi obat-penyakit, interaksi obat-obat, interaksi obat-diet atau interaksi obat-uji laboratorium.

h. Kompatibilitas/ketercampuran obat

Masalah obat yang tidak tercampurkan (OTT) secara fisika maupun kimia dapat muncul dengan akibat hilangnya potensi, meningkatnya toksisitas atau efek samping yang lain (Kenward dan Tan, 2003).

Akumulasi kadar obat dalam plasma dapat terjadi dan level toksik minimum dapat terlewati apabila dosis tidak dihitung berdasarkan fungsi ginjal pasien. Sebagian besar obat juga memiliki efek merusak ginjal (nefrotoksik), sehingga dosisnya juga harus disesuaikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal (Hewlet, 2004). Strategi penyesuaian dosis pada pasien gagal ginjal dapat membantu dalam terapi obat individu dan dapat mencegah penurunan kualitas hidup pasien lebih lanjut (Falconnier etal.,2001). Metode yang direkomendasikan dalam mengatur penyesuaian dosis adalah dengan mengurangi dosis, memperpanjang interval dosis atau kombinasi keduanya (Munar & Singh, 2007).

Faktor penting dalam pemberian obat adalah menentukan dosis obat terapeutik dicapai dan menghindari terjadinya efek toksik. Penentuan dosis obat ini sangat tergantung pada farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Pada gagal ginjal, farmakokinetik dan farmakodinamik obat akan terganggu sehingga diperlukan penyesuaian dosis obat yang efektif dan aman bagi tubuh. Bagi pasien gagal ginjal yang menjalani dialisis, beberapa obat dapat dengan mudah terdialisis, sehingga

(15)

dibutuhkan dosis obat yang lebih tinggi untuk mencapai dosis terapeutik (Nasution, et al,. 2003).

Bertolak belakang dari perubahan yang terjadi pada gagal ginjal, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah:

a. Penyesuaian dosis obat agar tidak terjadi akumulasi dan intoksikasi obat

b. Pemakaian obat yang bersifat nefrotoksik seperti aminoglikosida, OAINS, zat kontras dan siklosporin harus dihindari untuk mencegah gangguan fungsi ginjal yang lebih berat

c. Pada pasien yang menjalani dialisis, penyesuaian dosis obat yang mudah terdialisis harus dilakukan seperti aminoglikosida dan sefalosporin untuk mencapai efek terapeutik

d. Beberapa obat yang dikonver menjadi metabolit aktif dan eliminasinya melaui ginjal, harus disesuaikan dosisnya (Nasution, et al,. 2003).

Obat telah diketahui dapat merusak ginjal melalui berbagai mekanisme. Bentuk kerusakan yang paling sering dijumpai adalah interstitial nephritis dan glomerulonephritis. Penggunaan obat apapun yang diketahui berpotensi menimbulkan nefrotoksisitas sedapat mungkin harus dihindari pada semua penderita gangguan ginjal. Penderita dengan ginjal yang tidak berfungsi normal dapat menjadi lebih peka terhadap beberapa obat, bahkan jika eliminasinya tidak terganggu (Kenward dan Tan, 2003).

Penggunaan obat-obatan tertentu dapat menyebabkan gangguan terhadap fungsi ginjal. Diantaranya adalah penggunaan obat-obat antihipertensi, antibiotik, dan AINS pada penderita gagal ginjal. Obat antibiotik dan AINS merupakan obat obat yang sering digunakan dalam penyembuhan penyakit yang diderita banyak orang. Kedua obat ini penggunaannya perlu diperhatikan karena dapat menyebabkan nefrotoksisitas pada ginjal (Kenward dan Tan, 2003).

