• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wahdatul Wujud Ibn Arabi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Wahdatul Wujud Ibn Arabi"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

(Pemikiran Ibn Arabi, 1165-1240 M)

Dikutip dari Buku WACANA BARU FILSAFAT ISLAM Penerbit Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2004

Bab II/ Metafisika, hal 138-156. Penulis: A Khudori Soleh

Kesatuan realitas (wahdat al-wujûd) adalah salah satu gagasan paling kontroversial dalam metafisika, khususnya metafisika mistik. Pemikiran ini dicetuskan oleh Ibn Arabi.1 Akan tetapi, menurut Kautsar Azhari Noer,2 Ibn Arabi sendiri, sebenarnya, secara formal tidak pernah menggunakan kata-kata

wahdah al-wujûd dalam tulisan-tulisannya. Orang pertama yang

menggunakan istilah ini, meski tidak sebagai istilah teknis dan independen, adalah Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274 M). Hanya saja, ajaran-ajaran Ibn Arabi tentang realitas bisa memberi pemaknaan kearah itu.

A. Riwayat Hidup.

Ibn Arabi, lengkapnya Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad ibn al-`Arabi al-Thai al-Tamimi,3 lahir di Mursia, Spanyol bagian tenggara, 17 Ramadan 560 H/ 28 Juli 1165 M, pada masa pemerintahan Muhammad ibn Sa`id ibn Mardanisy.4 Menurut Affifi,5 Ibn Arabi berasal dari keluarga keturunan Arab yang

1 Tulisan ini tidak akan melibatkan diri dan tidak akan menambah jumlah orang yang

berpolemik ataupun menilai apakah wahdah al-wujud termasuk pantheisme atau tidak, tetapi sekedar menyatakan bahwa ‘wahdah al-wujud’ (kesatuan realitas) adalah gagasan terpenting dari metafisika Ibn Arabi.

Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan wahdat al-wujud ini menjadi sebuah teori ‘besar’ tantang proses penciptaan semesta yang ditelorkan oleh Hamzah Fansuri dan Nuruddin Sumatrani dengan istilah ‘martabat tujuh’; ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam dan insan. Lebih jelas masalah ini, lihat Simuh, Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik, (Yogya, Bentang, 1989); Harun Hadiwiyono, Kebatinan Islam Abad XVI, (Jakarta, Gunung Mulia, 1985). Tentang bagaimana proses dari Ibn Arabi dan Ibrahim Al-Jilli sampai kepada Hamzah Fansuri, lihat Mastuki HS, ‘Neo-Sufisme di Nusantara Kesinambungan dan Perubahan’, dalam Jurnal Ulum Alqur’an, edisi 6/VII/1997.

2 Azhari Noer, Ibn Arabi Wahdat al-Wujud dalam perdebatan, (Jakarta, Paramadina,

1995), 34 dan seterusnya.

3 Harus dibedakan dengan Ibn Arabi yang lain, yang bernama lengkap Abu Bakar

Muhammad ibn Abdillah ibn Arabi al-Ma`afiri (468-543 H/ 1076-1148 M). Ia juga tokoh muslim yang lahir di Spanyol. Namun, yang ini bukan tokoh sufi, tapi seorang ahli hadis di Sevilla yang kemudian menjadi hakim disana. Untuk referensi lihat, Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi, 17; J. Robson, ‘Ibn al-Arabi’ dalam The Encylopaedia of Islam, New Edition, (London dan Laiden: Luzac dan Brill, 1979), III, 707.

Akan tetapi, S. Husain Nasr menyebut nama lengkap Ibn Arabi tokoh sufi ini dengan nama Ibn Arabi lain yang dianggap sebagai tokoh hadits diatas, dengan tahun lahir 570 H/ 1165 M. Lihat, Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, (Bandung, Risalah, 1986), 127.

4 Kautsar Azhari Noer, Ibn Arabi, 17.

(2)

saleh, dimana ayah dan tiga pamannya --dari jalur ibu-- adalah tokoh sufi yang masyhur, dan ia sendiri digelari Muhy al-Dîn (Penghidup Agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus), karena gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam bidang

mistik.6 Belum ada seorang tokoh muslim yang mencapai posisi

sebagaimana kedudukannya. Ibn Arabi meninggal di Damaskus --dan di makamkan disana-- tanggal 22 Rabi al-Tsani 638 H/

Nopember 1240 M, dalam usia 78 tahun.7

Pendidikan Ibn Arabi dimulai di Seville, ketika ayahnya menjabat di istana dengan pelajaran yang umum saat itu, al-Qur’an, hadis, fiqh, teologi dan filsafat skolastik. Keberhasilan pendidikan dan kecerdasan otaknya --juga kedudukan ayahnya-- mengantarkannya sebagai sekretaris gubernur Seville dalam usia belasan.8 Yang perlu dicatat, bahwa kota Saville saat itu, selain sebagai kota ilmu pengetahuan juga merupakan pusat kegiatan sufisme dengan banyak guru sufi terkenal tinggal disana. Kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif dan kaya mempercepat pembentukan Ibn Arabi sebagai tokoh sufis yang terpelajar, apalagi ia telah masuk thariqat sejak usia 20 tahun.9

