• Tidak ada hasil yang ditemukan

11. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "11. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

11. TINJAUAN PUSTAKA

A. Gambaran Umum Hutan Rawa Gambut 1. Pengertian dan batasan

Istilah gambut berasal dari daerah Kalimantan Selatan untuk menunjukkan pada timbunan bahan organik yang menempati suatu luasan tertentu (Poerwowidodo, 1991). Menurut sistem klasifikasi taksonomi tanah (USDA, 1975), tanah gambut termasuk ke dalam ordo histosol, yaitu tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 20% (tekstur pasir) atau lebih dari 30% (tekstur liat). Lapisan yang mengandung bahan organik tinggi tersebut tebalnya lebih dari 40 cm atau lebih. Dalam sistem ini, ordo histosol dibagi menjadi 4 sub ordo berdasarkan bahan asal dan tingkat perombakannya yaitu folist, hemist, fibrist dan saprist.

Radjagukguk (1988), menyatakan bahwa gambut mempunyai dua makna yaitu gambut sebagai materi organik dan sebagai bahan organik. Sebagai materi organik gambut merupakan surnber energi, media perkecambahan biji dan pupuk organik. Sedangkan sebagai bahan organik gambut cenderung sumber terbentuknya tanah organik.

Berdasarkan kualitasnya gambut dibedakan atas gambut subur (eutrophic), gambut sedang (mesotrophic) dan gambut miskin hara (oligotrophic) (Driessen, 1978). Menurut Suhardjo (1993), kualitas tanah gambut tersebut sangat ditentukan oleh jenis vegetasi yang menghasilkan bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang ada dibawahnya, faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan tanahnya.

(2)

Pusat Penelitian Tanah (1981), membagi tanah gambut dalam dua golongan, yaitu gambut pantai dan gambut pedalaman. Gambut pantai adalah gambut yang dipengaruhi oleh, luapan air laut sedangkan gambut yang tidak dipengaruhi oleh luapan air laut disebut gambut pedalaman. Umumnya gambut pedalaman meiupakan gambut yang miskin hara, bereaksi masam, kapasitas tukar kation sangat tinggi dan bulk density rendah. Menurut Soepardi (1983), keadaan ini tidak menunjang laju dan kemudahan ketersediaan hara yang memadai bagi tanaman, termasuk unsur K, Ca dan Mg. Sedangkan menurut Andriesse (1988), rendahnya ketersediaan hara pada tanah gambut karena terdapat dalam bentuk kompleks dengan asam organik.

2. Pembentukan dan penyebaran

Hutan rawa gambut merupakan tipe hutan formasi klimatis (climatic , formation), yaitu hutan yang pembentukan vegetasinya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim seperti temperatur, kelembaban, intensitas callaya dan angin. Umumnya terdapat pada daerah yang mempunyai tipe iklim A dan B dan tanah organosol dengan lapisan gambut setebal 50 cm atau lebih (Direktorat Jendral Kehutanan, 1976). Menurut Istomo (1994), istilah hutan rawa ini muncul karena antara hutan rawa dan hutan gambut umumnya berdekatan, dan seringkali tidak ada batasan yang jelas antar keduanya.

Poenvowidodo (1991), menyatakan bahwa rangkaian tipe-tipe hutan rawa gambut yang ada saat ini merupakan hasil suksesi yang memakan waktu yang cukup lama. Suksesi hutan rawa gambut diperkirakan berasal dari timbunan payau yang kemudian berangsur-angsur menjadi tumbuhan hutan rawa gambut.

(3)

Daerah penyebaran tipe hutan rawa gambut di Indonesia terdapat di dekat pantai timur Sumatera dan merupakan jalur panjang dari utara ke selatan sejajar dengan pantai timur, di Kalimantan ditemukan mulai d& bagian utara Kalimantan Barat sejajar pantai memanjang ke selatan dan ke timur sepanjang pantai selatan sampai ke bagian hilir sungai Barito. Disarnping itu juga terdapat hutan rawa yang luas di bagian selatan Ir'ian Jaya (Direktorat Jendral Kehutanan, 1976). ' Menurut Hardjowigeno (1989), luas gambut Indonesia ini diperkirakan mencapai

27 juta ha.

