• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN AIR MINUM DEPOT ISI ULANG DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI KONSUMEN DALAM MENGKONSUMSI AIR MINUM DEPOT ISI ULANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN AIR MINUM DEPOT ISI ULANG DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI KONSUMEN DALAM MENGKONSUMSI AIR MINUM DEPOT ISI ULANG"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN AIR MINUM DEPOT ISI ULANG DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI KONSUMEN DALAM

MENGKONSUMSI AIR MINUM DEPOT ISI ULANG

A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha

Dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia, istilah “konsumen” sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada UUPK yang menyatakan, konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. 27

Pengertian konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.28 Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu

tergantung dari posisi mana ia berada. Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli”. Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian konsumen jelas lebih luas daripada pembeli. Luasnya pengertian konsumen secara sederhana oleh mantan

27

Pasal 1 Angka 2 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 28

AZ. Nasution, “Perlindungan Hukum Konsumen, Tinjauan Singkat UU No. 8 Tahun 199-LN 1999 No. 42”, Makalah disampaikan pada Diklat Mahkamah Agung, Batu Malang, 14

(2)

Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy dengan mengatakan, “Consumers

by definition include us all.” 29

Berdasarkan pengertian di atas, subyek yang disebut konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (rechts person). Menurut AZ. Nasution, orang yang dimaksudkan adalah :

“Orang alami bukan badan hukum. Sebab yang memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan/atau jasa untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau manusia”.30

Secara harfiah arti kata konsumen itu adalah “(lawan dari pelaku usaha) setiap orang yang memerlukan, membelanjakan atau menggunakan; pemakai atau pembutuh”.31 Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula kamus Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.32

Konsumen umumnya juga diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk yang diserahkan kepada mereka oleh pelaku usaha, yaitu setiap orang yang mendapatkan barang untuk dipakai dan untuk tidak di perdagangkan atau diperjualbelikan lagi.

29

Shidarta, Op.Cit., hal. 2. 30

Ibid., hal. 31 31

N.H.T Siahaan, Hukum Konsumen (Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung

Jawab Produk), (Jakarta : Pantai Rei, 2005), hal. 22.

32

Jhon M.Echols & Hasan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1986), hal. 124.

(3)

Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa (uitendelijke gebruiker van goederen en

diensten). Dengan rumusan itu Hondius ingin membedakan antara konsumen

bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir.33 Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir.

Pengertian konsumen antar negara yang satu dengan yang lain tidak sama, sebagai contoh di Spanyol, konsumen diartikan tidak hanya invidu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Dan yang menarik, konsumen tidak harus terikat dalam jual beli, sehingga dengan sendirinya, konsumen tidak identik dengan pembeli. 34 Namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW Buku IV, Pasal 236), konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah. Maksudnya ketika mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang mejalankan profesi perusahaan. 35

Dalam naskah-naskah akademik dan/atau berbagai naskah pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan, cukup banyak dibahas dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan yang termasuk dalam lingkup

33

Shidarta,Op.Cit., hal. 5. 34

(4)

perlindungan konsumen. Dari naskah-naskah akademik itu, yang patut mendapat perhatian, antara lain : 36

1. Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman (BPHN), menyusun batasan tentang konsumen akhir, yaitu pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk diperjualbelikan.

2. Batasan konsumen dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia :

Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

3. Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH-UI) bekerja sama dengan Departemen Perdagangan RI, berbunyi :

Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.

Pengertian “konsumen” di Amerika Serikat dan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), kata “konsumen” yang berasal dari consumer sebenarnya berarti “pemakai”. Namun, di Amerika Serikat kata ini diartikan lebih luas lagi sebagai “korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai. 37

Dalam hukum positif terlihat untuk pengertian konsumen digunakan istilah-istilah antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

36

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta : Diadit Media, 2001), hal. 9-10.

37

Agus Brotosusilo, makalah “Aspek-Aspek Perlindungan terhadap Konsumen dalam Sistem Hukum di Indonesia”, dalam Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Hukum, Editor Yusuf Shofie, (Jakarta : YLKI-USAID, 1998), hal. 46.

(5)

Konsumen menurut undang-undang ini adalah setiap pemakai atau pengguna barang dan jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam undang-undang ini terdapat beberapa istilah tentang konsumen antara lain : pembeli (koper Pasal 1457), penyewa (huurdeer Pasal Pasal 1548), penerima hibah (Pasal 1666), penitip barang (berwaargever, Pasal 1694), peminjam pakai (Pasal 1743 jo. Pasal 1740), peminjam (verbruiklener Pasal 1744) dan sebagainya. 38

3. Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Dari definisi konsumen menurut Undang-Undang perlindungan Konsumen diatas dapat diperoleh unsur-unsur konsumen antara lain39:

1. Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut

natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon).

Yang paling tepat adalah tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas

(6)

pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha, dengan makna lebih luas daripada badan hukum.

2. Pemakai

Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 Angka 2 UUPK, kata pemakai menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut sekalipun menunjukkan barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract). Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer atau koper), tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya. Mengartikan konsumen seperti hanya sebagai orang yang mempunyai hubungan kontraktual pribadi (in privity of contract) dengan produsen atau penjual adalah cara pendefinisian konsumen yang paling sederhana. Tetapi dalam perkembangannya konsumen bukan hanya diartikan sebagai pembeli dari suatu barang dan/atau jasa melainkan bukan pemakai langsung, asalkan ia memang dirugikan akibat penggunaan suatu produk.

(7)

3. Barang dan/atau jasa

UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan. Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk yang sekarang ini sudah berkonotasi dengan barang dan/atau jasa. Kata produk itu sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu “product”. Menurut Philip Kotler, bahwa produk terdiri dari dua macam, yaitu berupa produk fisik (atau barang) dan jasa (kadang-kadang disebut produk jasa). Yang dimaksud dengan produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke dalam pasar untuk diperhatikan, dimiliki, dipakai atau dikonsumsi sehingga dapat memuaskan suatu keinginan atau kebutuhan.40 Dalam penulisan ini, istilah produk yang digunakan adalah barang dan/atau jasa yang terdapat dalam UUPK.

Sementara itu jasa diartikan sebagai setiap layanan berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, pihak yang ditawarkan

40

(8)

harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual, tidak temasuk dalam pengertian tersebut. 4. Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa ini syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi.

5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi ini mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekadar ditujukan untuk diri sendiri, keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (di luar diri sendiri dan keluarganya).

6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Berpijak dari pengertian yang dimaksud sebagai konsumen adalah pemakai terakhir, maka barang dan atau jasa yang digunakan, dipakai, dimanfaatkan tidak untuk tujuan komersil.

Pengertian konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian, terdiri atas : 41

41

(9)

a) Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna barang dan/atau jasa pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu;

b) Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (pelaku usaha) menjadi barang dan/atau jasa lain untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersil;

c) Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna barang dan/atau jasa, pemanfaat barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Selanjutnya, istilah konsumen yang digunakan dalam bab ini dan bab-bab selanjutnya adalah konsumen dalam pengertian konsumen akhir.

Istilah pelaku usaha umumnya lebih dikenal dengan sebutan pengusaha. Pengusaha adalah “setiap orang atau badan usaha yang menjalankan usaha memproduksi, menawarkan, menyampaikan atau mendistribusikan suatu produk kepada masyarakat luas selaku konsumen”. Pengusaha memiliki arti yang luas, tidak semata-mata membicarakan pelaku usaha, tetapi juga pedagang perantara atau pengusaha. 42 Sedangkan pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah

“Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama

42

(10)

melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.43

Bila dilihat dari pengertian di atas, maka terdapat 4 (empat) unsur yang terkandung dalam pengertian pelaku usaha yaitu :

1) Setiap orang perseorangan atau badan usaha

Yang termasuk badan usaha menurut pengertian ini adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum dan tidak berbadan hukum. 2) Secara sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian.

