• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. adanya pajak maka pembangunan negara berjalan lancar, karena dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. adanya pajak maka pembangunan negara berjalan lancar, karena dari"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Perpajakan

II.1.1 Pengertian Pajak

Pajak merupakan unsur yang sangat penting bagi negara, dengan adanya pajak maka pembangunan negara berjalan lancar, karena dari pajaklah kegiatan pemerintahan dibiayai. Melihat betapa pentingnya pajak bagi pembangunan, banyak ahli berusaha memberikan definisi yang berbeda, meskipun begitu, unsur – unsur yang terkandung dalam definisi tersebut hampir sama.

Definisi Pajak menurut pasal 1 Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang – undang,

dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

keperluan negara bagi sebesar – besarnya kemakmuran rakyat”.

Berikut ini definisi pajak menurut beberapa ahli: 1. Menurut Rochmat Soemitro:

“pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat balas jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”

2. Menurut P.J.A Adriani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodiharjo dijelaskan bahwa:

(2)

8 “pajak ialah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak yang membayarnya menurut peraturan – peraturan, dengan tidak mendapat prestasi langsung – kembali, yang langsung dapat ditumjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.” Dengan beberapa pengertian pajak di atas, maka dapat disimpulkan ciri – ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah sebagai berikut:

1) Pajak dipungut berdasarakan undang – undang serta aturan pelaksanaanya. 2) Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti apabila utang pajak tidak dibayar,

maka utang tersebut dapat ditagih dengan kekerasan, seperti surat teguran, surat paksa, surat sita, dan sandra.

3) Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah.

4) Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. pemungutan pajak tidak boleh dilakukan pihak swasta yang orientasinya adalah keuntungan.

5) Pajak dipergunakan untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum pemerintah.

II.1.2 Fungsi Pajak

Menurut Erly Suandy (2000) pajak memiliki dua macam fungsi, dua macam fungsi itu adalah:

1) Fungsi penerimaan (budgetair)

Pajak berfungsi sebagai sunber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan.

(3)

2) Fungsi mengatur (regulerend)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang social, ekonomi, maupun bidang politik dengan tujuan tertentu.

II.1.3 Syarat Pemungutan Pajak

Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan dalam pelaksanaannya, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1) Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)

Adil dalam mengenakan pajak secara umum dan merata sesuai dengan kemampuan masing – masing dan adil dalam pemberian hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding.

2) Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis)

Pelaksanaan pemungutan pajak di suatu negara atau daerah berdasarkan undang – undang.

3) Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis)

Yaitu pungutan pajak harus menjaga keseimbangan kehidupan ekonomi dan jangan mengganggu kehidupan ekonomis dari si wajib pajak. selain itu, pemungutan pajak tidak boleh mengganggu atau menghalangi kelancaran produksi maupun perdagangan/ perindustrian.

4) Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial)

Sesuai dengan fungsi penerimaan (budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan, sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

5) System pemungutan harus sederhana.

Untuk mencapai efisiensi pemungutan pajak serta untuk memudahkan warga masyarakat untuk menghitung dan memperhitungkan pajaknya, maka harus

(4)

10 diterapkan system pajak yang sederhana dan mudah dilaksanakan sehingga masyarakat tidak terganggu dengan permasalahan pajak yang sulit. Karena hal ini akan membantu masyarakat dalam membayar pajak.

II.1.4 Pengelompokkan Pajak

Pajak dikelompokkan berdasarkan golongan, sifat dan lembaga yang berwenang melakukan pungutan, yaitu sebagai berikut:

1. Menurut sifatnya

a. Pajak langsung, yaitu pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi bebabn langsung wajib pajak yang bersangkutan. Contoh: pajak penghasilan.

b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain. Contoh: pajak pertambahan lain.

2. Menurut sasaran/objeknya

a. Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. contoh: pajak penghasilan. b. Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada

objeknya, tanpa harus memperhatikan keadaan diri wajib pajak. contoh: pajak pertambahan nilai.