3. Vegetasi

Pola penyebaran vegetasi termasuk salah satu aspek yang penting dari ekologi dan merupakan sifat dasar dari suatu organisme. Pola penyebaran vegetasi ini sangat ditentukan oleh faktor lingkungan (Ludwig dan Reynold, 1988). Menurut Soerianegara dan Irawan (1985), faktor lingkungan seperti jenis, sifat dan keadaan tanah yang berbeda selain mempengaruhi penyebaran tumbuhan, juga menyebabkw terjadinya vegetasi yang berlainan serta , mempengaruhi kesuburan dan produktivitas hutan.

Driessen dan Rochimah (1976), menyatakan bahwa perbedaan jenis garnbut (ombrogen dan topogen) menyebabkan terjadinya perbedaan vegetasi. Disebutkan pula bahwa perubahan vegetasi berkolerasi dengan sifat fisik rawa gambut dan merupakan petunjuk penting dalam penilaian tanah rawa gambut. Menurut Whitten et al. (1988), karena permukaan ombrogen berbentuk kubah dan satu-satunya input hara berasal dari air hujan, maka terjadi kecenderungan penurunan kandungan unsur hara terutama fosfat dan kalium di daerah dome. Kecenderungan ini tercermin dari kondisi vegetasi di daerah dome yang

(4)

mengalami penurunan tinggi tajuk, penurunan total biomass per satuan luas, peningkatan ketebalan daun sebagai akibat adaptasi tumbuhan terhadap tanah miskin hara, penurunan diameter pohon untuk jenis tertentu dan ditemukan jenis tanaman yang merupakan indikator tanah miskin hara misalnya Nephenthes spp.

Hutan rawa gambut biasanya mempunyai beberapa lapisan tajuk dan selalu hijau. Jenis-jenis pohon yang banyak terdapat pada hutan rawa gambut adalah Alstorzia sp, Tristania sp, Eugenia sp, Cratoxylon arborescens, Tretamerista glabi-a, Dactylocladus stenostacys, Diospyros sp dan Myristica sp. Khusus di Kalimantan dan beberapa daerah di Sumatera Selatan pada hutan rawa gambut ini banyak terdapat Gonystylus bancailus (Direktorat Jendral Kehutanan, 1976).

B. Kebakaran Hutan 1. Pengertian dan batasan

Menurut US Forest Service (1956 dalam Brown dan Davis 1973), kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas yang mengkonsumsi bahan bakar hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan serta pohon segar. Dengan demikian ciri utama kebakaran hutan adalah sifatnya yang tidak tertekan dan menyebar bebas p e e burning).

Menurut Brown dan Davis (1973), proses kebakaran merupakan proses kebalikan dari proses fotosintesis. Jika pada proses fotosintesis energi terpusat secara perlahan-lahan, sebaliknya pada proses pembakaran energi dilepas dengan cepat.

Proses fotosintesis:

(5)

Proses pembakaran:

(C6HloOs)n + 0 2

+

"Kindling" temperatur

-

C02

+

Hz0

+

Energi panas Kebakaran hutan hanya terjadi apabila terdapat tiga unsur yaitu bahan bakar, oksigen dan sumber api. Clar dan Chatten (1954) menyatakan bahwa ketiga unsur tersebut disebut sebagai segitiga api.