Beberapa macam pelaku usaha yaitu : a) Orang perorangan

b) Badan usaha

c) Orang perseorangan dengan orang perseorangan lain d) Orang perseorangan dengan badan usaha

e) Badan usaha dengan badan usaha

3) Menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi Terdapat batasan yang membedakan antara pelaku usaha dengan pelaku usaha kegiatan lain, yaitu yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah mereka yang menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

4) Didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia

Maksudnya adalah orang perseorangan atau badan hukum tersebut berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

43

(11)

negara Republik Indonesia. Khusus badan usaha, tidak harus didirikan dan berkedudukan di wilayah Republik Indonesia.

Pelaku usaha dan konsumen merupakan para pihak yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Pelaku usaha menyadari bahwa kelangsungan hidup usahanya tergatung pada konsumen. Demikian juga halnya konsumen yang tergantung pada pelaku usaha dalam pemenuhan kebutuhannya. Oleh karena itu, keseimbangan dalam berbagai segi menyangkut kepentingan kedua belah pihak merupakan hal yang ideal.

B. Jalinan Transaksi Antara Konsumen Dengan Pelaku Usaha

Transaksi konsumen di sini adalah proses terjadinya peralihan kepemilikan atau penikmatan barang atau jasa dari penyedia barang atau penyelenggara jasa kepada konsumen.44 Peralihan hak terjadi karena adanya suatu hubungan tertentu sebagaimana diatur dalam KUHPerdata atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan peralihan hak atau penikmatan barang atau jasa. Peralihan hak dapat terjadi antara lain karena adanya jual beli atau sewa menyewa barang seperti rumah, mebel, mobil, perlengkapan dapur dan sebagainya, atau penyelenggaraan jasa asuransi, konstruksi, perbankan, pariwisata dan sebagainya. 45

Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut

44

(12)

terjadi karena keduanya memang saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang satu dengan yang lain.

Purba dalam menguraikan konsep hubungan pelaku usaha dan konsumen mengemukakaan sebagai berikut : 46

“Kunci pokok perlindungan hukum bagi konsumen adalah bahwa konsumen dan pelaku usaha saling membutuhkan. Produksi tidak ada artinya kalau tidak ada yang mengkonsumsinya dan produk yang dikonsumsi secara aman dan memuaskan, pada gilirannya akan merupakan promosi gratis bagi pelaku usaha”

Janus Sidabalok dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia membagi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hubungan antara konsumen dan pelaku usaha ke dalam 3 (tiga) tahapan, yakni tahap pra transaksi, tahap transaksi yang sesungguhnya dan tahap purna transaksi. Adapun tahap-tahap tersebut diuraikan sebagai berikut : 47

1. Tahap Pra Transaksi

Adalah tahapan yang terjadi sebelum konsumen memutuskan untuk membeli dan memakai produk yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Pada tahap ini, pelaku usaha melakukan penawaran (offer) kepada konsumen. Penawaran ini dapat dilakukan secara langsung kepada konsumen (misalnya sales door to door), maupun dengan memanfaatkan berbagai sarana, seperti brosur, spanduk, maupun iklan di media cetak dan elektronik. Dalam proses penawaran ini, pelaku

46

A. Zen Umar Purba, “Perlindungan Konsumen : Sendi-sendi Pokok Pengaturan”,

Hukum dan Pembangunan, Tahun XXII, Agustus 1992 dalam Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media, 2010) hal. 14.

47

Wibowo Tunardy, “Tahapan-Tahapan Transaksi Antara Konsumen dan Pelaku Usaha”, dikutip dari <http://www.tunardy.com/tahapan-tahapan-transaksi-antara-konsumen-dan-pelaku-usaha/> , 23 Maret 2009> pada tanggal 28 Oktober 2010.

(13)

usaha menyediakan informasi agar konsumen tertarik untuk menggunakan barang dan/atau jasa. Informasi yang diberikan tersebut harus dilandasi itikad baik dan tidak disertai dengan kebohongan, sehingga konsumen tidak merasa diperdaya atau ditipu oleh pelaku usaha. Bila dikemudian hari terbukti bahwa konsumen membeli karena paksaa, kekhilafan atau penipuan, konsumen memiliki hak untuk memmbatalkan transaksi (Pasal 1321 KUH Perdata).

2. Tahap Transaksi yang Sesungguhnya

Bila calon konsumen menerima penawaran, maka terjadilah transaksi, atau menurut bahasa hukum terjadi perjanjian. Syarat terjadinya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata adalah :

1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. kecakapan untuk membuat perikatan

3. ada suatu hal tertentu 4. suatu sebab yang halal

Pada tahap ini para pihak menyepakati apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Kesepakatan ini kemudian dapat dituangkan ke dalam suatu perjanjian tertulis. Kata “dapat” berarti kesepakatan tidak harus dituangkan ke dalam bentuk tertulis, kecuali dikehendaki oleh para pihak atau diwajibkan oleh peraturan yang berlaku (misalnya jual beli tanah harus dibuat secara tertulis oleh Perjabat Pembuat Akta Tanah). Keunggulan dari kesepakatan yang dibuat tertulis terletak pada pembuktiannya. Bila nantinya terjadi sengketa, maka kesepakatan yang dibuat secara tertulis mudah

(14)

dibuktikan dibanding kesepakatan yang tidak dibuat secara tidak tertulis.

3. Tahap Purnatransaksi

Tahap ini merupakan realisasi dari tahap transaksi. Pada tahap ini para pihak harus melaksanakan semua kewajiban yang telah disepakati sebelumnya. Menurut bahasa hukum, kewajiban yang harus dipenuhi adalah prestasi, dan pihak yang tidak memenuhi kewajibannya dianggap melakukan wanprestasi. Dengan adanya wanprestasi, pihak yang telah memenuhi kewajibannya memiliki hak untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi agar melakukan prestasinya.

Seringkali pihak memiliki pemahaman berbeda mengenai isi perjanjian. Adanya perbedaan pemahaman akan menimbulkan perbedaan penafsiran, yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik. Penyebab konflik biasanya menyangkut tiga hal, yakni harga, kualitas dan kegunaan produk, serta layanan purna jual.

Selain harga, kualitas dan kegunaan barang juga dapat memicu konflik. Pemicu konflik ini terbagi menjadi tiga kategori :

a. Produk tidak cocok dengan kegunaan dan manfaat yang diharapkan konsumen. Hal ini seringkali disebabkan karena pelaku usaha melakukan tipu daya kepada konsumen.

b. Produk menimbulkan gangguan kesehatan, keamanan dan keselamatan pada konsumen. Penyebabnya adalah adanya cacat tersembunyi pada produk atau tubuh konsumen tidak cocok

(15)

dengan bahan yang terkandung di dalam produk (sering terdapat pada produk obat-obatan atau makanan yang mengandung seafood).

c. Kualitas produk tidak sesuai dengan harga yang dibayarkan. Konflik ini kerap dikaitkan dengan monopoli atau pemalsuan barang. Sehingga barang yang dibeli nilainya sangat mahal dibanding nilai sebenarnya.

Pemicu konflik yang terakhir adalah layanan purna jual, yang sering dikaitkan dengan hadiah dan garansi. Pemicu konflik ini pun dapat dibedakan menjadi : apa yang dijanjikan tidak ada karena pelaku usaha tidak jujur, tidak sesuai dengan harapan konsumen karena janji pelaku usaha yang terlalu berlebihan serta halangan di luar kekuasaan pelaku usaha yang menyebabkan janji tidak dapat terpenuhi walaupun pelaku usaha telah berusaha memenuhi apa yang dijanjikannya tersebut (peristiwa ini sering disebut force majeur).

Pelaku usaha sangat membutuhkan dan sangat bergantung pada dukungan konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen tidak mungkin pelaku usaha dapat mempertahankan kelangsungan usahanya. Sebaliknya kebutuhan konsumen sangat bergantung dari hasil produksi pelaku usaha.

Hubungan antara pelaku usaha dan konsumen yang berkelanjutan terjadi sejak proses produksi, distribusi pada pemasaran hingga penawaran. Rangkaian kegiatan tersebut merupakan rangkaian perbuatan hukum yang

(16)

mempunyai akibat hukum, baik terhadap semua pihak maupun hanya kepada pihak tertentu saja.