Selama menetap di Saville, Ibn Arabi muda sering melakukan kunjungan ke berbagai kota di Spanyol, untuk berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupun sarjana terkemuka. Salah satu kunjungan yang paling mengesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn Rusyd (1126-1198 M), dimana saat itu Ibn Arabi mengalahkan tokoh filosof

Paripatetik ini dalam perdebatan dan tukar fikiran;10 sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual sufi muda ini. Juga, menurut Kautsar,11 menujukkan adanya hubungan yang kuat antara mistisisme dan

6 Arbery menggelari dengan ‘The greatest mystical genius of the Arab’ pada Ibn Arabi,

karena prestasi-prestasi yang dihasilkannnya. Lihat, Arbery, Sufism An Account of the Mystics of Islam, (London, Unwin Paperback, 1975), 97.

7 Akan tetapi, menurut Taftazani, Ibn Arabi wafat dan dikebumikan di Hijaz, bukan di

Damascus. Lihat, Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. A. Rafi Usman, (Bandung, Pustaka, 1985), 201. Namun, kebanyakan sumber dan bukti-bukti tidak mendukung pendapat ini. Pendapat Taftazani ini, mungkin, terkaburkan oleh nama Ibn Arabi yang lain sebagaimana yang terjadi pada Husain Nahr diatas, mengingat memang tidak jarang dijumpai nama yang sama dalam satu persoalan.

8 Kautsar, Ibn Arabi, 18.

9 Ibn Arabi, Futuhât al-Makiyah, II, (Bairut, Dar al-Fikr, tt), 425. Diantara gurunya yang

sangat dikagumi adalah dua orang wanita; Yasmin Mursaniyah dari Marchena dan Fatimah Qurthubiyah dari Kordova. Keduanya berpengaruh besar dalam pembentukan (pengarahan) kepada kehidupannya. Tentang kehidupan kedua guru wanita ini, lihat Ibn Arabi, Sufi-Sufi Andalusia, terj. Nasrullah (Bandung, Mizan, 1994).

10 Tentang dialok antara Ibn Arabi dengan Ibn Rusyid ini, lihat Futuhât, I, 153; Lihat

pula, Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, 128-129. Dengan demikian, dalam pertemuan tersebut bukan Ibn Arabi berguru pada Ibn Rusyd, seperti yang dikatakan al-Qarni, meski diakui bahwa pertemuan itu sendiri diatur oleh ayah Ibn Arabi atas permintaan Ibn Rusyd. Lihat al-Qarni, Muhy al-Dîn Ibn al-Arabi, (Mesir, Haniah li al-kitab, 1987), 26.

(3)

filsafat dalam kesadaran metafisis Ibn Arabi. Pengalaman-pengalaman visioner mistiknya berhubungan dan disokong oleh pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibn Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosof paripatetik, sehingga bisa memfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatu pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana dilihat

dalam gagasannya tentang wahdat al-wujud.12

Selanjutnya, pengembaraannya semakin luas dan mulai keluar dari semenanjung Iberia menuju Tunis (1193 M) untuk berguru pada Ibn Qusi; tokoh sufi yang melakukan pemberontakan pada dinasti Murabbitin.13 Kemudian pergi ke Fez dan tinggal disana selama 4 tahun, terus ke Marrakesy, Almaria, Bugia dan kembali ke Tunis (1202 M), setelah pada tahun 1199 M, pulang ke Kordova guna menghadiri pemakaman Ibn Rusyd. Selama pengembaraan ini, ia sempat menelorkan beberapa karya tulis, seperti Mawâqi’ al-Nujûm, Insya al-Dawair dan lainnya. Akan tetapi, situasi religio-politis tidak mengizinkan Ibn Arabi tinggal lama di Spanyol ataupun di Afrika utara, sehingga ia melarikan diri ke Makkah (1201 M), karena --seperti tokoh sufi

lainnya-- dituduh menggerakkan makar terhadap pemerintah.14

Di Makkah sekitar 3 tahun, Ibn Arabi mempergunakan waktunya untuk mempertajam ruhani dan menulis. Disini ia mendapat ilham untuk menulis karya monumentalnya,

al-Futuhât al-Makkiyah,15 disamping menyelesaikan karya-karya

kecil lainnya. Setelah itu, ia kembali mengembara ke berbagai kota; Madinah, Yerusalem, Baghdad, Masul, Konya, Damascus, Hebron, Kairo dan kembali ke Makkah (1207 M) karena tidak aman di Mesir.16 Di tengah perjalanan ini, untuk ketiga kalinya17 ia diangkat sebagai murid Khidir untuk menerima rahasia-rahasia Ilahiyah. Setahun di Makkah, Ibn Arabi berkunjung ke Asia kecil melalui Aleppo dan Konya, kemudian ke Armenia dan Baghdad, bertemu Syihabuddin Suhrawardi al-Zanzani (w. 630/1233 ), seorang tokoh sufi, penulis kitab Awârif al-Ma`ârif.18

12 Uraian tentang kenyataan bahwa Ibn Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosof

bisa dilihat pada Franz Rosenthal, Ibn Arabi between Philosophy and Mysticism, (Laiden, Brill, 1998), 1-35.