(16)

3. Terapi Farmakologi Obesitas

Obat anti obesitas umumnya anoreksan atau penekan nafsu makan golongan simpatomimetik dan pemberiannya sementara. Obat ini dapat menimbulkan toleransi dan lama-lama efek obat ini akan berkurang. Umumnya obat-obat ini merangsang SSP sehingga akan menyebabkan adiksi. Obat ini sering bekerja dengan meningkatkan neurotransmitter anoreksigenik seperti NE, serotonin, dan dopamin. Obat Antiobesitas

Obat antiobesitas dapat dibagi menjadi golongan-golongan berikut:

1. Golongan nonadrenergik: amfetamin (tidak diizinkan), fentermin (meningkatkan pelepasan NE saja), dietilpropion, dan mazindol.

2. Golongan serotonergik: fenfluramin (meningkatkan pelepasan serotonin dan menginhibisi reuptake–nya) dan fluoksetin.

3. Campuran noradrenergik dan serotonergik: sibutramin (menginhibisi reuptake serotonin dan NE).

4. Gastrointestinal lipase inhibitor: orlistat (menginhibisi lipase lambung dan pankreas).

Obat-obat antiobesitas yang dapat digunakan dan disetujui oleh FDA hanyalah yang memenuhi DEA schedule III dan IV. DEA schedule ialah penggolongan obat berdasarkan potensinya untuk menimbulkan ketergantungan. Semakin rendah nilainya maka semakin bahaya untuk disalahgunakan.

Orlistat adalah yang paling aman digunakan karena tidak bekerja pada SSP, sedangkan sibutramin, dietilpropion, dan fentermin termasuk golongan IV yang berarti kemungkinan penyalahgunaannya lebih rendah. Sibutramin dapat digunakan untuk jangka panjang (lebih dari 6 bulan) karena kecenderungan penyalahgunaannya lebih kecil dan efek kerjanya akan hilang setelah 1 tahun.

(17)

Berikut ini merupakan obat-obat antiobesitas yang dapat digunakan dan disetujui oleh FDA:

Nama Generik Nama Dagang DEA Schedule Lama

Penggunaan

Disetujui

Orlistat Xenical Tidak ada Jangka panjang 1999

Sibutramin Meridia IV Jangka panjang 1997

Dietilpropion Tenuate IV Jangka pendek 1973 Fentermin Adipex, Ionamin IV Jangka pendek 1973 Fendimetrazin Bontril, Prelu-2 III Jangka pendek 1961

Benzfetamin DIldrex III Jangka pendek 1960

Sedangkan di bawah ini adalah merk dagang dari masing-masing obat antiobesitas yang beredar di Indonesia, antara lain:

a. Sibutramin: ReductilR, RedufastR b. Orlistat: XenicalR

c. Dietilpropion: ApisateR d. Fenfluramin: PonderalR e. Mazindol: TeronacR f. Fentermin: MiraprontR

Obat antiobesitas yang diizinkan untuk digunakan di Indonesia ialah campuran golongan noradrenergik dan golongan serotonergik, yaitu sibutramin; dan golongan gastrointestinal lipase inhibitor, yaitu orlistat.

Sibutramin

Pada tahun 1997, FDA mengizinkan dipasarkannya merk obat Meridia yang mengandung sibutramin di dalamnya. Obat yang memiliki rumus molekul C17H29Cl2NO ini bekerja dengan cara menghambat reuptake norepinefrin, serotonin, dan dopamin di sistem saraf pusat; dengan inhibisi yang terjadi pada reuptake norepinefrin dan serotonin 3 kali lebih besar dibandingkan pada dopamin. Dua

(18)

molekul metabolit aktif sibutramin (M1 dan M2) juga merupakan inhibitor reuptake norepinefrin dan serotonin.

Sibutramin menghambat norepinefrin yang akan menimbulkan rasa kenyang dan menekan nafsu makan dan mengurangi asupan kalori oleh karena efek anoreksan yang dikandung oleh obat ini. Selain itu, sibutramin juga meningkatkan pengeluaran energi dan mengurangi kecepatan metabolisme yang turun terkait penurunan berat badan.