3. Menurut pemungutannya

a. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

b. Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

(5)

II.1.5 Tata Cara Pemungutan Pajak

Beberapa tata cara pemungutan pajak menurut Gunadi. Dkk (2001): 1) Stelsel pajak

a. Stelsel nyata (Riil stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis, karena pemungutan pajak dilakukan setelah tutup buku. Kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui), padahal pemerintah membutuhkan penerimaan pajak ini untuk membiayai pengeluaran sepanjang tahun tidak pada akhir tahun saja. b. Stelsel fiktif (fictive stelsel)

Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang – undang, misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya, karena pemungutan pajak dilakukan berdasarkan suatu anggapan bukan penghasilan yang sesungguhnya.

c. Stelsel campuran

Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan

(6)

12 yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah kekurangannya. Demikian pula sebaliknya, apabila lebih kecil maka kelebihannya dapat diminta kembali. Kelebihannya adalah pemungutan pajak sudah dapat dilakukan pada awal tahun pajak, dan besarnya pajak yang dipungut sesuai dengan besarnya pajak sesungguhnya terutang karena dilakukan perhitungan kembali pada akhir tahun pajak setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Kelemahannya adalah adanya tambahan pekerjaan administrasi karena perhitungan pajak dilakukan dua kali, yaitu pada awal tahun pajak dan akhir tahun pajak.

2) System pemungutan pajak: a. Official assessment system

Adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri – cirinya adalah:

• Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terhutang pada fiskus.

• Wajib pajak bersifat pasif.

• Hutang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak (SKP) oleh fiskus.

b. Self assessment system

Adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan dan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.

Ciri – cirinya adalah:

• Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terhutang pada wajib pajak sendiri.

(7)

• Wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor, melaporkan sendiri pajak yang terhutang

• Fiskus bertugas mengawasi. c. Withholding system

Adalah suatu pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terhutang oleh wajib pajak.

3) Yurisdiksi pemungutan pajak

Dalam memungut pajak, negara mempunyai batas kewenangan yang didasarkan atas tempat tinggal, kewarganegaraan atau sumber penghasilan sehingga pemungutan pajak tidak berulang – ulang dan memberatkan wajib pajak. terdapat tiga asas yang digunakan untuk memungut pajak, yaitu: a. Asas tempat tinggal

Negara mempunyai hak untuk memungut atas seluruh penghasilan wajib pajak berdasarkan tempat tinggal wajib pajak tanpa memperhatikan apakah ia seorang warga negaranya atau warga negara asing. Wajib pajak yang bertempat tinggal di Indonesia dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima yang diterima atau diperoleh dari Indonesia atau berasal dari luar negeri.

b. Asas kebangsaan

Pengenaan pajaknya dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Suatu negara memungut pajak atas orang yang mempunyai kebangsaan negara tersebut tanpa memperhatikan dimana ia tinggal.

c. Asas sumber

Negara mempunyai hak untuk memungut atas penghasilan yang bersumber dari suatu negara. Dengan demikian orang atau badan yang

(8)

14 menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.

II.1.6 Tarif Pajak

Pajak dibedakan menjadi enam macam tarif, yaitu: 1. Tarif pajak proporsional/ sebanding

Tarif pajak proporsional yaitu tarif berupa persentase tetap terhadap jumlah berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak. sering disebut tarif tunggal karena hanya menggunakan satu tarif dengan persentase tetap. Contoh: tarif pajak pertambahan nilai.

2. Tarif progresif

Tarif pajak progresif adalah tarif pajak yang persentasenya menjadi lebih

Besar apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaannya semakin besar. Contoh: tarif pajak penghasilan.

3. Tarif degresif

Tarif pajak degresif adalah persentase tarif pajak yang semakin

Menurun apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak semakin menurun.

4. Tarif tetap

Dalam tarif pajak tetap berupa jumlah yang tetap (sama besarnya) Berapapun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak. oleh karena itu pajak yang terutang tetap. Contoh: bea materai.

II.1.7 Menurut Lembaga Pemungutannya, Pajak Terdiri Atas:

1. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

(9)

Contoh: PPh, PPN & PPNBM, PBB & Bea Materai.

2. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Pajak daerah dibagi menjadi dua jenis yaitu, pajak provinsi dan pajak kabupaten / kota.