13 Ibn Arabi, Futuhât, IV, 129.

14 Kutsar, Ibn Arabi, 19.

15 Menurut Ibn Arabi, penulisan kitab ini didektekan langsung oleh Tuhan lewat ilham,

kata per kata. Lihat Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi, terj. Rahmani Astuti, (Bandung, Mizan, 1996), 319.

16 Ibn Arabi, Futuhât, IV, 560.

17 Pengangkatan ini, yang pertama di Seville (580/1184), kedua di Makkah (599/1202). 18 Suhrawardi ini bukan Suhrawardi Maqtul tokoh Filsafat Illuminasi (Syaikh

al-Isyraq) seperti yang dikatakan Husain Nasr, ¤alasa Hukuma al-Islam, 132. Suhrawardi tokoh Emanasi telah dihukum mati tahun 587/1191 M; lebih jelas tentang ajarannya, lihat Husaien Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi, terj. Afif Muhammad, (Bandung, Zaman Wacana

(4)

Akhirnya, tahun 1224 M, Ibn Arabi menetap di Damascus, memenuhi permintaan khalifah al-Malik al-`Adil (1227 M). Kecuali kunjungan singkat ke Aleppo (1231 M), Ibn Arabi tidak lagi melakukan pengembaraan. Ia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk membaca, menulis dan mengajar. Disini ia menyelesaikan kitab monumentalnya, al-Futûhat al-Makkiyah, dan menulis kitab lain yang terkenal; Fushûsh al-Hikam,19 di

samping kitab-kitab yang lain. Kedekatannya dengan pemerintah menyebabkan ajarannya mudah dan cepat di terima di masyarakat.20

Ibn Arabi termasuk tokoh yang sangat produktif. Menurut Osman Yahia,21 Ibn Arabi meninggalkan tidak kurang dari 700 karya tulis, tetapi hanya 400 buah yang masih ada; meliputi metafisika, kosmologi, psikologi, tafsir dan hampir setiap cabang keilmuan, yang semua didekati dengan tujuan menjelaskan makna esoterisnya. Karyanya yang terbesar adalah al-Futûhât

al-Makiyah, yang terdiri atas 37 jilid, 560 bab, 18.500 halaman

dalam edisi Osman Yahio. Yang lain adalah Fushûsh al-Hikam, yang menurutnya diterima dari Rasul saw agar disebarkan kepada manusia. Meski karya ini relatif pendek, tapi paling banyak dikaji dan diberi komentar, karena paling sulit, paling berpengaruh dan paling masyhur. Tidak kurang dari 100 buku ditulis untuk mengomentari Fushûsh al-Hikam tersebut.

B. Antara Mistik dan Filsafat.

Ibn Arabi adalah tokoh mistik yang menuliskan pengalaman ruhaninya lewat cara fikir filsafat. Mistik (sufisme) adalah sebuah pencarian kebenaran lewat jalan experience (penghayatan) dengan atas dasar cinta. Perbedaan sufisme dengan filsafat, menurut Mutahhari,22 pertama, filsafat

meminjakkan argumennya pada postulat-postulatnya,

sementara mistik mendasarkan argumennya pada visi dan

19 Ibn Arabi, Fushûs al-Hikâm, (Bairut, Dar al-Kitab), I, 47. Menurut pengakuan Ibn

Arabi, kitab ini diberikan oleh Rasulullah. Secara lengkap, dalam mukaddimah kitab ini dkatakan, ‘Aku mimpi melihat Rasul dalam kegembiraan pada hari-hari sepuluh terakhir bulan Muharram, tahun 627 H, di pinggiran Damascus dan di tanggannya ada sebuah kitab. Beliau berkata, ‘Ini kitab Fushûs Al-Hikâm. Ambillah...Sampaikan kepada masyarakat agar mereka memanfaatkannya..’.

Kitab Fushûsh al-Hikam dianggap sebagai wasiat keruhanian, berisi 27 bab yan masing-masing terspesialisasi untuk satu akidah kebatinan asasi menurut Islam. Kitab ini sendiri telah banyak diberi komentar (syarah). Diantara yang terkenal, menurut Husain Nasr, adalah komentar dari ¢adruddin Qanawi, Abdurrazaq Kasyani, daud Qaishari, Abdul Ghani dan Abdurrahman Jami. Semua tokoh sufi abad-abad belakangan. Husain Nasr, Tiga pemikir Islam, 174.