Hal tersebut dimanfaatkan oleh pelaku usaha dalam suatu sistem distribusi dan pemasaran produk barang guna mencapai suatu tingkat produktifitas dan efektifitas tertentu dalam rangka mencapai sasaran usaha. Pada tahap hubungan penyaluran dan distribusi tersebut menghasilkan suatu hubungan yang sifatnya massal. 48

Pelaku usaha memiliki kecenderungan “melecehkan” hak-hak konsumen serta memanfaatkan kelemahan konsumen tanpa harus mendapatkan sanksi hukum. Pelaku usaha memiliki kebebasan memproduksi komoditas, tanpa harus mengikuti standar yang berlaku. Mereka tidak perlu mengganti kerugian yang dialami konsumen akibat membeli/mengkonsumsi produk-produk yang tidak berkualitas. Pelaku usaha cukup leluasa untuk melakukan promosi produk-produk, dengan cara mengelabui atau memanfaatkan ketidaktahuan konsumen mengenai produk tersebut.

Rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen, tidak mustahil dijadikan lahan bagi pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai itikad baik dalam menjalankan usaha, yaitu berprinsip mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan seefisien mungkin sumber daya yang ada.

Di negara berkembang, termasuk Indonesia, kepentingan konsumen sering dikendalikan oleh kekuatan di luar dirinya, baik oleh pelaku usaha

48

(17)

maupun pemerintah. Pada umumnya suara pelaku usaha jauh lebih keras sehingga mudah didengar oleh pemerintah. Konsep pertumbuhan ekonomi suatu negara yang berwawasan integral bukan untuk kemakmuran sekelompok rakyat, melainkan seluruh rakyat termasuk di dalamnya para konsumen.

Lemahnya posisi konsumen tersebut disebabkan antara lain oleh perangkat hukum yang ada belum bisa memberikan rasa aman. Peraturan perundang-undangan yang ada kurang memadai untuk secara langsung melindungi kepentingan konsumen. Terlebih, penegakan hukum (law

inforcement) itu sendiri dirasakan kurang tegas. Di sisi lain, cara berpikir

sebagian pelaku usaha semata-mata masih bersifat profit oriented dalam konteks jangka pendek, tanpa memperhatikan keselamatan konsumen, yang merupakan bagian dari jaminan kelangsungan usaha pelaku usaha dalam konteks jangka panjang.

Seiring dengan kian majunya sektor industri, kesadaran konsumen akan hak-haknya pun semakin bertambah, walaupun bukan tanpa masalah. Pembangunan perekonomian nasional telah mendukung pertumbuhan dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan jasa termasuk yang memiliki kandungan teknologi yang tinggi.

Hal tersebut berimplikasi bahwa sasaran hukum perlindungan konsumen tidak terbatas pada produk dalam negeri saja, melainkan dimungkinkan pada suatu ketika nanti akan diperlukan pula tindakan pengharmonisasian peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan

(18)

hukum bagi konsumen antara sesama negara dalam satu kawasan regional maupun internasional. 49

Menyikapi hubungan konsumen dengan pihak pelaku usaha itu perlu dipahami doktrin atau teori yang mendasari adanya hubungan hukum antara kedua belah pihak tersebut. Hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen dalam sejarah mencakup 2 (dua) macam doktrin, yaitu doktrin

caveat emptor,yang kemudian berkembang menjadi doktrin caveat venditor. 50 Perkembangan kedua caveat itu sangan erat kaitannya dengan perkembangan paham pada periode tertentu. 51

Doktrin caveat emptor disebut juga let the buyer beware atau pembeli harus melindungi dirinya sendiri yang merupakan dasar dari lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi pihak konsumen. 52

Secara historis dalam tradisi civil law yang diterapkan di kerajaan Romawi mempergunakan doktrin caveat emptor. Doktrin ini memiliki makna bahwa konsumen sendiri yang harus memikirkan dan bertanggung jawab atas perlindungan terhadap kepentingannya. Pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas cacat atau kerugian, walaupun kerugian tersebut merupakan akibat dari

49

Aman Sinaga, Pemberdayaan Hak-Hak Konsumen di Indonesia, (Jakarta : Direktorat Perlindungan Konsumen DITJEN Perdagangan dalam Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan Bekerjasama dengan Yayasan Gemainti,2001), hal. 26.

50

Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung : Nusa Media, 2010), hal. 16 51

Johanes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan

Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank (Bandung : CV.Utomo, 2003), hal. 132 dalam Abdul

Halim Barkatullah, Op.cit.,, hal. 16 52

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 327 dalam Shidarta, Op.cit., hal. 61

(19)

tindakan pelaku usaha yang tidak melakukan upaya untuk menghindari atau mencegah terjadinya kerugian pada pihak konsumen.

Dalam pandangan filsafat invidualisme abad ke-19 (sembilan belas), sesuai dengan konsep otonomi kehendak dan kesucian kontrak, para pihak tetap terikat pada isi kontrak, sekalipun isi kontrak itu tidak patut. Caveat

emptor digunakan sebagai doktrin yang menyatakan bahwa suatu pihak dalam

kontrak harus melindungi kepentingannya sendiri sebab hukum tidak memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan pihak itu. Hukum kontrak berjalan pada pijakan bahwa para pihak (sebagai individu) menjadi hakim yang terbaik bagi kepentingan dirinya. Dengan demikian suatu pihak dalam kontrak dalam melaksanakan kehendak bebasnya harus menerima semua konsekuensi yang berkaitan dengan kontrak itu. 53

Sudah sejak lama perlindungan hukum bagi konsumen hanya didasarkan pada doktrin caveat emptor, yaitu suatu paham tentang perlunya konsumen untuk senantiasa berhati-hati, karena pelaku usaha tidak diwajibkan untuk menunjukkan cacat, kecuali jika diminta dan harus menyatakannya. Setiap transaksi yang terjadi merupakan hasil kesepakatan antara pihak pelaku usaha dan konsumen. Pelaku usaha menyerahkan barang dan konsumen membayar harga. Konsumen menanggung atas risikonya sendiri terhadap suatu barang setelah kewajiban pokok masing-masing pihak telah terpenuhi secara timbal balik. 54

53

(20)

Pada kenyataannya, asumsi yang mendasari keseimbangan hubungan tersebut ternyata tidak terbukti, karena konsumen tidak mendapat akses informasi yang memadai terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya, dan bukan semata-mata konsumen tidak mampu dalam memahami suatu produk atau jasa. Kesulitan dalam beban pembuktian yang harus diemban konsumen bila ada sengketa menimbulkan masalah baru bagi konsumen, karena terdapat kesulitan mengakses informasi mengenai barang dan/atau jasa yang telah dikonsumsi untuk dijadikan alat bukti.

Konsumen tidak mendapat perlindungan yang wajar, bahkan kerap kali menjadi objek semata bagi pencarian keuntungan pelaku usaha. Selaku pengguna barang dan/atau jasa; baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, serta tidak untuk diperdagangkan. Konsumen pada umumnya berada dalam posisi yang jauh lebih lemah, bila dibandingkan dengan pelaku usaha. Bagaimanapun, pelaku usaha memiliki daya dan dana yang dapat membentuk opini atas suatu produk, dimana pada gilirannya sangat jauh berbeda dengan ekspektasi (harapan) konsumen. Bahkan lebih jauh bertentangan dengan apa yang diharapkan konsumen atas suatu produk.

Konsumen yang bukan konsumen akhir melainkan sebagai pelaku usaha lanjutan bagi produk lain dapat melindungi hak-haknya dengan mengatur hal itu terlebih dahulu dalam satu kontrak yang dibuatnya. Konsumen (akhir) mempercayakan hak-hak dan kewajibannya pada itikad baik pelaku usaha, serta mengandalkan pada gambaran yang telah dibentuk

(21)

oleh suatu produk/jasa tertentu (misalnya melalui iklan atau label), maupun berdasarkan penelitian konsumen sendiri atas suatu produk/jasa tersebut. 55

Karena posisi tawar yang lemah, maka konsumen diberi perlindungan yang lebih baik dalam peraturan perundang-undangan, dengan harapan agar harkat dan martabat konsumen terangkat dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa. Sementara di sisi lain, pemberdayaan konsumen tersebut akan menimbulkan kesadaran pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab, serta berusaha meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Pada masa sekarang pelaku usaha yang mesti waspada (caveat venditor) dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa bagi konsumen.