II.2. Pajak Daerah

II.2.1. Pengertian Pajak Daerah

Menurut pasal 1 angka 6 undang – undang Nomor. 34 Tahun 2000, dijelaskan pengertian pajak daerah sebagai berikut:

Pajak daerah ialah iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.

II.2.2. Ciri – Ciri Pajak Daerah

Untuk mempertahankan prinsip – prinsip perpajakan, maka menurut Tjip Ismail (2007) perpajakan daerah harus memiliki ciri – ciri tertentu. Adapun ciri – ciri yang dimaksud, khususnya yang terjadi di banyak negara sedang berkembang, adalah sebagai berikut:

1. Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya. 2. Relatif stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar,

kadang – kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam.

3. Tax base-nya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).

(10)

16 II.2.3. Pembagian Pajak Daerah

Undang – undang Nomor 34 Tahun 2000 dan peraturan pemerintah pendukungnya, yaitu peraturan pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang pajak daerah menjelaskan perbedaan jenis pajak daerah yang dipungut oleh provinsi dan jenis pajak yang dipungut oleh kabupaten / kota. Pajak provinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) jenis, yaitu:

1) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air dengan tarif maksimal 5%.

2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air dengan tarif maksimal 10%.

3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dengan tarif maksimal 5%.

4) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dengan tarif maksimal 20%.

Sementara itu, Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota diberi kewenangan untuk memungut 7 (tujuh) jenis pajak, yaitu:

1) Pajak Hotel dengan tarif maksimal 10%. 2) Pajak Restoran dengan tarif maksimal 10%. 3) Pajak Hiburan dengan tarif maksimal 35%. 4) Pajak Reklame dengan tarif maksimal 25%.

5) Pajak Penerangan Jalan dengan tarif maksimal 10%.

6) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C dengan tarif maksimal 20%. 7) Pajak Parkir dengan tarif maksimal 20%.

(11)

II.2.4. Tolak Ukur Untuk Menilai Pajak Daerah

Prinsip perpajakan yang dikaitkan dengan peraturan daerah menurut Kenneth Davey yang diterjemahkan oleh Tjip Ismail (2007) ada 5 (lima) prinsip, yaitu:

1) Hasil (yield)

Meliputi memadai tidaknya suatu pajak dalam kaitan dengan berbagai layanan yang dibiayainya, stabilitas dan mudah tidaknya memperkirakan besar hasil itu serta elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk, dan sebagainya, juga perbandingan hasil pajak dengan biaya pungut.

2) Keadilan (equity)

Dasar pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan tidak sewenang – wenang, pajak bersangkutan harus adil secara horizontal, artinya beban pajak haruslah sama besar antara berbagai kelompok yang berbeda tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama, harus adil secara vertikal, artinya kelompok yang memiliki sumberdaya ekonomi yang lebih besar memberikan sumbangan yang lebih besar daripada kelompok yang tidak banyak memiliki sumberdaya ekonomi dan pajak itu harus adil dari tempat ke tempat.

3) Daya Guna Ekonomi (economic efficiency)

Pajak hendaknya mendororng atau setidak – tidaknya tidak menghambat penggunaan sumberdaya secara berdaya guna dalam kehidupan ekonomi. Juga

Mencegah agar tidak timbul keengganan bekerja atau menabung. Selain itu juga memperkecil beban lebih pajak.

4) Kemampuan Melaksanakan (ability to implement)

Suatu pajak haruslah dapat dilaksanakan, dari sudut kemampuan politik dan kemampuan tata usaha.

(12)

18 5) Kecocokan sebagai Sumber Penerimaan Daerah (suitability as a local

revenue source)

Haruslah jelas kepada daerah mana suatu pajak harus dibayarkan, dan tempat memungut pajak sedapat mungkin sama dengan tempat akhir beban pajak. pajak tidak mudah dihindari, dengan cara memindahkan objek pajak dari suatu daerah ke daerah lain. Pajak daerah jangan mempertajam perbedaan – perbedaan antara daerah, dari segi potensi ekonomi masing – masing. Dan pajak hendaknya tidak menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata usaha pajak daerah.