Bahan bakar

Oksigen Panas

Gambar 2. Konsep segitiga api (Clar dan Chatten, 1954)

Menurut Wright dan Bailey (1 982), kebakaran hutan memberikan 3 sifat yaitu:

a. Menghabiskan kayu di hutan dalam waktu singkat di samping bahan-bahan lain yang mudah terbakar.

b. Menghasilkan energi yang berbentuk panas atau temperatur yang tinggi hingga dapat membunuh vegetasi, binatang, mempengaruhi tanah hutan dan mikroklimat tanah.

c. Abu sisa pembakaran akan memberikan pengaruh kimia pada tanah hutan. Haygreen dan Bowyer (1989), menyatakan bahwa proses kebakaran diawali dengan terjadinya penguraian komponen-komponen dari kayu jika kayu dipanaskan kira-kira 1 OO°C. Uap air akan keluar bersama dengan karbon dioksida dan sejumlah karbon monoksida. Kayu berangsur-angsur akan rusak atau

. mengalami pirolisis yaitu pemanasan tanpa adanya oksigen. Pirolisis bertambah cepat pada suhu 260-350°C. Pada suhu ini keluar gas-gas yang dapat menyala bila

(6)

bersentuhan dengan oksigen. Pembakaran akan terus berlangsung selama kayu dapat mempertahankan pada suhu yang tinggi.

Selanjutnya de Bano et al. (1998), memisahkan proses kebakaran tersebut ke dalam beberapa fase yaitu:

a. Fase pra penyalaan (pre-ignition)

Bahan bakar mulai terpanaskan, kering dan mengalami pirolisis, yaitu pelepasan uap air, COz dan gas-gas yang mudah terbakar termasuk methana, methanol dan propana. Untuk terjadinya pirolisis dibutuhkan radiasi dan konveksi yang dapat mengubah panas terhadap permukaan bahan bakar, sedangkan transfer panas ke dalam bahan bakar terjadi melalui konduksi. Dalam proses pirolisis ini reaksi berubah dari eksotermik (memerlukan panas) menj adi endotermik (melepaskan panas).

b. Fase penyalaan (fZamming)

Laju pirolisis meningkat dan mempercepat oksidasi dari gas-gas yang dapat terbakar. Gas-gas ini akan naik ke permukaan, bercarnpur dengan oksigen dan

.

terjadi pembakaran yang terlihat dalam bentuk nyala pada saat suhu mencapai 300-600°C. Penyalaan merupakan awal terjadinya pembakaran dimana bahan bakar yang mudah terbakar meningkat tetapi kemudian menurun menjadi arang.

c. Fase pembaraan (smolderirzg)

Terdapat dua zona yang merupakan karakteristik dari zona ini, yaitu ( 1 ) zona pirolisis dengan berkembangnya hasil-hasi pembakaran dan (2) zona arang dengan pelepasan hasil pembakaran yang tidak terlihat. Laju pembakaran mulai menurun karena bahan bakar tidak mampu mensuplai gas-gas yang

(7)

mudah terbakar dalam konsentrasi yang cukup. Selanjutnya suhu dan panas yang dilepaskan mulai menurun sehingga gas-gas lebih banyak terkondensasi dalam bentuk asap.

d. Fase pemijaran (glowing)

Merupakan fase akhir proses smoldering, dimana pada fase ini sebagian besar gas-gas yang mudah menguap hilang dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang mulai menjadi arang. Hasil dari fase ini adalah CO, COs dan abu sisa pembakaran.

e. Fase pemadaman (extinction)

Kebakaran mulai berhenti karena tidak ada bahan bakar yang bisa dikonsumsi.

2. Tipe kebakaran hutan

Berdasarkan cara menjalarnya api dan posisi api dari tanah (Brown dan Davis, 1973) membedakan kebakaran hutan menjadi 3 tipe yaitu:

a. Kebakaran bawah (ground fire)

Merupakan kebakaran yang terjadi pada bahan organik di bawah permukaan serasah, pada umumnya berupa gambut dan humus. Kebakaran dalam bentuk ini tidak menampakkan nyala api sehingga sulit untuk dideteksi.

b. Kebakaran permukaan (surface fire)

Merupakan kebakaran yang terjadi pada permukaan tanah. Api membakar serasah, semak-semak dan anakan pohon yang tingginya kurang dari 1,2 m. c. Kebakaran tajuk (crown fire)

Merupakan kebakaran yang terjadi pada tajuk-tajuk pohon. Api berawal dari serasah (kebakaran permukaan), kemudian merambat dari tajuk pohon ke

(8)

tajuk pohon lainnya. Kebakaran seperti ini sulit dikendalikan karena api menjalar sangat cepat searah dengan angin.