20 Kautsar, Ibn Arabi, 24. Tentang riwayat hidup tokoh ini, secara panjang lebar bisa juga

dilihat pada Pendahuluan yang diberikan Austin pada karya Ibn Arabi, Sufi-sufi Andalusia, terj. Nasrullah, (Bandung, Mizan, 1994).

21 Kautsar, Ibn Arabi, 25.

22 Mutahhari, Meniti Jalan Spiritual, terj. Nasrullah, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997),

(5)

intuisi serta kemungkinan mengemukakan berbagai teorinya secara teoritis. Kedua, dalam mencapai tujuannya, filsafat menggunakan rasio dan intelektualnya, sementara mistik menggunakan kalbu dan jiwa suci serta upaya spiritual terus menerus. Ini di lakukan karena rasio atau intelek dianggap kurang memadai untuk menggapai kebenaran hakiki.

Ketiga, tujuan dalam filsafat adalah memahami alam

semesta. Filosof ingin mendapat gambaran tentang alam semesta yang benar, sempurna, dan menyeluruh. Di mata filsafat, capaian tertinggi manusia adalah mampu memahami dunia sedemikian rupa sehingga --dalam eksistensi dirinya-- eksistensi dunia inipun tegak dan dia sendiri menjadi dunia. Karena itu, filsafat sering didefinisikan sebagai, ‘dunia mental manusia yang menjadi sama dengan dunia yang ada’. Sementara itu, dalam mistik, persoalan intelek atau rasio tidak begitu menarik. Seorang mistik ingin menjangkau hakekat eksistensi, Allah sendiri. Ia ingin berjumpa dengan hakekat ini dan mengamatinya. Menurut kaum mistik, capaian tertinggi manusia adalah kembali kepada asal-usulnya guna menghindari jarak antara dirinya dengan Tuhan serta menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan untuk berusaha hidup abadi dalam Diri Tuhan.

Dalam pandangan kaum sufisme, termasuk Ibn Arabi, kebenaran ini terdiri atas tiga bagian, indera, rasio dan intuisi.23 Ibn Arabi mengakui bahwa indera dan rasio adalah sarana penting untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi, apa yang dicapai indera dan rasio masih sangat terbatas. Indera hanya mampu mengkaji sejauh apa yang tampak, yang kasat mata, yang itu sangat rentan terhadap kesalahan. Begitu pula rasio, meski dengan kekuatannya mampu menjangkau rahasia yang ada dibalik alam indera, ia masih belum --atau tidak-- mampu menjangkau yang transenden. Kekuatan indera maupun rasio baru pada tahap mendekati yang hakiki, belum yang mencapai hakiki. Atau menurut istilah Henry Bersogn,24 baru tahap ‘pengetahuan mengenai’ (knowledge about) belum ‘pengetahuan tentang’ (knowledge of). ‘Pengetahuan tentang’ adalah pengetahuan diskursif, pengetahuan simbol yang diperoleh lewat perantara; indera atau rasio. ‘Pengetahuan

23 Tiga macam dan tingkat ilmu pengetahuan ini sama sebagaimana yang disampaikan

al-Ghazali dalam karya otobigrafi intelektualnya. Disana al-al-Ghazali membagi tingkatan ilmu menjadi tiga; berdasarkan indera, rasio dan intuitif. Menurutnya, indera adalah sarana paling rendah dalam kajian pengetahuan; diatas ilmu berdasarkan rasio dan diatasnya lagi adalah intuitif. Al-Ghazali akhirnya memilih sufisme karena menganggap bahwa ilmu hasil mistik inilah ilmu yang sebenarnya yang tidak mengenal keraguan dan tidak terbantahkan. Lihat Al-Ghazali, Al-Munqid min al-Dlalâl, (Bairut, Maktabah As-Syaksiyah, tt).

(6)

tentang’ adalah pengetahuan langsung, pengetahuan intuitif yang diperoleh secara langsung.

Karena itu, bagi Ibn Arabi yang lebih sebagai sufis, tidak ada jalan lain untuk bisa memahami realitas wujud yang hakiki kecuali menyelami langsung lewat penghayatan (experence) dalam mistik. Pengetahuan intuitif yang di peroleh lewat experence inilah pengetahuan yang sebenarnya, pengetahuan yang paling unggul dan pengetahuan yang terpercaya.25