II.3 Pajak Reklame

Menurut Tjip Ismail (2007) yang dimaksud dengan pajak reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame. Pengenaan pajak reklame tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Agar pajak daerah dapat dipungut pada suatu daerah kabupaten atau kota, pemerintah daerah harus terlebih dahulu menerbitkan peraturan daerah tentang pajak reklame yang akan menjadi landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan pajak reklame di daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan.

Dalam pemungutan pajak reklame terdapat beberapa terminologi yang perlu diketahui. Terminologi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang menurut bentuk dan corak ragamnya untuk tujuan komersial, digunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan, atau memujikan suatu barang, jasa, atau orang, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang

(13)

ditempatkan atau yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan oleh pemerintah.

2. Penyelenggaraan reklame adalah orang atau badan yang menyelenggarakan reklame baik untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya.

3. Perusahaan jasa periklanan/biro reklame adalah badan yang bergerak di bidang periklanan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4. Panggung reklame adalah suatu sarana atau tempat pemasangan reklame yang ditetapkan untuk satu atau beberapa buah reklame.

5. Jalan umum adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi segala bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan pelengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum

6. Izin adalah izin penyelenggaraan reklame yang terdiri dari izin tetap dan izin terbatas.

7. Surat permohonan penyelenggaraan reklame yang disingkat SPPR adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk emngajukan permohonan penyelenggaraan reklame dan mendaftarkan identitas pemilik data reklame sebagai dasar perhitungan pajak yang terutang.

8. Surat kuasa untuk menyetor yang disingkat SKUM adalah nota perhitungan besarnya pajak reklame yang harus dibayar oleh wajib pajak yang berfungsi sebagai ketetapan pajak.

II.3.1. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Reklame.

Pemungutan pajak reklame di Indonesia saat ini didasarkan pada dasar hukum yang jelas dan kuat sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak

(14)

20 terkait. Dasar hukum pemungutan pajak reklame pada suatu kabupaten atau kota adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.

2. Peraturan pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang pajak daerah.

3. Peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur tentang pajak reklame, contohnya: peraturan daerah provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2004 tentang pajak reklame

4. Keputusan Bupati/Walikota yang mengatur tentang pajak reklame sebagai aturan pelaksanaan peraturan daerah tentang pajak reklame pada kabupaten/kota dimaksud.

Sebagai daerah yang memiliki potensi pajak yang besar di Indonesia, DKI Jakarta juga memiliki berbagai peraturan untuk membenahi rumahtangga daerahnya, berikut ini tabel peraturan yang dibuat oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta, untuk diketahui oleh instansi terkait dan masyarakat.

Tabel 1

Peraturan yang mengatur tentang Pajak Reklame

NO I. UNDANG-UNDANG PERIHAL TENTANG

1. UU No. 18 Tahun 1997 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 2. UU No. 34 Tahun 2000

Perubahan atas UU RI No. 18 Tahun 1997 tentang PDRD.

NO. II PERATURAN DAERAH/SK. GUBERNUR PERIHAL TENTANG

1. SK. Gub No. Ib.3/1/7/1971 Tahun 1980

Pengenaan uang jaminan untuk pembongkaran reklame kepada setiap pemegang izin pemasangan reklame di DKI Jakarta.

(15)

2. SK. Gub. No. 128 Tahun 1980

Penetapan kembali pengenaan uang jaminan untuk biaya pembongkaran reklame kepada pemegang izin pemasangan reklame di DKI Jakarta.

3. Perda No. 8 Tahun 1998 Penyelenggaraan reklame dan pajak reklame 4. SK. Gub No. 37 Tahun 2000 Juklak penyelenggaraan reklame

5. SK. Gub No. 112 Tahun 2000 Tata cara pelelangan reklame 6. SK. Gub No. 132 Tahun 2000

Pola penyebaran peletakan reklame di provinsi DKI Jakarta

7. SK. Gub No. 133 Tahun 2000

Penetapan titik reklame di dalam sarana dan prasarana kota pemda DKI Jakarta

8. SK. Gub No. 270 Tahun 2000 Pemberian izin penyelenggaraan reklame 9. SK. Gub. No. 128 Tahun 2000

Perhitungan sewa titik reklame di dalam dan di luar sarana dan prasarana kota pemda provinsi DKI Jakarta

10. In. Gub No. 281 Tahun 2000

Pemberian pelayanan izin penyelenggaraan reklame di luar sarana dan prasarana kota. 11. In. Gub No 199 Tahun 2000

Pembangunan ornamen kota/patung Jend. Sudirman di jalur Median Jl. Jend. Sudirman, Jakarta.