Sibutramin cocok jika diberikan kepada pasien yang memiliki nafsu makan yang sulit dikendalikan, suka mengemil, sering makan di malam hari, memerlukan penurunan berat badan dalam waktu singkat untuk alasan medis, memiliki kadar HDL rendah, atau tidak memiliki kontraindikasi terhadap penggunaan sibutramin (terutama kelainan jantung atau tekanan darah tinggi).

1. Farmakokinetik

Obat ini diabsorpsi secara cepat dengan pemakaian secara oral. Waktu yang diperlukan sibutramin untuk mencapai kadar puncaknya ialah 1 hingga 2 jam. Metabolisme lintas pertama terjadi di hati, terutama oleh CYP3A4. Obat ini diekskresi terutama melalui urin. Makanan dapat mengurangi kadar puncak M1 (27%) dan M2 (32%) dalam darah, dan waktu untuk mencapai kadar puncak memanjang menjadi 3 jam.

2. Indikasi

Obat yang digunakan pasien obesitas untuk mengurangi berat badan ini dapat mengurangi risiko gangguan kesehatan terkait obesitas, dengan catatan hipertensi harus terkontrol. Sibutramin dianjurkan untuk penderita obesitas dengan IMT lebih dari sama dengan 30 kg/m2, atau dengan IMT 27 dan disertai faktor risiko lain seperti diabetes, hipertensi, arthritis, sleep apneu, dan dislipidemia.

Puncak penurunan berat badan terjadi setelah sekitar 6 bulan pemakaian dan berat badan dapat dipertahankan untuk sekurangnya 1 tahun. Sibutramin dikenal efektif untuk mempertahankan penurunan berat badan. Karena efek sibutramin

(19)

berakhir minimal 1 tahun, maka sibutramin dianjurkan untuk pengobatan obesitas jangka panjang.

3. Dosis

Dosis awal sebesar 10 mg diberikan 1 kali/ hari dengan atau tanpa makan. Bila penurunan berat badan tidak signifikan, maka dosis dapat ditingkatkan setelah 4 minggu pemakaian menjadi total 15 mg 1 kali/hari. Tekanan darah dan frekuensi jantung pasien perlu dipertimbangkan saat titrasi dosis. Tidak dianjurkan pemakaian dengan dosis di atas 15 mg. Pada kebanyakan uji klinis, pemberian obat dilakukan pada pagi hari.

4. Efek samping

Efek samping dari sibutramin antara lain: mulut kering, anoreksia, sakit kepala, konstipasi, insomnia, peningkatan tekanan darah dan detak jantung, dan aritmia (memerlukan pengawasan lebih lanjut). Penderita dengan sejarah drug abuse perlu lebih diperhatikan untuk tanda-tanda gangguan tertentu.

5. Kontraindikasi

Kontraindikasi dari sibutramin antara lain: hipertensi tidak terkontrol; penderita dengan sejarah infark miokard, angina, gagal jantung, aritmia jantung, stroke atau serangan iskemik selintas (Transient Ischaemic Attack), atau penyakit arteri perifer.

6. Interaksi Obat

Sibutramin akan berinteraksi jika diberikan bersama dengan obat simpatomimetik, contohnya dekongestan nasal. Jika diberikan bersama dengan obat serotonergik, contohnya antidepresi golongan Selective Serotonin Reuptake inhibitors (SSRI), misalnya fluoksetin atau sertalin, dapat mengakibatkan serotonin syndrome yang mungkin fatal, sehingga hal tersebut juga merupakan kontraindikasi.

(20)

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN

Hati dapat mempertahankan fungsinya bila terjadi gangguan ringan. Pada gangguan berat terjadi gangguan fungsi yang serius dan berakibat fatal. Penyakit hati adalah suatu istilah untuk sekumpulan kondisi-kondisi, penyakit-penyakit dan infeksi-infeksi yang mempengaruhi sel-sel, jaringan-jaringan, struktur dan fungsi dari hati.