Untuk mampu menangkap, menyelami serta memahami rahasia dan hakekat wujud diatas, sebelumnya, seseorang sefistik harus membersihkan jiwanya (qalb) untuk kemudian menghadap pada Tuhan dengan penuh cinta dan rindu. Ibn Arabi menetapkan lima tahapan secara gradual untuk pembersihan hati ini.26 (1) Membersihkan jiwa dengan menjauhkan diri dari segala perilaku dosa dan kemaksiatan disamping semakin rajin dalam melakukan kebajikan; (2) Meninggalkan seluruh --pengaruh-- dunia; menghentikan pemandangan terhadap aspek fenomena dunia dan kesadaran terhadap aspek nyata yang menjadi dasar fenomenanya; (3) Menjauhkan diri dari atribut-atribut dan kaulitas-kualitas wujud kontingen dengan kesadaran bahwa semua itu adalah kepunyaan Allah semata; (4) Menghilangkan semua hal yang ‘selain Allah’, tetapi tidak ‘menghilangkan’ tindakan itu sendiri. Disini sang mistis kehilangan --atau menghilangkan-- kesadaran dirinya sendiri sebagai orang yang memandang. Tuhan sendirilah yang memandang sekaligus dipandang; (5) Melepaskan atribut-atribut Tuhan serta ‘hubungan-hubungan’ dari atribut-atribut tersebut. Memandang Tuhan lebih sebagai essensi daripada ‘Sebab Pertama’ dari realitas semesta.27

Jika seseorang telah mencapai derajat ittihad, kesatuan diri dengan Tuhan, ia akan menerima ilmu langsung secara

25 Ibn Arabi, Fushûs al-Hikâm, I, 38-39.

26 Sebelumnya, al-Ghazali (1085-1111 M) menyebutkan tiga tahapan untuk mencapai

pengetahuan yang hakiki (intuitif); takhliyah (pensucian diri), tahliyah (penghiasan diri dengan banyak melakukan kebajikan) dan tajliyah (tahap siap menerimaan tajalli). Lebih jelas tentang bagaimana seseorang mesti menjalani tahapan-tahapan ini, lihat Al-Ghazali, Adâb fi al-Dîn, (Bairut, Al-Maktabah As-Syakbiyah, tt).

27 Tahapan-tahapan mistis yang digunakan Ibn Arabi ini, tidak berbeda jauh, atau bahkan

mungkin sama dengan metode fenomenologi yang disampaikan Edmund Husserl (1859-1938 M), yang melalui tiga tahapan reduksi; reduksi fenomenologis, reduksi aiditis dan reduksi transendental. Menurut Husserl, reduksi fenomenologis adalah suatu bentuk pengamatan awal dimana objek dipandang ‘apa adanya’ tapi penuh dengan ‘kecurigaan’. Objek dibiarkan tanpa diberi statemen dan diletakkan didalam kesadaran. Jika berhasil, seseorang akan menemukan fenomen yang sebenarnya; mengenal gejala dalam dirinya sendiri. Setelah itu masuk tahap kedua; reduksi aidetis, penyaringan segala sesuatu yang bukan menjadi hakekat fenomena. Reduksi kedua ini berusaha masuk dalam hakekat fenomen. Reduksi ketiga; transendental, mengeluarkan segala yang tidak berhubungan dengan kesadaran murni, agar dengan objek tersebut seseorang bisa mencapai dirinya sendiri. Jelasnya, moden ini diterapkan pada sobjek sendiri dan pada perbuatannya, pada kesadaran murninya untuk menemukan yang hakekat.

(7)

vertikal, dalam bentuk ilham.28 Pengetahuannya datang langsung lewat pancaran Tuhan (emanasi) yang tampak dalam batinnya. Begitu pula yang terjadi pada Ibn Arabi, sehingga rujukan-rujukan dari tokoh sebelumnya hanya digunakan semata demi untuk menerangkan dan mengibaratkan pengalaman-pengalaman batinnya,29 bukan rujukan yang sesungguhnya, yang dalam hal ini Ibn Arabi sendiri tidak pernah terpaku pada salah satu tokoh filsafat. Menurut Husain Nasr,30 pemaparan Ibn Arab banyak mengikuti Al-Hallaj (858-913 M) dan filsafat Ibn Sina (980-1037 M). Juga mengikuti teori-teori Noe-Epidocles yang dikembangkan oleh Ibn Massarah (w. 923 M), Neo-Pithagoras yang di kembangkan kelompok Ikwan as-Shafa maupun Neo-Platonisme. Sedemikian, sehingga menurut Affifi,31 pemikiran metafisika Ibn Arabi tampak tidak beraturan, tidak konsisten dan banyak mengambil pikiran-pikiran filsafat sebelumnya.

C. Essensi dan Eksistensi.

Menurut Ibn Arabi, eksistensi adalah ‘wujud’ dari essensi. Sesuatu bisa dianggap wujud atau ada jika termanifestasikan dalam apa yang disebut ‘tahapan wujud’ (marâthib al-wujûd), yang terdiri atas 4 hal; (1) eksis dalam wujud sesuatu (wujûd

syai’ fî ainih), (2) eksis dalam pikiran atau konsepsi (wujûd syai’ fî ilm), (3) eksis dalam ucapan (wujûd syai’ fî al-alfazh), (4) eksis dalam tulisan (wujûd al-syai’ fî ruqûm). Segala

sesuatu dianggap wujud jika ada didalam salah satu empat ‘tahapan’ tersebut. Sesuatu yang tidak ada diantaranya tidak bisa dianggap sebagai wujud, dan karena itu tidak bisa dibicarakan.32