12. SE kadipenda DKI Jakarta Tata cara perhitungan Pajak Reklame. 13. SKKdis Tata Kota 68/2000 Juknis Pelayanan RTLBR.

14. Perda. No. 2 Tahun 2004 Tentang pajak reklame.

II.3.2. Objek dan Subjek Pajak Reklame.

Menurut peraturan daerah provinsi DKI Jakarta No. 2 Tahun 2004 pasal 3 ayat 1, objek pajak reklame adalah semua penyelenggaraan reklame. Objek pajak reklame terdiri dari:

a. Reklame papan / billboard /megatron / videotron / large electronic display (LED).

b. Reklame kain.

c. Reklame melekat (stiker). d. Reklame selebaran

e. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan f. Reklame udara

g. Reklame suara h. Reklame film/ slide

(16)

22 i. Reklame peragaan.

Pada pajak reklame, tidak semua penyelenggaraan reklame dikenakan pajak. ada beberapa pengecualian yang tidak termasuk objek pajak, yaitu:

a. Penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya.

b. Penyelenggaraan reklame lainnya yang ditetapkan dengan peraturan daerah, misalnya penyelenggaraan reklame yang diadakan khusus untuk kegiatan sosial, pendidikan, keagamaan, dan politik tanpa sponsor.

Menurut peraturan daerah provinsi DKI Jakarta No. 2 tahun 2004 tentang pajak reklame, seperti yang tertera pada pasal 4 ayat 1 dan 2, bahwa subjek pajak reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan atau melakukan pemasangan reklame. Wajib pajak reklame adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan reklame.

II.3.3. Dasar pengenaan, Tarif dan Cara Perhitungan Pajak Reklame.

1. Dasar pengenaan pajak reklame adalah nilai sewa reklame atau disingkat NSR, yaitu nilai yang ditetapkan sebagai dasar perhitungan penetapan besarnya pajak reklame. Nilai sewa reklame dihitung berdasarkan:

a. Besarnya biaya pemasangan reklame. b. Besarnya biaya pemeliharaan reklame c. Lama pemasangan reklame.

d. Nilai strategis lokasi/lokasi penempatan e. Jenis reklame.

Cara perhitungan nilai sewa reklame ditetapkan dengan peraturan daerah. pada umumnya, peraturan daerah akan menetapkan bahwa nilai sewa reklame ditetapkan oleh bupati / walikota dengan persetujuan DPRD kabupaten / kota yang bersangkutan dengan berpedoman pada keputusan menteri dalam negeri. Hasil

(17)

perhitungan nilai sewa reklame ditetapkan dengan keputusan bupati. Walikota. Nilai sewa reklame dihitung dengan rumus dibawah ini:

NILAI

Nilai jual objek reklame adalah keseluruhan pembayaran / pengeluaran yang dikeluarkan oleh pemilik atau penyelenggara reklame. Perhitungan Nilai Jual Objek Reklame (NJOR) didasarkan pada besarnya komponen biaya penyelenggaraan reklame, yang meliputi indikator sebagai berikut:

a. Biaya pembuatan/ konstruksi. b. Biaya pemeliharaan.

c. Lama pemasangan. d. Jenis reklame. e. Luas bidang reklame. f. Ketinggian reklame.

Besarnya NJOR dihitung dengan rumus di bawah ini:

Nilai strategis pemasangan reklame yang selanjutnya disingkat (NSPR) adalah ukuran nilai yang ditetapkan pada titik lokasi pemasangan reklame tersebut, berdasarkan kriteria kepadatan pemanfaatan tata ruang kota untuk berbagai aspek kegiatan di bidang usaha. Perhitungan nilai strategis didasarkan pada besarnya ukuran reklame, dengan indicator: nilai fungsi ruang (NFR) dan nilai sudut pandang (NSP). Besarnya NSPR dihitung dengan rumus dibawah ini:

Nilai Sewa Reklame (NSR)