Doktrin caveat emptor kemudian berkembang ke arah caveat

venditor dimana pelaku usaha yang perlu berhati-hati atas produk yang

ditawarkan. Doktrin ini dikemukakan karena diyakini bahwa pelaku usaha adalah pihak yang paling mengetahui informasi secara benar, jelas, dan jujur atas setiap barang dan/atau jasa yang dikonsumsi. Oleh karena itu, pihak pelaku usaha harus lebih waspada dan berhati-hati dalam memproduksi sesuatu produk, jangan sampai bertentangan dengan tuntutan, kriteria dan kepentingan konsumen. 56

Dengan kata lain, transaksi yang terjadi tidak lagi semata-mata diserahkan pada pelaku usaha dan konsumen berdasarkan kesepakatan

(22)

maupun berdasarkan doktrin caveat emptor. Proteksi konsumen dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dengan mengatur transaksi tersebut untuk melindungi konsumen yang memiliki posisi tawar yang lemah. 57

Cara transaksi hubungan pelaku usaha dan konsumen semakin berkembang, berdampak pada perubahan konstruksi hukum dalam hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Perubahan konstruksi hukum diawali dengan perubahan paradigma hubungan antara pelaku usaha dan konsumen, yaitu hubungan yang semula dibangun atas prinsip cavet emptor berubah menjadi prinsip caveat venditor. Suatu prinsip hubungan yang semula menekankan pada kesadaran konsumen sendiri untuk melindungi dirinya berubah menjadi kesadaran pelaku usaha untuk melindungi konsumen. 58

C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, hak adalah kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh Undang-Undang atau kekuasaan

57 Ibid. 58

(23)

yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu. Sedangkan Soerjono Soekanto, dan Purnadi Purwacaraka, dalam bukunya “Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum”, hak adalah peranan atau role yang bersifat fakultatif karena boleh tidak dilaksanakan.59

Berdasarkan pasal 4 UUPK, hak-hak konsumen adalah sebagai berikut :” 60

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa

b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.”

Hak-hak dasar konsumen tersebut sebenarnya bersumber dari hak-hak dasar umum yang diakui secara internasional. Hak-hak-hak dasar umum tersebut pertama kali dikemukakan oleh John F.Kennedy, mantan Presiden Amerika Serikat (AS), pada tanggal 15 Maret 1962, melalui “A Special

Message for the Protection of Consumer Interest” atau yang lebih dikenal

dengan istilah “Deklarasi Hak Konsumen” (Declaration of Consumer Right). 61

59

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 41. 60

(24)

Bob Widyahartono menyebutkan bahwa deklarasi tersebut menghasilkan empat hak dasar konsumen (the four consumer basic rights) yang meliputi hak-hak sebagai berikut :” 62

1. Hak untuk Mendapat atau Memperoleh Keamanan (the right to be

secured)

Setiap konsumen behak mendapatkan perlindungan atas barang dan/atau jasa yang dikonsumsi. Misalnya, konsumen merasa aman jika produk makanan atau minuman yang dikonsumsinya dirasa aman bagi kesehatan. Artinya, produk makanan tersebut memenuhi standar kesehatan, gizi dan sanitasi, serta tidak mengandung bahan yang membahayakan bagi jiwa manusia.

2. Hak untuk Memperoleh Informasi (the right to be informed)

Setiap konsumen berhak mendapat informasi yang jelas dan komprehensif tentang suatu produk barang dan/atau jasa yang dibeli (dikonsumsi). Akses terhadap informasi sangat penting karena konsumen bisa mengatahui bagaimana kondisi barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsi. Jika suatu saat ada resiko negatif dari produk/jasa yang telah dikonsumsinya, konsumen telah mengetahui hal tersebut sebelumnya. Artinya, konsumen memiliki hak untuk mengetahui ciri/atribut negatif dari suatu produk, seperti efek samping dari mengkonsumsi suatu produk atau adanya peringatan dalam label/kemasan produk.

3. Hak untuk Memilih (the right to choose)

Setiap konsumen berhak memilih produk barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar. Artinya, konsumen tidak boleh dalam kondisi tertekan atau paksaan untuk memilih suatu produk tersebut yang mungkin bisa merugikan hak-haknya. Ia harus dalam kondisi bebas dalam menentukan pilihannya terhadap barang dan/atau jasa yang akan dikonsumsi.

4. Hak untuk Didengarkan (the right to be Heard)

Konsumen harus mendapatkan haknya bahwa kebutuhan dan klaimnya bisa didengarkan, baik oleh pelaku usaha yang bersangkutan maupun oleh lembaga-lembaga perlindungan konsumen yang memperjuangkan hak-hak konsumen.”

Selain hak-hak konsumen yang terdapat dalam UUPK, Deklarasi Hak Konsumen (John F.Kennedy) dan Resolusi PBB hak-hak yang dapat melindungi konsumen tersebut juga diperjuangkan oleh Yayasan Lembaga

62

Bob Widyahartono MA, “Telaah—Hak-Hak Dasar Konsumen Perlu Sosialisasi Berkesinambungan”, dikutip dari <http://www.antaranews.com/view/?i=1198874856&c=ART& s=> pada tanggal 21 September 2010.

(25)

Konsumen Indonesia (YLKI), yang dikenal dengan nama Panca Hak

Konsumen yang terdiri atas : 63

1. Hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan

Konsumen memiliki hak untuk memperoleh perlindungan atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa tertentu apabila terjadi suatu hal yang dapat membahayakan kesehatan dan keamanan tubuh serta keselamatan jiwanya.

2. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan jujur

Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jujur serta lengkap dari suatu produk barang atau jasa. Hak ini merupakan perlindungan bagi konsumen terhadap informasi yang mengelabi, meneyesatkan atau menipu.

3. Hak untuk memilih barang atau jasa yang dibutuhkan

Konsumen memiliki hak untuk memilih barang dan/atau jasa sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, namun konsumen tetap mendapatkan jaminan mutu dan pelayanan yang memuaskan. Dengan pemenuhan hak ini diharapkan konsumen terhindar dari kerugian.

4. Hak untuk didengar pendapatnya

Konsumen berhak untuk menyampaikan pendapat dan masalahnya secara pribadi atau bersama-sama, baik mengenai hal-hal yang merugikan mereka maupun hal-hal yang dianggap dapat menimbulkan kerugian bagi diri mereka

63

(26)

5. Hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat

Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat, yang menjamin ketenangan, kenyamanan, dan kesehatan hidupnya beserta keluarga. Konsumen harus dilindungi apabila lingkungan tempat ia tinggal atau melakukan aktivitasnya tercemar oleh kegiatan industri yang dilakukan oleh pelaku usaha atau pengusaha tertentu.

Dalam perkembangan kemudian, hak-hak konsumen berkembang lebih lanjut dari Panca Hak Konsumen dengan penambahan satu hak konsumen yang tak kalah pentingnya, yaitu :

6. Hak untuk memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi apabila ia berada pada posisi yang dirugikan oleh pelaku usaha atau pengusaha. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa hubungan antara pelaku usaha dan konsumen merupakan hubungan yang saling menguntungkan sehingga tidak seharusnya kedudkan salah satu pihak justru dirugikan dengan adanya hubungan tersebut.

Untuk itu, konsumen perlu memperhatikan hak-hak yang harus diperjuangkan. Sebagai konsumen kita tidak bisa tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa ketika hak-hak kita jelas-jelas telah dirugikan.

Konsumen perlu memperhatikan hak-hak yang harus diperjuangkan. Sebagai konsumen kita tidak bisa tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa ketika hak-hak kita jelas-jelas telah dirugikan. Namun, sebagai konsumen kita juga memiliki sejumlah kewajiban yang harus diperhatikan. Dalam UUPK dinyatakan kewajiban konsumen sebagai berikut :”

(27)

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut;” 64

Beberapa kewajiban ini juga diperuntukkan sebagai balance dari hak-hak yang telah diperoleh konsumen. Itu dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan/atau kepastian hukum bagi dirinya.