Selanjutnya, apa yang wujud itu, yang berarti punya eksistensi, dalam perspektif ontologis Ibn Arabi, terbagi dalam dua bagian; wujud mutlak dan wujud nisbi. Wujud mutlak adalah suatu sesuatu yang eksis dengan dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri, dan itu adalah Tuhan. Wujud nisbi adalah sesuatu yang eksistensinya terjadi oleh dan untuk wujud lain (wujûd bi

al-ghair). Wujud nisbi ini terbagi dalam dua bagian; wujud bebas

dan wujud ‘bergantung’, yang disebut kedua ini berupa atribut-atribut, kejadian-kejadian dan hubungan-hubungan yang bersifat spesial dan temporal. Sementara itu, wujud nisbi bebas berupa

28 Ini bisa dilihat dari pengakuannya, misalnya, saat menulis kitab Futûh al-Makiyah

yang diklaim didektekan sendiri oleh Tuhan, kata per kata. Juga penulisan kitab Fushûsh Al-Hikam yang diajarkan langsung oleh Rasulullah. Lihat catatan kaki diatas.

29 Husain Nasr, Tiga Pemikir, 144.

30 Ibid.

(8)

substansi-substansi, dan ia terbagi dalam dua bagian; material dan spiritual.33 Wujud _______________________________ Nisbi Mutlak ________________________________ Bebas Bergantung

(substansi-substansi) (Atribut-atribut,

kejadian-kejadian, dan hubungan-hubungan yang bersifat spesial dan temporal) _______________________

Material Spiritual

Namun, yang perlu dicatat, apa yang dianggap wujud nisbi diatas tidak sepenuhnya ‘entitas temporal’ melainkan juga ‘entitas permanen’ (al-a`yân al-tsâbitah) sebagaimana wujud mutlak. Dalam pandangan ibn Arabi, semua yang ada dalam semesta ini, dalam semua keadaannya, telah ada dan persis seperti apa yang ada dalam ilmu Tuhan, sedang ilmu Tuhan sendiri adalah al-a`yân al-tsâbitah. Setiap urusan dan apa yang ada dalam semesta tidak pernah keluar dari rencana yang telah ditetapkan Tuhan sejak permulaan dalam ilmu-Nya.34

Entitas-entitas permanen (al-A`yân al-tsâbitah) diatas tidak pernah meninggalkan kepermanenanya dan ketidak-beruhannya, karena entitas-entitas tersebut selamanya ada dalam ilmu Tuhan, ada secara kekal dalam ‘kebesarn-Nya’. Namun, segala yang tampak riil dalam semesta ini juga tidak lain adalah aktualisasi ‘entitas-entitas permanen’. Karena itu, pada satu sisi, entitas-entitas yang ada dalam ilmu Tuhan tidak berbeda dengan entitas-entitas yang tampak dalam semesta, sebab apa yang terjadi dalam semesta adalah persis seperti apa yang ada dalam ilmu-Nya. Akan tetapi, pada sisi yang lain, entitas-entitas dalam ilmu Tuhan berbeda dengan entitas semesta, karena yang pertama tidak berwujud konkrit, bebas dari ruang dan waktu, sedang yang keduany berwujud konkrit, dan terikat dengan ruang dan waktu. Yang pertama bersifat potensial, ‘cetak biru’, sementara yang kedua bersifat aktual, konkrit.35

33 Ibid, 21-24.

34 Ibn Arabi, Futûhât, IV, 128.

(9)

Meski demikian, menurut Kautsar,36 dalam struktur ontologis Ibn Arabi, ‘entitas-entitas permanen’ tidak juga sama dan sederajat dengan Dzat Tuhan, tetapi ada ‘dibawahnya’. Tepatnya, ia menempati posisi tengah antara Tuhan dan alam, antara keabsolutan-Nya dan semesta, sehingga ia bersifat ‘aktif’ sekaligus ‘pasif’. Aktif dalam hubungannya dengan apa yang lebih rendah darinya, yakni alam semesta, dan aktif dalam hubungannya dengan yang lebih tinggi, yakni diri Tuhan. Tarik menarik keduanya terjadi dalam apa yang disebut sebagai proses penampakan diri (tajalli) Tuhan, yang berarti sama dengan proses penciptaan semesta dalam konsep emanasi.

Dengan posisi tengah antara al-Haqq (Tuhan) dan al-khalq (ciptaan), entitas-entitas permanen diatas adalah qadîm sekaligus hadîts. Qadîm karena ia adalah objek ilmu Tuhan sejak azali, ada dalam dan bersama ilmu Tuhan tanpa ada permulaan dalam waktu. Tetapi qadîm-nya tidak sama dengan qidam Tuhan, karena qadîm-nya entitas permanen berasal dari dan tergantung pada qidam Tuhan. Sebaliknya, entitas permanen dianggap

hadîts karena ia muncul ‘kemudian’, mewujud dan menampakkan diri dalam alam nyata, yang berkaitan dengan ruang dan waktu.