NSR = Nilai Jual Objek Reklame (NJOR) + Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR)

NJOR = (ukuran reklame x harga dasar ukuran reklame) + (ketinggian Reklame x harga dasar ketinggian reklame)

strategis nilai dasar a h x NF NSP NFR NSPR =( + + ) arg

(

) }

{

(

) }

{

[

= + =

]

+

= fungsiruang bobot xskor fungsi jalan bobot xskor NSPR

(

) }

{

(18)

24 Lokasi penempatan reklame adalah lokasi peletakan reklame menurut kelas jalan dirinci sebagai berikut, sesuai dengan peraturan daerah provinsi DKI Jakarta No.2 Tahun 2004: besaran nilai kelas jalan untuk jenis

papan/billboard/videotron/large electronic display (LED) sejenisnya, sebagai berikut: Tabel 2

Besaran nilai kelas jalan untuk jenis reklame papan/billboard/videotron Dan large electronic display, sebagai berikut:

Jenis Reklame Lokasi penempatan

Ukuran Luas Reklame (m2) Jangka Waktu Pemasangan Besaran Nilai Sewa (Rp) Papan / Billboard / Videotron / LED Protokal A 1 m2 1 hari 15000 Protokal B 1 m2 1 hari 10000 Protokal C 1 m2 1 hari 8000 Ekonomi kelas 1 1 m2 1 hari 5000 Ekonomi Kelas II 1 m2 1 hari 3000 Ekonomi kelas III 1 m2 1 hari 2000 Lingkungan 1 m2 1 hari 1000

Tabel 3

Besaran nilai kelas jalan untuk jenis reklame kain berupa umbul – umbul, spanduk dan sejenisnya, sebagai berikut:

Jenis Reklame Lokasi Penempatan Ukuran Luas Reklame (m2) Jangka Waktu Pemasangan Besaran Nilai Sewa (Rp) Reklame Kain berupa umbul – umbul, spanduk dan

sejenisnya

Protokal A 1 m2 1 hari 15000

Protokal B 1 m2 1 hari 10000

Protokal C 1 m2 1 hari 8000

Ekonomi Kelas I 1 m2 1 hari 5000 Ekonomi Kelas II 1 m2 1 hari 3000 Ekonomi Kelas III 1 m2 1 hari 2000

(19)

Tabel 4

Nilai Sewa untuk Reklame untuk jenis reklame selain reklame billboard/papan/megatron/videotron/Large electronic display (LED) dan

reklame kain ditetapkan sebagai berikut:

Jenis Reklame Nilai Sewa

Reklame melekat (stiker) Rp. 5/cm2 sekurang-kurangnya Rp.500.000 setiap kali penyelenggaraan Reklame selebaran Rp.500/lbr, sekurang-kurangnya

Rp.5.000.000 setiap penyelanggaraan Reklame berjalan/kendaraan Rp.5000/m2/hari

Reklame udara Rp.2000.000 sekali peragaan, paling lama satu bulan

Reklame suara Rp.1000/15 detik, bagian-bagian yang kurang dari 15 detik dihitung menjadi 15

detik

Reklame film/slide Rp.5000/15 detik dengan suara, Rp.2000/15 detik tanpa suara. Bagian-bagian yang kurang dari 15 detik dihitung

menjadi 15 detik

Reklame peragaan Rp.12000/hari.

2. Tarif Pajak Reklame

Tarif pajak reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25%, dan ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi DKI Jakarta No. 2 Tahun 2004, sedangkan untuk reklame rokok dan minuman beralkohol dikenakan tambahan pajak sebesar 25% dari pokok pajak. dan setiap penambahan ketinggian sampai dengan 15 meter dikenakan tambahan pajak sebesar 20% dari pokok pajak pada ketinggian 15 meter pertama.

3. Perhitungan Pajak Reklame

Besarnya pokok pajak reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. secara umum perhitungan pajak reklame adalah sesuai dengan rumus berikut:

Pajak Terutang = Tarif Pajak X Dasar Pengenaan Pajak

(20)

26 II.3.4. Masa Pajak, Tahun Pajak, dan Saat Terutang Pajak Reklame.

Masa pajak reklame merupakan jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwin atau dalam pengertian masa pajak bagian dari bulan dihitung satu bulan penuh, sedangkan tahun pajak merupakan jangka waktu yang lamanya satu tahun takwin kecuali wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwin.