3. Penyebab kebakaran hutan

Kebakaran hutan disebabkan oleh dua penyebab utama yaitu manusia (karena kesengajaan dan kelalaian) dan peristiwa alam yang dapat menimbulkan kebakaran hutan. Pada umumnya peristiwa alam yang dapat menimbulkan kebakaran hutan secara langsung adalah letusan gunung berapi dan petir, tetapi ha1 ini sangat jarang terjadi untuk wilayah tropika. Menurut Schindler (1998), sebagian besar kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia (99%) disebabkan oleh manusia.

Chandler et al. (1983), menyatakan bahwa secara alami kebakaran hutan dipengaruhi ole11 beberapa faktor alami yang saling berkaitan seperti iklim (kemarau yang panjang, petir dan daya alam lainnya), jenis tanaman (seperti tanaman pinus yang mengandung resin), tipe vegetasi (seperti hutan alam, hutan monokultur dan padang ilalang) dan bahan-bahan sisa vegetasi (seperti serasah, humus dan ranting).

Kebakaran hutan biasanya berkaitan erat dengan kegiatan yang dilakukan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya seperti kegiatan menyiapkan lahan untuk berladang dengan cara membakar, longging yang menggunakan peralatan mekanis atau tungku api dan penggembalaan ternak dengan cara membakar alang- alang yang sudah tua agar berguna kembali (Fuller, 1991).

Penyebab kebakaran yang sering terjadi umurnnya disebabkan oleh faktor yang saling berkaitan yaitu alam dan menusia. Menurut Saharjo (1999), penyebab kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998, selain difasilitasi oleh

(9)

gangguan alam yaitu adanya El Nino juga disebabkan oleh faktor manusia sepel-ti pembukaan areal hutan untuk perkebunan, minirnnya peralatan dan pengetahuan

tentang kebakaran, serta lemahnya penerapan hukum dan kebijakan pengalihan / fungsi lahan.

C. Perilaku Api

De Bano et al. (1998), mendefinisikan perilaku api sebagai suatu respon atau kebiasaan api yang terjadi sebagai hasil reaksi dengan lingkungan seperti bahan bakar, iklim, kondisi lokal, cuaca dan topografi. Perilaku api ini bersifat tidak tetap tetapi berubah sesuai dengan waktu dan ruang atau kondisi keduanya dalam hubungaimya dengan komponen lingkungan tersebut. Komponen bahan bakar berubah sangat cepat pada waktu dan ruang dalam suatu rangkaian kebakaran, iklim setempat, juga berubah menurut waktu dan tempat. Topografi tidak berubah menurut waktu tetapi berubah menurut ruang.

Selanjutnya menwut Chandler et al. (1983), perilaku api dapat diprediksi dengan dua cara yaitu fire danger rating dan fire behavior forecast. Suatu estimasi tentang antisipasi tingkat bahaya kebakaran yang terkait erat dengan tipe bahan b&ar dan topografi pada areal yang relatif luas dalam waktu tertentu biasanya pada saat siang hari disebut Fire danger rating. Data yang diperoleh dari Fire danger rating ini penting dalam upaya pencegahan bahaya kebakaran. Sedangkan suatu estimasi atau ramalan terhadap tingkat penyebaran api pada daerah tertentu yang diduga akan terjadi kebakaran hutan baik secara terkendali maupun tidak pada periode waktu yang akan datang disebut fire behavior forecast. Pengetahuan ini sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pemadarnan api ' secara terkendali.