Dosis dan interval pemberian obat yang akan diberikan pada pasien dengan gangguan hati harus mempertimbangkan hal-hal berikut:

1. Sifat dan Keparahan Penyakit. 2. Eliminasi Obat

3. Rute Adminitrasi Obat 4. Ikatan Protein

5. Laju Darah Hepatik dan Bersihan Intrinsik 6. Obstruksi Bilier

7. Perubahan Secara Farmakodinamik 8. Range Terapetik

Ginjal adalah organ tubuh yang berfungsi untuk mengeluarkan urin, yang merupakan sisa hasil metabolisme tubuh dalam bentuk cairan. Ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur keseimbangan asam-basa darah serta mengatur ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam. Apabila ginjal gagal dalam menjalankan fungsinya ini, maka akan terjadi gangguan pada keseimbangan air dan metabolisme dalam tubuh sehingga mengakibatkan terjadinya penumpukan zat-zat berbahaya dalam darah (Pearce, 1995).

Obat yang digunakan untuk mengobati penderita penyakit ginjal memiliki karakteristik berikut:

g. Tidak menghasilkan metabolit aktif

h. Disposisi obat tidak dipengaruhi oleh perubahan keseimbangan cairan i. Disposisi obat tidak dipengaruhi oleh perubahan ikatan protein

(21)

k. Mempunyai rentang terapi yang lebar l. Tidak bersifat nefrotoksik

Obat anti obesitas umumnya anoreksan atau penekan nafsu makan golongan simpatomimetik dan pemberiannya sementara. Obat ini dapat menimbulkan toleransi dan lama-lama efek obat ini akan berkurang. Umumnya obat-obat ini merangsang SSP sehingga akan menyebabkan adiksi. Obat ini sering bekerja dengan meningkatkan neurotransmitter anoreksigenik seperti NE, serotonin, dan dopamin.

B. SARAN

Sakit dan sehat memang sudah ada yang mengatur takdir kita sebagai manusia. Tetapi kita bisa menjauhkan keadaan sakit itu dengan berusaha untuk tetap prima dan fit agar tubuh kita tetap sehat dengan cara Pola Hidup Sehat (PHS), yaitu dengan pola makan dan minum yang sehat, Olahraga yang cukup, Hygienis, dan istirahat yang cukup.Jika mengalami keadaan tubuh yang kurang sehat segeralah berobat untuk mendapatkan tindakan dan pengobatan secara dini sebelum terjadi sakit yang kronis.

(22)

DAFTAR PUSTAKA http://pharmasisgirl.blogspot.com/2014/10/makalah-gangguan-pada-hati.html https://www.slideshare.net/mobile/witanurma/ftt2-gangguan-hati-kel-1 http://nilakumaladewi.blogspot.com/2015/01/makalah-gangguan-hati.html http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download/pdf http://eprints.ums.ac.id/31187/2/BAB_I _pdf http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/ChapterII.pdf http://okbian96.blogspot.com

Referensi

Dokumen terkait

Obat penginduksi penyakit hati dapat menyebabkan gangguan fungsi hati dan kerusakan hati dan juga merupakan penyebab utama kegagalan hati dan transplantasi hati

Obat ini indikasi untuk infeksi HIV dalam kombinasi dengan antiretroviral yang lain. Hati-hati pada pasien dengan kronik hepatitis B atau C, gangguan fungsi hati,

Riwayat penyakit empedu, hepatitis, pemakaian obat yang merusak fungsi hati, dll.... Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anorksia, gangguan

Berdasarkan penelitian ditemukan dari 88 pasien skizofrenia rawat jalan yang berpotensi mengalami interaksi obat adalah sebanyak 74 pasien (85,09%). Golongan obat antipsikotik

&at golongan ini dikenal +uga dengan nama golongan statin dan digunakan untuk menurunkan kolesterol dengan 1ara menurunkan ke1epatan produksi LDL :kolesterol

Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi.Obat yang

Tabel Rekam Medik Pasien Gangguan Fungsi Hati di

Dasar yang menentukan apakah obat diminum sebelum, selama atau setelah makan tentunya adalah karena absorpsi, ketersediaan hayati serta efek terapeutik obat bersangkutan, yang