Pajak terutang merupakan pajak reklame yang harus dibayar oleh wajib pajak pada suatu saat, dalam masa pajak atau dalam tahun pajak menurut ketentuan peraturan daerah tentang pajak reklame yang ditetapkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota setempat.

II.3.5. Pengukuhan, Pendaftaran, Pendataan. 1. Pengukuhan wajib Pajak.

Wajib Pajak Reklame wajib mendaftarkan usahanya kepada bupati/ walikota dalam praktik umumnya kepada dinas pendapatan daerah kabupaten/ kota dalam jangka waktu tertentu, misalnya selambat-lambatnya tiga puluh hari sebelum dimulainya kegiatan usaha untuk dikukuhkan dan diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD). Jangka waktu ini sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan oleh bupati atau walikota di mana pajak reklame dipungut.

Surat Keputusan Pengukuhan yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah tidak merupakan dasar untuk menentukan mulai saat terutang Pajak Reklame, tetapi hanya merupakan sarana administrasi dan pengawasan bagi petugas Dinas Pendapatan Daerah. Apabila pengusaha penyelenggara reklame tidak mendaftarkan usahanya dalam jangka waktu yang ditentukan, maka Kepala Dinas Pendapatan Daerah akan mentapkan

(21)

pengusaha tersebut sebagai wajib pajak secara jabatan. Penetapan secara jabatan dimaksudkan untuk pemberian nomor pengukuhan dan NPWPD dan bukan merupakan penetapan besarnya pajak terutang. Tata cara pelaporan dan pengukuhan wajib pajak ditetapkan oleh bupati/walikota dengan surat keputusan.

2. Pendaftaran dan Penataan.

Kegiatan pendaftaran dan pendataan diawali dengan mempersiapkan dokumen yang diperlukan, berupa formulir pendaftaran dan pendataan, lalu diberikan kepada wajib pajak untuk diisi dan setelah itu dikembalikan lagi kepada petugas pajak untuk dicatat dalam Daftar Induk Wajib Pajak berdasarkan nomor urut yang digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan NPWPD.

II.3.6. Pelaporan Pajak dan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD). Wajib Pajak Reklame wajib melaporkan kepada Gubernur, pada umunya adalah kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah provinsi DKI Jakarta, tentang penghitungan dan pembayaran Pajak Reklame terutang. Wajib pajak yang telah memiliki NPWPD setiap awal masa pajak wajib mengisi SPTPD dan harus diisi dengan jelas, lengkap dan benar serta ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya dan disampaikan kepada walikota/ bupati atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan. Umumnya SPTPD harus disampaikan selambat-lambatnya lima belas hari setelah berakhirnya masa pajak.

II.3.7. Penetapan Pajak Reklame.

1. Cara Pemungutan Pajak Reklame

Seluruh proses kegiatan pemungutan Pajak Reklame tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga dengan kata lain tidak dapat diborongkan.

(22)

28 Walaupun demikian, dimungkinkan adanya keraja sama dengan pihak ketiga dalam proses pemungutan pajak, namun ada kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga yaitu kegiatan penghitungan besarnya pajak yang terutang, pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak. 2. Penetapan Pajak Reklame.

Setelah SPTPD disampaikan oleh wajib pajak maka petugas Dinas Pendapatan Daerah melakukan pendataan sesuai dengan perintah Gubernur DKI Jakarta untuk menetapkan pajak reklame yang terutang dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD). SKPD harus dilunasi oleh wajib pajak paling lama tiga puluh hari sejak diterimanya SKPD oleh wajib pajak atau jangka waktu lain yang ditetapkan oleh gubernur. Apabila setelah lewat jangka waktu yang ditentukan, wajib pajak tidak atau kurang membayar pajak terutang dalam SKPD, wajib pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dan ditagih dengan menerbitkan surat tagihan pajak daerah (STPD).