(10)

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku api yaitu ketersediaan bahan bakar, temperatur dan kelembaban udara, komposisi bahan bakar, angin dan topografi. Makin banyak tersedia bahan bakar makin besar intensitas kebakaran, bahan bakar yang lembab akan lebih lama terbakar dibanding bahan bakar yang kering. Komposisi bahan bakar juga mempengaruhi intensitas kebakaran. Minyak dan resin meningkatkan reaksi panas dan intensitas kebakaran sedangkan konsentrasi mineral dapat menurunlan flammabilitas. Angin akan meningkatkan ketersediaan oksigen, menyatukan panas dan menghasilkan bbspot .fire". Terakhir adalah pengaruh topografi terhadap intensitas kebakaran. Kebakaran yang dimulai dari bagian atas pada suatu daerah yang miring akan menjalar lebih lambat sedangkan kebakaran yang dimulai dari bawah akan menjalar dengan cepat karena udara hangat muncul dan memanasi bahan bakar yang berada di atasnya (Ecological Society of America, 2002).

D. Karakteristik Bahan Bakar 1. Tipe dan sifat bahan bakar

Menurut Brown dan Davis (1973) dan Chandler et al. (1983), secara garis besar bahan bakar diklasifikasikan dalam 3 kelompok yaitu: (1) bahan bakar bawah terdiri atas "duffJ, akar dan gambut yang terletak di dalarn tanah dan telah terakumulasi selama beberapa tahun (2) bahan bakar permukaan terdiri atas serasah, ranting, kulit kayu, dan cabang kayu yang semuanya belum terurai. Selain itu juga termasuk rumput, tumbuhan bawah, anakan dan semai (3) bahan bakar tajuk terdiri atas bahan bakar baik hidup atau mati yang berada di atas dan menutupi kanopi hutan serta menyebar dari tanah dengan tinggi 1,2 m. Umumnya

(11)

adalah bahan bakar hidup yang mempunyai kelembaban yang tinggi sehingga sulit untuk terbakar kecuali dalam periode yang lama.

Wright dan Bailey (1982) menyatakan bahwa jenis bahan bakar yang terdapat di hutan terdiri atas: pohon, semak dan anakan, tumbuhan penutup tanah, serasah dan lapisan humus yang belum hancur, cabang pohon dan pohon berdiri yang mati, serta sisa tebangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa hutan murni dari jenis konifer yang banyak mengandung resin lebih mudah menyala dibanding hutan mumi dari jenis daun lebar. Semak dan anakan, tumbuhan penutup tanah, serta serasah, merupakan bahan bakar halus yang sangat mudah menyala. Demikian pula dengan cabang yang mati dan sisa tebangan adalah bahan bakar potensial, dan mudah menyala, sehingga dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan kebakaran dalam areal yang luas.

Menurut Clar dan Chatten (1954), hal-ha1 penting dari bahan bakar yang dapat mempengaruhi kebakaran adalah:

a. Ukuran bahan bakar

Bahan bakar halus biasanya mudah kering tetapi juga mudah menyerap air, karena cepat kering apabila terbakar cepat meluas namun cepat padam pula. Sedangkan bahan bakar kasar memiliki kadar air yang stabil sehingga sulit terbakar, tetapi bila sudah terbakar akan mengalami penyalaan yang lama. b. Susunan bahan bakar

Pada bahan bakar bertingkat atau berkesinambungan ke atas akan memungkinkan api mencapai tajuk dalam waktu yang singkat. Sedangkan bahan bakar yang menyebar secara horizontal akan mempercepat kebakaran.