Adapun sejumlah kewajiban tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan barang/jasa. Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan dan keselamatan bagi konsumen itu sendiri. Oleh karena itu, konsumen perlu membaca dan meneliti label, etiket, kandungan barang dan jasa, serta tata cara penggunaannya.

b. Bertitikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/jasa. Itikad baik sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi. Dengan itikad yang baik, kebutuhan konsumen terhadap barang dan jasa yang diinginkannya bisa terpenuhi dengan penuh kepuasan.

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen perlu membayar barang dan jasa yang telah dibeli, tentunya dengan nilai tukar yang disepakati.

(28)

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Ketika dirasa ada keluhan terhadap barang/jasa yang telah didapat, konsumen perlu secepatnya menyelesaikan masalah tersebut dengan pelaku usaha. Perlu diperhatikan agar penyelesaian masalah sebisa mungkin dilakukan dengan cara damai. Jika tidak ditemui titik penyelesaian, cara hukum bisa dilakukan asalkan memperhatikan norma dan prosedur yang berlaku.

Dalam menjalankan usahanya pelaku usaha memiliki hak untuk memproduksi suatu barang dan/atau jasa sesuai dengan keahlian dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selaku konsumen.

Untuk memberi kepastian hukum (tujuan perlindungan konsumen) dan untuk memperjelas hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing pihak yang saling berinteraksi, penjelasan dan penjabaran hak dan kewajiban pelaku usaha tak kalah pentingnya dibandingkan dengan hak dan kewajiban konsumen itu sendiri.

Berdasarkan UUPK dalam Pasal 6 diatur mengenai hak-hak pelaku usaha, antara lain :”

a. hak untuk mendapatkan pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya”.

(29)

Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan pada uraian terlebih dahulu, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-kewajiban sebagai berikut :” 65

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian”.

D. Pengaturan dan Persyaratan Air Minum Isi Ulang

Konsumen merupakan pihak yang lemah kedudukannya bila dibandingkan dengan pelaku usaha. Oleh karena itu diperlukan suatu aturan yang dapat melindungi kepentingan konsumen agar tidak dirugikan atau diperlakukan sewenang-wenang oleh pelaku usaha. Perlindungan konsumen dibutuhkan untuk menyelamatkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha dan mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya. UUPK menjamin adanya kepastian hukum terhadap

(30)

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

Air minum isi ulang tergolong komoditi beresiko tinggi karena dikonsumsi langsung tanpa diolah. Oleh karena itu dibutuhkan regulasi yang tegas dan pengawasan yang memadai agar air minum isi ulang yang dikonsumsi masyarakat terjamin mutunya. Begitu juga mengenai kualifikasi persyaratan air minum yang sehat dan aman dikonsumsi oleh masyarakat. Oleh karena berhubungan dengan kepentingan konsumen, maka keberadaan air minum isi ulang tidak terlepas dari UUPK yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

Banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha air minum isi ulang terhadap ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah merugikan konsumen. Oleh karena itu berikut akan dijelaskan mengenai pengaturan-pengaturan yang berkaitan dengan air minum isi ulang.

1. Pengaturan Air Minum Depot Isi Ulang Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen

UUPK memberikan perlindungan kepada setiap konsumen yang merasa dirugikan hak-haknya oleh pelaku usaha. Dalam kaitannya dengan produk AMD isi ulang, maka setiap pelanggaran yang telah dilakukan oleh pelaku usaha AMD isi ulang dengan mengelabui konsumen, yaitu memberikan keterangan tidak benar kepada konsumen maka telah melanggar ketentuan UUPK.

(31)

Aspek hukum perlindungan konsumen terhadap munculnya usaha AMD isi ulang dapat dilihat pada beberapa pasal dalam UUPK, antara lain Pasal 4 huruf a dan c, Pasal 7 huruf b dan d, serta Pasal 8.

Pasal 4 huruf a UUPK memberikan hak kepada setiap konsumen atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Oleh karena itu, produk AMD isi ulang juga harus aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat karena berdasarkan ketentuan itu, konsumen berhak untuk itu. UUPK memberikan perlindungan kepada konsumen agar setiap konsumen yang mengkonsumsi produk AMD isi ulang terjamin keselamatannya. Sedangkan pasal 4 huruf c memberikan hak kepada konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Dalam mengkonsumsi AMD isi ulang, setiap konsumen berhak untuk mendapatkan keterangan yang benar dari pelaku AMD isi ulang terhadap produk yang dibelinya itu. UUPK juga memberikan jaminan hak konsumen tersebut. Jadi, UUPK memberikan perlindungan hukum kepada setiap konsumen untuk menuntut haknya agar memperoleh keterangan yang benar, jelas, dan jujur mengenai produk AMD isi ulang yang dibelinya, apakah layak dan aman untuk dikonsumsi serta telah sesuai dengan persyaratan kualitas air minum yang telah ditetapkan pemerintah.

Dalam ketentuan Pasal 7 huruf b UUPK menyebutkan bahwa pelaku usaha wajib untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang dan/atau jasa yang diproduksinya. Begitu juga halnya dengan pelaku usaha AMD isi ulang harus memenuhi ketentuan yang

(32)

telah diatur dalam Pasal 7 ini, yaitu dengan memberikan informasi yang benar tentang produk air minum yang diproduksinya sesuai kenyataan dan tidak mengelabui konsumen. Dengan adanya ketentuan pasal ini maka akan mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan usahanya.

Sedangkan Pasal 7 huruf d Undang-Undang Perlindungan Konsumen mewajibkan pelaku usaha untuk menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan. Disini dapat dilihat bahwa aspek perlindungan hukum yang diberikan oleh UUPK yaitu dengan membebankan kewajiban kepada pelaku usaha AMD isi ulang agar produk yang diperdagangkannya terjamin mutunya, sehingga aman untuk dikonsumsi masyarakat.

Aspek hukum perlindungan konsumen terhadap munculnya usaha AMD isi ulang juga termuat dalam ketentuan Pasal 8 UUPK. Pasal 8 memberikan perlindungan kepada konsumen dengan mencantumkan ketentuan tentang beberapa perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, tak terkecuali bagi pelaku usaha AMD isi ulang, yaitu setiap pelaku usaha dilarang untuk memproduksi dan/atau jasa yang tidak sesuai standar yang dipersyaratkan, label tidak sesuai dengan isinya, tidak sesuai dengan mutu yang tercantum pada label, dan pencantuman kadaluarsa. Pelaku usaha juga dilarang memperdagangan pangan yang rusak atau tercemar. Beberapa perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yang tercantum dalam ketentuan Pasal 8 ini, bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen

(33)

agar mereka aman dalam mengkonsumsi AMD isi ulang. Dengan adanya beberapa perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha AMD isi ulang ini, UUPK telah memberikan perlindungan hukum kepada konsumen sehingga konsumen memiliki kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi AMD isi ulang.

Dengan demikian, maka UUPK telah memberikan jaminan kepastian hukum bagi konsumen agar dapat menuntut hak-haknya apabila merasa dirugikan oleh pelaku usaha AMD isi ulang.

2. Pengaturan Air Minum Depot Isi Ulang Dalam Berbagai Peraturan Perundang-undang lainnya

Terhadap munculnya usaha air minum isi ulang, selain UUPK, berkaitan pula dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum yang secara jelas mengatur tentang syarat kualitas air minum dan pembinaan dan pengawasan yang wajib dilakukan lembaga terkait terhadap pengelola air minum yang dalam hal ini adalah depot air minum isi ulang.

Dalam Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa Pengelola Air Minum adalah “Badan Usaha yang mengelola air minum untuk keperluan masyarakat”. AMD isi ulang termasuk dalam kategori ini karena air minum yang dihasilkan oleh depot air minum isi ulang dijual secara umum kepada masyarakat yang harus memenuhi syarat kesehatan. Khusus mengenai syarat

(34)

kesehatan air minum tersebut adalah meliputi persyaratan bakteriologis, kimiawi, radioaktif, dan fisik.

Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa yang melakukan pembinaan teknis terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan penyelenggaran persyaratan kualitas air minum adalah Menteri Kesehatan. Sedangkan pengawasannya dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui kegiatan-kegiatan seperti inspeksi sanitasi dan pengambilan sampel air, pemeriksaan kualitas air di lapangan atau laboratorium, analisis hasil laboratorium, tidak lanjut penanggulangan masalah, dan penyuluhan kepada masyarakat. Dalam melakukan pengawasan, pemerintah kabupaten/kota dapat mengikutsertakan instansi terkait, asosiasi pengelola air minum, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi yang terkait. Hal ini ditujukan agar pemeriksaan dan pengawasan dapat berjalan fair sehingga tidak merugikan masyarakat secara luas.

Tanggung jawab mengenai kualitas air minum juga dibebankan oleh pengelola penyedia air minum yang diatur dalam Pasal 9 dimana pengelola air minum harus dapat menjamin air minum yang diproduksinya memenuhi syarat kesehatan dan melakukan pemeriksaan secara berkala mulai dari instalasi, jaringan pipa distribusi, pipa sambungan serta proses isi ulang dan kemasan. Pengelola air minum juga wajib melakukan pengamanan terhadap sumber air baku yang dikelolanya dari segala bentuk pencemaran berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

(35)

Jika pengelola air minum melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diberlakukan maka dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana berdasarkan peraturan yang berlaku karena mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat dan merugikan kepentingan umum.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan pasal-pasal di atas, maka terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha air minum isi ulang dapat diajukan gugatan ke pengadilan negeri. Penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan melalui badan peradilan umum ini tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3. Penetapan Persyaratan Kualitas Air Minum

Dalam menghasilkan produk air minum isi ulang perlu diperhatikan mengenai syarat kualitas air minum yang harus memenuhi standar yang telah ditetapkan sehingga layak dan aman untuk dikonsumsi.

Ada dua standar nasional yang mengatur tentang kualitas air minum, yaitu Standar Nasional Indonesia (SNI) dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta Keputusan Menteri Kesehatan. Intinya, air yang layak diminum harus melewati tiga persyaratan kelayakan, yaitu dari segi fisik, kimia dan mikrobiologi.

Dari segi fisik, air minum tidak boleh memiliki bau, rasa, dan warna (harus jernih). Dari segi kimia, air minum harus bebas dari kandungan zat kimia berbahaya, seperti logam berat, air raksa atau merkuri (Hg), timbal (Pb) dan aluminium (Au), besi serta klorida. Dari segi mikrobiologi, air

(36)

minum tidak boleh mengandung bakteri-bakteri patogen atau bakteri berbahaya karena bersifat racun sehingga dapat menimbulkan penyakit. Bakteri yang tergolong patogen adalah E.Coli, Salmonella typhii dan sejenisnya. Karena telah mendapatkan proses sterilisasi, seharusnya AMD isi ulang dapat langsung dikonsumsi oleh masyarakat dan aman dari segi kesehatan. 66

Pemerintah melalui Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air minum yang menyebutkan bahwa persyaratan kesehatan air minum meliputi persyaratan bakteriologis, kimiawi, radioaktif, dan fisik. 67 Adapun persyaratan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3

Persyaratan kualitas Air Minum (Bakteriologis)

Parameter Satuan Kadar Maksimum

yang diperbolehkan

Keterangan

1 2 3 4

a. Air Minum E. Coli atau fecal coli b. Air yang masuk sistem distribusi

E. Coli atau fecal coli Total Bakteri Coliform c. Air pada sistem distribusi E. Coli atau fecal coli Total Bakteri Coliform

Jumlah per 100ml sampel Jumlah per 100ml sampel Jumlah per 100ml sampel Jumlah per 100ml sampel Jumlah per 100ml sampel 0 0 0 0 0 0 Sumber : Lampiran Kepmenkes No.907/Menkes/SK/VII/2002

66

Gatot Edi Saputra, Op.Cit., hal. 83 67

(37)

Dalam tabel ini dapat dilihat bahwa persyaratan kesehatan air minum secara bakteriologis diteliti dengan menggunakan sampel air minum dengan jumlah per 100 (seratus) mililiter harus mengandung 0 (nol) bakteri-bakteri seperti E.Coli atau Fecal Coli. Atau dengan kata lain air minum yang sehat adalah air minum yang sama sekali tidak mengandung kadar bakteri tersebut.

Tabel 4

Bahan-bahan inorganik

(yang memiliki pengaruh langsung pada kesehatan)

Sumber : Lampiran Kepmenkes No.907/Menkes/SK/VII/2002

Tabel di atas menunjukkan bahwa syarat-syarat kimiawi dari air minum yang diteliti pada sampel air dalam satuan miligram per liter memiliki kadar maksimum yang berbeda. Kadar-kadar maksimum tersebut adalah kadar kimiawi yang dapat ditolerir atau yang masih bisa dikategorikan sebagai air minum yang sehat. Hal ini harus diperhatikan karena senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam tabel di atas merupakan senyawa kimia yang memiliki pengaruh langsung terhadap kesehatan tubuh manusia.

Tabel 5

Bahan-bahan inorganik

Parameter Satuan Kadar Maksimum

Yang diperbolehkan Ket. 1 2 3 4 Boron Cadmium Kromium Tembaga Sianida Fluoride Timah Molybdenum Nikel Nitrat Nitrit Selenium (mg/ltr) (mg/ltr) (mg/ltr) (mg/ltr) (mg/ltr) (mg/ltr) (mg/ltr) (mg/ltr) (mg/ltr) (mg/ltr) (mg/ltr) (mg/ltr) 0.3 0.003 0.05 2 0,07 1.5 0.01 0.07 0.02 50 3 0.01

(38)

(yang kemungkinan dapat menimbulkan keluhan pada konsumen) Parameter Satuan Kadar Maksimum yang

diperbolehkan Ket. 1 2 3 4 Ammonia Aluminium Klorida Copper Kesadahan Hidrogen Sulfida Besi Mangan pH Sodium Sulfate

Total Padatan terlarut Seng mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l - mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l 1,5 0,2 250 1 500 0.05 0.3 0.1 6,5 – 8,5 200 250 1000 3 Sumber : Lampiran Kepmenkes No.907/Menkes/SK/VII/2002

Dalam tabel 5 (lima) di atas, merupakan senyawa kimia dari bahan-bahan inorganik yang telah ditetapkan kadar maksimum yang diperbolehkan pada air yang dikategorikan sebagai air minum yang sehat yang diteliti dengan satuan miligram per liter. Misalnya air minum yang sehat boleh mengandung

ammonia kurang dari 1,5 (satu koma lima) miligram per liter air minum.

Adapun kadar tersebut tidak boleh melebihi dari kadar yg diperbolehkan karena jika pengkonsumsiannya melebihi kadar yang diperbolehkan sesuai dengan tabel yang di atas maka akan menimbulkan keluhan pada konsumen.

Tabel 6

Bahan-bahan Organik

(39)

Sumbe r : Lampi ran Kepme nkes No.90 7/Men kes/SK /VII/2 002

Dalam tabel 6 (enam) merupakan senyawa kimia dari bahan-bahan organik yang berpengaruh langsung pada kesehatan dengan penelitian menggunakan perbandingan antara bahan organik dan air minum yaitu 1 (satu) gram per liter.