Jalan tengah dan ‘sistem mendua’ (ambiguis) tersebut juga berlaku pada soal perbuatan manusia, bahwa perbuatan manusia adalah jabariyah sekaligus qadariyah. Yakni, bahwa ‘perbuatan manusia diciptakan oleh manusia, tetapi tidak oleh manusia’ atau ‘perbuatan manusia diciptakan bukan oleh Tuhan tetapi oleh Tuhan’. Seperti dikatakan Kautsar, ambiguitas dan paradoksal-sikalitas radikal adalah ciri khas sistem berfikir Ibn Arabi.

D. Wahdat al-Wujûd.

Dengan pemikiran bahwa alam semesta adalah aktuasasi entitas-entitas permanen yang ada dalam ilmu Tuhan, maka bagi Ibn Arabi, seluruh realitas yang ada ini, meski tampak beragam, adalah hanya satu, yakni Tuhan sebagai satu-satunya realitas dan realitas yang sesungguhnya. Apapun yang selain Dia tidak bisa dikatakan wujud dalam makna yang sebenarnya. Jika demikian, bagaimana kedudukan ontologis al-khalq (alam ciptaan)? Apakah ia identik dengan Tuhan, atau alam ini tidak mempunyai wujud sama sekali? Kenyataannya alam dan kita ada secara konkrit.

Menghadapi persoalan tersebut, seperti sistem berfikirnya yang paradoksal, jawaban Ibn Arabi bersifat ambiguis, bahwa alam adalah Tuhan (al-Haqq) sekaligus bukan Tuhan, atau menurut istilah Ibn Arabi sendiri, alam adalah ‘Dia dan bukan

(10)

Dia’ (Huwa lâ Huwa).37 Bagi Ibn Arabi, alam semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan, dan dengan demikian, segala sesuatu dan segala yang ada didalamnya adalah entifikasi-Nya. Karena itu, Tuhan dan semesta, keduanya tidak bisa difahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi ontologis. Kontradiksi-kontradiksi ini tidak hanya bersifat horisontal tetapi juga vertikal. Hal ini tampak sebagaimana uraian al-Qur`an, bahwa Tuhan adalah Yang Tersembunyi

(al-Bathîn) sekaligus Yang Tampak (al-dzahîr), Yang Esa (al-Wahîd)

sekaligus Yang Banyak (al-Katsîr), Yang Terdahulu (al-Qadîm) sekaligus Yang Baru (al-Hadîts), Yang Ada (al-Wujûd) sekaligus Yang Tiada (al-`Adam).38

Dalam pandangan Ibn Arabi, realitas adalah satu tetapi mempunyai sifat yang berbeda; sifat ketuhanan sekaligus sifat kemakhlukan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus permanen, eksistensi sekaligus non-eksistensi.39 Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir secara bersamaan dalam segala sesuatu yang ada di alam. Disini Ibn Arabi menggunakan prinsip

al-Jam’u bayn al-Addâd (kesatuan diantara

pertentangan-pertentangan), atau yang dalam filsafat Barat disebut

coincidentia oppositorum.

Untuk menjelaskan hubungan ontologis Tuhan dan semesta tersebut, Ibn Arabi, antara lain, menggunakan simbol cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. Simbol ini,

pertama, untuk menjelaskan sebab penciptaan alam, yakni

bahwa penciptaan ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah ‘harta simpanan’ (kanz makhfi) yang tidak bisa dikenali kecuali lewat alam, sesuai dengan hadis Rasul yang menyatakan hal itu.

Kedua, untuk menjelaskan hubungan Yang Satu dengan yang

banyak dan beragam dalam semesta. Yakni bahwa Tuhan yang bercermin adalah satu, tetapi gambar-Nya amat banyak dan beragam sesuai dengan jumlah dan model cermin tersebut.40 Apa yang tampak dalam cermin adalah Dia, sama sekali bukan selainnya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya.

Penggambaran diatas sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybîh dan tanzîh yang digunakan Ibn Arabi. Dari segi tasybîh, Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan dan aktualiasi sifat-sifat-Nya; dari segi tanzîh Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat oleh ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas,

37 Ibn Arabi, Futûhât, II, 160.

38 Ibrahim Al-Jilli, Al-Insân al-Kâmil, I, 37-40. Al-Jilli, salah seorang murid terkemuka

yang banyak menjelaskn pemikiran Ibn Arabi, menguraikannya secara bagus dan mudah.