(12)

c. Volume bahan bakar

Volume bahan bakar (potensi) akan menentukan besarnya api yang timbulkan, temperatur yang tinggi dan kebakaran yang sulit dipadamkan.

d. Jenis bahan bakar

Tumbuhan berdaun jarum umumnya lebih mudah terbakar dibanding tumbuhan jenis daun lebar karena lebih banyak mengandung resin yang merupakan zat ekstraktif yang mudah terbakar.

e. Kerapatan bahan bakar

Kerapatan bahan bakar berhubungan dengan jarak antar partikel yang akan mempengaruhi persediaan udara dan perpindahan panas. Kayu akan terbakar dengan baik bila kerapatannya tinggi dan berhenti bila kerapatannya rendah. Sebaliknya rumput akan terbakar dengan baik bila kerapatannya rendah dan berhenti bila kerapatannya tinggi.

f. Kadar air balian bakar

Bahan bakar yang banyak mengandung air akan sulit terbakar karena dibutuhkan energi yang besar untuk memanaskan untul mencapai titik awal pembakaran.

2. Flammabilitas

Komposisi bahan bakar memegang peranan yang penting dalam kebakaran. Kandungan senyawa kimia dapat meningkatkan atau menurunkan intensitas kebakaran. Menurut Whelan (1995), kandungan minyak dan resin akan meningkatkan pembakaran karena dapat meningkatkan reaksi panas yang dihasilkan sebab mengandung energi yang lebih besar. Sebaliknya kandungan mineral pada kayu dan daun yang relatif tinggi dapat menurunkan flamrnabilitas.

(13)

Flarnmabilitas adalah kemudahan bahan bakar untuk menyala sehubungan dengan kandungan senyawa inorganik yang sifatnya dapat menghambat laju penyalaan. Dari hasil penyelidikan disebutkan bahwa kandungan abu bebas silika berkolerasi positif dengan flammabilitas dibanding dengan total abu (Philpot, 1970). Telah ada bukti bahwa fosfat juga bertanggung jawab terhadap penekanan flammabilitas (Nicholas, 1987). Abu bebas silika dan fosfat mempengaruhi proses pembakaran dengan cara membentuk suatu katalisator tertentu pada awal reaksi pirolisis dari selulosa sehingga menyebabkan tejadinya peningkatan produksi arang dan menurunkan dalam pembentukan ter yang merupakan senyawa penting untuk terbentuknya nyala (Chandler et al., 1983).

Mutch dan Philpot (1970), menyatakan bahwa selama pirolisis dari suatu tumbuhan akan dihasilkan gas volatil (mudah menguap) yang mendukung terhadap pembakaran. Berdasarkan hasil penelitian disebutkan bahwa selarna pirolisis, selulosa berhubungan dengan unsur inorganik yang diperkirakan dapat mempengaruhi flammabilitas (biasanya disebut dengan mineral atau kandungan

-

bebas abu). Karena abu bebas silika ditemukan sebagai penghambat dalam pirolisis, maka jumlah silika dapat ditentukan dengan metode standar, yaitu dapat diambil dari total abu pada proses pengabuan. Kenaikan kandungan abu dapat menyebabkan penurunan rata-rata maksimum gas yang menguap, meningkatkan residu pembakaran dan pirolisis akan aktif pada suhu yang rendah.

E. Manajemen Asap

Asap merupakan salah satu akibat yang ditimbulkan dari kejadian kebakaran hutan. Ribuan senyawa dihasilkan selama reaksi eksotermik dari suatu kebakaran yang selanjutnya dilepaskan ke atmosfir. Ukuran yang biasa digunakan

(14)

untuk menduga jumlah asap yang dihasilkan selama kebakaran dan dampaknya terhadap kualitas udara adalah dengan emision rate (laju emisi). Besarnya emision rate ditentukan oleh ketersediaan bahan bakar, laju pembakaran dan faktor emisi (Chandler et al., 1983).