Parameter Satuan Kadar Maksimum yang

diperbolehkan Ket. 1 2 3 4 Chlorinated alkanes Carbo tetrachloride Dichloromethane 1,2- dichloromethane 1,1,1-trichloromethane Chlorinated ethenes Vinyl chloride 1,1-dichloroethene 1,2-dichlorothene Trichlorothene Tetrachloroethene Aromatic hydrocarbons Benzene Toluene Xylenes Benzo[a]pyrene Chlorinated benzenes Monochlorobenzene 1,2-dichlorobenzene 1,4-dischlorobenzene Trchlorobenzenes (total) Lain-lain di(2-ethylhexyl)adipate di(2-ethylhexyl)phthalate Acrylamide Epichlorohydrin Hexachlorobutadiene Edetic acid (EDTA)

(?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) 2 20 30 2000 5 30 50 70 40 10 700 500 0.7 300 1000 300 20 80 8 0.5 0.4 0.6 200

(40)

Tabel 7

Bahan-bahan Organik

(yang kemungkinan dapat menimbulkan keluhan pada konsumen)

Sumber : Lampiran Kepmenkes No.907/Menkes/SK/VII/2002

Tabel 7 (enam) menerangkan tentang bahan-bahan organik senyawa kimia yang kemungkinan menimbulkan keluhan konsumen. Tidak berbeda dengan tabel 5 (lima) pebandingan sampel dengan satuan gram per liter dan kadar maksimum memiliki interval hingga batas yang diperbolehkan untuk masing-masing senyawa kimia tersebut

Tabel 8 Pestisida

Parameter Satuan Kadar Maksimum yang

diperbolehkan Ket. 1 2 3 4 Toluene Xylene Ethylbenzene Styrene Monochlorobenzene 1.2-dichlorobenzene 1.4-dichlorobenzene Trichlorobenzene (Total)

Desinfektan dan hasil sampingannya Chlorine 2-chlorophenol 2,4-dichlorophenol 2,4,6-trchloropenol ?g/l ?g/l ?g/l ?g/l ?g/l ?g/l ?g/l ?g/l ?g/l ?g/l ?g/l ?g/l ?g/l ?g/l 24-170 20-1800 2-200 4-2600 10-120 1-10 0.3-30 5-50 600-1000 0,1-10 0,3-40 2-300

Parameter Satuan Kadar Maksimum yang

diperbolehkan Ket. 1 2 3 4 Alachlor Aldicarb Aldrin/dieldrin Atrazine Bentazone Carbofuran Chlordane Chlorotoluron DDT 1,2-dibromo-3-chloropropane 2,4-D 1,2-dichloropane (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) 20 10 0.03 2 30 5 0.2 30 2 1 30 20

(41)

Sumber : Lampiran Kepmenkes No.907/Menkes/SK/VII/2002

Dalam tabel 8 (delapan) yang menjadi parameter penelitian adalah bahan-bahan yang mengandung pestisida dengan perbandingan satuan gram per liter mengenai kadar maksimum yang diperbolehkan.

Tabel 9 Desinfektan 1,3-dichloropane

Heptachlor and Heptachlor epoxide Hexachlorobenzene Isoproturon Lindane MCPA Methoxychlor Metolachlor Molinate Pendimethalin Pentachlorophenol Permethrin Propanil Pyridate Simazine Trifluralin

Chlorophenoxy herbicides selain 2,4-D dan MCPA 2,4-DB Dichlorop Fenoprop Mecoprop (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) 20 0.03 1 9 2 2 20 10 6 20 9 20 20 100 2 20 90 100 10 9

Parameter Satuan Kadar Maksimum yang

diperbolehkan Ket. 1 2 3 4 Monochloramine Chlorine Bromate Chlorite Chlorophenol 2,4,6-trichlorophenol Formaldehyde Trihalomethanes Bromoform Dibromochloromethane Bromochloromethane Chloroform

Chlorinated acetic acids

Dichloroacetic acid Trichlorocetic acid Chloral hydrate (Trichloroacetal-dehyde) Mg/ltr Mg/ltr (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) 3 5 25 200 200 900 100 100 60 200 50 100 10

(42)

Sumber : Lampiran Kepmenkes No.907/Menkes/SK/VII/2002

Tabel 10 Radioaktifitas

Sumber : Lampiran Kepmenkes No.907/Menkes/SK/VII/2002

Parameter radioaktifitas dalam tabel ini terdiri dari 2 (dua) macam yaitu Gross alpha activity dan Gross beta activity dengan satuan per liter dengan kadar maksimum masing-masing yang diperbolehkan adalah 0,1 (nol koma satu) Gross alpha activity bequerel per liter dan 1 (satu) Gross beta

activity bequerel per liter.

Tabel 11 Fisik

Sumber : Lampiran Kepmenkes No.907/Menkes/SK/VII/2002

Mengenai tabel dalam hal persyaratan fisik air minum tidak boleh berbau dan berasa. Boleh berwrna tetapi tidak melebihi kadar 15 TCU, walaupun idealnya, air minum yang sehat adalah tak berwarna. Adapun

Dichloroacetonitrile Trichloracetonitrile Cyanogen chloride (sebagai CN) (?g/liter) (?g/liter) (?g/liter) 90 100 70

Parameter Satuan Kadar Maksimum yang diperbolehkan

Ket.

1 2 3 4

Gross alpha activity Gross beta activity

(Bq/liter) (Bq/liter)

0.1 1

Parameter Satuan Kadar Maksimum yang diperbolehkan

Ket.

1 2 3 4

Parameter fisik

Warna Rasa dan bau Temperatur Kekeruhan TCU - 0 C NTU 15 - Suhu udara ±30C

(43)

syarat-syarat fisik yang dimaksud disini adalah parameter yang diukur baik dengan satuan ilmiah maupun secara kasat mata.

Keterangan :

Mg = miligram

Lt = liter

Ml = mililiter

NTU = nephelometric turbidity units

Bq = bequerel

TCU = true colour units

Menurut Inggrid S. Waspodo, persyaratan air minum di Indonesia adalah sebagaimana dalam tabel berikut ini :

Tabel 12

Persyaratan Air Minum di Indonesia 68

Parameter Satuan Kadar Maksimum yang

diperbolehkan Ket. 1 2 3 4 Sifat Fisik Bau Rasa Warna Kekeruhan Sifat kimia Kesadahan (CaCo3) Besi PH Sifat mikrobiologis Koliform tinja Total koliform Skala NTU mg/lt mg/lt jml/100ml jml/100ml 5 500 0,3 6,5-8,5 0 0 Tdk berbau Tdk berasa Tdk berwarna

Sumber : Bonus Femina No.28/XXVIII (20-26 Juli 2000), hal.15

68

(44)

Keterangan :

Mg = miligram

Lt = liter

Ml = mililiter

NTU = nephelometric turbidity units

Jika diperhatikan, persyaratan air minum pada tabel 3 (tiga) sampai dengan 12 (dua belas) pada dasarnya adalah sama. Hal yang paling utama dalam persyaratan air minum adalah kesamaan dalam parameter fisika, kimia, dan mikrobiologis atau bakteriologis. Tapi yang perlu diingat adalah persyaratan dan standar air minum antara negara yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Hal ini bisa diakibatkan karena perbedaan kecanggihan teknologi pengolahan air dan standar parameter fisika, kimia, dan mikrobiologis di masing-masing negara tersebut.

Di Indonesia sendiri, air minum yang memenuhi standar kesehatan dan amam dikonsumsi adalah yang sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan oleh departemen kesehatan, yaitu PH nya sekitar 7.0, tidak mengandung bakteri patogen (dapat menyebabkan penyakit), tidak mengandung zat kimia yang berbahaya bagi fungsi tubuh, serta tidak korosif (korosif berarti obat yang mengikis jaringan organ kimia atau secara peradangan tetapi dapat juga berarti bahan-bahan yang menyebabkan pengikisan). 69

69

(45)

E. Permasalahan Yang Dihadapi Konsumen Air Minum Depot Isi Ulang

Usaha AMD isi ulang merupakan salah satu bidang usaha penyedia air minum bagi masyarakat. Pelaku usaha AMD isi ulang dalam menyediakan produk air minum melakukan proses pengolahan air bersih menjadi air minum dan menjualnya secara langsung kepada konsumen di lokasi pengolahan. AMD isi ulang belakangan ini merupakan pilihan yang paling sering digunakan oleh sebagian masyarakat sebagai alternatif air minum yang praktis dan efisien. Faktor dominan yang menjadi penyebabnya adalah harga AMD isi ulang yang cukup ekonomis dan sangat terjangkau. Tetapi dibalik itu tersembunyi ancaman yang sangat mengerikan karena harga yang terjangkau tersebut ternyata tidak dibarengi dengan kualitas air minum yang terjamin khususnya dari segi aspek kesehatan untuk mengkonsumsinya.