3. Ketetapan Pajak.

Dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat terutangnya pajak, akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) dan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT), Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN), Surat Ketatapan Pajak ini diterbitkan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Pendapatan Daerah Provinsi DKI Jakarta atas SPTPD yang disampaikan oleh wajib pajak.

4. Surat Tagihan Pajak Daerah.

Gubernur Provinsi DKI Jakarta akan menerbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) jika Pajak Reklame dalam tahun berjalan tidak atau

(23)

kurang bayar. Bila hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran akibat dari salah tulis atau salah hitung, maka wajib pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda. Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan kepada wajib pajak yang tidak atau kurang membayar pajak yang terutang dan sanksi administrasi berupa denda dikenakan bagi wajib pajak yang tidak memenuhi ketentuan formal.

II.3.8 Pembayaran dan Penagihan Pajak Reklame. 1. Pembayaran Pajak Reklame.

Pembayaran dan penyetoran Pajak Reklame ditetapkan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta, pembayaran dilakukan paling lama 30 hari sejak tanggal diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD). Apabila batas waktu pembayaran jatuh pada hari libur maka batas waktu pembayaran jatuh pada hari kerja berikutnya. Pembayaran Pajak Reklame yang terutang dilakukan ke kantor Perbendaharaan dan Kas Daerah atau Bank atau tempat lain yang ditunjuk oleh Gubernur. Pembayaran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD).

2. Penagihan Pajak Reklame.

Penagihan pajak dilakukan terhadap pajak terutang dalam SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. Penagihan pajak dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis sebgai awal tindakan penagihan pajak. Surat teguran atau surat peringatan dikeluarkan tujuh hari sejak saat jatuh tempo pembayaran pajak dan dikeluarkan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Selanjutnya, bila

(24)

30 jumlah pajak terutang yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu yang ditentukan dalam surat teguran atau surat peringatan maka akan ditagih dengan Surat Paksa.

II.3.9. Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan, Ketetapan, dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administrasi.

Gubernur Provinsi DKI Jakarta karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat melakukan:

1. Pembetulan SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang – undangan perpajakan daerah.

2. Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar.

3. Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang jika sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan dan bukan karena kesalannya.

II.3.10. Keberatan dan Banding. 1. Keberatan.

Bila wajib Pajak Reklame tidak puas atas penetapan pajak yang dilakukan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta, maka dapat mengajukan keberatan hanya kepada Gubernur atau pejabat yang menerbitkan surat ketetapan pajak tersebut. Keberatan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan daerah tentang Pajak Reklame. Setelah melakukan pemeriksaan dalam jangka waktu tertentu maka Gubernur akan mengeluarkan keputusan atas pengajuan keberatan tersebut. Gubernur harus memberikan keputusan atas keberatan dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.

(25)

2. Banding.

Apabila keputusan keberatan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta tidak memuaskan wajib pajak maka, wajib Pajak Reklame berhak mengajukan permohonan banding kepada pengadilan pajak. permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak keputusan keberatan diterima dan dilampiri salinan dari surat keputusan keberatan tersebut. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

Referensi

Dokumen terkait

Tanaman obat yang digunakan oleh masyarakat Desa Minanga untuk mengobati penyakit diabetes melitus adalah daun sambiloto, daun sirih merah, mahkota dewa,

Yang dimaksud dengan ”pelayanan kesehatan tingkat pertama” adalah upaya kesehatan yang dilaksanakan di fasilitas/sarana pelayanan kesehatan dasar yang terdiri dari

Metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel

Untuk menentukan apakah produk yang dihasilkan memenuhi standar atau tidak, tentukan dapat dilakukan dengan cara mengklasifikasikan berdasarkan uji yang telah dilakukan

Variabel dependen dalam penelitian ini menggunakan Return Saham (RS) dan variabel independen yaitu Current Ratio (CR), Total Assets Turnover (TAT), Debt To Equity (DER), dan

(2) Kepala Sub Bagian Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Kepala Bagian Keuangan dalam penyiapan bahan

keuangan terhadap tingkat pengembalian saham masih belum menunjukkan hasil yang konsisten satu sama lain sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang

turnonver intention karyawan dapat di jelaskan oleh variabel stres kerja, kepuasan kerja, budaya organisasi, dan komitmen organisasi. Sisanya sebesar 23,2%