39 Ibn Arabi, Fushûsh, I, 19.

(11)

Ibn Arabi menyatakan ‘Huwa la Huwa’ (Dia bukan Dia --yang kita bayangkan). Sedekat-dekat manusia menyatu (ittihad) dengan-Nya, tetap tidak pernah benar-benar menyatu dengan Tuhan. Ia hanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu dengan ‘bayangan-Nya’, bukan dengan Zat-Nya. Tuhan terlalu tinggi untuk dicapai. Segala uraian tentang-Nya, adalah kebohongan, pengkerdilan dan pembatasan.41

F. Penutup.

Dari segi epistemologis, tampaknya ada pergeseran atau perkembangan pada sistem pemikiran Ibn Arabi. Awalnya cenderung paripathetik, Aristotelian, ketika menyatakan bahwa eksistensi adalah ‘patokan’ segala sesuatu. Kemudian berubah menjadi Platonis, dengan pendapatnya bahwa wujud yang sebenarnya bukan pada sesuatu yang tampak nyata dan konkrit ini tetapi pada yang transenden dan itu hanya satu, yakni Tuhan. Terakhir, berubah lagi menjadi paduan antara Platonis dan Aristotelian, yakni bahwa realitas adalah perpaduan antara yang transenden dan yang nyata (wahdat al-wujûd), meski dengan pemikiran yang khas Arabian.

Pemikiran kesatuan realitas (wahdat al-wujûd) adalah gagasan orisinal Ibn Arabi. Meski dasar-dasar gagasan ini diambil dari pemikiran ittihâd (penyatuan manusia dengan Tuhan) al-Hallaj (858-913 M), tetapi ia berbeda dengannya. (1) Dalam teori al-Hallaj, persoalan yang ditekankan hanya hubungan antara Tuhan (al-Lâhût) dan manusia (al-Nâsût), bahwa sifat kemanusiaan hadir pada Tuhan dan sifat ketuhanan hadir hanya pada manusia, tidak pada yang lain; dalam teori Ibn Arabi menjadi lebih luas, yakni hubungan antara Tuhan (al-Haqq) dan semesta (al-Khalq). (2) Dalam teori al-Hallaj masih ada dualisme manusia dan Tuhan, dalam Ibn Arabi dualisme tersebut tidak ada, kecuali dualisme semu, nisbi; yang ada hanya keesaan.42 Yakni keesaan dengan dua wajah seperti satu mata uang. Dari satu aspek, realitas itu adalah Yang Benar, Pelaku dan Pencipta; dari aspek lain, ia adalah ciptaan, penerima dan makhluk.43

Konsep ini selangkah lebih ‘berani’ dibanding gagasan emanasi al-Farabi atau yang lain, karena dalam emanasi masih ada jarak dan perbedaan antara Tuhan dan makhluk, baik dari kualitas maupun kuantitas; sementara dalam wahdat al-wujûd tidak ada lagi jarak diantara keduanya. Namun, itu bukan berarti semesta identik dengan Tuhan. Alam tidak lain hanya

41 Al-Jilli, Al-Insân al-Kâmil, 25.

42 Afifi, ‘Ibn Arabi’, dalam MM. Syarif, A History of Muslim Philosophy, I, (Karachi,

(12)

perwujudan dari asma-asma-Nya sebagaimana diikrarkan dalam syahadah Lailaha illallah. Yakni pengakuan bahwa mahluk-Nya bukanlah Tuhan tetapi keberadaan-Nya juga tidak tersamai oleh selain-Nya, sehingga tidak satupun wujud yang mandiri dan lepas dari-Nya.44

Referensi

Dokumen terkait

LP2M UIN Maulana Malik IbrahimMalang sebagai lembaga yang memiliki tugas dan fungsi dalam memfasilitasi proses penelitian dan pengabdian masyarakat, pada tahun 2015 ini

Yang berarti setiap entitas pada himpunan entitas A dapat berhubungan dengan banyak entitas pada himpunan entitas B, tetapi tidak sebaliknya, di mana setiap entitas pada

Setiap entitas pada himpunan entitas A dapat berhubungan dengan banyak entitas pada himpunan entitas B, tetapi tidak sebaliknya dimana setiap entitas pada himpunan entitas B

Yang berarti setiap entitas pada himpunan entitas A dapat berhubungan dengan banyak entitas pada himpunan entitas B, tetapi tidak sebaliknya, dimana setiap entitas pada

Yang berarti setiap entitas pada himpunan entitas A dapat berhubungan dengan banyak entitas pada himpunan entitas B, tetap tidak sebaliknya, dimana setiap entitas pada

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dasar yang dapat menggambarkan korelasi antara FOUR Score dan SjvO 2 pada pasien cedera otak traumatik berat, dan pengggunaan nilai

Yang berarti setiap entitas pada himpunan entitas A dapat berhubungan dengan banyak entitas pada himpunan entitas B, tetapi tidak sebaliknya, di mana setiap entitas pada

(3) Tambahan Penghasilan Pegawai berdasarkan pertimbangan objektif lainnya berupa uang penunjang pengelola keuangan/barang SKPD/Unit Kerja yang diterima oleh PNSD dan/atau