Produk air minum yang dijual kepada konsumen tersebut harus layak untuk dikonsumsi yaitu harus memenuhi persyaratan air minum yang layak untuk dikonsumsi yaitu harus bersih, sehat, higienis dan juga standar kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Namun demikian, seringkali produk air minum AMD isi ulang tidak sesuai atau tidak memenuhi standar kesehatan yang telah ditetapkan.

Permasalahan yang seringkali dihadapi oleh konsumen berkaitan dengan adanya AMD isi ulang yaitu mengenai standar kesehatan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Pelanggaran mengenai standar kesehatan ini

(46)

mengakibatkan produk AMD isi ulang yang dihasilkan tidak higienis dan menimbulkan masalah kesehatan seperti diare dan sakit perut atau bahkan yang lebih ekstrim berujung pada kematian.

Hasil penelitian kualitas 120 (seratus dua puluh) sampel AMD isi ulang dari 10 (sepuluh) kota besar di Indonesia oleh Departemen Teknologi Industri Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2002 lalu menemukan bahwa, kualitas air minum yang diproduksi oleh depot air minum isi ulang bervariasi dari satu depot dengan depot lainnya. Hasil penelitian itu juga mendapatkan, hampir 16% (enam belas persen) dari sampel tersebut terkontaminasi mikroorganisme, terutama bakteri coliform yang berlebihan.70 Selain itu ada juga depot yang tidak memenuhi standar pH, dimana pH air minum yang layak dikonsumsi antara 6,5 (enam koma lima) sampai 8,5 (delapan koma lima) sedangkan kandungan bakteri MPN Coliform yang masih aman harus kurang dari 2 (dua) APM per 100 (seratus) mililiter.71 Masih buruknya kualitas AMD isi ulang banyak terkait dengan karakteristik air baku, teknologi produksi, dan/atau proses operasi dan pemeliharaan (sanitasi) dalam proses produksi yang diterapkan di depot isi ulang.

70

Astaqauliyah, “Fenomena Air Minum Depot Isi Ulang”, dikutip dari <http://id.shvoong.com/medicine-and-health/1962894-fenomena-air-minum-depot-isi/> pada tanggal 17 September 2010.

71

“Banyak Depot Air Minum Yang Tidak Memenuhi Standar Sanitasi”, dikutip dari

(47)

Menurut Fujiro, salah satu pelopor bisnis air minum isi ulang di Indonesia, dalam artikelnya menyebutkan ada beberapa faktor yang menyebabkan kualitas depot air minum menjadi buruk, yaitu : 72

1. Pre Treatment Karbon yang buruk, biasaya digunakan carbon local yang memang hanya bisa menyerap kotoran di dalam air 3 (tiga) hingga 4 (empat) bulan lamanya. Padahal karbon ini sangat memegang peranan penting dalam kualitas air karena karbonlah yang menyaring besi, keruh, kuning hingga bau dalam air.

2. Karbon yang dimaksud pada angka 1 tidak 100% (seratus persen) melainkan ada campuran pasir aktif yang bisa didapat dengan harga yg sangat murah dengan perbandingan 75% (tujuh puluh lima persen) pasir dan 25% (dua puluh lima persen) karbon.

3. Pipa PVC yang digunakan biasanya adalah yang murah dan tidak pernah dilakukan pembersihan di dalam pipanya. Padahal bagian dalam itu harus selalu dicek kebersihannya yang kemudian disterilisasi dengan alkohol 70% (tujuh puluh persen).

4. Pompa yang digunakan adalah pompa biasa yang terbuat dari besi padahal seharusnya yang terbuat dari pompa stainless steel untuk mendorong hingga masuk ke galon.

5. Lampu Ultra Violet yang hanya bekerja maksimal membunuh bakteri dan virus selama 2-3 bulan tidak diganti setelah melebihi waktunya.

6. Awamnya supplier yang tidak tau prosedur air minum yang sesungguhnya dan memberikan spesifikasi yang sangat minim untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

7. Awamnya pemilik depot dalam hal maintenance atau pemeliharaan, prosedur cuci galon, pengisian dan cara pengoperasian mesin air yang baik dan benar.

8. Tidak adanya pelatihan dan pendidikan tentang filtrasi dari air baku hingga air setelah proses filtrasi, serta tidak adanya kesadaran untuk belajar lebih dalam lagi.

Pemeriksaan kualitas air secara berkala menjadi kendala sebab kesadaran pelaku usaha terhadap peraturan masih lemah. Pihak pemerintah yang melakukan pengawasan pun terkadang mengalami kendala terkait dengan hal itu karena masih minimnya kesadaran pelaku usaha untuk membuat laporan berkala terkait higienitas serta sanitasi lingkungan depot air

(48)

isi ulang. Padahal sesuai ketentuan, pengecekan kualitas air dilakukan secara berkala sesuai ketentuan peraturan yang berlaku tetapi pengusaha air minum isi ulang biasanya tidak peka atau bahkan tidak mengetahui tentang peraturan tersebut.

Banyak pelaku usaha depot air isi ulang belum taat aturan uji kelayakan. Seringkali antara jumlah depot yang ada dan yang telah mengurus izin serta melaporkan tidak sebanding. Hal ini dikarenakan himbauan pemerintah dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan kurang direspon oleh pelaku usaha depot isi ulang dengan alasan ketika awal mendirikan usaha depot air minum isi ulang telah mendapat rekomendasi dari produsen air isi ulang dimana produsen itu sendiri telah mendapat rekomendasi resmi dari pihak balai obat dan makanan atau dari lembaga yang serupa. 73

Pelaku usaha AMD isi ulang juga memakai kemasan returnable milik AMDK. Hal ini tentu saja telah mengelabui konsumen dalam memberikan informasi yang benar mengenai produk AMD isi ulang tersebut. Dengan pemakaian botol galon yang masih berlabel milik AMDK maka informasi yang diperoleh konsumen mengenai produk tersebut adalah tidak sesuai antara isi dan label pada kemasannya.

Permasalahan ini seringkali menimbulkan kesalahpahaman dan membingungkan konsumen dalam hal perbedaan antara produk AMD isi

73

“Masih Banyak Pengusaha Depot Air Isi Ulang di Deli Serdang Belum Taat Uji Kelayakan”, Harian Sinar Indonesia Baru pada tanggal 17 Juli 2009.

Gambar

Tabel di atas menunjukkan bahwa syarat-syarat kimiawi dari air  minum yang diteliti pada sampel air dalam satuan miligram per liter memiliki  kadar maksimum yang berbeda
Tabel 7 (enam) menerangkan tentang bahan-bahan organik senyawa  kimia yang kemungkinan menimbulkan keluhan konsumen
Tabel 9  Desinfektan
Tabel 11  Fisik

Referensi

Dokumen terkait

Ketika saya ditanya tentang seseorang yang saya ketahui bahwa dirinya adalah salafi, namun seseorang mengambil ucapannya keluar dari konteks, atau menyodorkan

Berdasarkan nilai undulasi yang diperoleh dari perhitungan berdasarkan titik referensi PPS02 Belawan dan TTG 540 diketahui bahwa perbedaan tinggi undulasi antar masing-masing

Kendati kata demokrasi memiliki beragam arti, namun yang paling nampak penunjukan maknanya adalah dalam persoalan politik yang kerap digunakan dalam bahasa serta

Administrasi merupakan salah satu tolak ukur berkembangnya suatu organisasi dengan pesat. Administrasi berkaitan erat dengan pengolahan data yang saat ini sesuai

[r]

mengenai special events Honda Safety Riding Kelana Kota Surabaya 2017. PT Mitra Pinasthika Mulia dan Suara Surabaya melalui berbagai

Sistem Informasi Akademik ini mengolah data siswa, data guru, data mata pelajaran, data nilai raport, data pengumuman dan data berita.... iv

Part 1 , Pythonic Classes via Special Methods : This part looks more deeply at object- oriented programming techniques and how we can more tightly integrate the class definitions