Levine et al. (1995), menyatakan bahwa biomass burning, termasuk pembakaran vegetasi hutan di dunia, padang rumput dan pembukaan lahan untuk pertanian mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap gas-gas aktif di udara. Menurut Leenhout (1998), gas-gas emisi dari biomass burning seperti karbon monoksida, karbon dioksida, methana, bahan partikel, nitrogen oksida, hidrokarbon dan unsur-unsur karbon dapat mempengaruhi kimia atmosfir dan iklim regional ataupun global. Beberapa dari gas-gas emisi seperti karbon monoksida, bahan partikel dan nitrogen oksida diklasifikasikan sebagai bahan pencemar yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan terhadap manusia. Sementara itu bahan partikel yang memiliki ukuran lebih kecil dari 2,5 mikron, karbon organik, hidrokarbon dan einisi karbon inorganik dapat mempertebal asap yang dapat menyebabkan pengurangan jarak pandang, mempengaruhi keindahan dan mempengaruhi ekonomi pariwisata. Karbon dioksida, karbon monoksida dan methana merupakan penyebab ,gas rumah kaca yang berpotensi meningkatkan radiasi panas, akan tetapi bahan partikel bertindak sebagai penghalang radiasi yang dapat menyebabkan temperatur menjadi rendah.

Selama musim kemarau bioinass burning merupakan sumber elnisi gas pada troposfer di daerah tropik (Kondo, 2000). Goldammer (1997) menyatakan bahwa musim kemarau ditandai dengan jumlah presipitasi yang kurang dari 100 mmltahun dan dalarn waktu dua minggu atau lebih tidak ada hujan. Kondisi ini

(15)

menyebabkan penurunan kadar air dan vegetasi mengalami stress yang hebat, sehingga mudah untuk terbakar. Demikian pula dengan gambut, berkurangnya presipitasi dan penurunan muka air tanah dapat menyebabkan kekeringan sedalam 1-2 m. Levine et al. (1999) menyatakan bahwa total rasio emisi bahan partikel (Total Particulat Matter) yang dilepaskan ke atmosfir saat kebakaran pada daerah gambut lebih besar dibanding hutan tropik.

Untuk menghindari terjadinya kebakaran yang banyak menimbulkan asap perlu adanya suatu manajemen asap. Menurut Goldammer (1997) upaya ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: ( 1 ) melakukan teknik pembakaran yang tepat seperti ring$re ( 2 ) membuat rencana pembakaran terkendali yang meliputi pemahaman terhadap fisik dan biologi bahan bakar, manajemen lahan dan sumber

. daya alam, faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku api dan dampak yang ditimbulkan (3) penggunaan teknologi yang tepat. Selain itu juga perlu dibentuk organisasi manajemen kebakaran yang menyangkut persyaratan teknik seperti personal dan inftrastruktur serta yang tidak kalah pentingnya adalah penerapan

.

undang-undang dan kebijakan politik.

Referensi

Dokumen terkait

kegiatan Program peningkatan manajemen dan pelayanan Administrasi Persentase kinerja perkantoran yang baik Bidang pelaksana Uraian Indikator Kinerja 2016 2017 2018 2019

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan Bahasa Jurnalistik pada Intro feature di Surat Kabar Harian Pagi Riau Pos Edisi Januari s/d April 2013

Penelitian yang akan dilakukan oleh Peneliti adalah Penelitian Tindakan Level 2, karena masalah penelitian sudah diketahui, yaitu kurangnya minat mahasiswa dalam

Biro Cuaca Amerika Serikat memberikan definisi bahwa kekeringan adalah berkurangnya curah hujan yang cukup besar dan berlangsung lama yang dapat mempengaruhi kehidupan tanaman

Untuk meningkatkan kadar magnesium oksida yang berasal dari bahan baku dolomit dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya ekstraksi dengan asam klorida [Adlishwarman, 2003]

 Kendala alamiah yakni adanya wilayah rawan bencana di Kabupaten Lamongan, yaitu wilayah yang secara topografis mempunyai ketinggian o-7 m diatas permukaan

Berdasarkan informasi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada bulan April 2012 merupakan musim peralihan dari musim hujan ke musim kemarau di

Oleh karena itu, proses panjang modernisasi IAIN Sunan Ampel yang akhirnya berujung pada perubahan kelembagaannya menjadi UIN Sunan Ampel merupakan sebuah proses kesadaran